• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perjanjian Kerjasama Antara Pemerintah Indonesia dan Jepang tentang Joint Crediting Mechanism 2013 untuk Kemitraan Pertumbuhan Rendah Karbon

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perjanjian Kerjasama Antara Pemerintah Indonesia dan Jepang tentang Joint Crediting Mechanism 2013 untuk Kemitraan Pertumbuhan Rendah Karbon"

Copied!
166
0
0

Teks penuh

(1)

PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA PEMERINTAH INDONESIA DAN JEPANG TENTANG JOINT CREDITING MECHANISM 2013 UNTUK

KEMITRAAN PERTUMBUHAN RENDAH KARBON SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

ISAAC SAHALA P NIM : 110200110

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL FAKULTAS HUKUM

(2)

i

S K R I P S I

DIAJUKAN DALAM RANGKA MELENGKAPI TUGAS DAN MEMENUHI SYARAT MEMPEROLEH

GELAR SARJANA HUKUM

OLEH :

NAMA : ISAAC SAHALA PARULIAN

NIM : 110 – 200 – 110

DEPARTEMEN : HUKUM INTERNASIONAL

DISETUJUI OLEH :

KETUA DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

Chairul Bariah, SH, M. Hum

NIP : 195612101986012001

DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II

Prof.H. Syamsul Arifin, S.H., M.H. Arif, S.H., M.Hum

NIP : 195209101980031001 NIP : 196403301993031002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

ii

Dengan segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala berkat dan rahmat yang diberikan-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat mengikuti segala kegiatan perkuliahan dan menyelesaikan penulisan skripsi ini tepat pada waktunya.

Skripsi ini disusun untuk melengkapi dan memenuhi tugas dan syarat dalam meraih gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara, dimana hal tersebut merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa/i yang ingin menyelesaikan perkuliahannya.

Adapun judul skripsi yang penulis kemukakan Perjanjian Kerjasama Antara Pemerintah Indonesia dan Jepang tentang Joint Crediting

Mechanism 2013 untuk Kemitraan Pertumbuhan Rendah Karbon”. Skripsi

ini membahas tentang perkembangan pengaturan hukum terhadap lingkaungan hidup, pelaksanaan mekanisme perdagangan karbon dalam rangka melawan pemanasan global, dan tata cara pelaksanaan mekanisme kredit bersama antara Pemerintah Jepang dan Indonesia sebagai salah satu bentuk mitigasi perubahan iklim melalui perdagangan karbon.

(4)

iii terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH. M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin,S.H.M.Hum, D.F.M. Selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum USU

4. Dr. OK Saidin,S.H,M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum USU.

5. Prof.H. Syamsul Arifin, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing I yang dengan setulus hati telah bersedia meluangkan waktunya dalam memberikan bimbingan, bantuan, dan juga arahan-arahan kepada penulis pada saat penulisan skripsi ini.

6. Arif, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang dengan penuh kesabaran bersedia meluangkan waktunya dalam memberikan bimbingan, bantuan, dan arahan-arahan kepada penulis pada saat penulisan skripsi ini.

7. Seluruh staf pengajar dan pegawai administrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu dan membantu penulis selama menjalani segala kegiatan perkuliahan. 8. Teristimewa kepada Orangtua tercinta, Papa dan Mama saya, yaitu

(5)

iv

memberikan motivasi, semangat, dan mendoakan setiap langkah Penulis dalam mencapai harapan dan cita-cita.

10.Kepada Kakak-kakak saya tersayang, Kak Grace Christine dan Kak Esther Yohannah, yang terus menyayangi dan mendukung Penulis setiaap saat, dari dulu sampai sekarang.

11.Kepada seluruh keluarga besar, baik dari pihak Ayah maupun Ibu, yang telah mendukung dan mendoakan penulis

12.Kepada sahabat-sahabat Penulis : Algrant, Vincent, Suwito, Hizkia Karunia, Fadhel, Dheo, Habib, Helbert, Thomas, Richard, Deny, Yogi, William, Desita Natalia, Dyah Putri, Kristy, Rolas Putri, Gracia, Debby, Wirda, Nurul Huda, Elsha, Fifi, Sunarti, dan lainnya.

13.Kepada sahabat-sahabat se-departemen (ILSA 2011) Penulis yang sama-sama berjuang di Departemen Hukum Internasional untuk mencapai segala harapan dan cita-cita yang diimpikan.

14.Kepada teman-teman seperantauan dari Jakarta yang sama-sama menuntut ilmu di Universitas Sumatera Utara, Medan: Ruth Anastasia, Jessica, Sonya, dan Mega.

(6)

v

dan kritik yang membangun dan menyempurnakan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak dan akhir kata, dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat yang berguna bagi kita semua. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan Rahmat dan KaruniaNya kepada kita semua. Amin.

Medan, Maret 2015 Penulis

(7)

vi

Prof. H. Syamsul Arifin, SH, M.H** Arif, SH, M.Hum***

Perjanjian Internasional antara Pemerintah Indonesia dan Jepang tentang Joint Crediting Mechanism untuk Kemitraan Pertumbuhan Rendah Karbon merupakan perjanjian bilateral di bidang lingkungan hidup yang dilakukan dalam rangka memenuhi target penurunan emisi yang diamanatkan di dalam Protokol Kyoto. Sebagai suatu perjanjian bilateral mengenai mekanisme mitigasi lingkungan terkait pertumbuhan rendah karbon untuk penanggulangan dampak perubahan iklim yang terjadi, sudah selayaknya pelaksanaan mekanisme yang dimuat dalam perjanjian ini harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dan pedoman yang disepakati oleh kedua belah pihak dan ketentuan umum dalam hukum perjanjian maupun hukum lingkungan. Secara ringkas, perjanjian ini diimplementasikan melalui kerjasama kedua negara, dimana pihak Jepang memberikan insentif dana dan alih teknologi bagi pembangunan rendah karbon di Indonesia, yang mana dari hal ini pihak Jepang akan mendapatkan kuota karbon dari hasil pembangunan rendah karbon di Indonesia, sedangkan pihak Indonesia mendapkan hasil nyata dari pembangunan rendah karbon di negaranya. Mekanisme ini sebenarnya merupakan bentuk mekanisme di dalam perdagangan karbon.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui siapa saja pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian ini, sekaligus meninjau peranan setiap pihak yang terlibat tersebut. Selain itu, penelitian ini juga dilakukan untuk meninjau mengenai apa yang menjadi objek dari perjanjian ini. Disamping itu, penelitian ini juga dimaksudkan untuk mengetahui tata cara pelaksanaan atau implementasi perjanjian ini dalam bentuk nyata. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan yang diambil dari peraturan-peraturan, pedoman-pedoman, dan juga perundang-undangan yang berkaitan dengan perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup terkait mekanisme kredit bersama, buku-buku, wacana, serta bahan internet, seperti E-Book.

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa perjanjian ini dilakukan oleh kedua negara yang didukung oleh kementerian terkait maupun lembaga atau organisasi khusus yang dibentuk untuk pelaksanaan mekanisme perjanjian ini. Dalam pelaksanaan proyek JCM secara nyata, kedua negara diwakilkan oleh sekretariat JCM di masing-masing negara, dan urusan kedua negara ini diikordinasikan oleh Komite Bersama yang dibentuk oleh kedua belah pihak. Sedangkan, dalam hal pengawasan proyek JCM dan penghitungan pengurangan emisi dilakukan oleh suatu lembaga khusus yang ditunjuk oleh Komite Bersama,

1

Mahasiswa

**

Dosen Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum USU

***

(8)

vii

mendapatkan jumlah kredit karbon, dengan menghitung selisih antara emisi yang dihasilkan sebelum dan sesudah adanya proyek pengurangan emisi. Dalam hal pelaksanaan atau implemantasi perjanjian, proyek JCM dilaksanakan melalui tahapan pengusulan proyek, proses validasi, registrasi atau pendaftaran proyek, proses verifikasi, dan juga penerbitan karbon.

(9)

viii

Lembar Pengesahan ………... i

Kata Pengatar ………. ii

Abstraksi ……… vi

Daftar Isi ……….... viii

Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah ……… 1

B. Rumusan Masalah ….………. 10

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……….. 10

D. Keaslian Penelitian ……… 12

E. Tinjauan Pustaka ..……….. 12

F. Metode Penelitian ..………. 20

G. Sistematika Penulisan ………. 22

Bab II Pengaturan Hukum Terhadap Lingkungan Hidup Dalam Masyarakat Internasional A. Perkembangan Perjanjian Internasional di Bidang Lingkungan Hidup ………. 24

B. Sifat-sifat Perjanjian Internasional di Bidang Lingkungan Hidup ... 32

C. Jenis-jenis Perjanjian Internasional di Bidang Lingkungan Hidup ………. 41

(10)

ix

A. Pengertian dan Ruang Lingkup Perdagangan Karbon ….... 57 B. Hal-Hal yang Melatarbelakangi Perdagangan Karbon …... 59 C. Pengaturan Hukum Internasional tentang Perdagangan

Karbon ……….……….. 62

D. Subjek dan Objek Hukum di dalam Perdagangan

Karbon ……… 86

Bab IV Perjanjian Kerjasama Antara Pemerintah Indonesia dan Jepang tentang Joint Crediting Mechanism 2013 untuk Kemitraan Pertumbuhan Rendah Karbon

A. Uraian Umum tentang Perjanjian Internasional Mekanisme Kredit Bersama Antara Pemerintah Indonesia dan Jepang dalam Rangka Mendorong Pertumbuhan Rendah Karbon …. 102 B. Subjek dan Objek Hukum dalam Perjanjian Internasional

Mekanisme Kredit Bersama Antara Pemerintah Indonesia dan Jepang dalam Rangka Mendorong Pertumbuhan Rendah

Karbon ………. 104

C. Peranan Para Pihak di dalam Pelaksanaan Mekanisme Kredit

Bersama ………... 118

D. Tata Cara Pelaksanaan Mekanisme Kredit Bersama Antara Pemerintah Indonesia dan Jepang dalam Rangka Mendorong Pertumbuhan Rendah Karbon ………. 125 Bab V Penutup

A. Kesimpulan ……… 144

B. Saran ……… 149

DAFTAR PUSTAKA ……… 152

(11)

vi

Prof. H. Syamsul Arifin, SH, M.H** Arif, SH, M.Hum***

Perjanjian Internasional antara Pemerintah Indonesia dan Jepang tentang Joint Crediting Mechanism untuk Kemitraan Pertumbuhan Rendah Karbon merupakan perjanjian bilateral di bidang lingkungan hidup yang dilakukan dalam rangka memenuhi target penurunan emisi yang diamanatkan di dalam Protokol Kyoto. Sebagai suatu perjanjian bilateral mengenai mekanisme mitigasi lingkungan terkait pertumbuhan rendah karbon untuk penanggulangan dampak perubahan iklim yang terjadi, sudah selayaknya pelaksanaan mekanisme yang dimuat dalam perjanjian ini harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dan pedoman yang disepakati oleh kedua belah pihak dan ketentuan umum dalam hukum perjanjian maupun hukum lingkungan. Secara ringkas, perjanjian ini diimplementasikan melalui kerjasama kedua negara, dimana pihak Jepang memberikan insentif dana dan alih teknologi bagi pembangunan rendah karbon di Indonesia, yang mana dari hal ini pihak Jepang akan mendapatkan kuota karbon dari hasil pembangunan rendah karbon di Indonesia, sedangkan pihak Indonesia mendapkan hasil nyata dari pembangunan rendah karbon di negaranya. Mekanisme ini sebenarnya merupakan bentuk mekanisme di dalam perdagangan karbon.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui siapa saja pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian ini, sekaligus meninjau peranan setiap pihak yang terlibat tersebut. Selain itu, penelitian ini juga dilakukan untuk meninjau mengenai apa yang menjadi objek dari perjanjian ini. Disamping itu, penelitian ini juga dimaksudkan untuk mengetahui tata cara pelaksanaan atau implementasi perjanjian ini dalam bentuk nyata. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan yang diambil dari peraturan-peraturan, pedoman-pedoman, dan juga perundang-undangan yang berkaitan dengan perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup terkait mekanisme kredit bersama, buku-buku, wacana, serta bahan internet, seperti E-Book.

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa perjanjian ini dilakukan oleh kedua negara yang didukung oleh kementerian terkait maupun lembaga atau organisasi khusus yang dibentuk untuk pelaksanaan mekanisme perjanjian ini. Dalam pelaksanaan proyek JCM secara nyata, kedua negara diwakilkan oleh sekretariat JCM di masing-masing negara, dan urusan kedua negara ini diikordinasikan oleh Komite Bersama yang dibentuk oleh kedua belah pihak. Sedangkan, dalam hal pengawasan proyek JCM dan penghitungan pengurangan emisi dilakukan oleh suatu lembaga khusus yang ditunjuk oleh Komite Bersama,

1

Mahasiswa

**

Dosen Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum USU

***

(12)

vii

mendapatkan jumlah kredit karbon, dengan menghitung selisih antara emisi yang dihasilkan sebelum dan sesudah adanya proyek pengurangan emisi. Dalam hal pelaksanaan atau implemantasi perjanjian, proyek JCM dilaksanakan melalui tahapan pengusulan proyek, proses validasi, registrasi atau pendaftaran proyek, proses verifikasi, dan juga penerbitan karbon.

(13)

1

A. Latar Belakang Masalah

(14)

2

Kerusakan lingkungan akibat dari adanya pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan pada umumnya dapat mencemari atau merusak kondisi di wilayah darat, air, maupun udara. Kerusakan di wilayah darat, misalnya reklamasi daerah pantai untuk pembangunan daerah parawisata yang memiliki sisi negatif, yaitu dapat merusak kondisi lingkungan hidup, baik biotik maupun abiotik, di sekitar daerah pantai tersebut, kemudian pada wilayah perairan, sering kali terdapat perusahaan-perusahaan yang membuang limbah industrinya di daerah perairan, sehingga mencemari daerah perairan tersebut, dan tidak hanya itu kerusakan yang paling sering dan terjadi setiap hari adalah pada wilayah udara, yaitu adanya polutan yang muncul akibat limbah pembuangan proses industri ke udara, asap buangan kendaraan, dan polutan-polutan udara lainnya, yang perlahan merusak kondisi lingkungan udara yang ada dan mendorong terjadinya pemanasan global (Global Warming). Kondisi-kondisi lingkungan yang tidak sehat dari waktu ke waktu, dapat sangat membahayakan bagi kehidupan dan kelangsungan mahluk hidup yang ada, tidak hanya untuk masa sekarang, namun juga untuk keberlangsungan mahluk hidup di masa yang akan datang. Untuk menghindari hal-hal di atas, maka diperlukanlah suatu pembangunan yang memiliki konsep berwawasan lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development).

(15)
(16)

disepakati pula prinsip-prinsip pengelolaan hutan dan beberapa prinsip pembangunan berkelanjutan yang disepakati sebagai Rio Principle yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam dan ekosistemnya sebagai dasar kerjasama global, regional, dan nasional.2

Salah satu isu permasalahan lingkungan hidup yang terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu seiring berjalannya pembangunan, hingga sampai pada tahap yang dianggap sangat membahayakan jika terus dibiarkan adalah masalah pemanasan global atau yang lebih dikenal dengan istilah Global Warming. Pemanasan Global tidak terjadi secara seketika, tetapi berangsur-angsur. Namun demikian, dampaknya sudah mulai kita rasakan di sini dan sekarang. Ketika revolusi industri baru dimulai sekitar tahun 1850, konsentrasi salah satu Gas Rumah Kaca (GRK) penting yaitu CO2 di atmosfer baru 290 ppmv (part per million by volume), saat ini (150 tahun kemudian) telah mencapai sekitar 350 ppmv. Jika pola konsumsi, gaya hidup, dan pertumbuhan penduduk tidak berubah, 100 tahun yang akan datang konsentrasi CO2 diperkirakan akan meningkat menjadi 580 ppmv atau dua kali lipat dari zaman pra-industri. Akibatnya, dalam kurun waktu 100 tahun yang akan datang suhu rata-rata Bumi akan meningkat 4,5C dengan dampak terhadap berbagai sektor kehidupan manusia yang luar biasa besarnya. Menurunnya produksi pangan, terganggunya fluktuasi dan distribusi ketersediaan air, penyebaran hama dan penyakit tanaman, dan manusia adalah diantara dampak sosial ekonomi yang dapat ditimbulkan. Tidak semua negara industri penyebab masalah ini siap mengatasinya karena

2

(17)

masalah mitigasi yang menangani penyebabnya memerlukan biaya yang tinggi. Pada saat yang bersamaan hampir semua negara yang tidak menimbulkan masalah perubahan iklim, yaitu negara berkembang, sangat merasakan dampaknya, namun tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk melakukan adaptasi terhadap dampak negatif yang ditimbulkan oleh perubahan iklim.

(18)

negara-negara industri untuk mengurangi emisi gas rumah kaca gabungan mereka paling sedikit 5 persen dari tingkat emisi tahun 1990 menjelang periode 2008-2012. Komitmen yang mengikat secara hukum ini akan mengembalikan tendensi peningkatan emisi yang secara historis dimulai di negara-negara tersebut 150 tahun yang lalu. Protokol Kyoto, demikian selanjutnya protokol ini disebut, disusun untuk mengatur target kuantitatif penurunan emisi dan target waktu penurunan emisi bagi negara maju. Sementara, negara berkembang tidak memiliki kewajiban atau komitmen untuk menurunkan emisinya.3

Dalam kegiatan UNFCCC, dikenal prinsip Common but Differentiated Responsibility atau tanggung jawab yang berlaku umum namun tetap berbeda kadarnya. Prinsip ini mengacu pada kenyataan bahwa negara-negara majulah yang terlebih dahulu melepaskan gas rumah kaca secara masif ke atmosfer ketika melakukan pembangunan di negaranya masing-masing. Maka setelah manfaat pembangunan tersebut diperoleh, mereka mempunyai kadar tanggung jawab yang lebih besar untuk menurunkan emisi gas rumah kaca serta membantu negara berkembang dalam melakukan mitigasi dan adaptasi. 4

Memandang prinsip di atas, Indonesia, layaknya negara berkembang lainnya, sebenarnya tidak memiliki kewajiban yang besar dalam menurunkan tingkat emisinya, namun dalam kenyataannya Pemerintah Indonesia telah ikut serta di dalam Protokol Kyoto dan juga meratifikasinya, sehingga secara teknis Indonesia dapat ikut berpartisipasi dalam satu-satunya pelaksanaan mekanisme

3

Daniel Muniyarso, Protokol Kyoto (Implikasinya bagi Negara Berkembang), Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2007, hal.2-4

4

Tim Penulis Dewan Nasional Perubahan Iklim, MARI BERDAGANG KARBON! (Pengantar

(19)

kyoto yang dapat diikutinya, yaitu Mekanisme Pembangunan Bersih atau Clean Development Mechanism (CDM), disamping mekanisme Implementasi Bersama (Joint Implementation (JI)) dan Perdagangan Emisi atau Emission Trading (TE).

Mekanisme Pembangunan Bersih yang dapat diikuti oleh Indonesia sendiri merupakan suatu bentuk mekanisme yang memperbolehkan negara-negara yang dibebani target pengurangan emisi di bawah komitmen Protokol Kyoto untuk mengimplementasikan target pengurangan emisi tersebut dalam suatu kegiatan penurunan emisi yang berlokasi di negara berkembang. Pelaksanaan Mekanisme Pembangunan Bersih ini dilakukan dengan adanya kerjasama antara negara maju dan negara berkembang, dimana negara maju berperan dalam mendanai/membeli hasil penurunan emisi gas rumah kaca dari proyek yang berlokasi di negara berkembang. Jumlah atau kuota karbon yang diperoleh dari kegiatan proyek pengurangan emisi ini kemudian akan disertifikatkan dan mendapat Certified Emmission Reduction (CER), dimana 1 CER setara dengan 1 ton CO2. Kuota karbon yang telah mendapatkan CER ini kemudian dapat dijual kepada pihak lain. Hal inilah yang membentuk adanya bentuk perdagangan karbon di dalam Mekanisme Pembangunan Bersih.5

Mekanisme yang terdapat di dalam Protokol Kyoto memang mengarah kepada pelaksanaan perdagangan karbon yang akan dilaksanakan negara-negara dalam rangka pemenuhan target penurunan emisi setiap negara maupun tujuan-tujuan lainnya, termasuk juga mekanisme pembangunan bersih yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Namun, dalam hal ini upaya pemenuhan target penurunan emisi yang dilakukan oleh negara-negara melalui perdagangan karbon

5

(20)

tidak terpaku hanya pada mekanisme yang terdapat pada Protokol Kyoto saja. Upaya pencapaian target penurunan emisi juga dilaksanakan melalui berbagai mekanisme lainnya di luar mekanisme yang terdapat di dalam Protokol Kyoto.

Salah satu contoh mekanisme alternatif, di luar mekanisme Kyoto, yang dilaksanakan Pemerintah Indonesia secara nyata adalah Mekanisme Kredit Bersama atau yang dikenal dengan istilah Joint Crediting Mechanism (JCM). Mekanisme Kredit Bersama atau JCM ini merupakan mekanisme perdagangan karbon alternatif yang dilakukan secara bilateral antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Jepang. Mekanisme ini disepakati oleh kedua negara melalui perjanjian kerjasama pada tahun 2013, dimana kedua negara sepakat untuk menjalin kemitraan dalam pelaksanaan mekanisme ini. Secara garis besar pendekatan yang dilakukan dalam pelaksanaan mekanisme JCM ini hampir sama atau serupa dengan mekanisme pembangunan bersih, dalam hal pembiayaan dan perhitungan pengurangan emisi yang terverifikasi, namun dalam pelaksanaannya prosedur yang digunakan dalam mekanisme JCM dibuat lebih mudah atau tidak ketat, seperti mekanisme CDM.

(21)

Bentuk kerjasama seperti ini sedang berkembang di banyak negara, karena adanya tuntutan pengurangan jumlah emisi GRK dan mekanisme kuota karbon, sehingga negara-negara saling bekerjasama satu sama lain dengan menjalin perjanjian yang saling menguntungkan. Hal ini juga dapat dipandang sebagai pendekatan lingkungan dari segi ekonomi, karena negara-negara, khusunya negara maju, menggunakan kekuatan perekonomian dan teknologinya dalam membantu investasi pembangunan rendah karbon di negara lainnya (biasanya negara berkembang), dengan tujuan untuk menambah jatah kuota karbon yang dimilikinya. Dalam kesepakatan perjanjian seperti ini kedua belah sebenarnya saling diuntungkan dan mendapatkan manfaatnya masing-masing dan di sisi lain kelestarian lingkungan sekitar ikut terjaga.

(22)

B. Rumusan Masalah

Sehubungan dengan hal-hal yang telah disebutkan di atas, maka rumusan permasalahan yang akan dibahas di dalam skripsi ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana pengaturan tentang lingkungan hidup dalam masyarakat

internasional

2. Bagaimana pengaturan perdagangan karbon dunia dalam mengurangi pemanasan global

3. Bagaimana perjanjian antara Pemerintah Indonesia dan Jepang dalam Kemitraan Pertumbuhan Rendah Karbon

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan hal-hal yang telah sebutkan di atas, penulisan skripsi ini juga bertujuan untuk :

1. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan pengaturan hukum lingkungan dalam masyarakat internasional

2. Untuk lebih memahami pengertian, ruang lingkup, dan pembentukan perjanjian internasional sebagai sumber hukum di bidang lingkungan hidup. 3. Untuk mengetahui dan memahami hal-hal terkait perdagangan karbon,

terutama dari pengaturan dan implementasinya.

(23)

5. Untuk mengetahi peranan yang dijalankan oleh para pihak yang ikut serta di dalam perjanjian internasional (Perjanjian Joint Crediting Mechanism 2013 antara Pemerintah Indonesia dan Jepang ).

Dengan adanya pembahasan terkait materi skripsi ini, penulis berharap bahwa hasil penelitian skripsi ini dapat memberikan masukan dan manfaat untuk: 1. Memberikan masukan dan juga pengetahuan kepada masyarakat tentang

perkembangan dan pengaturan lingkungan hidup dalam masyarakat internasional.

2. Memberikan masukan dan juga pengetahuan kepada masyarakat tentang adanya mekanisme perdagangan karbon, sehingga masyarakat dapat ikut terlibat dan mengambil bagian dalam perdagangan karbon tersebut.

3. Memberikan masukan dan juga pengetahuan kepada masyarakat tentang adanya Perjanjian Joint Crediting Mechanism 2013 antara Pemerintah Indonesia dan Jepang, sehingga masyarakat dapat ikut mengambil bagian dalam pelaksanaan perjanjian ini dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan rendah karbon, baik di Indonesia maupun di Jepang.

4. Memberikan masukan dan manfaat dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan dan dimana dalam penulisan skripsi ini penulis memberikan analisa-analisa yang bersifat objektif.

(24)

D. Keaslian Penulisan

Karya Ilmiah dengan judul “Perjanjian Bilateral antara Pemerintah Indonesia dan Jepang tentang Joint Crediting Mechanism 2013 untuk Mendorong Kemitraan Pertumbuhan Rendah Karbon” sebenarnya merupakan judul yang

cukup baru, karena perjanjian Joint Crediting Mechanism antara Pemerintah Indonesia dan Jepang itu sendiri masih tergolong perjanjian yang cukup baru, karena baru disepakati oleh kedua belah pihak pada tahun 2013, namun dalam pembahasan skripsi ini penulis secara khusus membahas mengenai tata cara pelaksanaan isi perjanjian mekanisme kredit bersama, hak dan kewajiban para pihak, maupun penyelesaian sengketa dalam perjajian tersebut. Judul ini merupakan hasil pemikiran murni penulis dalam rangka melengkapi tugas dan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Apabila di kemudian hari terdapat kesamaan judul dan isi dengan skripsi ini, maka penulis sepenuhnya akan bertanggung jawab terhadap hal tersebut.

E. Tinjauan Pustaka

1. Pemanasan Global (Global Warming)

A. Pengertian Pemanasan Global

(25)

inilah yang mengakibatkan naiknya suhu di permukaan bumi, baik di darat, laut, dan udara. Gas-gas yang termasuk ke dalam golongan Gas Rumah Kaca (GRK) ini menurut Protokol Kyoto adalah Karbon Dioksida (CO2), Metan (CH4), Nitrous Oksida (N2O), Hydroflurokarbon (HFCs), Perflurokarbon (PFCs), dan Sulfur heksaflorida (SF6).

B. Dampak Pemanasan Global

Adapun dampak yang ditimbulkan akibat pemanasan global tersebut sangat merugikan bagi lingkungan dan segala mahluk hidup yang tinggal di dalamnya. Pemanasan Global mengakibatkan terjadinya Perubahan Iklim, seperti meningkatnya curah hujan di beberapa belahan dunia sehingga dapat menimbulkan banjir dan erosi. Sedangkan, di belahan bumi lainnya akan mengalami musim kering yang berkepanjangan disebabkan kenaikan suhu. Selain itu pemanasan global juga menyebabkan dampak yang sangat luas bagi lingkungan hidup, seperti mencairnya es yang ada di kutub, kenaikan permukaan air laut, perluasan gurun pasir, peningkatan intensitas hujan dan banjir, perubahan iklim, kelangkaan hingga punahnya flora dan fauna tertentu, migrasi fauna dan hama penyakit, dsb. Tidak hanya itu, fenomena ini juga dapat mempengaruhi kondisi sosial, politik, maupun ekonomi di berbagai belahan dunia.

C. Pengendalian Pemanasan Global

(26)

menghemat pemakaian bahan bakar fosil. Penghematan bahan bakar fosil ini berkaitan dengan energi yang dihasilkan dari bahan bakar fosil itu sendiri, seperti Bahan Bakar Minyak (BBM). Upaya penghematan terhadap pemakaian energi bahan bakar, seperti BBM, didasarkan pada kesadaran masyarakat dalam pemakaian bahan bakar tersebut, dimana dibutuhkan adanya kesadaran yang tinggi dari masyarakat untuk dapat menghemat pemakaian bahan bakar, baik dari segi penggunaan transportasi dan penggunaan kendaraan bermotor, yang hendaknya tidak boros.

Selain itu, pengendalian pemanasan global dapat juga dilakukan dengan cara pelestarian hutan atau reboisasi. Secara ilmiah, tanaman atau pohon menyerap gas-gas karbon, yang merupakan penyebab pemanasan global dalam jumlah yang berlebihan (seperti karbon dioksida, karbon monoksida, dan gas-gas karbon lainnya), di dalam proses fotosintesisnya. Selain itu, hasil fotosintesis itu sendiri menghasilkan gas oksigen, yang merupakan gas pernapasan bagi mahluk hidup.

(27)

Dengan menggunakan produk-produk yang ramah lingkungan, maka secara otomatis kita telah ikut serta membantu mengurangi pemanasan global, karena produk-produk ramah lingkungan tersebut telah dibuat dan diciptakan dengan konsep yang sedemikian rupa bersifat menjaga kelestarian lingkungan, sehingga dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari, tanpa membawa dampak buruk bagi lingkungan atau mengurangi dampak buruk bagi lingkungan. Beberapa contoh produk ramah lingkungan adalah kendaraan berbahan bakar gas atau listrik.

(28)

1) Joint Implementation (JI) diuraikan dalam Pasal 6,

2) Clean Development Mechanism, CDM (Mekanisme Pembangunan Besih), diuraikan dalam pasal 12,

3) Perdagangan Emisi (Emission Trading, ET),diuraikan dalam Pasal 17.6

2. Konsep Pembangunan Berkelanjutan dan Pembangunan Rendah Karbon

A. Konsep Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang beorientasi pada pemenuhan kebutuhan manusia melalui pemanfaatan sumberdaya alam secara bijaksana, efisien, dan juga memperhatikan keberlangsungan pemanfaatannya baik untuk generasi masa kini maupun generasi yang akan datang. Di dalamnya terkandung dua gagasan penting, yaitu:

(a) Gagasan kebutuhan, khususnya kebutuhan pokok manusia untuk menopang hidup, di sini yang diprioritaskan adalah kebutuhan kaum miskin.

(b) Gagasan keterbatasan, yakni keterbatasan kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan baik masa kini maupun masa yang akan datang.

B. Konsep Pembangunan Rendah Karbon

Konsep Pembangunan Rendah Karbon merupakan suatu konsep pembangunan yang berusaha menurunkan penggunaan emisi gas karbon di dalam proses pelaksanaan pembangunan. Terdapat beberapa tindakan atau upaya yang dapat dilakukan, baik oleh pemerintah maupun masyarakat dalam rangka mendorong pertumbuhan rendah karbon. Salah satu contoh konkrit dari potensi

6

Prof. H.Syamsul Arifin, S.H., M.H., Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

(29)

yang ada dalam mendukung terlaksananya pembangunan rendah karbon ini adalah dengan mengganti penggunaan sumber tenaga fosil ke non-fosil, seperti tenaga angin, air, maupun panas bumi. Dengan jalur peralihan sumber tenaga ini menjadi sumber tenaga non-fosil, maka secara otomatis akan mengurangi penggunaan fosil yang dapat menghasilkan gas karbon. Selain itu, dalam pelaksanaan konsep pembangunan rendah karbon ini akan diusahakan penggunaan teknologi yang ramah lingkungan, sehingga hasil dari proses pembangunan tersebut dapat bekerja dengan baik, tanpa menghasilkan suatu emisi atau hanya menghasilkan sedikit emisi karbon saja. Hal ini kerap dilakukan pada masa sekarang ini yang dapat dilihat dari banyaknya proyek-proyek pembangunan yang dilakukan pada masa sekarang, yang ikut serta dalam tujuan penurunan tingkat emisi karbon, sebagai upaya pembangunan rendah karbon. Di Indonesia sendiri, dalam upaya menuju pembangunan rendah karbon, kegiatan pembangunan bukan semata kegiatan penurunan emisi gas rumah kaca sebaagi upaya mitigasi perubahan iklim. Akan tetapi perlu juga memperhatikan ketersediaan sumber daya dan biaya. Untuk itu, Dewan Nasional Perubahan Iklim menyusun Skema Karbon Nusantara (SKN) yang bertujuan untuk memfasilitasi tumbuhnya pasar karbon di Indonesia dalam membantu kegiatan penurunan emisi gas rumah kaca.7 Disamping peranan pemerintah, peranan masyarakat dalam prlaksanaan pembangunan rendah karbon juga merupakan hal yang amat penting. Di dalam mencapai tujuan pembangunan rendah karbon dibutuhkan kerja sama dari masyarakat untuk mewujudkannya. Masyarakat dapat membantu pelaksanaan pembangunan rendah karbon dengan cara mengehemat penggunaan energi, seperti energi listrik, yang tidak diperlukan,

7

(30)

penggunaan transportasi sesuai kebutuhan, penggunaan produk-produk yang ramah lingkungan, dan lain sebagainya. Dalam pembangunan rendah karbon dibutuhkan kerjasama yang erat antara pemerintah dan masyarakat. Di satu sisi, pemerintah bertugas mengupayakan penurunan tingkat emisi karbon dengan berbagai upaya yang dapat dilakukannya di tiap-tiap tahapan pembangunan, disamping tugasnya dalam meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pembangunan rendah karbon. Di sisi lain, peranan masyarakat untuk secara aktif dan sadar ikut serta dalam penurunan emisi amatlah dibutuhkan, melalui tindakan-tindakan nyatanya, seperti contoh-contoh yang telah disebutkan di atas.

C. Perdagangan Karbon

(31)

karbon mereka, yang kemudian menjual emisi mereka yang telah dikurangi kepada emitor lain.8

Gagasan perdagangan karbon (Carbon Trade) pada awalnya merupakan implementasi kesepakatan yang dicetuskan dalam Protokol Kyoto (Kyoto Protocol For United Nation Framework Convention On Climate Change), yaitu penurunan gas rumah kaca (GRK), yang sampai saat ini telah 161 negara yang meratifikasi kesepakata itu, kecuali Amerika Serikat dan Australia.9

Protokol Kyoto mengharuskan negara-negara untuk mengurang emisinya sebesar 5 persen dibandingkan tahun1990 melalui mekanisme Implementasi Bersama (Joint Implementation), Perdagangan Emisi (Emission Trading), dan Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism).10 Dibawah UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change), negara-negara yang meratifikasi, dapat mengurangi tingkat emisinya dengan memperdagangkan emisi atau karbon. Negara-negara maju yang timgkat emisinya tinggi diperbolehkan untuk membeli emisi kepada negara-negara lainnya yang tingkat emisinya lebih rendah.11

Perdagangan karbon ini pada prinsipnya menganut asas “polluter must

pay”. Konsep utama dari perdagangan karbon ini adalah apabila perusahaan

-perusahaan dari negara industrials (Annex I Country) tak mampu mengurangi tingkat emisi Gas Rumah Kaca (GRK) akibat kegiatan industrinya, mereka dapat

8

Perdagangan Karbon, diakses dari id.m.wikipedia.org

9

Abdul Razak, Makalah Manajemen Hutan Lanjutan yang berjudul KELAYAKAN KOMPENSASI

YANG DITAWARKAN DALAM PERDAGANGAN KARBON, diakses dari http:/ /heterometrus

.files.wordpress.co

10

Anonim, Mekanisme Perdagangan Karbon, diakses darihttp://heryno.wordpress.com/2008/11/ 17/ mekanisme-perdagangan-karbon/

11

(32)

membayar kepada perusahaan ataupun kepada negara non industry (non Annex I) yang tingkat emisinya masih dibawah standard untuk mengurangi emisi atau menyerap CO2 dari atmosfer. Ada dua skema perdagangan karbon. Cara yang pertama adalah apa yang disebut dengan skema perdagangan karbon terbatas dan berjenjang dimana negara-negara yang meratifikasi Protokol Kyoto dapat saling memperdagangkan emisi satu sama lain, akan tetapi emisi yang diperdagangkan dibatasi agar negara-negara maju tetap memenuhi komitmennya untuk mengurangi emisi yang dihasilkan akibat kegiatan industry.12

Cara yang kedua adalah melalui kredit dari proyek-proyek yang mengkompensasi atau “offset” emisi. Protokol Kyoto mengenai Mekanisme

Pembangunan Bersih (CDM), misalnya, memungkinkan negara-negara maju untuk memperoleh kredit emisi untuk membiayai proyrk-proyek yang berbasis di negara-negara berkembang. Negara-negara maju membiayai proyek-proyek CDM di negara-negara berkembang seperti revitalisasi hutan, agroforestry, perlindungan hutan dari bahaya kebakaran, dan lain sebagainya.13

F. Metode Penelitian

1. Sifat/Bentuk Penelitian

Bentuk penelitian ini adalah hukum normatif yaitu penelitian yang didasarkan pada bahan hukum sekunder berupa inventarisasi peraturan-peraturan dan pedoman-pedoman dasar yang berkaitan dengan perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup, yakni perjanjian terkait pembangunan rendah karbon,

12

Anonim, Q&A: The Carbon Trade, diakses dari www.news.bbc.co.uk/1/hi/ busssiness/4919848 .stm

13

(33)

dan juga pelasanaan perdagangan karbon. Selain itu dipergunakan juga bahan-bahan tertulis lainnya yang berkaitan dengan materi penelitian ini. Penelitian bertujuan menemukan landasan hukum yang jelas dalam pelaksanaan perjanjian pembangunan rendah karbon antara Pemerintah Indonesia dan Jepang.

2. Data

Data yang diteliti untuk penulisan skripsi ini merupakan data sekunder yang terdiri dari :

a. Bahan/sumber primer, yaitu berupa peraturan perundang-undangan,

buku-buku terkait,,dan juga kertas kerja. b. Bahan/sumber sekunder, yaitu berupa bahan acuan lainnya yang memberikan

informasi-informasi terkait materi penelitian dan dapat mendukung penulisan skripsi ini, seperti media internet, tulisan-tulisan, artikel-artikel, surat kabar, dan lain sebagainya.

3. Teknik Pengumpulan Data

(34)

telah diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas.

G. Sistematika Penulisan

.

Untuk memudahkan pembahasan skripsi ini, maka penulis akan membuat sistematika secara teratur dalam bagian -bagian yang semuanya saling berhubungan satu dengan yang lain. Sistematika atau gambaran isi tersebut dibagi dalam beberapa bab dan diantara bab- bab ini terdiri pula atas sub bab.

Adapun gambaran isi atau sistematika tersebut adalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini merupakan bagian pembuka yang berisikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan dan sistematika penulisan yang merupakan gambaran singkat tentang skripsi ini.

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP LINGKUNGAN HIDUP DALAM MASYARAKAT INTERNASIOANAL

(35)

BAB III PENGATURAN PERDAGANGAN KARBON DUNIA DALAM RANGKA MENGURANGI PEMANASAN GLOBAL

Pada bab ini akan dibahas hal-hal yang berkaitan dengan pengertian dan ruang lingkup perdagangan karbon, hal-hal yang melatarbelakangi perdagangan karbon, pengaturan hukum internasional tentang perdagangan karbon, serta subjek dan objek hukum di dalam perdagangan karbon.

BAB IV PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA PEMERINTAH

INDONESIA DAN JEPANG TENTANG JOINT CREDITING MECHANISM 2013 UNTUK KEMITRAAN PERTUMBUHAN RENDAH KARBON

Pada bab ini akan dibahas hal -hal yang berkaitan dengan tata cara pelaksanaan Mekanisme Kredit Bersama antara Pemerintah Indonesia dan Jepang dalam rangka mendorong pertumbuhan rendah karbon, hak dan kewajiban para pihak di dalam pelaksanaan Mekanisme Kredit Bersama, dan penyelesaian sengketa diantara para pihak dalam pelaksanaan Mekanisme Kredit Bersama.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

(36)

24

MASYARAKAT INTERNASIOANAL

Lingkungan hidup merupakan aspek yang sangat penting dan vital bagi kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya. Hal ini dianggap sangat penting karena apa yang terjadi terhadap lingkungan hidup akan sangat mempengaruhi kehidupan mahluk hidup yang tinggal di dalamnya. Termasuk juga dalam hal ini apabila terjadi kerusakan terhadap lingkungan hidup yang ada. Kerusakan lingkungan hidup, baik secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi pola dan tata kehidupan mahluk hidup, termasuk manusia. Memandang pentingnya hal ini, maka sudah sewajarnya lingkungan hidup yang ada harus selalu dijaga dan dilestarikan, sehingga tidak menjadi rusak, dam membawa dampak yang buruk bagi manusia dan mahluk hidup lainnya, baik untuk jangka waktu sekarang maupun di masa yang akan datang.

Pada kenyataan yang terjadi, baik di masa lampau maupun sekarang, masih banyak kerusakan yang terjadi terhadap lingkungan hidup yang dikarenakan kegiatan maupun aktivitas manusia. Hal ini terjadi karena kurangnya kesdaran manusia tentang pentingnya lingkungan hidup begi keberlangsungan hidup di masa sekarang dan di masa depan. Contoh secara nyata dapat kita lihat dari pembuangan limbah secara semarangan, pembalakan hutan secara liar, dan lain sebagainya.

(37)

mencegah perusakan secara lebih lanjut dengan melakukan kerjasama-kerjasama dan kesepakatan-kesepakatan, serta membuat pedoman ataupun ketentuan tentang upaya pelestarian lingkungan hidup, baik dalam skala kecil maupun luas. Kerjasama-kerjasama maupun kesepakatan-kesepakatn yang dibentuk tersebut dalam skala besar dibuat dalam bentuk perjanjanjian internasional antara negara-negara. Hasil dari kerjasama atau kesepaktan ini dapat menghasilkan suatu kesepakatan, pedoman, maupun kesatuan komitmen dalam rangka pelestarian dan pencegahan kerusakan lingkungan. Secara lanjut pengaturan lingkungan hidup dalam skala luas (internasional) ini dijelaskan sebagai berikut.

A. Perkembangan Perjanjian Internasional di Bidang Lingkungan Hidup

Jika melihat sejarah hukum internasional yang ada, posisi perjanjian internasional sebagai sumber dan bagian dari hukum internasional itu sendiri sebenarnya telah ada sejak dahulu kala. Keberadaan perjanjian internasional terutama dalam arti luas, sudah dikenal sejak 3000 tahun Sebelum Masehi (SM). Perjanjian Internasional ini dapat ditemukan dalam Traktat antara Lagash dan Umma yang disetujui sekitar tahun 3100 SM. Traktat ini diabadikan dalam sebuah batu (stele) dan menggunakan bahasa Sumeriah. Traktat yang ditandatangani pada waktu itu masih sangat sederhana dan dipengaruhi oleh tata cara pada zaman itu. Berbagai perjanjian internasional yang selanjutnya semakin banyak muncul, secara umum berkembang dalam berbagai variasi dan jenis yang pada prinsipnya didasarkan pada kehendak dan persetujuan para pihak.14

14

Andreas Pramudianto, Hukum Perjanjian Lingkungan Internaasional (Implementasi Hukum

Perjanjian Internasiona Bidang Lingkungan Hidup di Indonesia), Malang: Setara Press, 2014,

(38)

Apabila dilihat dari segi historisnya, perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup telah hadir dan dikenal di dalam perjanjian internasional yang bersifat umum, seperti perjanjian perbatasan. Dalam perjanjian internasional yang berupa perjanjian perbatasan seperti ini, diatur mengenai batas-batas wilayah suatu negara yang berbatasan dengan negara lainnya, baik di wilayah daratan, perairan, maupun udara. Perjanjian perbatasan yang dilakukan antar negara yang saling berbatasan tersebut, pada hakekatnya tidak hanya mengatur mengenai batasan wilayah negaranya masing-masing, melainkan juga mengatur banyak hal lainnya, seperti pembagian sumber daya atau kekayaan alam yang ada di wilayah perbatasan, ketentuan perlindunga wilayah perbatasan, dan kerjasama antar negara dalam pengembangan dan pengelolaan wilayah perbatasan.

Perjanjian sejenis ini dapat ditemukan dalam perjanjian internasional bilateral dalam berbagai bentuk. Misalnya perjanjian internasional berbentuk konvensi yang ditandatangani tahun 1867 antara Perancis-Inggris yang berhubungan dengan perikanan (Convention Between France and Great Britain relative to Fisheries) yang kemudian disusul dengan beberapa perjanjian

(39)

Kingdomof Great Britain and Northern Ireland and Russia for the Preservation

and Protection of Fur Seals.15

Kemudian sejak tahun 1900, beberapa perjanjian internasional yang penting pada saat itu, yang telah ditandatangani antara lain Convention Between the Riverine States of the Rhine Respecting Regulation Governing the Transport of Corrosive and Poisonous Subtances (1900), Convention Destinee a Assurer la

Conservation des Diverses Especes Animals Vivant a L’Etat Sauvage en Afrique

Qui Sont Utiles a L’Homme ou Inoffensive (1900), Convention for the Protection

of Birds Useful to Agriculture (1902), Treaty Relating to the Boundary Waters and Questions Arising Along the Boundary Between the United States and Canada (1909). Perjanjian Internasional lainnya khususnya terkait kelembagaan

juga telah berkembang pada masa berikutnya diantaranya adalah pembentukan Komite Konsultasi mengenai Perlindungan Alam Internasional melalui Act of Foundation a Consultative Commite for the International Protection of Nature (1913), pembentukan Organisasi Kampanye Melawan Serangga Locusts dengan ditandatanganinya Convention Regarding the Organisation of the Campaign Against Locusts (1920), pembentukan Kantor Internasional melalui International Agreement for the Creation of an International Office for Dealing with

Contagious Diseases of Animals (1924).16

Pada tahapan perkembangan hukum perjanjian internasional selanjutnya, terjadilah peningkatan perburuan ikan paus, yang dapat menyebabkan

15

Ibid, hal.7

16

(40)

berkurangnya populasi ikan paus yang ada di laut, dan bahkan dapatmengakibatkan kepunahan bagi spesies ini. Untuk mencegah hal itu, maka ditandatanganilah Convention for the Regulation of Whaling pada tahun 1911, yang kemudian diperbaharui pada tahun 1937 melalui International Agreement for the Regulation of Whaling dan diperbaharui kembali melalui International Convention for the Regulation of Whaling (1946).

Dalam masa sesudah Perang Dunia ke II perkembangan perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup semakin meningkat seperti ditandatangani FAO Agreement for the Estabilishment of a General Fisheries Council for the Mediteranean (1949), International Convention for the Protection of Birds (1950), FAO International Plant Protection Convention (1951) dimana

Indonesia telah meratifikasi konvensi ini. Selanjutnya menyusul beberapa perjanjian internasional lainnya seperti International Convention for the Prevention of Pollution of the Sea by Oil (1954), Convention for the Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict (1954), FAO Plant Protection Agreement for South East Asia and Pacific Region (1956), Geneva Conventions of

Law of the Sea (1958), Plant Protection Agreement (1959), ILO Convention No. 115 concerning the Protection of Workers Against Ionising Radiation (1960),

(41)

Convention Relating to Intervention on the High Seas in Cases of Oil Pollution

Damage (1969), International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage (1969), Benelux Convention on the Hunting and Protection of Birds

(1970), Ramsar Convention (1971), ILO Benzene Convention (1971), Oil Pollution Fund Convention (1971), OSLO Convention (1972), Biological and Toxic Weapons Convention (1972), dan Antaric Seals Convention (1972).17

Sebagai bentuk upaya kesadaran global dalam memperjuangkan aspek lingkungan disamping aspek ekonomi dan pembangunan, maka pada tahun 1972, di Stockholm, Swedia, diadakanlah suatu konferensi yang membahas tentang masalah lingkungan. Konferensi yang ini diprakarsai oleh negara-negara maju dan diterima oleh Majelis Umum PBB ini kemudian dukenal dengan nama Konferensi Stockholm 1972. Konferensi ini menghasilkan resolusi-resolusi dan dokumen-dokumen penting, beberapa diantaranya adalah Deklarasi Stockholm (Stockholm Declaration on Human Enviroment), Action Plan and 109 Recommendation, dan usulan pembentukan sebuah badan PBB khusus untuk masalah lingkungan dengan nama United Nation Enviromental Programme (UNEP). Selain itu, dalam konferensi ini juga juga berkembang konsep eco developement atau pembangunan berwawasan lingkungan (ekologi).

Dengan lahirnya Deklarasi Stockholm dan dibentuknya UNEP, kerjasama internasional di bidang lingkungan hidup pun semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat dari munculnya perjanjian-perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup setelahnya, seperti Convention for the Protection of the World Cultural and Natural Heritage yang disepakati dan ditandatangani oleh negara-negara anggota

17

(42)

UNESCO. Beberapa perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup yang disepakati selanjutnya adalah London Dumping Convention (1972), Convention International Trade in Endangered Species Wild of Fauna and Floral/CITIES

(1973), Marine Pollution Convention (1973), Polar Bears Agreement (1973), Nordic Enviromental Convention (1974), Paris Land-Based Sources Convention (1974), SOLAS (1974), dan beberapa konvensi lainnya.

UNEP ikut mendukung beberapa perjanjian internasional diatas dan mulai memerankan peranan penting dengan mendorong terbentuknya model kesepakatan internasional yang dikenal sebagai soft law and hard law approaches. Beberapa perjanjian internasional (hard law) yang dibentuk badan ini diantaranya melalui program laut UNEP atau UNEP Regional Seas Programme seperti Barcelona Convention (1976), Aipa Convention (1976), Kuwait Convention (1978), Abidjan Convention (1981), Lima Convention (1981), Jedah Convention (1982), Cartagena Convention (1983). Beberapa perjanjian internasional lainnya yang berada diluar program laut UNEP diantaranya Convention on the Conservation of Migratory Species of Wild Animals (1979), Convention on the

Protection of the Ozone Layer (1985), Montreal Protocol (1987), Convention on the Control of Transboundary Movement of Hazardous Wastes and Their

Disposal (1989). Hingga menjelang diadakannya KTT Bumi 1992, UNEP juga telah mempersiapkan tiga perjanjian internasional diantaranya Konvensi Melawan Penggurunan (Combat Desertification Convention/UNCCD), Konvensi Perubahan Iklim (Climate Change Convention/UNFCCC), dan Konvensi Keanekaragaman Hayati (Biological Diversity Convention/UNCBD).18

18

(43)

Kemudian, dalam rangka mempertegas kerja UNEP sebagai penggerak pelaksana komitmen mengenai lingkungan hidup, maka pada tahun 1983, Majelis Umum PBB membentuk sebuah badan lain di bidang lingkungan hidup, yaitu the World Commission on Enviroment and Development (WCED), dengan tugas merumuskan Agenda Global untuk Perubahan (A global agenda for change). Melalui laporannya “our common future” atau lebih dikenal dengan Laporan

Brundtland (Brundtland Report) yang dirilis tahun 1987, WCED merumuskan arti/defenisi pembangunan berkelanjutan sebagai “pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri" (development which meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own

needs). Melalui laporan ini, WCED juga menegaskan bahwa lingkungan dan pembangunan merupakam dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain: lingkungan adalah tempat di mana kita semua hidup; dan di sisi lain pembangunan adalah sesuatu yang kita lakukan sebagai bagian dari upaya untuk memperbaiki keadaan dan tingkat kehidupan kita di dalam tempat yang kita tinggali tersebut.

Untuk menindaklanjuti rekomendasi-rekomendasi Laporan Komisi Brutland, Majelis Umum PBB memutuskan untuk menyelenggarakan Konferensi di Rio de Jeneiro, Brasil, 1992. Konferensi ini dihadiri oleh 178 utusan negara, 115 Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, 1400 orang perwakilan Lembaga Swadaya Masyarakat. Karena peserta Konferensi Rio mewakili berbagai kepentingan dan negara dunia, maka konferensi itu juga disebut Earth Summit. Konferensi Rio atau Earth Summit menghasilkan kesepakatan berikut:

(44)

b. Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati (the Biodiversity Convention). c. Konvensi tentang Perubahan Iklim (the Climate Change Convention).

d. Agenda 21, sebuah dokumen berjumlah 800 halaman, yang berisi “cetak biru” pembangunan berkelanjutan di abad ke-21.

e. Prinsip-prinsip pengolahan hutan yang tidak mengikat.

f. Pengembangan lebih lanjut instrumen-instrumen hukum dari Konvensi tentang Desertifikasi, Konvensi Pencemaran Laut yang Bersumber dari Daratan.

g. Perjanjian untuk membentuk Komisi tentang Pembangunan Berkelanjutan yang tugasnya memantau pelaksanaan kesepakatan-kesepakatan Rio dan Agenda 21.19

B. Ruang Lingkup Perjanjian Internasional di Bidang Lingkungan Hidup

1. Perjanjian Internasional di Bidang Lingkungan Hidup yang bersifat Multilateral

Perjanjian Internasional yang bersifat Multilateral merupakan suatu perjanjian internasional yang disepakati atau disetujui secara sah oleh para pihak yang terkait di dalamnya, dimana jumlah para pihak yang ikut serta tersebut adalah lebih dari dua subjek hukum internasional. Kaidah hukum yang terkandung di dalam perjanjian multilateral ini dapat bersifat khusus maupun umum. Dikatakan bersifat khusus, karena coraknya yang tertutup, yaitu kaidah hukum yang terdapat dalam perjanjian multilateral hanya mengatur masalah-masalah yang berkaitan dengan kepentingan-kepentingan para pihak yang merupakan

19

(45)

peserta perjanjian multilateral tersebut, Sedangkan perjanjian multilateral yang bersifat umum memiliki corak yang terbuka, yaitu bahwa hal-hal yang diatur dalam perjanjian itu tidak hanya mengatur masalah-masalah terkait kepentingan para peserta perjanjian tersebut, melainkan juga kepentingan pihak ketiga atau pihak lainnya. Perjanjian multilateral yang bersifat terbuka ini membuka kemungkinan bagi pihak ketiga atau pihak lainnya untuk ikut serta manjadi bagian dalam perjanjian ini. Perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup sekarang ini pun semakin berkembang dan untuk perjanjian yang bersifat multilateral sering disebut dengan istilah Multilateral Enviromental Agreement (MEA). MEAs merupakan perjanjian internasional yang hidup (living agreement) dan berkembang sesuai dengan dinamika masyarakat internasional.20 Perjanjian multilateral pertama kali dibentuk untuk manangani masalah perdagangan gading dan perlindungan habitat hewan dan tumbuhan yang dilakukan di benua Afrika, dimana sebagai upaya untuk menangani masalah ini diadakan lah pertemuan negara-negara kolonial di Afrika (Inggris, Perancis, Jerman, Belgia (Kongo)), yang kemudian menghasilkan suatu konvensi, yaitu London Convention, yang ditandatangani pada tanggal 19 Mei 1900. Selanjutnya, perkembangan perjanjian multilateral di bidang lingkungan hidup muncul terkait adanya perburuan mamalia laut (ikan paus), sehingga untuk mencegah hal ini, disepakatilah Convention for the Regulation of Whaling tahun 1911, yang kemudian diperbaharui dengan International Agreement for International Convention for the Regulation of

Whaling pada 2 Desember 1946, yang memuat pembentukan Komisi Ikan Paus Internationa (International Whaling Commision). Pada tahap selanjutnya,

20

(46)

perjanjian multilateral di bidang lingkungan hidup berkembang sesuai dengan kebutuhan global dan kasus-kasus lingkungan hidup yang terjadi. Perkembangan itu dapat dilihat dengan adanya pengaturan global mengenai perkembangan teknologi, tenaga nuklir, limbah pembuangan, perlindungan satwa dan fauna, serta kebutuhan global lainnya. Kasus-kasus lingkungan internasional seperti kasus nuklir Chernobyl, kasus limbah B3 Seveso, dan kasus-kasus lainnya, juga membuat para subjek internasional untuk bersama-sama melakukan perundingan dan membuat perjanjian dalam rangka mencegah dan menanggulangi kasus-kasus serupa. Kemudian, hadirnya Deklarasi Stockholm 1992 dan terbentuknya UNEP, semakin mendorong pembentukan perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup, seperti disetujuinya London Dumping Convention, yang merupakan tahap awal terbentuknya MEA, dan disusul dengan perjanjian-perjanjian lainnya, seperti Convention on International Trade in Endangered Species (CITIES) tahun 1973, International Convention for the Prevention of Pollution by Ships, 1973, MARPOL 1978, Bonn Convention 1979, United Nations on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, Convention on the Protection of the Ozone Layer 1985, Protokol Montreal 1987, hingga Basel Convention tahun 1989. Selanjutnya setelah KTT Bumi 1992, UNEP mendorong terbentuknya beberapa MEA seperti United Nations Framework Convention on Climate Change atau UNFCCC 1992, United Nations Convention in Biological Diversity atau UNCBD 1992, United Nations Convention to Combat Desertification atau UNCCD 1994, dan beberapa

(47)

Convention atau Liability Protocol 1999, dan Biosafety Protocol tahun 2000.

Setelah KTT Johanesburg tahun 2000 hingga Rio plus 20 tahun 2012, tidak banyak MEA yang berhasil disepakati, kecuali di tahun 2013 Minamata Convention on Mercury.21

Perkembangan MEA selanjutnya ditandai dengan sibuknya pertemuan-pertemuan rutin para peserta perjanjian, pertemuan teknis dengan para ahli, dan pertemua badan-badan MEA. Selain itu, adanya keterkaitan antar perjanjian internasional antara satu dengan yang lainnya, menyebabkan dibentuknya suatu badan yang mengkkordinasi beberapa perjanjian internasional di satu bidang yang sama.

2. Perjanjian Internasional di Bidang Lingkungan Hidup yang Bersifat Regional Perjanjian regional merupakan kesepakatan-kesepakatan atau persetujuan-persetujuan yang dilakukan dua negara atau lebih yang berada dalam satu wilayah atau kawasan regional tertentu. Di bidang lingkungan hidup terdapat juga bentuk perjanjian regional yang dibentuk oleh negara-negara suatu kawasan regional tertentu yang membahas masalah-masalah tertentu yang terjadi di wilayah regionalnya. Beberapa masalah-masalah lingkungan hidup yang dijadikan pokok permasalahan di dalam perjanjian regional adalah mengenai pertanian, perikanan, pelestarian flora dan fauna, dampak pemakaian atom/nuklir pada lingkungan, hujan asam, dan berbagai masalah lainnya. Perjanjian-perjanjian regioanal seperti di atas secara lebih lengkap dapat dilihat di dalam tabel berikut:

21

(48)

Contoh Perjanjian Internasional Regional

No Nama Perjanjian Internasional Tahun Regional 1 International Convention for the Protection

Birds

1950 Eropa

2 Convention for Estabilishment of the European and Mediterranean Plant Protection Organization

1951 Eropa

3 Plant Protection Agreement for the South East Asia and the Pacific Region

6 Convention the Protection Animal During International Transport

1968 Eropa

7 Agreement on the Conservation of Polar Bear 1973 Artik 8 Convention on Conservation of Nature in the

South Pacific

1976 Pasifik Selatan 9 Kuwait Regional Convention for Cooperation

on the Protection of the Marine Environment from Pollution

1978 Timur Tengah

10 Convention on the Conservation European Wildlife and Natural Habitat

(49)

11 Convention on the Conservation Management and the Control of Transboundary Movement and Management of Hazardous Wastes Within Africa

1991 Afrika

Sumber:Danusaputro (1982) dan UNEP (2006) dalam Pramudianto (2008)

Pembentukan perjanjian internasional di tingkat regional akan sangat membantu di tingkat global terutama dalam proses penanganan dampak yang muncul dari kegiatan regional. Di sisi lain, diplomasi lingkungan tidak berhenti atau selesai ketika perjanjian internasional itu telah disepakati. Pertemuan-pertemuan berikutnya akan terus dilakukan sepanjang berlakunya perjanjian internasional tersebut melalui perangkat Confrence of Parties (CoP), Meeting of the Parties (MOP), Intersessional Meeting, Subsidary Bodies Meeting, Adhoc Working Group Meeting, dan lain-lain.22

3. Perjanjian Internasional di Bidang Lingkungan Hidup yang Bersifat Bilateral Perjanjian Internasional yang bersifat Bilateral merupakan perjanjian internasional yang dibuat atau dibentuk berdasarkan kesepakatan dua subjek

22

(50)

hukum internasional saja. Kaidah hukum yang terdapat dalam perjanjian bilateral bersifat khusus dan tertutup (Closed Treaty). Perjanjian ini dikatakan bersifat khusus karena isi dan segala ketentuan-ketentuan yang berlaku di dalam perjanjian tersebut hanya berlaku bagi kedua pihak yang bersangkutan saja, sedangkan yang dimaksudkan dengan bersifat tertutup adalah bahwa, perjanjian ini menutup kemungkinan masuknya pihak ketiga atau pihak lainnya untuk ikut serta di dalam perjanjian ini. Perjanjian Bilateral di bidang lingkungan hidup sering juga disebut dengan istilah Bilateral Enviromental Agreement (BEAs). Perjanjian internasional bilateral ini umumnya lahir dari adanya diplomasi bilateral (bilateral diplomacy) antar kedua negara yang saling bersangkutan, karena adanya suatu permasalahan yang berkaitan dengan kepentingan masing-masing negara. Diplomasi bilateral merupakan diplomasi yang dilakukan oleh dua negara dalam hubungan internasional secara tertutup atau rahasia.23 Selain itu, diplomasi bilateral dapat juga diartikan sebagai hubungan antara dua pihak dimana mereka saling bertemu untuk membicarakan suatu hal dengan tujuan melakukan kerjasama, penempatan duta besar, mengadakan perjanjian atau hanya sekedar melakukan kunjungan kenegaraan.24 Dalam diplomasi bilateral ini, hal yang perlu dicatat dan diingat adalah bahwa bilateral diplomasi dapat terjadi apabila ada keinginan satu pihak untuk membahas suatu persoalan tertentu. Di bidang lingkungan hidup, terdapat juga diplomasi-diplomasi bilateral yang dilakukan antar negara yang menghasilkan perjanjian-perjanjian bilateral

23

Evans, Graham dan Jeffrey Newnham. 1997. Dictionary of International Relation. London: Penguin Reference.

24

(51)

mengenai kepentingan lingkungan hidup di wilayah negaranya masing-masing. Beberapa contoh perjanjian bilateral di bidang lingkungan hidup dapat dilihat lebih jelas dalam daftar berikut:

Contoh Perjanjian Internasional Bilateral:

Tahun Nama Perjanjian Para Pihak

1906 Conventin Concerning the Equitable Distribution of the Waters of the Rio Grande for Irrigation

Meksiko

-Amerikan Serikat

1909 Boundary Water Treaty concluded Between Great Britain (atas nama Kanada)

1931 Convention Between Latvia and Lithuania relating to Fishing in the Boundary Waters

Latvia –

Lithuania 1958 Convention Between the United States and

Cuba for the Conservation of Shrimp

Amerika Serikat - Kuba

1962 Convention Between France and Switzerland concerning the Protection of the Waters of Lake Geneva Against Pollution

(52)

1966 Agreement on the Plant Protection and Phytosanitary Quarantine Between The Peoples of Bulgaria and the Untied Arab Republic

Bulgaria - Republik Persatuan Arab

1969 Convention Between the Government of the Republic of Bolivia and the Government of the Republic of Peru Concerning Vicuna Conservation

Bolivia – Peru

1972 Agreemant Between the USA and Japan Concerning an International Observer Scheme for Whaling Operation from Land Stations in the North Pacific Ocean

Amerika Serikat – Jepang

1974 Agreement Between the Government of Australia and the Government of Japan for the Protection of Migratory Birds in Danger of Extiction and their Enviroment

Jepang- Australia

(53)

People’s Republic of China for the

Protection of Migratory Birds and their Enviroment

Dll

Sumber: Danusaputro (1982) dan UNEP (2006) dalam Pramudianto (2008)

Selain perjanjian-perjanjian yang disebutkan di atas, sebenarnya masih terdapat banyak perundingan-perundingan diplomatik di bidang lingkungan hidup yang disepakati melalui perjanjian bilateral antar-negara. Dalam penerapannya, perjanjian bilateral di bidang lingkungan hidup ini telah memperkaya kerjasama yang bersifat kemitraan antar dua negara, sebagaimana yang diamanatkan dalam Konferensi Lingkungan Hidup di Stockholm 1972, KTT Rio 1992, dan KTT Pembangunan Berkelanjutan 2002.

C. Jenis-jenis Perjanjian Internasional di Bidang Lingkungan Hidup

Di dalam penerapan hukum internasional terdapat beberapa jenis perjanjian internasional yang secara sah diakui dan dilakukan para subjek hukum Internasional. Beberapa perjanjian internasional tersebut pun digunakan juga secara umum dalam penerapan hukum internasional di bidang lingkungan hidup, yang diantaranya berupa:

1. Traktat (Treaty)

(54)

digunakan dalam perjanjian multilateral, baik yang bersifat terbuka maupun terbatas. Contoh traktat sebagai perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup adalah sebagai berikut:

- Treaty for Amazonian Cooperation ( Brasil, 3 Juli 1978 )

- South Pacific Nuclear Free Zone ( kota Raratonga, 6 Agustus 1958 ) 2. Piagam (Charter)

Merupakan suatu himpunan peraturan yang ditetapkan berdasarkan persetujuan internasional, baik yang mengatur mengenai kesatuan-kesatuan tertentu maupun ruang lingkup hak, kewajiban, kewenangan, tugas, dan juga tanggung jawab lembaga-lembaga internasional. Nomenkaltur Piagam atau Charter biasanya diberikan kepada perjanjian internasional yang membentuk

suatu organisasi internasional ataupun lembaga tertentu. Sebagai contoh adalah Piagam pembentukan Perserikatan Bangsa-bangsa atau Charter of the United Nations 1945. Akan tetapi hal ini tidak bisa konsisten terutama terkait dengan pembentukan perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup. Piagam atau Charter dapat merupakan soft law yang non legally binding bukan sebagai hard law yang bersifat mengikat secara hukum (legally binding). Sebagai contoh adalah Piagam Dunia untuk Alam atau World

Charter for Nature yang kemudian diperkuat menjadi Resolusi Majelis Umum PBB Nomor A/RES/37/7. Contoh lainnya adalah Piagam Bumi 1992 (Earth Charter 1992) yang disepakati oleh beberapa negara, NGO, dan Organisasi

Internasional pada waktu KTT Bumi 1992 di Rio de Jeneiro, Brasil.25

25

(55)

3. Konvensi (Convention)

Merupakan suatu persetujuan resmi yang bersifat multilateral atau dapat juga diartikan sebagai persetujuan yang diterima oleh organ suatu organisasi internasional. Istilah konvensi ini dalam terminologi khusus digunakan untuk perjanjian-perjanjian multilateral yang beranggotakan banyak negara pihak dan mengatur tentang masalah yang besar dan penting. Konvensi pada umumnya memberikan kesempatan kepada masyarakat internasional untuk berpartisipasi secara luas. Konvensi biasanya bersifat law-making artinya merumuskan kaidah-kaidah hukum masyarakat internasional. Perangkat internasional yang dirundingkan atas prakarsa/naungan organisasi internasional umumnya juga menggunakan istilah konvensi.26 Konvensi banyak digunakan dalam perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup. Bentuk perjanjian ini semakin sering digunakan karena mulai diperkenalkannya suatu metode atau model yang disebut “

Convention-Protocol Approach”, yang mana banyak dipakai dalam perjanjian-perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup. Salah satu contoh konvensi adalah Vienna Convention for the Protection of the Ozone Layer yang ditandatangani di kota Wina, 22 Maret 1985, yang selanjutnya memberlakukan protokolnya, yaitu Monteral Protokol 1987.

4. Protokol (Protocol)

Merupakan persetujan internasional yang isinya melengkapi (suplemen) suatu konvensi dan pada umumnya dibuat oleh Kepala Negara. Permasalahan atau hal yang diatur di dalam suatu protokol hanyalah permasalahan atau

26

Referensi

Dokumen terkait