• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab II Pengaturan Hukum Terhadap Lingkungan Hidup Dalam Masyarakat

D. Tahapan-Tahapan di Dalam Pembentukan Perjanjian

Di dalam membuat suatu perjanjian internasional, biasanya diperlukan prosedur-prosedur atau tahapan-tahapan tertentu yang berlaku secara sah dan diakui di dalam hubungan internasional. Secara umum, tahapan-tahapan dalam pembentukan suatu perjanjian internasional diatur di dalam Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional. Berdasarkan konvensi ini, pembuatan perjanjian internasional, baik yang berbentuk bilateral maupun multilateral, dilakukan melaului tahapan-tahapan sebagai berikut:

a. Perundingan (negotiation) b. Penandatanganan (signature) c. Pengesahan (ratification)

Tahapan-tahapan ini dilakukan oleh para pihak secara berurutan, yang dimulai dari tahapan perundingan isi perjanjian oleh negara-negara yang bersangkutan, penandatangan dokumen-dokumen perjanjian, seperti MOU, Agreement, maupun

Treaty, yang mengikat para pihak di dalam perjanjian, hingga pada tahapan pengesahan atau ratifikasi perjanjian, yang melibatkan dewan perwakilan atau parlemen. Untuk lebih memahami tahapan-tahapan di atas, secara lebih rinci dijelaskan tahapannya sebagai berikut:

a. Perundingan (Negotiation)

Perundingan dilakukan oleh wakil-wakil negara yang diutus oleh negara-negara peserta berdasarkan mandat tertentu. Wakil-wakil negara-negara melakukan perundingan terhadap masalah yang harus diselesaikan. Perundingan dilakukan oleh kepala negara, menteri luar negeri, atau duta besar. Perundingan juga dapat diwakili oleh pejabat dengan membawa Surat Kuasa Penuh (full power). Apabila perundingan mencapai kesepakatan maka perundingan tersebut meningkat pada tahap penandatanganan.

b. Penandatanganan (Signature)

Penandatanganan perjanjian internasional yang telah disepakati oleh kedua negara biasanya ditandatangani oleh kepala negara, kepala pemerintahan, atau menteri luar negeri. Setelah perjanjian ditandatangani maka perjanjian

memasuki tahap ratifikasi atau pengesahan oleh parlemen atau dewan perwakilan rakyat di negara-negara yang menandatangani perjanjian. c. Pengesahan (Ratification)

Ratifikasi dilakukan oleh DPR dan pemerintah. Pemerintah perlu mengajak DPR untuk mensahkan perjanjian karena DPR merupakan perwakilan rakyat dan berhak untuk mengetahui isi dan kepentingan yang diemban dalam perjanjian tersebut. Pasal 11 UUD 1945 menyatakan bahwa masalah perjanjian internasional harus mendapatkan persetujuan dari DPR. Apabila

perjanjian telah disahkan atau diratifikasi dengan persetujuan DPR maka perjanjian tersebut harus dipatuhi dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.29

Di Indonesia sendiri, ketentuan mengenai perjanjian internasional diatur di dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Dalam undang-undang ini dijelaskan juga mengenai tahapan-tahapan yang dilalui di dalam membuat suatu perjanjian internasional. yaitu melalui tahap penjajakan, perundingan, perumusan naskah, penerimaan, dan penandatanganan.30

Tahapan-tahapan pembentukan perjanjian internasional ini haruslah dilakukan secara berurutan, sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku. Untuk lebih jelasnya, tahapan-tahapan pembentukan perjanjian internasional di atas diterangkan sebagai berikut:

1. Penjajakan

Merupakan tahap awal yang dilakukan oleh para pihak dengan cara melakukan perundingan mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional.

2. Perundingan

Merupakan tahap kedua dalam pembentuakan perjanjian internasional. Dalam tahap ini akan dibahas mengenai substansi dan masalah-masalah teknis yang akan disepakati dalam perjanjian internasional

29

Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, PengantarHukum Internasional, Jakarta: PT.Alumni, 2003, hal.?

30

3. Perumusan Naskah

Merupakan tahapan dalam pembuatan perjanjian internasional yang bertujuan untuk merumuskan rancangan suatu perjanjian internasional yang akan ditandatangani para pihak terkait. Dalam tahapan ini, dilakukan perancangan dan penyusunan naskah yang berisi ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam perjanjian internasional.

4. Penerimaan

Merupakan tahap menerima naskah perjanjian yang telah dirumuskan dan disepakati oleh para pihak. Dalam perundingan bilateral, kesepakatan atas naskah awal hasil perundingan dapat disebut “Penerimaan” yang umumnya dilakukan dengan mencantumkan inisial atau paraf pada naskah perjanjian internasional oleh ketua atau perwakilan dari delegasi masing-masing negara. Dalam perundingan multilateral, proses penerimaan (acceptance/approval) biasanya merupakan tindakan pengesahan suatu negara pihak atas perubahan perjanjian internasional.

5. Penandatanganan

Merupakan tahapan akhir dalam perundingan bilateral. Penandatanganan dilakukan dengan tujuan melegalisasi suatu naskah perjanjian internasional yang telah disepakati oleh kedua pihak. Sedangkan, dalam perjanjian multilateral, penandatanganan perjanjian internasional bukan merupakan suatu bentuk pengikatan diri sebagai negara pihak. Keterikatan terhadap perjanjian internasional dalam perjanjian multilateral dapat dilakukan melalui proses pengesahan.

Dalam ketentuan Hukum Perjanjian Internasional di Indonesia, proses mengikatkan diri ke dalam suatu perjanjian internasional dilakukan melaui beberapa cara, yaitu penandatanganan, pengesahan, pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik, dan cara-cara lainnya sebagaimana disepakati para pihak dalam perjanjian internasional.31

Negara dapat dikatakan terikat pada suatu perjanjian internasional, apabila negara tersebut telah melakukan proses pengesahan terhadap perjanjian internasional yang dibentuk atau disetujuinya, baik dalam bentuk ratifikasi (ratification), aksesi (accession), penerimaan (acceptance), maupun penyetujuan (approval). Pengesahan merupakan suatu perbuatan hukum yang bertujuan untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional tertentu, yang dapat berbentuk:

a) Ratifikasi (ratification)

Ratifikasi (ratification) dilakukan apabila negara yang akan mengesahkan suatu suatu perjanjian internasional turut menandatangani naskah perjanjian. b) Aksesi (accession)

Aksesi (accesion) apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional tidak turut menandatangani naskah perjanjian.

c) Penerimaan (acceptance) dan Penyetujuan (approval)

Penerimaan (acceptance) dan penyetujuan (approval) adalah pernyataan menerima atau menyetujui dari negara-negara pihak pada suatu perjanjian internasional atas perubahan perjanjian internasional tersebut.

31

Pembentukan perjanjian internasional di atas, berlaku sebagai acuan atau patokan bagi pembentukan hukum internasional secara global dan yang berlaku di Indonesia (pengaturan hukum nasionalnya). Disamping ketentuan-ketentuan mengenai tahapan pembentukan perjanjian internasional di atas, terdapat juga ketentuan lainnya yang bersifat lebih khusus dalam pengaturan pembentukan perjanjian internasional, yaitu pengaturan pembentukan perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup, yang diatur secara lebih rinci di dalam ketentuan UNEP. Berdasarkan ketentuan UNEP ini, terdapat beberapa tahapan di dalam proses perundingan perjanjian internasional, yaitu tahap pre-negosiasi, negosiasi, adopsi, dan penandatanganan naskah, ratifikasi atau aksesi, dan berlakunya perjanjian internasional. Tahapantahapan perundingan di atas, akan dijelaskan secara lebih rinci sebagai berikut:

1. Sebelum Perundingan dimulai (Pre-negotiation)

Dalam tahapan pre-negotiation ini diperlukan beberapa hal yang harus disiapkan, diantaranya adalah:

a. Mempersiapkan isu-isu lingkungan hidup yang akan dibahas terutama yang berhubungan dengan kegiatan lintas batas negara.

b. Melakukan kegiatan konsultasi formal maupun informal di tingkat nasional, regional, maupun internasional.

c. Menunjuk pejabat tertentu atau pengambil keputusan yang sesuai dengan kompetensinya.32

d. Melakukan analisis data-data ilmiah yang menunjang dalam persoalan lingkungan hidup yang akan dibicarakan.

32

e. Manilai keberadaan aturan-aturan hukum baik yang berlaku nasional maupun internasional.

2. Perundingan (Negotiation)

Dalam tahapan ini paling tidak ada beberapa hal yang harus dipersiapkan diantaranya:

a. Menghadiri pertemuan mengenai pembentukan struktur organisasi untuk negosiasi menjadi anggotanya.

b. Struktur-struktur yang dibentuk biasanya adalah International Negotiating Committee (INC), Preparatory Committee (PrepCom), sekretariat negosiasi dan badan-badan pelengkap lainnya yang dibentuk sesuai kebutuhan misalnya berbentuk biro (bureau), seperti atau kelompok kerja (working group), seperti group on the technical and legal expert.

c. Mengikuti atau menjadi anggota panitia persiapan (preparatory committee) agar dapat terlibat aktif.

d. Mengetahui proses negosiasi baik yang informal maupun yang formal dengan mengetahui berbagai informasi lainnya seperti jadwal pertemuan, topik bahasan, dll.

e. Mengetahui posisi yang diinginkan dengan kertas posisi (position paper) atau kertas kerja (working paper) yang jelas dan posisi negara lain, baik yang netral, menentang, maupun yang mendukung.

f. Membentuk kerjasama dengan negara lain sesuai keinginan, baik dalam bentuk formal maupun informal.

g. Ikut serta dalam berbagai perundingan dan memberikan masukan, baik di tingkat ad hoc meeting maupun permanent meeting.33

3. Adopsi dan penandatanganan (Adoption and signature)

Dalam tahapan mengadopsi suatu dokumen maupun menandatangani, maka diperlukan beberapa hal, diantaranya:

a. Mengetahui dan memahami isi dari hasil-hasil yang disepakati dalam negosiasi.

b. Mempersiapkan hasil dan laporan (report) yang akan disampaikan pada waktu adopsi dan penandatanganan.

c. Mengetahui bentuk pertemuan untuk adopsi dan penandatanganan, apakah berbentuk konperensi diplomatik (diplomatic conference) (pejabat yang ditunjuk) atau conference of plenipotentiaries (duta besar) serta kewenangan penandatanganan suatu dokumen internasional.

d. Mengetahui aturan prosedural (rule of procedure) dari adopsi dan penandatanganan.

e. Mengetahui apakah proses adopsi dan penandatanganan dilakukan beberapa jam setelah proses negosiasi atau ada waktu jeda yang cukup (beberapa hari atau bulan).34

4. Ratifikasi atau aksesi (Ratification or Accesion)

Setelah proses adopsi dan penandatanganan naskah teks dokumen atau perjanjian internasional, maka sesuai dengan ketentuan yang disepakati dalam

33

Ibid, hal. 30-31

34

perjanjian internasional diperlukan proses berikutnya. Untuk itu ada beberapa hal yang harus dipersiapkan:

a. Naskah perjanjian internasional tersebut dibawa ke negara masing-masing. b. Kemudian naskah tersebut diarsipkan dan disiapkan untuk proses

ratifikasi.

c. Melakukan sosialisasi dan desiminasi naskah perjanjian internasional kepada seluruh stakeholders di tingkat daerah maupun nasional.

d. Mengadakan persiapan ratifikasi dengan membentuk tim antar instansi dan antar stakeholders.

e. Melakukan pertemuan untuk persiapan ratifikasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional.

f. Melakukan pertemuan formal dan informal antara eksekutif dan legislatif. g. Melakukan proses ratifikasi dengan melibatkan semua pihak yang

berkepentingan.

h. Hasil ratifikasi kemudian diundangkan melalui prosedur peraturan perundang-undangan nasional, yang kemudian menjadi bagian dari undang-undang nasional.

i. Naskah/Dokumen ratifikasi lalu dilaporkan dan dikirim sesuai prosedur dalam perjanjian internasional itu, untuk disimpan atau didepositkan.35

5. Berlakunya perjanjian internasional (enter into force)

Pada tahapan ini, perjanjian internasional akan berlaku setelah memenuhi persyaratan tertentu yang diatur dalam perjanjian internasional tersebut. Hal-hal yang dperhatikan adalah:

35

a. Persyaratan berlakunya perjanjian internasional, apakah langsung berlaku atau ada tenggang waktu.

b. Perlu mengetahui strategi berlakunya perjanjian internasional, apakah berdasarkan jumlah negara yang meratifikasi atau ada ketentuan lainnya seperti jumlah negara berdasarkan emisi atau berdasarkan kuota tertentu atau ada hal-hal teknis lainnya.

c. Berlakunya perjanjian internasional akan mempengaruhi persiapan berikutnya seperti hal-hal yang harus dilaksanakan, pertemuan-pertemuan para pihak, dll.

d. Berlakunya perjanjian internasional berarti harus mempersiapkan keterlibatan-keterlibatan untuk mengimplementasikan di tingkat nasional.36

36

57

MENGURANGI PEMANASAN GLOBAL

A. Pengertian dan Ruang Lingkup Perdagangan Karbon

Pada awalnya konsep perdagangan karbon ini lahir secara resmi dalam Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC), yang merupakan hasil Konferensi di Rio de Jeneiro, Brasil, 1992. Dalam konvensi ini dimuat kesediaan negara-negara di dunia untuk ikut serta dalam mengurangi jumlah atau kuota emisi gas rumah kaca yang dihasilkan. Sebagai tindak lanjut dari konvensi ini selanjutnya dibuatlah Protokol Kyoto 1997 yang mengatur pelaksanaan Konvensi Perubahan Iklim. Selanjutnya di dalam Protokol Kyoto 1997 diatur tiga (3) mekanisme dalam rangka mengurangi jumlah atau kuota emisi gas rumah kaca, yaitu Implementasi Bersama (Joint Implementation), Mekanisme pembangunan bersih (Clean Development Mechanism), dan Perdagangan Karbon (Carbon Trading). Berdasarkan Mekanisme Kyoto inilah munculnya perdagangan karbon secara resmi.

Memandang pengertian dan ruang lingkup perdagangan karbon yang ada, Penulis membagi pengertian ini menjadi dua (2) bagian, yaitu secara sempit dan luas. Secara sempit, Perdagangan Karbon dapat diartikan sebagai mekanisme berbasis pasar yang bertujuan untuk membantu membatasi peningkatan CO2 di atmosfer. Pasar perdagangan karbon terdiri dari para penjual dan pembeli yang mempunyai posisi sejajar dalam peraturan perdagangan yang sudah distandarisasi. Pembeli adalah pemilik industri yang menghasilkan CO2 ke atmosfer dan

memiliki ketertarikan atau diwajibkan oleh hukum untuk menyeimbangkan emisi yang mereka keluarkan melalui mekanisme karbon, sedangkan penjual adalah pemilik yang mengelola hutan atau lahan pertanian bisa melakukan penjualan karbonnya berdasarkan akumulasi karbon yang terkandung dalam pepohonan di hutan mereka. Atau bisa juga pengelola industri yang mengurangi emisi karbon mereka dengan menjualnya kepada emitor. Selanjutnya, bila melihat lingkup yang lebih luas mekanisme perdagangan karbon ini dapat dapat pula dianggap sebagai mekanisme pendanaan yang di berikan oleh negara-negara maju kepada negara yang melestarikan hutannya atau negara yang memberikan jasa lingkungan dengan menjaga hutannya melalui sebuah mekanisme yang telah di atur. Dalam kesepakatan Protokol Kyoto yang dimaksud dengan negara-negara pembeli karbon adalah negara-negara yang masuk kedalam Annex 1 atau negara maju yang memiliki industri besar yang menghasilkan emisi dalam skala besar, sementara hutannya telah habis. Sedangkan yang dimaksud penjual karbon adalah negara-negara yang masih memiliki tutupan hutan atau negara ketiga yang berkomitmen untuk mempertahankan tutupan hutannya dari ancaman konversi. Saat ini mekanisme yang digunakan adalah mekanisme CDM (Clean Development Mecanism) atau Mekanisme Pembangunan Bersih yang merupakan product dari kesepakatan Kyoto tahun 1997. Tidak hanya menggunakan produk Protokol Kyoto 1977, sesuai dengan perkembangan zaman, maka mulai bermunculanlah mekanisme-mekanisme perdagangan karbon lainnya diluar Mekanisme Kyoto atau mekanisme Non-Kyoto, yang diantaranya adalah; Bio-Carbon Fund, Community Development Bio-Carbon Fund, Special Climate Change Fund, Adaptation Fund, Prototype Carbon Fund, CERUPT, GEF, Private Carbon

Fund. Secara prinsip program-program tersebut digunakan untuk mencegah deforestrasi lahan yang menyebabkan lepasnya carbon di atmosfer. Untuk mekanisme non-kyoto atau dikenal dengan pasar sukarela karbon baru dapat diakses pasca berakhirnya kesepakatan Protokol Kyoto atau setelah tahun 2012, sehingga dapat disimpulkan bahwa, masuknya berbagai dana karbon non-kyoto kepada negara ketiga atau negara berkembang, termasuk Indonesia merupakan sebatas isu dan wacana. Sedangkan mekanisme CDM hanya dapat diakses oleh korporasi atau industri yang bersedia menurunkan emisinya.37 Penafsiran lainnya mengenai perdagangan karbon dapat kita lihat dalam ketentuan nasional, seperti Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2008 tentang Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI). Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2008 tentang Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), Perdagangan Karbon diartikan sebagai kegiatan jual beli sertifikat pengurangan emisi karbon dari kegiatan mitigasi perubahan iklim.38

B. Hal-Hal yang Melatarbelakangi Perdagangan Karbon

Diciptakan dan dilaksanakannnya mekanisme perdagangan karbon sebenarnya memiliki kaitan yang sangat erat dengan terjadinya pemanasan global atau Global Warming saat ini. Hal ini disebabkan karena Pemanasan Global (Global Warming) inilah yang melatarbelakangi adanya mekanisme perdagangan karbon atau dengan kata lain mekanisme perdagangan karbon yang dilakukan oleh negara-negara pada masa sekarang ini merupakan bagian dari serangkaian cara

37

Artikel Perdagangan Karbon di Aceh, dipostkan oleh Dewa Gumay pada 07/20/2008, diakses dari https://dewagumay.wordpress.com/2008/07/20/perdagangan-karbon-di-hutan-aceh/

38

Pasal 1 butir ke-6 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2008 tentang Dewan Nasional Perubahan Iklim

dalam mencegah dan menanggulangi dampak atau akibat dari pemanasan global (Global Warming) yang terjadi melalui pemotongan jumlah atau kuota gas rumah kaca yang tersebar di atmosfer.

Salah satu dampak yang paling nyata dirasakan dari adanya Pemanasan Global adalah perubahan iklim. Perubahan iklim yang terjadi mempengaruhi kondisi dan keadaan lingkungan secara global, yang secara tidak langsung mempengaruhi kehidupan mahluk hidup yang tinggal di dunia ini. Para ilmuwan berpendapat perubahan iklim terjadi karena terjadi kenaikan suhu atmosfer bumi, atau yang biasa disebut pemanasan global (Global Warming). Pemanasan global menyebabkan keseimbangan sistem iklim terganggu dan mengubah iklim bumi kita. Ribuan penelitian telah hampir dapat memastikan bahwa pemanasan global ini diakibatkan oleh meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer bumi. Gas rumah kaca adalah jenis-jenis gas yang dapat memerangkap radiasi matahari yang sebagian seharusnya dipantulkan lagi oleh bumi. Semakin tinggi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, semakin tinggi pula radiasi energi matahari diperangkapnya, sehingga mengakibatkan peningkatan suhu atmosfer. Inilah fenomena yang dikenal dengan istilah efek rumah kaca (greenhouse effect).39

Terjadinya fenomena efek rumah kaca yang berdampak pada timbulnya pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim di bumi ini sebenarnya sangat dipengaruhi oleh aktivitas kehidupan manusia. Banyak aktivitas yang dilakukan manusia sejak berkembangnya perindustrian yang menghasilkan gas rumah kaca, sehingga volume gas rumah kaca yang dihasilkan dari aktivitas atau kegiatan manusia tersebut melebihi volume atau kadar gas rumah kaca yang

39

seharusnya dapat diterima dan dipantulkan kembali oleh bumi secara normal. Hal ini menyebabkan sebagian gas rumah kaca tersebut terperangkap dalam atmosfer bumi dan mengakibatkan peningkatan suhu rata-rata di bumi. Hal inilah yang mengakibatkan suhu di bumi semakin panas dan terjadinya perubahan iklim di bumi, yang mana perubahan iklim ini membawa dampak yang buruk bagi kehidupan mahluk hidup di bumi.

Berbagai bentuk kegiatan atau aktivitas manusia yang dapat menyebabkan peningkatan kadar atau volume gas rumah kaca di bumi terdapat di berbagai sektor kehidupan. Hal ini dapat kita lihat secara nyata, seperti pada sektor perindustrian, dimana pada sektor ini, banyak kegiatan industri yang menghasilkan gas buangan ke udara, yang berupa gas rumah kaca. Selain itu, masih ada beberapa pengusaha yang tidak mengikuti aturan dan tidak menggunakan teknologi penyaring gas buangan tersebut sebagaimana mestinya, sehingga gas hasil buangan ke udara menjadi polusi udara yang dapat merusak atmosfer dan menimbulkan kenaikan volume gas rumah kaca. Di sisi lan, seperti pada sektor transportasi, banyak pemakaian transportasi yang kurang atau tidak efisien di tengah-tengah masyarakat, sehingga menyebabkan meningkatnya gas rumah kaca dari buangan asap kendaraan bermotor. Contoh lainnya dapat dilihat pada sektor energi, dimana masih banyaknya pembangkit energi yang masih menggunakan bahan bakar fosil, dimana proses pembakaran fosil ini menimbulkan emisi gas rumah kaca. Selain itu, pola tingkah kehidupan masyarakat sehari-hari yang kurang efisien dalam memakai dan mengelola energi serta kurangnya rasa tanggung jawab dan kesadaran dalam merawat alam lingkungan sekitar, merupakan salah satu penyebab tidak langsung dari

meningkatnya emisi gas rumah kaca. Pola tingkah ini, dapat dilihat dengan masih banyaknya manusia yang tidak menggunakan energi secara efisien atau cenderung menggunakan energi yang ada secara boros, seperti penggunaan energy listrik dan air. Di lain pihak, masih adanya perilaku manusia yang melakukan penebangan liar di hutan-hutan, padahal hutan berfungsi sebagai paru-paru bumi, dimana tanaman-tanaman dan pohon-pohon yang yang ada di dalamnya dapat membantu menyerap emisi gas rumah kaca di bumi.

Pemerintah suatu negara juga memiliki andil dalam menyebabkan perubahan iklim yang melatarbelakangi munculnya mekanisme perdagangan karbon ini. Pengeloalan negara oleh pemerintah yang mengedepankan aspek pembangunan demi peningkatan ekonomi negara, dengan mengesampingkan aspek lingkungan memiliki dampak yang luas dan besar terhadap rusaknya lingkungan, termasuk dampaknya bagi munculnya fenomena gas rumah kaca. Contoh kebijakan-kebijakan pemerintah, seperti tata kelola dan tata letak wilayah yang tidak sesuai peruntukkannya, kurangnya lahan hijau, pengelolaan dan konservasi hutan yang kurang baik dan bijak menjadi penyebab tidak langsung naiknya emisi gas rumah kaca. Selanjutanya, masih kurangnya instrumen hukum dalam mengatur tentang emisi gas rumah kaca maupun pengawasan pelaksanaan instrumen hukum yang telah ada menyebabkan kurangnya kinerja hukum dalam menangani masalah gas rumah kaca yang berdampak perubahan iklim ini.

C. Pengaturan Hukum Internasional tentang Perdagangan Karbon

Kehadiran konsep pembangunan rendah karbon mulai ada sebagai salah satu sarana dalam mengahadapi perubahan iklim yang terjadi akibat dampak efek

gas rumah kaca telah ada sejak dikeluarkannya konsep ini dalam Konvensi Perubahan Iklim atau United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), yang merupakan salah satu ketentuan hukum yang terbentuk dalam KTT Bumi 1992. Ketentuan ini kemudian ditindaklanjuti dengan dibentuknya Conference of the Parties (CoP), yaitu suatu konferensi yang terdiri dari para pihak yang ikut menandatangani Konvensi Perubahan Iklim sebelumnya. Selanjutnya, konferensi ini menyepakati suatu protokol, yang merupakan sebagai tindak lanjut dari ketentuan Konvensi Perubahan Iklim, pada tanggal 11 Desember 1997 di Kyoto. Protokol ini kemudian dikenal dengan nama Protokol Kyoto. Kedua ketentuan inilah yang mengawali munculnya mekanisme perdagangan karbon dan instrumen pelaksanaannya di berbagai negara.

Dalam membahas pengaturan perdagangan karbon secara lebih terperinci, pertama-tama kita harus mengetahui apa yang menjadi objek perdagangan di dalam mekanisme perdagangan karbon yang ada pada saat ini. Objek yang diperdagangkan pada mekanisme perdagangan karbon saat ini dapat ditinjau dari segi jenis komoditinya dan sistem yang menciptakannya. Berdasarkan kedua titik tinjauan tersebut, terdapat dua komoditi yang diperdagangkan di dalam pasar karbon, yang pertama adalah apa yang disebut allowance, dan yang kedua adalah offset. Allowance terbentuk oleh sistem cap-and-trade. Sedangkan offset terbentuk oleh sistem baseline-and-credit (sering disebut project-based-system).

1. Perdagangan “emisi yang tidak dipergunakan” (allowance trading)

Negara-negara yang ditarget penurunan emisi (annex I country) mempunyai kewajiban untuk menurunkan emisinya pada periode komitmen I (2008-2012) sebesar 5% di bawah tingkat emisi pada tahun 1990. Emisi total

suatu negara dibatasi (Capped), dari emisi yang dibatasi inilah nanti akan muncul allowances (kelebihan emisi yang tidak dipakai). Allowances inilah yang boleh dijual kepada pihak lain yang tidak dapat menurunkan emisi sesuai targetnya. Misalnya suatu negara A dibatasi emisinya sebesar 1 juta ton CO2. Target emisi ini kemudian dibagi ke perusahaan-perusahaan yang ada di negara tersebut. misalnya perusahaan A mendapat target emisi 100.000 ton, padahal sebelumnya mereka mengemisi 110.000 ton CO2. Perusahaan tersebut harus melakukan penurunan emisi sebesar 10.000 ton. Perusahaan A mampu menurunkan emisinya sampai 20.000 ton, sehingga Perusahaan A memiliki “kelebihan emisi” 10.000

Dokumen terkait