BAB II
PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PENGESAHAN DAN PELAKSANAAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
A. Perkembangan Hukum Internasional terhadap Pengaturan Perjanjian Internasional
Sejak awal abad ke-20, peranan perjanjian internasional dalam mengatur
hubungan internasional dirasakan semakin penting. Keadaan ini ditandai dengan
dilakukannya serangkaian upaya kodifikasi kaidah hukum internasional menjadi
perjanjian internasional. Demikian halnya sebagaimana yang dilakukan oleh Liga
Bangsa-Bangsa (the League of Nations) pada tahun 1924 melalui suatu Komisi
Ahli (Committee of Expert) berdasarkan Resolusi Majelis Liga Bangsa-Bangsa
tanggal 22 September 1924 yang bertugas untuk mengadakan studi sistematis
tentang pengkodifikasian yang progresif dari hukum internasional.58
Pembubaran Liga Bangsa dan pembentukan Persatuan
Bangsa-Bangsa (the United Nations) pada tanggal 24 Oktober 1945, semakin
mengindikasikan penguatan peran perjanjian internasional dalam mengatur
hubungan internasional.59
Hal ini dibuktikan dengan perhatian khusus Persatuan Bangsa-Bangsa
(PBB) untuk mengkodifikasikan dan mengembangkan hukum internasional secara
progresif,60
58
I Wayan Parthiana, Hukum Perjanian Internasional Bagian 1, (Bandung: Penerbit Mandar Maju, 2002), hlm. 3-4.
59Ibid
.
60
Lihat Pasal 13 ayat (1) butir a Charter of United Nations.
yang membentuk Komisi Hukum Internasional (International Law Commission)
pada sidang Majelis Umum PBB tahun 1947.61 Komisi tersebut bertugas melakukan studi dan pengkajian secara sistematis dan mendalam tentang
bidang-bidang hukum internasional yang perlu dikodifikasikan dan dikembangkan secara
progresif dalam suatu konvensi serta menyiapkan naskah konvensinya.62
Naskah yang dihasilkan oleh komisi tersebut beberapa di antaranya telah
dikukuhkan menjadi hukum internasional positif, antara lain, Vienna Convention
on the Law of Treaties 1969 (Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian tahun
1969) dan Convention on the Law of Treaties between States and International
Organisation and between International Organisation and International
Organisation 1986 (Konvensi tentang Hukum Perjanjian antara Negara dan
Organisasi Internasional dan antara Organisasi Internasional dan Organisasi
Internasional 1986).63
Dalam Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 (VCLT 1969)
pengaturan mengenai perjanjian internasional pada hakikatnya didasarkan pada
ketentuan hukum kebiasaan internasional tentang pembuatan suatu perjanjian
internasional sebagaimana yang dipraktikkan oleh negara-negara di dunia pada
umumnya. Setelah melewati berbagai proses panjang dengan segala dinamikanya
serta melibatkan para pakar hukum internasional dari berbagai dunia, VCLT 1969
dirampungkan pada tanggal 22 Mei 1969 dan dilakukan open for signature
(dibuka untuk ditandatangani) pada tanggal 23 Mei 1969, sebagai tindak lanjut
dari kesepakatan yang berhasil dicapai dalam The United Nations Conference on
61
I Wayan Parthiana, Op.Cit., hlm. 3-4.
62Ibid
., hlm. 5.
63Ibid
the Law of Treaties (Konferensi PBB tentang Hukum Perjanjian Interansional)
yang dilaksanakan di Vienna, Austria, pada 26 Maret sampai dengan 24 Mei 1968
dan 9 April sampai dengan 22 Mei 1969.64
Pada tahap berikutnya, VCLT 1969 dinyatakan entry into force (mulai
berlaku) pada tanggal 27 Januari 1980, yaitu pada 30 (tiga puluh) hari setelah
negara ke-35, yang dalam hal ini adalah Togo, menyerahkan instrumen aksesi-nya
pada 28 Desember 1979. VCLT 1969 dirancang oleh International Law
Commission (ILC) atau Komisi Hukum Internasional PBB, yang mulai bekerja
pada tahun 1949 dan selesai pada tahun 1969 dalam suatu konferensi diplomatik
yang diselenggarakan oleh PBB di Wina, Austria. Selama dua puluh tahun
persiapan pembentukan VCLT 1969, beberapa versi rancangan konvensi dan
komentar telah dipersiapkan oleh Special Rapporteurs (pelapor khusus) ILC,
yaitu: James Brierly, Sir Hersch Lauterpacht, Sir Gerald Fitzmaurice, dan Sir
Humphrey Waldock.65
Hingga penelitian ini dilakukan, VCLT 1969 telah disahkan oleh 125
Negara. Dalam praktik, negara yang belum mensahkan konvensi ini tetap
mengenali dan mengikuti ketentuan-ketentuan konvensi ini sebagai bagian dari
hukum kebiasaan internasional.66
64Ibid
., hlm. 7.
65Vienna Convention on the Law of Treaties
, dimuat pada
wiki/Vienna_Convention_on_the_Law_of_Treaties, diakses pada 17 Februari 2015 Pukul 20.14 WIB.
66
B. Perjanjian Internasional sebagai Sumber Hukum Internasional yang Utama
Pada awal perkembangan hukum internasional, sumber hukum
internasional yang paling utama adalah hukum kebiasaan internasional yang
berkembang dari praktik-praktik yang dilakukan oleh negara di dunia dalam
pergaulan internasional. Kemudian pada perkembangan selanjutnya, dilakukan
usaha pengkodifikasian hukum internasional dan hasil perjanjian multilateral yang
meliputi banyak bidang kehidupan internasional yang penting, seperti hubungan
diplomatik dan konsuler, hukum humaniter, dan hukum laut, yang berupaya untuk
memberikan kepastian hukum dan menetapkan norma-norma yang diterima secara
universal oleh negara-negara di dunia.67
Permasalahan mengenai perjanjian internasional telah menjadi kajian yang
paling sering dibahas dalam hukum internasional. Bahkan tidak berlebihan jika
dikatakan bahwa perjanjian internasional telah menggeser kedudukan dan peranan
hukum kebiasaan internasional yang pada awal sejarah pertumbuhan hukum
internasional menduduki tempat yang utama.68 Perjanjian internasional yang merupakan sumber hukum utama internasional adalah perjanjian internasional
yang berbentuk law making treaties, yaitu perjanjian internasional yang berisikan
prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan yang berlaku secara umum.69
67
Peter Malanczuk dan Michael Barton Akehurst, Akehurst's Modern Introduction to International Law, 7th revised edition, (New York: Routledge, 1997), hlm. 35.
68
I Wayan Parthiana, Op.Cit., hlm. 3.
69
Boer Mauna, Op.Cit., hlm. 9.
Sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah
1) International conventions, whether general or particular, establishing rules expressly recognized by the contesting states;
2) International custom, as evidence of a general practice accepted as law;
3) The general principles of law recognized by civilized nations;
4) Subject to the provisions of Article 59, judicial decisions and the teachings of the most highly qualified publicists of the various nations, as subsidiary means for the determination of rules of law.70
Dalam Pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah Internasional, tidak
ditegaskan secara jelas sumber hukum mana yang secara hirarkis menempati
tempat paling utama di antara berbagai sumber hukum di atas. Tetapi dalam
praktiknya, Mahkamah Internasional akan mendahulukan ketentuan-ketentuan
dalam perjanjian internasional yang mengikat para pihak sepanjang perjanjian
tersebut tidak bertentangan dengan peremptory norm of general international law
(norma hukum internasional umum) atau jus cogens71 yang mengakibatkan perjanjian tersebut dapat dibatalkan.72
Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan bahwa sumber hukum
internasional sebagaimana tercantum dalam Pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah
Internasional dapat dikategorikan menjadi dua golongan. Pertama, sumber hukum
utama atau primer yang meliputi sumber angka (1-3) yang dimuat di uraian
sebelumnya, dan kedua, sumber hukum tambahan atau subsidies yaitu
keputusan-70
International Court Justice, “Statute of the International Court of Justice”, dimuat pada
23.05 WIB
71Jus cogens
atau ius cogens yang juga sering disebut peremptory norm of general
international law adalah prinsip dasar
internasional sebagai norma yang tidak boleh dilanggar. Tidak ada konsensus resmi mengenai norma mana yang merupakan jus cogens dan bagaimana suatu norma mencapai status tersebut. Akan tetapi, pelarangan genosida, pembajakan laut dan perbudakan biasanya dianggap sebagai salah satu jus cogens. Lihat di Jus Cogens, dimuat pada “Jus Cogens”,
diakses pada 17 Februari 2015 Pukul 23.17 WIB
72
keputusan pengadilan dan ajaran sarjana hukum yang paling terkemuka dari
berbagai negara sebagaimana yang dimuat pada angka (4) di uraian di atas.73 Dalam menentukan sumber hukum mana yang terpenting di antara ketiga
sumber hukum primer di atas sebenarnya bergantung pada sudut pandang yang
digunakan. Jika ditinjau dari sudut sejarah, kebiasaan hukum internasional
merupakan sumber hukum yang tertua. Sehingga dengan demikian, dari sudut
sejarah jelaslah bahwa kebiasaan intemasional dapat dianggap sebagai sumber
hukum yang terpenting.74
Sebaliknya, perjanjian internasional dapat dianggap sumber yang
terpenting apabila dilihat kenyataan bahwa semakin banyak persoalan yang
dewasa ini diatur dengan perjanjian antara negaranegara termasuk pula masalah
yang tadinya diatur oleh hukum kebiasaan.75
Jika dilihat dari dari sudut fungsi dalam perkembangan hukum baru oleh
Mahkamah Internasional, maka sumber ketiga yaitu prinsip hukum umum juga
dapat dianggap sebagai sumber yang terpenting apabila. Sumber hukum inilah
yang memberikan kelonggaran kepada Mahkamah Internasional untuk
menemukan atau membentuk kaidah hukum baru dan mengembangkan hukum
internasional berdasarkan prinsip hukum umum.76
73
Mochtar Kusumaatmadja & Etty R. Agoes, Op.Cit., hlm. 115-116.
C. Perjanjian Internasional sebagai Pembentuk Kaidah Hukum Internasional
Perjanjian internasional memberikan pengaruh dan arahan terhadap
pembentukan kaidah hukum internasional. Hal ini tergantung pada sifat hakikat
perjanjian terkait. Dalam hal ini, penting untuk dipahami pembedaan perjanjian
internasional dalam dua kategori, yaitu law making treaties dan treaty contracts.77 Law making treaties merupakan perjanjian internasional yang membuat
hukum atau menetapkan kaidah-kaidah yang berlaku secara universal dan umum.
Sedangkan Treaty Contracts merupakan perjanjian internasional yang hanya
diadakan oleh dua atau beberapa negara yang berkenaan dengan suatu pokok
permasalahan khusus yang secara eksklusif menyangkut negara-negara tersebut.78 Ketentuan-ketentuan dari suatu perjanjian internasional "yang membuat
hukum" secara langsung menjadi sumber hukum internasional. Tetapi tidak
demikian halnya dengan "traktat-traktat kontrak", yang hanya dimaksudkan untuk
menetapkan kewajiban-kewajiban khusus di antara para pesertanya.79
Dalam treaty contract, pihak ketiga pada umumnya tidak dapat turut serta
dalam suatu perundingan untuk membuat suatu perjanjian karena perjanjian yang
bersangkutan mengatur persoalan yang semata-mata ditujukan untuk mengikat
para pihak yang membuat perjanjian itu. Sebaliknya, suatu perjanjian yang
dinamakan law-making treaty selalu terbuka bagi pihak lain untuk ikut serta
77
J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, terjemahan Bambang Iriana Djajaatmaja, (Jakarta: PT. Sinar Grafika, 2000), hlm. 51.
78Ibid
.
79Ibid
dalam proses pembuatan perjanjian karena yang diatur oleh perjanjian itu
merupakan masalah umum mengenai semua anggota masyarakat internasional.80 Pemakaian istilah "yang membuat hukum" (law-making) telah dikritik oleh
beberapa penulis dengan alasan bahwa traktat-traktat dalam artian "law making"
tersebut, tidak sepenuhnya menetapkan kaidah-kaidah hukum.81 Telah menjadi suatu kenyataan bahwa adanya sejumlah besar peserta pada suatu konvensi
multilateral tidak berarti bahwa ketentuan-ketentuan dalam konvensi itu dengan
sendirinya merupakan hukum internasional yang universal dan mengikat
negara-negara bukan peserta.82
Pada umumnya, negara-negara bukan peserta harus membuktikan sendiri
dengan tindakan mereka kehendak untuk menerima ketentuan-ketentuan tersebut
sebagai kaidah-kaidah umum hukum Internasional. Hal ini menjadi jelas dangan
adanya Putusan International Court of Justice pada tahun 1969 dalam North Sea
Continental Shelf Case, yang menyatakan bahwa Pasal 6 Konvensi Jenewa 1958
mengenai Landas Kontinen yang menetapkan aturan kesamaan jarak untuk
membagi secara adil suatu landas kontinen yang dimiliki bersama, tidak diterima
oleh Republik Federal Jerman sebagai negara bukan peserta.83
Pada sisi lain jika ditinjau dari segi yuridis, setiap perjanjian baik yang
dinamakan law-making treaty maupun treaty contract pada dasarnya
menimbulkan akibat hukum berupa hak dan/atau kewajiban bagi para negara
80
Mochtar Kusumaatmadja & Etty R. Agoes, Op.Cit., hlm. 123.
81
J.G. Starke, Op.Cit., hlm. 54.
82Ibid. 83Ibid.
pesertanya.84
1) Serangkaian traktat yang menetapkan aturan yang sama secara
berulang-ulang dapat membentuk suatu prinsip hukum kebiasaan
internasional yang maksudnya sama.
Walaupun merupakan hukum yang khusus dan hanya mengikat di
antara para pihak yang membuatnya, namun treaty contract juga dapat memberi
arahan kepada perumusan ketentuan hukum internasional melalui pemberlakuan
prinsip-prinsip yang mengatur perkembangan kaidah kebiasaan dengan
memperhatikan tiga hal sebagai berikut:
2) Sebuah traktat yang pada mulanya dibentuk hanya di antara sejumlah
peserta terbatas kemudian kaidah yang dimuat dalam traktat itu
digeneralisasikan dengan adanya penerimaan atau dipakai sebagai
kaidah yang berdiri sendiri.
3) Suatu traktat dapat dianggap mempunyai nilai pembukti (evidentiary
value) mengenai adanya suatu kaidah yang dikristralisasikan menjadi
hukum melalui proses perkembangan yang berdiri sendiri. Dalil yang
logis adalah bahwa suatu prinsip hukum internasional menuntut adanya
kekuatan tambahan sebagaimana telah diakui secara sungguh-sungguh
dalam ketentuan-ketentuan suatu traktat umum.85
Dari segi pembentukan kaidah hukum, sebutan normative treaties
(perjanjian internasional normatif) nampaknya lebih tepat digunakan daripada
menggunakan istilah "law making treaties" dan "treaty contract". Dalam hal ini,
normative treaties, meliputi:
84
Mochtar Kusumaatmadja & Etty R. Agoes, Op.Cit., hlm. 123-124.
85
1) Perjanjian internasional yang berlaku sebagai instrumen-instrumen
aturan standar umum, atau yang dipakai negaranegara baik atas dasar de
facto ataupun sementara.
2) Konvensi yang tidak diratifikasi, tetapi penting karena memuat
pernyataan-pernyataan tentang prinsip-prinsip yang disetujui oleh
sejumlah besar negara, misalnya VCLT 1969 ini.
3) Perjanjian internasional yang "tertutup" atau "berpeserta terbatas" yang
hanya ditandatangani oleh sejumlah negara tertentu saja.
4) Perjanjian internasional yang merumuskan kaidah-kaidah hukum
regional atau komunitas.
5) Perjanjian internasional yang menciptakan suatu status atau rezim yang
diakui secara internasional, yang hingga taraf tertentu, berlaku ergo
omnes (in relation to everyone).
6) Instrumen-instrumen seperti Final Acts (Ketentuan Penutup), yang
dilampirkan Pengaturan-Pengaturan Internasional yang dimaksudkan
untuk dipakai oleh negara-negara peserta sebagai kaidah-kaidah umum.
7) Perjanjian antar badan, seperti perjanjian antara organisasi-organisasi
internasional dan perjanjian antara sebuah organisasi internasional dan
suatu negara dapat juga bersifat "normatif" dalam arti bahwa perjanjian
tersebut dapat menetapkan norma-norma yang berlaku umum dalam
bidang-bidang tertentu.86
86Ibid
D. Paham Monisme dan Dualisme
Dua aliran besar telah terbentuk akibat adanya pandangan yang berbeda
mengenai dasar pengikat berlakunya hukum internasional, khususnya teori
voluntaris dan objektivis. Aliran-aliran tersebut antara lain:
1. Monisme
Penganut aliran ini beprendapat bahwa hukum nasional dan hukum
internasional adalah merupakan bagian dari satu kesatuan ilmu hukum. Semua
hukum adalah suatu kesatuan yang terdiri dari aturan-aturan yang mengikat,
apakah itu terhadap negara, individu ataupun subjek laon selain negara. Oleh
karena itu, baik hukum nasional maupun hukum internasional yang mengatur
kehidupan manusia.87
Akibat dari pandangan ini adalah dimungkinkannya suatu hubungan
“hierarki” antara kedua sistem hukum tersebut. Hal ini menyebabkan timbulnya
dua pendapat yang berbeda mengenai manakah sistem hukum yang utama di
antara keduanya jika terjadi suatu pertentangan/konflik.88 a. Monisme dengan Primat Hukum Nasional
Paham ini menganggap bahwa hukum nasional lebih utama
kedudukannya daripada hukum nasional dan pada hakekatnya hukum
nasional adalah sumber dari hukum internasional. Pada dasarnya paham
ini sejalan dengan paham dualisme yaitu merupakan penyangkalan dari
adanya hukum internasional, mengingat berlaku atau tidaknya hukum
87
Melda Kamil Ariadno, “Kedudukan Hukum Internasional dalam Sistem Hukum Nasional”, Jurnal Hukum Internasional Vol. 5 No. 3, (April, 2008), hlm. 510.
88Ibid
internasional tergantung pada hukum nasional. Apabila hukum nasional
tidak menginginkan keberlakuan internasional maka hukum tersebut
tidak dapat berlaku.
b. Monisme dengan Primat Hukum Internasional
Paham ini beranggapan bahwa hukum nasional itu bersumber pada
hukum internasional yang pada dasarnya mempunyai hierarkis yang lebih
tinggi, maka supremasi hukum harus dibagikan kepada lebih dari seratus
negara di dunia dengn sistem yang masing-masing berbeda. Hukum
internasional pada dasarnya lebih unggul daripada hukum nasional.
Hukum nasional memang mempunyai kedaulatan penuh, akan tetapi hal
ini semata-mata mencerminkan bahwa suatu negara akan mempunyai
kewenangan dengan hukum internasional sebagai pembatasnya.89
2. Dualisme
Paham dualisme bersumber pada anggapan bahwa daya ikat hukum
internasional bersumber pada kemauan negara, hukum internasional dan hukum
nasional merupakan dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah satu sama
lainnya. Tokoh utama aliran ini adalah Triepel, seorang pemuka aliran positivisme
dari Jerman, dan Anziloti, pemuka aliran positivisme dari Italia. Paham ini
didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat formal, alasan yang didasarkan pada
89Ibid
kenyataan, dan alasan menurut sarjana hukum internasional dan hakim pengadilan
nasional.90
a. Hukum nasional dan hukum internasional mempunyai sumber hukum
yang berbeda, hukum nasional bersumber pada kemauan negara,
sedangkan hukum internasional bersumber pada kemauan bersama dari
negara-negara sebagai masyarakat hukum internasional;
Alasan formal paham dualisme digambarkan dalam beberapa hal
sebagai berikut:
b. Hukum nasional dan hukum internasional mempunyai subjek hukum
yang berbeda. Subjek hukum internasional adalah negara/anggota
masyarakat internasional. Sedangkan subjek hukum nasional adalah
setiap orang baik dalam hukum perdata maupun hukum publik.
c. Hukum nasional dan hukum internasional berbeda dari segi struktur
hukum. Struktur hukum nasional memiliki bentuk yang sempurna dengan
adanya organ/lembaga yang melaksanakan fungsi eksekutif dan yudikatif
dalam pelaksanaan hukum nasional. Hal yang demikian tidak terdapat
dalam hukum internasional. Alasan paham dualisme yang didasarkan
pada kenyataan adalah daya laku kaidah atau keabsahan hukum nasional
dalam kenyataan tidak terpengaruh oleh keberadaan hukum internasional
yang bertentangan dengan hukum nasional tersebut. Dengan kata lain,
hukum nasional tetap berlaku secara efektif walaupun bertentangan
dengan hukum internasional.91
90
Frans E. Likadja dan Daniel Frans Bessie, Desain Instruksional Dasar Hukum Internasional,(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), hlm. 23.
91
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Op. Cit., hlm. 58.
Kategori terakhir adalah alasan menurut
menyatakan sebagian besar hukum nasional terdiri dari hukum buatan
hakim dan hukum undang-undang. Sedangkan hukum internasional
terdiri dari traktat dan kebiasaan internasional.92
Paham dualisme ini mempunyai akibat penting dalam hubungan hukum
internasional dan hukum nasional. Akibat yang paling utama adalah
kaidah-kaidah dari perangkat hukum yang satu tidak mungkin bersumber atau berdasar
pada perangkat hukum yang lain. Sejalan dengan ini, dalam paham dualisme tidak
dikenal persoalan mengenai hirarki antara hukum nasional dan hukum
internasional karena dua perangkat hukum ini tidak saja berbeda dan tidak
bergantung satu dengan yang lain, tetapi juga terlepas antara satu dengan yang
lainnya. Tidak mungkin adanya pertentangan antara kedua perangkat hukum
tersebut, yang mungkin adalah renvoi (penunjukkan). Akibat penting lainnya
adalah bahwa untuk dapat memberlakukan ketentuan hukum internasional dalam
sistem hukum nasional, terlebih dahulu harus dilakukan transformasi ketentuan
hukum internasional tersebut menjadi hukum nasional.93
E. Pengesahan dan Pelaksanaan Perjanjian Internasional didasarkan pada Pengaturan Hukum Internasional
Ketentuan hukum
internasional tidak dapat serta merta berlaku dalam karakternya sebagai norma
hukum internasional, melainkan harus dituangkan terlebih dahulu dalam suatu
legislasi nasional.
92
Frans E. Likadja dan Daniel Frans Bessie, Op. Cit., hlm. 55.
Pada bagian sebelumnya telah dikemukakan bahwa pengaturan hukum
internasional mengenai perjanjian internasional terdapat dalam dua konvensi,
yaitu: Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 dan Vienna Convention on
the Law of Treaties between States and International Organisations or between
International Organisations 1986.
VCLT 1969 mengatur perjanjian internasional antar negara secara
komprehensif, mulai dari persiapan, pembuatan, pelaksanaan, sampai pada kapan
dan bagaimana suatu perjanjian internasional berakhir. Konvensi ini dihasilkan
oleh ILC atau Komisi Hukum Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa yang
dibentuk berdasarkan Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa No.
174/II tahun 1947.94
Pada perkembangan selanjutnya, dalam persidangan ke-26, 27, 29, dan 30
mengesahkan rancangan Pasal 6, yang kelak kemudian menjadi Vienna
Convention on the Law of Treaties between States and International
Organisations or between International Organisations 1986. Didalamnya,
dinyatakan secara tegas bahwa siapapun yang mempunyai kemampuan untuk
membuat perjanjian ialah subyek hukum internasional.95
Pihak-pihak yang bermaksud untuk membuat atau merumuskan suatu
perjanjian internasional, biasanya terlebih dahulu melakukan
pendekatan-pendekatan baik yang bersifat informal maupun formal untuk mencapai
kesepakatan dalam membuat suatu perjanjian internasional yang mengatur suatu
94
Ian Brownlie, Instrumen-Instrumen Penting Hukum Internasional, (Jakarta: Sinar Baru, 1992), hlm. 349.
95
masalah. Misalnya pendekatan antara dua pejabat negara yang berwenang dalam
masalah yang sama, seperti antara menteri perdagangan dari dua atau lebih negara
yang bermaksud untuk mengadakan perjanjian kerjasama dalam bidang
perdagangan yang bilateral ataupun multilateral.96
Dalam hal perumusan suatu perjanjian internasional multilateral umum
atau terbuka, pendekatan-pendekatan itu pun dapat dilakukan melalui
pertemuan-pertemuan informal antara para diplomat ataupun pejabat negara yang ingin
membuat perjanjian atas suatu permasalahan tertentu, Pendekatan itu juga dapat
dilakukan melalui forum organisasi internasional baik yang regional maupun
global. Kesepakatan-kesepakatan hasil pendekatan informal itulah yang nantinya
ditingkatkan mengadakan perjanjian internasional multilateral.97
Selanjutnya, pendekatan informal maupun formal tersebut ditindaklanjuti
dengan tahapan pembuatan perjanjian internasional sebagaimana diatur dalam
VCLT 1969, yaitu dengan melakukan penunjukan wakil-wakil masing-masing
pihak yang diberikan tugas dan kewenangan untuk mengadakan perundingan,
penyerahan surat kuasa atau pertukaran full powers (kuasa penuh) oleh
wakil-wakil masing-masing pihak, perundingan untuk membahas materi yang akan
dimasukkan dan dirumuskan sebagai klausul perjanjian, penerimaan naskah
perjanjian (adoption of the text), pengotentikasian naskah perjanjian
(authentication of the text), pernyataan persetujuan untuk terikat pada perjanjian
(consent to be bound by a treaty), penentuan saat mulai berlakunya suatu
perjanjian internasional (entry into force of a treaty); penyimpanan naskah
96
I Wayan Parthiana, Op.Cit., hlm. 93.
perjanjian (depository of a treaty), serta pendaftaran dan pengumuman perjanjian
(registration and publication).98
Setelah suatu naskah perjanjian secara resmi diterima sebagai naskah yang
otentik, perjanjian itu belum mengikat para pihak dan dengan demikian belum
memiliki kekuatan mengikat sebagai hukum internasional positif, kecuali jika
disepakati bahwa pengotentikasian sekaligus juga sebagai pernyataan persetujuan
untuk terikat pada perjanjian.99
Oleh sebab itulah, persetujuan untuk mengikatkan diri pada perjanjian
merupakan faktor yang sangat penting, karena suatu negara hanya dapat terikat
oleh perjanjian tersebut jika mereka telah menyatakan persetujuannya untuk
terikat pada perjanjian tersebut. Cara menyatakan persetujuan untuk mengikatkan
diri pada suatu perjanjian internasional haruslah ditentukan di dalam perjanjian itu
sendiri.100
Sebagaimana ketentuan yang terdapat dalam Pasal 11 hingga Pasal 17
VCLT 1969 ditentukan beberapa cara untuk menyatakan persetujuan untuk terikat
pada suatu perjanjian internasional, yaitu dengan signature (penandatanganan),
exchange of instruments constituting a treaty (pertukaran instrumen yang
membentuk perjanjian), ratification (ratifikasi), acceptance (akseptasi), approval
(persetujuan atau aksesi), atau cara lain yang disetujui dalam perjanjian.101
98Ibid
., hlm. 94.
99Ibid
., hlm. 109.
100Ibid
.
101Ibid
1. Persetujuan untuk Terikat pada Perjanjian yang Dinyatakan dengan Penandatanganan
Kesepakatan untuk mengikatkan diri pada perjanjian yang dinyatakan
dengan penandatanganan diatur dalam Pasal 12 VCLT 1969, sebagai berikut:
1. The consent of a State to be bound by a treaty is expressed by the signature of its representative when:
a) The treaty provides that signature shall have that effect;
b) It is otherwise established that the negotiating States were agreed that signature should have that effect; or
c) The intention of the State to give that effect to the signature appears from the full powers of its representative or was expressed during the negotiation.
2. For the purposes of paragraph 1:
a) The initialling of a text constitutes a signature of the treaty when it is established that the negotiating States so agreed;
b) The signature ad referendum of a treaty by a representative, if confirmed by his State, constitutes a full signature of the treaty.102
Pernyataan suatu negara untuk mengikatkan diri yang dinyatakan dengan
penandatanganan pada umumnya dilakukan pada perjanjian yang dari segi
substansinya tergolong sebagai perjanjian yang tidak terlalu penting, tidak
mengakibatkan pembentukan kaidah hukum baru, dan lebih bersifat teknis.
Dengan pertimbangan ini, pengikatan diri pada perjanjian cukup dilakukan oleh
wakil negara peserta dan dengan penandatanganan oleh wakilnya tersebut maka
perjanjian tersebut telah mengikat negara-negara yang bersangkutan.103
Suatu negara menyatakan kesepakatannya untuk terikat pada suatu
perjanjian melalui penandatanganan wakil-wakilnya dapat ditentukan dalam
perjanjian itu sendiri atau sebaliknya negara-negara yang melakukan perundingan
102
Lihat Pasal 12 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969.
103
menyepakati bahwa penandatanganan merupakan pernyataan terikat pada
perjanjian tersebut, asalkan hal tersebut sesuai dengan surat kuasa penuh yang
diberikan oleh negara kepada wakilnya. Jika perjanjian tersebut mensyaratkan
adanya ratifikasi sebagai pengikatan diri atau surat kuasa penuh dari wakil negara
itu dibuat untuk ratifikasi, maka penandatanganan itu hanya akan berpengaruh
pada tahap pertengahan saja dan bukan merupakan pernyataan kesepakatan untuk
terikat pada perjanjian.104
Pada Pasal 18 VCLT 1969 mengatur tentang konsekuensi bagi
negara-negara yang melakukan penandatanganan perjanjian yang bukan merupakan
persetujuan untuk mengikatkan diri pada perjanjian tersebut dan menerima naskah
perjanjian berupa kewajiban moral (walaupun belum terikat pada perjanjian)
untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan maksud dan
tujuan perjanjian,105
a) It has signed the treaty or has exchanged instruments constituting the treaty subject to ratification, acceptance or approval, until it shall have made its intention clear not to become a party to the treaty; or
yang menyatakan:
A State is obliged to refrain from acts which would defeat the object and purpose of a treaty when:
b) It has expressed its consent to be bound by the treaty, pending the entry into force of the treaty and provided that such entry into force is not unduly delayed.106
104
Sumaryo Suryokusumo, Hukum Perjanjian Internasional, (Jakarta: PT Tatanusa, 2008), hlm. 55.
105Ibid
., hlm. 57
106
2. Persetujuan untuk Terikat pada Perjanjian yang dinyatakan dengan Pertukaran Instrumen-Instrumen yang Membentuk Perjanjian
Pertukaran instrumen-instrumen yang membentuk perjanjian yang
merupakan bentuk persetujuan untuk terikat pada perjanjian internasional diatur
dalam Pasal 13 VCLT 1969, yang menyatakan:
The consent of States to be bound by a treaty constituted by instruments
exchanged between them is expressed by that exchange when:
a) The instruments provide that their exchange shall have that effect; or
b) It is otherwise established that those States were agreed that the
exchange of instruments should have that effect107
Cara-cara pertukaran instrumen-instrumen tentang pembentukan perjanjian
mengenai persetujuan suatu negara untuk terikat pada suatu perjanjian dinyatakan
dengan pertukaran tersebut, apabila:
a. Instrumen tersebut menetapkan bahwa pertukaran itu memiliki efek
sebagai pernyataan persetujuan untuk terikat pada perjanjian itu; atau
b. Sebaliknya ditentukan jika negara-negara itu menyepakati bahwa
pertukaran instrumen akan menimbulkan akibat bahwa mereka terikat
pada perjanjian itu.108
Dalam hal persetujuan untuk terikat pada perjanjian, dapat dilakukan
dengan pertukaran dokumen/instrumen yang pada dasarnya merupakan perjanjian
internasional (biasanya menggunakan instrumen Exchange of Letters/Notes,
Agreed Minutes, Summary Records, Modus Vivendi, Memorandum of
107Ibid.,
Pasal 13.
108
Understanding, dan lain sebagainya). Oleh karena itu, negara-negara peserta
menghendaki bahwa sejak dipertukarkannya instrumen/dokumen tersebut,
negara-negara telah menyatakan terikat pada perjanjian.109
Pada umumnya, cara pengikatan terhadap perjanjian seperti ini dilakukan
pada perjanjian-perjanjian sederhana yang menyangkut kerja sama di bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi, teknik, perdagangan, kebudayaan, pelayaran niaga,
penghindaran pajak berganda, penanaman modal, dan perjanjian-perjanjian
bersifat teknis. Selain itu, biasanya materi perjanjian tersebut bersifat prosedural
dan memerlukan penerapan dalam waktu singkat tanpa mempengaruhi peraturan
perundang-undangan nasional yang fundamental.110
Persetujuan untuk terikat pada perjanjian dengan pertukaran instrumen
dilakukan oleh organ pemerintah yang berwenang dari masing-masing pihak.
Dengan demikian, wakil-wakil dari negara peserta, setelah mengadopsi ataupun
mengotentikasi naskah perjanjian, harus menyampaikan naskah perjanjian itu
kepada organ pemerintahnya yang berwenang. Selanjutnya, organ pemerintah
yang berwenang itulah yang akan memutuskan apakah akan setuju untuk terikat
pada perjanjian, dengan cara pertukaran instrumen tentang pembentukan
perjanjian itu.111
109Ibid
.
110Ibid
.
111Ibid
3. Persetujuan untuk Terikat pada Perjanjian yang Dinyatakan dengan Ratifikasi, Akseptasi, atau Persetujuan
Persetujuan untuk mengikatkan diri pada perjanjian yang dinyatakan
dengan ratifikasi, akseptasi, atau persetujuan diatur dalam Pasal 14 VCLT 1969,
sebagai berikut:
1. The consent of a State to be bound by a treaty is expressed by ratification when:
a) The treaty provides for such consent to be expressed by means of ratification;
b) It is otherwise established that the negotiating States were agreed that ratification should be required;
c) The representative of the State has signed the treaty subject to ratification; or
d) The intention of the State to sign the treaty subject to ratification appears from the full powers of its representative or was expressed during the negotiation.
2. The consent of a State to be bound by a treaty is expressed by acceptance or approval under conditions similar to those which apply to ratification.112
Melalui ketentuan ini, diatur mengenai persetujuan negara untuk
mengikatkan diri pada perjanjian dengan cara ratification (ratifikasi), sedangkan
cara pengikatan diri dengan acceptance (akseptasi) atau approval (persetujuan)
sebagaimana dinyatakan pada ayat (2), didasarkan pada kondisi/persyaratan yang
sama dengan persetujuan untuk terikat pada perjanjian dengan cara ratifikasi.
Menurut hukum internasional, tidak ada perbedaan substantif di antara
istilah tersebut dan masing-masing mempunyai dampak hukum yang sama seperti
tindakan ratifikasi. Istilah akseptasi baru digunakan sejak beberapa dekade
terakhir dimana formalitas akseptasi lebih sederhana dari formalitas ratifikasi.
Namun demikian, tidak ada aturan tegas mengenai perbedaan pemakaian kedua
112
istilah tersebut karena tergantung pada sistem konstitusional masing-masing
negara. Demikian juga dengan persetujuan, berasal dari kebiasaan internal suatu
negara, misalnya sebagaimana ditentukan dalam Konstitusi Perancis 1958 yang
memakai kedua istilah tersebut.113
Jika dilihat dari segi substansinya, maka perjanjian internasional yang
persetujuan terikatnya dilakukan dengan dengan cara ratifikasi (ratification),
akseptasi (acceptance), atau persetujuan (approval), tergolong sebagai perjanjian
yang penting, baik bagi para pihak yang bersangkutan maupun bagi masyarakat
internasional pada umumnya.114
Damos Dumoli Agusman berpendapat bahwa ratifikasi berasal dari
konsepsi hukum perjanjian internasional yang diartikan sebagai tindakan
konfirmasi dari suatu negara terhadap perbuatan hukum utusan atau wakilnya
yang telah menandatangani suatu perjanjian sebagai tanda persetujuan untuk
terikat pada perjanjian itu. Konfirmasi ini dibutuhkan karena pada era permulaan
berkembangnya perjanjian internasional, masalah komunikasi serta jarak
geografis antar negara merupakan faktor yang mengharuskan adanya ruang bagi
setiap negara untuk mengkonfirmasi setiap perjanjian yang telah ditandatangani
oleh utusannya.
115
Tindakan pengesahan dan tandatangan yang dilakukan oleh wakil negara
yang turut serta dalam perundingan berasal dari zaman dahulu, ketika kepala
113
Boer Mauna, Op.Cit., hlm. 120-121.
114
I Wayan Parthiana, Op.Cit.
115
Damos Dumoli Agusman, Arti Pengesahan/Ratifikasi Perjanjian Internasional, dimuat
pada
negara perlu meyakinkan dirinya bahwa utusan yang telah diberi kuasa penuh
olehnya tidak melampaui batas wewenangnya. Pada masa itu kepala negara atau
pemerintah yang bersangkutan tidak dapat terus-menerus mengikuti langkah
utusan yang dikirimnya, menyebabkan bahwa ratifikasi dirasakan perlu sebelum
kepala negara dapat mengikat dirinya dengan perjanjian yang bersangkutan.116 Menurut Oppenheim, ratifikasi merupakan the final confirmation
(konfirmasi akhir) dari para pihak atau negara peserta atas perjanjian internasional
yang sudah disepakati atau ditandatangani oleh para utusannya dan pada
umumnya disertai dengan pertukaran dokumen sebagai perwujudan ungkapan
konfirmasi tersebut.117
Meskipun ratifikasi dianggap sebagai sekedar konfirmasi suatu negara atas
tindakan para utusannya dalam pembuatan perjanjian internasional, namun
tindakan konfirmasi ini sangat menentukan ketentuan mengikatnya suatu
perjanjian internasional. Pada dasarnya fungsi ratifikasi itu sendiri adalah untuk
mengikatkan suatu negara peserta pada suatu perjanjian internasional. Selama
ratifikasi belum diberikan oleh suatu negara maka perjanjian internasional
tersebut walaupun sudah disepakati oleh para wakil negara peserta, belum
sempurna sebagai instrumen hukum yang mengikat negara yang bersangkutan
sehingga kekuatan hukumnya pun belum sempurna.118
Selain sebagai suatu tindakan konfirmasi, ratifikasi juga diartikan sebagai
tindakan yang bersifat formalitas, namun bukan berarti formalitas yang tidak
penting. Sebagaimana dikemukakan oleh Lard Stowell, ratifikasi walaupun dapat
116
Mochtar Kusumaatmadja & Etty R. Agoes, Op.Cit., hlm. 130
117
J.G. Starke, Op.Cit., hlm. 601.
dianggap sebagai formalitas, namun formalitas yang sangat esensial. Ratifikasi
merupakan syarat esensial dan konfirmasi kuat karena wewenang para utusan
negara yang memiliki full powers (kuasa penuh) untuk melakukan pembuatan
perjanjian internasional dibatasi oleh adanya syarat ratifikasi tersebut.119
Pada praktik hukum internasional masa kini, ratifikasi diartikan bukan
hanya sekedar tindakan konfirmasi suatu negara untuk membenarkan atau
menguatkan apa yang sudah dilakukan utusannya dalam pembuatan perjanjian
internasional, melainkan sekaligus sebagai pernyataan resmi suatu negara tentang
persetujuannya untuk terikat pada suatu perjanjian internasional.120
Mochtar Kusumaatmadja berpendapat bahwa suatu negara yang telah
mengikatkan dirinya pada suatu perjanjian internasional, maka persetujuan
mengikatkan diri tersebut harus disahkan oleh badan yang berwenang di
negaranya. Penandatangan perjanjian yang dilakukan oleh wakil atau utusan
negara hanya bersifat sementara dan masih harus disahkan. Pengesahan oleh
badan yang berwenang tersebut yang kemudian dinamakan dengan ratifikasi.121 Berdasarkan pada praktik tersebut, persoalan ratifikasi bukan hanya
merupakan persoalan hukum perjanjian internasional melainkan juga merupakan
persoalan hukum tata negara. Hukum internasional hanya mengatur hal-hal yang
termasuk pada persetujuan yang diberikan suatu negara pada suatu perjanjian
yang memerlukan ratifikasi. Sedangkan pada tahap cara ratifikasinya, dilakukan
menurut ketentuan hukum tata negara masing-masing negara.122
119Ibid. 120Ibid. 121
Mochtar Kusumaatmadja & Etty R. Agoes, Op.Cit.
122Ibid
Hal ini sejalan dengan pendapat bahwa ratifikasi yang dilakukan terhadap
suatu perjanjian internasional mencakup dua prosedur yang terpisah namun saling
terkait satu sama lain, yaitu prosedur eksternal yang didasarkan pada hukum
internasional dan prosedur internal yang didasarkan pada hukum nasional.123
4. Persetujuan untuk Terikat pada Perjanjian yang dinyatakan dengan Aksesi
Penandatangan instrumen ratifikasi itu sendiri tentunya dilakukan atas
nama negara. Dalam praktik internasional, penandatanganan dilakukan
berdasarkan konstitusi atau praktik di masing-masing negara yang lazimnya
dilakukan oleh Kepala Negara, Kepala Pemerintahan, atau Menteri yang
membidangi urusan luar negeri.
Kesepakatan untuk mengikatkan diri pada perjanjian yang dinyatakan
dengan aksesi diatur dalam Pasal 15 VCLT 1969, sebagai berikut:
The consent of a State to be bound by a treaty is expressed by accession when:
a) The treaty provides that such consent may be expressed by that State by means of accession;
b) It is otherwise established that the negotiating States were agreed that such consent may be expressed by that State by means of accession; or c) All the parties have subsequently agreed that such consent may be
expressed by that State by means of accession.124
Pada dasarnya, aksesi merupakan persetujuan terikat pada suatu perjanjian
internasional oleh negara yang tidak ikut serta dalam perundingan perjanjian
terkait atau negara tersebut karena hal-hal tertentu tidak dapat memenuhi syarat
123
Damos Dumoli Agusman, Loc.Cit.
124
untuk menjadi pihak dalam suatu perjanjian dengan penandatanganan atau
ratifikasi.125
Kesepakatan melalui aksesi juga terkait dengan persoalan perjanjian
terbuka dan tertutup. Perjanjian tertutup, terbatas bagi negara-negara yang ikut
membuat suatu perjanjian dan menandatanganinya. Sedangkan perjanjian terbuka
berarti negara-negara yang tidak ikut membuat suatu perjanjian dapat menjadi
pihak pada perjanjian tersebut di kemudian hari.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa aksesi merupakan cara dimana suatu
negara yang sebelumnya tidak menandantangani perjanjian, dapat menjadi pihak
perjanjian. Kesepakatan yang dilakukan dengan cara aksesi dapat dimungkinkan
apabila perjanjian itu sendiri memperbolehkannya, atau negara-negara
perunding/penandatangan telah menyetujui bahwa kesepakatan melalui cara
aksesi tersebut akan terjadi pada negara yang dimaksud.
126
Dalam menyepakati suatu perjanjian internasional, negara yang
mengaksesi perjanjian tersebut membuat pernyataan tentang kesepakatannya
mengaksesi perjanjian tersebut serta kesediaan untuk melaksanakan
ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya dengan itikad baik. Hal ini dilaksanakan sesuai
125
Pasal 81 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 menyatakan: “The present Convention shall be open for signature by all States Members of the United Nations or of any of the specialized agencies or of the International Atomic Energy Agency or parties to the Statute of the International Court of Justice, and by any other State invited by the General Assembly of the United Nations to become a party to the Convention, as follows: until 30 November 1969, at the 29 Federal Ministry for Foreign Affairs of the Republic of Austria, and subsequently, until 30 April 1970, at United Nations Headquarters, New York”, yang pada pokoknya menyatakan pembatasan bagi negara tertentu yang berhak menandatangani atau pembatasan waktu penandatangan perjanjian, sehingga suatu negara harus melakukan pengikatan dirinya melalui aksesi.
126
dengan kesepakatan sebelumnya yang telah dibuat oleh negara-negara perunding
atau ketentuan yang telah disepakati dalam perjanjian atau konvensi tersebut.127 Jika perjanjian atau persetujuan tersebut berbentuk bilateral treaty (antara
dua negara). Maka instrumen-intrumen tersebut harus dipertukarkan. Namun jika
perjanjian multilateral treaty (melibatkan banyak negara), maka instrumen itu
biasanya harus diserahkan kepada satu atau dua negara perunding yang telah
disetujui bersama atau sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dalam perjanjian
tersebut.128
Apabila perjanjian tersebut dibuat oleh organisasi internasional, maka
instrumen itu harus diserahkan kepada Sekretaris Jenderal organisasi tersebut
untuk disimpan pada depositary (penyimpan) atau jika telah disetujui sebelumnya
oleh negara-negara perunding dapat pula diserahkan kepada sesuatu negara yang
telah disetujui sebagai penerima instrumen. Di samping itu instrumen juga dapat
hanya dengan memberitahukan kepada negara-negara peserta atau kepada
penerima jika ada kesepakatan.129
5. Persetujuan untuk Terikat pada Perjanjian yang dinyatakan dengan Pensyaratan
Pensyaratan atau reservation adalah suatu sistem dimana suatu negara
yang merupakan pihak pada perjanjian dapat menyatakan pensyaratan terhadap
pasal-pasal tertentu. Apabila pensyaratan tersebut diterima, maka negara yang
bersangkutan dapat menolak pelaksanaan pasal-pasal tersebut untuknya.
127
Sumaryo Suryokusumo, Op.Cit., hlm. 62.
Pensyaratan dapat diajukan pada saat penandatanganan, ratifikasi, akseptasi, dan
aksesi.130
Jika pensyaratan ini dimungkinkan, jumlah pihak pada suatu perjanjian
menjadi lebih banyak. Namun sistem ini dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan
karena uniformitas perjanjian menjadi tidak terjaga karena persyaratan suatu
negara dapat berlainan dengan pensyaratan negara lain. Selain itu, integritas
perjanjian tidak terjamin lagi dan akan sulit juga untuk diketahui pasal-pasal mana
yang berlaku atau tidak berlaku bagi suatu negara.131
Walaupun sistem ini menimbulkan kesulitan-kesulitan, namun praktik
internasional telah memberikan kebebasan untuk melakukan pensyaratan. Pasal
19 VCLT 1969 mengakui praktik pensyaratan dengan memberikan
batasan-batasan tertentu132
a) The reservation is prohibited by the treaty; , yang menyatakan:
A State may, when signing, ratifying, accepting, approving or acceding to a treaty, formulate a reservation unless:
b) The treaty provides that only specified reservations, which do not include the reservation in question, may be made; or
c) In cases not failing under subparagraphs (a) and (b), the reservation is incompatible with the object and purpose of the treaty.133
Pada praktiknya, pensyaratan yang dilakukan Indonesia dalam
perjanjian-perjanjian multilateral sampai sekarang sering menyangkut persoalan
penyelesaian sengketa, misalnya pensyaratan terhadap Pasal 24 ayat (1) pada
Convention on Offences and Certain Other Acts Committed on Board Aircraft
(Tokyo, 14 September 1963), Pasal 12 ayat (1) pada Convention for Suppression
130
Boer Mauna, Op.Cit., hlm. 122.
131Ibid.
, hlm. 123.
132Ibid. 133
of Unlawful Seizure of Aircraft (Den Haag, 16 Desember 1970) dan Pasal 14 ayat
(1) pada Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of
Civil Aviation (Montreal, 23 September 1971) dimana dinyatakan bahwa
penyelesaian sengketa ke Mahkamah Internasional harus sebelumnya mendapat
persetujuan pihak-pihak yang bersengketa.134
Sebagai penegasan bahwa pengesahan dan pelaksanaan perjanjian
internasional merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, maka Council of
Europe mencantumkan kewajiban untuk melaksanakan perjanjian internasional
dalam definisi ratifikasi/pengesahan. Setiap negara yang meratifikasi atau
mengesahkan perjanjian internasional maka secara otomatis berkewajiban untuk
menghormati dan melaksanakan ketentuan dalam perjanjian internasional
tersebut.
Tahapan selanjutnya setelah suatu negara terikat pada perjanjian
internasional melalui cara-cara sebagaimana disebutkan di atas adalah kewajiban
untuk melaksanakan perjanjian internasional tersebut. Pengesahan dan
pelaksanaan perjanjian internasional adalah dua hal yang berkaitan sangat erat
satu dengan yang lain.
135
Pasal 26 VCLT 1969 tentang "pacta sunt servanda" memuat ketentuan
mengenai pelaksanaan perjanjian internasional, yang berbunyi: "Every treaty in
force is binding upon the parties to it and must be performed by them in good
134
Boer Mauna, Op.Cit., hlm. 124.
135
Definisi ratifikasi menurut Council of Europe adalah: "Ratification is an act by which the State expresses its definitive consent to be bound by the treaty. Then, the State Party must respect the provisions of the treaty and implement it.” Lihat di Council of Europe, Glossary on the
Treaties, dimuat pada
faith.”136 Pada pasal ini terkandung prinsip "pacta sunt servanda" yang dikukuhkan sebagai the fundamental principle of the law of treaties (prinsip
fundamental hukum perjanjian internasional). pelaksanaan perjanjian
internasional pada dasarnya meliputi beberapa prinsip penting sebagaimana
tercantum dalam konsiderans ketiga pembukaan VCLT 1969 yaitu prinsip-prinsip
free consent, good faith, dan pacta sunt servanda yang ketiganya telah diakui
secara universal.137
Prinsip free consent merupakan prinsip pernyataan kehendak untuk
mengikatkan diri pada perjanjian yang mana prinsip ini sudah muncul ketika para
pihak merundingkan dan menyepakati serta meratifikasi naskah perjanjian. Suatu
perjanjian internasional sah dan dapat dilaksanakan hanya apabila perjanjian itu
didasarkan pada kebebasan para pihak untuk menyatakan kehendaknya (free
consent).Suatu perjanjian internasional yang disepakati oleh para pihak namun
tidak didasarkan atas asas ini, misalnya karena adanya tekanan ataupun paksaan
dari pihak lainnya, akan dapat menimbulkan akibat hukum batalnya ataupun tidak
sahnya perjanjian tersebut.138
Prinsip good faith (itikad baik) merupakan prinsip yang sangat penting
untuk diterapkan dalam setiap tahapan perjanjian mulai dari persiapan,
pembentukan, pelaksanaan, bahkan sampai pada pengakhiran atau berakhirnya
suatu perjanjian. Dalam VCLT 1969, prinsip ini ditegaskan pada dua hal, yaitu:
pada saat pelaksanaan perjanjian sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 26 yaitu:
136
Lihat Pasal 26 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969.
137
Konsiderans ketiga VCLT: “Noting that the principles of free consent and of good faith and the pacta sunt servanda rule are universally recognized.” Lihat di Konsiderans Vienna Convention on the Law of Treaties 1969.
138
“Every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by
them in good faith”, dan dalam melakukan penafsiran perjanjian sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 31 ayat (1)139
1. A treaty shall be interpreted in good faith in accordance with the
ordinary meaning to be given to the terms of the treaty in their context and in the light of its object and purpose.
, yaitu:
2. The context for the purpose of the interpretation of a treaty shall
comprise, in addition to the text, including its preamble and annexes: a) Any agreement relating to the treaty which was made between all
the parties in connection with the conclusion of the treaty;
b) Any instrument which was made by one or more parties in connection with the conclusion of the treaty and accepted by the other parties as an instrument related to the treaty.
3. There shall be taken into account, together with the context:
a) Any subsequent agreement between the parties regarding the interpretation of the treaty or the application of its provisions; b) Any subsequent practice in the application of the treaty which
establishes the agreement of the parties regarding its interpretation;
c) Any relevant rules of international law applicable in the relations between the parties.
4. A special meaning shall be given to a term if it is established that the
parties so intended.140
Ulf Linderfalk menyatakan bahwa prinsip good faith yang dalam istilah
Latin disebut bona fides, dapat diartikan sebagai berikut:
"A person acts in bona fides when he act honestly not knowing nor having reason to believe that his claim is unjustified bona fides ends when the person becomes aware, or should have become aware, of facts which indicate the lack of legal justification for his claim".141
Dalam melaksanakan perjanjian internasional, semua pihak tanpa
terkecuali harus memiliki itikad baik. Tanpa adanya itikad baik dari semua pihak,
maka mustahil akan menjalin serta memelihara hubungan antar negara yang
139Ibid. 140
Lihat Pasal 31 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969.
141
terdapat dalam suatu perjanjian internasional. Dalam pelaksanaan suatu perjanjian
internasional, sejauh mana para pihak atau salah satu pihak menunjukkan itikad
baiknya, akan diuji dan dapat diketahui dari praktik atau perilaku nyata
negara-negara yang bersangkutan.142
Suatu perjanjian internasional yang sudah diratifikasi oleh suatu negara
berarti perjanjian internasional tersebut telah menjadi bagian dari hukum nasional
negara tersebut. Dalam hal inilah tampak arti pentingnya kontrol oleh lembaga
atau organ pemerintah seperti yang telah dikemukakan sebelumnya. Jadi, jangan
sampai terjadi masuknya suatu perjanjiian internasional menjadi bagian hukum
nasional malah menimbulkan pertentangan dengan kaidah hukum nasional yang
lainnya
Sebagaimana ketentuan Pasal 26 VCLT 1969, menyatakan prinsip pacta
sunt servanda menekankan pada kewajiban para pihak untuk menaati isi
perjanjian. Pada dasarnya asas ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
asas good faith, sebab kewajiban para pihak untuk menaati dan melaksanakan
ketentuan perjanjian haruslah dijiwai oleh asas itikad baik.
143
Hal seperti ini akan menyulitkan negara itu sendiri baik di internal maupun
eksternalnya. Secara internal, negara itu akan menghadapi kesulitan mengenai
ketentuan manakah yang harus diutamakan dalam penerapannya, apakah
ketentuan perundang-undangan nasional ataukah ketentuan perjanjian
internasional itu sendiri. .
144
142
I Wayan Parthiana, Op.Cit.
143Ibid
., hlm. 147.
144Ibid
Dengan demikian, perlu dipahami dan digunakan teori mengenai
pelaksanaan atau penerapan perjanjian internasional oleh negara yaitu teori