THE ANALYSIS OF TWO WOMEN CHARACTERS FROM THE POINT OF VIEW OF LIBERAL FEMINISM IN THE NOVEL THE VIRGIN BLUE BY
TRACY CHEVALIER
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi Ujian Sarjana Pada Jurusan Sastra Inggris Fakultas Sastra
Universitas Komputer Indonesia
Eighwika Kurnia Juwita
NIM.63705003
JURUSAN SASTRA INGGRIS FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA BANDUNG
iv ABSTRAK
Skripsi yang berjudul “Analisis Karakter Dua Tokoh Wanita Berdasarkan Sudut Pandang Feminisme Liberal dalam Novel The Virgin Blue Karya Tracy
Chevalier” ini mendeskripsikan dua karakter wanita dari generasi yang berbeda, namun memiliki persamaan dalam memperjuangkan hak mereka.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode kualitatif dan deskriptif sebagai cara untuk menganalisis karya sastra tersebut. Metode ini digunakan karena fakta-fakta dalam novel tersebut akan digambarkan kemudian dianalisis dan dijelaskan. Penelitian ini meneliti pemahaman sosial berdasarkan teori sastra feminis. Penelitian ini juga menjelaskan karakter dua tokoh wanita di dalam novel The Virgin Blue yang digambarkan dengan fakta-fakta dan dianalisis dengan teori-teori yang berkaitan dengan data-data tersebut.
v ABSTRACT
This skripsi titled "The Analysis of Two Women Characters from the Point of View of Liberal Feminism In the Novel The Virgin Blue by Tracy Chevalier” describes two women characters of different generation who have similarity in struggling to fight their rights.
In this research, the writer uses qualitative and descriptive methods to analyze the novel. This method is employed because the facts in the novel are described, analyzed, and explained. This research analyzes social understanding based on literary feminist theory. This research also explains about two women characters in The Virgin Blue which is described by the facts and analyzed using the theories related to those data.
vi
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmatnya
dan karunianya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada
waktunya. Pada kesempatan ini, penulis juga berterimakasih kepada pihak-pihak
yang terkait secara langsung dalam penulisan skripsi yang berjudul “Analisis
Karakter dari Dua Tokoh Wanita dari Sudut Pandang Feminisme Liberal dalam
Novel The Virgin Blue Karya Tracy Chevalier” ini :
1. Prof. Dr. H. Moh. Tadjuddin, MA, Dekan Fakultas Sastra UNIKOM.
2. Retno Purwani Sari,S.S.,M.Hum, Ketua Jurusan Sastra Inggis UNIKOM
dan Penguji.
3. Asih Prihandini, S.S.,M.Hum, Wakil Ketua Jurusan Sastra Inggis,
Koordinator Skripsi, serta selaku Pembimbing Pertama.
4. Sandya Maulana, M.Hum selaku Pembimbing Pendamping dan Penguji.
5. Nungki Heriati, S.S., M.A, selaku Penguji
6. Dr. Juanda, Dosen Wali.
7. Tatan Tawami, S.S, Dosen Sastra Inggris.
8. M. Rayhan Bustam, S.S, Dosen Sastra Inggris.
9. Nenden Rikma Dewi, S.S, Dosen Sastra Inggris.
vii
semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan peneliti selanjutnya.
Bandung, Agustus 2011
1 1.1Latar Belakang Penelitian
Kehidupan saat ini tidak hanya didominasi oleh kaum laki-laki saja namun
juga kaum perempuan, sebab perempuan telah memberikan warna tersendiri bagi
kehidupan itu sendiri. Dalam masa modern masih ada pihak atau perlakuan yang
menempatkan kaum perempuan hanya sekadar sebagai pelengkap atau masyarakat
kelas dua. Sebenarnya pernyataan tersebut merupakan potret yang mewakili
realita bagaimana kaum perempuan pernah ditindas, dibatasi hak-haknya dalam
segi apapun. Berabad-abad lamanya perempuan hidup dalam tatanan patriarki
sehingga aktivitas yang dilakukan lebih bernuansa melayani dalam segala aspek.
Perempuan harus memenuhi kewajiban sebagai ibu rumah tangga, mengasuh
anak, dan melayani suami sedangkan perkara-perkara yang ada di luar rumah
tangga merupakan wilayah tabu.
Realita penindasan yang dipaparkan di atas telah mengilhami para
perempuan untuk mewujudkan gerakan pembebasan yang kemudian diistilahkan
dengan feminisme. Feminisme merupakan teori tentang hak bagi perempuan yang
terorganisir untuk mencapai hak asasi perempuan dan sebuah ideologi
transformasi sosial yang bertujuan untuk menciptakan dunia bagi perempuan
melampaui persamaan sosial yang sederhana (Humm, 2002:158).
Saat ini banyak sekali karya sastra perempuan yang menceritakan tentang
masyarakat terutama terhadap kaum laki-laki dan kelemahan yang ada pada diri
perempuan dapat dihapuskan. Seperti halnya anggapan bahwa karya pujangga
laki-laki yang lebih utama dan kompeten daripada perempuan sehingga
perempuan hanya sebagai objek dan penikmat saja dalam dunia sastra. Hal
tersebut menggambarkan sebuah hubungan antara keberadaan pengarang,
pembaca, dan gambaran perempuan di dunia sastra.
Kini, para pengarang perempuan telah memperlihatkan keberadaan dan
kepiawaiannya dalam membuat karya sastra. Di dunia Barat khususnya, seperti
pengarang perempuan Tracy Chevalier yang mengarang novel The Virgin Blue.
Chevalier menulis dengan penuh keberanian dan penuh imajinasi. Dia
mengisahkan perjuangan hidup Isabelle dalam mendapatkan kebebasan dari
penghinaan yang ia terima dari orang-orang disekitarnya dan perjuangan Ella
Turner dalam perjuangan mendapatkan hati dari warga yang berada di Negara
Perancis.
Feminisme liberal adalah gerakan yang tercermin dari setiap perjuangan
yang dilakukan oleh para wanita untuk menuntut hak kebebasan (Humm,
2002:250). Dalam novel tersebut, penulis berfokus kepada karakter dua tokoh
wanita dalam novel The Virgin Blue yaitu Isabelle Du Moulin dan Ella Turner.
Isabelle Du Moulin dikenal sebagai La Rousse, ia mendapatkan penindasan dari
warga disekitarnya karena rambut merahnya. Sedangkan Ella Turner adalah
seorang warga Amerika yang kemudian ia pindah ke Perancis, namun ia sulit
beradaptasi dengan komunitas kota Prancis tersebut. Ketika ia berada di Perancis
tersebut terdapat leluhurnya yaitu Isabelle Du Moulin sehingga suatu hari ia
mencoba mencari tahu asal usul tentang leluhurnya tersebut. Oleh karena itu,
penulis fokus terhadap dua karakter tersebut. Penulis tertarik dalam novel tersebut
karena terdapat perjuangan wanita untuk mendapatkan hak kebebasan. Dengan
alasan tersebut, penulis mengambil judul Analisis Karakter Dua Tokoh Wanita
dari Sudut Pandang Feminisme Liberal dalam Novel The Virgin Blue Karya Tracy Chevalier.
1.2Rumusan Masalah
1. Apakah karakteristik dari feminism liberal yang muncul dalam karakter
Isabelle?
2. Apa pengaruh Isabelle sebagai representasi feminisme liberal terhadap
karakter Ella Turner?
1.3Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menggambarkan karakteristik feminism liberal yang muncul dalam
karakter Isabelle.
2. Mengidentifikasikan pengaruh Isabelle sebagai representasi karakter
feminisme liberal terhadap karakter Ella Turner.
1.4Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat memberikan manfaat dan hasil penelitiannya dapat
1. Penulis, untuk meningkatkan konsep pengetahuan tentang sastra dan
memperkaya pengalaman penulis untuk mengetahui tentang feminisme.
2. Pencinta sastra, hasil penelitian ini dapat ditingkatkan ilmu pengetahuan
dan pengalaman tentang karya sastra.
3. Peneliti sastra, hasil penelitian ini juga dapat digunakan sebagai
pembanding dan orientasi untuk penelitian selanjutnya,
1.5Kerangka Pemikiran
Didalam penelitian ini, penulis mengambil teori utama dari Rosemarie
Putnam Tong tentang feminisme liberal. Feminism liberal adalah tindakan wanita
yang tercermin dalam setiap perjuangan mereka. Penulis memilih data
berdasarkan pendidikan, politik, ekonomi, sosial dan psikologi.
Karakter dalam penelitian ini akan di analisis berdasarkan data-data yang
ada. Kedua karakter tersebut adalah Isabelle Du Moulin dan Ella Turner. Di dalam
novel tersebut Isabelle tidak pernah dihargai oleh keluarga suaminya dan
orang-orang disekitarnya. Bahkan ia dihina dan dihindari karena rambutnya berubah
warna dan ia adalah seorang gadis dari keluarga sederhana dan berkeyakinan
Katolik. Sedangkan Ella adalah seorang warga Amerika yang ikut suaminya
bekerja di Perancis. Ketika baru tinggal di negara itu, ia merasa terisolasi dari
warga Perancis karena ia tidak bisa berbahasa Perancis karena warga tersebut
Gambar 1.1
Kerangka Pikiran
Pendidikan Ekonomi
Karakter Isabelle
Feminisme Liberal dari Rosemarie Putnam Tong
Pengaruh karakter Isabelle terhadap Ella Turner.
Novel The Virgin Blue
6 2.1 Feminisme
2.1.1 Sejarah feminisme
Lahirnya gerakan Feminisme yang dipelopori oleh kaum perempuan
terbagi menjadi dua gelombang dan pada masing-masing gelombang memiliki
perkembangan yang sangat pesat. Diawali dengan kelahiran era pencerahan yang
terjadi di Eropa dimana Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condoracet
sebagai pelopornya. Menjelang abad 19 gerakan feminisme ini lahir di
negara-negara penjajahan Eropa dan memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai
universal sisterhood.
A. Gelombang Pertama
Kata feminisme sendiri pertama kali dikreasikan oleh aktivis
sosialis utopis yaitu Charles Fourier pada tahun 1837. Kemudian
pergerakan yang berpusat di Eropa ini pindah ke Amerika dan berkembang
pesat sejak adanya publikasi buku yang berjudul the subjection of women
(1869) karya John Stuart Mill, dan perjuangan ini menandai kelahiran
gerakan feminisme pada gelombang pertama.
Memang gerakan ini sangat diperlukan pada saat itu (abad 18)
karena banyak terjadi pemasungan dan pengekangan akan hak-hak
perempuan. Selain itu, sejarah dunia juga menunjukkan bahwa secara
dan dinomorduakan oleh kaum laki-laki atau maskulin terutama dalam
masyarakat patriaki. Dalam bidang-bidang sosial, pekerjaan, pendidikan
dan politik, hak-hak kaum perempuan biasanya lebih inferior ketimbang
apa yang dinikmati oleh laki-laki, apalagi masyarakat tradisional yang
berorientasi Agraris cenderung menempatkan kaum laki-laki didepan, di
luar rumah dan kaum perempuan di rumah. Situasi ini mulai mengalami
perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan tejadinya
Revolusi Perancis di abad ke-18 dimana perempuan sudah mulai berani
menempatkan diri mereka seperti laki-laki yang sering berada di luar
rumah
Selain itu, suasana tersebut diperparah dengan adanya
fundamentalisme agama yang cenderung melakukan opresi terhadap kaum
perempuan. Di lingkungan agama Kristen pun ada praktek-praktek dan
khotbah-khotbah yang menunjang situasi demikian, ini terlihat dalam fakta
bahwa banyak gereja menolak adanya pendeta perempuan bahkan jemaat
pun hanya dapat dijabati oleh pria. Banyak khotbah-khotbah mimbar
menempatkan perempuan sebagai makhluk yang harus tunduk kepada
suami.
Maka, dari latar belakang demikian, di Eropa berkembang gerakan
untuk menaikkan derajat kaum perempuan tetapi gaungnya kurang keras,
baru setelah di Amerika Serikat terjadi revolusi sosial dan Politik,
perhatian terhadap hak-hak kaum perempuan mulai mencuat. Tahun 1792
right of Woman yang isinya dapat dikatakan meletakan dasar
prinsip-prinsip feminisme dikemudian hari. Pada tahun-tahun 1830-1840 sejalan
terhadap pemberantasan praktek perbudakan, hak hak kaum perempuan
mulai diperhatikan, jam kerja dan gaji kaum ini mulai diperbaiki dan
mereka memberi kesempatan ikut dalam pendidikan dan diberi hak pilih,
sesuatu yang selama ini dinikmati oleh kaum laki-laki.
Secara umum pada gelombang pertama dan kedua hal-hal berikut
ini yang menjadi momentum perjuangannya adalah gender inequality,
hak-hak perempuan, hak-hak reproduksi, hak-hak berpolitik, peran gender, identitas
gender dan seksualita.
B. Gelombang Kedua
Setelah berakhirnya perang dunia kedua, yang ditandai dengan
lahirnya Negara-negara baru yang terbebas dari penjajahan negara-negara
Eropa maka lahirlah gerakan Feminisme gelombang kedua pada tahun
1960 dimana fenomena ini mencapai puncaknya dengan diikutsertakannya
kaum perempuan dan hak suara perempuan dalam hak suara parlemen.
Pada tahun ini merupakan awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih
dari selanjutnya ikut mendiami ranah politik kenegaraan.
Feminisme liberal gelombang kedua dipelopori oleh para feminis
Perancis seperti Helene Cixous (seorang yahudi kelahiran Algeria yang
kemudian menetap di Perancis) dan Julia Kristeva (seorang Bulgaria yang
kemudian menetap di Perancis) bersamaan dengan kelahiran
mengkritik logosentrisme yang banyak didominasi oleh nilai-nilai
maskulin. Sebagai bukan white-Anglo-American Feminist, dia menolak
essensialisme yang sedang marak di Amerika pada waktu itu. Julia
Kristeva memiliki pengaruh kuat dalam wacana pos-strukturalis yang
sangat dipengaruhi oleh Foucault dan Derrida.
Secara lebih spesifik banyak feminis- individualis kulit putih dan
meskipun tidak semua, mengarahkan obyek penelitiannya pada
perempuan-perempuan dunia ketiga, meliputi negara-negara Afrika, Asia
dan Amerika Selatan. Dalam berbagai penelitian tersebut, telah terjadi
proses universalisme perempuan sebelum memasuki konteks relasi
sosialis, agama, ras dan budaya.
Banyak kasus menempatkan perempuan dunia ketiga dalam
konteks “all women”dimana semua perempuan adalah sama. Dalam beberapa karya sastra novelis perempuan kulit putih yang ikut dalam
perjuangan feminisme yang masih terdapat lubang hitam, yaitu tidak
adanya representasi perempuan perempuan budak dari tanah jajahan
sebagai subyek. Penggambaran pejuang feminisme adalah masih
mempertahankan posisi budak sebagai pengasuh bayi dan budak pembantu
di rumah-rumah kulit putih.
Perempuan dunia ketiga tenggelam sebagai penderita yang sama
sekali tidak memiliki politik agensi selama sebelum dan sesudah perang
dunia kedua. Pejuang tanah Eropa yang lebih mementingkan kemerdekaan
negara-negara terjajah dipimpin oleh elit nasionalis dari kalangan pendidikan,
politik, dan militer yang kesemuanya adalah laki-laki. Pada era itu
kelahiran feminisme gelombang kedua mengalamai puncaknya. Tetapi
perempuan dunia ketiga masih dalam kelompok yang bisu.
Dengan keberhasilan gelombang kedua ini, perempuan dunia
pertama melihat bahwa mereka perlu menyelamatkan
perempuan-perempuan yang teropresi di dunia ketiga, dengan asumsi bahwa semua
perempuan adalah sama.
2.1.2 Pengertian Feminisme
Seiring dengan pergerakannya untuk memperjuangkan emansipasi wanita,
dan menghapuskan gender, feminisme bisa dikatakan sebagai sebuah ideology
yang berusaha melakukan pembongkaran system patriarki, mencari akar atau
penyebab ketertindasan perempuan serta mencari pembebasannya. Dengan kata
lain feminisme adalah teori untuk pembebasan wanita. Seperti yang pernyataan
berikut ini;
Dari ungkapkan teori diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa gerakan
feminisme dilakukan untuk mencari keseimbangan gender. Gerakan feminisme
adalah gerakan pembebasan perempuan dari rasisme, stereotyping, seksisme,
penindasan perempuan, dan phalogosentrisme.
Keseimbangan gender adalah untuk mensejajarkan posisi maskulin dan
feminin dalam konteks satu budaya tertentu. Hal ini dikarenakan, dalam satu
budaya tertentu feminine sering dianggap inferior, tidak mandiri dan hanya
menjadi subjek. Untuk itu feminisme bisa juga dikatakan sebagai gerakan untuk
memperjuangkan kaum perempuan menjadi mandiri.
Karena gerakan feminisme ini merupakan sebuah ideologi yang bertujuan
untuk menciptakan dunia bagi kaum perempuan untuk mencapai kesetaraan
sosial, feminisme berkembang menjadi beberapa bagian seperti feminisme liberal,
feminisme radikal, feminisme anarkis, feminisme sosialis, feminisme
postkolonial, feminisme postmodern, feminisme sosialis. Pembahasan mengenai
Feminisme Liberal akan dibahas pada penelitian ini, dengan tujuan adanya
pembahasan Feminisme Liberal yang lebih terfokus mengingat aliran Feminisme
ini adalah konsep yang akan dianalisis yang tersirat pada karakter Isabelle dan
Ella Turner.
2.1.3 Feminisme Liberal
Feminisme liberal adalah salah satu bentuk feminisme yang mengusung
adanya persamaan hak untuk perempuan dapat diterima melalui cara yang sah dan
perbaikan perbaikan dalam bidang sosial, dan berpandangan bahwa penerapan
laki-laki. Hal tersebut seiring dengan beberapa sumber teori mengenai feminisme
liberal;
Apa yang disebut sebagai feminisme liberal ialah pandangan untuk
menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual.
Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas
dan pemisahan antara dunia pribadi dan umum. Setiap manusia mempunyai
kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasionl, terutama pada perempuan,
akar ketertindasan dan keterbelakangan pada perempuan ialah karena disebabkan
oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar
mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka persaingan bebas dan punya
kedudukan setara dengan laki-laki.
Selain itu pendapat tersebut diatas, sejalan dengan apa yang dipaparkan
oleh Tong (2006:18) bahwa:
Tujuan umum dari feminisme liberal adalah untuk menciptakan “masyarakat yang adil dan peduli tempat kebebasan berkembang”. Hanya dalam masyarakat seperti itu, perempuan dan juga laki-laki dapat mengembangkan diri.
Feminisme liberal berpandangan bahwa kaum perempuan harus
mempersiapkan dirinya untuk dapat mensejajarkan kedudukannya dengan
laki-laki dengan cara mengambil berbagai kesempatan yang menguntungkan serta
mengenyam pendidikan, mengingat bahwa perempuan adalah mahluk yang
rasional dan bisa berpikir seperti laki-laki.
Feminisme liberal menginginkan kebebasan untuk kaum perempuan dari
opresi, patriarkal, dan gender. Aliran ini juga mencakup 2 bentuk pemikiran
percaya bahwa idealnya, negara harus menjaga kebebasan rakyatnya, dan juga
memberi kesempatan kepada individu-individu untuk menentukan
kepemilikannya. Disisi lain, Welfare Liberalism, percaya bahwa Negara harus
fokus akan keadilan ekonomi daripada kemudahan-kemudahan untuk kebebasan
sipil. Mereka menganggap program pemerintah seperti keamanan sosial dan
kebebasan sekolah sebagai cara untuk mengurangi ketidakadilan dalam masyrakat
sosial. Baik classical maupun Welfare Liberalism percaya bahwa campur tangan
pemerintah dalam kehidupan pribadi mereka tidaklah dibutuhkan. (Tong: 2006).
Feminisme liberal juga menciptakan dan mendukung perundanga-
undangan yang menghapuskan halangan-halangan pada perempuan untuk maju.
Perundang-undangan ini memperjuangkan kesempatan dan hak untuk perempuan,
termasuk akses yang mudah dan setaranya upah yang diterima oleh perempuan
dengan laki- laki.
Perkembangan gerakan feminisme liberal sendiri terbagi menjadi 3 tahap
yaitu:
1. Perkembangan feminisme pada abad 18. Pada abad 18 gerakan feminisme
liberal menyuarakan pendidikan yang sama untuk perempuan. Karena
lahirnya gerakan feminisme liberal ini berawal dari anggapan nalar
laki-laki dan perempuan memiliki kapasitas yang berbeda maka kaum
feminisme liberal mengusung pendidikan sebagai jalan untuk
menyetarakan kemampuan nalar laki-laki dengan perempuan, selain itu
melalui pendidikan juga perempuan dapat menyetarakan posisinya
itu hak pendidikan bagi perempuan juga dilator belakangi oleh kritikan
Wollstonecraft terhadap Email sebuah novel karya Jean Jackques Rosseau
yang membedakan pendidikan bagi laki-laki dan perempuan. Dalam novel
tersebut diceritakan bahwa pendidikan yang diterima oleh laki-laki lebih
menekankan pada hal-hal yang rasional dan ilmu-ilmu yang mempelajari
ilmu alamiah, sosial dan humaniora karena nantinya akan menjadi seorang
kepala keluarga, sedangkan pendidikan yang diterima oleh perempuan
lebih menekan pada emosional atau ilmu-ilmu seperti pusisi dan seni
karena nantinya perempuan akan menjadi seorang istri yang pengertian,
perhatian dan keibuan. Dari hal tersebut maka feminisme liberal
menyuarakan jalan keluar sebuah pendidikan yang setara dengan laki-laki
dengan cara mengajarkan hal-hal yang rasionalitas sehingga perempuan
juga dapat menajdi mahluk yang mandiri (Tong; 2006).
2. Perkembangan feminisme liberal pada abad 19. Pada abad ini kaum
feminisme liberal menyuarakan hak hak sipil yang harus diterima oleh
kaum perempuan dan kesempatan Ekonomi bagi perempuan. Kaum
feminisme liberal memiliki pendapat bahwa pendidikan saja tidak cukup
untuk mencapai kesetaraan antara laki-laki dengan perempuan. Untuk itu,
harus ada kesempatan ekonomi yang harus diberikan pada perempuan agar
kesetaraan dapat dicapai. Kesempatan untuk berperan dalam ekonomi dan
dijamin hak-hak sipil bagi perempuan diantara hak untuk berorganisasi,
hak untuk kebebasan berpendapat, hak untuk memih dan hak milik pribadi.
3. Perkembangan feminisme liberal abad 20. Pada abad ini perkembangan
feminisme liberal ditandai dengan lahirnya gerakan atau organisasi yang
menyurakan hak-hak perempuan, seperti NOW (National Organization for
Women). Organisasi ini juga tidak lain bertujuan menyarakan agar
perempuan dapat memiliki hak atau kesempatan pendidikan dan ekonomi
agar dapat setara dengan laki-laki. (Tong; 2006).
Selain itu, pada masa perkembangannya, feminisme liberal juga diiringi
oleh perkembangan terbitnya buku-buku yang menyuarakan hak-hak perempuan.
Seperti the Feminine Mysitique dan the Second Stage.
2.1.4 Feminisme dan Sastra
Karena yang menjadi bahan analisis adalah sebuah novel yang
merepresentasikan feminisme maka sudah sepatutnya jika penulis memaparkan
perkembangan atau peran gerakan feminisme dalam kesusastraan terutama yang
tertuang dalam novel. Di dunia sastra Barat memang terjadi pengklasifikasian
antara laki-laki dan perempuan dalam bidang kesusastraan. Hal ini menyangkut
peran laki-laki yang lebih dominan dan menganggap perempuan sebagai objek.
Tokoh yang sangat terkenal dalam perkembangan gerakan feminisme dalam
bidang kesusastraan adalah Elaine Showalter. Ia adalah yang memperkenalkan
ginokritik. Definisi ginokritik sendiri adalah sebuah kajian yang menjelaskan
mengenai gambaran karya sastra yang membahas perbedaan hasil penulisan
laki-laki dengan perempuan. Seperti yang diungkapkan oleh Showalter dalam
Contemporary Literary Criticsm karya Robert Con Davis (1994) bahwa kajian
perhatian bahwa perempuan memang berperan dalam sebuah pembuatan karya
sastra. Baik itu sebagai pengarang ataupun pembaca, dimana ketika sebuah karya
sastra ditulis oleh perempuan maka akan menimbulkan kesan tertentu dan
menunjukkan bahwa memang perempuan memang ada dalam karya sastra.
Ginokritik juga memaparkan hubungan perempuan dengan teks-teks yang dibuat
oleh pengarang perempuan, hubungan tulisan perempuan dengan tubuh
perempuan, tulisan perempuan dengan bahasa perempuan, tulisan perempuan
dengan psikis perempuan dan hubungan perempuan dengan budaya perempuan.
Pergerakan feminisme yang merambat ke dunia sastra juga memiliki
hubungan dengan peran feminisme dalam diri pengarang dan peran feminisme
yang dapat tercermin dalam sebuah tokoh cerita. Cerminan feminisme dalam
sebuah tokoh cerita dapat terlihat ketika seorang tokoh cerita mengalami
pergerakan untuk berubah dan berjuang untuk pembebasan dirinya dari
ketertindasan dan perjuangan untuk mendapatkan kesetaraan hak yang adil sama
seperti yang dimiliki oleh laki-laki.
2.2 Interaksi Sosial
Interaksi sosial adalah suatu hubungan antara individu atau lebih, di mana
kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki
kelakuan individu yang lain atau sebaliknya (H.Bonner dalam Abu Ahmadai;
2007, 49). Kehidupan manusia dalam masyarakat mempunyai dua macam fungsi
yaitu sebagai objek dan subjek. Jika manusia hanya sebagai objek semata-mata
sehigga kehidupa manusia tidak akan mungkin timbul kemajuan. Sebaliknya jika
manusia sebagai subjek semata-mata, maka ia tidak mungkin bisa hidup
bermasyarakat, sebab pergaulan baru bisa saja terjadi apabila ada give and take
dan masing-masing anggota masyarakat itu. Intinya hidup individu dan
masyarakat tidak dapat dipisahkan dan selalu berinteraksi antara yang satu dengan
yang lain.
Faktor-faktor yang mendasari berlangsungnya interaksi sosial adalah
faktor imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati. Dalam penelitian ini faktor yang
terlihat jelas adalah faktor imitasi. Faktor imitasi adalah seseorang meniru orang
lain mulai dari sikap, perilaku, gaya, cara berfikir, penampilan, keterampilan,
18 3.1 Objek Penelitian
Objek dalam penelitian ini adalah penggambaran feminisme dalam novel
The Virgin Blue karya Tracy Chevalier. Penulis melakukan penelitian terhadap
teks-teks yang mencerminkan adanya penindasan yang diterima Isabelle Du
Moulin dan Ella Turner serta perjuangannya dalam menghapus penindasan yang
terjadi pada kedua karakter tersebut.
3.2 Sumber Penelitian
Sumber penelitian ini adalah novel pertama yang ditulis oleh Tracy
Chevalier yaitu The Virgin Blue. Novel tersebut diterbitkan pada tahun 1997.
Novel ini adalah kisah tentang masa lalu yang dilihat dari sudut pandang
pemikiran modern. Penulis memilih novel tersebut sebagai sumber penelitian
karena adanya penindasan dan penghinaan terhadap dua karakter wanita yaitu
Isabelle Du Moulin dan Ella Turner yang kemudian mereka berjuang untuk
menghapus penindasan yang terjadi pada diri mereka. Oleh karena itu, penulis
menghubungkan karakter tersebut dengan Feminisme Liberal. Namun, apa yang
terjadi terhadap Isabelle berpengaruh terhadap Ella Turner melalui mimpi. Mimpi
tersebut telah mengganggunya secara psikis dan sosial. Pengaruh karakter Isabelle
3.2.1 Sinopsis
Novel The Virgin Blue menceritakan tentang kisah dua perempuan yaitu
Isabelle Du Moulin dan Ella Turner yang terpisah jarak empat abad. Isabelle hidup
pada abad ke-16 sedangkan Ella hidup pada abad ke-20.
Isabelle adalah seorang gadis dari keluarga miskin. Ketika ia masih kecil
rambutnya berubah warna. Sejak saat itu ia dianggap nenek sihir dan mendapat
penghinaan. Bahkan ia dituduh mempraktikan ilmu sihir. Suatu hari ia bertemu
dengan seorang pria bernama Etienne Tournier. Etienne adalah anak dari keluarga
kaya dan dihormati oleh penduduk desa. Pertemuan antara Isabelle dan Etienne
yang berujung kesengsaraan bagi Isabelle karena ia diperkosa oleh Etienne
sehingga ia mengandung anak dari pria itu. Ia sedih karena ia harus menikah
dengan orang yang tidak ia cintai dan juga ia harus berhadapan dengan keluarga
Etienne. Ia sudah menebak bahwa keluarga Etienne tidak akan pernah setuju
Etienne menikah dengan Isabelle karena Isabelle berasal dari orang tidak punya.
Etienne yang berkeyakinan protestan karena ia adalah kaum Huguenot tidak
diizinkan amenikah pada umur dua puluh empat tahun karena kaum Huguenot
mengizinkan anaknya menikah ketika mereka sudang menginjak usia dua puluh
lima tahun. Tapi akhirnya ia menikah juga dengan Etienne dan setelah pernikahan
tersebut ia selalu mendapat penindasan dari keluarga suaminya. Ia dan suaminya
mempunyai perbedaan keyakinan. Ia adalah seorang yang berkeyakinan Katolik
dan suaminya berkeyakinan protestan. Ia dilarang mengikuti keyakinannya itu
karena keluarga suaminya menganggap keyakinannya itu adalah sebuah sihir. Ia
perang agama antara kaum Huguenot yang berkeyakinan protestan dan umat
Katolik. Selain itu, karena warga tahu ia pindah keyakinan, ia dan keluarga
suaminya dicari oleh orang-orang Katolik sampai pada suatu hari ia pergi ke
sebuah tempat bernama Geneva. Disitu ia akhirnya mendapat kenyamanan dan ia
merasa aman disana. Keluarga Etienne pun tertolong olehnya dari kejaran
orang-orang Katolik tersebut dan menegaskan kepada Etienne dan adiknya yaitu Hannah
bahwa apa yang ia lakukan bukan karena sihir tapi sebuah keyakinan bahwa
kebenaran itu pasti akan datang.
Empat abad kemudian, seorang wanita berasal dari Amerika datang ke
Perancis ikut bersama suaminya yang mendapat tugas di salah satu kota di
Perancis yaitu Toulose. Setiap malam ia mendapatkan mimpi yang seolah mimpi
tersebut ia merasakan adanya batin. Ternyata orang yang ada didalam mimpi
tersebut adalah istri leluhurnya yang hidup empat abad yang lalu. Ia merasa
terganggu psikisnya dari mimpi-mimpi tersebut. Sebenarnya ia terisolasi di kota
itu karena orang-orang Perancis tidak ramah terhadap pendatang baru. Ia akhirnya
belajar bahasa Perancis dan ia mempunyai peningkatan dalam belajar bahasa itu.
Suatu ketika ia pergi ke sebuah perpustakaan dan disitu ia bertemu dengan Jean
Paul. Pria itu adalah seorang perpustakawan. Ia berkenalan dan akhirnya Ella
mencurahkan apa yang ada dalam pikiran dan isi hatinya. Ia menceritakan tentang
mimpi itu, padahal sebelumnya ia tidak pernah cerita tentang mimpi itu kepada
suaminya. Ia hanya tidak ingin suaminya mengira ia tidak bahagia hidup
bersamanya,. Ia pun akhirnya menemukan tentang leluhurnya itu sampai ia rela
leluhurnya itulah Ella dekat dengan Jean Paul. Setelah pencarian usai, ia
mengandung anak dari Rick suaminya. Ia pun mengatakan tentang kehamilannya
itu pada Rick dan akhirnya Rick menginginkan Ella dan dirinya pergi ke Jerman.
Namun ia tidak ingin pindah ke Negara tersebut karena ia merasa nyaman tinggal
di Perancis. ia pun menceritakan tentang hal ini kepada Jean Paul. Pria ini balik
bertanya kepada Ella dimana Ella merasa nyaman tinggal. Ella mengatakan bahwa
ia nyaman di Perancis. Jean Paul menerimanya tinggal di Perancis, apalagi Ella
sudah lancar berbahasa Perancis. akhirnya Ella dan suaminya tetap tinggal di kota
tersebut.
3.2.2 Biografi Pengarang
Tracy Chevalier lahir di Washington DC pada tahun 1962. Ia adalah
seorang novelis yang bukunya mendapat penjualan terbaik. Dia mendapatkan
gelar BA dalam bahasa inggris di Institute Oberline, Ohio. Dia pindah ke London
pada tahun 1984 bersama suami dan anaknya. Ia bekerja sebagai editor buku
referensi. Kemudian ia mendapatkan gelar MA di Universitas East Anglia,
Norwich, London.
Karirnya dimulai dengan novel The Virgin Blue pada tahun 1996, tetapi ia
terkenal ketika novel keduanya yang berjudul Girl with a Pearl Earring
memenangkan penghargaan sebagai penjualan terbaik karena novel tersebut
terjual hamper empat juta kopi ke seluruh dunia dan novel tersebut dibuat ke
dalam sebuah film. Kemudian novel falling Angel, Burning Bright dan novel
3.3 Metode Penelitian
Pada penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif dan deskriptif.
Metode ini digunakan karena fakta-fakta dalam novel tersebut akan digambarkan
kemudian dianalisis bahkan dijelaskan.
Qualitative research is designed to be consistent with the assumptions of a qualitative paradigm. This study is defined as an inquiry process of understanding a social or human problem, based on building a complex, holistic picture, formed with words, reporting detailed views of informants, and conducted in a natural setting (Creswell, 1994:1).
Disamping itu, analisis deskriptif akan digunakan sebagai metode dalam
penelitian ini. Metode ini akan dikaji dengan cara menganalisis data-data sehingga
akan ada deskripsi dalam penelitian ini.
Metode dalam penelitian ini menjelaskan seorang wanita didalam novel
The Virgin Blue dan itu digambarkan dengan fakta-fakta kemudian dianalisis
dengan teori-teori yang berkaitan dengan data-data tersebut.
3.3.1 Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan menganalisis dan memilah teks yang
mencerminkan adanya perjuangan feminisme liberal. Dalam proses penelitian ini,
penulis mengumpulkan data-data yang ditemukan didalam novel yang
berhubungan dengan karakter wanita kemudian data akan dianalisis kedalam teori
feminisme liberal.
3.3.2 Langkah-Langkah Penelitian 1. Mencari sumber data
Sumber data dalam penelitian ni adalah novel The Virgin Blue karya Tracy
2. Membaca isi novel The Virgin Blue
Setelah mengambil sumber data, penulis membaca isi novel dan mencoba
mencari data tentang karakter Isabelle didalam novel tersebut.
3. Memilih data yang mempunyai hubungan dengan karakter utama.
Penulis memilih data yang menunjukan karakter wanita sebagai data yang
akan dianalisis.
4. Menarik kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan.
3.4 Analisis Data
Dalam analisis ini, penulis akan menghubungkan bagaimana karakter
Isabelle merepresentasikan feminisme liberal. Penulis mengambil data-data yang
mencerminkan tindakan feminisme dalam karakter Isabelle dan kemudian
bagaimana perjuangannya untuk mencapai kebebasan. Tidak hanya keluarga tetapi
dengan tetangga dan orang-orang disekitarnya yang melakukan penindasan
terhadapnya.
Data 1
People don’t eat potatoes, Granpapa! Only poor beggars.
Kutipan teks di atas terjadi ketika Isabelle dan keluarga Tournier sedang
beada di wilayah pertanian keluarga Tournier. saat itu keluarga Tournier sedang
membersihkan kereta kudanya. Ketika Isabelle sedang membersihkan kereta kuda
tersebut, ia melihat sebuah karung dan ia bertanya kepada kakeknya Etienne yaitu
Petit Jean apa yang ada pada karung itu. Petit Jean memberi tahu bahwa yang ada
tertawa terbahak-bahak di tambah lagi Hannah mengatakan bahwa kentang bukan
makanan untuk manusia, tetapi itu hanya untuk pengemis miskin. Ayah Isabelle
geram atas penghinaan yang dilontarkan Petit Jean dan Hannah kepada putrinya.
Ia mengepalkan kedua telapak tangannya karena ia kesal terhadap prilaku mereka.
Isabelle pun demikian, ia tidak tahan atas prilaku mereka. Mereka sudah tidak
memiliki perasaan karena mereka sudah menyamakannya seperti binatang.
Padahal di dalam feminisme liberal, baik laki-laki maupun perempuan harus
memperlakukan satu sama lain sebagai seseorang yang setara, sebagai manusia
yang sama berharganya untuk dicintai. Begitu juga dengan Petit Jean ia
seharusnya memperlakukan Isabelle seperti ia memperlakukan cucu-cucunya
karena Isabelle adalah istri dari cucunya dan pastinya ia bagian dari keluarga
25
4.1 Penggambaran Karakteristik Feminisme Liberal Di Dalam Karakter Isabelle.
Subbab ini memaparkan bagaimana konsep Feminisme liberal
direpresentasi melalui penggambaran karakter perempuan dalam novel The Virgin
Blue. Penulis mengambil korpus yang mencerminkan adanya pergerakan
feminisme dalam diri Isabelle terhadap Ella Turner serta bagaimana perjuangan ia
dalam mencapai kebebasan. Ketertindasan yang dialami oleh Isabelle sendiri tidak
mutlak datang dari laki-laki, Tetapi hal tersebut juga datang dari tokoh perempuan
seperti Hannah. Penulis melakukan analisis terhadap korpus-korpus yang
merepresentasikan bagaimana penggambaran khususnya pada karakter Isabelle.
She was called Isabelle, and when she was a small girl her hair changed colour in the time it takes a bird to call to its mate.
The nickname lost its affection when Monsiuer Marcel arrived in the village a few years later, hands stained with tannin and words borrowed from Calvin. In his first sermon, in woods out of sight of the village priest, he told them that the Virgin was barring their way to the truth.
-La Rousse has been defiled by the statues, the candles, the trinkets. She is contaminated! He proclaimed. She stands between you and God! (Chevalier, 1)
Kutipan teks diatas menunjukkan adanya penghinaan terhadap Isabelle Du
Moullin. Ia adalah seorang gadis yang ketika ia masih kecil rambutnya berubah
warna. Ketika Monsiuer marcel tiba di desa tersebut, ia melihat rambut Isabelle
rambut itu ia di anggap nenek sihir. Terlebih lagi Isabelle termasuk orang yang
mempunyai status perekonomian yang rendah. Tidak seperti halnya laki-laki, ia
tidak akan menerima perlakuan seperti Isabelle yang dihina ketika rambutnya
berubah karena anggapan tersebut hanya untuk wanita saja. Padahal menurut Tong
feminisne liberal bersikeras bahwa laki-laki, seperti juga perempuan harus
memperlakukan satu sama lain sebagai seseorang yang setara, sebagai manusia
yang sama berharganya untuk dicintai. (2004; 61)
Terlihat Monsieur Marcel menganggap rendah Isabelle. Hal ini
dikarenakan ia adalah seorang perempuan dan ia mempunyai status sosial yang
rendah. Perempuan kelas bawah selalu menjadi objek penderita ketika keadaan
tidak berpihak pada dirinya. Tidak ada sedikitpun penghargaan terhadap
perempuan dan tidak ada anggapan bahwa perempuan itu juga layak dihargai,
sama seperti manusia lain yang mempunyai perasaan dan nalar. Penjelasan di atas
adalah sebuah gambaran bahwa laki-laki memperlakukan perempuan seenaknya,
tidak memandang perempuan itu masih kecil atau sudah dewasa. Menyikapi hal
ini, Isabelle tidak bisa berbuat apa-apa, saat itu ia hanya bisa diam dan menerima
penindasan terhadap dirinya. Mungkin disebabkan karena ia belum mempunyai
kekuatan untuk berpikir bagaimana caranya agar ia terlepas dari penghinaan yang
dialaminya selama ini.
Penghinaan yang terjadi pada Isabelle tidak hanya datang dari kaum pria
dewasa, melainkan dari anak-anak remaja.
-did you hear, La Rousse? You’re dirty! He shouted. (Chevalier, 1)
Kutipan tersebut mencerminkan bahwa Isabelle sangat terhina. Bahkan
anak-anak laki yang masih kecil juga bisa menghinanya. Anak laki-laki tersebut
yang merasa ingin tahu rambut Isabelle berusaha mengambil rambut itu dan
mereka berhasil mengambil rambut itu. Dari kejadian itu ia merasa tidak dihargai
oleh mereka yang hanya menganggap ia sebelah mata saja. Menurut Friedan
dalam pendapatnya tentang feminisme liberal, perempuan perlu menjadi sama
dengan laki-laki untuk menjadi setara dengan laki-laki, dan perempuan dapat
menjadi setara dengan laki-laki jika masyarakat menghargai yang feminin dan
maskulin.
Perempuan mempunyai hak dalam kebebasannya, baik kebebasan
berpendapat maupun kebebasan memilih, melainkan juga kebebasan untuk
memiliki pendidikan;
Can you read? No, but I can write. What do you write?
I write my name. And I can write your name, he added confidently. Show me. Teach me.
Etienne smiled teeth half-showing. He took a fistful of her skirt and pulled. I will teach you, but you must pay, he said softly, his eyes narrowed till the blue barely showed. (Chevalier, 12)
Percakapan itu terjadi ketika Isabelle bertemu Etienne. Etienne adalah
seorang pria yang berasal dari keluarga yang terkenal di kota tersebut yaitu
Tournier. Dari kutipan diatas, Etienne bertanya kepada Isabelle apakah ia bisa
membaca dan Isabelle pun menjawab bahwa ia tidak bisa membaca tetapi ia bisa
bersekolah karena ia memiliki latar belakang dari keluarga yang status sosialnya
rendah. Karena hal tersebut Etienne diminta mengajarkan Isabelle membaca,
namun Etienne meminta bayaran. Pada abad ke-16 tersebut, wanita yang memiliki
status sosial yang rendah tidak dapat meraih pendidikan karena yang bisa meraih
pendidikan hanya dari kalangan orang-orang bangsawan. Padahal perempuan
mempunyai kapasitas otak yang sama maka perempuan juga harus mempunyai
kesempatan pendidikan yang sama. Wollstonecraft berpendapat melalui Tong
bahwa ia juga mendukung dan menegaskan bahwa pendidikan adalah unsur
penting untuk perempuan dalam aliran feminisme liberal dan masyarakat itu
sendiri wajib memberikan pendidikan kepada perempuan, seperti juga kepada
laki-laki karena semua manusia berhak mendapatkan kesempatan yang setara
untuk mengembangkan kapasitas nalar dan moralnya, sehingga mereka dapat
menjadi manusia yang utuh. (2004, 21)
Ketika Isabelle ingin belajar kepada pria tersebut, ia mendapatkan
perlakuan yang tidak baik dari Etienne.
Now you must pay, Etienne said, smiling. He pushed her over the boulder, stood behind her, and pulled her skirt up and his breeches down. He parted her legs with his kness and with his hand held her apart so that he could enter suddenly, with a quick thrust. Isabelle clung to the boulder as Etienne moved against her. Then with a shout he pushed her shoulders away, bending her forward so that her face and chest pressed hard against the rock. (Chevalier, 13-14)
Teks di atas menunjukkan bahwa Etienne mengambil kesempatan untuk
memperkosa Isabelle ketika ia diminta Isabelle untuk mengajarkannya membaca.
Etienne pun menganggap Isabelle sebagai manusia yang rendah. Ia tidak pernah
Sejalan dengan pemikiran Wollstonecraft melalui Tong bahwa perempuan
harus menjadi manusia yang utuh karena perempuan bukanlah mainan laik-laki,
atau lonceng milik laki-laki yang harus berbunyi pada telinganya tanpa
mengindahkan nalar saat ia ingin dihibur. Perempuan bukanlah sekedar alat atau
instrument, untuk kebahagiaan atau kesempurnaan orang lain. Sebaliknya
perempuan merupakan suatu tujuan, suatu agen bernalar, yang harga dirinya ada
dalam kemampuannya untuk menentukan nasibnya sendiri. Laki-laki yang
memperlakukan perempuan sebagai sekedar alat adalah sama dengan
memperlakukan orang tersebut sebagai manusia yang bukan untuk dirinya,
melainkan sebagai alat bagi orang lain. (2004; 22)
Dari kejadian perkosaan itu, Isabelle pun mengandung anak dari Etienne.
Isabelle pun menceritakan kepada orangtuanya bahwa ia telah diperkosan oleh
Etienne dan mengandung anak dari pria tersebut. Orangtuanya meminta Etienne
untuk bertanggungjawab apa yang sudah ia perbuat kepada Isabelle. Isabelle
bertemu dengan Etienne untuk membicarakan hal tersebut. Isabelle meminta
Etienne untuk bertanggung jawab untuk menikahinya karena ia telah mengandung
anak dari pria itu. Etienne pun mau bertanggung jawab untuk menikahi Isabelle.
Setelah pertemuan itu, Etinne membawa Isabelle ke rumahnya untuk
membicarakan permasalahan mereka.
The room was silent. Hannah’s face looked like granite. Isabelle is going to I have a child, Etienne said in a low voice. With your permission we would like to marry. It was the first time he had ever used Isabelle’s name. Hannah voice pierced.
-You carry whose child, La Rousse? Not Etienne’s. -it is Etienne child.
Keluarga Tournier terkejut dan tidak percaya ketika Etienne mengatakan
bahwa Isabelle telah mengandung anaknya, Keluarga Tournier tidak terima
Isabelle mengandung anak dari Etienne. Tapi kenyataannya anak yang dikandung
Isabelle merupakan anak Etienne. Mereka tidak mau menerima Isabelle karena
perbedaan status sosial, ternyata perbedaan status sosial dapat mempengaruhi
seseorang untuk memutuskan dan mengakui sesuatu. Seseorang merasa malu
untuk mengakui kalau dia memiliki keluarga yang miskin, tidak memiliki apa-apa.
Mungkin hal ini dikarenakan akan merusak dan mencoreng nama baik keluarga
Tournier jika ia diketahui memiliki keluarga yang tidak memiliki kekayaan. Tdak
seperti halnya Etienne, ia adalah orang yang memperkosa Isabelle, namun
anggapan keluarga Etienne tetap saja Isabelle yang salah dan direndahkan. Semua
itu tidak lain disebabkan karena status sosialnya yang rendah di mata keluarga
Tournier. Seharusnya perbedaan status sosial tidak menjadi penghalang bagi
perempuan untuk mencapai kesetaraan dalam hidupnya (Tong.2004:23).
Go and wait outside, La Rousse, Jean said quietly, you go with her, Susanne. (Chevalier, 21)
Percakapan masih terus berlanjut, namun ketika keadaan memanas Isabelle
diusir keluar oleh Jean Tournier yang tidak lain adalah ayah dari Etienne. Ia ingin
menenangkan pikirannya dan Ia tidak mau berdiskusi tentang masalah itu dengan
adanya Isabelle didalam rumahnya. Sebelum menikah ia pun sudah mendapatkan
perlakuan yang tidak menyenangkan dari keluarga calon suaminya. Ia hanya bisa
pasrah dengan situasi saat itu. Bukan hanya faktor perekonomian yang menjadi
lima tahun. Etienne merupakan kaum Huguenot. Di dalam keyakinan Huguenot
umatnya harus menikah minimal pada usia dua puluh lima tahun, sedangkan saat
itu umur Etienne baru dua puluh empat tahun. Namun mereka tetap saja harus
menikah karena Isabelle telah mengandung anak Etienne. Etienne menikahi
Isabelle tanpa izin dari keluarganya.
Dari situasi keluarga Etienne tersebut, Isabelle berpikir mereka tidak
menyukainya karena mereka melihat keadaan keluarga Isabelle yang rendah,
seperti data berikut;
They don’t want us to marry. Isabelle thought. My family is poor, we have nothing, but they are rich, they have a Bible, a horse, they can write. They marry their cousins, they are friends with Monsieur Marcel. Jean Tournier is the Duc de l’Aigle’s syndic, collecting tax from us. They would never accept as their daughter a girl they call La Rousse. (Chevalier, 15)
Isabelle memang terpaksa menikah dengan Etienne karena ia telah
mengandung anak Etienne. Ia telah diperkosa oleh Etienne, karena hal itu ia
menikah tanpa dengan rasa cinta. Tapi ia harus menikah dengan Etienne walaupun
status sosial yang ia dapat juga sangat berpengaruh ketika ia akan menikah dengan
Etienne. Isabelle terlahir dari keluarga yang miskin, tidak seperti Etienne yang
terlahir dari keluarga kaya. Karena status sosialnya keluarga Etienne tidak mau
mengakuinya. Ternyata perbedaan status sosial dapat mempengaruhi seseorang
untuk memutuskan sesuatu. Seseorang merasa malu untuk mengakui kalau dia
memiliki keluarga yang miskin, tidak memiliki apa-apa. Mungkin hal ini
dikarenakan akan merusak dan mencoreng nama baik seseorang khususnya
keluarga Etienne jika ia diketahui memiliki keluarga yang tidak memiliki
Isabelle dibenci oleh keluarga Tournier, tetapi juga karena Isabelle di anggap
sebagai La Rousse karena rambut pirangnya membuat ia di anggap nenek sihir
oleh penduduk desa itu. Padahal di dalam feminisme liberal perbedaan status
sosial, seharusnya tidak menjadi penghalang bagi perempuan untuk mencapai
kebebasan dan kesetaraan dalam hidupnya.
Isabelle tidak habis pikir mengapa keluarga Tournier begitu membencinya
hanya karena melihat latar belakang pribadi dan keluarganya. Apalagi setelah
menikah Isabelle akan tinggal bersama keluarga Tournier karena Etienne tidak
ingin tinggal bersama keluarga Isabelle. Ia pun bicara kepada Etienne jika nanti ia
tinggal bersama keluarga Tournier, mereka akan lebih tidak menyukainya.
If they don’t like you, he said softly, it’s your own fault, La Rousse. Isabelle’s arms stiffened, her hands curled into fist. I have done nothing wrong! She cried. I believe in the Truth. (Chevalier, 16)
Isabelle berpikir Etienne akan menjawab pertanyaannya dengan jawaban
yang menyenangkan buat dirinya, tetapi sebaliknya, Isabelle merasakan adanya
ketidakadilan untuknya. Ia merasa selalu disalahkan oleh orang-orang
disekitarnya. Ia hanya bisa menangis dan ia yakin bahwa kebenaran akan datang.
Dari kutipan tersebut terlihat adanya deskriminasi gender terhadap Isabelle.
Bukan hanya perlakuan yang tidak menyenangkan yang diterima Isabelle
setelah mereka menikah nanti. Namun masalah pekerjaan juga di permasalahkan.
When you are my wife, he said, you will not be a midwife. (Chevalier, 16)
Etienne tidak ingin Isabelle bekerja ketika mereka sudah menikah. Hal itu
menunjukkan bahwa perempuan tidak diperkenankan untuk bekerja. Seperti yang
hanya diperkenankan untuk mengurusi rumah dan suaminya. Menurut Taylor
bahwa tugas perempuan dan laki-laki adalah untuk mendukung kehidupan.
Mereka juga harus mencari kesempatan untuk menjadi partner laki-laki dalam
usaha dan keuntungan. Seorang perempuan harus memilih antara fungsi sebagai
istri dan ibu disatu sisi, dan bekerja di luar rumah di sisi lain. Perempuan juga
mempunyai pilihan ketiga yaitu menambahkan karir atau pekerjaan ke dalam
peran serta tugas domestik dan maternalnya. Bahkan Taylor juga menegaskan
bahwa perempuan yang sudah menikah tidak dapat menjadi orang yang
sungguh-sungguh setara dengan suaminya, kecuali jika ia mempunyai kepercayaan diri dan
rasa bahwa ia berhak atas kesetaraan itu yang muncul dari kontribusi material
untuk menopang keluarga (Tong 2004; 25). Tetapi yang terjadi pada Isabelle ia
diharuskan untuk mengurusi rumah dan suaminya.
Isabelle dan Etienne akhirnya menikah walaupun di hati Isabelle ia tidak
mencintai suaminya. Ia yang tadinya beragama Katolik beralih ke agama
Protestan dimana keluarga Tournier yakini. Ia berpindah keyakinan karena untuk
menghargai suaminya walaupun sebenarnya hati nya masih meyakini bahwa
agama yang ia anut sebelumnya adalah agama yang tepat bagi dirinya, bahkan di
balik keluarga Tournier ia masih meyakini agama Katolik. Dengan adanya
diskriminasi gender, wanita harus mengikuti perintah laki-laki, padahal keyakinan
tidak dapat dipaksakan karena persepsi orang terhadap suatu agama berbeda-beda.
Masalah baru datang kembali setelah ia menikah dengan Etinne dan
tinggal bersama keluarga Tournier. Saat itu adanya pembunuhan terhadap warga
perang agama antara kaum Huguenot dan Katolik dimana pada saat itu
pembantaian terjadi dimana-mana. Keluarga Tournier gelisah saat pembantaian
terjadi karena mereka tidak tahu harus kemana. Isabelle mengeluarkan idenya
untuk keamanan bersama;
Calvin, she announced. We would go to calvin. To Geneva, where it is safe. Where the Truth is free. (Chevalier, 82)
Isabelle pun akhirnya memberikan ide untuk pergi ke Geneva karena
menurutnya disana kebenaran itu ada. Kaum Katolik pun tidak akan mencarinya
dari tempat tersebut karena itu adalah pertanian milik keluarga Isabelle. Ia ingin
pindah ke tempat itu karena ia ingin bebas dan merasakan kebahagiaan bersama
keluarganya tanpa ada orang yang menghinanya. Keinginan untuk bebas dan
merasakan hak atas dirinya tersebut juga merupakan sebagian perjuangan dalam
aliran feminisme liberal. Tidak ada penindasan seperti yang dialami sebelumnya.
Tetapi keluarga Toernier ingin kembali ke Toulose dimana mereka tinggal
dahulu. Namun Isabelle melarangnya karena ia mengetahui bagaimana
orang-orang Katolik tersebut.
We cannot return there, Isabelle replied. The crops are ruined, the house is one. Without the Duc we have no protection from catholics. They will continue to search for us. And – she hesitated, careful to convince them with their own words – without the house, it is no longer safe. (Chevalier, 81)
Isabelle beranggapan bahwa ia beserta keluarganya dan keluarga suaminya
tidak mungkin untuk kembali ke Toulose karena mereka sudah tidak akan
mendapatkan perlindungan dari umat Katolik, terlebih lagi keluarga Tournier
beragama. Dimana manusia berhak memilih agama yang mereka yakini tanpa ada
unsur paksaan. Dengan adanya kebebasan beragama dapat meningkatkan
kesejahteraan bersama. (Tong; 2004, 16)
Etienne tidak ingin Isabelle yang membantunya. Hal itu disebabkan karena
Etienna merasa bahwa laki-laki mempunyai status sosial yang lebih tinggi dari
perempuan, tetapi keadaan yang membuatnya bergantung dengan Isabelle. ia
beranggapan bahwa ia yang harus ia puja. Namun Isabelle mengeluarkan
pendapatnya;
God is my master. I must follow the truth, not this magic you are so convinced by. (Chevalier, 68)
Isabelle berteriak dan ia percaya bahwa Tuhan yang berkuasa di dunia ini
bukan Etienne. Ia percaya dengan kebenaran dan bukan sihir yang Etienne
katakan padanya. Selama ini Etienne menganggap bahwa Isabelle adalah seorang
nenek sihir. Isabelle tidak tahan dengan ungkapan yang tertuju padanya itu, untuk
itu Isabelle berusaha berontak untuk kebahagiaannya di masa yang akan datang.
Salah seorang tokoh dalam feminisme liberal yaitu John Stuart Mill dan Harriet
Taylor menyatakan bahwa cara yang biasa untuk memaksimalkan kegunaan total
(kebahagiaan dan kenikmatan), adalah dengan membiarkan setiap individu untuk
mengejar apa yang mereka inginkan, selama mereka tidak saling membatasi atau
menghalangi di dalam proses pencapaian tersebut. (Tong, 2004: 23). Isabelle
berusaha untuk mengejar apa yang ia inginkan untuk kebahagiannya. Bahkan ia
Dengan keberanian Isabelle saat ini membuat keluarga Tournier luluh
kepadanya. Ia akhirya meninggalkan Toulose menuju tempat yang lebih aman dari
kaum Katolik.
I feel safe now, she said under her breath to Etienne and Hannah and it has nothing to do with your magic. (Chevalier, 133)
Mereka akhirnya pergi dari Toulose ke Geneva. Isabelle merasa aman dari
umat Katolik. Etienne beserta keluarganya yang selama ini menganggap Isabelle
sebagai penyihir akhirnya mulai menghargai Isabelle. Apa yang Isabelle lakukan
saat-saat genting untuk menolong keluarganya dan keluarga suaminya tidak
sia-sia karena pada akhirnya mereka berterimakasih kepada Isabelle yang telah
menolong mereka. Semua itu karena perjuangan dia untuk mendapat kebebasan
dari orang-orang yang selalu menyakitinya. Data diatas juga menunjukkan ketika
keinginan seorang perempuan terpenuhi, maka hal itu akan menimbulkan
kesenangan dan kenikmatan tersendiri pada diri perempuan. Ia mendapatkan
pengakuan dengan usaha-usaha yang dilakukannya. Karena sebelumnya ia telah
mengalami lika-liku kehidupan, mulai dari keinginan untuk mendapatkan
pendidikan, mengatasi penindasan yang ia terima dari orang-orang disekitarnya
sampai ia pergi ke Geneva untuk meraih kebebasan. Perjuangan-perjuangan yang
dilakukan Isabelle untuk meraih hak dan kebebasan dalam novel The Virgin Blue
4.2 Identifikasi Pengaruh Isabelle sebagai Representasi Karakter Feminisme Liberal terhadap Karakter Ella Turner.
Subbab ini akan membahas pengaruh karakter Isabelle terhadap karakter
Ella Turner dalam novel The Virgin Blue. Dimana di dalam novel tersebut
karakter Isabelle merupakan leluhur dari karakter Ella Turner. Keterkaitan
karakter tersebut didukung oleh beberapa faktor seperti emosional, psikis dan
sosial. Penulis mengambil konsep psikologi, dan sosial karena dalam novel
tersebut terkandung nilai psikologi, dan sosial terhadap karakter Ella Turner.
Dalam novel tersebut menceritakan sosok Ella yang ingin menyelidiki tentang
leluhurnya yang membuat ia selalu bermimpi tentang leluhurnya itu dan mimpi
tersebut sangat mengganggu kehidupannya. Namun ia tidak mudah untuk mencari
kisah leluhurnya tersebut karena banyak hambatan yang harus ia lalui.
Subbab ini juga sekaligus membahas pertanyaan kedua yang tertera pada
rumusan masalah. Penulis melakukan analisis terhadap data-data yang
menjelaskan pengaruh karakter Isabelle terhadap karakter Ella Turner dalam novel
The Virgin Blue.
Bonjour Madame, she said in the singsong intonation French women use in shops.
Bonjour, I replied, glancing at the bread on the shelves behind her and thinking. This will be my boulangerie now. But when I looked back at her, expecting a warm welcome, my confidence fell away. She stood solidly behind the counter, her face like armour. (Chevalier, 24-25)
Percakapan itu terjadi di sebuah tempat perbelanjaan dimana ada seorang
wanita di bagian kasir sedang melayani pelanggan. Ketika kasir tersebut selesai
Perancis. Ella menjawab dengan bahasa Perancis, namun intonasi yang Ella
pergunakan membuktikan bahwa ia bukanlah orang Perancis dan hal tersebut
membuat wanita tersebut tidak ramah dengannya, tidak seperti yang dia harapkan.
Ella Turner adalah seorang warga Amerika yang sementara waktu tinggal
di Perancis karena suaminya sedang bekerja di negara tersebut. Ia sangat sulit
untuk berbahasa Perancis, awalnya ia percaya diri, namun ketika ia berbicara
langsung dengan warga Perancis ia tidak mendapatkan sambutan dengan baik dan
ia merasakan sulit untuk berinteraksi. Sementara dalam kehidupan sehari-hari,
manusia tidaklah lepas dari hubungan satu dengan yang lain dan selalu
menyesuaikan diri dengan lingkungan. Dengan adanya hubungan satu dengan
yang lain maka akan adanya interakasi sosial antara manusia tersebut. Seperti
yang diungkapkan oleh H. Bonner melalui Drs. H. Abu Ahmadi bahwa interaksi
sosial merupakan suatu hubungan antara individu atau lebih, dimana kelakuan
individu yang satu mempengaruhi, merubah, atau memperbaiki kelakuan individu
yang lain atau sebaliknya, (2007, 49)
Seharusnya dengan adanya interaksi sosial tersebut, itu merupakan
keuntungan bagi karakter Ella Turner sebab dengan adanya dua macam fungsi
yang dimiliki itu timbullah kemajuan-kemajuan dalam hidup bermasyarakat. Jika
manusia ini hanya sebagai objek semata-mata maka hidup tidak mungkin lebih
tinggi daripada kehidupan benda-benda mati, sehingga kehidupan manusia tidak
mungkin timbul kemajuan. Sebaliknya, jika manusia hanya sebagai subjek
semata-mata, maka ia tidak mungkin bisa hidup bermasyarakat sebab pergaulan
bahwa hidup individu dan masyarakat tidak dapat dipisahkan dan selalu
berinteraksi antara yang satu dengan yang lain. Padahal di dalam feminisme
liberal terdapat adanya kebebasan sipil untuk berbeda dimana Ella mempunyai
hak untuk memilih tinggal di Perancis dan ia pun mempunyai hak untuk berbeda
bahasa.
Dengan sulitnya berinteraksi yang terjadi pada Ella membuat ia sulit untuk
berbicara bahasa Perancis sehingga ia dijauhkan oleh komunitas warga Perancis.
Oleh karena itu, Ella pun kursus bahasa Perancis di Toulose dengan Madame
Sentier dua kali dalam seminggu. Tetapi Madame Sentier menegaskan pada Ella
seperti data berikut;
If you do not pronounce the words well, no one will understand what you say, she declare. Moreover, they will know that you are foreign and will not listen to you. The French are like that. (Chevalier, 29)
Madame Sentier membuat Ella mengucapkan kosa kata dalam bahasa
Perancis dengan tepat. Tetapi wanita itu menegaskan kepada Ella bahwa
orang-orang Perancis tidak akan pernah menanggapi bahkan mengacuhkan orang-orang asing
yang tidak mengucapkan kata-kata dalam bahasa Perancis dengan tepat.
Oleh karena itu, Ella harus memperlancar bahasa Perancisnya jika ia ingin
diterima oleh orang-orang Prancis itu sendiri. Ini mempengaruhi perkembangan
pribadi dari karakter Ella sendiri. Menurut Gabriel Tarde melalui buku karya
Ahmadibahwa seluruh kehidupan sosial itu sebenarnya berdasarkan pada faktor
imitasi saja. Walaupun pendapat ini berat sebelah, namun peranan imitasi dalam
interaksi sosial itu tidak kecil. Memang sukar orang belajar bahasa tanpa
laku tertentu, cara memberi hormat, cara berterimakasih dan lain-lain faktor
imitasi yang memegang peranan penting. Begitu juga dengan Ella ia akan sangat
sulit berinteraksi dengan bahasa Perancis jika ia tidak mengimitasi bahasa
Perancis dari orang-orang Perancis itu sendiri.
Dari kutipan tersebut menunjukkan bahwa perbedaan itu sangat
berpengaruh bagi penduduk pendatang yang tidak lancar berbahasa Perancis.
Karena sulitnya ia berbahasa Perancis dan ia pun merasa terisolasi di Negara itu,
ia pun pasrah dan akhirnya ia pergi ke sebuah sungai di malam hari. Ketika ia
berada di sungai itu, ia mendengar ada suara dari dasar sungai. Tetapi ketika ia
melihat ke bawah sungai hanya berwarna gelap yang ia lihat. Ia bersandar dan
merasa bahwa ada yang berbeda pada malam itu.
Something did change that night. That night I had the dream for the first time. It began with flickering, a movement between dark and light. It wasn’t white, it was blue. I was dreaming in blue. (Chevalier, 32)
Pada saat tidur ia bermimpi untuk pertama kalinya. Mimpi itu berawal dari
sebuah kedipan. Dalam mimpi itu ada gelap dan ada terang dan ada warna biru di
dalam mimpi tersebut. Mimpi itu seolah menunjukkan sesuatu padanya, tetapi ia
tidak tahu apa yang sebenarnya dalam mimpi tersebut. Mimpi itu bergerak seolah
angin sedang menerpanya. Bahkan di dalam mimpi itu terdengar ada suara
nyanyian, ada yang menangis dan Ella pun ikut menangis sampai ia tidak bisa
bernafas. Menurut Jung mimpi adalah bagian dari alam, yang tidak mengandung
maksud untuk menipu, melainkan untuk mengungkapkan sesuatu hal sebaik
mungkin (2003; 222). Seperti yang terjadi pada mimpi Ella. Mimpi itu mengajak
Mimpi itu terus menghantui sepanjang hari sampai ia tidak mau
menceritakan pada siapapun apa yang terjadi pada dirinya termasuk suaminya.
Above all, I was exhausted. I was sleeping badly, dragged into a room of blue each night. I didn't say anything to Rick never woke him or explained the next day why I was so tired. Usually I told him everything; now there was a block in my throat and a lock on my lips. (Chevalier,33)
Ella sangat terganggu dengan mimpi-mimpi itu. Ia merasa lelah karena
setiap malam ia selalu bermimpi sampai ia tidak ingin mengatakan kepada
suaminya tentang mimpi tersebut. Namun mimpi itu sangat membebani dirinya
dan pikirannya. Apa yang terjadi pada Ella sangat mempengaruhi psikologisnya
khususnya pikiran bawah sadarnya. Sebenarnya pikiran bawah sadar itu
memberikan pemikiran tentang pengaruh naluri dan pengalaman masa lalu
terhadap perasaan dan perilaku sekarang. Mimpi yang terjadi pada Ella ada
kaitannya dengan masa lalunya yang ia tidak ketahui. Masa lalu yang ada pada
mimpi itu berpengaruh dengan perasaan da perilakunya saat ini. Menurut Freud,
dalam Jarvis (2010: 61), bahwa mimpi sebagai perjalanan mewah untuk
mendapatkan pengetahuan tentang aktifitas pikiran bawah sadar. Selain
menjalankan fungsi-fungsi yang terpenting bagi pikiran bawah sadar, mimpi juga
bertindak sebagai petunjuk berharga untuk memahami cara kerja pikiran bawah
sadar.
Seringnya mimpi itu hadir dalam tidurnya membuat ia ingin pergi ke
dokter. Ia pun bertemu dengan dokter di kota tersebut. Dokter itu pun melihat
dirinya sangat lelah. Ella pun bercerita bahwa ia mengalami mimpi buruk. Namun
ia tidak menceritakan selanjutya dan dokter itu pun bertanya;