PEMBERLAKUAN PERJANJIAN INTERNASIONAL DI INDONESIA DIKAITKAN DENGAN JUDICIAL REVIEW TERHADAP PIAGAM
ASEAN DI MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
OLEH:
TULUS PARDAMEAN NABABAN NIM: 110200150
DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
PEMBERLAKUAN PERJANJIAN INTERNASIONAL DI INDONESIA DIKAITKAN DENGAN JUDICIAL REVIEW TERHADAP PIAGAM
ASEAN DI MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
OLEH:
NIM: 110200150
TULUS PARDAMEAN NABABAN
DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL
Disetujui Oleh:
KETUA DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL
NIP: 195612101986012001 Dr. Chairul Bariah, S.H., M.Hum.
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Dr. Mahmul Siregar. S.H., M.Hum
NIP: 197302202002121001 NIP : 197308012002121002 Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2015
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.
Nama : Tulus Pardamean Nababan
NIM : 110200150
Tanda Tangan : ……….
ABSTRAKSI
Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum*) Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum**)
Tulus Pardamean Nababan***)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pemberlakuan perjanjian internasional di Indonesia berdasarkan pengaturan hukum internasional dan hukum nasional Indonesia kemudian dikaitkan dengan kasus judicial review Piagam ASEAN di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang berhubungan dengan keterikatan Indonesia terhadap suatu perjanjian internasional dan bagaimana suatu undang-undang pengesahan yang merupakan bentuk persetujuan DPR yang berisi Piagam ASEAN sebagai lampirannya yang secara utuh memuat norma-norma hukum internasional dapat diajukan judicial review di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dengan UUD 1945 sebagai dasar ujinya. Dalam hal ini juga akan diketahui apakah Indonesia menganut paham monisme ataukah dualisme dalam pemberlakuan perjanjian internasional tersebut.
Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan dilakukan penelitian kepustakaan guna memperoleh data-data sekunder yang dibutuhkan yang meliputi bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang terkait dengan permasalahan. Hasil penelitian disajikan secara deskriptif guna memperoleh penjelasan dari masalah yang dibahas.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam pemberlakuan perjanjian internasional, baik di dalam UUD 1945 ataupun peraturan perundang-undangan lainnya, tidak secara tegas menyatakan apakah Indonesia menganut paham monisme ataukah dualisme. Namun dalam praktiknya mengisyaratkan bahwa Indonesia menganut paham dualisme dengan menggunakan mekanisme internal dan eksternal dalam pemberlakuan perjanjian internasional. Semua perjanjian
internasional bersifat non-self-executing sehingga pemberlakuannya harus
menggunakan implementing legislation. Apabila dilihat dari bentuk formilnya Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 yang mengesahkan Piagam ASEAN juga merupakan bagian dari kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk dilakukan judicial review sebab UUD 1945 tidak membedakan undang-undang yang termasuk dalam kewenangan Mahkamah Konsititusi. Dalam hal pembatalan keterikatan terhadap suatu perjanjian internasional dengan alasan ketentuan hukum nasional tidak dapat dibenarkan oleh VCLT 1969. Dalam konteks apabila Indonesia ingin menarik keikutsertaannya pada Piagam ASEAN, tidak cukup hanya dilakukan penarikan terhadap undang-undang pengesahannya saja dalam mekanisme internal, tetapi juga harus mengajukan penarikan diri kepada negara-negara pihak Piagam ASEAN sebagai mekanisme eksternal.
Kata Kunci: Perjanjian Internasional, Piagam ASEAN, Mahkamah Konstitusi
_____________________________________
** Dosen Pembimbing II
*** Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utar
ABSTRACT
Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum*) Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum**)
Tulus Pardamean Nababan***)
This study aims to determine how the application of international treaties in Indonesia based on the setting of international law and national law of Indonesia then linked to the judicial review of the ASEAN Charter in the Constitutional Court of the Republic of Indonesia associated with Indonesia attachment to an international treaty and how a law which constitute endorsement Parliament consent forms that contain ASEAN Charter as its attachments which is a whole contains norms of international law can be filed for a judicial review in the Constitutional Court with the Constitution 1945 as the basis for the test. In this case also be known whether Indonesia adopts monism or dualism in the implementation of the treaty.
The method used is a normative legal research with library research used to obtain secondary data required which includes primary legal materials, secondary and tertiary related issues. The results of the study are presented descriptively in order to obtain an explanation of the problems discussed.
The results showed that the application of international treaties, either in the Constitution 1945 or other legislation, does not explicitly state whether Indonesia adopts monism or dualism. However, in practice suggests that Indonesia adopts dualism by using internal and external mechanisms in the implementation of international treaties. All international treaty is non-self-executing so that enforcement should use the implementing legislation. Viewed from its formal shape, Act No. 38 of 2008 which endorsed the ASEAN Charter is also a part of the authority of the Constitutional Court for a judicial review conducted since the Constitution 1945 does not distinguish between laws that are included in the Court's authority. In case of cancellation attachment to an international treaty on the grounds of national legal provisions cannot be justified by the VCLT 1969. In the context if Indonesia is to attract participation in the ASEAN Charter, is not enough to just be a withdrawal of the approval legislation only in the internal mechanism, but also must be filed withdrawal to the countries of the ASEAN Charter as an external mechanism.
Keywords: International Treaty, ASEAN Charter, the Constitutional Court.
* Supervisor Lecturer I ** Supervisor Lecturer I
*** Student of Faculty of Law, University of Sumatera Utara KATA PENGANTAR
Segala puji syukur dan hormat saya ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus,
Sang Juruselamat, yang kasih-Nya selalu saya rasakan dalam setiap detik hidup
saya yang selalu setia menyertai dan selalu mencurahkan berkat serta karunia
yang begitu besar kepada saya, sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi
yang berjudul: “PEMBERLAKUAN PERJANJIAN INTERNASIONAL DI
INDONESIA DIKAITKAN DENGAN JUDICIAL REVIEW TERHADAP PIAGAM ASEAN DI MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi tugas dan persyaratan dalam mencapai gelar Sarjana Hukum (SH) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara.
Secara khusus saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada kedua orang tua saya, Biliapin Nababan dan Manginar Tambunan yang
menjadi penyemangat utama saya yang mendoakan serta memberikan kasih
sayang, kesabaran, perhatian, bantuan dan pengorbananan yang tak ternilai
sehingga saya dapat melanjutkan dan menyelesaikan pendidikan formal hingga
Strata Satu (S1). Juga kepada saudara-saudara saya, Benny Beben Nababan, Deby
Krisdalia Mariyanti Nababan dan Indriyani Romauli Nababan serta kakak ipar
saya Erika Manalu dan abang ipar saya Gomgom Wibowo Siregar yang selalu
menjadi penyemangat dan telah memberikan perhatian yang sangat besar kepada
Dalam proses penyusunan skripsi ini, saya juga mendapat banyak
dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, sebagai penghargaan
dan ucapan terima kasih terhadap semua dukungan dan bantuan yang telah
diberikan, saya menyampaikan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc(CTM), Sp.A(k), selaku
Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Syafruddin Hasibuan, S.H., M.H., D.F.M., selaku Wakil Dekan II
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
5. Dr. O.K. Saidin, S.H., M.Hum., Wakil Dekan III Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
6. Dr. Chairul Bariah, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum
Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
7. Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I
dalam penulisan Skripsi ini, yang telah bersedia meluangkan waktu
untuk membimbing dan mengarahkan saya dalam pengerjaan skripsi
ini agar menjadi lebih baik.
8. Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II dalam
Internasional, yang telah bersedia meluangkan waktu untuk
membimbing dan mengarahkan saya dalam pengerjaan skripsi ini agar
menjadi lebih baik.
9. Bachtiar Hamzah, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Akademik
saya.
10.Seluruh Staf Pengajar dan Administrasi pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, terima kasih untuk ilmu dan bantuannya.
11.Kelompok Kecil Makarios bersama Bang Hotman Aruan, serta
saudara-saudaraku Edberg Bobby Hutagalung, Jhon Perdana Purba,
Sapta Agung Prasetya Tobing dan Poltak Sijabat. Juga kepada Bang
Suspim Nainggolan, Erma Pangaribuan dan Frimanda Ginting. Sangat
bersyukur pernah menjadi bagian dalam Keluarga Tuhan ini untuk
bertumbuh dalam iman dan belajar mengenal kehendak-Nya lebih lagi
dalam hidup kita. Tetap semangat untuk setia sampai maranatha.
Tuhan memberkati kita.
12.Perkumpulan Gemar Belajar (GEMBEL) yang menjadi wadah dimana
saya mendapatkan kasih sayang dan kesetiaan sahabat-sahabat yang
telah menjadi keluarga dan sahabat bagi saya selama menjalani
perkuliahan. Wadah yang membentuk karakter saya dan memberikan
saya begitu banyak hal yang berguna yang tidak saya dapatkan di
bangku perkuliahan. Terkhusus bagi seluruh anggota Pemerintahan ke
VII dan ke VIII. Kepada seluruh stambuk 2011 Eko Pahala
Sandro Simanjuntak, Theresya Nova Situmorang, Gabetta Solin, Dian
Ekawaty, Hary Tama Simanjuntak dan lainnya. Juga kepada Kak
Yusty Riana Purba, Kak Melda Sihombing, Bang Kastro Sitorus, Kak
Esteria Lingga, Kak Riswendang Purba, Kak Ristama Situmorang, Kak
Nody Silaban, Bang Dedy Ronald Gultom, Bang Satra Lumban
Toruan, Bang Yudha Pandiangan, Kak Giovanny Purba, Kak Kristina
Sitanggang dan lainnya. Kemudian kepada adik-adikku Dora Virgolin
Tambunan, Raphita Ivonne Claudia Sihombing, Rumondang Siagian,
Indah Triviana Saragih, Ritcat Sitorus, Wilfrid Tobing, Samuel
Marpaung, Paskah Pasaribu, Betric Yolanda, Defin Sirait, Sarai
Bangun, Dian Prawiro Napitupulu, dan seluruh adik-adikku angkatan
2012, 2013 dan 2014 yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Suatu
kebanggaan dan kebahagiaan bagi saya pernah menjadi bagian dari
Perkumpulan ini dan mengenal kalian semua. Sukses untuk masa
depan kita semua.
13.UKM KMK USU UP FH yang telah menjadi wadah bagi saya untuk
bertumbuh semakin mengenal Tuhan Allah serta kehendak-Nya dalam
hidup saya. Terima kasih kepada rekan-rekan seperjuangan Ibreina
Pandia, Tody Valery Marpaung, Daniel Ronald Sinaga, Sarah Nova
Siagian, Tri Yanto Yeremia Siagian, Margaretha Sianturi, Jessica
Simanjuntak, Kristy Pasaribu, Ari Pareme Simanullang, Frans Yosua
Sinuhaji juga kepada Kak Fitri Meylisa Manurung, Kak Mentari
Erikson Sibarani, Kak Joice Simatupang, Bang Paul Brena Tarigan,
Bang Togi Robson Sirait, Kak Merty Pasaribu dan lainnya yang tidak
dapat saya sebutkan satu persatu. Senang mengenal kalian semua
dalam prosesku bertumbuh di dalam iman mengenal kehendak-Nya.
Tetap semangat dan setia sampai akhir, Tuhan memberkati.
14.Komunitas Peradilan Semu (KPS) Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara terkhusus untuk Delegasi FH USU pada National
Moot Court Competition Piala Tjokorda Raka Dherana II Fakultas Hukum Universitas Udayana Bali dan Ibu Rafiqoh Lubis, S.H.,
M.Hum sebagai Dosen Pembimbing. Juga kepada Delegasi FH USU
pada National Moot Court Competition Piala Prof. Soedarto IV
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang dan Bapak Dr.
Edy Yunara, S.H., M.Hum sebagai Dosen Pembimbing. Begitu banyak
hal yang telah kita lewati mulai dari pahit hingga manis. Kemenangan
memang belum di pihak kita, tetapi saya percaya proses yang kita
dapatkan selama persiapan yang panjang tersebut lebih manis daripada
sekedar kemenangan. Tetap semangat dalam membangun komunitas
ini agar semakin lebih baik lagi kedepannya dan mampu mewujudkan
cita-cita kita bersama untuk mendaratkan Piala MCC pertama di tanah
Batak.
15.Nathan Romlen Lumban Raja yang telah menjadi sahabat bagi saya,
tempat saya berbagi dan melewati suka duka serta rekan melakukan
16.Kak Dessy Saida Simbolon yang telah menjadi sahabat doa saya.
Terima kasih untuk doa dan semangatnya. Semangat bagi kita untuk
setia kepada-Nya sampai maranatha.
17.Rekan-rekan seperjuangan saya selama mengikuti perkuliahan di
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Intan Elisabeth Pasaribu,
Betari Karlina Ginting, Andreas Lifra Simangunsong, Rolas Putri
Febriyani Sihombing, Sarabjit Singh Sandhu, Fransiska Kosasih, Citra
Kesuma Tarigan, Agnestesia Risky, Dyna Hasibuan, Nida Syafwani
Nasution, dan Guntur Soekarno Gultom. Sukses bagi kita semua dalam
meraih cita-cita kita.
18.Rekan-rekan Tim Praktik Peradilan Semu (Klinis) Hukum Acara
Perdata, Betari, Ibreina, Nathan, Tody dan Margaretha. Serta
rekan-rekan Tim Praktik Peradilan Semu (Klinis) Hukum Acara PTUN,
Maruli Sinaga dan Hary Tama. Juga rekan-rekan Tim Praktik
Peradilan Semu (Klinis) Hukum Acara Pidana, Novia Wu, Octaviana
Fransiska dan Citra Kesuma. Terima kasih untuk perjuangan bersama
siang dan malam untuk memperoleh hasil terbaik. Sukses untuk kita
semua.
19.Panitia Perayaan Natal Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
tahun 2013, kakak dan abang panitia serta pelayan acara. Senang
pernah mengenal kalian dan bersama-sama melayani dalam pelayanan
ini. Juga kepada Panitia Perayaan Natal Fakultas Hukum Universitas
Guntur Soekarno, Tung Asido Rohana Malau, Alex Sandro, Rika
Anggita Sitompul, Kartika Manurung, Christin Tobing, Stephanie
Situmorang, Via Situmorang, Holy Kembaren, Novi Sihaloho dan
Imelda Sinurat. Senang pernah melayani bersama kalian semua dalam
pelayanan ini untuk menyelenggarakan ibadah yang menjadi berkat
bagi banyak orang. Sukses untuk kita semua dan Tuhan memberkati.
20.Yayasan Pusaka Indonesia Medan tempat dimana saya memperoleh
banyak pengetahuan dan pengalaman selama mengikuti mata kuliah
Klinik Hukum Pidana.
21.Rekan-rekan seperjuangan Grup C Stambuk 2011 dan International
Law Students Association (ILSA) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Sukses
untuk kita semua dalam meraih cita-cita.
Saya menyadari bahwa skripsi ini memiliki kekurangan oleh karena
keterbatasan pengetahuan dan pengalaman saya. Namun dengan segala
kerendahan hati, perkenankanlah saya mengajukan hasil dari penulisan ini.
Akhir kata, saya mengucapkan selamat membaca dan mengkaji skripsi ini.
Semoga skripsi ini dapat menempati ruang-ruang kosong dalam ilmu pengetahun
serta menjadi kemajuan bagi ilmu pengetahun tersebut khususnya di bidang ilmu
hukum internasional.
Medan, Maret 2015
Hormat Penulis,
NIM: 110200150
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ... i
PERNYATAAN ORISINALITAS ...ii
ABSTRAKSI ... iii
ABSTRACT ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ...xii
DAFTAR GAMBAR ... xvi
DAFTAR SINGKATAN ...xvii
BAB I PENDAHULUAN A. ... L atar Belakang ... 1
B... P erumusan Masalah ... 16
C... T ujuan dan Manfaat Penulisan ... 17
D. ... K easlian Penulisan ... 19
E. ... T injauan Kepustakaan ... 20
G. ... S
istematika Penulisan ... 27
BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG
PENGESAHAN DAN PELAKSANAAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
A. ... P
erkembangan Hukum Internasional dalam Pengaturan
Perjanjian Internasional ... 29
B... P
erjanjian Internasional sebagai Sumber Hukum
Internasional yang Utama ... 32
C... P
erjanjian Internasional sebagai Pembentuk Kaidah Hukum
Internasional ... 35
D. ... P
aham Monisme dan Dualisme ... 39
E. ... P
engesahan dan Pelaksanaan Perjanjian Internasional
didasarkan pada Pengaturan Hukum Internasional ... 42
1. ... P
ersetujuan untuk Terikat pada Perjanjian yang
2. ... P
ersetujuan untuk Terikat pada Perjanjian yang
dinyatakan dengan Pertukaran Instrumen-Instrumen
yang Membentuk Perjanjian ... 48
3. ... P
ersetujuan untuk Terikat pada Perjanjian yang
Dinyatakan dengan Ratifikasi, Akseptasi, atau
Persetujuan ... 50
4. ... P
ersetujuan untuk Terikat pada Perjanjian yang
dinyatakan dengan Aksesi ... 54
5. ... P
ersetujuan untuk Terikat pada Perjanjian yang
dinyatakan dengan Pensyaratan ... 56
BAB III KETERIKATAN NEGARA TERHADAP SUATU PERJANJIAN INTERNASIONAL DIKAITKAN DENGAN KASUS JUDICIAL REVIEW PIAGAM ASEAN
A. ... P
iagam ASEAN sebagai Perjanjian Internasional yang
Menjadi Dasar Hukum dalam Kerangka Kerjasama ASEAN ... 63
1. ... S
2. ... A
natomi Piagam ASEAN ... 66
3. ... P
erbandingan dengan beberapa Piagam Pembentukan
Organisasi Regional di Dunia ... 71
4. ... I
mplikasi Pembentukan Piagam ASEAN ... 72
B... K
etentuan Hukum Nasional sebagai Alasan Pembatalan
Keterikatan terhadap Perjanjian Internasional berdasarkan
Pengaturan Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 .. 78 C... K
asus Judicial Review Piagam ASEAN di Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia ... 84
1. ... F
akta Kasus ... 84
2. ... A
nalisis Yuridis ... 89
3. ... P
otensi Permasalahan yang Mungkin Ditimbulkan ... 96
A. ... P
engesahan Perjanjian Internasional di Indonesia ... 105
1. ... B
erdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945, Konstitusi Republik Indonesia Serikat
1949 dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 ... 106
2. ... B
erdasarkan Surat Presiden Nomor 2968/HK/1960 ... 111
3. ... B
erdasarkan UU No. 24 Tahun 2000 ... 117
B... S
tatus Perjanjian Internasional dalam Hukum Nasional
Indonesia dikaitkan dengan Judicial Review Piagam
ASEAN ... 138
BAB V PENUTUP
A. ... K
esimpulan ... 154
B... S
aran ... 157
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1 Skema Pengesahan Perjanjian Internasional dengan
Menggunakan Undang-Undang ... 132
Gambar 4.2 Skema Pengesahan Perjanjian Internasional dengan
DAFTAR SINGKATAN
AICHR : ASEAN Intergovermental Commission on Human Rights
ASEAN : Association of Southeast Asian Nations
AU : African Union
BPUPKI : Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
DPR : Dewan Perwakilan Rakyat
DPR-GR : Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong
EPG : Eminent Persons Group
EU : European Union
HAM : Hak Asasi Manusia
HLP : High Level Panel
HLTF : High Level Task Force
HPI : Hukum dan Perjanjian Internasional
ILC : International Law Commission
KTT : Konferensi Tingkat Tinggi
OAS : Organisation of American States
OAU : Organisation of African Union
OIC : Organisation of Islamic Conference
PBB : Perserikatan Bangsa Bangsa
Perpres : Peraturan Presiden
PUU : Peraturan Perundang-Undangan
RAK : Rapat Antara Kementerian
RIS : Republik Indonesia Serikat
RPerpres : Rancangan Peraturan Presiden
RUDs : Reservations, Understandings andDeclarations
RUU : Rancangan Undang-Undang
TOR : Term of Reference
UUD 1945 : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
UUDS : Undang-Undang Dasar Sementara
ABSTRAKSI
Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum*) Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum**)
Tulus Pardamean Nababan***)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pemberlakuan perjanjian internasional di Indonesia berdasarkan pengaturan hukum internasional dan hukum nasional Indonesia kemudian dikaitkan dengan kasus judicial review Piagam ASEAN di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang berhubungan dengan keterikatan Indonesia terhadap suatu perjanjian internasional dan bagaimana suatu undang-undang pengesahan yang merupakan bentuk persetujuan DPR yang berisi Piagam ASEAN sebagai lampirannya yang secara utuh memuat norma-norma hukum internasional dapat diajukan judicial review di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dengan UUD 1945 sebagai dasar ujinya. Dalam hal ini juga akan diketahui apakah Indonesia menganut paham monisme ataukah dualisme dalam pemberlakuan perjanjian internasional tersebut.
Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan dilakukan penelitian kepustakaan guna memperoleh data-data sekunder yang dibutuhkan yang meliputi bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang terkait dengan permasalahan. Hasil penelitian disajikan secara deskriptif guna memperoleh penjelasan dari masalah yang dibahas.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam pemberlakuan perjanjian internasional, baik di dalam UUD 1945 ataupun peraturan perundang-undangan lainnya, tidak secara tegas menyatakan apakah Indonesia menganut paham monisme ataukah dualisme. Namun dalam praktiknya mengisyaratkan bahwa Indonesia menganut paham dualisme dengan menggunakan mekanisme internal dan eksternal dalam pemberlakuan perjanjian internasional. Semua perjanjian
internasional bersifat non-self-executing sehingga pemberlakuannya harus
menggunakan implementing legislation. Apabila dilihat dari bentuk formilnya Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 yang mengesahkan Piagam ASEAN juga merupakan bagian dari kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk dilakukan judicial review sebab UUD 1945 tidak membedakan undang-undang yang termasuk dalam kewenangan Mahkamah Konsititusi. Dalam hal pembatalan keterikatan terhadap suatu perjanjian internasional dengan alasan ketentuan hukum nasional tidak dapat dibenarkan oleh VCLT 1969. Dalam konteks apabila Indonesia ingin menarik keikutsertaannya pada Piagam ASEAN, tidak cukup hanya dilakukan penarikan terhadap undang-undang pengesahannya saja dalam mekanisme internal, tetapi juga harus mengajukan penarikan diri kepada negara-negara pihak Piagam ASEAN sebagai mekanisme eksternal.
Kata Kunci: Perjanjian Internasional, Piagam ASEAN, Mahkamah Konstitusi
_____________________________________
** Dosen Pembimbing II
*** Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utar
ABSTRACT
Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum*) Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum**)
Tulus Pardamean Nababan***)
This study aims to determine how the application of international treaties in Indonesia based on the setting of international law and national law of Indonesia then linked to the judicial review of the ASEAN Charter in the Constitutional Court of the Republic of Indonesia associated with Indonesia attachment to an international treaty and how a law which constitute endorsement Parliament consent forms that contain ASEAN Charter as its attachments which is a whole contains norms of international law can be filed for a judicial review in the Constitutional Court with the Constitution 1945 as the basis for the test. In this case also be known whether Indonesia adopts monism or dualism in the implementation of the treaty.
The method used is a normative legal research with library research used to obtain secondary data required which includes primary legal materials, secondary and tertiary related issues. The results of the study are presented descriptively in order to obtain an explanation of the problems discussed.
The results showed that the application of international treaties, either in the Constitution 1945 or other legislation, does not explicitly state whether Indonesia adopts monism or dualism. However, in practice suggests that Indonesia adopts dualism by using internal and external mechanisms in the implementation of international treaties. All international treaty is non-self-executing so that enforcement should use the implementing legislation. Viewed from its formal shape, Act No. 38 of 2008 which endorsed the ASEAN Charter is also a part of the authority of the Constitutional Court for a judicial review conducted since the Constitution 1945 does not distinguish between laws that are included in the Court's authority. In case of cancellation attachment to an international treaty on the grounds of national legal provisions cannot be justified by the VCLT 1969. In the context if Indonesia is to attract participation in the ASEAN Charter, is not enough to just be a withdrawal of the approval legislation only in the internal mechanism, but also must be filed withdrawal to the countries of the ASEAN Charter as an external mechanism.
Keywords: International Treaty, ASEAN Charter, the Constitutional Court.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara adalah subjek hukum internasional dalam arti yang klasik, dan
telah demikian halnya sejak lahirnya hukum internasional.1 Negara telah menjadi
subjek utama hukum internasional2. Tidak ada definisi yang tepat untuk
memberikan penjelasan arti dari sebuah negara.3
Meskipun demikian, secara umum apa yang telah dikemukakan oleh para
sarjana tentang definisi negara tidak jauh berbeda dengan unsur tradisional suatu
negara yang tercantum dalam Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 tentang Hak
dan Kewajiban Negara4
1
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional (Bandung: PT Alumni, 2003), hlm. 98.
2
Fabian O. Raimondo, General Principles of Law in the Decisions of International Criminal Courts and Tribunals, (Belanda: Martinus Nijhoff Publishers, 2008), hlm. 64-65. Menjadi subjek hukum internasional berarti menjadi sasaran bagi hukum internasional. Negara adalah bagian dari komunitas internasional yang menjadi subjek hukum internasional. Kewajiban dan hak-hak komunitas internasional yang diselenggarakan oleh negara berada di bawah hukum internasional umum yang berlaku untuk dihormati sebagai subjek hukum internasional. Sebuah negara dapat menjadi subjek hukum internasional hanya apabila konstitusinya mengatur hal-hal mengenai kemampuan untuk berhubungan dengan subjek hukum internasional lainnya. Jika negara adalah subjek hukum internasional, memungkinkan untuk menggunakan hak kedutaan aktif dan pasif, artinya, memungkinkan untuk mengirim dan menerima utusan diplomatic. Lihat di Hans Kelsen, Principles of International Law, (New Jersey: The Lawbook Exchange, Ltd., 2003), hlm. 173.
3
J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, ed. 9, (Jakarta: Penerbit Aksara Persada Indonesia, 1989), hlm. 127.
4
Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 2.
, menyatakan: “The state as a person of international law
defined territory; (c) government; and (d) capacity to enter into relations with the other states.”5
Negara sebagai sekumpulan orang yang secara permanen menempati suatu
wilayah yang tetap, diikat oleh ketentuan-ketentuan hukum yang melalui
pemerintahnya mampu menjalankan kedaulatannya yang merdeka dan mengawasi
masyarakat dan harta bendanya dalam wilayah perbatasannya, mampu
menyatakan perang dan damai serta mampu mengadakan hubungan internasional
dengan masyarakat internasional lainnya.6
Jika dilihat dari segi hukum internasional, syarat huruf (d) di atas
merupakan syarat yang paling penting. Suatu negara harus memiliki kemampuan
untuk menyelenggarakan hubungan-hubungan eksternal dengan negara-negara
lain. Hal inilah yang membedakan negara dalam arti sesungguhnya dengan
unit-unit yang lebih kecil seperti anggota-anggota suatu federasi, atau
protektorat-protektorat, yang tidak mengurus hubungan-hubungan luar negerinya sendiri, dan
tidak diakui oleh negara-negara lain sebagai anggota masyarakat internasional
yang sepenuhnya mandiri.7
Saling membutuhkan antara negara-negara di berbagai lapangan
kehidupan yang mengakibatkan timbulnya hubungan yang tetap dan terus
menerus antara negara-negara, serta mengakibatkan pula timbulnya kepentingan
untuk memelihara dan mengatur hubungan tersebut.8
5
Montevideo Convention on Rights and Duties of States, Pasal 1. 6
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, (St. Paul Minn: West Publishing Comp. 5th.ed., 1979), hlm. 1262 sebagaimana telah dikutip oleh Huala Adolf, Op.Cit.
7
J.G. Starke, Op.Cit., hlm. 127. 8
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Op.Cit., hlm. 3.
negara-negara tersebut bersifat timbal balik, maka sudah menjadi suatu kepentingan
bersama untuk mengatur dan memelihara hubungan yang begitu bermanfaat itu.
Untuk menertibkan, mengatur dan memelihara hubungan internasional ini,
dibutuhkan hukum untuk menjamin unsur kepastian yang diperlukan dalam setiap
hubungan yang dilakukan dapat teratur. Sehingga dalam hal inilah peranan hukum
internasional sebagai pengatur dalam hubungan internasional yang berlangsung
ini melalui perjanjian internasional.
Perjanjian internasional memainkan peranan yang sangat penting dalam
mengatur kehidupan dan pergaulan antar negara. Melalui perjanjian internasional,
tiap negara menggariskan dasar kerjasama mereka, mengatur berbagai kegiatan,
menyelesaikan berbagai masalah demi kelangsungan masyarakat itu sendiri.
Dalam dunia yang ditandai saling ketergantungan dewasa ini, tidak ada satu
negara yang tidak mempunyai perjanjian dengan negara lain dan tidak ada satu
negara yang tidak diatur oleh perjanjian dalam kehidupan internasionalnya.9
Menimbang bahwa berbagai peraturan yang ada tidak lagi memadai untuk
dapat menyelesaikan berbagai persoalan tersebut hanya melalui
perjanjian-perjanjian bilateral ataupun melalui misi diplomatik tradisional saja, maka Seiring dengan perkembangan zaman, suatu hubungan bilateral yang telah
dibentuk oleh misi diplomatik masing-masing negara sudah tidak lagi dianggap
cukup untuk memenuhi berbagai kebutuhan dan menyelesaikan persoalan negara.
Berbagai permasalahan yang melibatkan lebih dari dua negara semakin banyak
bermunculan.
9
mulailah timbul pemikiran untuk mendirikan organisasi-organisasi internasional
yang dapat memberikan solusi terhadap berbagai persoalan tersebut. Pendirian
organisasi internasional yang dimaksud akan berusaha untuk mencapai tujuan
yang menjadi kepentingan bersama negara-negara yang mencakup berbagai aspek
kehidupan internasional yang sangat luas.
Sejak pertengahan abad ke-17 perkembangan organisasi internasional
tidak saja diwujudkan dalam berbagai konferensi internasional yang kemudian
melahirkan berbagai persetujuan, tetapi lebih dari itu telah melembaga dalam
berbagai variasi seperti commission (komisi), union (serikat), council (dewan), league (liga), association (persekutuan), united nations (perserikatan
bangsa-bangsa), commonwealth (persemakmuran), community (masyarakat), cooperation (kerjasama), dan lain-lain.10
Proses perkembangan organisasi internasional yang begitu cepat sekaligus
telah menciptakan norma-norma hukum yang berkaitan dengan organisasi itu,
yang kemudian membentuk suatu perjanjian yang disebut constituent instrument
(instrument dasar), atau biasa disebut Anggaran Dasar. Organisasi internasional
dalam arti luas pada hakekatnya meliputi bukan saja organisasi internasional
publik tetapi juga organisasi internasional privat. Organisasi internasional publik
beranggotakan negara dan karena itu disebut juga sebagai intergovernmental
organization (organisasi antar-pemerintahan).11
Agar organisasi internasional mempunyai status publik, maka organisasi
ini haruslah dibentuk dengan suatu persetujuan internasional di bawah hukum
10
Sumaryo Suryokusumo, Pengantar Hukum Organisasi Internasional, (Jakarta: PT Tatanusa, 2007), hlm. 2.
11
internasional.12
Association of South East Asia Nations (ASEAN) merupakan sebuah organisasi internasional yang beranggotakan negara-negara di kawasan Asia
Tenggara. ASEAN merupakan wujud dari gagasan para pemimpin negara-negara
Asia Tenggara yang memandang perlunya suatu kerjasama yang dapat meredakan
sikap saling curiga di antara negara-negara Asia Tenggara di tengah kisruh
persaingan ideologi dan kekuatan militer blok Barat dan blok Timur serta
berbagai konflik di antara negara-negara Asia Tenggara.
Perjanjian internasional tersebut menjadi peraturan yang akan
berlaku bagi organisasi internasional itu serta dalam hubungannya dengan subjek
hukum lainnya. Perjanjian internasional yang membentuk suatu organisasi
internasional memberikan personalitas hukum yang menghasilkan hak dan
kewajiban bagi organisasi internasional tersebut.
13
Sebagai suatu organisasi internasional, tidak diragukan lagi bahwa
ASEAN telah menjadi salah satu bagian penting dari dunia internasional. Populasi
penduduk Asia Tenggara secara keseluruhan mencapai lebih setengah miliar,
dengan kombinasi pendapatan Produk Domestik Bruto sejumlah satu triliun dolar
AS. Saat ini ASEAN beranggotakan 10 negara, yang terdiri atas lima negara
penandatangan Deklarasi Bangkok 1967 yaitu Indonesia, Malaysia, Thailand,
Filipina dan Singapura yang kemudian dalam perkembangannya Brunei Perdamaian, stabilitas,
kemajuan dan kesejahteraan bersama kawasan antara lain menjadi kepentingan
dasar yang pada akhirnya dapat menyatukan negara-negara Asia Tenggara dalam
sebuah wadah ASEAN.
12
Ibid., hlm. 5. 13
Darusalam, Vietnam, Laos, Myanmar dan Kamboja menyatakan diri untuk
bergabung di dalamnya.14
Dalam pidatonya pada tahun 1998 setelah krisis ekonomi yang menimpa
kawasan Asia Tenggara, Sekretaris Jenderal ASEAN, Rodolfo Severino
memberikan pernyataan bahwa ASEAN bukanlah suatu organisasi internasional
yang dibuat dan ditujukan untuk menjadi suatu entitas supranasional yang
bertindak secara independen dari anggotanya. ASEAN tidak memiliki daerah
parlemen regional ataupun dewan para menteri dengan kekuatan membuat hukum,
tidak ada kekuatan dalam hal penegakkan hukum serta tidak memiliki sistem
peradilan. Dalam pidato tersebut ia juga menegaskan kembali bahwa ASEAN
tidak memiliki personalitas hukum ataupun kedudukan di bawah hukum
internasional.
Lebih dari 40 tahun setelah berdirinya ASEAN, Deklarasi Bangkok
menjadi dasar bagi eksistensi ASEAN di dunia internasional. Deklarasi Bangkok
berisikan lima pernyataan yaitu mengenai pembentukan, maksud dan tujuannya,
struktur organ internal ASEAN, keterbukaan partisipasi serta kesepakatan
mengikatkan diri negara-negara penandatangan. Hal-hal yang belum diatur dalam
deklarasi ini diatur lebih lanjut dalam perjanjian ataupun protokol terpisah.
15
Selanjutnya untuk membuat konstitusi ASEAN yang kokoh dan
komprehensif, disepakatilah Kuala Lumpur Declaration on the Establishment of
ASEAN Charter (Deklarasi Kuala Lumpur tentang Pembentukan Piagam ASEAN)
14
Simon Chesterman, “Does ASEAN Exist? The Association of South East Asia Nations as an International Legal Person”, Singapore Year Book of International Law, (No. 12, 2008), hlm. 202.
15
pada KTT ASEAN Ke-11. Pada deklarasi tersebut diatur tentang pembentukan
Eminent Persons Group on the ASEAN Charter (Kelompok Ahli Piagam ASEAN)
yang bertugas melakukan penyusunan terhadap rekomendasi pembentukan
piagam tersebut.16
Setelah melewati berbagai perundingan yang panjang, maka
ditandatanganilah Piagam ASEAN oleh kesepuluh negara anggota pada KTT
ASEAN ke-13 di Singapura pada tanggal 20 November 2007. Piagam ASEAN
yang telah ditandatangani tersebut terdiri atas Mukadimah, 13 Bab, 55 Pasal, dan
lampiran-lampiran yang menegaskan kembali diberlakukannya semua nilai,
prinsip, peraturan serta tujuan ASEAN sebagaimana yang tercantum dalam
berbagai perjanjian, deklarasi, konvensi, traktat, dan dokumen-dokumen dasar
lain. Kesepuluh negara ASEAN harus meratifikasinya melalui proses internal di
masing-masing negara anggota dan disampaikan instrumen notifikasinya kepada
Sekretaris Jenderal ASEAN di Jakarta agar Piagam ASEAN dapat berlaku.
17
Untuk melaksanakan berbagai ketentuan-ketentuan di dalam Piagam
ASEAN secara efektif, setiap negara-negara anggota wajib mengambil
langkah-langkah yang diperlukan termasuk pembuatan legislasi dalam negeri yang sesuai
dengan mekanisme yang diatur oleh internal negara tersebut. Dengan demikian, Pembuatan Piagam ASEAN bertujuan untuk mendorong transformasi
ASEAN dari suatu organisasi yang bersifat longgar menjadi organisasi
internasional yang memiliki landasan hukum yang kuat. Kehadiran Piagam
ASEAN ini akan berimplikasi langsung bagi negara-negara anggotanya.
16
Direktorat Jenderal Kerja Sama ASEAN, Op.Cit., hlm. 7. 17
setiap negara anggota dituntut untuk menyesuaikan berbagai instrumen hukum di
negaranya masing-masing agar sesuai dengan substansi Piagam ASEAN demi
mencapai cita-cita dan tujuan ASEAN.
Piagam ASEAN memang tidak otomatis akan mengubah banyak hal di
ASEAN. Justru Piagam tersebut sesungguhnya makin mengekalkan banyak
kebiasaan lama, misalnya pengambilan keputusan di ASEAN tetap dengan cara
konsensus dan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN menjadi tempat
tertinggi pengambilan keputusan jika konsensus tidak tercapai atau jika sengketa
di antara negara anggotanya terjadi.18
Piagam ASEAN mengatur lima prioritas utama kegiatan untuk
mempersiapkan transformasi ASEAN, yakni penyusunan Term of Reference
(Kerangka Acuan) pembentukan Permanent Representatives to ASEAN
(Perutusan Tetap untuk ASEAN), Rules and Procedures ASEAN Coordinating
Council and ASEAN Community Councils (Aturan dan Prosedur Dewan
Koordinasi ASEAN dan Dewan Komunitas ASEAN), Supplementary Protocols
on Dispute Sttlement Mechanism (Protokol Tambahan tentang mekanisme
Penyelesaian Sengketa), Host Country Agreement (Perjanjian Negara Tuan
Rumah), dan pembentukan Badan Hak Asasi Manusia ASEAN.
19
Beberapa implikasi langsung yang dapat dirasakan dari pemberlakuan
Piagam ASEAN diantaranya adalah semakin kuatnya ikatan hubungan antar
negara-negara anggotanya. ASEAN telah menunjukkan pada dunia internasional
18
Zainuddin Djafar, “Piagam ASEAN, Legalitas Tonggak Baru Menuju Integrasi Regional?”, Jurnal Hukum Internasional (Indonesian Journal of International Law), Vol. 6, No. 2, (Mei-Agustus, 2009), hlm. 197-198.
19
bahwa kekompakan ASEAN selama lebih dari 40 tahun berdiri dengan nilai
tambah stabilitas keamanannya. Hal tersebut ditopang pula oleh kekompakan
untuk memberlakukan Piagam ASEAN yang akan berimplikasi secara global.
Pada prinsipnya, Piagam ASEAN diharapkan dapat mendorong integrasi
ekonomi, memperkuat prinsip demokrasi, perlindungan hak asasi dan pelestarian
alam lingkungan hidup.20
Indonesia sendiri merupakan negara ke-9 yang menyampaikan instrumen
ratifikasinya melalui Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 Tentang Pengesahan
Charter of the South East Asian Nations (Piagam ASEAN).21 Ratifikasi terhadap Piagam ASEAN dilakukan pada tanggal 21 Oktober 2008 dalam rapat panitia
khusus Rancangan Undang-Undang tentang Pengesahan Piagam ASEAN di
Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dihadiri oleh perwakilan
10 fraksi dan pemerintah yang diwakili Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda,
Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, dan Menteri Hukum dan HAM Andi
Mattalatta, menandatangani naskah Rancangan Undang-Undang Pengesahan
Piagam ASEAN tersebut.22 Selanjutnya pemerintah menyerahkan instrumen
ratifikasi tersebut pada tanggal 13 November 2008.23
Bersamaan dengan pelaksanaan KTT ASEAN ke-18, dasar hukum
ratifikasi Piagam ASEAN dipersoalkan oleh berbagai kalangan di Indonesia.
Sejumlah lembaga yang tergabung dalam Aliansi untuk Keadilan Global
20
Zainuddin Djafar, Op.Cit.,hlm. 199. 21
mendaftarkan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 ke
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Mereka menilai pemberlakuan Piagam
ASEAN yang menyangkut perdagangan bebas merugikan industri dan
perdagangan nasional karena Indonesia harus tunduk dengan segala keputusan
yang diambil di tingkat ASEAN.
Aliansi yang tercatat sebagai pemohon adalah Institute of Global Justice, Serikat Petani Rakyat, Perkumpulan INFID, Aliansi Petani Indonesia, Koalisi
Rakyat untuk Keadilan Perikanan, Migrant Care, Aktivis Petisi 28, Asosiasi
Pembela Perempuan Usaha Kecil,dan Koalisi Anti Utang.24
Permohonan yang diajukan pada pokoknya meliputi anggapan tentang
keadaan ASEAN yang sedang dalam neo kolonialisme dan imperialisme dengan
strategi pembentukan ASEAN sebagai economic community (komunitas
ekonomi). Dengan perjanjian ekonomi yang mengikat negara-negara anggota
maupun dengan negara lain di luar anggota ASEAN yang sangat mengurangi
kedaulatan bangsa Indonesia sebagai sebuah negara. Gagasan ASEAN secara
ekonomi dengan konsep pasar bebas dan basis produksi tunggal, merupakan
gagasan neo-liberalisme yang jelas tertuang dalam Pasal 1 ayat (5) Piagam
ASEAN yang menyatakan: ”To create a single market and production base which
is stable prosperous, highly competitive and economically integrated with effective facilitation for trade and investment in which there is free flow of goods,
24
services and investment, facilitated movement of business persons, professionals, talents and labours, and free flow of capital.”25
Kemudian Pasal 2 ayat (2) huruf n yang menyatakan: “Adherence to
multilateral trade rules and ASEAN’s rules-based regimes for effective implementation of economic commitment and progressive redution towards
elimination of all barriers to regional economic integration, in a market driven economy.26
Para pemohon beranggapan bahwa dampak lain yang akan ditimbulkan
dengan pemberlakuan Piagam ASEAN bagi Indonesia adalah kerugian yang akan
dialami oleh jutaan petani akibat impor pangan dan jutaan penduduk miskin dapat
kehilangan akses terhadap kebutuhan dasar. Di samping itu anggapan yang
mereka bangun tentang negara-negara maju yang tengah mengincar sumber daya
alam dan pasar ASEAN dengan cara memaksakan utang dan bantuan lewat
pembentukan peraturan dan kebijakan ASEAN sesuai dengan kepentingan
negara-negara maju, perusahaan multinasional dan lembaga keuangan global.27
Dalam Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan bahwa Presiden
dengan persetujuan DPR menyatakan perang, mengadakan perdamaian dan
membuat perjanjian internasional dengan negara lain. Selanjutnya dalam Pasal 9
ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
25
Simon Tumanggor, ”Judicial Review Undang-Undang Pengesahan Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara“, Jendela Informasi Hukum Bidang Perdagangan Edisi Ketiga, (Desember, 2011), hlm. 3.
26
Ibid.
27
menyatakan bahwa pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan dengan Undang-Undang atau Keputusan Presiden.28
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia Presiden hanya berwenang
membuat perjanjian internasional. Pada saat Presiden ingin meratifikasinya,
Presiden harus mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat.
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 adalah bentuk persetujuan formal dari DPR
kepada Presiden terkait dengan kewenangan DPR dalam treaty making power
seperti yang diatur dalam Pasal 11 ayat (1) UUD 1945.29
Pada uraian sebelumnya dijelaskan bahwa keterikatan negara-negara
anggota ASEAN terhadap Piagam ASEAN adalah kewajiban mengambil
langkah-langkah yang diperlukan termasuk pembuatan legislasi dalam negeri yang sesuai
dengan mekanisme yang diatur oleh internal negara tersebut. Dalam hal
mekanisme yang diatur di Indonesia tentang pemberlakuan suatu perjanjian
internasional sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000
dilakukan pengesahan dengan dibentuknya Undang-Undang ataupun Peraturan
Presiden Ratifikasi.30
Dalam konteks Indonesia mengingat sistem hukum Indonesia pada
prinsipnya lebih condong untuk menempatkan perjanjian internasional yang telah
diratifikasi sebagai non-self executing treaty31
28
Simon Tumanggor, Op.Cit.,hlm. 4. 29
Ibid.
30
Andi Sandi Ant.T.T dan Agustina Merdekawati, ”Konsekuensi Pembatalan Undang-Undang Ratifikasi terhadap Keterikatan Pemerintah Indonesia Pada Perjanjian Internasional”,
Mimbar Hukum Volume 24, Nomor 3 (Oktober, 2012), hlm. 467.
, maka harusnya dalam rangka
31
memasukkan hukum internasional ke dalam hukum nasional juga diperlukan pula
adanya peraturan implementasi.32
Namun Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa kecenderungan
Indonesia menganut aliran monisme dengan primat hukum internasional.
Pengamatannya menyimpulkan bahwa sistem hukum Indonesia lebih condong
kepada negara-negara Eropa Kontinental yang menganggap negara terikat dalam
kewajiban melaksanakan dan menaati semua ketentuan perjanjian dan konvensi Jika dilihat dari pendekatan teoritik, harus dipahami bahwa infiltrasi
hukum internasional dan perjanjian internasional dalam hukum nasional sangat
terkait dengan kedudukan hukum internasional dalam hukum nasional yang secara
umum dijelaskan oleh dua teori yakni teori monisme dan teori dualisme. Sistem
hukum Indonesia sayangnya belum mengindikasikan secara spesifik memilih
salah satu di antara monisme, dualisme ataupun kombinasi keduanya. Baik
Undang-Undang Dasar 1945 maupun Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000
tentang Perjanjian Internasional sama sekali tidak secara tegas menyatakan posisi
Indonesia dalam memandang teori-teori pemberlakuan perjanjian internasional
tersebut.
dimana semua substansi normatifnya tidak memerlukan transformasi ke dalam sebuah
implementing legislation ataupun sebuah peraturan legislasi yang mengimplementasikannya. Sedangkan perjanjian internasional yang bersifat non-self executing berarti bahwa perjanjian internasional tersebut tidak dapat secara otomatis berlaku dalam wilayah teritorial suatu negara sejak disetujui, namun memerlukan bentuk implementing legislation untuk mengimplementasikannya. Lihat di Boleslaw Adam Boczek, International Law: A Dictionary, (Maryland: Scarecrow Press, Inc., 2005), hlm. 14.
32
yang telah disahkan tanpa perlu mengadakan lagi implementing legislation33 atau perundang-undangan pelaksanaan.34
Kondisi ketiadaan kejelasan sikap Indonesia mengenai penerapan hukum
internasional dalam ranah hukum nasional baik dalam konstitusi maupun dalam
Undang-Undang Perjanjian Internasional, menimbulkan kerancuan dalam
praktiknya apakah perjanjian internasional yang sudah disahkan oleh pemerintah
baik dalam instrumen undang-undang maupun dalam peraturan presiden termasuk
atau menjadi hukum positif yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini, hukum
internasional akan menyerahkan sepenuhnya pada sistem hukum ketatanegaraan
dalam suatu negara untuk menyediakan alternatif solusi yang jelas.35
33
Implementing legislation atau juga sering disebut sebagai implementing act merupakan sebuah bentuk peraturan legislasi yang mengimplementasikan substansi normatif dari sebuah perjanjian internasional yang ditransformasikan ke dalamnya untuk dapat diberlakukan di wilayah negara tersebut setelah perjanjian disepakati. Boleslaw Adam Boczek, Op.Cit., hlm 15.
Implementing legislation berupa peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh lembaga legislatif/parlemen yang merupakan hasil dari proses transformasi perjanjian internasional ke dalam peraturan perundang-undangan nasional. Wisnu Aryo Dewanto, “Memahami Arti Undang-Undang Pengesahan Perjanjian Internasional di Indonesia”, Opinio Juris Vol. 4, (Januari-April, 2012), hlm. 22.
34
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Op.Cit., hlm. 93. 35
Andi Sandi Ant.T.T dan Agustina Merdekawati, Op.Cit.,hlm. 465.
Dalam hukum nasional Indonesia, tidak ada ketentuan yang menyatakan
bahwa norma-norma hukum internasional yang terkandung dalam sebuah
perjanjian internasional dan telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia secara
ipso facto berlaku dan dapat diterapkan di pengadilan nasional. Norma-norma hukum internasional hanya dapat berlaku dan diterapkan di pengadilan nasional
setelah melalui proses transformasi yang mana substansi perjanjian internasional
Namun ada pandangan yang berbeda menyatakan Undang-Undang
pengesahan yang mengesahkan suatu perjanjian internasional adalah produk
hukum nasional (substantif) yang mentransformasikan materi perjanjian
internasional ke dalam hukum nasional sehingga status perjanjian internasional
berubah menjadi hukum nasional. Ratifikasi dimaksudkan agar penggunaan
kekuasaan tersebut bersesuaian dengan hukum yang sedang berlaku. Selain itu,
tindakan ratifikasi oleh parlemen dimaksudkan agar perjanjian tersebut memiliki
kekuatan untuk dilaksanakan secara efektif.36
Secara bentuk memang Undang-undang tersebut nomenklatur hukum
nasional, tetapi untuk materi muatannya jelas merupakan hukum internasional
secara utuh. Dalam hal ini apakah Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan
untuk menilai Undang-Undang dengan materi muatan hukum internasional yang Mengingat tidak ada ketegasan yang jelas dalam sistem hukum Indonesia
tentang hal ini, sehingga memunculkan persoalan apakah Undang-Undang
ratifikasi yang mengesahkan Piagam ASEAN dapat diuji oleh Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia. Permasalahannya, jika yang diuji adalah
Undang-Undang implementasi dari suatu perjanjian internasional relatif tidak
menimbulkan masalah karena memang materi muatan perjanjian internasional
tersebut telah disesuaikan dengan tatanan hukum nasional Indonesia. Namun jika
pengujian dilakukan terhadap Undang-Undang ratifikasi suatu perjanjian
internasional dalam hal ini Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 tentang
pengesahan Piagam ASEAN jelas menimbulkan berbagai persoalan.
36
secara utuh untuk diuji dengan alas uji UUD 1945. Selain itu, apakah memang
Undang-Undang ratifikasi merupakan sebuah Undang-Undang yang menjadi
domain kewenangan Mahkamah Konstitusi.37
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan terdapat dua pandangan
dalam melihat Undang-Undang ratifikasi perjanjian internasional. Sebagian ahli
hukum tata negara dan hukum internasional menilai norma-norma hukum dalam
Piagam ASEAN bukanlah norma-norma yang tidak dapat diuji oleh pengadilan
nasional karena belum ditransformasikan ke dalam peraturan
perundang-undangan nasional. Pembatalan atau penarikan diri dari suatu perjanjian
internasional merupakan domain hukum internasional, bukan domain hukum
nasional.38
Sementara di sisi yang lain, ada pandangan yang menyatakan
Undang-Undang ratifikasi telah menjadi produk hukum nasional, materi yang telah diberi
bentuk hukum undang-undang memiliki sifat atau karakter sebagai weight in
formil zig (undang-undang), sehingga pengujiannya juga merupakan domain
pengadilan nasional.39
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka beberapa
permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini, antara lain:
1. Bagaimana pengaturan hukum internasional mengenai pengesahan dan
perlaksanaan perjanjian internasional?
37
Andi Sandi Ant.T.T dan Agustina Merdekawati, Op.Cit.,hlm. 467. 38
Simon Tumanggor, Op.Cit., hlm. 6. 39
2. Bagaimana keterikatan negara terhadap perjanjian internasional
dikaitkan dengan kasus judicial review terhadap Piagam ASEAN di
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia?
3. Apakah Indonesia menganut paham monisme, dualisme ataukah
percampuran keduanya jika dikaitkan dengan putusan Mahkamah
Konstitusi terhadap judicial review Piagam ASEAN?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini, antara lain:
1. Untuk mengetahui pengaturan hukum internasional mengenai
pengesahan dan perlaksanaan perjanjian internasional.
2. Untuk mengetahui pemberlakuan perjanjian internasional di Indonesia
dikaitkan dengan judicial review terhadap Piagam ASEAN oleh
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
3. Untuk mengetahui apakah Indonesia menganut paham monisme,
dualisme ataukah percampuran keduanya jika dikaitkan dengan putusan
Mahkamah Konstitusi terhadap judicial review Piagam ASEAN.
Adapun manfaat yang diharapkan akan diperoleh dari penulisan ini antara
lain:
1. Manfaat Teoritis
Kiranya kehadiran tulisan ini mampu mengisi ruang-ruang kosong dalam
akhirnya nanti tulisan ini dapat memberikan sumbangsih yang berarti bagi
perkembangan ilmu pengetahuan serta menambah bahan literatur di bidang
hukum internasional. Khususnya dalam ilmu perjanjian internasional dalam
pemberlakuannya yang dikaitkan dengan judicial review terhadap perjanjian
internasional itu sendiri. Selain itu, tulisan ini dapat dijadikan sebagai referensi
bagi peneliti selanjutnya yang melakukan penelitian di bidang ilmu yang sama.
2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis yang dapat diperoleh dari tulisan ini dapat ditujukan
kepada beberapa pihak, antara lain:
a) Pemerintah
Melalui saran yang disampaikan melalui tulisan ini, kiranya
pemerintah dapat menentukan sikap yang jelas dalam pemberlakuan
perjanjian internasional di Indonesia saat ini yang dirasakan masih
belum memiliki kedudukan yang jelas dalam sistem hukum Indonesia.
Sehingga, kemungkinan adanya judicial review terhadap perjanjian internasional lain di masa yang akan datang dapat dilaksanakan
dengan mekanisme yang tepat dan tidak bertentangan dengan hukum.
b) Mahasiswa dan Akademisi
Kiranya tulisan ini mampu memenuhi hasrat keingintahuan dan
semakin menambah wawasan pengetahuan mahasiswa dan akademisi
yang ingin ataupun sedang mendalami pengetahun mengenai hukum
dijadikan bahan referensi bagi penelitian dan penulisan selanjutnya di
bidang hukum perjanjian internasional.
c) Masyarakat
Melalui tulisan ini, diharapkan semakin menambah pengetahuan
masyarakat tentang persoalan hukum internasional yang terjadi di
Indonesia khususnya mengenai judicial review terhadap Piagam
ASEAN dan bagaimana perkembangan dan solusi penyelesaiannya.
D. Keaslian Penelitian
Penelitian ini adalah asli, sebab ide, gagasan pemikiran dalam penelitian
ini bukan merupakan hasil ciptaan atau hasil penggandaan dari karya tulis orang
lain yang dapat merugikan pihak-pihak tertentu. Demikian penelitian ini dapat
dipertanggungjawabkan keasliannya dan belum pernah ada judul yang sama,
begitu pula dengan pembahasan yang diuraikan berdasarkan pemeriksaan oleh
Perpustakaan Universitas Sumatera Utara Cabang Fakultas Hukum/Pusat
Dokumentasi dan Informasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatara Utara
tertanggal 13 Februari 2014. Dalam hal mendukung penelitian ini, digunakan
berbagai pendapat para sarjana yang diambil atau dikutip berdasarkan daftar
referensi dari buku para sarjana yang ada hubungannya dengan masalah dan
E. Tinjauan Kepustakaan
Penelitian ini memperoleh bahan tulisannya dari berbagai sumber yang
dapat dipercaya dan dapat dipertanggungjawabkan. Untuk itu diberikan penegasan
dan pengertian dari judul penelitian yang diambil dari berbagai sumber yang
memberikan pengertian terhadap judul penelitian ini, yang ditinjau dari sudut
etimologi dan pengertian-pengertian lainnya dari sudut ilmu hukum maupun dari
pendapat para sarjana, sehingga mempunyai arti yang jelas.
Berikut penjelasan beberapa istilah dalam tulisan ini untuk memperoleh
pemahaman yang sama:
a) Perjanjian Internasional
Perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa
dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu.40 Definisi
ini kemudian dikembangkan oleh Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 24 Tahun 2000 yang menyebutkan bahwa perjanjian
internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu, yang
diatur dalam hukum internsional yang dibuat secara tertulis serta
menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.41
40
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Op.Cit., hlm. 117. 41
Lihat Pasal 1 huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. LN No. 185 Tahun 2000. TLN No. 4012.
Perjanjian
internasional yang dimaksud dapat berbentuk Treaty (perjanjian
internasional/traktat), Convention (konvensi), Agreement
(persetujuan), Charter (piagam), Protocol (protokol), Declaration
(deklarasi), Final Act, Agreed Minutes dan Summary Records,
Process-Verbal, dan Modus Vivendi.42
b) ASEAN
Perjanjian internasional yang
dimaksud dalam tulisan ini adalah charter (piagam).
Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) adalah organisasi
geo-politik dan ekonomi dari negara-negara di kawasan Asia
Tenggara43 yang didirikan pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok,
Thailand melalui penandatanganan Deklarasi ASEAN (selanjutnya
disebut sebagai Deklarasi Bangkok) oleh para pendiri ASEAN, yakni
Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand.
Anggota-anggota lainnya yakni Brunei Darussalam, Vietnam, Laos, Myanmar
dan Kamboja.44 Organisasi ini bertujuan untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial dan pengembangan
kebudayaan negara-negara anggotanya, memajukan perdamaian dan
stabilitas di tingkat regionalnya, serta meningkatkan kesempatan untuk
membahas perbedaan di antara anggotanya dengan damai.45
c) Piagam ASEAN
Anggaran Dasar bagi ASEAN yang telah disepakati pada tahun 2007
pada KTT ASEAN ke-13 di Singapura dengan ditandatangani oleh
semua kepala pemerintahan negara-negara anggota ASEAN dan mulai
42
Association of Southeast Asian Nations, “About ASEAN: Overview,”
45
berlaku sejak 15 Desember 2008. Sejak tanggal 21 Oktober 2008
semua negara anggota telah meratifikasi piagam ini.46 Piagam ASEAN
bertujuan untuk mentransformasikan ASEAN dari sebuah asosiasi
politik yang longgar menjadi organisasi internasional yang memiliki
dasar hukum yang kuat (legal personality), dengan aturan yang jelas,
serta memiliki struktur organisasi yang efektif dan efisien.47
d) Judicial Review
Hak menguji (toetsingrecht) dari kekuasaan yudikatif untuk
melakukan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan.48
Fungsi judicial power dalam melakukan pengujian ini didasarkan pada
kewenangan pengawasan sebagai konsekuensi dari prinsip check and
balance antar organ pelaksana kekuasaan negara.49
46
Piagam ASEAN,
Hasil amandemen
UUD 1945 mengatur wewenang Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi dalam melakukan judicial review. Mahkamah Agung
berwenang melakukan judicial review terhadap peraturan
perundang-undangan yang ada di bawah Undang dengan
Undang-Undang sebagai alas pengujiannya. Sedangkan Mahkamah Konstitusi
melakukan constitutional review yang berwenang mengadili
Februari 2015 Pukul 00.50 WIB.
47
Kementerian Luar Negeri RI, “Piagam ASEAN”,
48
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan, Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm. 1.
49
Undang dengan UUD 1945 sebagai alas ujinya pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final.50
e) Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang
bersama-sama dengan Mahkamah Agung sebagai pemegang
kekuasaan kehakiman51 yang merdeka untuk menyelenggarakan
pengadilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kewenangannya
adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final yang meliputi pengujian undang-undang terhadap UUD
1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, membubarkan partai
politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.52
F. Metode Penelitian
Metode penelitian diperlukan sebagai suatu tipe pemikiran secara
sistematis yang dipergunakan dalam penelitian dan penulisan skripsi ini, yang
pada akhirnya bertujuan mencapai keilmiahan dari penulisan skripsi ini. Dalam
penulisan ini, metode yang digunakan adalah sebagai berikut:
50
Ibid, hlm. 98. 51
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Konstitusi_Republik_Indonesia, diakses pada tanggal 5 Februari 2015 Pukul: 13.04 WIB.
52
1. Bentuk Penelitian
Penelitian ini akan menggunakan metode penelitian yuridis normatif yaitu
penelitian hukum yang mengacu kepada kaidah-kaidah atau norma-norma hukum
yang terdapat dalam perjanjian internasional dan peraturan perundang-undangan
nasional yang berhubungan dengan pemberlakuan perjanjian internasional di
Indonesia dikaitkan dengan judicial review terhadap Piagam ASEAN di
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Soerjono Soekanto menyatakan
penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data
sekunder belaka, dapat dinamakan penelitian hukum normatif atau penelitian
hukum kepustakaan.53 Berdasarkan sudut ilmu yang dipergunakan, penelitian ini
merupakan penelitian monodisipliner, artinya penelitian ini hanya didasarkan
pada satu disiplin ilmu,54
2. Jenis Data
yakni ilmu hukum.
Jenis data yang digunakan dalam tulisan ini adalah data sekunder.55
53
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), hlm.13.
54
Ibid. 55
Menurut Soerjono Soekanto, ciri-ciri umum dari data sekunder antara lain:
Data
sekunder adalah data yang didapat atau dikumpulkan oleh peneliti dari semua
sumber yang sudah ada. Data sekunder bisa didapatkan dari berbagai sumber,
seperti buku, jurnal penelitian, artikel, dan lain sebagainya.
a). Pada umumnya data skeunder dalam keadaan siap terbuat dan dapat dipergunakan dengan segera;
b). Baik bentuk maupun isi data sekunder, telah dibentuk dan diisi oleh peneliti-peneliti terdahulu, sehingga peneliti-peneliti kemudian tidak mempunyai pengawasan terhadap pengumpulan, pengolahan, analisa maupun konstruksi data; dan
c). Tidak terbatas oleh waktu maupun tempat.
3. Jenis Bahan Hukum
Bahan hukum yang akan digunakan dalam penelitian ini dapat dibedakan
menjadi tiga golongan, yakni:
a. Bahan hukum primer, berupa Piagam ASEAN, Putusan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia Nomor: 33/PUU-IX/2011, Vienna
Convention on the Law of Treaties, Deklarasi Bangkok, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional,
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Charter of
the Association of Southeast Asian Nations, dan berbagai perjanjian internasional dan peraturan nasional lainnya yang berkaitan.
b. Bahan hukum sekunder berupa buku, artikel, essay, jurnal dan lain
sebagainya.
c. Bahan hukum tersier yakni bahan-bahan yang memberikan petunjuk
ataupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti
kamus, ensiklopedia, dan lain sabagainya.
4. Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan untuk menulis skripsi ini agar
tujuan dapat lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan adalah dengan
menggunakan metode library reasearch (penelitian kepustakaan) dengan alat
pengumpul data yaitu studi dokumen atau bahan pustaka56
56
Ibid., hlm. 66.
data yang dilakukan secara studi kepustakaan dan peraturan-peraturan yang
berhubungan dengan tujuan penelitian.
Melalui metode ini, dipelajari sumber-sumber atau bahan-bahan tertulis
yang dapat dijadikan bahan dalam penulisan skripsi ini. Berupa rujukan
buku-buku, wacana yang dikemukakan oleh para sarjana hukum internasional dan
hukum tata negara yang sudah menguasai di bidangnya, dokumen, artikel,
peraturan yang berkaitan, jurnal, kamus, ensiklopedia, dan lain sebagainya.
5. Analisis Data
Pada penelitian hukum normatif yang menelaah data sekunder, maka
biasanya penyajian data dilakukan sekaligus dengan analisanya.57
a. Mengumpulkan bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang
relevan dengan permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini;
Metode analisis
data yang dilakukan adalah pendekatan kualitatif, yaitu dengan:
b. Melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum relevan tersebut
agar sesuai dengan masing-masing permasalahan yang dibahas;
c. Mengolah dan menginterpretasikan data guna mendapatkan kesimpulan
dari permasalahan;
d. Memaparkan kesimpulan yang dalam hal ini adalah kesimpulan
kualitatif, yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan
dan tulisan.
57