• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Sanksi Dalam Tindak Pidana Korupsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Analisis Sanksi Dalam Tindak Pidana Korupsi"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

38

Analisis Sanksi Dalam Tindak Pidana Korupsi

Oleh :

H. M. Badri, SH,MH1Abstrak

Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis sanksi dalam tindak pidana korupsi dengan rumusan masalah “Bagaimanakah Analisis Sanksi Dalam Tindak Pidana Korupsi”. Metode yang digunakan dalam tulisan ini digunakan pendekatan yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana belum memuat ketentuan yang jelas dan tegas tentang syarat penahanan terhadap seorang tersangka pelaku tindak pidana, tidak terdapat parameter yang terukur atau kriteria yang jelas mengenai mengapa seseorang harus ditahan. Ketentuan penetapan penahanan yang sebaiknya diterapkan terhadap tersangka tindak pidana korupsi agar mampu meningkatkan kinerja penegakan hukum terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi adalah berupa penguatan terhadap ketentuan penetapan tersangka.

Kata Kunci : Analisis Sanksi, Korupsi, Penetapan Penahanan

A. Latar Belakang

Sehubungan dengan tindak pidana korupsi yang akan menjadi pokok pembahasan dalam makalah ini, kiranya perlu dikemukakan terlebih dahulu hasil survei dari sebuah lembaga internasional yakni Transparency International (TI) pada tahun 2009 yang mengungkapkan bahwa Indonesia merupakan negara terkorup keenam di dunia2.

Hasil survey tersebut terasa sangat memprihatinkan dan menyentakkan kesadaran kita betapa sudah begitu kronisnya persoalan korupsi di negeri kita. Korupsi telah menjadi semacam kanker ganas yang telah menggerogoti seluruh sendi-sendi kehidupan kita sebagai sebuah bangsa, yakni sendi-sendi ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan nasional (ipoleksusbudhankamnas).

Korupsi telah menghancurkan sendi-sendi agama, nilai-nilai moral dan etika. Ia telah pula menggadaikan marwah bangsa, menjerumuskan Indonesia menjadi bangsa yang terbelakang, miskin dan dililit hutang. Uang rakyat bernilai ratusan triliun rupiah yang seyogyanya dipergunakan untuk mengentaskan kemiskinan dan pengangguran, menciptakan lapangan kerja, menggerakkan sektor riil dan meningkatkan daya saing bangsa, justeru

H. M. Badri, SH,MH adalah Dosen Tetap PS. Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Batanghari Jambi.

(2)

39 masuk ke kantung-kantung pejabat yang korup. Mereka menikmati kehidupan yang mewah, berlimpah dan serba mudah di tengah jeritan ratusan juta rakyat yang hidup dalam tekanan ekonomi yang tidak terperikan.

Di sisi lain korupsi telah meluluhlantakan budaya malu di kalangan penyelenggara negara sehingga menganggap korupsi sebagai tradisi. Bila kondisi ini terus berkembang, dapat dibayangkan betapa seriusnya akibat yang akan ditimbulkannya. Kesenjangan kehidupan akan terus meningkat dan semakin mencolok dan pada gilirannya dapat berubah menjadi ledakan kecemburuan sosial yang amat membahayakan stabilitas keamanan negara.

Dengan demikian, kiranya sudah jelas bahwa tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa yang dapat diberantas dengan cara-cara yang konvensional. Korupsi telah menjadi suatu kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang memerlukan pemberantasan secara luar biasa pula

Dalam rangka mewujudkan supremasi hukum, kita telah memiliki landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak pidana korupsi. Berbagai kebijakan tersebut tertuan dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Undang-undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Berdasarkan ketentuan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana tersebut di atas, telah pula dibentuk badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang diberi nama Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). KPK yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut memiliki kewenangan melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi dan melakukan koordinasi dan supervisi terhadap institusi penegak hukum yang berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, yakni Kepolisian dan Kejaksaan.

Disamping itu, berdasarkan ketentuan yang diatur di dalam pasal 53 Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, telah pula dibentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor), yang berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh KPK.

Kemudian bila dicermati, berkembang biaknya korupsi secara massif dan fenomenal di Indonesia tentu bukan tanpa penyebab. Majalah Tempo melansir bahwa setidaknya ada tigat penyebab utama terjadinya korupsi.

(3)

40 Pertama, budaya hidup hedonik di kalangan pejabat publik dan penyelenggara negara. Kedua, budaya kolutif kalangan dunia usaha. Ketiga, lemahnya perangkat undang-undang dan rendahnya integritas penegak hukum. 3

Mengenai budaya hidup hedonik, selengkapnya dijelaskan bahwa : “Penyebab pertama adalah budaya hidup hedonik yang mengenyampingkan pemuliaan terhadap nilai-nilai agama dan integritas moral. yang berkembang di kalangan pejabat publik dan penyelenggara negara. Budaya hidup yang mengagungkan harta dan kemewahan dunia itu, menyebabkan korupsi seolah-olah diterima dan difahami sebagai suatu kewajaran sehingga ia bebas menjalar bahkan berurat berakar pada seluruh lapisan birokrasi kita. Ia menghinggapi pejabat tinggi di pusat kekuasaan sampai pamong rendahan di pelosok-pelosok desa, singgah di meja BUMN dan BUMD. Dan lebih tragis lagi, ia telah pula menggerogoti institusi penegakan hukum, yang justeru menjadi tumpuan harapan sebagai ujung tombak yang tajam dalam pemberantasan tindak pidana korupsi”4

Selanjutnya mengenai budaya kolutif kalangan dunia usaha, dikemukakan bahwa :

“Alasan Kedua adalah budaya kolutif kalangan dunia usaha. Budaya hedonik para pejabat publik telah dimanfaatkan oleh para pelaku usaha untuk berkolusi sehingga menyuburkan korupsi. Sejak lama diketahui bahwa sebagian dari pelaku usaha menjadi besar bukan karena kemampuan dan daya saing produk yang mereka miliki tetapi lebih pada faktor kedekatan mereka dengan jejaring birokrasi sehingga mereka mendapat berbagai fasilitas dan kemudahan”. 5 Sementara itu, mengenai alasan ketiga, dijelaskan sebagai berikut: “Alasan terakhir namun amat penting bagi suburnya korupsi, karena lemahnya perangkat undang-undang dan rendahnya integritas penegak hukum. Kita memang tidak dapat memungkiri kenyataan bahwa dari sejumlah kasus-kasus besar korupsi yang berhasil diungkap dan diajukan ke pengadilan, hanya segelintir saja untuk tidak menyebut tidak ada, yang berhasil dijerat dengan hukuman yang berat. Di sisi lain, hampir setiap saat media menyuguhkan berbagai keganjilan dalam proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan oleh Pengadilan serta berbagai cerita tentang perbedaan perlakuan, tebang pilih dan tarik ulur pada setiap tingkatan pemeriksaan oleh aparat penegak hukum. Kenyataan ini membuat para pelaku korupsi tidak pernah takut dan jera menggerogoti uang rakyat dan atau mengambil serta menikmati sesuatu yang bukan haknya”. 6

3Majalah Tempo, Negeri yang Carut Marut, edisi 20 April 2010, hal. 65-68 4Ibid.

5Ibid. 6Ibid.

(4)

41 Banyak kalangan menilai bahwa lemahnya perangkat perundang-undangan dan rendahnya integritas penegak hukum, adalah titik paling krusial dan paling menentukan keberhasilan pemberantasan tindak pidana korupsi. Sepanjang peraturan perundangan-undangan pidana dibidang tindak pidana korupsi, belum efektif dan atau masih memiliki pasal-pasal yang bersifat multi tafsir, maka penegak hukum yang kurang memiliki integritas akan memanfaatkan kelemahan peraturan perundangan-undangan dimaksud untuk kepentingannya sendiri. Bila demikian halnya, maka hukum tidak lagi berfungsi sebagai alat pembaharuan masyarakat (law as a tool of social engineering) sebagaimana dikemukakan oleh Roscoe Pound7, melainkan dimanfaatkan sebagai alat untuk berbuat kejahataan (law as a tool of a crime engineering).

Sejumlah kalangan mengartikan bahwa salah satu titik lemah penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi adalah ketentuan hukum pidana formil yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyangkut penetapan tersangka dan penahanan. Di tangan para penegak hukum yang tidak berintegritas, ketentuan mengenai penetapan tersangka dan penahanan, cenderung menjadi ladang memupuk kekayaan dan atau kepentingan bagi, akibat dari lemahnya ketentuan yang mengatur mengenai penetapan tersangka dan penahanan di dalam KUHAP.

Menurut ketentuan yang diatur di dalam KUHAP, yang dimaksud tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Untuk keperluan penyidikan, penegak hukum dapat melakukan penahanan. terhadap seorang tersangka. Kewenangan mana di atur di dalam Pasal 7 ayat (1) huruf d dan Pasal 20 KUHAP.

Berdasarkan ketentuan Pasal 21 KUHAP, kiranya dapat ditarik pengertian bahwa terdapat 3 (tiga) syarat penahanan, yakni syarat subjektif sebagaimana diatur dalam pasal 21 ayat (1), syarat formal sebagaimana diatur dalam pasal 21 ayat (2) dan (3), dan syarat objektif penahanan sebagaimana diatur dalam pasal 21 ayat (4).

B. Perumusan Masalah

Penulis membatasi dengan merumuskan permasalahan “Bagaimanakah Analisis Sanksi Dalam Tindak Pidana Korupsi ?”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penulisan untuk mengetahui dan menganalisis sanksi dalam tindak pidana korupsi.

D. Metode Penelitian

7Roscoe Pound dalam Mochtar Kusumaatmadja, 1976, Hubungan Antara Hukum

Dengan Masyarakat: Landasan Pikiran, Pola dan Mekanisme Pelaksanaan Pembaharuan Hukum, BPHN-LIPI, Jakarta, hal. . 9

(5)

42 Metode yang digunakan dalam tulisan ini digunakan pendekatan yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis selanjutnya dianalisis secara kualitatif.

E. Pembahasan

Didalam perspektif hukum pidana Indonesia, tindak pidana korupsi diatur dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Undang-undang Pemberantasan Tipikor).

Sebelum sampai pada analisis mengenai ketentuan sanksi pidana pembayaran uang pengganti dalam Undang-undang Pemberantasan Tipikor, ada baiknya terlebih dahulu ditinjau latar belakang lahirnya Undang-undang Pemberantasan Tipikor sebagai sebuah kebijakan hukum pidana atau kebijakan legislatif dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 16 Agustus 1999 dan ditempatkan dalam lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140 ini, lahir dari kesadaran bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi dan bahwa Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat, karena itu perlu diganti dengan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang baru sehingga diharapkan lebih efektif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi.

Selanjutnya berdasarkan pertimbangan bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa, maka Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 dirubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-undang yang disahkan di Jakarta pada tanggal 21 November 2001 dan ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2001 Nomor 134 tersebut, merubah ketentuan 13 (tiga belas) Pasal dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999. Diantara 13 Pasal tersebut, 9 Pasal merupakan perubahan terhadap ketentuan pidana pada Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang Pemberantasan Tipikor.

(6)

43 Disamping itu, perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. perlu dilakukan untuk menghindari keragaman penafsiran hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi.

Berdasarkan rumusan mengenai ketentuan pidana dalam Bab II Pasal 2 sampai dengan Pasal 20 Undang-undang Pemberantasan Tipikor tersebut di atas, dapat ditarik ringkasan mengenai bentuk-bentuk tindak pidana korupsi. Bentuk-bentuk tindak korupsi dimaksud dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) bagian, yakni korupsi yang bersifat aktif dan korupsi yang bersifat pasif.

Adapun jenis pidana atau sanksi pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana korupsi adalah pidana mati, pidana penjara antara 1 (satu) tahun sampai dengan pidana penjara seumur hidup, pidana tambahan dan gugatan perdata kepada ahli waris.

Penjatuhan pidana mati diatur di dalam pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) dan pidana penjara berupa pidana penjara paling singkat selama 1 (satu) tahun dan paling lama selama seumur hidup, diatur dalam sejumlah Pasal yakni Pasal 2 sampai dengan Pasal 12, Pasal 21 sampai dengan Pasal 22 dan Pasal 24 Undang-undang Pemberantasan Tipikor.

Sementara itu, mengenai gugatan perdata kepada ahli waris dapat dilakukan apabila tersangka korupsi yang meninggal dunia dalam penyidikan, diatur di dalam Pasal 33 Undang-undang Pemberantasan Tipikor. Disamping itu, dalam Undang-undang Pemberantasan Tipikor diatur pula hak negara untuk mengajukan gugatan perdata terhadap harta benda terpidana yang disembunyikan atau tersembunyi dan baru diketahui setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Harta benda yang disembunyikan atau tersembunyi tersebut diduga atau patut diduga berasal dari tindak pidanakorupsi. Gugatan perdata dilakukan terhadap terpidana dan atau ahli warisnya. Untuk melakukan gugatan tersebut, negara dapat menunjuk kuasanya untuk mewakili negara.

Disamping itu, untuk menjamin pengembalian uang negara dari tindak pidana korupsi Undang-undang Pemberantasan Tipikor juga mengatur mengenai sanksi pidana tambahan berupa pidana pembayaran uang pengganti. Ketentuan mengenai sanksi pidana tambahan dimaksud termaktub dalam Pasal 18 Undang-undang Pemberantasan Tipikor.

Mencermati ketentuan sanksi pidana pembayaran uang pengganti dan bentuk-bentuk sanksi pidana tambahan lainnya dalam Undang-undang Pemberantasan Tipikor, dapat dirasakan kehendak atau komitmen yang kuat dari penyusun Undang-undang atau penyandang kebijakan legislatif untuk menyusun suatu rumusan ketentuan yang dapat menjamin bahwa pada setiap kali terjadinya tindak pidana korupsi, akan terjadi pemulihan kerugian negara melalui perampasan kekayaan milik pelaku tindak pidana korupsi dan kewajiban pelaku untuk mengembalikan uang negara melalui sanksi pidana pembayaran uang pengganti.

Mengenai kedudukan peraturan perudangan pidana dalam penegakan hukum tidak dapat dipisahkan dari keberadaan kebijakan

(7)

44 hukum pidana. Upaya melindungi masyarakat melalui penanggulangan kejahatan yang merupakan inti dari kebijakan kriminal (criminal policy) merupakan bagian integral dari upaya mencapai kesejahteraan masyarakat. Kedua kebijakan tersebut memiliki hubungan saling melengkapi. Politik pembangunan hanya akan dapat tercapai apabila didukung oleh sebuah kebijakan kriminal yang baik. Sebaliknya, kebijakan penanggulangan kejahatan tidak akan banyak artinya apabila politik pembangunan justru merangsang tumbuhnya kejahatan.

Pengertian dari kebijakan kriminal dikemukakan antara lain oleh Marc Ancel seperti dikutip Barda Nawawi Arief bahwa kebijakan kriminal (criminal policy) didefinisikan sebagai “the rational organization of the control of crime by society” atau “suatu usaha rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan”.8

Bertolak dari pendapat Marc Ancel tersebut, G. Peter Hoefangels sebagaimana dikutip Barda Nawawi Arief, mengungkapkan beberapa pengertian dari kebijakan kriminal sebagai berikut :

1. Criminal Policy is a the rational organization reaction to crime; 2. Criminal Policy is the science of responses;

3. Criminal Policy is the science of crime prevention;

4. Criminal Policy is a policy of designating human behaviour as crime; 5. Criminal Policy is a rational total of the responses to crime9

Dari pendapat di atas, kiranya dapat diambil pengertian bahwa kebijakan kriminal adalah upaya melindungi masyarakat dari kejahatan untuk mendukung upaya pencapaian kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, kebijakan kriminal pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya pencapaian kesejahteraan masyarakat yang menjadi tujuan utama dari kebijakan atau politik sosial (social policy).

Hubungan kebijakan kriminal dan kebijakan sosial dikemukan oleh G. Peter Hoefnagels seperti dikutip Barda Nawawi Arief: “Criminal policy as a science of policy is part of a larger policy : the law enforcement policy...The legislative and enforcement policy is in turn part of social policy”.10

Bertolak dari konsepsi kebijakan integral yang demikian itu, maka kebijakan penanggulangan kejahatan tidak banyak artinya apabila kebijakan sosial atau kebijakan pembangunan itu sendiri justeru menimbulkan faktor-faktor yang merangsang tumbuhnya kejahatan. Sehubungan dengan masalah ini, PBB dalam beberapa kongres mengenai Crime Trend and Crime Prevention Strategies, menyatakan :

1. Kongres PBB ke-4 mengenai Prevention of crime and the Treatment of offenders tahun 1970 : Any dichotomy between a country ‘s policies for social defence and its planning for national development was unreal by definition; 2. Kongres PBB ke-6 tahun 1980:

8Barda Nawawi Arief, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Undip, Semarang, hal. 2.

9 Ibid. hal. 2

(8)

45 a. Crime prevention and criminal justice should be considered in the context of economic development, political system, social and cultural values and social change, as well as in the context of the new international economic order. b. It is a matter of a great importance and priority that programmes for crime

prevention and the treatment of offenders should be based on the social , cultural, political and economic circumstances of each country, in a climate of freedom and respect for human rights, and that members states should develop and effective capacity policy coordinated with strategies for social, economic, political and cultural development.

3. Kongres PBB ke-7 di Milan tahun 1985 :

Crime prevention and criminal justice should be considered in the context of economic development, political systems, social and cultural values and social chaneg, as well as in the context of the new international economic order. The criminal justice system should be fully responsive to the diversity of political, economic and social systems and to the constantly evolving conditions of society.11

Dari pernyataan-pernyataan Kongres PBB tersebut di atas, kiranya dapat diambil penegasan bahwa apabila hasil-hasil pembangunan didistribusikan secara pantas dan adil kepada semua rakyat serta menunjang seluruh kondisi sosial, maka pembangunan tidak bersifat kriminogen. Namun sebaliknya, ia dapat merangsang tumbuhnya kejahatan apabila pembangunan :

a. Tidak direncanakan secara rasional;

b. Perencanaannya tidak proporsional atau timpang dan tidak seimbang;

c. Mengabaikan nilai-nilai kultural dan moral;

d. Tidak mencakup strategi perlindungan masyarakat yang integral. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa dilihat dari sudut politik kriminal, masalah strategis yang justeru harus ditanggulangi ialah menangani masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat merangsang atau menumbuh-suburkan kejahatan. Ini berarti, penanganan atau penggarapan masalah-masalah tersebut justeru merupakan posisi kunci dan stategis dilihat dari sudut politik kriminal. Atau, kedua kebijakan tersebut memiliki hubungan saling melengkapi. Politik pembangunan hanya akan dapat tercapai apabila didukung oleh sebuah kebijakan kriminal yang baik. Sebaliknya, kebijakan penanggulangan kejahatan tidak akan banyak artinya apabila politik pembangunan justru merangsang tumbuhnya kejahatan.

Sementara itu, mengenai pengertian dari kebijakan kriminal antara lain dikemukakan oleh Mardjono Reksodiputro. Ahli hukum pidana tersebut menjelaskan bahwa :

Kebijakan penanggulangan kejahatan dalam arti yang luas pada hakekatnya adalah merupakan segala usaha yang dilakukan oleh pemerintah (negara) dan masyarakat terhadap kemungkinan terjadinya kejahatan (dan mereka yang mempunyai potensi untuk

(9)

46 melakukan kejahatan) maupun setelah terjadinya kejahatan (penyidikan, pemeriksaan, peradilan, dan pembinaan si pelanggar hukum).12

Dengan demikian, dilihat sebagai bagian dari politik hukum, maka politik hukum pidana mengandung arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik. Pengertian demikian terlihat pula dalam defisinisi “penal policy” dari Marc Ancel yang secara singkat dapat dinyatakan sebagai “suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik”. 13

Mengacu pada orientasi pada kebijakan sosial itulah, menurut Djoko Prakoso, mengutip pendapat Sudarto dalam menghaadapi masalah kriminal atau kejahatan, harus diperhatikan hal-hal yang pada intinya sebagai berikut:

a. Tujuan penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pemba-ngunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materil dan sprituil berdasarkan Pancasila. Sehubungan dengan ini maka penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan penyegaran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat;

b. Perbuatan yang diusahakan untuk mencegah atau menanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian materil dan sprituil atas warga masyarakat;

c. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil;

d. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, jangan sampai melampaui beban tugas (overblasting). 14

F. Kesimpulan

KUHAP belum memuat ketentuan yang jelas dan tegas tentang syarat penahanan terhadap seorang tersangka pelaku tindak pidana. Walaupun KUHAP telah mengatur parameter yang terukur atau kriteria yang jelas tentang syarat formal dan obyektif penahanan, namun KUHAP belum memuat parameter yang terukur atau kriteria yang jelas mengenai syarat subyektif penahanan. Hal itu terlihat dari ketentuan KUHAP yang menyerahkan sepenuhnya alasan penetapan penahanan kepada kewenangan penyidik yang didasarkan kepada pertimbangan subjektif dari

12 Mardjono Reksodiputro,2007,Kriminologi Dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Kedua.,Pusat Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian Hukum Jakarta (d/h Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, hal. 9.

13 Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hal 29

14 Djoko Prakoso, 1984, Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hal. 32

(10)

47 penyidik bersangkutan apakah keadaan tersangka menimbulkan kekhawatiran akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana, atau tidak. Dengan demikian, tidak terdapat parameter yang terukur atau kriteria yang jelas mengenai mengapa seseorang harus ditahan. Ketentuan penetapan penahanan yang sebaiknya diterapkan terhadap tersangka tindak pidana korupsi agar mampu meningkatkan kinerja penegakan hukum terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi adalah berupa penguatan terhadap ketentuan penetapan tersangka dan penghapusan atau pernyataan tidak berlaku bagi ketentuan Pasal 21 ayat (1) KUHAP yang mengatur mengenai syarat subyektif penahanan, khusus untuk tindak pidana korupsi.

G. Daftar Pustaka Buku

Adib Bahari, dkk, 2009 Komisi Pemberantasan Korupsi dari A sampai Z, Pustaka Yustisia, Yogyakarta

Andi Hamzah. 1993. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia. Pradnya Paramita, Jakarta.

Barda Nawawi Arif. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Undip, Semarang.

_____, 2002. Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung. Djoko Prakoso, 1984, Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini, Ghalia Indonesia,

Jakarta,

Mardjono Reksodiputro, 2007, Kriminologi Dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Kedua.,Pusat Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian Hukum Jakarta (d/h Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia

Roscoe Pound dalam Mochtar Kusumaatmadja, 1976, Hubungan Antara Hukum Dengan Masyarakat: Landasan Pikiran, Pola dan Mekanisme Pelaksanaan Pembaharuan Hukum, BPHN-LIPI, Jakarta

Peraturan Perundang-Undang

Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-undang No 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

Referensi

Dokumen terkait

PENGARUH MEKANISME GOOD CORPORATE GOVERNANCE DAN KINERJA KEUANGAN PERUSAHAAN TERHADAP TINGKAT..

Posisi pasar “ Lost Opportunity ” pada produk roti, kue, biskuit, dan produk lainnya yang sejenis di Malaysia, pada produk kembang gula di Macao, Malaysia, Thailand, dan Turki,

“Objek Pajak Parkir adalah penyelenggaraan tempat parkir diluar badan jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu

Dengan data rating yang rendah dari program musik BREAKOUT yang bersinggungan dengan target audiens utama BREAKOUT dan kota Surabaya yang memiliki profil penonton yang rendah

Pada bagian konsideran Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini

Negara Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi”, Skripsi ini hanya membahas pada tinjauan yuridis terhadap uang penggantian kerugian negara dalam tindak pidana korupsi

- Memberikan pedoman untuk melakukan penilaian risiko pada bahan kimia tertentu - Memberikan pedoman untuk melakukan manajemen risiko dengan menetapkan aturan yang

Compliance (pemenuhan) adalah kemampuan untuk memenuhi hukum Islam dan beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi dan perbankan Islam. Dimensi ini merupakan tambahan