TINJAUAN YURIDIS KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM
PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI
LAPORAN KERJA PRAKTIK
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Kerja PraktikProgram Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia
Oleh
Nama : Adek Wahyudin NIM : 31610013 Program Kekhususan : Hukum Pidana
Dibawah Bimbingan: Muntadhiroh Alchujjah,S.H.,LLM
NIP: 41273300011
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA
BANDUNG
Tempat Tanggal Lahir : Sukabumi, 20 Desember 1990
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Alamat : Kp. Bojong Setra Rt 02 Rw 10 Kec.
Cibadak Kab.Sukabum
Telepon : 085624049793
Pendidikan Formal :
- TK ADAWAH
- SD Negeri 2 Cibadak-Sukabumi
- SMP Negeri 2 Cibadak-Sukabumi
- SMA Taman Siswa Kota Sukabumi
Daftar riwayat hidup ini di buat dengan sebenar-benarnya tanpa ada
iv
BAB II KEWENANGAN KEJAKSAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI………. 11
BAB III KEGIATAN KERJA PRAKTEK DI PRAKTIK DI KEJAKSAAN NEGERI BANDUNG ………. 46
A.Laporan Harian……….. 46
B.Laporan Bulanan……… 47
C.Tugas Utama……….. 47
i
Segala puji serta syukur penulis panjatkan kepada Allah S.W.T yang telah memberikan segala rahmat dan karunia-Nya, shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi besar kita Muhammad S.A.W, bahwa penulis masih diberikan kesempatan untuk dapat mensyukuri segala nikmat-Nya, berkat taufik dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan Laporan Kerja Praktik dengan
judul “Tinjauan Yuridis Kewenangan Kejaksaan Dalam Penanganan Perkara
Tindak Pidana Korupsi”
Penulis sangat menyadari bahwa dalam pembuatan laporan ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi substansi maupun tata bahasa, sehingga kiranya masih banyak yang perlu dipahami dan diperbaiki. Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang insya Allah dengan jalan ini dapat memperbaiki kekurangan dikemudian hari.
Pada proses penyusunan laporan ini banyak mendapatkan bantuan dan dukungan dari banyak pihak, oleh karena itu penulis mengucapkan banyak
terimakasih dengan penuh rasa hormat kepada Ibu Munthadiroh
Alchujjah,S.H.,LLM selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, pikiran dan kesabarannya untuk membimbing dalam penulisan Laporan Kerja Praktik ini, selain itu juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Kedua Orang Tua yang telah meberikan dukungan moril dan materi 2. Yth.Prof.Dr.Mien Rukmini,S.H.,M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Komputer Indonesia
3. Yth. Ibu Hetty Hassanah, S.H., M.H. selaku Ketua Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia
4. Yth. Ibu Arinita Sandria, S.H., M.H. selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia
5. Yth. Bapak Dwi Iman Muthaqin,S.H.,M.H selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia
ii
7. Yth. Ibu Febilita Wulan Sari, S.H selaku Dosen Wali angkatan 2009 sekaligus Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia 8. Yth. Ibu Yani Brilyani Tapivah, S.H., M.H. selaku Dosen Fakultas
Hukum Universitas Komputer Indonesia
9. Yth. Ibu Farida Yulianti, S.H., S.E., M. selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia
10. Yth. Bapak Muray selaku Karyawan Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia
11. Teman-teman seperjuangan Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia yang tidak dapat disebutkan satu persatu
Akhir kata peneliti mengucapkan rasa syukur yang sebesar-besarnya kepada Allah S.W.T, karena atas ijin-Nya peneliti dapat menyelesaikan Laporan Kerja Praktik ini, semoga Laporan Kerja Praktik ini bermanfaat bagi para pembaca dan peneliti sendiri.
Bandung,30 Januari 2014
64 Sumber Buku
Marwan Effendi, Kejasaan RI Posisi Dan Fungsi-Fungsi Dari Perpsfektif
Hukum, PT.Gramedia Pustaka Utama,Jakarta,2005
Yopie Morya Immanuel Parito, Diskresi Pejabat Publik Dan Tindak Pidana
Korupsi,CV Keni Media,Bandung,2012
Darwan Prinst , Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,PT.Citra Aditya
Bakti,2002
Evi Hartanti, Penyidikan Penyelidikan Penuntutan Dan Pemeriksaan di
Sidang Pengadilan Kasus Korupsi
Sumber Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang hukum Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Poko
Kepegawaian
Sumber Internet
http://hukumonline.com
http://www.republika.co.id
http://wikipedia.org
http://kejati-kaltim.go.id
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mahasiswa dituntut untuk menguasai dan mempunyai keahlian
dibidang jurusannya masing-masing, serta mampu memecahkan
persoalan yang ada dilingkungan masyarakat, kampus dan di instansi
pemerintahan, untuk lebih mengetahui dan memperdalam pengetahuan
tentang permasalahan-permasalahan yang ada instansi pemerintahan
maka mahasiswa dituntut untuk mengikuti kerja langsung di kantor
instansi pemerintahan yang disebut kerja praktik. Kerja praktik adalah
kegiatan mahasiswa untuk menerapkan ilmu-ilmu yang sudah di terima di
setiap matakuliah untuk diterapkan dalam dunia kerja diperusahaan atau
instansi pemerintahan
Peneliti melakukan kerja praktik diinstansi Kejaksaan Negeri Bandung
tepatnya dibagian Pidana Khusus (PIDSUS), bagian yang mengatasi
pelanggaran atau perbuatan pidana namun tidak tercantum dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) diantarnya tindak pidana
korupsi.
Kejaksaan adalah lembaga pemeritahan yang mempunyai tugas dan
wewenang dibidang penuntutan dalam penegakan hukum yang dilakukan
Menurut Pasal 2 Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan, memberi pengertian Kejaksaan Sebagai berikut:
“Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam undang-undang ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan
undang-undang”
Sedangkan Jaksa menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan, pengertian Jaksa sebagai berikut:
“Jaksa adalah pejabat fungsional yang di beri undang-undang
untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang”
Fungsi Jaksa selain dapat melakukan penuntutan, jaksa memilik
wewenang yang lebih dibidang perkara tindak pidana korupsi yaitu
melakukan penyidikan dalam perkara tindak pidana korupsi,
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
menegaskan penyidik tindak tidana korupsi adalah KPK, Jaksa dan
Polisi
Menurut Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
“Penyidik adalah pejabat pejabat polisi negara Republik
Indonesia atau Pejabat pegawai negri sipil tertentu yang diberi
wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan
3
Berdasarkan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan, kejaksaaan berwenang untuk melakukan penyidikan
terhadap tindak pidana tertentu, dibidang perkara tindak pidana korupsi
kewenangan kejaksaan elakukan penyidikan diatur pada
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.1
Kewenangan kejaksaan dalam melakukan penyidikan tindak pidana
tertentu dimaksudkan untuk menampung beberapa ketentuan
undang-undang, yang memberikan kewenangan kepada kejaksaan untuk
melakukan penyidikan, Jadi kewenangan kejaksaan untuk melakukan
penyidikan dibatasi pada tindak pidana tertentu yaitu yang secara
spesifik diatur dalam undang-undang, khusus dalam tindak pidana
korupsi di ataur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.2
Tindak pidana korupsi yang merupakan tindak pidana khusus dalam
penangananya diperlukan suatu kerja sama dengan pihak lain, untuk
1
Syahti rahmadsyah , Beda Kewenangan KPK, Kepolisian dan Kejaksaan Selaku Penyelidik dan Penyidik , hukumonline.com diakses pada tgl.12/20/2013 pukul 05:50 WIB
2
dapat diselesaikan perkaranya oleh jaksa, Jaksa sebagai penyidik
merangkap sebagai penuntut umum dalam penanganan tindak pidana
korupsi.
Kejaksaan dalam melaksanakan tugasnya sebagai penyidik dalam
tindak pidana korupsi dapat bekerja sama dengan pihak lain yang terkait.
Kerja sama dengan pihak lain ini disebut dengan hubungan hukum,
hubungan hukum adalah hubungan yang terjadi antara subyek hukum
yang satu dengan subyek hukum lainnya dan atau antara subyek hukum
dengan obyek hukum yang terjadi dalam masyarakat dimana hubungan
tersebut diatur oleh hukum dan karenanya terdapat hak dan kewajiban
diantara pihak-pihak dalam hubungan hukum3, berikut pihak-pihak yang
dapat berhubungan dengan kejaksaan dalam perkara tindak pidana
korupsi :4
1. Hubungan hukum dengan perseorangan
a. Kerja sama dengan seseorang saksi
b. Seorang tersangka
c. Seorang penasehat hukum
2. Hubungan hukum dengan badan hukum
Perusahaan Terorganisasi tempat tersangka melakukan tindakan
korupsi.
3
Anonymous ,hubungan hukum,http://statushukum.com/ di akses pada tgl.10/11/2013 jam:19:00
4
5
3. Hubungan hukum dengan instansi pemerintahan
a. Kepolisian
b. Lembaga Pemasyarakatan
c. Pengadilan
d. Pengawas Keuangan
4. Hubungan dengna instansi lain
a. Bank,
b. Kantor
c. Pos
Korupsi berasal dari bahasa latin yaitu corruptive/corruptus
selanjutnya kata corruption berasal dari kata corrumpore (suatu kata latin
yang tua) dalam ensiklopedia Indonesia disebut bahwa korupsi (dari
bahasa latin corruptive=penyuapan , corrumpore=merusak) yaitu para
pejabat badan-badan Negara menyalahgunakan terjadinya
penyuapan,pemalsuan ketidakberesan lainya.5
Tindak pidana korupsi Indonesia sudah meluas dalam masayarakat.
perkembangannya terus meningkat setiap tahun baik dalam kasus yang
terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas
tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang
memasuki seluruh aspek kehidupa masyarat
5
Faktanya menunjukan bahwa angka korupsi di Indonesia selama
tahun 2012 tergabung dalam 60 besar negara terkorup versi transparansi
internasional.6. Indonesia terus menjadi perhatian dunia dalam
permasalahan korupsi terbukti pada saat ada kasus Hambalang yang
menyeret nama mantan Menpora Andi Mallarangeng, kasus wisma atlet
dan kasus korupsi pengadaan Al Quran.
Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan
membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian
nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada
umumnya.Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistemastis juga
merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi
masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi
dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan menjadi suatu
kejahatan yang luar biasa. Begitu pula dalam upaya pemberantasannya
tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang
luar biasa.
Dalam rangka mewujudkan supremasi hukum, pemerintah telah
meletakkan landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memberantas
tindak pidana korupsi. Berbagai kebijakan tersebut antara lain tertuang
dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan
6
7
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
dan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kalangan koruptor diibaratkan sebagai “lingkaran setan”, maksud dari
lingkaran setan tersebut adalah dalam hal terjadi tindak pidana korupsi
ada yang mengetahui telah terjadi korupsi tetapi tidak melaporkan pihak
yang berwajib, ada yang mengetahui tapi tidak merasa tahu, ada yang
mau melaporkan tapi dilarang, ada yang boleh tapi tidak berani, ada
yang berani tapi tidak punya kuasa, ada yang punya kuasa tapi tidak
mau, sebaliknya ada pula yang punya kuasa, punya keberanian tetapi
tidak mau untuk melapor pada yang berwajib.
Sebagai peneliti yang mendapat kesempatan kerja peraktik di
Kejaksaan Negeri Bandung maka dengan ini peneliti tertarik untuk
meneliti laporan kerja peraktik dengan judul sebagai berikut ini :
“Tinjauan Yuridis Tehadap Kewenangan Kejaksaan Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan yang dapat
dikaji adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam
2. Apakah jaksa dapat menghentikan penyidikan suatu perkara
tindak pidana korupsi dengan alasan bukti sulit ditemukan atau
batas waktu penyidikan telah berakhir?
C. Maksud dan Tujuan Kegiatan
Berikut adalah maksud dari pembuaatan laproan kerja praktik:
1. Agar mengetahui Kewenangan Jaksa dan KPK dalam menangani
perkara tindak pidana korupsi dan mengetahui batasan
kewenangan kejaksaan dan KPK dalam penanganan perkara
tindak pidana korupsi
2. Secara teoritis diharapkan dapat memberi sumbangsih ilmiah
dalam pengembangan kebijakan hukum pidana. Secara praktis,
diharapkan dapat memberikan kontribusi dan solusi konkrit bagi
penegak hukum dan Jaksa dalam penanggulangan tindak pidana
korupsi.
D. Manfaat Kegiatan
Manfaat dari dilaksanakannya Kerja Praktik ini adalah melatih peneliti
agar dapat berfikir secara kritis dan logis dalam menguraikan dan
membahas suatu permasalahan yang ada di dunia kerja sesuai dengan
pengetahuan yang telah diperoleh selama diperkuliahan, berdasarkan
dengan bidang studinya. Kerja praktik tersebut, juga melatih peneliti agar
memiliki kemampuan membuat suatu penelitian yang sistematis dan
terstruktur sesuai dengan format yang berlaku. Kegunaan dari Kerja
9
1. Untuk melihat implementasi dari teori yang telah diperoleh selama
pembelajaran dikampus dengan praktik yang ada dilapangan.
2. Untuk memberikan laporan secara tertulis mengenai kegiatan kerja
praktik yang telah dilakukan oleh Peneliti pada instansi yang telah
dipilih.
3. Untuk mengumpulkan data-data yang diperlukan dalam pembuatan
Laporan Kerja Praktik.
Kerja Praktik ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara
teoritis dan praktis, yaitu:
1. Kegunaan Teoritis
Laporan dari kegiatan Kerja Praktik ini diharapkan dapat memberikan
masukan terhadap ilmu hukum pada umumnya, serta hukum pidana,
khususnya dalam hal Tindak Pidana Korupsi
2. Kegunaan Praktis
Laporan dari kegitan Kerja Praktik ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan pemikiran dan bahan pertimbangan bagi pihak-pihak
yang membutuhkan informasi mengenai Perkara Tindak Pidana
Korupsi
E. Jadwal Penelitian
Penelitan ini dilaksanakan sesuai dengan Surat Pengantar Kerja
Praktik yang dikirimkan pada instansi, yaitu dalam rentang waktu 30
September 2013 sampai dengan 30 November 2013, dengan jumlah jam
praktik dilakukan selama semester 7 dan diakhir semester akan diadakan
sidang untuk pertanggung jawaban laporan hasil kerja praktik tersebut.
Secara bagan dapat digambarkan sebagai berikut:
11
BAB II
KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA
KORUPSI
A. Pengertian Jaksa dan Kejaksaan
Pengertian Jaksa menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejasaan Republik Indonesia sebagai berikut:
“Jaksa adalah pejabat fungsional yang di beri undang -undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan
undang-undang”
Jaksa dan Kejaksaan berdasarkan Pasal 1 ayat (6) huruf a KUHAP,
sebagai berikut :
“Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang
-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta
melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap”
Jaksa dari pengertian diatas dapat di sebut sebagai Jaksa yang
berkolerasi dengan aspek jabatan atau pejabat fungsional, sedangkan
pengertian penuntut umum berkolerasi dengan aspek fungsi dalam
melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hukum hakim di
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
memberikan pengertian :
“Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam
undang-undang ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan
undang-undang”
B. Rumusan Tindak Pidana Korupsi
Korupsi berasal dari bahasa latin yaitu corruptive/corruptus
selanjutnya kata corruption berasal dari kata corrumpore (suatu kata latin
yang tua) dalam ensiklopedia Indonesia disebut bahwa korupsi (dari
bahasa latin corruptive atau penyuapan , corrumpore atau merusak yaitu
para pejabat badan-badan Negara menyalahgunakan terjadinya
penyuapan,pemalsuan ketidakberesan lainya.8 korupsi secara harafih
dapat berupa9:
1. Kejahatan,kebusukan,dapat disuap ,tidak bermoral,kebejatan dan
ketidakjujuran.
2. Perbuatan yang busuk seperti penggelapan uang,penerimaan
uang sogog dan sebagainya
3. Perbuatan yang pada kenyataannya menimbulkan keadaan yang
besifat buruk : prihalaku yang jahat dan tercela atau kebejatan
moral, penyuapan dan bentuk-bentuk ketidak jujuran,sesuatu
8
Yopie Morya Immanuel Patrio, Diskresi Pejabat Publik dan Tindak Pidana Korupsi,
CV.Keni Media,2012,Hlm.129
9
13
yang dikorup seperti yang diubah atau diganti secara tidak tepat
dalam suatu kalimat,pengaruh pengaruh yang korup sedangkan
menurut Transparency Internasional memberikan define tentang
korupsi sebagai perbuatan meyalah gunakan kekuasaan dan
kepercayaan public untuk keuntungan pribadi.
Korupsi dalam Ilmu Politik didefinisikan sebagai penyalahgunaan
jabatan dan administrasi, ekonomi atau politik, baik yang disebabkan
oleh diri sendiri maupun orang lain, yang ditujukan untuk memperoleh
keuntungan pribadi, sehingga meninbulkan kerugian bagi masyarakat
umum, perusahaan, atau pribadi lainnya
Korupsi adalah perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk
memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari
pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya
untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau
orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak
lain. 10
Dengan definisi tersebut,maka dapat disimpulkan terdapat 3 (tiga)
pengertian korupsi yaitu11:
1. Menyalahggunkan kekuasaan
10
Pengertian Definisi Korupsi Menurut Para Ahli ,Black’s Law Dictionary
http://definisipengertian.com/2012/pengertian-definisi-korupsi-menurut-para-ahli , di akses pada 31 januari 2014 , pukul 19:19 WIB
11
2. Kekuasaan yang dipercayakan (yaitu baik disektor publik
maupun disektor swasta) memiliki akses bisnis atau
menguntungkan materi
3. Keuntungan pribadi (tidak selalu berarti hanya untuk pribadi
orang yang menyalahgunkan kekuasaan , tetapi juga anggota
keluarga dan juga temannya)
Memperhatikan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Tindak
korupsi itu dapat dilihat dari dua segi yaitu korupsi aktif dan korupsi pasif.
1. Korupsi aktif adalah tindak pidana dalam rumusannya
mencantumkan unsur perbuatan aktif
2. Tindak pidana pasif adalah tindak pidana yang dalam unsurnya
mencantumkan unsur perbuatan pasif. 12
Korupsi aktif dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Juncto
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi adalah sebagai berikut:
1. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berbunyi :
“Secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau korporasi, yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara “
12
15
2. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berbunyi:
“Dengan bertujuan mengutungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya kerena jabatannya atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
Negara”
3. Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berbunyi :
“Memberikan hadiah atau janji kepada pegawai negeri
dengan mengingat kekuasaan atau kewenangan yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau
kedudukan.”
4. Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak
Pidana Korupsi berbunyi :
“Percobaan pembatuan atau pemufakatan jahat untuk
melakukan tindak pidana korupsi”
5. Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berbunyi :
“Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pagawai
negeri atau penyelenggara negara dengan maksud
supada berbuat atau tidak berbuat sesuatau dalam
jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.”
6. Pasal 1 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
“Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan
susuatu yang bertentangan dengan kewajibannya yang
dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatan”
7. Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemeberantasan Tindak Pidana Korupsi
“Memberikan atau menjanjikan sesuatu pada hakim
dengan maksud untuk mempengaruhi putusan putusan
yang diserahkan padanya untuk diadili”
8. Pasal 7 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemeberantasan Tindak Pidana Korupsi
“Pemborong atau ahli bangunan yang pada waktu
membuat bangunan, atau penjual bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang , atau keselamatan negara dalam
keadaan perang”
9. Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemeberantasan Tindak Pidana Korupsi
“Setiap orang yang betugas mengawasi bangunan atau
penyerahan bahan bangynan , sengaja membiarkan
perbuatan curang sebagai yang dimaksud dalam huruf a”
10. Pasal 7 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemeberantasan Tindak Pidana Korupsi
“Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang
17
Negara Republik Indonesia Melakukan perbuatan curang
yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam
keadaan perang”
11. Pasal 7 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemeberantasan Tindak Pidana Korupsi
“Setiap Orang yang bertugas mengawasi penyerahan
barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia Sebagai mana yang
dimaksud dalam huruf c”
12. Pasal 8 Udang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang
Pemeberantasan Tindak Pidana Korupsi
“Pegawai negeri atau orang lain selain pegawai negeri
yang ditugaskan menjalakan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan
tersebut”
13. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang
Pemeberantasan Tindak Pidana Korupsi
“Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang
diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang
Sedangkan yang disebut dengan korupsi pasif dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 adalah sebagai berikut:
1. Pasal 5 ayat(2) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
“Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
menerima pemberian atau janji karena perbuatan
yang tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang
bertentangan dengan kewajibannya”
2. Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
“Hakim atau advokat yang menerima pemberian
untuk mempengaruhi putusan perkara yang di serahkan padanya untuk diadili atau mempengaruhi nasihat atau pendapat yang diberikan berhubungan dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan
untuk diadili”
3. Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
"Hakim yang menerima hadiah atau janji padahal
diketahui atau patut diduga bahwa hadia atau janji
tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan
perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili”
4. Pasal 12 huruf d Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
19
“Advokat yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui
atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang diberikan berhubungan dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili”
5. Pasal 12 B Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
“Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara
yang menerima gratifitasi yang diberikan
berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan
dengan kewajiban atau tugasnya”
Demikian pengertian tentang korupsi aktif dan pasif yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Juncto
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
C. Pengertian Pegawai Negeri Sipil
Pegawai negeri adalah pegawai yang telah memenuhi syarat yang
ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas
dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan
digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 1 sub 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juntco
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
“(1)Pegawai negeri sipil sebagai dimaksud dalam Undang-Undang tentang kepegawaian
(2)Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
(3)Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah
(4)Orang yang menerima Upah atau gaji atau upah dari korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah
(5)Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau
masyarakat.”
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1961 tentang Pokok Kepegawaian.
Undang-Undang ini sudah dicabut dan di ganti dengan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok Kepegawaian yang kemudian diubah
dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian.
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian Berbunyi:
“pegawai negeri adalah setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangakat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas
negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku”
Pasal 2 ayat (1) Undang-Udang Nomor 43 Tahun 1999 tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian membedakan pegawai negeri atas tiga
kelompok yaitu:
21
2. Anggota Tentara Nasional Indonesia
3. Anggota Kelpolisian Negara Republik Indonesia.”
Pasal 2 ayat (2) Undang-Udang Nomor 43 Tahun 1999 tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian menyatakan bahwa pegawai negeri sipil
terdiri dari:
“1. Pegawai negeri sipil pusat
2. Pegawai negeri sipil daerah.”
Pasal 2 ayat (2) Undang-Udang Nomor 43 Tahun 1999 tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian menyatakan
“Disamping pegawai negeri sebagaimana dimaksud pejabat
yang dapat mengangakat pegawai tidak tetap”
D. Subjek Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi Menggolongkan subjek delik terbagi dalam
beberapa kelompok. Bila dalam subjek delik melakukan perbuatan
pidana diancam dengan sanksi. Subjek atau pelaku delik itu adalah112 :
1. Manusia
2. Korporasi
3. Pegawai Negeri
12
Martiman Prodjohamidjojo dikutip dalam, Evi Hartanti, Penyelidikan Penyidikan dan
4. Setiap orang
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi memberi arti Korporasi sebagai berikut:
“Kumpulan orang atau kekayaan yang terorganisasi baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”
Contoh : Partai Politik, Yayasan, Koperasi dan sebagainya
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi memberi arti Korporasi sebagai berikut:
“Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk
korposrasi”
Yang dimaksud setiap orang adalah orang perorangan
(individu-individu) atau termasuk korporasi.
E. Tindak Pidana Korupsi
Terdapat beberapa rumusan delik dalam Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
dirumuskan secara formil, sebagaimana yang dijelaskan dalam
penjelasan atas undang-undang, dalam undang-undang tindak pidana
23
penting untuk pembuktian, Dengan rumusan secar formil yang dianut
dalam undang-undang ini, meskipun hasil korupsi telah dikembalikan
kepada negara, pelaku korupsi tetap diajukan ke pengadilan dan tetap
dipidana.
Pemberantasan korupsi secara formil, mempunyai
kelemahan-kelemahan dan sebagai konsekuensinya jika ada perbuatan-perbuatan
korupsi yang tidak tercangkup dalam korupsi secara formil, maka pelaku
(tersangka) tidak diajukan ke muka hakim. Alasanya yaitu Asas
Legalitas, asas ini ada dalam Pasal 1 KUHP yang berbunyi:
“Tidak ada pebuatan dapat pidana kecuali atas kekuatan
aturan pidana perbudang-undangan yang telah ada sebelum
perbuatan dilakukan”
Berikut unsur-unsur yang harus terpenuhi agar dapat membawa
pelaku tindak pidana korupsi dapat dibawa kemuka persidangan
1. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,untuk memenuhi syarat
delik harus memenuhi unsur melawan hukum, yaitu:
a. Setiap orang
b. Melawan hukum
c. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
d. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
Pada rumusan delik korupsi pada ayat (2) ditambahkan
unsur dilakukan dalam keadaan tertentu dan diancam dengan
pidana mati.
2. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, unsur-unsurnya yaitu:
a. Dengan tujuan Menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi.
b. Menyalahgunkan kewenangan , kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.
c. Yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonimian negara.
3. Rumusan delik Pasal 7 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, unsur-unsurnya yaitu:
a. Pegawai negeri
b. Sengaja
c. Baik dengan perantara maupun denga langsung
d. Turut serta dalam pemborongan, pengadaan
barang-barang
e. Yang di pengurusnya atau pengawasnya, kerika perbuatan
itu dilakukan, sama sekali atau sebagai diserahkan
25
4. Rumusan delik Pasal 9 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999
juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi unsur-unsurnya yaitu:
a. Pegawai negeri atau orang lain yang diwajibkan selalu tau
atau untuk semetara menjalankan jabatan umum.
b. Sengaja
c. Dengan palsu membuat atau memalsulkan buku atau daftar
yang semata-mata untu pemeriksaan tata usaha.
5. Rumusan delik Pasal 10 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, unsur-unsurnya yaitu:
a. Pegawai negeri atau orang lain yang diwajibkan selalu atau
untuk sementara jabatan
b. Sengaja
c. Menggelapkan, menghacurkan, merusakan atau membuat
sehingga tidak dapat dipakai lagi, barang yang
dipergunakan untuk menjadi tanda keyakinan atau bukti bagi
kuasa yang berhak, surat keterangan, surat-surat atau daftar
d. Yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan orang
lain sehingga tidak dapat dipakai barang-barang,surat
tersebut atau daftar itu,atau menolong sebagai pembatu
6. Rumusan delik Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
Unsur-Unsurnya :
a. Memberi hadiah atau janji
b. Kepala pegawai negeri
c. Dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang
melekat pada jabatan atau kedudukannya atau pemberi
hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau
kedudukan tersebut.
F. Delik Korupsi
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau satu korporasi yang dapat merugikan keuanga negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan atau paling lama 20 (dua puluh) tahun denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
“Dalam hal hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana
27
Rumusan delik Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan untuk memenuhi syarat delik arus
dicantumkan unsur “melawan hukum” secara tegas sehingga unsur
lainnya seperti berikut :
1. Melawan hukum
2. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
3. Yang dapat merugikan keunag negara atau perekonomian negara
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi yang dimaksud dengan
secara melawan hukum dalam Pasal ini mencangkup perbuatan
melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni
meskipun perbuatan tersebut tidak dapat diatur dalam pertauran
perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap
tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma
kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat
dipidana. Dalam ketentuan ini kata dapat sebelum frasa merugikan
keuangan atau perekomian negara menunjukan bahawa tindak pidana
korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah
dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.13
13
G. Kewenangan Kejaksaan Dalam Kasus Korupsi
Kewenangan Kejaksaan diatur Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan dan KUHAP. Pada dasarnya lembaga kejaksaan
dipimpin oleh seorang Jaksa Agung Republik Indonesia dimana dalam
rangka pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana Instruksi
Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan
Pemberantasan Korupsi diinstruksikan untuk mengoptimalkan
upaya-upaya penyidikan terhadap tindak pidana korupsi untuk menghukum
pelaku dan menyelamatkan uang negara, mencegah dan memberikan
sanksi tegas terhadap penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh
Jaksa/Penuntut Umum dalam rangka penegakan hukum, dan
meningkatkan kerja sama dengan Instansi atau lembaga lain.
Berdasarkan data yang peneliti dapatkan dari situs resmi Kejaksaan,
lembaga Kejaksaan mempunyai fungsi, yaitu:14
1. Perumusan kebijaksanaan teknis kegiatan yustisial pidana khusus
berupa pemberian bimbingan dan pembinaan dalam bidang
tugasnya.
2. Perencanaan, pelaksanaan, pemeriksaan tambahan penuntutan,
eksekusi atau melaksanakan penetapan hukum, dan putusan
pengadilan, pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas
bersyarat dan tidak hukum lain serta pengadministrasiannya
14
29
3. Pembinaan kerja sama, pelaksanaan koordinasi dan pemberian
bimbingan serta petunjuk teknis dalam penanganan perkara
tindak pidana khusus dengan instansi lembaga terkait mengenai
penyelidikan dan penyidikan berdasarkan peraturan
perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa agung
4. Pemberian saran, konsepsi tentang pendapat dan/atau
pertimbangan hukum Jaksa Agung mengenai perkara tindak
pidana khusus dan masalah hukum lainnya dalam kebijaksanaan
penegakan hukum.
5. Pembinaan dan peningkatan kemampuan, keterampilan, dan
integritas kepribadian aparat tindak pidana khusus di lingkungan
kejaksaan
6. Pengamanan teknis atau pelaksanaan tugas dan wewenang
Kejaksaan dibidang tindak pidana khusus berdasarkan peraturan
perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh
Jaksa Agung
Berdasarkan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan, kejaksaan memiliki kewenangan dalam penyelesaian
tindak pidana korupsi,sebagai berikut:
1. Berdasarkan dalam Pasal 1 butir 1 Kitab Undang-Undang Hukum
“Penyidikan adalah pejabat polisi negara Republik
Indonesia atau pejabat negeri sipil tertentu yang diberi
wewenag khusus oleh undang-undang untuk melakukan
penyidikan”
2. Pasal 1 butir 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menetukan tersangkanya.
3. Pasal 1 butir 3 Undang-undang Hukum Acara Pidana Penyidik pembantu adalah pejabat polisi negara republik
Indonesia yang diberi wewenang tertentu dapat
melakukan tugas penyidikan yang di atur dalam
undang-undang ini.
4. Pasal 1 butir 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
“Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik
Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini
untuk melakukan penyidikan"
Konkretnya dapat dikatakan dengan tegas bahwa fungsi dan ruang
lingkup penyidik adalah untuk melakukan penyidikan. Apabila bertitik
tolak melalui istilah penyidikan itu sendiri, ternyata istilah tersebut telah
dikenal sejak dahulu yakni ketika adanya Undang-Undang tentang
31
Nomor 13 Tahun 1961). Sedangkan mengenai pengertian penyidikan
menurut pandangan doktrina ilmu pengetahuan hukum pidana seperti de
Pinto dikatakan bahwa menyidik (opsporing) diartikan sebagai
“pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditujukan
oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apapun
mendengar kabar yang sekadar beralasan, bahwa ada terjadi sesuatu
pelanggaran hukum.Sedangkan apabila kita mengacu pada ketentuan
Pasal 1 angka 2 KUHAP disebutkan bahwa, penyidikan itu adalah
serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut acara yang diatur
dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang
dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan
guna menemukan tersangkanya15.
Sebelum suatu penyidikan dimulai dengan konsekuensi penggunaan
upaya paksa, terlebih dahulu perlu ditentukan secara cermat
berdasarkan segala data dan fakta yang diperoleh dari hasil penyelidikan
bahwa suatu peristiwa yang semula diduga sebagai suatu tindak pidana
adalah benar-benar merupakan suatu tindak pidana. Terhadap tindak
pidana yang telah terjadi itu dapat dilakukan penyidikan. Dengan
demikian penyidikan merupakan tindak lanjut dari suatu penyelidikan.
Sebelumnya telah diketahui dalam Pasal 1 angka 1 KUHAP
dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan penyidik adalah pejabat polisi
15
negara atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang
khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan
Selanjutnya pada Pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dikatakan bahwa
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap
tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang
berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.
Adapun arti Jaksa, menurut ketentuan BAB I Tentang Ketentuan
Umum Pasal 1 ayat 6 Kitab Undang-Undang Hukum Aacara Pidana,
BAB I bagian pertama Pasal 1 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan menegaskan sebagai berikut :
“Bahwa Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh
undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum
serta melaksanakan putusan pengadilan yang memperoleh
kekuatan hukum tetap”
Jaksa dalam melaksanakan tugas berwenang untuk melakukan
penahanan dalam perkara tindak pidana korupsi:
1. Berdasarkan Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana, yaitu:
“Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa
33
peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini”
2. Berdasarkan Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
sebagai berikut:
“Penahanan adalah penempatan tersanka atau
terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut
umum atau hakim dengan penempatannya, dalam hal
serta menurut cara yang di atur undang-undang ini”
Tujuan penahanan berdasarkan Pasal 20 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana penahanan yang dilakukan oleh
penyidik, penuntut umum dan hakim bertujuan sebagai berikut:
“untuk kepentingan penyidikan, untuk kepentingan
penuntutan, dan untuk kepentingan pemeriksaan hakim
di sidang pengadilan”
Dasar penahanan yang dilakukan penyidik adalah dasar
keadaan atau keperluan dan dasar yuridis. Dasar keadaan
tersebut yang ditimbulkan karena kekhawatiran bahwa tersangka
atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan
barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.
“jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini
untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan
penetapan hakim”
Pasal 1 angka 7 KUHAP merumuskan bahwa yang dimaksud
dengan Penuntutan adalah :
“tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus ileh
hakim di sidang pengadilan”
H. Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi
Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak pidana korupsi juncto Undang-Undang Nomor 20
tahun 2001 juncto Uundang-Undang No 30 tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa Komisi
Pemberantasan Korupsi adalah lembaga Negara yang dibentuk melalui
undang-undang dan menjalankan tugas berdasarkan kewenangan yang
melekat secara independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan
manapun
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasa Korupsi memberikan asas atas wewenang komisi
pemberantasan korupsi sebagai berikut:
1. Kepastian hukum yaitu asas dalam negara hukum yang
35
kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan
tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi;
2. Keterbukaan yaitu asas yang membuka diri terhadap hak
masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan
tidak diskriminatif tentang kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi
dalam menjalankan tugas dan fungsinya
3. Akuntabilitas yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan
dan hasil akhir Komisi Pemberantasan Korupsi harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai
pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
4. Kepentingan yaitu adalah asas yang mendahulukan
kesejahteraan dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif
5. Proporsionalitas yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan
antara tugas, wewenang, tanggung jawab dan kewajiban Komisi
Pemberantasan Korupsi
Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menjalankan tugas dan
kewenangannya, Komisi Pemberantasan Korupsi harus senantiasa
berpedoman pada asas-asas tersebut. Hal ini dikarenakan asas-asas
tersebut menjiwai setiap pelaksanaan tugas dan kewenangan Komisi
Pemberantasan Korupsi. Tugas Komisi Pemberantasa Korupsi adalah:
1. Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi
a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi;
b. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi;
c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap
tindak pidana korupsi;
d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana
korupsi
e. Melakukan monitor terhadap pelanggaran pemerintahan
negara.
f. Komisi Pemberantasan Korupsi bertugas menetapkan status
kepemilikan gratifikasi
g. Menyerahkan gratifikasi yang menjadi milik negara kepada
menteri Keuangan
h. Menentukan kriteria penanganan tindak pidana korupsi.
Berdasarkan tugas-tugas seperti yang telah disebutkan, maka dapat
diketahui bahwa tugas Komisi Pemberantasan Korupsi tidak hanya
melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana
korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi juga bertugas melakukan
koordinasi dan supervisi dengan instansi lain dan melakukan
tindakan-tindakan pencegahan serta melakukan monitoring terhadap
penyelenggaraan pemerintahan
37
Wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang paling utama
adalah melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap
tindak pidana korupsi. Pada dasarnya kewenangan tersebut merujuk
pada ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan
lain menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberatasan Korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kerangka
kerja Penyidikannya, memiliki target sasaran yang ingin dicapai dalam
penyidikan yaitu:
1. Penyidikan yang efektif menunjang penegakan hukum di
Indonesia dan menjadikan korupsi sebagai kejahatan yang
beresiko tinggi dalam sector publik dan sektor pemerintah. Juga
dalam hal ini menumbuh kembangkan kesadaran publik atas
korupsi sebagai kejahatan yang beresiko tinggi
2. Maksud dan tujuan tersebut adalah menyidik semua tuduhan
korupsi secara efektif dengan mempertimbangkan penuntutan.
Semua penyidikan akan didasarkan dengan Hukum Acara Pidana
yang berlaku dan berdasarkan integritas moral yang tinggi dari
Penyidiknya
3. Berbagai Penyidikan dilaksanakan, dituntaskan atau ditutup
secara efektif dan dilimpahkan pada bidang Penuntutan yang ada
dan Komisi Pemberantasan Korupsi juga harus menumbuhkan
sehingga tidak mengambang dan segera dilimpahkan ke
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang ada
4. Mengembangkan kapasitas intelegensia dan menyelenggarakan
pelatihan kepada sleuruh staf penyidik dalam rangka untuk
meningkatkan Sumber Daya Manusia yang ada di Komisi
Pemberantasan Korupsi disamping juga meningktkan integritas
moral bagi seluruh staf dan pimpinan serta pegawai Komisi
Pemberantasan Korupsi.
I. Tinjauan Instansi Kejaksaan
1. Sejarah Instansi Kejaksaan
a. Sebelum Reformasi
Istilah Kejaksaan sebenarnya sudah ada sejak lama di
Indonesia. Pada zaman kerajaan Hindu-Jawa di Jawa Timur, yaitu
pada masa Kerajaan Majapahit, istilah dhyaksa, adhyaksa, dan
dharmadhyaksa sudah mengacu pada posisi dan jabatan tertentu di kerajaan. Istilah-istilah ini berasal dari bahasa kuno, yakni dari
kata-kata yang sama dalam Bahasa Sansekerta.
Seorang peneliti Belanda, W.F. Stutterheim mengatakan
bahwa dhyaksa adalah pejabat negara di zaman Kerajaan
Majapahit, tepatnya di saat Prabu Hayam Wuruk tengah berkuasa
(1350-1389 M). Dhyaksa adalah hakim yang diberi tugas untuk
39
dhyaksa ini dipimpin oleh seorang adhyaksa, yakni hakim tertinggi
yang memimpin dan mengawasi para dhyaksa tadi.17
Kesimpulan ini didukung peneliti lainnya yakni H.H. Juynboll,
yang mengatakan bahwa adhyaksa adalah pengawas (opzichter)
atau hakim tertinggi (oppenrrechter). Krom dan Van Vollenhoven,
juga seorang peneliti Belanda, bahkan menyebut bahwa patih
terkenal dari Majapahit yakni Gajah Mada, juga adalah seorang
adhyaksa.18
Pada masa pendudukan Belanda, badan yang ada
relevansinya dengan jaksa dan Kejaksaan antara lain adalah
Openbaar Ministerie. Lembaga ini yang menitahkan
pegawai-pegawainya berperan sebagai Magistraat dan Officier van Justitie
di dalam sidang Landraad (Pengadilan Negeri), Jurisdictie
Geschillen (Pengadilan tinggi) dan Hooggerechtshof (Mahkamah
Agung ) dibawah perintah langsung dari Residen / Asisten
Residen. Hanya saja, pada prakteknya, fungsi tersebut lebih cenderung sebagai perpanjangan tangan Belanda. Dengan kata
lain, jaksa dan Kejaksaan pada masa penjajahan belanda
mengemban misi terselubung yakni antara lain:
a. Mempertahankan segala peraturan Negara
b. Melakukan penuntutan segala tindak pidana
17
Sejarah kejaksaan http://kejaksaan.go.id/tentang_kejaksaan.php?id=3 di akses pada hari senin 20 januari 2014 pukul 17:30 WIB
18
c. Melaksanakan putusan pengadilan pidana yang
berwenang
d. Fungsi sebagai alat penguasa itu akan sangat kentara,
khususnya dalam menerapkan delik-delik yang berkaitan
dengan hatzaai artikelen yang terdapat dalam Wetboek
van Strafrecht (WvS).
Peranan Kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga penuntut
secara resmi difungsikan pertama kali oleh Undang-Undang
pemerintah zaman pendudukan tentara Jepang No. 1/1942, yang
kemudian diganti oleh Osamu Seirei No.3/1942, No.2/1944 dan
No.49/1944. Eksistensi kejaksaan itu berada pada semua jenjang
pengadilan, yakni sejak Saikoo Hoooin (pengadilan agung),
Koootooo Hooin (pengadilan tinggi) dan Tihooo Hooin (pengadilan
negeri). Pada masa itu, secara resmi digariskan bahwa Kejaksaan
memiliki kekuasaan untuk:19
a. Mencari (menyidik) kejahatan dan pelanggaran
b. Menuntut Perkara
c. Menjalankan putusan pengadilan dalam perkara kriminal.
d. Mengurus pekerjaan lain yang wajib dilakukan menurut
hukum.
Begitu Indonesia merdeka, fungsi seperti itu tetap
dipertahankan dalam Negara Republik Indonesia. Hal itu
19
41
ditegaskan dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, yang
diperjelas oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 1945.
Isinya mengamanatkan bahwa sebelum Negara R.I. membentuk
badan-badan dan peraturan negaranya sendiri sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang Dasar, maka segala badan dan
peraturan yang ada masih langsung berlaku.
Karena itulah, secara yuridis formal, Kejaksaan telah ada
sejak kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, yakni tanggal 17
Agustus 1945. Dua hari setelahnya, yakni tanggal 19 Agustus
1945, dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) diputuskan kedudukan Kejaksaan dalam struktur Negara
Republik Indonesia, yakni dalam lingkungan Departemen
Kehakiman.
Kejaksaan RI terus mengalami berbagai perkembangan dan
dinamika secara terus menerus sesuai dengan kurun waktu dan
perubahan sistem pemerintahan. Sejak awal eksistensinya,
hingga kini Kejaksaan Republik Indonesia telah mengalami 22
periode kepemimpinan Jaksa Agung. Seiring dengan perjalanan
sejarah ketatanegaraan Indonesia, kedudukan pimpinan,
organisasi, serta tata cara kerja Kejaksaan, juga juga mengalami
berbagai perubahan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi
masyarakat, serta bentuk negara dan sistem pemerintahan.20
20
Menyangkut Undang-Undang tentang Kejaksaan, perubahan
mendasar pertama berawal tanggal 30 Juni 1961, saat
pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 15 tahun 1961
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan. Undang-Undang
ini menegaskan Kejaksaan sebagai alat negara penegak hukum
yang bertugas sebagai penuntut umum (pasal 1),
penyelenggaraan tugas departemen Kejaksaan dilakukan Menteri
atau Jaksa Agung (Pasal 5) dan susunan organisasi yang diatur
oleh Keputusan Presiden. Terkait kedudukan, tugas dan
wewenang Kejaksaan dalam rangka sebagai alat revolusi dan
penempatan kejaksaan dalam struktur organisasi departemen,
disahkan Undang-Undang Nomor 16 tahun 1961 tentang
Pembentukan Kejaksaan Tinggi.
Pada masa Orde Baru ada perkembangan baru yang
menyangkut Kejaksaan sesuai dengan perubahan dari
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 kepada Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Perkembangan itu juga mencakup perubahan mendasar pada
susunan organisasi serta tata cara institusi Kejaksaan yang
didasarkan pada adanya Keputusan Presiden Nomor 55 tahun
43
b. Masa Reformasi
Masa Reformasi hadir ditengah gencarnya berbagai sorotan
terhadap pemerintah Indonesia serta lembaga penegak hukum
yang ada, khususnya dalam penanganan Tindak Pidana Korupsi.
Karena itulah, memasuki masa reformasi Undang-undang
tentang Kejaksaan juga mengalami perubahan, yakni dengan
diundangkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan. Kehadiran undang-undang ini disambut gembira
banyak pihak lantaran dianggap sebagai peneguhan eksistensi
Kejaksaan yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan
pemerintah, maupun pihak lainnya.
.
2. Visi dan Misi
Visi
Mewujudkan Kejaksaan Negeri Bandung sebagai Lembaga Penegak
Hukum yang berorientasi pada pelayanan yang berkualitas dengan
mengedepankan Profesional, Proporsional serta Integritas Moral
Misi
Peningkatan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka
penegakkan hukum
Peningkatan kualitas penyelesaian penanganan perkara pidana
Peningkatan kualitas dan kuantitas pelayanan hukum melalui
Peningkatan produktivitas kerjasama dengan Instansi Pemerintah
dalam rangka fungsi sebagai Jaksa Pengacara Negara
Peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam pelaksanaan tugas
dan wewenang Kejaksaan
Motto
Memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat pencari keadilan.
3. PIDSUS (Pidana Khusus)
Seksi Tindak Pidana Khusus mempunyai tugas melakukan
pengendalian kegiatan penyelidikan, penyidikan, prapenuntutan,
pemeriksaan tambahan, penuntutan, melaksanakan penetapan dan
putusan pengadilan, pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan
lepas bersyarat dan tindakan hukum lainnya dalam perkara tindak
pidana khusus didaerah hukum Kejaksaan Negeri yang
bersangkutan.
Seksi Tindak Pidana Khusus menyelenggarakan fungsi sebagai
berikut :
Penyiapan perumusan kebijaksanaan teknis dibidang tindak
pidana khusus berupa pemberian bimbingan, pembinaan dan
pengamanan teknis.Penyiapan rencana, pelaksanaan dan
pengendalian kegiatan penyelidikan, penyidikan, prapenuntutan,
pemeriksaan tambahan, penuntutan dan pengadministrasiannya ;
Pelaksanaan penetapan hakim dan putusan pengadilan,
45
tindakan hukum lain dalam perkara tindak pidana khusus serta
pengadministrasiannya ;
Pembinaan kerjasama dan koordinasi dengan instansi terkait dan
memberikan bimbingan serta petunjuk teknis kepada penyidik dalam
penanganan perkara tindak pidana korupsi, ekonomi dan tindak
pidana khusus yang lain serta pengadministrasiannya ;
Penyiapan bahan sarana konsepsi tentang pendapat dan atau
pertimbangan hukum Jaksa Agung mengenai tindak pidana khusus
dan masalah hukum lain dalam kebijaksaan hukum ;
Peningkatan kemampuan, keterampilan dan integritas aparat
tindak pidana khusus.
Seksi Tindak Pidana Khusus terdiri dari :
a. Sub Seksi Penyidikan.
46
BAB III
LAPORAN KEGIATAN KERJA PRAKTIK
DI KEJAKSAAN NEGERI BANDUNG
A. Laporan Harian
Selama melaksanakan kerja praktik di Kejaksaan Negeri Bandung,
peneliti ditempatkan pada bagian tindak pidana khusus yang merupakan
salah satu unit kerja dari Sub Bagian tindak pidana khusus yang
mempunyai tugas melakukan urusan dibagian tindak pidana khusus yang
dipimpin oleh bapak Rynal Umar, SH sebagai Kasi Pidsus.
Adapun sebagian kegiatan dari aktivitas yang dilaksanakan setiap hari
di bagian tindak pidana khusus yaitu Register Surat Masuk dan Keluar
Semua surat yang masuk ke bagian tindak pidana khusus yang sudah
melalui dan tercatat di bagian tata usaha, langsung diserahkan kebagian
tindak pidana khusus. Surat-surat yang masuk tersebut dicatat dalam buku
agenda surat masuk dengan cara mengisi kolom tersebut :
1. Tanggal terima
2. Nomor urut atau kode surat
3. Tanggal dan nomor surat pengerim
4. Asal surat
5. Perihal
47
Sama halnya dengan surat masuk, surat keluarpun setleh
ditandatangani kemudian dicatat dalam buku agenda surat keluar dengan
cara mengisi kolom-kolom tersebut di bawah ini :
1. Tanggal terima
2. Nomor surat atau kode surat
3. Tanggal terima
4. Kepada atau untuk kemana surat tersebut akan diberikan
5. Perihal
6. Isi surat dengan ringkas
7. Keterangan
B. Laporan Bulanan
Laporan bulanan dibuat oleh Kasi Pidsus untuk dilaporkan ke Kepala
Kejaksaan. Laporan tersebut berisikan
1. Perkaran pidana yang masuk.
2. Perkara yang dalam proses penyidikan.
3. Penghentian penyidikan dan
4. Perkara yang diselesaikan sampai tahap eksekusi
Kepala Kejaksaan bisa melihat kinerja Kasi Pidsus dalam penanganan
perkara selama satu bulan dan banyak perkara yang masuk ke Kasi Pidsus.
C. Tugas Utama
Tugas peneliti saat melakukan kerja peraktek di kejaksaan yaitu menulis
surat-surat yang perlukan Kejasaan yaitu surat sebagai berikut :
2. Permintaan bantuan pengawalan tahanan dan pengamanan
persidangan (PK-13)
3. Surat perintah pemeriksaan tambahan (PK-20)
4. Surat panggilan (PK-21)
49
b. Di tahan oleh penyidik atau jaksa penuntut umum dengan jenis penahanan *
a. Rutan sejak tgl………. s/d tgl………. b. Rumah sejak tgl………s/d tgl……….
c. Kota sejak tgl……….s/d tgl……….
sebagai yang di atur dan di acam dalam pasal………... ………
………19…………
JAKSA PENUNTUT UMUM
………
NIP. Diuraikan secara cermat,jelas dan
lengkap tindak pidana yang didak- wakan secara :
-Tunggal atau,
51
Diminta dengan hormat bantuan sodara untuk memberikan tenaga pengawalan tahanan dan pengamanan dalam rangka penyidangan perkara para tedakwa :
Atas bantuan sodara diucapkan terimakasih
KEPALA KEJASAAN NEGRI……… ….………
(_____________________________) NIP.
Tembusan :
1. Ketua pengadilan Negri 2. Kepala rumaha tahanan 3. Arsip
KEJAKSAAN NEGRI………
UNTUK KEADILAN
1. Surat-Surat/Keterangan yang berhubungan dengan perkara
2. Penetapan hakim/ketua pengadilan………
1. Dalam sidang tanggal………
3. Pasal 203 (3) b KUHP.
Pertimbangan : Perlu diadakan pemeriksaan tambahan terhadap perkara atas nama terdakwa tersebut diatas
MEMERINTAHKAN
KEPADA : 1.
2. 3.
Untuk : Melakukan pemeriksaan tambahan terhadap :
53
Memenuhi Penetapan Hakim/Ketua pengadilan Negri dalam sidang
tanggal……… dan ketentuan padal 203 KUHAP , dengan ini diminta kedatangan saudara di kantor kejaksaan……….
menghadap kepada jaksa penuntut umum………
untuk diminta keterangan-keterangan yang diperlukan dalam perkara tersangka:
………
2. Hakim yang bersangkutan 3. Berkas perkara