• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 Tahun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "1 Tahun"

Copied!
3
0
0

Teks penuh

(1)

11 Tahun Peristiwa Jamboe Kepok dan Pemberlakuan Status Darurat Militer di Aceh Jalankan Qanun KKR, Bentuk Pengadilan HAM dan Tolak Capres Pelanggar HAM

Peristiwa Jamboe Kepok (17 Mei 2003) dan Penerapan Pemberlakuan Darurat Militer (DM) sepanjang 18 Mei 2003-18 Mei 2005 di Provinsi Aceh telah memasuki tahun ke-11. Peristiwa Jamboe Kepok dan peristiwa pelanggaran HAM akibat dari kebijakan negara melalui DM hingga kini masih menyisakan luka yang mendalam bagi korban karena tidak ada akuntabilitas negara untuk menyelesaikan persoalan tersebut melalui Komisi Kebenaran dan Pengadilan HAM sebagaimana amanat dari Nota Kesepahaman Damai/MoU antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Peristiwa di Desa Jambo Keupok, Kecamatan Bakongan (sekarang Kecamatan Kota Bahagia), Kabupaten Aceh Selatan adalah sebuah peristiwa penyerangan oleh aparat militer terhadap penduduk sipil dengan alasan ditempat tersebut merupakan basis dari Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dampak dari peristiwa tersebut mengakibatkan 16 penduduk sipil meninggal, 16 orang mengalami penyiksaan dan 6 orang mengalami penganiayaan oleh aparat militer (Laporan Penyelidikan Komnas HAM : 2013). Peristiwa ini terjadi 2 (dua) hari sebelum status DM diterapkan oleh Pemerintah.

Sementara DM ditetapkan pada 18 Mei 2003 untuk merespons situasi konflik di Aceh melalui Keputusan Presiden (Keppres) No 28/2003 tentang Pernyataan keadaan Bahaya dengan Tingkatan keadaan Darurat Militer Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang Kemudian diperpanjang melalui Keppres No 97/2003 pada 18 November 2013. Keppres tersebut memberikan legitimasi yang kuat kepada militer untuk

memulihkan keamanan di Aceh melalui operasi militer. Bentuk Implementasi DM adalah penggelaran Operasi Terpadu yang terdiri dari empat operasi antara lain; Operasi Pemulihan Keamanan; Operasi Kemanusiaan; Operasi Penegakan Hukum; dan Operasi Pemantapan jalannya Pemerintahan. Faktanya pendekatan militer masih menjadi fokus pemerintah untuk menyelesaikan konflik. Hal ini terbukti dengan dibentuknya Komando Pelaksana Operasi (Kolakops) Militer Aceh, yang berfungsi sebagai institusi pelaksana Operasi Pemulihan Keamanan di lapangan oleh Presiden pada saat itu. Kolakops Aceh langsung berada dibawah wewenang Panglima TNI yang dibantu oleh

sejumlah perwira menengah dari tiga satuan tugas (satgas), meliputi Satgas Darat, Satgas Laut, Satgas Udara.

Akibatnya sejumlah kekerasan dan pelanggaran HAM terus terjadi, bahkan meningkat selama 12 bulan pasca diberlakukannya DM. Bentuk-bentuk pelanggaran HAM tersebut antara lain; Pembunuhan Diluar Hukum (Extrajudicial Killing), Pembunuhan Kilat (Summary Killing), Penghilangan Secara Paksa (Forced

Disappearances), Penangkapan dan Penahanan Sewenang-Wenang (Arbitrary Arrest and Detention),

Penculikan (Kidnaping), Penyiksaan dan Tindakan Tidak Manusiawi Lainnya (Torture and Other Cruel Inhuman or Degrading Treatment or Punishment), Kejahatan Seksual (Sexual Abuses), serta sejumlah pembatasan hak asasi manusia lainnya.

KontraS sendiri mencatat, sebanyak 1.963 orang tewas, 2.100 orang luka-luka, serta 1.276 orang mengalami penangkapan dan penahanan sewenang-wenang selama periode tersebut. Disisi yang lain juga menimbulkan persoalan yang serius. Berdasarkan catatan KontraS, sebanyak 107.267 jiwa warga Aceh dipaksa menjadi pengungsi. Lebih dari itu besarnya jumlah pengungsi juga dibarengi oleh berkembangnya wabah penyakit mematikan seperti penyakit skabies (kudis) yang diderita sebanyak 383 orang, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) sebanyak 406 orang, dan diare sebanyak 225 orang. Akibat tidak kurang dari 42 orang meninggal dunia termasuk 4 orang anak dibawah umur. Sejumlah fasilitas umum (seperti; Puskesmas, Sekolah, Tempat Ibadah) mengalami kerusakan. Setidaknya 611 sekolah diketahui dibakar oleh orang tak dikenal [OTK], akibatnya tidak kurang dari 40.000 orang anak kehilangan kesempatan untuk belajar. Ditambah lagi dengan angka kemiskinan yang mencapai puncaknya pada periode tersebut. Sekitar 1.680.000 orang, atau setara dengan 40% dari 4,2 juta jumlah penduduk Aceh pada saat itu karena pembatasan aktifitas ekonomi saat itu.

(2)

Terhadap peristiwa Jamboe Kepok, Tim Penyelidik Pro-Justisia Komnas HAM baru memutuskan untuk

membentuk penyelidikan Pro-Justisia (penyelidikan untuk kepentingan proses hukum) pada November 2013 bersamaan dengan 4 (empat) peristiwa lainnya (Peristiwa Rumah Geudong di Pidie, Peristiwa Simpang KKA di Aceh Utara, Peristiwa Bumi Flora di Aceh Timur dan Peristiwa Timang Gajah di Bener Meriah). Kemudian pada Februari 2014 Komnas HAM telah melakukan penyelidikan dengan melakukan pemeriksaan terhadap saksi dan korban untuk peristiwa Jamboe Kepok dan Simpang KKA, hasil final penyelidikan masih menunggu keputusan Rapat Paripurna Komnas HAM. Kemudian 27 Desember 2013 Qanun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) disahkan oleh DPR Aceh. Namun sayangnya belum dijalankan, karena hingga kini DPR Aceh masih belum membentuk Tim Panitia Seleksi Independen untuk menjaring calon Komisoner/anggota KKR Aceh.

Selanjutnya kami memiliki perhatian serius menjelang pelaksanaan Pemilihan Presiden yang akan dilakukan pada 9 Juli 2014. Hal ini penting kami sampaikan karena Presiden adalah orang yang nantinya akan

membentuk Keputusan Presiden (Keppres) tentang Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc atas peristiwa yang terjadi sebelum tahun 2000 (UU Pengadilan HAM disahkan). Berdasarkan UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM khususnya diatur dalam pasal 43 ayat (2) yang pada pokoknya dinyatakan bahwa dalam hal DPR merekomendasikan Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc kepada Presiden didasarkan pada hasil penyelidikan (Komnas HAM) dan Penyidikan (Jaksa Agung). Pengadilan HAM Ad Hoc dibuat dengan Keppres sehingga seorang capres dan cawapres haruslah orang yang “bersih” tidak terlibat dalam dugaan

pelanggaran HAM yang berat.

Berdasarkan hal tersebut kami mendesak ;

1. Komnas HAM harus segera menyelesaikan penyelidikan peristiwa Jamboe Kepok dan melakukan penyelidikan untuk peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi sepanjang Darurat Militer (19 Mei 2003-18 Mei 2005) untuk menjamin pemulihan dan keadilan bagi korban;

2. DPR Aceh harus segera membentuk Panitia Seleksi Calon Komisioner KKR Aceh agar proses pengungkapan kebenaran atas sejumlah peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi di Provinsi Aceh bisa segera berjalan;

3. Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus menolak Capres dan Cawapres yang terlibat dalam dugaan pelanggaran HAM yang berat.

Jakarta, 17 Mei 2014

(3)

Referensi

Dokumen terkait

Objek Garapan Batasan Cara Pengerjaan Batas Waktu Deskripsi Luaran tugas yang dihasilkan 1 dan 2 Menyelesaikan soal-soal esai: -Metode Debet dan Kredit -Laporan

Dalam penelitian yang berjudul Representasi Etika Jurnalistik Investigasi dalam Film (Analisis Semiotika Roland Barthes dalam Film Kill The Messenger dengan

Kesimpulan Hasil penelitian dan pembahasan penggunaan Microcontroller ESP.8266 sebagai Smart-Home Controller yang telah dibuat, didapat kesimpulan jika module ini bekerja

Tetapi waktu laten yang dihasilkan dari berbagai peningkat penetrasi pada penelitian ini tetap lebih besar dibandingkan dengan formula pembanding yaitu gel natrium diklofenak

Metode yang digunakan oleh peneliti adalah Metode pembelajaran Value Clarification Technique atau disingkat dengan VCT dengan judul skripsi ” Peningkatan Aktivitas

Penghentian tamsil pegawai berlaku mulai tanggal perubahan status pegawai yang bersangkutan, dan dapat diberikan kembali, apabila pegawai yang bersangkutan telah kembali

Tenaga kesehatan dalam hal ini tenaga dokter baik dokter umum maupun dokter spesialis di suatu Rumah Sakit sebagai salah satu pusat kesehatan merupakan bagian

Saat di dalam room panitia , peserta , dan penonton dihimbau untuk tidak rasis dan anarkis dengan melakukan pesan atau voice mengandung unsur SARA jika panitia menemukan hal