• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Kewenangan Kejaksaan dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan Yuridis Kewenangan Kejaksaan dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN YURIDIS KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM

PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

LAPORAN KERJA PRAKTIK

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Kerja Praktik

Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia

Oleh

Nama : Adek Wahyudin NIM : 31610013 Program Kekhususan : Hukum Pidana

Dibawah Bimbingan: Muntadhiroh Alchujjah,S.H.,LLM

NIP: 41273300011

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA

BANDUNG

(2)
(3)
(4)

Tempat Tanggal Lahir : Sukabumi, 20 Desember 1990

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Agama : Islam

Alamat : Kp. Bojong Setra Rt 02 Rw 10 Kec.

Cibadak Kab.Sukabum

Telepon : 085624049793

Pendidikan Formal :

- TK ADAWAH

- SD Negeri 2 Cibadak-Sukabumi

- SMP Negeri 2 Cibadak-Sukabumi

- SMA Taman Siswa Kota Sukabumi

Daftar riwayat hidup ini di buat dengan sebenar-benarnya tanpa ada

(5)

iv

BAB II KEWENANGAN KEJAKSAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI………. 11

BAB III KEGIATAN KERJA PRAKTEK DI PRAKTIK DI KEJAKSAAN NEGERI BANDUNG ………. 46

A.Laporan Harian……….. 46

B.Laporan Bulanan……… 47

C.Tugas Utama……….. 47

(6)

i

Segala puji serta syukur penulis panjatkan kepada Allah S.W.T yang telah memberikan segala rahmat dan karunia-Nya, shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi besar kita Muhammad S.A.W, bahwa penulis masih diberikan kesempatan untuk dapat mensyukuri segala nikmat-Nya, berkat taufik dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan Laporan Kerja Praktik dengan

judul “Tinjauan Yuridis Kewenangan Kejaksaan Dalam Penanganan Perkara

Tindak Pidana Korupsi”

Penulis sangat menyadari bahwa dalam pembuatan laporan ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi substansi maupun tata bahasa, sehingga kiranya masih banyak yang perlu dipahami dan diperbaiki. Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang insya Allah dengan jalan ini dapat memperbaiki kekurangan dikemudian hari.

Pada proses penyusunan laporan ini banyak mendapatkan bantuan dan dukungan dari banyak pihak, oleh karena itu penulis mengucapkan banyak

terimakasih dengan penuh rasa hormat kepada Ibu Munthadiroh

Alchujjah,S.H.,LLM selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, pikiran dan kesabarannya untuk membimbing dalam penulisan Laporan Kerja Praktik ini, selain itu juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kedua Orang Tua yang telah meberikan dukungan moril dan materi 2. Yth.Prof.Dr.Mien Rukmini,S.H.,M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Komputer Indonesia

3. Yth. Ibu Hetty Hassanah, S.H., M.H. selaku Ketua Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia

4. Yth. Ibu Arinita Sandria, S.H., M.H. selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia

5. Yth. Bapak Dwi Iman Muthaqin,S.H.,M.H selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia

(7)

ii

7. Yth. Ibu Febilita Wulan Sari, S.H selaku Dosen Wali angkatan 2009 sekaligus Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia 8. Yth. Ibu Yani Brilyani Tapivah, S.H., M.H. selaku Dosen Fakultas

Hukum Universitas Komputer Indonesia

9. Yth. Ibu Farida Yulianti, S.H., S.E., M. selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia

10. Yth. Bapak Muray selaku Karyawan Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia

11. Teman-teman seperjuangan Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia yang tidak dapat disebutkan satu persatu

Akhir kata peneliti mengucapkan rasa syukur yang sebesar-besarnya kepada Allah S.W.T, karena atas ijin-Nya peneliti dapat menyelesaikan Laporan Kerja Praktik ini, semoga Laporan Kerja Praktik ini bermanfaat bagi para pembaca dan peneliti sendiri.

Bandung,30 Januari 2014

(8)

64 Sumber Buku

Marwan Effendi, Kejasaan RI Posisi Dan Fungsi-Fungsi Dari Perpsfektif

Hukum, PT.Gramedia Pustaka Utama,Jakarta,2005

Yopie Morya Immanuel Parito, Diskresi Pejabat Publik Dan Tindak Pidana

Korupsi,CV Keni Media,Bandung,2012

Darwan Prinst , Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,PT.Citra Aditya

Bakti,2002

Evi Hartanti, Penyidikan Penyelidikan Penuntutan Dan Pemeriksaan di

Sidang Pengadilan Kasus Korupsi

Sumber Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang hukum Pidana

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Poko

Kepegawaian

Sumber Internet

http://hukumonline.com

http://www.republika.co.id

http://wikipedia.org

http://kejati-kaltim.go.id

(9)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mahasiswa dituntut untuk menguasai dan mempunyai keahlian

dibidang jurusannya masing-masing, serta mampu memecahkan

persoalan yang ada dilingkungan masyarakat, kampus dan di instansi

pemerintahan, untuk lebih mengetahui dan memperdalam pengetahuan

tentang permasalahan-permasalahan yang ada instansi pemerintahan

maka mahasiswa dituntut untuk mengikuti kerja langsung di kantor

instansi pemerintahan yang disebut kerja praktik. Kerja praktik adalah

kegiatan mahasiswa untuk menerapkan ilmu-ilmu yang sudah di terima di

setiap matakuliah untuk diterapkan dalam dunia kerja diperusahaan atau

instansi pemerintahan

Peneliti melakukan kerja praktik diinstansi Kejaksaan Negeri Bandung

tepatnya dibagian Pidana Khusus (PIDSUS), bagian yang mengatasi

pelanggaran atau perbuatan pidana namun tidak tercantum dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) diantarnya tindak pidana

korupsi.

Kejaksaan adalah lembaga pemeritahan yang mempunyai tugas dan

wewenang dibidang penuntutan dalam penegakan hukum yang dilakukan

(10)

Menurut Pasal 2 Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang

Kejaksaan, memberi pengertian Kejaksaan Sebagai berikut:

“Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam undang-undang ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan

undang-undang”

Sedangkan Jaksa menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun

2004 tentang Kejaksaan, pengertian Jaksa sebagai berikut:

“Jaksa adalah pejabat fungsional yang di beri undang-undang

untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum

tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang”

Fungsi Jaksa selain dapat melakukan penuntutan, jaksa memilik

wewenang yang lebih dibidang perkara tindak pidana korupsi yaitu

melakukan penyidikan dalam perkara tindak pidana korupsi,

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi

menegaskan penyidik tindak tidana korupsi adalah KPK, Jaksa dan

Polisi

Menurut Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

“Penyidik adalah pejabat pejabat polisi negara Republik

Indonesia atau Pejabat pegawai negri sipil tertentu yang diberi

wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan

(11)

3

Berdasarkan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004

tentang Kejaksaan, kejaksaaan berwenang untuk melakukan penyidikan

terhadap tindak pidana tertentu, dibidang perkara tindak pidana korupsi

kewenangan kejaksaan elakukan penyidikan diatur pada

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.1

Kewenangan kejaksaan dalam melakukan penyidikan tindak pidana

tertentu dimaksudkan untuk menampung beberapa ketentuan

undang-undang, yang memberikan kewenangan kepada kejaksaan untuk

melakukan penyidikan, Jadi kewenangan kejaksaan untuk melakukan

penyidikan dibatasi pada tindak pidana tertentu yaitu yang secara

spesifik diatur dalam undang-undang, khusus dalam tindak pidana

korupsi di ataur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002

tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.2

Tindak pidana korupsi yang merupakan tindak pidana khusus dalam

penangananya diperlukan suatu kerja sama dengan pihak lain, untuk

1

Syahti rahmadsyah , Beda Kewenangan KPK, Kepolisian dan Kejaksaan Selaku Penyelidik dan Penyidik , hukumonline.com diakses pada tgl.12/20/2013 pukul 05:50 WIB

2

(12)

dapat diselesaikan perkaranya oleh jaksa, Jaksa sebagai penyidik

merangkap sebagai penuntut umum dalam penanganan tindak pidana

korupsi.

Kejaksaan dalam melaksanakan tugasnya sebagai penyidik dalam

tindak pidana korupsi dapat bekerja sama dengan pihak lain yang terkait.

Kerja sama dengan pihak lain ini disebut dengan hubungan hukum,

hubungan hukum adalah hubungan yang terjadi antara subyek hukum

yang satu dengan subyek hukum lainnya dan atau antara subyek hukum

dengan obyek hukum yang terjadi dalam masyarakat dimana hubungan

tersebut diatur oleh hukum dan karenanya terdapat hak dan kewajiban

diantara pihak-pihak dalam hubungan hukum3, berikut pihak-pihak yang

dapat berhubungan dengan kejaksaan dalam perkara tindak pidana

korupsi :4

1. Hubungan hukum dengan perseorangan

a. Kerja sama dengan seseorang saksi

b. Seorang tersangka

c. Seorang penasehat hukum

2. Hubungan hukum dengan badan hukum

Perusahaan Terorganisasi tempat tersangka melakukan tindakan

korupsi.

3

Anonymous ,hubungan hukum,http://statushukum.com/ di akses pada tgl.10/11/2013 jam:19:00

4

(13)

5

3. Hubungan hukum dengan instansi pemerintahan

a. Kepolisian

b. Lembaga Pemasyarakatan

c. Pengadilan

d. Pengawas Keuangan

4. Hubungan dengna instansi lain

a. Bank,

b. Kantor

c. Pos

Korupsi berasal dari bahasa latin yaitu corruptive/corruptus

selanjutnya kata corruption berasal dari kata corrumpore (suatu kata latin

yang tua) dalam ensiklopedia Indonesia disebut bahwa korupsi (dari

bahasa latin corruptive=penyuapan , corrumpore=merusak) yaitu para

pejabat badan-badan Negara menyalahgunakan terjadinya

penyuapan,pemalsuan ketidakberesan lainya.5

Tindak pidana korupsi Indonesia sudah meluas dalam masayarakat.

perkembangannya terus meningkat setiap tahun baik dalam kasus yang

terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas

tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang

memasuki seluruh aspek kehidupa masyarat

5

(14)

Faktanya menunjukan bahwa angka korupsi di Indonesia selama

tahun 2012 tergabung dalam 60 besar negara terkorup versi transparansi

internasional.6. Indonesia terus menjadi perhatian dunia dalam

permasalahan korupsi terbukti pada saat ada kasus Hambalang yang

menyeret nama mantan Menpora Andi Mallarangeng, kasus wisma atlet

dan kasus korupsi pengadaan Al Quran.

Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan

membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian

nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada

umumnya.Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistemastis juga

merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi

masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi

dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan menjadi suatu

kejahatan yang luar biasa. Begitu pula dalam upaya pemberantasannya

tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang

luar biasa.

Dalam rangka mewujudkan supremasi hukum, pemerintah telah

meletakkan landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memberantas

tindak pidana korupsi. Berbagai kebijakan tersebut antara lain tertuang

dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan

6

(15)

7

Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

dan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kalangan koruptor diibaratkan sebagai “lingkaran setan”, maksud dari

lingkaran setan tersebut adalah dalam hal terjadi tindak pidana korupsi

ada yang mengetahui telah terjadi korupsi tetapi tidak melaporkan pihak

yang berwajib, ada yang mengetahui tapi tidak merasa tahu, ada yang

mau melaporkan tapi dilarang, ada yang boleh tapi tidak berani, ada

yang berani tapi tidak punya kuasa, ada yang punya kuasa tapi tidak

mau, sebaliknya ada pula yang punya kuasa, punya keberanian tetapi

tidak mau untuk melapor pada yang berwajib.

Sebagai peneliti yang mendapat kesempatan kerja peraktik di

Kejaksaan Negeri Bandung maka dengan ini peneliti tertarik untuk

meneliti laporan kerja peraktik dengan judul sebagai berikut ini :

Tinjauan Yuridis Tehadap Kewenangan Kejaksaan Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi”

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan yang dapat

dikaji adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam

(16)

2. Apakah jaksa dapat menghentikan penyidikan suatu perkara

tindak pidana korupsi dengan alasan bukti sulit ditemukan atau

batas waktu penyidikan telah berakhir?

C. Maksud dan Tujuan Kegiatan

Berikut adalah maksud dari pembuaatan laproan kerja praktik:

1. Agar mengetahui Kewenangan Jaksa dan KPK dalam menangani

perkara tindak pidana korupsi dan mengetahui batasan

kewenangan kejaksaan dan KPK dalam penanganan perkara

tindak pidana korupsi

2. Secara teoritis diharapkan dapat memberi sumbangsih ilmiah

dalam pengembangan kebijakan hukum pidana. Secara praktis,

diharapkan dapat memberikan kontribusi dan solusi konkrit bagi

penegak hukum dan Jaksa dalam penanggulangan tindak pidana

korupsi.

D. Manfaat Kegiatan

Manfaat dari dilaksanakannya Kerja Praktik ini adalah melatih peneliti

agar dapat berfikir secara kritis dan logis dalam menguraikan dan

membahas suatu permasalahan yang ada di dunia kerja sesuai dengan

pengetahuan yang telah diperoleh selama diperkuliahan, berdasarkan

dengan bidang studinya. Kerja praktik tersebut, juga melatih peneliti agar

memiliki kemampuan membuat suatu penelitian yang sistematis dan

terstruktur sesuai dengan format yang berlaku. Kegunaan dari Kerja

(17)

9

1. Untuk melihat implementasi dari teori yang telah diperoleh selama

pembelajaran dikampus dengan praktik yang ada dilapangan.

2. Untuk memberikan laporan secara tertulis mengenai kegiatan kerja

praktik yang telah dilakukan oleh Peneliti pada instansi yang telah

dipilih.

3. Untuk mengumpulkan data-data yang diperlukan dalam pembuatan

Laporan Kerja Praktik.

Kerja Praktik ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara

teoritis dan praktis, yaitu:

1. Kegunaan Teoritis

Laporan dari kegiatan Kerja Praktik ini diharapkan dapat memberikan

masukan terhadap ilmu hukum pada umumnya, serta hukum pidana,

khususnya dalam hal Tindak Pidana Korupsi

2. Kegunaan Praktis

Laporan dari kegitan Kerja Praktik ini diharapkan dapat memberikan

sumbangan pemikiran dan bahan pertimbangan bagi pihak-pihak

yang membutuhkan informasi mengenai Perkara Tindak Pidana

Korupsi

E. Jadwal Penelitian

Penelitan ini dilaksanakan sesuai dengan Surat Pengantar Kerja

Praktik yang dikirimkan pada instansi, yaitu dalam rentang waktu 30

September 2013 sampai dengan 30 November 2013, dengan jumlah jam

(18)

praktik dilakukan selama semester 7 dan diakhir semester akan diadakan

sidang untuk pertanggung jawaban laporan hasil kerja praktik tersebut.

Secara bagan dapat digambarkan sebagai berikut:

(19)

11

BAB II

KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA

KORUPSI

A. Pengertian Jaksa dan Kejaksaan

Pengertian Jaksa menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004

tentang Kejasaan Republik Indonesia sebagai berikut:

“Jaksa adalah pejabat fungsional yang di beri undang -undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan

undang-undang”

Jaksa dan Kejaksaan berdasarkan Pasal 1 ayat (6) huruf a KUHAP,

sebagai berikut :

“Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang

-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta

melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap”

Jaksa dari pengertian diatas dapat di sebut sebagai Jaksa yang

berkolerasi dengan aspek jabatan atau pejabat fungsional, sedangkan

pengertian penuntut umum berkolerasi dengan aspek fungsi dalam

melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hukum hakim di

(20)

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

memberikan pengertian :

“Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam

undang-undang ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan

undang-undang”

B. Rumusan Tindak Pidana Korupsi

Korupsi berasal dari bahasa latin yaitu corruptive/corruptus

selanjutnya kata corruption berasal dari kata corrumpore (suatu kata latin

yang tua) dalam ensiklopedia Indonesia disebut bahwa korupsi (dari

bahasa latin corruptive atau penyuapan , corrumpore atau merusak yaitu

para pejabat badan-badan Negara menyalahgunakan terjadinya

penyuapan,pemalsuan ketidakberesan lainya.8 korupsi secara harafih

dapat berupa9:

1. Kejahatan,kebusukan,dapat disuap ,tidak bermoral,kebejatan dan

ketidakjujuran.

2. Perbuatan yang busuk seperti penggelapan uang,penerimaan

uang sogog dan sebagainya

3. Perbuatan yang pada kenyataannya menimbulkan keadaan yang

besifat buruk : prihalaku yang jahat dan tercela atau kebejatan

moral, penyuapan dan bentuk-bentuk ketidak jujuran,sesuatu

8

Yopie Morya Immanuel Patrio, Diskresi Pejabat Publik dan Tindak Pidana Korupsi,

CV.Keni Media,2012,Hlm.129

9

(21)

13

yang dikorup seperti yang diubah atau diganti secara tidak tepat

dalam suatu kalimat,pengaruh pengaruh yang korup sedangkan

menurut Transparency Internasional memberikan define tentang

korupsi sebagai perbuatan meyalah gunakan kekuasaan dan

kepercayaan public untuk keuntungan pribadi.

Korupsi dalam Ilmu Politik didefinisikan sebagai penyalahgunaan

jabatan dan administrasi, ekonomi atau politik, baik yang disebabkan

oleh diri sendiri maupun orang lain, yang ditujukan untuk memperoleh

keuntungan pribadi, sehingga meninbulkan kerugian bagi masyarakat

umum, perusahaan, atau pribadi lainnya

Korupsi adalah perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk

memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari

pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya

untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau

orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak

lain. 10

Dengan definisi tersebut,maka dapat disimpulkan terdapat 3 (tiga)

pengertian korupsi yaitu11:

1. Menyalahggunkan kekuasaan

10

Pengertian Definisi Korupsi Menurut Para Ahli ,Black’s Law Dictionary

http://definisipengertian.com/2012/pengertian-definisi-korupsi-menurut-para-ahli , di akses pada 31 januari 2014 , pukul 19:19 WIB

11

(22)

2. Kekuasaan yang dipercayakan (yaitu baik disektor publik

maupun disektor swasta) memiliki akses bisnis atau

menguntungkan materi

3. Keuntungan pribadi (tidak selalu berarti hanya untuk pribadi

orang yang menyalahgunkan kekuasaan , tetapi juga anggota

keluarga dan juga temannya)

Memperhatikan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Tindak

korupsi itu dapat dilihat dari dua segi yaitu korupsi aktif dan korupsi pasif.

1. Korupsi aktif adalah tindak pidana dalam rumusannya

mencantumkan unsur perbuatan aktif

2. Tindak pidana pasif adalah tindak pidana yang dalam unsurnya

mencantumkan unsur perbuatan pasif. 12

Korupsi aktif dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Juncto

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi adalah sebagai berikut:

1. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berbunyi :

“Secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau

orang lain atau korporasi, yang dapat merugikan

keuangan negara atau perekonomian negara “

12

(23)

15

2. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berbunyi:

“Dengan bertujuan mengutungkan diri sendiri atau orang

lain atau suatu korporasi menyalahgunakan

kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya kerena jabatannya atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian

Negara”

3. Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berbunyi :

“Memberikan hadiah atau janji kepada pegawai negeri

dengan mengingat kekuasaan atau kewenangan yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau

kedudukan.”

4. Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak

Pidana Korupsi berbunyi :

“Percobaan pembatuan atau pemufakatan jahat untuk

melakukan tindak pidana korupsi”

5. Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berbunyi :

“Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pagawai

negeri atau penyelenggara negara dengan maksud

supada berbuat atau tidak berbuat sesuatau dalam

jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.”

6. Pasal 1 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

(24)

“Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau

penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan

susuatu yang bertentangan dengan kewajibannya yang

dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatan”

7. Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Pemeberantasan Tindak Pidana Korupsi

“Memberikan atau menjanjikan sesuatu pada hakim

dengan maksud untuk mempengaruhi putusan putusan

yang diserahkan padanya untuk diadili”

8. Pasal 7 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Pemeberantasan Tindak Pidana Korupsi

“Pemborong atau ahli bangunan yang pada waktu

membuat bangunan, atau penjual bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang , atau keselamatan negara dalam

keadaan perang”

9. Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Pemeberantasan Tindak Pidana Korupsi

“Setiap orang yang betugas mengawasi bangunan atau

penyerahan bahan bangynan , sengaja membiarkan

perbuatan curang sebagai yang dimaksud dalam huruf a”

10. Pasal 7 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Pemeberantasan Tindak Pidana Korupsi

“Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang

(25)

17

Negara Republik Indonesia Melakukan perbuatan curang

yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam

keadaan perang”

11. Pasal 7 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Pemeberantasan Tindak Pidana Korupsi

“Setiap Orang yang bertugas mengawasi penyerahan

barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan

Kepolisian Negara Republik Indonesia Sebagai mana yang

dimaksud dalam huruf c”

12. Pasal 8 Udang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang

Pemeberantasan Tindak Pidana Korupsi

“Pegawai negeri atau orang lain selain pegawai negeri

yang ditugaskan menjalakan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan

tersebut”

13. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang

Pemeberantasan Tindak Pidana Korupsi

“Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang

diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang

(26)

Sedangkan yang disebut dengan korupsi pasif dalam

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 adalah sebagai berikut:

1. Pasal 5 ayat(2) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

“Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang

menerima pemberian atau janji karena perbuatan

yang tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang

bertentangan dengan kewajibannya”

2. Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

“Hakim atau advokat yang menerima pemberian

untuk mempengaruhi putusan perkara yang di serahkan padanya untuk diadili atau mempengaruhi nasihat atau pendapat yang diberikan berhubungan dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan

untuk diadili”

3. Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

"Hakim yang menerima hadiah atau janji padahal

diketahui atau patut diduga bahwa hadia atau janji

tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan

perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili”

4. Pasal 12 huruf d Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

(27)

19

“Advokat yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui

atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang diberikan berhubungan dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili”

5. Pasal 12 B Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

“Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara

yang menerima gratifitasi yang diberikan

berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan

dengan kewajiban atau tugasnya”

Demikian pengertian tentang korupsi aktif dan pasif yang diatur

dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Juncto

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi

C. Pengertian Pegawai Negeri Sipil

Pegawai negeri adalah pegawai yang telah memenuhi syarat yang

ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas

dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan

digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 1 sub 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juntco

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

(28)

“(1)Pegawai negeri sipil sebagai dimaksud dalam Undang-Undang tentang kepegawaian

(2)Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

(3)Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah

(4)Orang yang menerima Upah atau gaji atau upah dari korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah

(5)Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau

masyarakat.”

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1961 tentang Pokok Kepegawaian.

Undang-Undang ini sudah dicabut dan di ganti dengan Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok Kepegawaian yang kemudian diubah

dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok

Kepegawaian.

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang

Pokok-Pokok Kepegawaian Berbunyi:

“pegawai negeri adalah setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangakat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas

negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku”

Pasal 2 ayat (1) Undang-Udang Nomor 43 Tahun 1999 tentang

Pokok-Pokok Kepegawaian membedakan pegawai negeri atas tiga

kelompok yaitu:

(29)

21

2. Anggota Tentara Nasional Indonesia

3. Anggota Kelpolisian Negara Republik Indonesia.”

Pasal 2 ayat (2) Undang-Udang Nomor 43 Tahun 1999 tentang

Pokok-Pokok Kepegawaian menyatakan bahwa pegawai negeri sipil

terdiri dari:

“1. Pegawai negeri sipil pusat

2. Pegawai negeri sipil daerah.”

Pasal 2 ayat (2) Undang-Udang Nomor 43 Tahun 1999 tentang

Pokok-Pokok Kepegawaian menyatakan

“Disamping pegawai negeri sebagaimana dimaksud pejabat

yang dapat mengangakat pegawai tidak tetap”

D. Subjek Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi Menggolongkan subjek delik terbagi dalam

beberapa kelompok. Bila dalam subjek delik melakukan perbuatan

pidana diancam dengan sanksi. Subjek atau pelaku delik itu adalah112 :

1. Manusia

2. Korporasi

3. Pegawai Negeri

12

Martiman Prodjohamidjojo dikutip dalam, Evi Hartanti, Penyelidikan Penyidikan dan

(30)

4. Setiap orang

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi memberi arti Korporasi sebagai berikut:

“Kumpulan orang atau kekayaan yang terorganisasi baik

merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”

Contoh : Partai Politik, Yayasan, Koperasi dan sebagainya

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi memberi arti Korporasi sebagai berikut:

“Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk

korposrasi”

Yang dimaksud setiap orang adalah orang perorangan

(individu-individu) atau termasuk korporasi.

E. Tindak Pidana Korupsi

Terdapat beberapa rumusan delik dalam Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang

dirumuskan secara formil, sebagaimana yang dijelaskan dalam

penjelasan atas undang-undang, dalam undang-undang tindak pidana

(31)

23

penting untuk pembuktian, Dengan rumusan secar formil yang dianut

dalam undang-undang ini, meskipun hasil korupsi telah dikembalikan

kepada negara, pelaku korupsi tetap diajukan ke pengadilan dan tetap

dipidana.

Pemberantasan korupsi secara formil, mempunyai

kelemahan-kelemahan dan sebagai konsekuensinya jika ada perbuatan-perbuatan

korupsi yang tidak tercangkup dalam korupsi secara formil, maka pelaku

(tersangka) tidak diajukan ke muka hakim. Alasanya yaitu Asas

Legalitas, asas ini ada dalam Pasal 1 KUHP yang berbunyi:

“Tidak ada pebuatan dapat pidana kecuali atas kekuatan

aturan pidana perbudang-undangan yang telah ada sebelum

perbuatan dilakukan”

Berikut unsur-unsur yang harus terpenuhi agar dapat membawa

pelaku tindak pidana korupsi dapat dibawa kemuka persidangan

1. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,untuk memenuhi syarat

delik harus memenuhi unsur melawan hukum, yaitu:

a. Setiap orang

b. Melawan hukum

c. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi

d. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian

(32)

Pada rumusan delik korupsi pada ayat (2) ditambahkan

unsur dilakukan dalam keadaan tertentu dan diancam dengan

pidana mati.

2. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, unsur-unsurnya yaitu:

a. Dengan tujuan Menguntungkan diri sendiri atau orang lain

atau suatu korporasi.

b. Menyalahgunkan kewenangan , kesempatan atau sarana

yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.

c. Yang dapat merugikan keuangan negara atau

perekonimian negara.

3. Rumusan delik Pasal 7 Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, unsur-unsurnya yaitu:

a. Pegawai negeri

b. Sengaja

c. Baik dengan perantara maupun denga langsung

d. Turut serta dalam pemborongan, pengadaan

barang-barang

e. Yang di pengurusnya atau pengawasnya, kerika perbuatan

itu dilakukan, sama sekali atau sebagai diserahkan

(33)

25

4. Rumusan delik Pasal 9 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999

juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi unsur-unsurnya yaitu:

a. Pegawai negeri atau orang lain yang diwajibkan selalu tau

atau untuk semetara menjalankan jabatan umum.

b. Sengaja

c. Dengan palsu membuat atau memalsulkan buku atau daftar

yang semata-mata untu pemeriksaan tata usaha.

5. Rumusan delik Pasal 10 Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, unsur-unsurnya yaitu:

a. Pegawai negeri atau orang lain yang diwajibkan selalu atau

untuk sementara jabatan

b. Sengaja

c. Menggelapkan, menghacurkan, merusakan atau membuat

sehingga tidak dapat dipakai lagi, barang yang

dipergunakan untuk menjadi tanda keyakinan atau bukti bagi

kuasa yang berhak, surat keterangan, surat-surat atau daftar

d. Yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan orang

lain sehingga tidak dapat dipakai barang-barang,surat

tersebut atau daftar itu,atau menolong sebagai pembatu

(34)

6. Rumusan delik Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

Unsur-Unsurnya :

a. Memberi hadiah atau janji

b. Kepala pegawai negeri

c. Dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang

melekat pada jabatan atau kedudukannya atau pemberi

hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau

kedudukan tersebut.

F. Delik Korupsi

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan

perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau satu korporasi yang dapat merugikan keuanga negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan atau paling lama 20 (dua puluh) tahun denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan

paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”

Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

“Dalam hal hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana

(35)

27

Rumusan delik Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan untuk memenuhi syarat delik arus

dicantumkan unsur “melawan hukum” secara tegas sehingga unsur

lainnya seperti berikut :

1. Melawan hukum

2. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi

3. Yang dapat merugikan keunag negara atau perekonomian negara

Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi yang dimaksud dengan

secara melawan hukum dalam Pasal ini mencangkup perbuatan

melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni

meskipun perbuatan tersebut tidak dapat diatur dalam pertauran

perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap

tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma

kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat

dipidana. Dalam ketentuan ini kata dapat sebelum frasa merugikan

keuangan atau perekomian negara menunjukan bahawa tindak pidana

korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah

dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.13

13

(36)

G. Kewenangan Kejaksaan Dalam Kasus Korupsi

Kewenangan Kejaksaan diatur Undang-Undang Nomor 16 Tahun

2004 tentang Kejaksaan dan KUHAP. Pada dasarnya lembaga kejaksaan

dipimpin oleh seorang Jaksa Agung Republik Indonesia dimana dalam

rangka pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana Instruksi

Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan

Pemberantasan Korupsi diinstruksikan untuk mengoptimalkan

upaya-upaya penyidikan terhadap tindak pidana korupsi untuk menghukum

pelaku dan menyelamatkan uang negara, mencegah dan memberikan

sanksi tegas terhadap penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh

Jaksa/Penuntut Umum dalam rangka penegakan hukum, dan

meningkatkan kerja sama dengan Instansi atau lembaga lain.

Berdasarkan data yang peneliti dapatkan dari situs resmi Kejaksaan,

lembaga Kejaksaan mempunyai fungsi, yaitu:14

1. Perumusan kebijaksanaan teknis kegiatan yustisial pidana khusus

berupa pemberian bimbingan dan pembinaan dalam bidang

tugasnya.

2. Perencanaan, pelaksanaan, pemeriksaan tambahan penuntutan,

eksekusi atau melaksanakan penetapan hukum, dan putusan

pengadilan, pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas

bersyarat dan tidak hukum lain serta pengadministrasiannya

14

(37)

29

3. Pembinaan kerja sama, pelaksanaan koordinasi dan pemberian

bimbingan serta petunjuk teknis dalam penanganan perkara

tindak pidana khusus dengan instansi lembaga terkait mengenai

penyelidikan dan penyidikan berdasarkan peraturan

perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa agung

4. Pemberian saran, konsepsi tentang pendapat dan/atau

pertimbangan hukum Jaksa Agung mengenai perkara tindak

pidana khusus dan masalah hukum lainnya dalam kebijaksanaan

penegakan hukum.

5. Pembinaan dan peningkatan kemampuan, keterampilan, dan

integritas kepribadian aparat tindak pidana khusus di lingkungan

kejaksaan

6. Pengamanan teknis atau pelaksanaan tugas dan wewenang

Kejaksaan dibidang tindak pidana khusus berdasarkan peraturan

perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh

Jaksa Agung

Berdasarkan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004

tentang Kejaksaan, kejaksaan memiliki kewenangan dalam penyelesaian

tindak pidana korupsi,sebagai berikut:

1. Berdasarkan dalam Pasal 1 butir 1 Kitab Undang-Undang Hukum

(38)

“Penyidikan adalah pejabat polisi negara Republik

Indonesia atau pejabat negeri sipil tertentu yang diberi

wewenag khusus oleh undang-undang untuk melakukan

penyidikan”

2. Pasal 1 butir 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menetukan tersangkanya.

3. Pasal 1 butir 3 Undang-undang Hukum Acara Pidana Penyidik pembantu adalah pejabat polisi negara republik

Indonesia yang diberi wewenang tertentu dapat

melakukan tugas penyidikan yang di atur dalam

undang-undang ini.

4. Pasal 1 butir 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

“Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik

Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini

untuk melakukan penyidikan"

Konkretnya dapat dikatakan dengan tegas bahwa fungsi dan ruang

lingkup penyidik adalah untuk melakukan penyidikan. Apabila bertitik

tolak melalui istilah penyidikan itu sendiri, ternyata istilah tersebut telah

dikenal sejak dahulu yakni ketika adanya Undang-Undang tentang

(39)

31

Nomor 13 Tahun 1961). Sedangkan mengenai pengertian penyidikan

menurut pandangan doktrina ilmu pengetahuan hukum pidana seperti de

Pinto dikatakan bahwa menyidik (opsporing) diartikan sebagai

“pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditujukan

oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apapun

mendengar kabar yang sekadar beralasan, bahwa ada terjadi sesuatu

pelanggaran hukum.Sedangkan apabila kita mengacu pada ketentuan

Pasal 1 angka 2 KUHAP disebutkan bahwa, penyidikan itu adalah

serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut acara yang diatur

dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang

dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan

guna menemukan tersangkanya15.

Sebelum suatu penyidikan dimulai dengan konsekuensi penggunaan

upaya paksa, terlebih dahulu perlu ditentukan secara cermat

berdasarkan segala data dan fakta yang diperoleh dari hasil penyelidikan

bahwa suatu peristiwa yang semula diduga sebagai suatu tindak pidana

adalah benar-benar merupakan suatu tindak pidana. Terhadap tindak

pidana yang telah terjadi itu dapat dilakukan penyidikan. Dengan

demikian penyidikan merupakan tindak lanjut dari suatu penyelidikan.

Sebelumnya telah diketahui dalam Pasal 1 angka 1 KUHAP

dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan penyidik adalah pejabat polisi

15

(40)

negara atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang

khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan

Selanjutnya pada Pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dikatakan bahwa

Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap

tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang

berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.

Adapun arti Jaksa, menurut ketentuan BAB I Tentang Ketentuan

Umum Pasal 1 ayat 6 Kitab Undang-Undang Hukum Aacara Pidana,

BAB I bagian pertama Pasal 1 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor

16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan menegaskan sebagai berikut :

“Bahwa Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh

undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum

serta melaksanakan putusan pengadilan yang memperoleh

kekuatan hukum tetap”

Jaksa dalam melaksanakan tugas berwenang untuk melakukan

penahanan dalam perkara tindak pidana korupsi:

1. Berdasarkan Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana, yaitu:

“Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa

(41)

33

peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur

dalam undang-undang ini”

2. Berdasarkan Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

sebagai berikut:

“Penahanan adalah penempatan tersanka atau

terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut

umum atau hakim dengan penempatannya, dalam hal

serta menurut cara yang di atur undang-undang ini”

Tujuan penahanan berdasarkan Pasal 20 Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana penahanan yang dilakukan oleh

penyidik, penuntut umum dan hakim bertujuan sebagai berikut:

“untuk kepentingan penyidikan, untuk kepentingan

penuntutan, dan untuk kepentingan pemeriksaan hakim

di sidang pengadilan”

Dasar penahanan yang dilakukan penyidik adalah dasar

keadaan atau keperluan dan dasar yuridis. Dasar keadaan

tersebut yang ditimbulkan karena kekhawatiran bahwa tersangka

atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan

barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.

(42)

“jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini

untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan

penetapan hakim”

Pasal 1 angka 7 KUHAP merumuskan bahwa yang dimaksud

dengan Penuntutan adalah :

“tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus ileh

hakim di sidang pengadilan”

H. Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi

Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak pidana korupsi juncto Undang-Undang Nomor 20

tahun 2001 juncto Uundang-Undang No 30 tahun 2002 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa Komisi

Pemberantasan Korupsi adalah lembaga Negara yang dibentuk melalui

undang-undang dan menjalankan tugas berdasarkan kewenangan yang

melekat secara independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan

manapun

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasa Korupsi memberikan asas atas wewenang komisi

pemberantasan korupsi sebagai berikut:

1. Kepastian hukum yaitu asas dalam negara hukum yang

(43)

35

kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan

tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi;

2. Keterbukaan yaitu asas yang membuka diri terhadap hak

masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan

tidak diskriminatif tentang kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi

dalam menjalankan tugas dan fungsinya

3. Akuntabilitas yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan

dan hasil akhir Komisi Pemberantasan Korupsi harus dapat

dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai

pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku

4. Kepentingan yaitu adalah asas yang mendahulukan

kesejahteraan dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif

5. Proporsionalitas yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan

antara tugas, wewenang, tanggung jawab dan kewajiban Komisi

Pemberantasan Korupsi

Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menjalankan tugas dan

kewenangannya, Komisi Pemberantasan Korupsi harus senantiasa

berpedoman pada asas-asas tersebut. Hal ini dikarenakan asas-asas

tersebut menjiwai setiap pelaksanaan tugas dan kewenangan Komisi

Pemberantasan Korupsi. Tugas Komisi Pemberantasa Korupsi adalah:

1. Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi

(44)

a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan

pemberantasan tindak pidana korupsi;

b. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan

pemberantasan tindak pidana korupsi;

c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap

tindak pidana korupsi;

d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana

korupsi

e. Melakukan monitor terhadap pelanggaran pemerintahan

negara.

f. Komisi Pemberantasan Korupsi bertugas menetapkan status

kepemilikan gratifikasi

g. Menyerahkan gratifikasi yang menjadi milik negara kepada

menteri Keuangan

h. Menentukan kriteria penanganan tindak pidana korupsi.

Berdasarkan tugas-tugas seperti yang telah disebutkan, maka dapat

diketahui bahwa tugas Komisi Pemberantasan Korupsi tidak hanya

melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana

korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi juga bertugas melakukan

koordinasi dan supervisi dengan instansi lain dan melakukan

tindakan-tindakan pencegahan serta melakukan monitoring terhadap

penyelenggaraan pemerintahan

(45)

37

Wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang paling utama

adalah melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap

tindak pidana korupsi. Pada dasarnya kewenangan tersebut merujuk

pada ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan

lain menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberatasan Korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kerangka

kerja Penyidikannya, memiliki target sasaran yang ingin dicapai dalam

penyidikan yaitu:

1. Penyidikan yang efektif menunjang penegakan hukum di

Indonesia dan menjadikan korupsi sebagai kejahatan yang

beresiko tinggi dalam sector publik dan sektor pemerintah. Juga

dalam hal ini menumbuh kembangkan kesadaran publik atas

korupsi sebagai kejahatan yang beresiko tinggi

2. Maksud dan tujuan tersebut adalah menyidik semua tuduhan

korupsi secara efektif dengan mempertimbangkan penuntutan.

Semua penyidikan akan didasarkan dengan Hukum Acara Pidana

yang berlaku dan berdasarkan integritas moral yang tinggi dari

Penyidiknya

3. Berbagai Penyidikan dilaksanakan, dituntaskan atau ditutup

secara efektif dan dilimpahkan pada bidang Penuntutan yang ada

dan Komisi Pemberantasan Korupsi juga harus menumbuhkan

(46)

sehingga tidak mengambang dan segera dilimpahkan ke

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang ada

4. Mengembangkan kapasitas intelegensia dan menyelenggarakan

pelatihan kepada sleuruh staf penyidik dalam rangka untuk

meningkatkan Sumber Daya Manusia yang ada di Komisi

Pemberantasan Korupsi disamping juga meningktkan integritas

moral bagi seluruh staf dan pimpinan serta pegawai Komisi

Pemberantasan Korupsi.

I. Tinjauan Instansi Kejaksaan

1. Sejarah Instansi Kejaksaan

a. Sebelum Reformasi

Istilah Kejaksaan sebenarnya sudah ada sejak lama di

Indonesia. Pada zaman kerajaan Hindu-Jawa di Jawa Timur, yaitu

pada masa Kerajaan Majapahit, istilah dhyaksa, adhyaksa, dan

dharmadhyaksa sudah mengacu pada posisi dan jabatan tertentu di kerajaan. Istilah-istilah ini berasal dari bahasa kuno, yakni dari

kata-kata yang sama dalam Bahasa Sansekerta.

Seorang peneliti Belanda, W.F. Stutterheim mengatakan

bahwa dhyaksa adalah pejabat negara di zaman Kerajaan

Majapahit, tepatnya di saat Prabu Hayam Wuruk tengah berkuasa

(1350-1389 M). Dhyaksa adalah hakim yang diberi tugas untuk

(47)

39

dhyaksa ini dipimpin oleh seorang adhyaksa, yakni hakim tertinggi

yang memimpin dan mengawasi para dhyaksa tadi.17

Kesimpulan ini didukung peneliti lainnya yakni H.H. Juynboll,

yang mengatakan bahwa adhyaksa adalah pengawas (opzichter)

atau hakim tertinggi (oppenrrechter). Krom dan Van Vollenhoven,

juga seorang peneliti Belanda, bahkan menyebut bahwa patih

terkenal dari Majapahit yakni Gajah Mada, juga adalah seorang

adhyaksa.18

Pada masa pendudukan Belanda, badan yang ada

relevansinya dengan jaksa dan Kejaksaan antara lain adalah

Openbaar Ministerie. Lembaga ini yang menitahkan

pegawai-pegawainya berperan sebagai Magistraat dan Officier van Justitie

di dalam sidang Landraad (Pengadilan Negeri), Jurisdictie

Geschillen (Pengadilan tinggi) dan Hooggerechtshof (Mahkamah

Agung ) dibawah perintah langsung dari Residen / Asisten

Residen. Hanya saja, pada prakteknya, fungsi tersebut lebih cenderung sebagai perpanjangan tangan Belanda. Dengan kata

lain, jaksa dan Kejaksaan pada masa penjajahan belanda

mengemban misi terselubung yakni antara lain:

a. Mempertahankan segala peraturan Negara

b. Melakukan penuntutan segala tindak pidana

17

Sejarah kejaksaan http://kejaksaan.go.id/tentang_kejaksaan.php?id=3 di akses pada hari senin 20 januari 2014 pukul 17:30 WIB

18

(48)

c. Melaksanakan putusan pengadilan pidana yang

berwenang

d. Fungsi sebagai alat penguasa itu akan sangat kentara,

khususnya dalam menerapkan delik-delik yang berkaitan

dengan hatzaai artikelen yang terdapat dalam Wetboek

van Strafrecht (WvS).

Peranan Kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga penuntut

secara resmi difungsikan pertama kali oleh Undang-Undang

pemerintah zaman pendudukan tentara Jepang No. 1/1942, yang

kemudian diganti oleh Osamu Seirei No.3/1942, No.2/1944 dan

No.49/1944. Eksistensi kejaksaan itu berada pada semua jenjang

pengadilan, yakni sejak Saikoo Hoooin (pengadilan agung),

Koootooo Hooin (pengadilan tinggi) dan Tihooo Hooin (pengadilan

negeri). Pada masa itu, secara resmi digariskan bahwa Kejaksaan

memiliki kekuasaan untuk:19

a. Mencari (menyidik) kejahatan dan pelanggaran

b. Menuntut Perkara

c. Menjalankan putusan pengadilan dalam perkara kriminal.

d. Mengurus pekerjaan lain yang wajib dilakukan menurut

hukum.

Begitu Indonesia merdeka, fungsi seperti itu tetap

dipertahankan dalam Negara Republik Indonesia. Hal itu

19

(49)

41

ditegaskan dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, yang

diperjelas oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 1945.

Isinya mengamanatkan bahwa sebelum Negara R.I. membentuk

badan-badan dan peraturan negaranya sendiri sesuai dengan

ketentuan Undang-Undang Dasar, maka segala badan dan

peraturan yang ada masih langsung berlaku.

Karena itulah, secara yuridis formal, Kejaksaan telah ada

sejak kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, yakni tanggal 17

Agustus 1945. Dua hari setelahnya, yakni tanggal 19 Agustus

1945, dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia

(PPKI) diputuskan kedudukan Kejaksaan dalam struktur Negara

Republik Indonesia, yakni dalam lingkungan Departemen

Kehakiman.

Kejaksaan RI terus mengalami berbagai perkembangan dan

dinamika secara terus menerus sesuai dengan kurun waktu dan

perubahan sistem pemerintahan. Sejak awal eksistensinya,

hingga kini Kejaksaan Republik Indonesia telah mengalami 22

periode kepemimpinan Jaksa Agung. Seiring dengan perjalanan

sejarah ketatanegaraan Indonesia, kedudukan pimpinan,

organisasi, serta tata cara kerja Kejaksaan, juga juga mengalami

berbagai perubahan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi

masyarakat, serta bentuk negara dan sistem pemerintahan.20

20

(50)

Menyangkut Undang-Undang tentang Kejaksaan, perubahan

mendasar pertama berawal tanggal 30 Juni 1961, saat

pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 15 tahun 1961

tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan. Undang-Undang

ini menegaskan Kejaksaan sebagai alat negara penegak hukum

yang bertugas sebagai penuntut umum (pasal 1),

penyelenggaraan tugas departemen Kejaksaan dilakukan Menteri

atau Jaksa Agung (Pasal 5) dan susunan organisasi yang diatur

oleh Keputusan Presiden. Terkait kedudukan, tugas dan

wewenang Kejaksaan dalam rangka sebagai alat revolusi dan

penempatan kejaksaan dalam struktur organisasi departemen,

disahkan Undang-Undang Nomor 16 tahun 1961 tentang

Pembentukan Kejaksaan Tinggi.

Pada masa Orde Baru ada perkembangan baru yang

menyangkut Kejaksaan sesuai dengan perubahan dari

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 kepada Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Perkembangan itu juga mencakup perubahan mendasar pada

susunan organisasi serta tata cara institusi Kejaksaan yang

didasarkan pada adanya Keputusan Presiden Nomor 55 tahun

(51)

43

b. Masa Reformasi

Masa Reformasi hadir ditengah gencarnya berbagai sorotan

terhadap pemerintah Indonesia serta lembaga penegak hukum

yang ada, khususnya dalam penanganan Tindak Pidana Korupsi.

Karena itulah, memasuki masa reformasi Undang-undang

tentang Kejaksaan juga mengalami perubahan, yakni dengan

diundangkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang

Kejaksaan. Kehadiran undang-undang ini disambut gembira

banyak pihak lantaran dianggap sebagai peneguhan eksistensi

Kejaksaan yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan

pemerintah, maupun pihak lainnya.

.

2. Visi dan Misi

Visi

Mewujudkan Kejaksaan Negeri Bandung sebagai Lembaga Penegak

Hukum yang berorientasi pada pelayanan yang berkualitas dengan

mengedepankan Profesional, Proporsional serta Integritas Moral

Misi

Peningkatan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka

penegakkan hukum

Peningkatan kualitas penyelesaian penanganan perkara pidana

Peningkatan kualitas dan kuantitas pelayanan hukum melalui

(52)

Peningkatan produktivitas kerjasama dengan Instansi Pemerintah

dalam rangka fungsi sebagai Jaksa Pengacara Negara

Peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam pelaksanaan tugas

dan wewenang Kejaksaan

Motto

Memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat pencari keadilan.

3. PIDSUS (Pidana Khusus)

Seksi Tindak Pidana Khusus mempunyai tugas melakukan

pengendalian kegiatan penyelidikan, penyidikan, prapenuntutan,

pemeriksaan tambahan, penuntutan, melaksanakan penetapan dan

putusan pengadilan, pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan

lepas bersyarat dan tindakan hukum lainnya dalam perkara tindak

pidana khusus didaerah hukum Kejaksaan Negeri yang

bersangkutan.

Seksi Tindak Pidana Khusus menyelenggarakan fungsi sebagai

berikut :

Penyiapan perumusan kebijaksanaan teknis dibidang tindak

pidana khusus berupa pemberian bimbingan, pembinaan dan

pengamanan teknis.Penyiapan rencana, pelaksanaan dan

pengendalian kegiatan penyelidikan, penyidikan, prapenuntutan,

pemeriksaan tambahan, penuntutan dan pengadministrasiannya ;

Pelaksanaan penetapan hakim dan putusan pengadilan,

(53)

45

tindakan hukum lain dalam perkara tindak pidana khusus serta

pengadministrasiannya ;

Pembinaan kerjasama dan koordinasi dengan instansi terkait dan

memberikan bimbingan serta petunjuk teknis kepada penyidik dalam

penanganan perkara tindak pidana korupsi, ekonomi dan tindak

pidana khusus yang lain serta pengadministrasiannya ;

Penyiapan bahan sarana konsepsi tentang pendapat dan atau

pertimbangan hukum Jaksa Agung mengenai tindak pidana khusus

dan masalah hukum lain dalam kebijaksaan hukum ;

Peningkatan kemampuan, keterampilan dan integritas aparat

tindak pidana khusus.

Seksi Tindak Pidana Khusus terdiri dari :

a. Sub Seksi Penyidikan.

(54)

46

BAB III

LAPORAN KEGIATAN KERJA PRAKTIK

DI KEJAKSAAN NEGERI BANDUNG

A. Laporan Harian

Selama melaksanakan kerja praktik di Kejaksaan Negeri Bandung,

peneliti ditempatkan pada bagian tindak pidana khusus yang merupakan

salah satu unit kerja dari Sub Bagian tindak pidana khusus yang

mempunyai tugas melakukan urusan dibagian tindak pidana khusus yang

dipimpin oleh bapak Rynal Umar, SH sebagai Kasi Pidsus.

Adapun sebagian kegiatan dari aktivitas yang dilaksanakan setiap hari

di bagian tindak pidana khusus yaitu Register Surat Masuk dan Keluar

Semua surat yang masuk ke bagian tindak pidana khusus yang sudah

melalui dan tercatat di bagian tata usaha, langsung diserahkan kebagian

tindak pidana khusus. Surat-surat yang masuk tersebut dicatat dalam buku

agenda surat masuk dengan cara mengisi kolom tersebut :

1. Tanggal terima

2. Nomor urut atau kode surat

3. Tanggal dan nomor surat pengerim

4. Asal surat

5. Perihal

(55)

47

Sama halnya dengan surat masuk, surat keluarpun setleh

ditandatangani kemudian dicatat dalam buku agenda surat keluar dengan

cara mengisi kolom-kolom tersebut di bawah ini :

1. Tanggal terima

2. Nomor surat atau kode surat

3. Tanggal terima

4. Kepada atau untuk kemana surat tersebut akan diberikan

5. Perihal

6. Isi surat dengan ringkas

7. Keterangan

B. Laporan Bulanan

Laporan bulanan dibuat oleh Kasi Pidsus untuk dilaporkan ke Kepala

Kejaksaan. Laporan tersebut berisikan

1. Perkaran pidana yang masuk.

2. Perkara yang dalam proses penyidikan.

3. Penghentian penyidikan dan

4. Perkara yang diselesaikan sampai tahap eksekusi

Kepala Kejaksaan bisa melihat kinerja Kasi Pidsus dalam penanganan

perkara selama satu bulan dan banyak perkara yang masuk ke Kasi Pidsus.

C. Tugas Utama

Tugas peneliti saat melakukan kerja peraktek di kejaksaan yaitu menulis

surat-surat yang perlukan Kejasaan yaitu surat sebagai berikut :

(56)

2. Permintaan bantuan pengawalan tahanan dan pengamanan

persidangan (PK-13)

3. Surat perintah pemeriksaan tambahan (PK-20)

4. Surat panggilan (PK-21)

(57)

49

b. Di tahan oleh penyidik atau jaksa penuntut umum dengan jenis penahanan *

a. Rutan sejak tgl………. s/d tgl………. b. Rumah sejak tgl………s/d tgl……….

c. Kota sejak tgl……….s/d tgl……….

(58)

sebagai yang di atur dan di acam dalam pasal………... ………

………19…………

JAKSA PENUNTUT UMUM

………

NIP. Diuraikan secara cermat,jelas dan

lengkap tindak pidana yang didak- wakan secara :

-Tunggal atau,

(59)

51

Diminta dengan hormat bantuan sodara untuk memberikan tenaga pengawalan tahanan dan pengamanan dalam rangka penyidangan perkara para tedakwa :

Atas bantuan sodara diucapkan terimakasih

KEPALA KEJASAAN NEGRI……… ….………

(_____________________________) NIP.

Tembusan :

1. Ketua pengadilan Negri 2. Kepala rumaha tahanan 3. Arsip

KEJAKSAAN NEGRI………

(60)

UNTUK KEADILAN

1. Surat-Surat/Keterangan yang berhubungan dengan perkara

2. Penetapan hakim/ketua pengadilan………

1. Dalam sidang tanggal………

3. Pasal 203 (3) b KUHP.

Pertimbangan : Perlu diadakan pemeriksaan tambahan terhadap perkara atas nama terdakwa tersebut diatas

MEMERINTAHKAN

KEPADA : 1.

2. 3.

Untuk : Melakukan pemeriksaan tambahan terhadap :

(61)

53

Memenuhi Penetapan Hakim/Ketua pengadilan Negri dalam sidang

tanggal……… dan ketentuan padal 203 KUHAP , dengan ini diminta kedatangan saudara di kantor kejaksaan……….

menghadap kepada jaksa penuntut umum………

untuk diminta keterangan-keterangan yang diperlukan dalam perkara tersangka:

………

2. Hakim yang bersangkutan 3. Berkas perkara

Referensi

Dokumen terkait

7.115.258,58/ha/MT, maka dengan demikian nilai Revenue Cost Ratio(R/C- ratio) Usahatani semangka adalah sebesar 3,31 menunjukan bahwa R/C > 1 artinya adalah

Untuk menentukan perubahan penggunaan lahan yang mengacu terhadap zona nilai tanah dapat dilakukan dengan overlay peta penggunaan lahan tiap tahunnya dengan peta zona

Ruang yang dibutuhkan adalah ruang untuk area resepsionis untuk penerimaan pengunjung dan informasi, area pameran tentang wayang potehi, area cafe agar pengunjung dapat

Dari pelaksanaan pembelajaran yang berlangsung, berdasarkan pengamatan peneliti, pada pertemuan belum terlaksana dengan baik tahapan-tahapan yang diterapkan di dalam

Salah satunya keunikan yang dimiliki oleh Suku Dayak Kenyah Uma Lung di desa Setulang adalah dapat kita jumpai pada permainan sampek yang dimainkan selalu berpasangan atau lebih

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara regulasi emosi dengan problem focused coping

Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna pada pemberian konsentrasi ekstrak etanol daun salam (Syzygium polyanthum (Wight) Walp.) terhadap

Riana Lutfitasari / A210120041, Pengaruh Kompetensi Akuntansi dan Pengalaman Praktik Kerja Industri Terhadap Kesiapan Kerja Siswa Kelas XI Program Keahlian Akuntansi SMK