• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS URGENSI PIDANA MATI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS URGENSI PIDANA MATI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS URGENSI PIDANA MATI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI

Oleh

RIDHO ABDILLAH HUSIN

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

ANALISIS URGENSI PIDANA MATI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI

Oleh

RIDHO ABDILLAH HUSIN

Korupsi pada saat ini sudah semakin berkembang baik dilihat dari jenis, pelaku maupun dari modus operandinya. Masalah korupsi bukan hanya menjadi masalah nasional tetapi sudah menjadi internasional, bahkan dalam bentuk dan ruang lingkup seperti sekarang ini, korupsi dapat menjatuhkan sebuah rezim, dan bahkan juga dapat menyengsarakan dan menghancurkan suatu Negara.mengingat telah adanya Undang-Undang tindak pidana korupsi no 20 tahun 2001 yang berbunyi”dalam hal sebagaimana dimaksud pasal 1 dilakukan dalam keadaan tertentu hukuman mati dapat dijatuhkan” Permasalahan dalam penelitian ini adalah mengapa hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi belum pernah diterapkan sampai saat ini dan apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam memberikan atau tidak memberikan hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi.

(3)

yang menjadi dasar Pertimbangan hakim dalam memberikan atau tidak memberikan hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Dalam memberikan hukuman bagi tindak pidana korupsi hakim tentunya memiliki dasar-dasar yang dijadikan pedoman yakni Undang-undang yang bersinergi dalam mendukung pemberantasan korupsi. Secara asumtif, kebebasan hakim dalam menjatuhkan putusan dalam proses peradilan pidana terdapat dalam Pasal 3 Ayat (1), (2) Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Asas Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman. Selain sudah terpenuhinya seluruh unsur tindak pidana tersebut yang merupakan salah satu dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana yaitu mengenai adanya alat bukti yang sah, bedasarkan teori kepastian hukum, teori kemanfaatan, teori keadilan dan hakim juga mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan terdakwa yaitu perbuatan Perbuatan terdakwa menyebabkan ruginya negara. Hal-hal yang meringankan terdakwa yaitu terdakwa bersikap sopan dalam persidangan dan mengakui perbuatannya secara terus terang dan menyesali atas perbuatannya.

Bedasarkan hasil pembahasan yang penulis kemukakan, maka saran-saran yang dapat dikemukakan sebagai alternatif pemecahan masalah dimasa yang akan datang sebgai berikut : 1. Mengingat undang-undang yang tidak bersinergi dengan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi pemerintah dalam hal ini harus lebih membuat Undang-Undang yang dapat menyatukan instansi demi terciptanya hukuman terhadap pelaku yang menjadi pelapor (wistle blower) dalam kasus korupsi terorganisir (organized corruption) agar tidak rumit dan sulit pengusutannya. 2 Penjatuhan pidana mati juga dapat dijadikan sebagai upaya preventif untuk mencegah berkembangnya Praktek korupsi dan Undang-Undang telah sebagaimana ditetapkan telah dijalankan, tetapi penjatuhan pidana mati harus sangat selektif dan disertai pertimbanganpertimbangan yang sangat ketat karena dengan penjatuhan pidana yang sangat ketat maka ancaman pidana mati akan efektif untuk pencegahan.

(4)
(5)
(6)

DAFTAR ISI

Hal I. PENDAHULUAN

A. Latarbelakang Masalah ...……… 1

B. PermasalahandanRuangLingkup………... 8

C. TujuandanKegunaanpenelitian……….. 9

D. KerangkaTeoritisdanKonseptual………... 10

E. SistematikaPenulisan……… 12

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Korupsi ...……… 14

B. Teori Dasar Pertimbangan Hakim …...………... 21

C. Urgensi Pidana Mati terhadap Pelaku TindakPidanaKorupsi ………….. 22

D. Teori Pemidanaan ... 26

E. Tujuan Pemidanaan ... 29

III. METODE PENELITIAN A.Pendekatan Masalah……….. 33

B.SumberdanJenis Data……….. 33

C.PenentuanPopulasidanSampel……… 35

D.Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data………. 35

E. Analisis Data………. 37

(7)

B. Penerapan hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi belum pernah diterapkan sampai saat ini di Indonesia……… 40 C. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan hukuman mati terhadap pelaku

tindak pidana korupsi……… 48

V. PENUTUP

(8)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Korupsi dewasa ini sudah semakin berkembang baik dilihat dari jenis, pelaku maupun dari modus operandinya. Masalah korupsi bukan hanya menjadi masalah nasional tetapi sudah menjadi internasional, bahkan dalam bentuk dan ruang lingkup seperti sekarang ini, korupsi dapat menjatuhkan sebuah rezim, dan bahkan juga dapat menyengsarakan dan menghancurkan suatu negara.

(9)

seperti Indonesia, apabila tidak dihentikan, korupsi dapat menggerogoti dukungan terhadap demokrasi dan sebuah ekonomi pasar.1

Korupsi merupakan masalah yang mengganggu, dan menghambat pembangunan nasional karena korupsi telah mengakibatkan terjadinya kebocoran keuangan negara yang justru sangat memerlukan dana yang besar di masa terjadinya krisis ekonomi dan moneter. Terpuruknya perekonomian Indonesia yang terus menerus pada saat ini mempengaruhi sendi-sendi kehidupan di dalam masyarakat, berbangsa dan bernegara. Korupsi pada saat ini maupun untuk masa yang akan datang merupakan ancaman serius yang dapat membahayakan perkembangan kehidupan bangsa-bangsa pada umumnya, dan khususnya Bangsa Indonesia sehingga kejahatan korupsi selayaknya dikategorikan sebagai kejahatan yang membahayakan kesejahteraan bangsa dan negara.

Upaya pemberantasan tindak pidana korupsi telah mulai direalisasikan dalam kerangka yuridis pada masa pemerintahan Habibie dengan keluarnya Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menggantikan UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Alasan pergantian UndangUndang Korupsi dari UU No. 3 Tahun 1971 menjadi UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat dilihat dalam diktum UU No. 31 Tahun 1999 sebagai berikut:

1

(10)

Bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan dalam masyarakat, karena itu perlu diganti dengan UndangUndang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang baru sehingga diharapkan lebih efektif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi.2

UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga telah diubah menjadi Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Era reformasi dewasa ini, upaya pencegahan dan penanggulangan tindak pidana korupsi beserta penjatuhan pidana bagi pelakunya mengalami perkembangan dengan makin mencuatnya wacana penjatuhan pidana mati bagi koruptor. Banyak pro dan kontra tentang pemberlakuan pidana mati untuk kasus korupsi ini. Pro dan kontra pidana mati ini memberikan pendapat yang berbeda-beda. Ada pembela pidana mati itu perlu untuk menjerakan dan menakutkan penjahat, dan relatif tidak menimbulkansakit jika dilaksanakan dengan tepat. Yang menentang pidana mati antara lain mengatakan bahwa pidana mati dapat menyebabkan ketidakadilan, tidak efektif sebagai penjera, karena sering kejahatan dilakukan karena panas hati dan emosi yang di luar jangkauan dan kontrol manusia.

Indonesia, penerapan pidana mati sendiri sebenarnya sudah diatur dalam undang-undang. Pasal 2 Ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001 jo. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan :

Pasal 2 Ayat (1) sebagai berikut: 2

(11)

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”

Pasal 2 Ayat (2) sebagai berikut :

"Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 (satu) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan". Romli Atmasasmita berpendapat bahwa penjatuhan pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi efektif diterapkan di Republik Rakyat Cina (RRC), dan ternyata cukup berhasil dalam rangka mengurangi tindak pidana korupsi. Hal ini tentunya dapat dijadikan contoh untuk Indonesia dalam menjatuhkan pidana mati bagi koruptor-koruptor.3

Berkenaan dengan penjatuhan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi di Republik Rakyat Cina, Presiden Republik Rakyat Cina Jiang Zemin menggambarkan sebagai kanker ganas yang menggerogoti tubuh pemerintah dan politik luar negeri, karena itulah Cina dalam beberapa tahun terakhir sangat giat melancarkan perang terhadap korupsi.

Efektivitas penerapan pidana mati didasarkan juga pada alasan bahwasannya pidana mati itu lebih pasti dan tertentu dari hukuman penjara, karena hukuman penjara sering diikuti dengan kemungkinan melarikan diri karena pengampunan ataupun karena adanya pembebasan. Pidana mati sering dipertahankan, karena

3

(12)

pada dasarnya pidana mati memakan ongkos yang jauh lebih sedikit bila dibandingkan dengan hukuman penjara seumur hidup.4

Alasan yang pro terhadap pidana mati antara lain dikemukakan oleh De Bussy yang membela adanya pidana mati di Indonesia dengan mengatakan bahwa di Indonesia terdapat suatu keadaan yang khusus. Bahaya terhadap gangguan ketertiban hukum di Indonesia adalah lebih besar. Hazewinkel Suringa berpendapat bahwa pidana adalah suatu alat pembersih radikal yang pada masa revolusioner dapat dipergunakan. Van Veen menganggap pidana mati sebagai alat pertahanan bagi masyarakat yang sangat berbahaya dan juga pidana mati dapat dan boleh dipergunakan sebagai alat demikian.5

Selain argumentasi yang pro terhadap pidana mati, tidak sedikit pula yang kontra terhadap pidana mati untuk koruptor. Di Indonesia sendiri, walaupun sudah diatur secara jelas di dalam perundang-undangan, namun sampai saat ini tidak ada implementasinya. Pihak yang kontra terhadap pidana mati pada umumnya menghubungan penjatuhan tindak pidana mati dengan hak hidup dan kemanusiaan.

Keterkaitan pidana mati dengan hak asasi manusia (HAM) sangatlah erat, hal ini didasarkan pada satu alasan bahwasannya penjatuhan pidana mati terkait erat dengan hak yang paling asasi bagi manusia. Dalam konteks penjatuhan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentuharuslah dikaji secara mendalam, mengingat penjatuhan pidana mati

4

Ibid., hal. 75

5

(13)

merupakan pidana yang terberat dalam arti pelaku akan kehilangan nyawanya yang merupakan sesuatu hak yang tak ternilai harganya.

Eksistensi pidana mati sebagai pidana perampasan nyawa sudah digugat dengan timbulnya pendapat-pendapat yang kontra baik berupa pendapat perorangan atau kelompok. Alasan untuk menentang pidana mati yang paling mendasar adalah alasan kemanusiaan yang dilihat dari hak hidup seseorang. Walaupun pidana mati banyak yang menentang namun tidak satupun negara berkembang yang telah menghapuskan pidana mati dari KUHP nya termasuk Indonesia.

Pengakuan terhadap HAM di Indonesia dapat terlihat dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 tentang Hak Asasi Manusia yang memberikan batasan tentang hak asasi manusia sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusiasebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.6

Pidana Mati tidak lepas dari pembicaraan mengenai nyawa manusia, dan berbicara mengenai nyawa manusia yang merupakan Hak Asasi Manusia, berarti berbicara mengenai Penciptanya, dan sebagai manusia yang beragama, kita tidak bisa menutup mata dari hukum tuhan, yaitu agama. Indonesia terdiri dari masyarakat yang pluralistik, yang terdiri dari berbagai suku bangsa, bahasa, budaya, dan agama. Bangsa yang Pluralistik itu telah mengadakan kesepakatan nasional, yang

6

(14)

tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945, sebagai hukum dasar ( fundamental Law ) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Fundamental Law itulah yang merupakan hukum positif tertinggi yang harus dijadikan pegangan tertinggi oleh semua warga negara Indonesia.

Di dalam UUD 1945 Pasal 28J merupakan dasar utama pembenaran pidana mati, sepanjang pidana mati itu memenuhi kriteria yang ada dalam pasal 28J, khususnya yang berkaitan dengan “ untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan

pertimbangan moral dan nilai agama “, tidak bisa dilepaskan dari kelima sila yang terdapat dalam Pancasila, khusunya sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa “,

yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari UUD 1945 yang ada dalam pembukaan UUD 1945.

Dari uraian yang dikemukakan di atas maka penerapan pidana mati denganmendasarkan pada alasan-alasan yang sudah dikemukakan ternyata masih didukung oleh pihak-pihak yang pro dengan alasan bahwa pidana mati masih cukup efektif dan rasional khususnya diterapkan terhadap kejahatan-kejahatan yang sangat berat jika tidak dijatuhkan pidana mati akan berakibat lebih buruk terhadap keamanan dan ketentraman di masyarakat. Sedangkan bagi pihak yang kontra menyatakan bahwa pidana mati bertentangan dengan hak asasi.

(15)

baru dalam upaya pencegahan korupsi di Indonesia. Dengan semakin maraknya kasus-kasus korupsi dewasa ini serta upaya penyelesaiannya yang kurang maksimal,

Kondisi ini sudah selayaknya menjadi bahan pemikiran khususnya bagi aparat penegak hukum dan pemerintah dalam upaya penegakan korupsi yang serius dan kongkrit sehingga kasus-kasus korupsi yang muncul dewasa ini tidak menjadi komoditas politik semata, tetapi benar-benar dapat diselesaikan melalui prosedur hukum yang transparan dan adil.

Beranjak dari uraian pada latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan kemudian membahasnya lebih lanjut melalui dalam bentuk skripsi yang berjudul “Analisis Urgensi Pidana Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Dalam uraian latar belakang yang dikemukakan di atas maka masalah yang timbul adalah sebagai berikut:

a. Penerapan hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi belum pernah diterapkan sampai saat ini

(16)

2. Ruang Lingkup

Untuk membatasi penulisan skripsi ini agar tidak terlalu luas dan lebih terarah, maka penulis membatasi permasalahan untuk menggambarkan dan menjelaskan mengenai pelaksanaan eksekusi terhadap terpidana yang dijatuhkan hukuman mati dan eksistensi pidana mati di Indonesia. Sedangkan ruang lingkup dalam penelitian ini meliputi dua bagian penting yaitu :

a. Dalam bidang keilmuan, penelitian ini meliputi penelitian yang merupakan bagian dari hukum pidana

b. Dalam bidang subtansi yakni mengenai keberadaan atau proses eksekusi terhadap terpidana yang dijatuhkan hukuman mati dan eksistensi hukuman mati di Indonesia.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan pokok bahasan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk memahami :

a. Penerapan hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi belum pernah diterapkan sampai saat ini di Indonesia

(17)

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini mencakup kegunaan teoritis dan kegunaanpraktis yaitu :

a. Kegunaan Teoritis, yaitu sebagai sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum terpidanaan khususnya dalam hal pemidanaan.

b. Kegunaan Praktis, yaitu sebagai sarana pengembangan pengetahuan mengenai pemidanaan khususnya pidana mati. Selain itu penelitian ini juga untuk menambah wawasan pribadi dalam bidang ilmu hukum khususnya mengenai pidana mati.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.7

Sanksi pidana mempunyai tujuan yang tearah yaitu selain untuk melindungi masyarakat dari segala perbuatan jahat atau yang menyesatkan, menghukum pelaku yang berbuat jahat atau yang melanggar hukum yang terpenting adalah

7

(18)

untuk menginsafkan, menyadarkan dan memperbaiki jiwa dan tingkah laku terpidana.

Teori tentang hukuman atau pemidanaan disebutkan bahwa hukuman sebaiknya didasarkan pada tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat, yang diterapkan dengan menggabungkan salah satu unsur tanpa memberatkan unsur lain sehingga tujuan hukum untuk mewujudkan kepastian hukum dan keadilan hukum dapat tercapai.8

Perbuatan yang memenuhi rumusan suatu delik diancam pidana. Pengenaan pidana dilakukan dalam suatu proses sistem peradilan pidana. Sanksi pidana juga mengandung aspek prevensi hukum yaitu adanya paksaan psikis agar pelaku tidak melakukan tindak pidana lagi dan bagi masyarakat umum timbul perasaan takut untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang diancam pidana.9

2. Konseptual

Penulis akan menyajikan beberapa pengertian dan batasan dari penulisan skripsi ini, yakni :

a. Tinjauan adalah melihat/mempelajari dari dekat.10

b. Korupsi adalah perilaku perilaku pejabat publik yang menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat

c. Urgensi ialah sesuatu yang mendorong atau memaksa

8

Rein Kartosapoetro, Penghantar Ilmu Hukum Lengkap, Bina Aksara, Jakarta, 1988, hal 55

9

Op Cit, Sudarto, Hal 25

10

(19)

d. Pidana Mati adalah reaksi atas delik yang banyak berwujud suatu nestapa yang sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik

e. Pidana mati adalah hukuman oleh negara/penguasa yang diberikan kepada pelaku kejahatan yang dianggap berat dengan cara menghilangkan nyawanya, yang pelaksanaannya diatur oleh undang-undang11

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini bertujuan agar lebih memudahkan dalam memahami penulisan skripsi ini secara keseluruhan. Sistematika penulisannya sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan yang memuat latar belakang penulisan. Dari uraian latar belakang ditarik suatu pokok permasalahan dan ruang lingkupnya, tujuan dan kegunaan dari penulisan, kerangka teoritis dan konseptual serta menguraikan tentang sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menjelaskan tentang pengantar pemahaman pada pengertian-pengertian umum serta pokok-pokok bahasan dalam hal ini adalah mengenai pemidanaan, yaitu teori-teori pemidanaan yang berlaku dan aliran-aliran pemidanaan, diuraikan juga tentang pro dan kontra hukuman mati.

III. METODE PENELITIAN

11

(20)

Bab ini memuat pendekatan masalah, sumber dan jenis data, prosedur pengumpulan dan pengolahan data serta tahap terakhir yaitu analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini merupakan pembahasan tentang berbagai hal yang terkait langsung dengan pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu untuk mengetahui pelaksanaan proses eksekusi terhadap terpidana yang dijatuhkan hukuman mati dan eksistensi pidana mati di Indonesia.

V. PENUTUP

(21)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tindak Pidana Korupsi

Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai dimana-mana. Sejarah membuktikan bahwa hampir setiap negara duhadapkan pada masalah korupsi.Tidak berlebihan jika pengertian korupsi selalu berkembang dan berubah sesuai dengan perkembangan zaman.11 Istilah korupsi berasal dari perkatan lati "coruptio,corruptus dan corrumpere yang berarti kerusan atau kebobrokan". Istilah korupsi diberbagai negara, dipakai juga untuk menunjukan keaadan atu perbuatan yang busuk. Korupsi banyak dikaitkan dengan ketidak jujuran seseorang dibidang keuangan. Banyak istilah diberbagai negara, "gin moung "(Muangthai) yang berarti "makan bangsa", "tanwu"(Cina), yang berarti "keserakahan bernoda","oshoku"(Jepang), yang berarti "kerja kotor"dan di dalam Indonesia diserap menjadi korupsi.12

Arti secara harafiah korupsi adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap, penyimpangan dari kesucian, kata-kata yang bernuansa menghina atau memfitnah, penyuapan, dalam bahasa Indonesia kata korupsi adalah perbuatan buruk, seperti penggelapan uang penerimaan, uang sogok dan

11

Bambang Purnomo, Potensi Kejahatan Korupsi di Indonesia, Bina Aksara. Jakarta, 1983, Hlm 43

12

Dani Krisnawati, Eddy O.S Hiariej, Marcus Priyo Gunarto, Sigid Riyanto dan Supriyadi, 2006,

(22)

sebagainya. Peraturan dan Undang-Undang yang dikeluarkan pemerintah Indonesia menagulangi dan memberantas korupsi sejak tahun 1957, yaitu :

1. Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/Pm.96/1957 diundangkan tanggal 9 April 1957 Tentang pemberantasan Korupsi.

2. Prt/PM.08/1957 tentang Pemilikan Harta benda

3. Prt/Pm.011 diundangkan tanggal 1 juli 1957 tentang persitaan dan perampasan barang - barang.

4. Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Pusat Angkatan Darat Nomor Prt/Peperpu/013/1958 diundangkan pada tanggal 16 April 1958 tentang pengusutan, penuntuan, dan pemeriksaan perbuatan korupsi pidana dan kepemilikan harta benda untuk wilayah kekuasaan angkatan laut diterbitkan Prt/z.I/7 diundangkan tanggal 17 April 1958.

5. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 tahun 1960 di undangkan tanggal 9 Juni 1960

6. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Nomor 24 Prt Tahun 1960 menjadi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi atau Undang-Undang Anti Korupsi. 7. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 diundangkan tanggal 29 Maret 1971

tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

(23)

9. Undang Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diundangkan pada tanggal 21 November 2001

10. Undang -Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diundangkan pada tanggal 27 Desember 2002

Kalau kita cermati Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001, maka tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang tersebut dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu :

1. Korupsi aktif, dirumuskan dalam Pasal pasal sebagai berikut :

- Pasal 2, Pasal3, Pasal 4, dan Pasal 15, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

- Pasal 5 Ayat (1), Pasal 5 Ayat (1) huruf b, Pasal 6 Ayat (1) huruf a, Pasal 7 Ayat (1) huruf a, Pasal 7 Ayat (1) huruf c dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

2. Korupsi pasif, dirumuskan dalam Pasal-pasal berikut :

- Pasal 5 Ayat (2), Pasal 6 Ayat (2), Pasal 7 Ayat (2), Pasal 11, Pasal 12 huruf a dan b, Pasal 12 huruf c, Pasal 12 huruf d, Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

(24)

pasif. Pelaku tindak pidana penyuapan menurut Pasal 209-210, Pasal 387, Pasal 388, Pasal 415-420, Pasal 425 dan Pasal 435, semua dirumuskan dengan kata "barang siapa", artinya "oprang perseorangan". Pasal-Pasal tersebut oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1971 mengenai "pegawai negeri" yang semula hanya dirumuskan seperti dalam Pasal 92 KUHP.13

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 diganti oleh Undang-Undang nomor 31 tahun 1999, dimana pelaku tindak pidana korupsi dirumuskan "setiap orang", yang berarti "orang perseorangan atau korporasi" (Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999). Orang perseorangan berarti "manusia alamiah" sedangkan korporasi diartikan sebagai "kumpulan orang atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum" (Pasal 1angka (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999). kata kata lain yang dihapus adalah "atau diketahui atau disangka olehnya."didalam Pasal 1 Ayat (1) sub a Undang Nomor 3 Tahun 1971 yang sekarang menjadi Pasal 2 Undang-Undang nomor 31 tahun 1999, karen akata kata "atau diketahui atau patut disangka olehnya..." yang bermakna sengaja atau kelalaian yang berarti kerugian negara yang timbul dapat terjadi karena kelalaian. Dengan dihapusnya kata-kata "tau diketahui atau patut disangka olehnya..." berarti kerugian negara yang dapat terjadi harus dilakukan dengan sengaja.

Rumusan juga berubah dari delik materil pada Pasal 1 Ayat (1) sub a yang menjadi Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 pelaku tindak pidana korupsi diperluas meliputi juga korporasi. Pengertian pegawai negeri sipil dalam

13

(25)

Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo.Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 diperluas meliputi :

1. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Kepegawaian Nomor 8 tahun 1974 yang terdiri dari Pegawai Negeri Sipil dan anggota ABRI. 2. Pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 KUHP.

3. Orang menerima gajih dari keuangan negara.

4. Orang yang menerima gajih dari korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara.

5. Orang yang menerima gajih atau upah dari korporasi yang mempergunakan modal atau fasilitas negara atau masyarakat.

Tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo.Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dibedakan menjadi :

a. Tindak pidana korupsi murni, yaitu perbuatan-perbuatan yang merupakan murni perbuatan korupsi, perbuatan-perbutan tersebut diatur dalam Bab II pasa 2 sampai dengan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999.

b. Tindak pidana korupsi tidak murni, yaitu perbutan-perbuatan yang berkaitan dengan setiap orang yang mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidik, penuntut, dan pemeriksa disidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa maupun para saksi dalam perkara korupsi. Perbuatn yersebut diatur dalam Bab II Pasal 21 sampai dengan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.

(26)

"dalam Undang-Undang ini, tindak pidana korupsi secara tegas dirumuskan sebagai pidana formil yang dianut dalam Undang-Undang ini, meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada negara, pelaku korupsi tetap diajukan ke pengadilan dan tetap dipidana".

Pelukisan dalam korupsi secara formil, mempunyai kelemahan-kelemahan dan sebagai konsekuensinya, jika da perbuatan perbuatan korupsi yang tidak tercakup dalam pelukisan secara formil, maka sipelaku (tersangka) tidak dapat diajukan ke muka hakim, dengan alasan "nullum delictum nulla poena sine previla lage

poenali" yaitu tidak ada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan

aturan pidana perundang-undangan yang telah da sebelum perbuatan dilakukan". Hal demikian sebenarnya menyulitkan dalam penyidikan dan dalam penuntutan. Namun sebaliknya memudahkan hakim dalam membuktikan.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juga menerapkan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang,yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan, dan penuntut umum tetap bekewajiban membuktikan dakwaannya.

Pengertian tindak pidan korupsi menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 apabila dilihat dari sumbernya dapat dibagi menjadi dua, yaitu :

(27)

b. Bersumber dari Pasal-pasal KUHP yang ditarik menjadi Undang-Undang Tindak pidana Korupsi yaitu pasal 209, Pasal 210, Pasal 387, Pasal 388, Pasal 415 sampai dengan Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, dan Pasal 435 KUHP.

Undang -Undang Nomor 20 Tahun 2001 untuk pengertian tindak pidana korupsi sebebarnya hanya mengubah rumusan Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12 yang ada dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dengan tidak mengacu lagi pada Pasal-pasal yang ada dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana akan tetapi langsung menyebutkan unsur-unsur yang terdapat pada masing-masing Pasal Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang diacu.

Tanggal 27 desember 2002 diundangkan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK), yaitu sebuah komisi yang diberi tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.

Indonesia juga telah mengambil langkah maju dalam mendefenisikan tindak pidana korupsi, dalam Pasal 2 Ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001, Tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disebutkan bahwa:

(28)

Dengan demikian, pendekatan yang dapat dilakukan terhadap masalah korupsi bermacam – macam pula, dan artinya sesuai pula dari segi mana kita mendekati masalah itu. Pendekatan sosiologis misalnya, seperti halnya yang dilakukan oleh Syed Hussein alatas dalam bukunya The Sociology of Corruption, akan lain artinya kalau kita melakukan pendekatan normatif ; begitu pula dengan politik ataupun ekonomi. Misalnya Alatas, memasukkan nepotisme sebagai bentuk korupsi, yaitu menempatkan keluarga atau teman pada posisi pemerintahan tanpa memenuhi persyaratan untuk itu. Tentunya hal seperti ini sangat sukar dicari normanya dalam hukum pidana.14

B. Teori Dasar Pertimbangan Hakim

Hukum pidana di indonesia harus mengedepankan aspek-aspek sosial kemanusiaan dan hak asasi manusiadengan menerapkan beberapa teori-teori dasar pertimbangan hakim yang berkaitan dengan dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara dalam sidang pengadilan antara lain :

a. Teori Kepastian hukum

Teori kepastian hukum memberikan penjelasan bahwa segala macam bentuk kejahatan dan pelanggaran harus diberikan sanksi tegas berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang mengaturnya. Dalam teori ini sangat berhubungan erat denga asas legalitas dalam hukum pidana, bahwa setiap tindak pidana yang diatur dalam perundang-undangan harus diproses dalam sistem peradilan pidana guna menjamin kepastian hukum.

14

(29)

b. Teori Kemanfaatan

Teori kemanfaatan memberikan penjelasan bahwa apabila dalam suatu persidangan hakim memandang perbuatan terdakwa bukan karena murni melawan hukum akan tetapi dari segi kemanfaatan bertujuan untuk menjalankan norma dalam masyarakat dan dipandang apabila dijatuhi hukuman berupa pidana penjara maka dari elemen masyarakat merasa keberatan. Jadi sebagai pertimbangan hakim dengan melihat segi kemanfaatan maka terdakwa tidak diberikan sanksi akan tetapi hanya diberikan tindakan rehabilitasi kepada terdakwa agar tidak mengulangi lagi perbuatannya.

c. Teori Keadilan

Teori keadilan menjelaskan bahwa dalam menegakkan hukum seorang Hakim juga harus memperhatikan teori keadilan hukum dan juga harus melihat fakta kongkret dalam persidangan. Karena melihat rasa keadilan tidak tepat apabila terdakwanya semata-mata bukan atas dasar niat jahat dan sudah berusia lanjut, dibawah umur atau karena suatu keadaan tertentu yang sepatutnya tidak diganjar dengan hukuman pidana penjara maka hakim harus dapat memberikan pertimbangan sesuai dengan rasa keadilan. Nilai hukum dan rasa keadilan Hakim jauh lebih diutamakan dalam mewujudkan hukum yang berkeadilan.

C. Urgensi Pidana Mati terhadap Pelaku Korupsi

(30)

korupsi di Indonesia, Indonesia adalah salah satu negara terkorup di Asia Pasifik. Oleh karena itu, urgen untuk segera mencari cara untuk memberantas korupsi yang telah merusak tatanan ekonomi dan menyebabkan kemiskinan, apapun itu obatnya termasuk penerapan pidana mati. Hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) 2010 yang memosisikan Indonesia sebagai negara terkorup di Asia-Pasifik dengan nilai 9,07 semestinya bukan sesuatu yang mengejutkan. Tahun ini peringkat Indonesia pertama (sebelumnya 7,69). Dengan skor 9,07 itu, PERC menyimpulkan bahwa korupsi di Indonesia semakin parah, terjadi di semua lembaga dan semua level.15

Kesimpulan PERC tersebut bukan dianggap aneh, melainkan hal yang biasa, karena Indonesia memiliki kultur yang aneh. Pejabat negara dan para koruptor tidak ada yang jera. Bahkan, orang yang belum memiliki kesempatan untuk korupsi pun bercita-cita -bila suatu saat ada peluang- akan melakukan hal itu. Budaya seperti itu yang menjadikan penangkapan banyak pejabat, politisi, dan pihak swasta oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak menimbulkan efek jera. Filosofi yang berkembang di kalangan koruptor adalah ditangkap KPK atau penegak hukum yang lain hanya karena sial. Fenomena tersebut sama dengan fenomena tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Banyak kenistaan dan penderitaan yang dialami para tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri. Namun, minat untuk menjadi TKW tidak berkurang, tapi malah bertambah.

Lebih jauh, para koruptor berprinsip, kalau toh mereka tertangkap, pikiran di benaknya adalah bagaimana bisa lolos dari jerat hukum. Jika terpaksa belum bisa

15

(31)

lolos, setidaknya hukumannya diperingan dan dendanya rendah. Karena itu, mafia hukum tumbuh subur di Indonesia dan pendapatan mereka jauh lebih tinggi daripada gaji resmi penegak hukum. Dan perlu diingat bahwa perilaku tindak pidana korupsi adalah perilaku yang kalkulatif, artinya tindakan tersebut sudah dipikirkan matangmatang sehingga saat tertangkap tidak akan bangkrut.

Ketidaktegasan karakter bangsa Indonesia dalam menghadapi masalahmasalah penting bangsa menjadikan segala masalah diselesaikan di tingkat permukaan saja. Kasus-kasus besar korupsi menjadi sulit dijamah karena ada upayaupaya proteksi dari pemilik kekuasaan.

Skor 9,07 dari 10 poin tertinggi, itu bisa dikatakan hampir sempurnalah korupsi di Indonesia, dan kesimpulan PERC ini semakin meyakinkan publik bahwa sia-sia saja pemberantasan korupsi dilakukan, inpres-inpres tentang pemberantasan korupsi menjadi tidak bermakna karena tidak diimplementasikan di lapangan, izin-izin pemeriksaan kepala daerah yang mestinya dikeluarkan presiden hingga kini masih banyak yang tidak tahu rimbanya. Bangsa ini sebaiknya tidak berharap akan berhasil memberantas korupsi apabila kultur yang ada tidak mampu diubah. Berharap agar korupsi bisa diberantas atau jumlahnya ditekan sebenarnya adalah mimpi buruk di siang bolong, sebab bangsa ini semakin hari semakin kehilangan karakternya, awalnya bangsa ini menambatkan harapan pemberantasan korupsi kepada sosok Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dia adalah seorang yang dibesarkan di dunia ketentaraan sehingga memiliki kedisiplinan tinggi, selain itu, sosoknya dianggap relatif bersih jika dibandingkan dengan figur-figur yang lain.16

16

(32)

Pada tahap awal kepemimpinannya, pemberantasan korupsi lebih beraroma dan bergemuruh jika dibandingkan dengan keterlibatannya dalam korupsi. Namun, sejak awal periode kedua memimpin, ternyata aroma dan gurita korupsi semakin menerpa. Puncak pencitraan antikorupsi rontok dari rezim SBY sejak mencuatnya kasus Bank Century. Meskipun kesimpulan akhir sudah disampaikan dalam rapat paripurna DPR, permasalahan itu belum berarti selesai. Permasalahan terus berkembang hingga muncul istilah ''tukar guling'' dan ''barter'' kasus korupsi untuk menyelamatkan masalah-masalah krusial yang lebih besar.

Munculnya istilah-istilah tersebut menandakan bahwa bangsa ini tidak malumalu mempertontonkan perilaku korup di depan publik. Itu mencerminkan arah pemberantasan korupsi semakin tidak jelas. Roh dan semangatnya menjadi hilang tanpa bekas. Bila hasil survei PERC yang dirilis baru-baru ini dikontekskan dengan realitas Indonesia akhir-akhir ini, sesungguhnya tidak ada yang dilebih-lebihkan. Korupsi begitu menggurita, mulai pemegang kebijakan hingga implementasi di tingkat yang paling bawah.

(33)

keadilan, bahkan perlakuan di lembaga pemasyarakatan juga sarat dengan mafia korupsi.

Oleh karena itu, sebagaimana disebutkan di atas, kita sudah berada pada titik yang sangat urgen sebelum hancurnya perekonomian dan kehidupan masyarakat karena korupsi, harus segera dicari jalan keluarnya, termasuk pertimbangan pemberlakuan hukuman mati bagi para pelaku tindak pidana korupsi yang kalau memang bisa memberantas korupsi, karena secara legalitas, pidana mati tidak bertentangan dengan Undang-Undang.

D. Teori Pemidanaan

Penjatuhan pidana memiliki berbagai pengertian, menurut Prof. Sudarto dan Prof. Roeslan Saleh, pidana adalah pemberian penderitaan atau nestapa yang sengaja diberikan oleh negara kepada orang yang melakukan perbuatan delik. Sedangkan menurut Black Law Dictionary, pidana atau punishment diartikan sebagai, “any

fine, penalty or confinement inflicted upon a person by authority of the law and

thejudgement and sentence of court, for some crime of offence committed by him,

or for his omission of a duty enjoined by law”. Berlainan dengan pendapat yang

mengartikan pidana sebagai sebuah nestapa atau penderitaan, Hulsman lebih berpendapat bahwa pidana pada hakekatnya menyerukan untuk tertib (tot de orde

roepen) karena pidana bertujuan untuk mempengaruhi perilaku dan

menyelesaikan konflik.17

17

(34)

Secara teori, ada dua macam teori pidana dan pemidanaan sebagai dasar pembenar dan tujuan pidana. Pertama, adalah teori absolut atau disebut juga teori retributif. Menurut teori ini, pemidanaan dilakukan karena semata-mata seseorang telah melakukan kejahatan atau tindak pidana (quia peccatum est) dan pemidanaan harus ada sebagai akibat mutlak untuk membalaskan perbuatan jahat seseorang. Dasar pembenar pemidanaannya adalah karena kejahatan merupakan pengingkaran terhadap ketertiban hukum negara yang merupakan wujud dari cita-susila masyarakat. Sedangkan toeri lainya adalah teori relatif atau sering disebut teori utilitarian, inti dari teori ini adalah menolak teori absolut, dimana pemidanaan itu bukan untuk memuaskan keadilan dengan memberi hukuman karena pembalasan merupakan tujuan yang tidak bernilai. Aliran ini lebih berpendapat bahwa pemidanaan memiliki nilai untuk melindungi masyarakat karena bertujuan untuk mengurangi frekuensi kejahatan supaya orang lain jangan melakukan kejahatan (nepaccetur).18

Terdapat beberapa pendapat ahli yang menanggapi kedua teori tersebut (diluar penganut dua teori pidana dan pemidanaan), adalah N. Walker, menurutnya konsep KUHP yang ada di beberapa negara lebih suka menganut teori retributif (tidak murni atau limitatif dan ditributif). Dengan penganutan teori retributif yang limitatif dan retributif, formulasi pemidanaan dalam KUHP bersifat alternatif. Dimana ada pilihan dan pembatasan pidana yaitu batas minimal dan maksimal pemidanaan terhadap jenis

18

(35)

pidana tertentu. Tanggapan lain terhadap teori pemidanaan adalah dari Van Bemmelen, menurutnya penjatuhan pidana yang memberikan efek penderitaan harus dibatasi dan lebih diarahkan kepada proses penyesuaian kembali si terpidana pada kehidupan masyarakat. Ia juga berpendapat bahwa pemidanaan tidak boleh melebihi kesalahan terdakwa. Sedaangkan Prof. J. E. Sahetapy berpendapat bahwa pidana harus membebaskan si pelaku dari cara atau jalan yang keliru yang telah ditempuhnya. Maksudnya adalah, efek penderitaan dari pidana harus mampu membebaskan, bukan semata-mata memberikan penderitaan, alam pikiran jahat dan keliru si pelaku untuk kemudian berfungsi sebagai obat dan jalan keluar yang membebaskan dan memberi kemungkinan bertobat (efek penderitaan atas pemidanaan jadi obat agar si pelaku tobat dan terbebas dari perilaku jahat yang sebenarnya dipengaruhi lingkungannya).19

Apabila dilihat dari aliran-alirannya, teori pidana dibagi menjadi dua aliran, yaitu

pertama, aliran klasik, dan kedua, aliran modern. Dimana kedua aliran ini

berpangkal pada aspek munculnya tindakan manusia dan cara pertanggungjawaban hukum atas tindakannya itu. Pada aliran klasik, secara garis besar menitikberatkan pada aspek kepastian hukum. Dan berpandangan bahwa manusia memiliki kebebasan pilihan dalam bertindak, oleh karena itu ia pantas dimintai pertanggungjawaban atas tindakannya itu. Selain itu, aliran ini berpedoman pada pandangan pembalasan berimbang, asas legalitas dan asas kesalahan. Jargonnya yang terkenal adalah “let the punishment fitthe crime” yang dikemukakan Beccaria sebagai salah satu pemikir aliran ini.20

19

Ibid, Hal 20-23.

20

(36)

Sedangkan pada aliran moderen menitikberatkan pada aspek faktor yang melatarbelakangi dari timbulnya suatu tindak pidana. Karena aliran moderen ini memandang bahwa manusia dalam bertindak tidak memiliki kebebasan pilihan karena dipengaruhi lingkungan, sehingga pertanggung-jawaban atas tindakannya itu diarahkan pada sifat berbahayanya dan untuk melindungi masyarakat.

E. Tujuan pemidanaan

Tujuan pemidanaan terbagi menjadi 3 jenis : 1). Teori mutlak (teori pembalasan)

Menurut C.S.T.Kansil menjelaskan bahwa penganut teori ini berpendapat bahwa dasar keadilan dari hukum itu harus dalam perbuatan jahat itu sendiri. Seseorang mendapat hukuman karena ia telah berbuat jahat. Jadi hukuman itu mutlak untuk membalas perbuatan itu (pembalasan). Orang yang berbuat jahat harus mendapat hukuman, dan hukuman yang adil itu adalah hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.21

Kant, ahli filsafat berpendapat bahwa dasar hukum dari hukuman harus dicari pada kejahatan sendiri, sebab kejahatan itu menimbulkan penderitaan pada orang lain. Sedang hukuman itu merupakan tuntutan yang mutlak dari hukum dan kesusilaan.22

Stahl mengajarkan bahwa hukuman itu adalah ciptaan atau yang diciptakan oleh Tuhan. Karenanya kejahatan itu dianggap sebagai pelanggaran terhadap prikeadilan Tuhan itu dan untuk meniadakannya, maka kepada negara harus diberi

21

C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Penerbit Balai Pustaka,. Jakarta, 1989, hal 269.

22

(37)

kekuasaan untuk menyusun kembali serta melenyapkan atau memberi penderitaan pada pembuat kejahatan.

Leo Polak yang berpangkal pada etika berpendapat tiada seorangpun boleh mendapat keuntungan karena suatu perbuatan kejahatan yang telah dilakukannya. Menurutnya pidana harus memenuhi 3 syarat :23

a. Perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu perbuatan yang bertentangan dengan etika, yaitu bertentangan dengan kesusilaan dan tata hukum objektif.

b. Pidana hanya boleh memperhatikan apa yang sudah terjadi. Jadi pidana tidak boleh dijatuhkan untuk maksud prevensi.

c. Sudah tentu bertanya pidana harus seimbang dengan beratnya delik. Ini perlu supaya penjahat tidak dipidana secara tidak adil.

2). Teori relatif (teori tujuan)

Menurut Andi Hamzah berpendapat bahawa teori ini mencari dasar hukum pidana dalam menyelenggarakan tata tertib masyarakat dan akibatnya yaitu tujuan untuk prevensi terjadinya kejahatan. Wujud pidana ini berbeda-beda : menakutkan, memperbaiki, atau membinasakan. Lalu dibedakan prevensi umum dan khusus. Prevensi umum menghendaki agar orang-orang pada umumnya dilakukan dengan menakutkan orang-orang lain dengan jalan pelaksanaan pidana yang dipertontonkan.24

Prevensi khusus suatu pidana menurut Van Hamel adalah :

23

Ibid Hal, 33

24

(38)

a. Pidana harus memuat suatu unsur menakutkan supaya mencegah penjahat yang mempunyai kesempatan untuk tidak melaksanakan perbuatan buruknya. b. Pidana harus mempunyai unsur memperbaiki terpidana.

c. Pidana mempunyai unsur membinasakan penjahat yang tidak mungkin diperbaiki.

d. Tujuan satu-satunya suatu pidana ialah mempertahankan tata tertib hukum.

3). Teori gabungan

Teori gabungan antara pembalasan dan prevensi bervariasi. Ada yang menitikberatkan unsur pembalasan, ada pula yang ingin agar unsur pembalasan dan prevensi seimbang.25

Teori pertama menitikberatkan unsur pembalasan yang dianut oleh pompe yang menjelaskan bahwa “orang tidak boleh menutup mata pada pembalasan”. Memang pidana dapat dibedakan dengan sanksi-sanksi lain, tetapi ada ciri-cirinya yang tetap tidak dapat dikecilkan, artinya bahwa pidana adalah suatu sanksi, dan dengan demikian terkait dengan tujuan-tujuan sanksi itu. Dan karena itu hanya akan diterapkan jika menguntungkan pemenuhan kaidah-kaidah dan berguna bagi kepentingan umum.

Van Bomel pun menganut teori gabungan menjelaskan bahwa pidana bertujuan membalas kesalahan dan mengamankan kesalahan. Jadi, pidana dan tindakan, keduanya bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana kedalam kehidupan masyarakat.

25

(39)

Dalam rancangan KUHP Nasional, telah diatur tentang tujuan penjatuhan pidana, yaitu :

1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat.

2. Mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian menjadikannya orang yang baik dan berguna serta mampu untuk hidup bermasyarakat.

3. Menyelesaikan konflik yang timbul oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

(40)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam skripsi ini adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan masalah dengan melihat menelaah dan menginterprestasikan hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum yang berupa konsepsi, peraturan perundang-undangan, pandangan, doktrin hukum dan sistem hukum yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini.

Pendekatan yuridis empiris adalah menelaah hukum dalam kenyataan dengan mengadakan penelitian dilapangan untuk melihat fakta-fakta yang berkaitan dengan penulisan skripsi,

B. Sumber dan Jenis Data

(41)

Jenis data sekunder ini terdiri dari bahan hukum premier yang diperoleh melalui studi dokumen, bahan sekunder yang diperoleh melalui studi dokumen, dan bahan hukum tersier yang diperoleh melalui studi literatur. Ada pun bahan hukum tersebut adalah

1. Bahan hukum premier, yaitu bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari : a. Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP).

b. Undang-Unadang Nomor 31 tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak pidana korupsi.

c. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang kekuasaan kehakiman d. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang hukum Acara Pidana

2. Bahan Hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan premier dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum premier meliputi

a. Undang Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

b. Hasil Penelitian di Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan Kejaksaan Negeri Tanjung Karang

(42)

C. Penetuan Populasi dan Sampel

Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang berguna untuk memberikan informasi, petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus besar bahasa Indonesia, media massa, artikel, makalah, naskah, paper, jurnal, internet yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas atau diteliti dalam skripsi ini.33

Populasi dalam penelitian ini adalah aparat penegak hukum yang beradadi Wilayah Pengadilan Negeri Kelas I A Tanjung Karang, Jaksa, Dosen Pidana fakultas Hukum Universitas Lampung.

Responden yang dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah:

a. Hakim Tipikor di Pengadilan Negeri Kelas I A Tanjung karang : 2 Orang b. Dosen Bagian Pidana Fakultas Hukum Unila : 1 Orang c. Jaksa di kejaksaan Tinggi Negeri Lampung : 1 Orang +

Jumlah : 4Orang

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penulisan skipsi ini, dilakukan dengan menggunakan dua cara sebagai berikut, yaitu:

33

(43)

a. Studi Kepustakaan (Library Research)

Studi kepustakaan merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan penulis dengan maksud untuk memperoleh data sekunder dengan cara membaca, mencatat dan mengutip dari berbagai literatur, per-undang-undangan, buku-buku, media massa dan bahas tertulis lainnya yang ada hubungannya dengan penelitian yang dilakukan.

b. Studi Lapangan (Field Research)

Studi Lapangan merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara wawancara

(interview) yaitu sebagai usaha mengumpulkan data dengan mengajukan

pertanyaan secara lisan, maupun dengan menggunakan pedoman pertanyaan secara tertulis.

1. Pengolahan Data

Setelah data terkumpul, baik studi kepustakaan maupun studi lapangan, maka data diproses melalui pengolahan data dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Editing, yaitu memeriksa kembali kelengkapan, kejelasan, dan relevansi dengan penelitian.

b. Klasifikasi data yaitu mengklasifikasi/mengelompokan data yang diperoleh menurut jenisnya untuk memudahkan dalam menganalisis data. c. Evaluating, memeriksa data yang masuk dan telah melalui proses editing

(44)

d. Sistematisasi data, yaitu malakukan penyusunan dan penempatan data pada setiap pokok secara sistematis sehingga mempermudah interpretasi data dan tercipta keteraturan dalam menjawab permasalahan.

E. Analisis Data

(45)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Setelah melakukan penelitian dan pembahasan data yang diperoleh dalam penelitian ini, maka sebagai penutup dari pembahasan atas permasalahan skripsi ini, penulis menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. penerapan hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi belum pernah diterapkan sampai saat inisebab utamanya adalah, undang-undang tidak menjadikan Instansi yang menanggulangi masalah tindak pidana korupsi sebagai institusi (single institution) yang berwenang menyelidiki, menyidik, dan menuntut kasus-kasus korupsi, sehingga fungsinya kurang berjalan efektif karena seringkali berbenturan dengan kejaksaan dan kepolisian yang (dalam beberapa proses hukum) memiliki kewenangan serupa dengan KPK. Sebab lain, undang-undang belum memberikan jaminan perlindungan dan/atau pembebasan hukuman terhadap pelaku yang menjadi pelapor (wistle blower) dalam kasus korupsi terorganisir (organized

corruption) yang rumit dan sulit pengusutannya

(46)

yang dijadikan pedoman yakni Undang-undang yang bersinergi dalam mendukung pemberantasan korupsi. Secara asumtif, kebebasan hakim dalam menjatuhkan putusan dalam prosesperadilan pidana terdapat dalam Pasal 3 Ayat (1), (2) Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Asas Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman. Selain sudah terpenuhinya seluruh unsur tindak pidana tersebut yang merupakan salah satu dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana yaitu mengenai adanya alat bukti yang sah, bedasarkan teori kepastian hukum, teori kemanfaatan, teori keadilan dan hakim juga mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan terdakwa yaitu perbuatan Perbuatan terdakwa menyebabkan ruginya negara. Hal-hal yang meringankan terdakwa yaitu terdakwa bersikap sopan dalam persidangan dan mengakui perbuatannya secara terus terang dan menyesali atas perbuatannya.

B. Saran

Bedasarkan hasil pembahasan yang penulis kemukakan, maka saran-saran yang dapat dikemukakan sebagai alternatif pemecahan masalah dimasa yang akan datang sebgai berikut :

1. Mengingat undang-undang yang tidak bersinergi dengan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi pemerintah dalam hal ini harus lebih membuat Undang-Undang yang dapat menyatukan instansi demi terciptanya hukuman terhadap pelaku yang menjadi pelapor (wistle blower) dalam kasus korupsi terorganisir

(47)
(48)

DAFTAR PUSTAKA

Kimberly Ann Elliott, 1999. Korupsi dan Ekonomi Dunia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Kartosapoetro,rein. 1988. Penghantar Ilmu Hukum Lengkap. Bina Aksara, Jakarta Muladi, & Arief, Barda Nawawi. 1992 Teori-Teori Kebijakan Pidana. Alumni

Bandung

Ohitimur, yong 1997. Teori Etika Tentang Hukum Legal. Gramedia Pustaka Utama Jakarta

Poerwadarminta, W .J. S. 1976 Kamus Umum Bahasa Indonesia. Balai pustaka. Jakarta

Lamintang, P.A.F. 1997 Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti. Bandung,

Prokoso, Djoko dan Nurwachid 1984 Studi tentang mengenai Pendapat-Pendapat

Mengenai Efektifitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa ini. Ghaha

Indonesia. Jakarta

Romli Atmasasmita. Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari

Korupsi. Sosialisasi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999.

Sudarto. 1986. Hukum Pidana jilid 1 A. FH UNDIP Semarang

Waluyo, Bambang. 2000. Pidana dan Pemidanaan. Sinar Grafika. Jakarta

Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UndangUndang

Nomor 31 Tahun 1999

Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka, Tim Penyusun Kamus Pusat

Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Jakarta, 1997

C.S.T. Kansil. 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Penerbit

(49)

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, karunia serta hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan

KONSEP RAḌĀʻAH DALAM ALQURAN OLEH: SITI ARDIANTI

Dengan data rating yang rendah dari program musik BREAKOUT yang bersinggungan dengan target audiens utama BREAKOUT dan kota Surabaya yang memiliki profil penonton yang rendah

PREFEITURA MUNICIPAL DE PORTEIRINHA/MG - Aviso de Licitação - Pregão Presencial nº.. Presidente Vargas, 01 –

Tempat bongkar muat barang di DAOP III Cirebon, DAOP IV Semarang, DAOP V Purwokerto, DAOP VI Yogyakarta, DAOP VIII Surabaya dan DIVRE I Medan sebagai lahan

Upaya mewujudkan transportasi yang ramah lingkungan pada dasarnya dapat dilakukan dengan upaya mencegah terjadinya perjalanan yang tidak perlu (unnecessary mobility) atau

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat konsumsi konsumen, menganalisis preferensi konsumen serta untuk menganalisis kombinasi atribut yang paling disukai konsumen

Pengumpulan data melalui lembar penilaian observasi guru dan observasi aktivitas siswa dan lembar soal evaluasi siswa, menunjukan bahwa pembelajaran menggunakan