• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN PERJANJIAN PERKAWINAN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN DITINJAU DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Perkawinan 1. Pengertian dan Hukum Perjanjian a. Pengertian Perjanjian - Perjanjian Perkawinan Yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II PENGATURAN PERJANJIAN PERKAWINAN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN DITINJAU DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Perkawinan 1. Pengertian dan Hukum Perjanjian a. Pengertian Perjanjian - Perjanjian Perkawinan Yang "

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENGATURAN PERJANJIAN PERKAWINAN

YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN DITINJAU DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Perkawinan

1. Pengertian dan Hukum Perjanjian

a. Pengertian Perjanjian

Untuk memahami tentang perjanjian perkawinan maka terlebih dahulu haruslah dipahami pengertian dan hukum perjanjian pada umumnya.dari perjanjian dan dari perkawinan itu sendiri. Jika diuraikan satu persatu maka sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian didefenisikan sebagai: “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

Abdul Kadir Mohammad merumuskan definisi perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut sebagai “suatu persetujuan dimana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu hal dalam lapangan harta kekayaan”.57

R. Subekti menyatakan bahwa, “suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang berjanji untuk melaksanakan sesuatu yang dari peristiwa ini timbul hubungan perikatan”.58

(2)

Dari pengertian perjanjian inilah maka timbul suatu hubungan antara dua pihak yang dikenal dengan istilah perikatan. Perjanjian menimbulkan perikatan di antara dua pihak yang membuatnya. Perikatan dan perjanjian merupakan suatu hubungan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain, di mana suatu perikatan tidak dapat dilihat dengan kasat mata, hanya dapat dibayangkan dalam alam fikiran kita, sedangkan perjanjian dapat dilihat dengan kasat mata dan dapat didengar juga. Sehingga dapat dikatakan bahwa perikatan adalah suatu pengertian yang abstrak sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang konkret.59

Hubungan hukum antara dua pihak yang terikat di dalam suatu perjanjian inilah yang juga terlihat dari perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan, di mana adanya perjanjian yang dibuat oleh suami istri setelah perkawinan mereka menjadi dasar hukum bagi suami istri tersebut untuk mematuhi isi perjanjian perkawinan yang mereka buat untuk dipatuhi dan dilaksanakan sebagai undang-undang bagi keduanya dan juga bagi pihak ketiga yang terkait di dalam perjanjian perkawinan setelah perkawinan tersebut.

b. Unsur-Unsur Perjanjian

Dalam perkembangan ilmu hukum dikenal adanya tiga unsur dalam perjanjian yang merupakan perwujudan dari asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan Pasal 1339 KUHPerdata60, di mana rumusan Pasal 1339 KUHPerdata menyatakan bahwa : “perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk

59 Sri Soesilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarif dan Akhmad Budi Cahyono,

Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Perdata Barat, (Jakarta: Gitama Jaya, 2005), hal. 129.

(3)

hal-hal yang secara tegas dinyatakan di dalamnya, melainkan juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang”.

Ketiga unsur-unsur pokok perjanjian tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :61

1). UnsurEsensialia

Unsuresensialiaini merupakan sifat yang harus ada di dalam perjanjian, sifat yang menentukan atau menyebabkan perjanjian itu tercipta (constructieve oordeel).62 Oleh karena itu unsur ini dapat dianggap penting keberadaannya karena bertujuan agar para pihak dapat membuat dan menyelenggarakan sesuai dan sejalan dengan kehendak semula. Jadi dapat dikatakan bahwa unsur ini adalah conditio sine quanon dari suatu perjanjian, yaitu di mana tanpa adanya keberadaan unsur ini perjanjian itu menjadi tidak ada atau dapat batal demi demi hukum.

Unsur esensialia dalam perjanjian mewakili ketentuan-ketentuan berupa prestasi-prestasi yang wajib dilakukan oleh salah satu atau lebih pihak, yang mencerminkan sifat dari tersebut, yang membedakannya secara prinsip dari jenis perjanjian lainnya. Unsur esensialia ini pada umumnya dipergunakan dalam memberikan rumusan, definisi atau pengertian dari suatu perjanjian.63 Jadi jelaslah bahwa unsur esensialia ini adalah unsur yang wajib ada dalam suatu perjanjian karena tanpa unsur ini maka perjanjian yang dibuat oleh para

61

R. Setiawan,Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Binacipta, 1994), hal. 65.

62Mariam Darus Badrulzaman,Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti,

2001), hal. 24.

(4)

pihak menjadi berbeda dan tidak sejalan dengan kehendak para pihak, sehingga unsur ini dapat dianggap sebagai pembeda antara suatu perjanjian dengan perjanjian lainnya.64

2). UnsurNaturalia

Unsur naturalia adalah unsur yang pasti ada dalam suatu perjanjian tertentu, setelah unsur esensialianya diketahui secara pasti.65Unsurnaturalia ini berbeda dengan unsur esensialia, di mana bila suatu perjanjian tidak mengandung unsur

naturalia, maka perjanjian tersebut tetap sah dan tidak mengakibatkan perjanjian tersebut menjadi tidak mengikat. Hal ini dikarenakan unsurnaturalia berbentuk ketentuan hukum umum yang merupakan syarat yang biasanya dicantumkan kemudian, ternyata tidak dimuat atau tidak diatur dalam perjanjian, sehingga undang-undang akan berperan untuk mengisi kekosongan tersebut sesuai dengan sifat hukum perjanjian sebagaioptional law(hak opsi atau pilihan hukum). 3). UnsurAksidentalia

Unsur aksidentalia adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian, yang merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang oleh para pihak, sesuai dengan kehendak para pihak, yang merupakan persyaratan khusus yang ditentukan secara bersama-sama oleh para pihak.66Unsur ini merupakan sifat yang melekat pada perjanjian yang secara tegas diperjanjikan oleh para pihak.

(5)

c. Asas-Asas Hukum Perjanjian

Dalam rangka menciptakan keseimbangan dan memelihara hak-hak yang dimiliki oleh para pihak sebelum perjanjian yang dibuat menjadi perikatan yang mengikat bagi para pihak, oleh KUHPerdata diberikan berbagai asas umum, yang merupakan pedoman atau patokan, serta menjadi batas atau rambu dalam mengatur dan membentuk perjanjian yang akan dibuat hingga pada akhirnya menjadi perikatan yang berlaku bagi para pihak, yang dapat dipaksakan pelaksanaan atau pemenuhannya.67

Asas-asas hukum perjanjian tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :68 1). Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract)

Dalam KUHPerdata Pasal 1338 ayat (1) dinyatakan bahwa: “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”, yang dalam hal ini dapat diartikan bahwa setiap orang dapat secara bebas membuat perjanjian selama memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian dan tidak melanggar hukum, kesusilaan, serta ketertiban umum.

Asas kebebasan berkontrak ini tidak mempunyai arti tidak terbatas, akan tetapi terbatas oleh tanggung jawab para pihak, sehingga kebebasan berkontrak sebagai asas diberi sifat sebagai asas kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab. Asas ini mendukung kedudukan yang seimbang di antara para pihak,

67

Ibid.,hal. 14.

68Suharnoko,Hukum Perjanjian, Teori dan Analisa Kasus, (Jakarta: Prenada Media, 2004),

(6)

sehingga sebuah kontrak akan bersifat stabil dan memberikan keuntungan bagi kedua pihak.69

2). Asas Personalia

Asas personalia ini diatur dalam Pasal 1315 jo Pasal 1340 KUHPerdata. Dalam Pasal 1315 KUHPerdata disebutkan bahwa: “pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada dirinya sendiri”, dan dalam Pasal 1340 KUHPerdata disebutkan bahwa : “suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya”. Dari rumusan itu dapat kita ketahui bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat oleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai individu, subyek hukum pribadi, hanya akan berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri. 70 Sehingga pada umumnya tidak seorangpun dapat mengadakan perjanjian kecuali untuk dirinya sendiri.

3). Asas Konsensualisme (consensualism)

Asas konsensualisme berarti perjanjian sudah terjadi atau lahir pada saat tercapainya kata sepakat di antara para pihak. Sehingga suatu perjanjian sudah ada dan mempunyai akibat hukum dengan sudah adanya kata sepakat mengenai hal-hal yang pokok dalam perjanjian tersebut. Perjanjian itu telah melahirkan kewajiban bagi salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut, segera setelah orang-orang tersebut mencapai kesepakatan atauconsensus.

(7)

4). AsasPacta Sunt Servanda

Asas ini terdapat dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang berbunyi : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Sehingga perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang dan mengikat kepada para pihak yang membuat perjanjian tersebut dan pihak yang terkait di dalamnya.

Di samping 4(empat) asas-asas umum hukum perjanjian yang disebut di atas, juga masih terdapat asas-asas lain dalam hukum perjanjian, yaitu :71

1). Asas Itikad Baik (good faith)

Asas itikad baik ini terkandung dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, yaitu : “perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Prinsip itikad baik ini maksudnya adalah bahwa perjanjian harus dilaksanakan secara pantas dan patut. Itikad baik ini ada bukan pada saat pelaksanaan perjanjian saja tetapi juga pada saat dibuat atau ditandatanganinya suatu perjanjian.

2). Asas Kepercayaan

Asas ini mengandung arti bahwa seorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain harus menumbuhkan kepercayaan di antara kedua belah pihak bahwa satu sama lain akan memenuhi prestasinya di kemudian hari. Sehingga terlihat adanya kepercayaan yang melandasi perjanjian yang dibuat tersebut.

3). Asas Kekuatan Mengikat

(8)

Kekuatan mengikat dalam perjanjian maksudnya bahwa dengan adanya asas ini maka para pihak tidak semata-mata terikat pada apa yang diperjanjikan, dan juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang yang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatuhan, serta moral.

4). Asas Persamaan Hak

Asas ini menempatkan para pihak dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kepercayaan, kekuasaan, jabatan dan lain-lain. Sehingga diharuskan bagi para pihak untuk saling menghormati.

5). Asas Keseimbangan

Asas keseimbangan ini merupakan lanjutan dari asas persamaan hak. Pada asas ini dijelaskan bahwa para pihak dalam perjanjian harus memenuhi dan melaksanakan perjanjian secara seimbang dan tidak ada unsur paksaan. Asas keseimbangan dapat dipahami sebagai asas yang layak dan adil, di mana hal ini berarti janji yang dibuat para pihak hanya akan dianggap mengikat sepanjang dilandasi keseimbangan hubungan antara kepentingan perorangan dan kepentingan umum atau adanya keseimbangan antara kepentingan kedua belah pihak sebagaimana masing-masing pihak mengharapkannya.

6). Asas Kepatutan

(9)

perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”. Dari rumusan pasal ini jelaslah bahwa perjanjian itu haruslah dilaksanakan berdasarkan kepatutan, kebiasaan atau undang-undang, yaitu tidak melanggar batas-batas kesusilaan atau moral.

7). Asas Kepastian Hukum

Kepastian hukum disini maksudnya bahwa perjanjian itu tidak hanya mengikat untuk hal yang diatur secara tegas saja, tetapi juga hal-hal yang berada dalam keadaan dan kebiasaan para pihak. Asas kepastian hukum ini terlihat dari adanya kekuatan mengikat dari perjanjian itu yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya guna menjamin adanya kepastian hukum dari perjanjian tersebut.

d. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian

Suatu perjanjian baru dapat berlaku dan mengikat bagi para pihak apabila telah memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu :

1). sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2). kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3). suatu hal tertentu;

(10)

Keempat syarat di atas merupakan syarat pokok bagi setiap perjanjian, yang dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu :72

1). Syarat Subyektif, yaitu syarat-syarat yang berhubungan dengan subyek perjanjian, terdiri dari :

a). Kesepakatan.

Kesepakatan merupakan penyesuaian kehendak antara para pihak di mana kesesuaian tersebut adalah pernyataan yang dapat diketahui, dilihat oleh pihak lainnya.73

b). Kecakapan.

Dalam hal ini undang-undang beranggapan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan (perjanjian) apabila ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Hal-hal yang berhubungan dengan kecakapan dan kewenangan bertindak dalam rangka perbuatan untuk kepentingan diri pribadi orang-perorangan ini diatur dalam Pasal 1329 sampai dengan Pasal 1331 KUHPerdata.74

2). Syarat Obyektif, yaitu syarat-syarat yang berhubungan dengan obyek perjanjian, terdiri dari :

a). Hal tertentu.

72

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja,Op. Cit., hal. 93-94.

73Ahmadi Miru,Hukum Kontrak : Perancang Kontrak, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

2007), hal. 14.

(11)

Mengenai syarat suatu hal tertentu telah ditegaskan dalam Pasal 1333 KUHPerdata75, yang pada intinya menyatakan bahwa syarat itu tidak hanya mengenai objek yang jenisnya tertentu saja, tetapi juga meliputi benda-benda yang jumlahnya pada saat dibuatnya belum ditentukan, asalkan jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung.76

b). Sebab yang halal.

Syarat perjanjian ‘sebab yang halal’ dalam KUHPerdata dijelaskan dalam Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1337.77Sebab yang halal maksudnya isi dari perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Pengertian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang disini karena undang-undang bersifat melindungi kepentingan umum, sehingga jika dilanggar dapat membahayakan kepentingan umum.78

e. Jenis-Jenis Perjanjian

Dalam masyarakat kita dikenal berbagai macam bentuk atau jenis perjanjian. Jenis-jenis perjanjian itu dapat dibedakan menurut berbagai cara, yaitu:79

1) Perjanjian timbal balik

Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak. Misalnya: perjanjian jual beli.

2). Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban

75Lihat Pasal 1333 KUHPerdata.

76R.M. Suryodiningrat,Asas-Asas Hukum Perikatan, (Bandung: Tarsito, 1982), hal. 18. 77

Lihat Pasal 1335-1337 KUHPerdata.

78

Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), hal. 74.

(12)

Perjanjian dengan cuma-cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya: hibah.

3). Perjanjian bernama (benoemd, specified) dan perjanjian tidak bernama (onbenoemd, unspecified)

Perjanjian bernama (khusus) adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri. Maksudnya ialah perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian bernama terdapat dalam Bab V sampai dengan XVIII KUHPerdata. Di luar perjanjian bernama tumbuh perjanjian tidak bernama, yaitu perjanjian-perjanjian yang tidak diatur dalam KUHPerdata, tetapi terdapat di masyarakat. Jumlah perjanjian ini tidak terbatas. Lahirnya perjanjian ini adalah berdasarkan asas kebebasan mengadakan perjanjian atau partij otonomi yang berlaku di dalam hukum perjanjian. Misalnya: Perjanjian sewa beli.

4). Perjanjian campuran (Contractus sui generis)

Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian. Misalnya: pemilik hotel yang menyewakan kamar (sewa menyewa), tetapi juga menyajikan makanan (jual beli) dan juga memberikan pelayanan. 5). Perjanjianobligatoir

(13)

6). Perjanjian kebendaan (zakelijke overeenkomst)

Perjanjian kebendaan adalah perjanjian hak atas benda dialihkan/diserahkan (transfer of title)kepada pihak lain.

7). Perjanjian-perjanjian yang istimewa sifatnya.

a). Perjanjian liberatoir, yaitu perjanjian para pihak yang membebaskan diri dari kewajiban yang ada, misalnya pembebasan hutang (kwijtschelding), Pasal 1438 KUHPerdata.

b). Perjanjian pembuktian (bewijsovereenkomst), yaitu perjanjian antara para pihak untuk menentukan pembuktian apakah yang berlaku di antara mereka. c). Perjanjian untung-untungan. Misalnya: perjanjian asuransi, Pasal 1774

KUHPerdata.

d). Perjanjian publik, yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik karena salah satu bertindak sebagai penguasa (pemerintahan). Misalnya: perjanjian ikatan dinas.

2. Pengertian dan Hukum Perkawinan

a. Pengertian Perkawinan

(14)

1). Kawin (nikah) menurut arti asli ialah hubungan seksual tetapi menurut arti hukum ialah aqad atau perjanjian yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang pria dengan seorang wanita.80

2). Wirjono Prodjodikoro berpendapat, perkawinan adalah hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam peraturan.81

3). K. Wantjik Saleh mengungkapkan :

perkawinan adalah suatu perjanjian yang diadakan oleh dua orang, dalam hal ini perjanjian antara seorang pria dengan seorang wanita dengan tujuan materiil, yakni membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal itu seharusnyalah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai asas pertama dalam Pancasila.82

4). Ahmad Azhar Basyir dalam sebuah bukunya yang berjudul Hukum Perkawinan Islam berpendapat bahwa :

perkawinan menurut hukum Islam adalah suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga, yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhoi Allah SWT.83 5). Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad

yang sangat kuat atau “miitsaaqon goliidhan” untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.84

80M. Idris Ramulyo,Hukum Perkawinan Islam (Suatu Analisis dari Undang-Undang No. 1

Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam), (Jakarta: Bumi Aksara, 1966), hal. 1.

81Soedharyo Soimin,Hukum Orang dan Keluarga, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 3. 82

Ibid.,hal. 6.

83Ahmad Azhar Basyir,

Op. Cit.,hal. 14.

84Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan

(15)

6). Ditinjau dari sudut pandang UU Perkawinan dalam Pasal 1 dirumuskan bahwa: “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

7). Sementara itu dalam KUHPerdata, tidak ada memberikan pengertian perkawinan secara rinci. Menurut Pasal 26 KUHPerdata dikatakan, “undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan perdata”, dan dalam Pasal 81 KUHPerdata dikatakan bahwa “tidak ada upacara keagamaan yang boleh diselenggarakan, sebelum kedua pihak membuktikan kepada pejabat agama mereka, bahwa perkawinan di hadapan pegawai pencatatan sipil telah berlangsung”.

Dari beberapa pengertian perkawinan di atas, terdapat beberapa perbedaan tentang rumusan pengertian perkawinan terutama terlihat jelas perbedaan pengertian tentang perkawinan menurut KUHPerdata dan menurut UU Perkawinan. Perkawinan menurut KUHPerdata hanya sebagai ‘Perikatan Perdata’, sedangkan perkawinan menurut UU Perkawinan tidak hanya sebagai ikatan perdata tetapi juga merupakan ‘Perikatan Keagamaan’.85

Walaupun ada perbedaan pendapat tentang perumusan pengertian perkawinan, tetapi terdapat satu unsur yang merupakan kesamaan dari seluruh pendapat, yaitu bahwa perkawinan itu merupakan suatu perjanjian perikatan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita. Perjanjian di sini bukan sekedar perjanjian seperti jual beli

(16)

atau sewa menyewa tetapi perjanjian dalam perkawinan adalah merupakan suatu perjanjian yang suci untuk membentuk keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang wanita.86

Adanya perbedaan di antara pendapat-pendapat itu tidaklah memperlihatkan adanya pertentangan tetapi lebih memperlihatkan keinginan setiap pihak perumus mengenai banyak jumlah unsur-unsur yang hendak dimasukkan dalam perumusan pengertian perkawinan itu. Perkawinan tersebut haruslah diatur sesuai hukum perkawinan yang menetapkan tentang syarat-syarat sahnya perkawinan, cara/prosedur melangsungkan perkawinan dan akibat-akibat hukum bagi pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut.

b. Syarat-Syarat Sahnya Perkawinan

Untuk mewujudkan tujuan dari perkawinan sebagaimana tercantum dalam pengertian perkawinan pada Pasal 1 UU Perkawinan yaitu : ”...dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, maka sebuah perkawinan haruslah dilengkapi dengan syarat-syarat sahnya perkawinan untuk menjamin kepastian hukum dari perkawinan itu sendiri.

Sahnya perkawinan menurut UU Perkawinan diatur dalam Pasal 2 ayat 1 yang menyatakan “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Hal ini berarti Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut tata tertib aturan hukum yang berlaku dalam agama Islam,

(17)

Katolik, Protestan, Hindu dan Budha. Kata “hukum masing-masing agamanya”, berarti hukum dari salah satu agama itu masing-masing bukan berarti “hukum agamanya masing-masing” yaitu hukum agama yang dianut kedua mempelai atau keluarganya.

Keabsahan suatu perkawinan dalam Pasal 2 ayat 1 itu, dipertegas lagi dalam penjelasan Pasal 2 UU Perkawinan, yang menyatakan :

Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat 1 ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-Undang ini. Dari penjelasan itu dapat diambil kesimpulan bahwa sah atau tidaknya perkawinan itu tergantung daripada ketentuan agama dan kepercayaan dari masing-masing individu atau orang yang akan melaksanakan perkawinan tersebut.

Syarat-syarat perkawinan ini merupakan suatu hal yang sangat penting, sebab suatu perkawinan yang dilakukan dengan tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam undang-undang, maka perkawinan tersebut dapat diancam dengan pembatalan atau dapat dibatalkan. Adapun syarat-syarat perkawinan tersebut terbagi dua yaitu syarat materil dan syarat formil87, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 UU Perkawinan, syarat-syarat materil sahnya perkawinan adalah sebagai berikut :

(18)

1). Perkawinan harus didasarkan atas perjanjian kedua calon mempelai.

2).Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

3).Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

4).Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

5).Dalam hal perbedaan pendapat atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah terlebih dahulu mendengar orang-orang tersebut yang memberikan izin.

6).Ketentuan tersebut berlaku sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Selain syarat materil tersebut di atas, untuk melangsungkan perkawinan juga harus memenuhi syarat formil, yang secara formil diuraikan menurut Pasal 12 UU Perkawinan direalisasikan dalam Pasal 3 sampai Pasal 13 PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Secara singkat syarat formil ini dapat diuraikan sebagai berikut:

1).Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan pada Pegawai Pencatat Perkawinan;

2). Pengumuman oleh Pegawai Pencatat Perkawinan;

3).Pelaksanaan perkawinan menurut agamanya dan kepercayaannya masing-masing;

4). Pencatatan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.

Ketentuan mengenai pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan harus dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan

(19)

dilangsungkan. Dilakukan secara lisan oleh calon mempelai atau orang tua atau wakilnya yang memuat nama, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan nama isteri/suami terdahulu bila salah seorang atau keduanya pernah kawin.88

Dalam Pasal 8 Jo Pasal 6, 7 dan 9 PP No. 9 Tahun 1975, menyatakan pengumuman tentang pemberitahuan kehendak nikah dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah/Perkawinan apabila telah cukup meneliti apakah syarat-syarat perkawinan sudah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan. Pengumuman dilakukan dengan suatu formulir khusus untuk itu, ditempelkan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum dan ditandatangani oleh Pegawai pencatat Perkawinan. Pengumuman memuat data pribadi calon mempelai serta hari, jam dan tempat akan dilangsungkan perkawinan.

Sementara itu untuk orang Tionghoa dari agama apapun, juga untuk orang Indonesia yang beragama Kristen, pencatatan dilakukan oleh pegawai pencatat nikah dari kantor catatan sipil setempat, sedangkan orang-orang yang beragama Islam pencatatan dilakukan oleh pegawai pencatat nikah, talak dan rujuk dari Kantor Urusan Agama.89

Dalam Pasal 7 UU Perkawinan juga disebutkan :

1).Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.

88Lihat Pasal 3, 4 dan 5 PP. No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan.

(20)

2).Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.

3).Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-Undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).

Sementara itu syarat-syarat sahnya perkawinan menurut KUHPerdata secara ringkas adalah sebagai berikut :90

1).berasas monogami (Pasal 27 KUHPerdata);

2).harus ada kata sepakat dan ada kemauan bebas antara si pria dan wanita (Pasal 29 KUHPerdata);

3).seorang pria sudah berumur 18 tahun dan wanita berumur 15 tahun (Pasal 29 KUHPerdata);

4).ada masa tunggu bagi seorang wanita yang bercerai yaitu 300 hari sejak perkawinan terakhir bubar (Pasal 34 KUHPerdata);

5).anak-anak yang belum dewasa harus mendapat izin kawin dari kedua orang tua mereka (Pasal 35 KUHPerdata);

6). tidak terkena larangan kawin (Pasal 30-33 KUHPerdata);

Dalam hal ini asas monogami yang dimaksud dalam KUHPerdata adalah asas yang berlaku dalam perkawinan dalam KUHPerdata. Perkawinan monogami berarti setiap suami hanya diperbolehkan mempunyai seorang istri saja, begitu pula sebaliknya sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 27 KUHPerdata.

Berbeda dengan UU Perkawinan, maka menurut KUH Perdata perkawinan semata-mata dilihat dari hubungan keperdataan, tidak berhubungan dengan masalah religious/keagamaan. Hal ini dipertegas dalam Pasal 26 KUHPerdata yang

90Libertus Jehani, Tanya Jawab Hukum Perkawinan Pedoman Bagi (Calon) Suami Istri,

(21)

menyatakan undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan perdata.91

Ke semua syarat-syarat sahnya perkawinan ini adalah demi terwujudnya tujuan dari perkawinan itu sendiri yang pada dasarnya adalah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan sebuah kehidupan rumah tangga yang damai dan tentram, sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 1 UU Perkawinan, bahwa: “Perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dari rumusan tersebut dapat dimengerti bahwa tujuan pokok perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual maupun material.

c. Akibat Hukum Perkawinan

Sahnya suatu perkawinan sudah pasti akan menimbulkan akibat hukum dari perkawinan tersebut yaitu timbulnya hak dan kewajiban yang seimbang atau sama dalam kehidupan berumah tangga bagi kedua belah pihak. Di mana hak yang dimaksud adalah suatu yang merupakan milik atau dapat dimiliki oleh suami atau istri yang diperoleh dari hasil perkawinan. Hak ini juga dapat dihapus apabila yang berhak

(22)

rela haknya tidak dipenuhi atau dibayar oleh pihak lain.92Sedangkan kewajiban yang dimaksud adalah hal-hal yang wajib dilakukan atau diadakan oleh salah seorang dari suami istri untuk memenuhi hak dari pihak lain.93

Menurut KUHPerdata, hak dan kewajiban suami istri diatur dalam Pasal 103 sampai dengan Pasal 118, yang secara ringkas dapat disebutkan sebagai berikut :94

1). suami dan istri harus setia dan tolong menolong (Pasal 103 KUHPerdata); 2). suami dan istri wajib memelihara dan mendidik anaknya (Pasal 104

KUHPerdata);

3). setiap suami adalah kepala dalam persatuan suami istri (Pasal 105 ayat 1 KUHPerdata);

4). suami wajib memberi bantuan kepada istrinya (Pasal 105 ayat 2 KUHPerdata);

5). setiap suami harus mengurus harta kekayaan milik pribadi istrinya (Pasal 105 ayat 3 KUHPerdata);

6). setiap suami berhak mengurus harta kekayaan bersama (Pasal 105 ayat 4 KUHPerdata);

7). suami tidak diperbolehkan memindahtangankan atau membebani harta kekayaan tak bergerak milik istrinya tanpa persetujuan istrinya (Pasal 105 ayat 5 KUHPerdata);

8). setiap istri harus tunduk dan patuh kepada suaminya (Pasal 106 ayat 1 KUHPerdata);

9). setiap istri wajib tinggal bersama suaminya (Pasal 106 ayat 2 KUHPerdata) 10). setiap suami wajib membantu istrinya di muka hakim (Pasal 110

KUHPerdata);

11). setiap istri berhak membuat suart wasiat tanpa izin suaminya (Pasal 118 KUHPerdata);

Dalam Pasal 111 KUHPerdata, kewajiban seorang suami dalam memberi bantuan kepada istrinya tidak diperlukan apabila :95

1). istrinya dituntut di muka hakim karena sesuatu perkara pidana;

92 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta:

Liberty, Cetakan Kelima, 2004), hal. 87.

93

Ibid.

(23)

2). istrinya mengajukan tuntutan terhadap suaminya untuk mendapatkan perceraian, pemisahan meja, dan ranjang, atau pemisahan harta kekayaan. Apabila dalam KUHPerdata masih terlihat ketidak seimbangan kedudukan antara suami istri dan hanya bertitik tolak dari hubungan perdata suami istri semata, maka lain halnya dengan UU Perkawinan yang sudah menempatkan keseimbangan kedudukan suami istri dalam rumah tangga dan kehidupan bermasyarakat. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 34 UU Perkawinan, yang intinya adalah sebagai berikut :96

1). Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat;

2). hak dan kewajiban istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat;

3). masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum; 4). suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga;

5). suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap dan rumah/tempat kediaman ini ditentukan secara bersama-sama;

6). suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain;

7). suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya;

8). istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya;

9). jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan.

Di samping hak dan kewajiban tersebut di atas, masih terdapat hak dan kewajiban lainnya yang juga merupakan akibat hukum dari perkawinan, yaitu

(24)

terhadap harta benda yang ada dalam perkawinan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 UU Perkawinan, sebagai berikut :97

1). Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama (Pasal 35 ayat 1);

2). Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah, atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain (Pasal 35 ayat 2);

3). Mengenai harta bersama, suami istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak (Pasal 36 ayat 1);

4). Mengenai harta bawaan masing-masing, suami istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. (Pasal 36 ayat 2);

5). Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. (Pasal 37).

Akibat hukum yang lainnya juga diatur dalam UU Perkawinan adalah terhadap mereka berdua sebagai orang tua (ayah dan ibu) nantinya dengan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan mereka yang berupa hak dan kewajiban antara orang tua dan anak (Pasal 45 sampai dengan Pasal 49), tentang kedudukan anak (Pasal 42 sampai dengan Pasal 44), dan tentang perwalian atas anak (Pasal 50 sampai dengan 54).98

3. Pengertian dan Hukum Perjanjian Perkawinan

a. Pengertian Perjanjian Perkawinan

Bila dilihat dari istilah katanya, maka “perjanjian perkawinan jika diuraikan secara etimologi, maka dapat merujuk pada dua kata, perjanjian dan

(25)

perkawinan”.99Perjanjian perkawinan menurut asal katanya merupakan terjemahan dari kata “huwelijksvoorwaarden” yang ada dalam Burgerlijk Wetboek (BW).100 “Huwelijk” sendiri menurut bahasanya berarti perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan,101 sedangkan “voorwaard” berarti syarat.102 Istilah perjanjian perkawinan ini juga terdapat di dalam KUHPerdata103, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974104, dan dalam Kompilasi Hukum Islam.105

Dalam UU Perkawinan tidak terdapat pengertian yang jelas dan tegas tentang perjanjian perkawinan termasuk tentang isi dari perjanjian perkawinan. Hanya pada Pasal 29 ayat (2) diterangkan tentang batasan yang tidak boleh dilanggar dalam membuat perjanjian perkawinan yaitu yang berbunyi : “Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan”.

Demikian juga dengan KUHPerdata yang tidak ada memberikan definisi tentang perjanjian perkawinan. Menurut Pasal 139 KUHPerdata, calon suami isteri sebelum melakukan perkawinan dapat membuat perjanjian perkawinan. Dari pengertian Pasal 139 KUH Perdata tersebut dapat diuraikan, bahwa perjanjian perkawinan (huwelijksvoorwaarden)sebenarnya merupakan persetujuan antara calon suami istri untuk mengatur akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka.

99M. Abdul Mujieb, dkk.,

Kamus Istilah Fiqih,(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hal. 138.

100R. Subekti,Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1995), hal. 37.

101Martias Gelar Imam Radjo Mulano,Penjelasan Istilah-Istilah Hukum Belanda Indonesia,

(Jakarta: Ghalia, 1982), hal. 107.

102

S. Wojowasito,Kamus Umum Belanda Indonesia, (Jakarta: Ikhtiar Baru, 1990), hal. 771.

103

Bab VII dan Bab VIII, Pasal 139-185, KUHPerdata.

104Bab V Pasal 29 UU Perkawinan.

(26)

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga tidak ditemukan defenisi perjanjian perkawinan dalam pasal-pasalnya. Namun dalam Pasal 45 KHI ditentukan bahwa “Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuktaklik talakdan perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam”. Dalam Pasal 1 huruf e taklik talak diartikan sebagai perjanjian yang diucapkan mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam akta nikah berupa janji

talakyang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang.

Dengan tidak adanya pengertian yang jelas tentang pengertian perjanjian perkawinan dalam ketentuan perundang-undangan, maka para ahli memberikan pengertian tentang perjanjian perkawinan yang pada umumnya mengarah kepada ketentuan yang terdapat dalam KUHPerdata. Berikut beberapa pengertian perjanjian perkawinan menurut beberapa ahli :

1). Menurut Gatot Supramono :

Perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang dibuat oleh calon suami dengan calon isteri pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, perjanjian mana dilakukan secara tertulis dan disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah dan isinya juga berlaku terhadap pihak ketiga sepanjang diperjanjikan.106

2). Menurut R. Subekti, “Perjanjian perkawinan adalah suatu perjanjian mengenai harta benda suami-istri selama perkawinan mereka yang menyimpang dari asas atau pola yang ditetapkan oleh undang-undang”.107

(27)

3). Komar Andasasmita mengatakan apa yang dinamakan ‘perjanjian atau syarat kawin’ itu adalah perjanjian yang diadakan oleh bakal atau calon suami-istri dalam mengatur (keadaan) harta benda atau kekayaan sebagai akibat dari perkawinan mereka.108

4). Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin mengatakan ”perjanjian perkawinan” adalah perjanjian (persetujuan) yang dibuat oleh calon suami istri sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka.109

Dari beberapa pengertian yang dikemukakan di atas dapat diketahui bahwa perjanjian perkawinan hanyalah mengatur mengenai harta kekayaan suami istri dalam perkawinan saja, di mana dalam perjanjian perkawinan tersebut calon suami atau calon istri dapat menyatakan kehendak mereka terhadap harta perkawinan, apakah mereka akan bersepakat untuk menyatukan harta mereka atau mereka melakukan penyatuan harta hanya secara terbatas atau mereka memutuskan untuk tidak melakukan penyatuan harta sama sekali dalam perkawinan yang mereka jalani.

Sebagaimana yang dinyatakan Martiman Prodjohamidjojo :

“Sungguh pun tidak ada definisi yang jelas tentang perjanjian perkawinan ini namun dapat diberikan batasan bahwa hubungan hukum tentang harta kekayaan antara kedua belah pihak, yang mana dalam satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal, sedangkan di pihak lain berhak menuntut pelaksanaan perjanjian tersebut”.110

108Komar Andasasmita,Notaris II Contoh Akta Otentik dan Penjelasannya, Cetakan Kedua,

(Bandung: Ikatan Notaris Indonesia (INI) Daerah Jawa Barat, 1990), hal 53.

109

R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin,Hukum Orang dan Keluarga, Cetakan V (Bandung: Alumni, 1987), hal. 57.

(28)

Adanya akta perjanjian perkawinan ini, akan menjamin calon suami isteri tersebut dari sifat-sifat negatif pasangannya. Misalnya calon suami bersifat boros, maka harta calon isteri akan terlindungi oleh sifat boros tersebut karena harta masing-masing calon suami isteri tersebut terpisah. Atau calon isteri mempunyai hutang dengan pihak ketiga, maka dalam hal pelunasan tersebut harta suami tidak dapat diikutsertakan, hanya dengan harta calon isteri saja pembayaran hutang dapat dilakukan dengan adanya perjanjian perkawinan tersebut.

Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa mereka yang mengikatkan diri dalam perjanjian perkawinan tersebut akan memperoleh jaminan selama perkawinan berlangsung maupun sesudahnya mengenai kepentingan para pihak dalam kepengurusan harta masing-masing pihak calon suami atau isteri. Bilamana salah satu pihak ingkar terhadap perjanjian perkawinan tersebut, maka pihak lain dapat melakukan penuntutan ke Pengadilan atas pelanggaran isi perjanjian perkawinan yang telah dibuat.

b. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian Perkawinan

Untuk dapat membuat perjanjian perkawinan, maka dalam KUHPerdata, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1). Syarat-syarat yang mengenai diri pribadi.

(29)

ditentukan lain. Adapun persyaratan umum tersebut adalah tentang syarat-syarat sahnya suatu perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata.111

Selain hal yang tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata, perjanjian perkawinan juga harus dilaksanakan dengan itikad baik, sesuai dengan ketentuan Pasal 1338, karena perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Namun khususnya dalam pembuatan perjanjian perkawinan, undang-undang memberikan kemungkinan bagi mereka yang belum mencapai usia dewasa untuk membuat perjanjian, dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 151 KUHPerdata :

a). Yang bersangkutan telah memenuhi syarat untuk melangsungkan pernikahan. b).Dibantu oleh mereka yang izinnya diperlukan untuk melangsungkan

pernikahan.

c). Jika perkawinannya berlangsung dengan izin hakim, maka rencana perjanjian kawin tersebut (konsepnya) harus mendapat persetujuan pengadilan.

2). Syarat-syarat mengenai cara pembuatan dan mulai berlakunya perjanjian perkawinan.

Pasal 147 KUHPerdata dengan tegas menetapkan, perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta Notaris dengan ancaman kebatalan. Hal itu dimaksudkan agar perjanjian perkawinan dituangkan dalam bentuk akta autentik, karena mempunyai konsekuensi luas dan dapat menyangkut kepentingan keuangan yang besar sekali. Pasal 147 KUHPerdata juga menyebutkan, perjanjian perkawinan harus

111Lihat Pasal 1320 KUHPerdata yang menyatakan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian

diperlukan empat syarat :

a. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya b. kecakapan untuk membuat suatu perikatan c. suatu hal tertentu

(30)

dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan. Setelah perkawinan dilangsungkan, perjanjian perkawinan, dengan cara bagaimanapun, tidak dapat diubah.

Syarat pembuatan perjanjian perkawinan dengan akta Notaris adalah untuk memperoleh kepastian tanggal pembuatan perjanjian perkawinan, karena kalau perjanjian perkawinan dibuat dengan akta di bawah tangan, maka ada kemungkinan bisa back date (tanggal mundur) diubah isi perjanjian perkawinan dan syaratnya sehingga dapat merugikan pihak ketiga. Syarat tersebut juga dimaksudkan, agar perjanjian perkawinan mempunyai kekuatan pembuktian dan kepastian hukum tentang hak dan kewajiban calon pasangan suami isteri atas harta benda mereka”.112

Selain syarat-syarat sahnya perjanjian perkawinan, KUHPerdata juga telah menentukan dengan terperinci beberapa ketentuan yang tidak boleh dijadikan persyaratan dalam perjanjian perkawinan yaitu dalam Pasal 139-142 KUHPerdata, yang antara lain :113

a). Tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum (Pasal 139 KUHPerdata).

b). Tidak boleh memuat syarat yang menghilangkan status suami sebagai kepala keluarga, dan juga ketentuan yang memuat janji bahwa isteri akan tinggal secara terpisah dalam tempat tinggal kediaman sendiri dan tidak mengikuti tempat tinggal suami (Pasal 140 KUHPerdata).

c). Tidak boleh memuat perjanjian yang melepaskan diri dari ketentuan undang-undang tentang pusaka bagi keturunan mereka, juga tak boleh mengatur sendiri pusaka keturunan mereka itu. Tidak boleh diperjanjikan salah satu pihak diharuskan akan menanggung lebih besar hutang dari keuntungan yang diperoleh dari kekayaan bersama. (Pasal 141 KUHPerdata).

d). Tidak boleh membuat perjanjian-perjanjian yang bersifat kalimat-kalimat yang umum, bahwa perkawinan mereka akan diatur oleh Undang-Undang

(31)

negara lain atau oleh beberapa adat kebiasaan yang dulu berlaku di Indonesia.(Pasal 142 KUHPerdata).

Syarat-syarat perjanjian perkawinan ini juga ada diatur dalam UU Perkawinan dalam Pasal 29 yang antara lain :114

a). Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan. Perjanjian ini berlaku terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut;

b).Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan apabila melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan;

c). Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan;

d).Selama perkawinan berlangsung, perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

c. Bentuk Perjanjian Perkawinan

Sebagai bentuk penyimpangan harta kekayaan perkawinan yang diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan, maka calon suami isteri oleh undang-undang diberikan kebebasan untuk memilih bentuk perjanjian perkawinan yang dikehendakinya. Hal ini sesuai pula dengan ketentuan Pasal 29 UU Perkawinan yang tidak mengatur bentuk perjanjian perkawinan secara rinci. Pasal 29 UU Perkawinan tersebut hanya mengatur dari segi waktu pembuatan perjanjian perkawinan, keabsahan, masa berlaku dan tentang dapat diubahnya perjanjian perkawinan dengan persetujuan kedua belah pihak.

Pada umumnya bentuk perjanjian perkawinan yang dibuat oleh pasangan calon suami isteri ada dua yaitu; persatuan untung rugi dan persatuan hasil dan pendapatan. Namun dengan adanya asas kebebasan berkontrak, maka dalam

(32)

ketentuan Pasal 139 KUHPerdata memberikan kebebasan kepada calon suami isteri untuk menentukan bentuk perjanjian perkawinan sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan masyarakat.

Adanya kebebasan untuk memilih bentuk perjanjian perkawinan membawa konsekuensi bagi calon suami isteri yang mengadakan perjanjian perkawinan untuk memilih bentuk selain perjanjian perkawinan seperti tersebut di atas (persatuan untung rugi atau persatuan hasil dan pendapatan). Oleh karenanya diperbolehkan jika calon suami isteri mengadakan perjanjian perkawinan dengan tujuan untuk mengadakan perpisahan harta kekayaan perkawinan di antara mereka.115

Tiga bentuk perjanjian perkawinan yang dapat dipilih oleh calon suami isteri tersebut, yaitu :

1). Persatuan untung dan rugi;

Dalam Pasal 155 KUHPerdata disebutkan :

Jika dalam perjanjian perkawinan oleh kedua calon suami isteri hanyalah diperjanjikan bahwa dalam persatuan perkawinan mereka akan berlaku persatuan untung dan rugi, maka berartilah bahwa perjanjian yang demikian, dengan sama sekali tak berlakunya persatuan harta kekayaan seluruhnya menurut undang-undang, setelah berakhirlah persatuan suami isteri, segala keuntungan pada mereka, yang diperoleh sepanjang perkawinan harus dibagi antara mereka berdua, sepertipun segala kerugian harus mereka pikul berdua pula.

Ketentuan mengenai persatuan untung rugi ini tidak semua harta kekayaan suami isteri dicampur menjadi harta persatuan, tetapi hanya sebagian dari harta kekayaan suami isteri saja yang merupakan keuntungan dan kerugian yang timbul

115Benyamin Asri dan Thabrani Asri,Dasar-Dasar Hukum Waris Barat, Suatu Pembahasan

(33)

selama perkawinan dan merupakan persatuan harta terbatas, yaitu persatuan untung rugi. Dalam perjanjian perkawinan dengan persatuan untung dan rugi ini tidak terdapat persatuan bulat harta perkawinan.

Keuntungan yang diperoleh begitu pula kerugian yang terjadi sepanjang perkawinannya, dalam perjanjian perkawinan semacam ini menjadi hak dan tanggung jawab suami isteri bersama. Dengan demikian apa yang diperoleh suami isteri selama perkawinan baik dari hasil pekerjaan atau usaha maupun kekayaan lainnya sepanjang perkawinan adalah merupakan keuntungan dan menjadi hak milik bersama. Hak milik bersama ini merupakan milik bersama terikat, sehingga hanya boleh dimintakan pembagian atau pemecahan masing-masing haknya dalam waktu dan hal-hal tertentu, misalnya dalam hal perkawinan tersebut menjadi putus. Harta yang dibawa ke dalam perkawinan menjadi hak milik masing-masing pribadi suami isteri termasuk yang diperoleh dengan jalan mewaris dan hibah.116

Perjanjian perkawinan dengan persatuan untung rugi terjadi apabila calon pasangan suami isteri menyatakan dengan tegas di dalam akta perjanjian perkawinan bahwa di antara mereka mengehandaki perjanjian perkawinan dengan bentuk persatuan untung rugi atau dalam perjanjian perkawinan mereka menyatakan bahwa di antara mereka tidak diadakan persatuan harta perkawinan, sehingga secara otomatis akan terjadi persatuan untung rugi.

2). Persatuan Hasil dan Pendapatan;

Perjanjian perkawinan dengan bentuk persatuan hasil dan pendapatan ini, yaitu selama perkawinan berlangsung, segala hasil dan pendapatan yang akan diperoleh oleh calon suami isteri, begitu pula untung rugi menjadi milik bersama.117

116J. Satrio,Hukum Harta Perkawinan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 175. 117Soeroso Wigjodipoero,Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: Haji Masagung,

(34)

Bentuk ini membawa konsekuensi bahwa apabila selama persatuan tersebut memperoleh keuntungan, maka keuntungan tersebut dibagi dua antara suami isteri, akan tetapi jika dalam persatuan tersebut timbul suatu kerugian, maka kerugian itu hanya ditanggung oleh suami dalam kedudukannya sebagai kepala rumah tangga. Isteri hanya bertanggung jawab atas kerugian yang timbul sebagai akibat perbuatannya sendiri. Hal ini sesuai dengan Pasal 105 KUHPerdata yang menentukan bahwa: “Setiap suami adalah kepala dalam persatuan suami isteri. Ia (suami) harus mengurus harta kekayaan itu laksana seorang bapak rumah yang baik, dan karenanyapun bertanggung jawab atas segala kealpaan dalam pengurusan itu.”

Dari pasal tersebut dapat dilihat bahwa KUHPerdata menempatkan suami berperan lebih besar dalam keluarga, sehingga kerugian yang timbul dalam praktek perjanjian perkawinan dalam bentuk persatuan hasil dan pendapatan ini adalah menjadi tanggungan suami.118Maka dengan perjanjian perkawinan dengan persatuan hasil dan pendapatan jika dalam persatuan tersebut terjadi kerugian, maka kerugian tersebut akan ditanggung oleh suami sebagai kepala rumah tangga, sedangkan dalam perjanjian perkawinan persatuan untung rugi kerugian yang timbul menjadi tanggung jawab bersama suami isteri.

3). Pemisahan Harta Sama Sekali.

Bentuk ini adalah bagi calon suami isteri yang menginginkan adanya pemisahan harta sama sekali atas kekayaan mereka sepanjang perkawinan, maka dalam perjanjian perkawinan yang dibuat harus menyatakan bahwa antara calon

(35)

suami isteri tersebut tidak akan ada percampuran harta dan secara tegas dinyatakan tidak adanya persatuan untung rugi. Hal ini ditentukan dalam Pasal 144 KUHPerdata yang menentukan bahwa “Ketiadaan persatuan harta kekayaan tidak berarti tak ada persatuan untung rugi, kecuali jika inipun kiranya dengan tegas ditiadakannya”.

Dari isi Pasal 144 KUHPerdata maka pasangan calon suami isteri yang membuat perjanjian perkawinan dengan pemisahan harta sama sekali ini, masing-masing pihak menjadi pemilik dari barang-barang yang mereka bawa masuk dalam perkawinan. Selain itu mengingat tidak ada persatuan harta di antara mereka, maka hasil yang mereka peroleh sepanjang perkawinan tetap menjadi milik masing-masing pribadi suami isteri yang bersangkutan.

Pengaturan bentuk perjanjian perkawinan sebagaimana dituangkan dalam KUHPerdata dimaksudkan agar calon suami isteri pada saat membuat perjanjian perkawinan dapat memilih bentuk perjanjian yang disepakati cukup dengan merujuk pada salah satu dari ketiga macam bentuk perjanjian perkawinan tersebut.119

d. Isi Perjanjian Perkawinan

Dalam KUHPerdata, terkandung suatu asas kebebasan yang menyatakan bahwa calon suami istri bebas untuk isi perjanjian perkawinan yang dibuatnya. Isi perjanjian perkawinan diserahkan pada pihak calon pasangan yang akan menikah dengan syarat isinya tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, hukum dan agama.

119H.M. Ridhan Indra,Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: CV Haji Masagung, 1994),

(36)

Mengenai isi yang dapat diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan, dapat dikemukakan beberapa pendapat ahli hukum antara lain :120

1). Sebagian ahli hukum berpendapat bahwa perjanjian perkawinan dapat memuat apa saja, yang berhubungan dengan baik dan kewajiban suami istri maupun mengenai hal-hal yang berkaitan dengan harta benda perkawinan. Mengenai batasan-batasan yang dapat diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan. Hal ini merupakan tugas hakim untuk mengaturnya.

2). R. Sardjono berpendapat bahwa sepanjang tidak diatur di dalam peraturan perundang-undangan, dan tidak dapat ditafsirkan lain, maka lebih baik ditafsirkan bahwa perjanjian perkawinan sebaiknya hanya meliputi hak-hak yang berkaitan dengan hak dan kewajiban di bidang hukum kekayaan. 3). Nurnazly Soetarno berpendapat bahwa perjanjian perkawinan hanya dapat

memperjanjikan hal-hal yang berkaitan dengan hak dan kewajiban di bidang hukum kekayaan, dan hal itu hanya menyangkut mengenai harta yang benar-benar merupakan harta pribadi suami istri yang bersangkutan, yang dibawa ke dalam perkawinan.

Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 139 KUHPerdata, bahwa dalam perjanjian perkawinan itu kedua calon suami istri dapat menyimpangi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam harta bersama, asal saja penyimpangan-penyimpangan tersebut tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum (openbare orde) dengan mengindahkan pula isi ketentuan yang disebutkan setelah pasal 139 KUHPerdata itu.121

Dalam KUHPerdata diberikan beberapa larangan tentang isi perjanjian perkawinan, yaitu :122

1). Perjanjian tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum (Pasal 139).

120Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga di

Indonesia, Cetakan Kedua, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal. 80-81.

121

R.Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-Undangan Perkawinan di Indonesia, (Surabaya: Airlangga University Press, 2002), hal. 64.

(37)

2).Perjanjian tidak boleh menyimpang dari kekuasaan yang oleh KUHPerdata diberikan kepada suami selaku kepala rumah tangga, misalnya tidak boleh dijanjikan bahwa istri akan mempunyai tempat kediaman sendiri (Pasal 140 ayat (1).

3).Dalam perjanjian suami istri tidak boleh melepaskan hak mereka untuk mewarisi harta peninggalan anak-anak mereka (Pasal 141).

4).Dalam perjanjian itu tidak boleh ditentukan bahwa dalam hal campur harta, apabila milik bersama itu dihentikan, si suami atau si istri akan membayar bagian hutang yang melebihi perimbangan dan keuntungan bersama (Pasal 142).

5).Dalam perjanjian itu tidak boleh secara umum ditunjuk begitu saja kepada peraturan yang berlaku dalam suatu negara asing (Pasal 143).

Dalam hal ini yang dilarang bukanlah mencantumkan isi hukum asing dengan perincian pasal demi pasal, tetapi menunjuk secara umum pada hukum asing itu. Larangan ini dimaksudkan agar terdapat kepastian hukum mengenai hak-hak suami istri, terutama untuk kepentingan pihak ketiga yang mungkin tidak menguasai hukum Negara asing yang ditunjuk.

Sementara itu dalam UU Perkawinan tidak menjelaskan hal-hal apa saja yang dapat diatur dalam perjanjian perkawinan. Batasan yang diberikan hanyalah perjanjian perkawinan tidak boleh melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan, sehingga perjanjian perkawinan menurut UU Perkawinan tidak terbatas masalah harta perkawinan saja, tetapi dapat juga mengatur hal lain.

Dalam perjanjian tersebut juga dapat diperjanjikan hanya hal-hal tertentu saja yang dipisahkan. Sebagai akibat hukumnya, maka apabila suatu saat terjadi perceraian antara suami isteri maka tidak diperlukan lagi pembagian harta bersama. Masing-masing sudah memiliki bagiannya sendiri.

(38)

dan sesudah kawin atau setelah cerai, pemeliharaan dan pengasuhan anak, tanggung jawab melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, pemakaian nama, pembukaan rekening bank, hubungan keluarga, warisan, larangan melakukan kekerasan, marginalisasi (hak untuk bekerja), subordinasi (pembakuan peran).123

Dengan demikian isi perjanjian perkawinan tersebut pada intinya adalah perjanjian antara calon suami dan isteri untuk memisahkan harta yang diperoleh oleh mereka selama berlangsungnya perkawinan. Jadi hasil pendapatan suami dan hasil pendapatan isteri dipisahkan satu sama lain, dan masing-masing dapat mengurus hartanya sendiri-sendiri.

B. Pengaturan Perjanjian Perkawinan Setelah Perkawinan

Pengaturan mengenai perjanjian perkawinan setelah perkawinan tidak terlepas dari peraturan yang mengatur tentang perkawinan, di mana perkawinan yang dilakukan oleh suami isteri secara sah akan membawa konsekuensi dan akibat-akibat di bidang hukum, salah satunya dalam bidang hukum kekayaan. Suami isteri yang terikat dalam perkawinan sah, akan mempunyai harta benda baik yang diperoleh sebelum perkawinan maupun selama perkawinan, di mana harta benda yang diperoleh dalam masa perkawinan itu akan menjadi harta bersama atau terjadi percampuran harta perkawinan. Hal inilah yang biasanya banyak menjadi dasar timbulnya permasalahan di kemudian hari dalam kehidupan rumah tangga suami istri, sehingga dibuatnya perjanjian perkawinan akan menjadi salah satu solusi untuk mencegah timbulnya permasalahan mengenai harta benda kekayaan tersebut.

123 Iskandar Bakrie,

(39)

Namun dengan berlangsungnya perkawinan bukan berarti dengan sendirinya terjadi atau berlaku percampuran harta perkawinan. Hal ini dapat dilihat dari adanya ketentuan dalam Stb. 1924/556 Pasal 2 ayat (1) “Bepalingen betreffende het Burgerlijk en Handelsrecht der Vreemde Oosterlingen, andere dan Chineezen”,yang mulai berlaku 1 Maret 1925, yang menyatakan bahwa dengan perkawinan bagi golongan yang tunduk kepada Timur Asing Bukan China ini tidak mengakibatkan di antara mereka yang kawin itu terdapat harta bersama, dan keadaan ini berakhir saat mulai berlakunya Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974.124 Hal ini artinya bagi WNI turunan Timur Asing bukan China yang kawin setelah berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 maka akibat hukum perkawinannya terhadap harta yang diperoleh selama perkawinannya mengacu kepada Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974.125

Dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Perkawinan No. 1 Tahun 1974 maka segala ketentuan yang sebelumnya mengatur mengenai perkawinan dinyatakan tidak berlaku lagi. Penjelasan lebih lengkap mengenai tidak berlakunya lagi ketentuan hukum perkawinan yang sebelumnya dapat dilihat dalam Pasal 66 UU Perkawinan yang berbunyi :126

“Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan Undang-Undang ini, maka dengan berlakunya Undang-Undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S.1933 No.74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S.1898

124

Lihat Pasal 35 UU Perkawinan.

125 Syahril Sofyan, Beberapa Dasar Teknik Pembuatan Akta (Khusus Warisan), (Medan:

Pustaka Bangsa Press, 2011), hal. 42-43.

(40)

No.158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 66 UU Perkawinan ini mengandung pengertian, bahwa masih ada ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan perkawinan yang belum mendapat pengaturan dalam UU Perkawinan, maupun dalam peraturan pemerintah, sehingga belum berlaku secara efektif. Ketentuan-ketentuan yang belum berlaku secara efektif, adalah harta benda perkawinan, hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, kedudukan anak dan perwalian. Oleh karenanya mengenai ketentuan yang belum berlaku secara efektif, atas dasar Pasal 66 UU Perkawinan bisa diberlakukan ketentuan dalam peraturan lama (BW, HOCI, GHR).

Namun dalam hal perjanjian perkawinan, PP Nomor 9 Tahun 1975, sebagai peraturan pelaksana dari UU Perkawinan juga tidak mengatur mengenai perjanjian perkawinan. Mengingat hal tersebut, Mahkamah Agung kemudian memberikan pendapat melalui petunjuknya Nomor: MA/0807/75 untuk memberlakukan ketentuan-ketentuan yang sudah ada sebelumnya. Dengan demikian yang dimaksud oleh Mahkamah Agung tersebut adalah diberlakukannya Burgerlijk Wetboek (BW) atau KUHPerdata bagi mereka yang dikuasai atau tunduk pada peraturan tersebut yaitu warga negara Indonesia keturunan Cina dan Eropa, hukum adat bagi golongan bumiputera dan H.O.C.I (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers) bagi golongan bumiputera yang beragama Kristen.127

(41)

Dalam KUHPerdata maupun UU Perkawinan tidak terdapat pengaturan mengenai pembuatan perjanjian perkawinan setelah perkawinan dilangsungkan. Namun dalam KUHPerdata dimungkinkan untuk para pihak mengadakan persetujuan-persetujuan yang sama sekali tidak diatur dalam BW, WvK atau undang-undang lain. Untuk persetujuan-persetujuan ini dapat berlaku dalam BW sebagaimana dalam buku III Title I-IV.128

Hal ini juga kita ketahui dengan adanya jenis perjanjian yang disebut dengan Perjanjian bernama (benoemd contractenataunominaat contracten), yaitu perjanjian-perjanjian yang diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari, dan jenis perjanjian tidak bernama (onbenoemd contracten atauinnominaat contracten), yaitu perjanjian-perjanjian yang tidak diatur dalam KUHPerdata, tetapi terdapat di masyarakat. Jumlah perjanjian ini tidak terbatas. Lahirnya perjanjian ini adalah berdasarkan asas kebebasan mengadakan perjanjian atau partij otonomi yang berlaku di dalam hukum perjanjian.129

J. Satrio memberikan pengertian yang dimaksud dengan Perjanjian

Innominaatatau Perjanjian Tidak Bernama, adalah :130

Perjanjian-perjanjian yang belum ada pengaturannya secara khusus di dalam undang-undang. Oleh karena itulah tidak diatur dalam undang-undang, baik di dalam Kitab Undang Hukum Perdata maupun d dalam Kitab

Undang-128

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, (Bandung: Sumur Bandung, 1964), hal. 10.

129Mariam Darus Badrulzaman.Op. Cit.,hal.19.

(42)

Undang Hukum Dagang (KUHD), keduanya didasarkan pada praktek sehari-hari dan putusan pengadilan (yurisprudensi).

Perjanjian Tidak Bernama ini ada diatur dalam Pasal 1319 KUHPerdata, yang menyebutkan, bahwa “semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lain”. Dari pasal ini dapat kita ketahui bahwa perjanjian yang belum ada pengaturannya namun terdapat di dalam masyarakat harus tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam KUHPerdata. Hal ini dapat menjelaskan kepada kita bahwa perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan berlangsung, meskipun pengaturannya secara khusus tidak ada ditemukan dalam KUHPerdata maupun peraturan lainnya, namun karena perjanjian perkawinan ini ada ditemukan dalam masyarakat maka perjanjian ini juga harus tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam KUHPerdata.

Dalam KUHPerdata perjanjian perkawinan yang diatur secara khusus dalam Pasal 139-154 KUHPerdata hanya mengatur perjanjian perkawinan yang dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan. Hal ini jelas tercantum dalam Pasal 147 KUHPerdata yang selengkapnya berbunyi : “atas ancaman kebatalan, setiap perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta notaris sebelum perkawinan berlangsung. Perjanjian mulai berlaku semenjak saat perkawinan dilangsungkan; lain saat untuk itu tak boleh ditetapkannya”.

(43)

seluruhnya, diperlukan adanya pembuatan perjanjian perkawinan yang dilakukan sebelum perkawinan dilangsungkan dengan suatu akta notaris. Apabila tidak dibuat dengan akta notaris, perjanjian perkawinan tersebut dapat dibatalkan. Perjanjian perkawinan baru berlaku setelah perkawinan dilangsungkan, sehingga apabila perkawinan tidak dilakukan, maka perjanjian perkawinan menjadi tidak berlaku.

Dari ketentuan ini dapat dilihat bahwa KUHPerdata tidak menetapkan jangka waktu antara pembuatan perjanjian perkawinan dengan saat dilangsungkannya perkawinan, namun sebaliknya perjanjian perkawinan dibuat sedekat mungkin dengan waktu dilangsungkannya perkawinan.

Selain itu juga sebelum perkawinan dilangsungkan, calon suami istri masih dapat melakukan perubahan-perubahan atas perjanjian perkawinan. Perubahan tersebut harus dilakukan dengan akta notaris, dan dalam hal perjanjian perkawinan dibuat dengan bantuan orang tua atau wali, maka orang tua atau wali tidak menyetujui perubahan yang akan dilakukan, maka perubahan tersebut tidak dapat dilakukan.

(44)

yang berubah-ubah, yang dapat merugikan dirinya (dalam arti jaminan harta debitur atas piutang kreditur).131

Hal ini sesuai dengan ketentuan sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 149 KUHPerdata yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut : “setelah perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dengan cara bagaimanapun tidak boleh diubah”.

Dari rumusan pasal tersebut, dapat diartikan bahwa menurut ketentuan yang terdapat dalam KUHPerdata, perubahan terhadap perjanjian perkawinan selama perkawinan dilangsungkan tidak dimungkinkan sama sekali, akan tetapi sebelum perkawinan dilangsungkan calon suami istri masih dapat merubah perjanjian perkawinan yang dibuatnya.

Pembuatan perjanjian perkawinan maupun perubahan terhadap perjanjian perkawinan ditentukan dan dibuat atas persetujuan bersama dari kedua belah pihak, dalam hal ini yang dimaksud ialah bahwa persetujuan terhadap pembuatan perjanjian perkawinan adalah kata sepakat yang bebas serta tidak terdapat paksaan dari pihak manapun, juga tidak ada penipuan dan juga kekhilafan.132

Asas tidak dapat diubahnya perjanjian perkawinan ini berkaitan dengan sistem harta benda perkawinan yang dipilih oleh suami istri pada saat berlangsungnya perkawinan yang menyadarkan pada pokoknya akan kekhawatiran, bahwa semasa

131J. Satrio,Op. Cit., hal. 28.

(45)

perkawinan sang suami dapat memaksa istri untuk mengadakan perubahan yang tidak diinginkan oleh istrinya.133

KUHPerdata juga ada mengatur tentang harta bersama menyeluruh atau bulat adalah akibat normal dari suatu perkawinan, sedangkan pembatasan atau penutupan setiap kebersamaan harta menyeluruh atau bulat hanya dapat dilakukan dengan suatu perjanjian perkawinan.134

Dalam Pasal 140 KUHPerdata ditentukan bahwa perjanjian itu tidak boleh mengurangi hak-hak yang bersumber pada kekuasaan si suami sebagai suami, dan pada kekuasaan sebagai bapak, tidak pula hak-hak yang oleh undang-undang diberikan kepada yang masih hidup paling lama.

Perjanjian perkawinan berdasarkan KUHPerdata juga harus didaftarkan di Pengadilan Negeri di wilayah hukum di mana suami istri tersebut berdomisili. Pendaftaran perjanjian perkawinan dilakukan agar dapat diketahui oleh umum terutama pihak ketiga yang tersangkut langsung dengan isi yang terkandung dalam perjanjian tersebut.

Mengenai waktu pembuatan perjanjian perkawinan ini juga dinyatakan dalam UU Perkawinan Pasal 29 sebagai berikut :

1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

133 R. Soetojo Prawirohamidjojo,

Pluralisme dalam Perundang-Undangan Perkawinan di Indonesia, (Surabaya: Airlangga University Press, 2002), hal 59.

(46)

2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan, bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.

3. Perjanjian tersebut berlaku, sejak perkawinan dilangsungkan.

4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

Dengan demikian mengenai waktu pembuatan perjanjian perkawinan dalam UU Perkawinan ditentukan lebih luas dengan memberikan dua macam waktu untuk membuat perjanjian perkawinan, yaitu sebelum dan pada saat perkawinan dilangsungkan.135Maka, dengan telah adanya atau ditentukannya saat pembuatan perjanjian perkawinan tersebut maka tidak diperbolehkan membuat perjanjian perkawinan setelah perkawinan berlangsung apabila sebelum atau pada saat perkawinan tidak telah diadakan perjanjian perkawinan.136

Dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwasanya pengaturan mengenai pembuatan perjanjian perkawinan sesudah perkawinan dilangsungkan tidak ada dijumpai dalam berbagai ketentuan yang mengatur tentang perkawinan. Namun dalam perkembangannya yang terjadi di masyarakat sekarang ini dimungkinkan pembuatan perjanjian perkawinan setelah perkawinan yaitu dengan didasarkan pada Penetapan Pengadilan Negeri, karena kenyataannya ada pasangan suami istri yang karena alasan tertentu kemudian membuat perjanjian perkawinan setelah perkawinan dilangsungkan dengan Penetapan Pengadilan Negeri.

Banyaknya peristiwa hukum yang timbul di kalangan masyarakat di mana dalam hal ini belum ada pengaturan yang jelas mengenai peristiwa hukum tersebut

135Ibid., hal. 61.

(47)

sehingga hakim sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman diberikan kewenangan untuk melakukan penemuan hukum untuk dapat menyelesaikan permasalahan hukum yang timbul di masyarakat.

Hal ini sesuai dengan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Pasal 10 ayat (1) tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan “bahwa Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalil hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Ketentuan pasal ini memberi makna bahwa hakim sebagai organ utama Pengadilan dan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman wajib hukumnya bagi Hakim untuk menemukan hukumnya dalam suatu perkara meskipun ketentuan hukumnya tidak ada atau kurang jelas.137

Penemuan hukum oleh hakim dianggap suatu hal yang mempunyai wibawa sebab penemuan hukum oleh hakim merupakan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum karena hasil penemuan hukum itu dituangkan dalam bentuk putusan. Hakim dalam mengabulkan permohonan penetapan perjanjian perkawinan para pemohon harus sungguh-sungguh dan mendasar apabila alasan yang diajukan benar dan sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku dan alasan yang dikemukakan didukung oleh fakta atau bukti yang jelas dan sempurna.

Penetapan pengadilan negeri tersebut merupakan produk yudikatif, yang berisi kaedah atau peraturan hukum yang mengikat pihak-pihak yang bersangkutan. Hal ini

137Abdul Manan,

(48)

ditempuh karena Pengadilan Negeri sebagai instansi hukum yang dijunjung tinggi, di mana produk hukumnya harus dipatuhi oleh siapapun. Oleh karena itu, penetapan tersebut dapat dipergunakan sebagai landasan hukum untuk dibuatnya perjanjian perkawinan setelah perkawinan bagi pasangan suami-istri.

Pengaturan pembuatan perjanjian perkawinan setelah perkawinan yang berdasarkan penetapan Pengadilan Negeri ini pada dasarnya tetap mengacu kepada pengaturan perjanjian perkawinan yang dibuat sebelum atau pada saat berlangsungnya perkawinan sebagaimana telah diuraikan sebelumnya yang mana mengacu kepada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu hukum perjanjian, hukum perkawinan di Indonesia dan juga tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.

Pembuatan perjanjian perkawinan sesudah perkawinan ini dilakukan dengan berlandaskan kepada azas kebebasan berkontrak yang ada terkandung dalam KUHPerdata berdasarkan kesepakatan dan itikad baik dari kedua belah pihak suami istri, sebagai mana tercantum dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang selengkapnya berbunyi :

Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan koefisien determinan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kompensasi, motivasi dan lingkungan kerja karyawan karyawan PT Kurnia Jaya Mardi Mulyo Gunungkidul

Dari semua ordo dalam kelas Polypodiophyta, ordo Polypodiales mempunyai bentuk dan susunan sori yang sangat beragam seperti berbentuk garis pada tepi daun,

Penelitian yang dilakukan Mailina Harahap (2017) dengan judul “Kajian modal sosial pada usaha tani sayur” Studi kasus pada Kelompok Tani Barokah Kelurahan Tanah

Jurusan Fisika Fakultas MIPA UB dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang bagus baik berupa gedung, ruang kuliah, laboratorium, perpustakaan, internet, dan

Kata yang menjadi kandidat jawaban ialah kata yang memiliki entitas sesuai dengan kata tanya pada query pertanyaan. Dalam perolehan entitas jawaban, yang perlu

Sjafri dan Aida (2007 : 153) tiap manajemen perlu mengelola dan mengetahui kinerja pegawainya, apakah sudah sesuai dengan standar kinerja perusahaan atau

Kata Indonesia berasal dari kata latin: Indus yang berarti India dan dari kata Yunani nesos yang berarti pulau, sedangkan bentuk jamaknya adalah nesioi artinya

menekankan kepada praktik agar.. siswa lebih paham, 3) sering memberikan latihan kepada siswa untuk membaca memindai, dan 4) memberikan banyak contoh wacana