• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERALIHAN GUGATAN PERDATA DALAM KASUS KORUPSI KEPADA AHLI WARIS KORUPTOR MENURUT HUKUM POSITIF INDONESIA DAN HUKUM ISLAM. Skripsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERALIHAN GUGATAN PERDATA DALAM KASUS KORUPSI KEPADA AHLI WARIS KORUPTOR MENURUT HUKUM POSITIF INDONESIA DAN HUKUM ISLAM. Skripsi"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

HUKUM ISLAM Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

Abu Rizal Hayyi 11150430000024

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1442 H/2021 M

(2)

i

PERALIHAN GUGATAN PERDATA DALAM KASUS KORUPSI KEPADA AHLI WARIS KORUPTOR MENURUT HUKUM POSITIF INDONESIA DAN

HUKUM ISLAM

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh : Abu Rizal Hayyi NIM 11150430000024

Dibawah Bimbingan

Fahmi Muhamad Ahmadi, M.Si.

NIP.197412132003121002

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1442 H/2021 M

(3)

ii

LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertandatangan dibawah ini :

Nama Lengkap : Abu Rizal Hayyi

NIM : 11150430000024

Tempat, Tanggal, Lahir : Bekasi, 05 Mei 1997

Prodi/Fakultas : Perbandingan Mazhab/syariah dan hukum Alamat : Kp. Cikedokan, Desa , Kec. Cikarang Barat,

Kabupaten Bekasi, Jawa Barat Dengan ini saya menyatakan

1. Skripsi ini merupakan asli hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata satu (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakrta, 16 Januari 2021

Abu Rizal Hayyi 11150430000024

(4)

iii

(5)

iv ABSTRAK

Abu Rizal Hayyi. NIM: 11150430000024. JUDUL SKRIPSI INI ADALAH.

PERALIHAN GUGATAN PERDATA DALAM KASUS KORUPSI KEPADA AHLI WARIS KORUPTOR MENURUT HUKUM POSITIF INDONESIA DAN HUKUM ISLAM. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui peraturan yang ada bertentangan atau tidak menurut hukum islam. Program Studi Perbandingan Mazhab, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 1442 H/2021 M + 97 Halaman.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui lebih mendalam mengenai; Pertama, gugatan perdata yang diwariskan dalam tindak pidana korupsi di Indonesia dalam dua kacamata hukum, yaitu hukum Islam dan hukum Nasional. Kedua, mengetahui persamaan dan perbedaan antara hukum perdata nasional dan hukum islam mengenai gugatan peerdata yang diwariskan kepada ahli waris tindak pidana korupsi.

Pendekatan penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif (penelitian hukum normatif), yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. serta metode perbandingan hukum dalam hal ini penulis akan mengkomparasikan antara hukum islam dan hukum positif yang berlaku Sesuai dengan karakteristik kajiannya, maka penelitian ini menggunakan metode Library research (kajian kepustakaan).

Penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa sanksi korupsi dijatuhkan hukuman ta’zir dalam islam. Gugatan perdata yang diwariskan kepada ahli waris tindak pidana korupsi sejatinya tidak bertentangan dengan hukum syara karna semata-mata untuk memisahkan mana harta waris dan mana bukan harta waris atau harta orang lain. Begitupun dalam hukum perdata Indonesia sebelum waris itu dibagikan terlebih dahulu dipisahkan harta yang bukan miliknya. baik dalam islam dan hukum perdata ahli waris sama-sama memiliki kewajiban pembayaran hutang pewaris.

Kata Kunci : Peralihan Gugatan Perdata, Tindak Pidana Korupsi Pembimbing : Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si.

Daftar Pustaka : 1977-2016

(6)

v

KATA PENGANTAR ميحرلا نحمرلا لاله مسب Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, karunia, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat menyelesaikan studi. Sholawat serta salam penulis curahkan kepada Nabi kita Sayyidina Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman jahiliyyah hingga zaman keilmuan seperti sekarang ini. Tak lupa pula kepada keluarga, sahabat dan para pengikutnya yang selalu mengamalkan sunnahnya hingga akhir zaman.

Skripsi ini berjudul gugatan perdata yang diwariskan kepada ahli waris tindak pidana korupsi perspektif hukum islam dan hukum nasional merupakan karya tulis penutup ditingkatan Strata satu (S1) dari semua pembelajaran yang sudah penulis dapatkan di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Semoga lahirnya karya tulis ini dapat menambah khazanah keilmuan khususnya bagi penulis, dan umumnya bagi para Akademisi. Dalam penulisan skripsi ini, penulis sangat menyadari akan pentingnya keberadaan orang-orang di sekitar penulis baik itu yang memberi dukungan secara keilmuan, pemikiran maupun materi, serta dukungan lain baik secara moril maupun spiritual. Sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Dukungan mereka sangatlah berarti karena dukungan mereka segala halangan dan hambatan yang ada dapat teratasi dengan mudah dan terarah. Dengan ini, penulis mengucapkan rasa terima kasih yang amat dalam kepada yang terhormat:

1. Bapak Dr. H. Ahmad Tholabi Karlie, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ibu Hj. Siti Hanna, Lc., M.A. Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab dan Bapak Hidayatulloh, S.H., M.H. selaku Sekretaris Prodi yang telah membantu segala hal yang bekenaan dengan perkuliahan hingga motivasinya dalam menyelesaikan skripsi ini.

(7)

vi

3. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah membimbing penulis selama masa perkuliahan hingga selalu memberikan motivasinya dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah ikhlas memberikan ilmu yang bermanfaat sehingga penulis dapat menyambung ilmu, baik dalam dunia pekerjaan maupun akademik ditingkat yang lebih tinggi.

5. Pimpinan beserta jajarannya Perpustakaan Pusat dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan ini, berupa buku, dan literatur lainnya sehingga penulis memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam penulisan skripsi ini.

6. Teruntuk ibu dan nenek tercinta serta segenap keluarga. Terimakasih yang amat dalam telah memberikan segalanya, baik itu lantunan bait-bait doa disetiap malamnya, ataupun yang bersifat dukungan moril maupun materil. Semoga Allah SWT selalu memberikan keberkahan, kesehatan, dan kemulian di dunia maupun akhirat atas segala kebaikannya yang telah diberikan kepada penulis. Semoga dapat membahagiakan, membanggakan, dan menjadi anak yang berbakti kelak.

7. Teruntuk teman atau sahabat serta senior yang telah saya kenal sejak menginjak tanah ciputat khusunya cepot, nawawi, almas, muamar, conan, Iqbal, wili gendut, wili botak, hariri, pakong. Terimakasih ya buat segala tawa canda dan lukanya.

Maaf nih suka ngerepotin dan ngeselin. Semoga kalian selalu diberikan kemudahan dalam hidup.

8. Kepada my bro tio dan hilmi. Makasih nih udah mau nemenin ngetik, dan menjadi temen curhat dan diskusi. Makasih juga buat cekih squad dan poci squad tetap selalu asik dan menghibur. Semoga kalian selalu dimudahkan jalannya.

9. Teruntuk keluarga besar Perbandingan Mazhab angkatan 2015 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah saling membantu disegala keadaan dan menjadi tempat bertukar fikiran dengan penuh semangat dan kerja keras.

(8)

vii

10. Teruntuk sahabat-sahabat PMII Komfaksyahum terkhusus angkatan 2015 yang tak bisa disebutkan satu persatu. Terimakasih telah hadir dan memberikan semua pembelajaran dan pengalaman berharganya diluar bangku perkuliahan selama ini.

11. Ucapan terakhir penulis tujukan kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, namun tidak mengurangi rasa hormat dan terima kasih penulis atas bantuannya dalam menyelesaikan skripsi ini.

Karena proses tidak akan mendustakan hasil, semuanya bergantung kepada kekuasaan Allah SWT yang Maha Segalanya. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya dan menjadi amalan baik yang akan dicatat oleh malaikat sebagai bekal kita di akhirat nanti. Amin.

Wassalamualaikum Wr. Wb

Jakarta, 16 Januari 2021 Penulis

(9)

viii DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA SKRIPSI...iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI... viii

PEDOMAN TRANSLITERASI ...x

BAB I ... 1

PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah, Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 7

D. Studi Review Terdahulu ... 8

E. Metode Penelitian ... 9

F. Sitematika Penulisan ... 11

BAB II ... 13

TINJAUAN UMUM MENGENAI KORUPSI DAN KEWARISAN DALAM ISLAM . 13 A. Tinjauan Umum Korupsi ... 13

B. Tinjauan Umum Kewarisan dalam Islam ... 25

BAB III ... 28

PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM ... 28

A. PertanggungJawaban hukum ... 28

B. Unsur-Unsur dalam Tindak Pidana ... 30

C. PertanggungJawaban Pidana Korupsi ... 32

(10)

ix

D. PertanggungJawaban Perdata Korupsi ... 38

E. Pidana tambahan ... 43

F. Contoh kasus ... 44

BAB IV ... 46

PERALIHAN GUGATAN PERDATA KASUS KORUPSI YANG DIWARISKAN KEPADA AHLI WARIS KORUPTOR PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DI INDONESIA DAN HUKUM ISLAM ... 46

A. Penggunaan Intrumen Hukum Perdata Dalam Upaya Pengembalian Kerugian Negara ... 46

B. Pandangan Hukum Islam ... 52

BAB V ... 59

PENUTUP ... 59

A. Kesimpulan ... 59

B. Saran ... 60

DAFTAR PUSTAKA ... 61

(11)

x

PEDOMAN TRANSLITERASI

Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan asing (terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini diperlukan terutama bagi mereka yang dalam teks karya tulisnya ingin menggunakan beberapa istilah Arab yang belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup masih penggunaannya terbatas.

1. Padanan Aksara

Berikut ini adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

ا Tidak dilambangkan

ب B Be

ت T Te

ث Ts Te dan es

ج J Je

ح H Ha dengan garis bawah

خ Kh Ka dan ha

د D De

ذ Dz De dan zet

ر R Er

ز Z Zet

س S Es

(12)

xi

ش Sy Es dan ye

ص S Es dengan garis bawah

ض D De dengan garis bawah

ط T Te dengan gari bawah

ظ Z Zet dengan garis bawah

ع Koma terbalik diatas hadap kanan

غ Gh ge dan ha

ف F Ef

ق Q مQo

ك K Ka

ل L El

م M Em

ن N En

و W We

ه H Ha

ء Apostrop

ي Y Ya

2. Vocal

Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti dalam bahasa Indonesia, memiliki vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal atau monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:

(13)

xii

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ـــ A Fathah

ـِــ I Kasrah

ـُــ U Dammah

Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:

Vokal arab Vokal Latin Keterangan

ي

َ ـــ

Ai a dan i

و

َ ـــ

Au a dan u

3. Vocal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ـــ ا â a dengan topi diatas

ـِــ ا Î i dengan topi atas

ـُــ و û u dengan topi diatas

(14)

xiii 4. Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan huruf alif dan lam (لا ),(dialih aksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah atau huruf qamariyyah. Misalnya:

داهثجلإا = al-ijtihâd.

ةصخرلا = al-rukhsah, bukan ar-rukhsah 5. Tasydid (syahadah)

Dalam alih aksara, syaddah atau tasydîd dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya: ةعفشلا = al-syuî ‘ah, tidak ditulis asy-syuf ‘ah

6. Ta Marbutah

Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbûtah tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihasarakan menjadi huruf “t” (te) (lihat contoh 3).

No Kata Arab Alih Aksara

1 ةعيرش Syariah

2 ةيملاسةعيرشلا al-syari al-islamiyah

3 بهاذلماةنراقم Muqarnat al-mazahib

7. Huruf Kapital

Walau dalam tulisan Arab tidak dikenal adanya huruf kapital, namun dalam transliterasi, huruf kapital ini tetap digunakan sesuai dengan ketentuan

(15)

xiv

yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diperhatikan bahwa jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka huruf yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Misalnya, يراخبلا = al-Bukhâri, tidak ditulis al-Bukhâri.

Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal.

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kara nama tersebut berasal dari bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn al-Rânîrî.

8. Cara Penulisan Kata

Setiap kata, baik kata kerja (fi’l), kata benda (ism) atau huruf (harf), ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:

No Kata Arab Alih Aksara

1 تا َر ْوُظْحملا ُحْيِبُت ُتا َر ْو ُرَّضلا al-darûrahtubîhu almahzûrât 2 يملاسلإاداصتقلإا al-iqtisâd al-islâmî

3 هقفلا لوصأ usûl al-fiqh

4 ةحابلإا ءايشلأا يف لصلأا al-‘asl fi al-asyyâ’ alibâhah

5 ةلسرلماةحلصلما al-maslahah al-mursalah

(16)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Telah tegas tercantum dalam konsitusi sebagai hukum tertinggi (the highest law) bahwa Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum adalah negara yang susunannya diatur dengan sebaik-baiknya dalam undang-undang sehingga alat kekuasaan dari alat pemerintah didasarkan pada hukum. Rakyat tidak boleh bertindak sendiri menurut kemauannya yang bertentangan dengan hukum yang berlaku pada negara tersebut.

Semangat untuk menempatkan hukum sebagai ujung tombak pembaharuan hukum ini, pada prinsipnya memiliki tujuan agar hukum dapat mengambil peranannya sebagai panglima reformasi demokrasi. Implementasi hukum sebagai panglima adalah aturan-aturan yang menitikberatkan pada pembatasan kekuasaan guna mencegah absolutism yang mengarah kepada onregmatigedaad bahkan berbuah tindakan ongrondwetting (bertentangan dengan Undang-undang).1

Tindak pidana korupsi merupakan isu hukum (legal issue) yang menarik untuk dibicarakan pada saat ini, sebab korupsi tidak hanya merugikan perekonomian negara, tetapi juga isu global yang melanda dunia2. Indonesia tidak menolerir pelaku tindak pidana korupsi. Secara harfiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat, dan merusak. Karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk3. Begitu halnya dengan hukum Islam yang disyariatkan Allah SWT. Untuk kemaslahatan manusia, salah satu dari syariat

1 Aswanto, Hukum dan Kekuasaan Relasi Hukum, Politik dan Pemilu. (Yogyakarta:

Rangkang Education, 2012) h 3.

2 Prayitno Iman Santoso, Pertanggung Jawaban Tindak Pidana Korupsi (Bandung: PT Alumni, 2015) h 1.

3 Evi Hartanti Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: Sinar Grafika, 2009) h 9.

(17)

tersebut adalah terpeliharanya harta hak milik yang bersih dari segala dosa. Oleh karena itu, larangan mencuri, merampas, dan mengambil hak orang lain secara bathil, hal semacam ini dipersamakan dengan korupsi karena menghalalkan segala cara untuk memperoleh keuntungan pribadi tanpa memikirkan orang lain yang juga membutuhkannya.

Korupsi sendiri merupakan tindak kejahatan tergolong berat karena ruang lingkupnya menyangkut kepentingan negara, mengambil uang negara yang semestinya diperuntukan untuk kepentingan rakyat. Hal ini menunjukan sudah terjadinya degradasi nilai-nilai kemanusiaan, merosot jiwa kemanusiaanya dan kemungkaran akan merajalela tidak memperdulikan lagi nilai-nilai ketuhanan.

Perbuatan tersebut termasuk perbuatan zhalim dan sangat ditentang oleh hukum agama.

Persoalan korupsi Indonesia, disahkannya UU No. 31 Tahun 1999 jo UU no. 20 Tahun 2011 tentang tindak pidana korupsi menunjukan hal yang sama dengan dunia internasional, termasuk Indonesia, menyepakati bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang dapat bersifat lintas negara, baik dari segi pelaku, aliran dana maupun dampaknya. Kesepakatan tersebut kemudian diwujudkan dalam sebuah inisiatif PBB melalui Konvensi PBB Anti Korupsi atau United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang ditandatangi pada tanggal 18 Desember 2003 di Merida, Mexico.

UNCAC meliputi serangkaian panduan dalam melaksanakan pemberantasan korupsi, meliputi upaya pencegahan, perumusan jenis-jenis kejahatan yang termasuk korupsi, proses penegakan hukum, ketentuan kerjasama internasional serta mekanisme pemulihan aset terutama yang bersifat lintas negara4. Hal ini mengatakan bahwa tindak pidana korupsi sudah merajalela bukan hanya di

4KPK, Komintmen Global Indonesia pada United Nations Convention Againts Corruption (UNNAC) dan G-20 Anti-Corruption Working Group (ACWG), (Jakarta: KPK, 2019) h 1.

(18)

Indonesia tetapi juga dunia. Ini menjadi perhatian besar dunia bagaimana cara mengatasi dan memeranginya.

Beberapa negara yang memiliki masalah korupsi yang sudah mengakar dan menyebar luas, hal ini akan sulit dipisahkan dengan sejarah masalalu Negara tersebut5. Sekalipun telah banyak upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan agama pun telah jelas melarang korupsi namun korupsi tetap saja meningkat, baik dari segi kuantitas kasus yang terjadi dan kualitas tindak pidana korupsi yang dilakukan pelakupun cenderung meluas, dan semakin merusak setiap lini kehidupan masyarakat.

Perbuatan dianggap sebagai suatu tindak kejahatan tidak lain karena perbuatan ini sangat merugikan kepada tatanan masyarakat, atau kepercayaan- kepercayaan atau harta benda, nama baik, kehormatan, jiwa dan lain sebagainya, yang semuanya itu harus dipelihara dan dilindungi serta dihormati. Suatu sanksi diterapkan kepada pelangar syara dengan tujuan seseorang tidak mudah melakukan perbuatan jarimah. Begitu pula dengan korupsi, korupsi bukan lagi sekedar mencuri uang negara demi memperkaya diri, tetapi tipu daya dan kerakusan yang merebak ke segala aspek kehidupan.6 Oleh sebab itu kejahatan tindak pidana korupsi termasuk kedalam kejahatan luar biasa (extraordinary crime).

Melihat betapa bahayanya tindak pidana korupsi bagi kehidupan maka sudah kiranya harus ada perlawanan terhadapa tindak pidana tersebut, dengan tujuan meminimalisir atau bahkan menghilangkan korupsi dari muka bumi ini.

Di Indonesia sendiri tidak tinggal diam dan hanya berpangku tangan melihat tindak pidana korupsi yang setiap saat masih saja sering kita temukan dan menghiasa berita-berita dalam negri baik dimuat ditelevisi, koran, atau berita

5 Ian McWalters, Memerangi Korupsi Sebuah Peta Jalan Untuk Indonesia (Surabaya:

JPBooks, 2006) h 275.

6 Kompas, Jihad Melawan Korupsi (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2005) h 21.

(19)

online. Melalui peraturan yang dikeluarkan lewat Undang-Undang tindak pidana korupsi sampai membuat intitusi anti korupsi yang independen yang bernama komisi pemberantas korupsi (KPK) adalah bukti serta wujud negara bertindak tegas terhadap tindak pidana korupsi.

Para pakar serta pengamat pun banyak yang berbicara tentang masalah tindak pidana korupsi terutama banyak dari mereka yang menilai penegakan hukum yang ada tentang kasus korupsi. Politik kriminal merupakan penanggulanagan korupsi yang melekat pada undang-undang korupsi. Mengapa dimensi politik kriminal tidak berfungsi, hal ini terkait pada penegakan hukum di Indonesia masih lemah. Sistem penegakan hukum yang tidak kondusif bagi iklim demokrasi ini diperparah dengan adanya lembaga pengampunan bagi konglomerat korupsi hanya dengan pertimbangan selera, bukan hanya dengan pertimbangan hukum7. Ini menunjukan bahawa masih lemahnya undang-undang anti korupsi, seolah olah membiarkan para pelaku koruptor untuk menjarah kekayaan asset negara karena hanya memetingkan kekuasaan politik dan kekuatan ekonomi pelaku koruptor.

Terlepas adanya kritikan dari para pakar tentang hukum atau undang- undang kasus korupsi yang ada, sejatinya Indonesia sebagai negara hukum tidak menolerir para pelaku korupsi atau yang biasa disebut koruptor. Maka tidak heran kajian serta telaah kasus korupsi telah mengalami perluasaan serta perdebatan panjang, mulai dari membangdingkan hukum yang satu dengan yang lainnya, sudahkah sanksi yang ada dapat membuat orang takut untuk melakukan tindakan korupsi. Semua dilakukan semata-mata agar perbuatan korupsi bisa diminimalisir atau bahkan hilang dari dunia ini khususnya Indonesia.

Negara pun mengambil langkah dalam pemberantasan korupsi, termasuk didalamnya tentang pengembalian asset negara yang dicuri. Hal ini tidak

7 Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: Sinar Grafika, 2009) h 4.

(20)

mengherankan, mengingat posisi korupsi sebagai tindak pidana khusus, yang memiliki undang-undang khusus dan diutamakan percepatan perkaranya. Namun demikian, tidak berarti jalur perdata sama sekali tidak dapat digunakan sebagai langkah untuk menangani perkara korupsi serta sebagai upaya pengembalian kerugian negara.

Penggunaan mekanisme perdata dalam penanganan perkara korupsi dapat dilakukan dalam dua situasi yaitu ketika pemeriksaan secara pidana mengalami hambatan, dengan kata lain proses pidana belum selesai, dan dalam upaya pengembalian aset negara yang dikorup. Secara normatif, pengaturan mengenai situasi yang memungkinkan gugatan perdata diajukan ketika pemeriksaan secara pidana mengalami hambatan, dengan kata lain proses pidana belum selesai ada dalam pasal 32 sampai dengan pasal 34 Undang-undang Nomor 31 Tahun1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Hukum Kewarisan menurut hukum Islam merupakan salah satu bagian dari hukum keluarga (al-Ahwalus Syahsiyah). Ilmu ini sangat penting dipelajari agar dalam pelaksanaan pembagian harta waris tidak terjadi kesalahan dan dapat dilaksanakan dengan seadil-adilnya, sebab dengan mempelajari hukum kewarisan Islam bagi umat Islam, akan dapat menunaikan hak-hak yang berkenaan dengan harta waris setelah ditinggalkan oleh muwarris (pewaris) dan disampaikan kepada ahli waris yang berhak untuk menerimanya. Dengan demikian, seseorang dapat terhindar dari dosa yakni tidak memakan harta orang yang bukan haknya, karena tidak ditunaikannya hukum Islam mengenai kewarisan.

Pengembangan pemahaman tentang korupsi dan pemberantasannya dari perspektif hukum syariah sebagai salah satu kajian dari banyaknya cara yang harus digunakan secara stimulan untuk melakukan pemberantasan korupsi memberikan beberapa keuntungan. Dintaranya adalah sifat dari hukum syariah

(21)

yang bernuansa agama. Pemberantasan kasus korupsi melalui pemanfaatan pengembangan wacana hukum bernuansa keagamaan dapat dimanfaatkan sebagai bagian dari keseluruhan upaya pemberantasan kasus korupsi dalam hukum islam. Dari latar belakang yang penulis kemukaan diatas maka penulis tertalik melakukan study perbandingan melalui judul yang penulis angkat yakni:

“Peralihan Gugatan Perdata Yang Diwariskan Dalam Kasus Korupsi Kepada Ahli Waris Koruptor Menurut Hukum Islam Dan Hukum Positif Di Indonesia”.

B. Identifikasi Masalah, Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas maka identifikasi masalah sebagai berikut:

a. Apa yang dimaksud dengan korupsi?

b. Mengapa perbuatan korupsi bisa terjadi?

c. Bagaimana islam memandang tentang korupsi?

d. Bagaimana hukum di Indonesia memandang korupsi?

e. Apa sanksi hukum bagi pelaku korupsi menurut islam?

f. Apa sanksi hukum bagi pelaku korupsi menurut undang-undang diindonesia?

2. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah yang penulis kemukakan diatas, agar penulisan skripsi ini lebih terarah dan menghindari kemungkinan pembahasan yang menyimpang dari pokok permasalahan yang diteliti, serta sesuai dengan pokok permasalahan yang dibahas dan identifikasi masalah yang disebutkan, maka skripsi ini dibatasi hanya membahas tentang peralihan gugatan perdata dalam korupsi kepada ahli waris koruptor menurut hukum islam.

(22)

3. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada batasan masalah diatas dan dalam rangka mempermudah penulis dalam menganalisis permasalahan, penulis menyusun suatu rumusan masalahnya adalah Bagaimana pandangan hukum islam terhadap peralihan gugatan perdata dalam korupsi kepada ahli waris koruptor menurut hukum islam?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penelitian

Dalam penulisan ini, ada beberapa tujuan yang hendak dicapai oleh penulis, dan manfaat yang dimaksud adalah:

a. Untuk mengetahui pandangan hukum islam tentang gugatan perdata yang diwariskan dalam tindak korupsi menurut islam.

b. Untuk mengetahui sejauh mana undang-undang di Indonesia mengatur hukuman bagi pelaku korupsi serta relevansinya terhadap hukum islam.

2. Manfaat Penelitian

Dalam penulisan ini, ada beberapa tujuan yang hendak dicapai oleh penulis, dan manfaat yang dimaksud adalah:

a. Secara akademis, menambah pengetahuan dan memberikan kontribusi tentang bagaimana islam sanski bagi pelaku korupsi.

b. Secara praktis, menghasilkan informasi undang-undang yang beralaku tentang sanksi tindak pidana korupsi dan relevansinya terhadap hukum islam.

c. Secara teoritis, mengembangkan ilmu pengetahuan islam dan hukum di Indonesia yang mengatur tentang gugatan perdata yang diwariskan dalam kasus tindak pidana korupsi.

(23)

D. Studi Review Terdahulu

Studi Review Terdahulu dilakukan untuk mengetahui seberapa banyak kajian dan pembahasan yang secara umum dan khusus membahas mengenai judul penelitian yang dilakukan oleh penulis. Dibawah ini beberapa pembahasan yang ada kaitannya dengan judul penelitian penulis. Dalam melakukan penulisan skripsi ini.

Banyak tulisan ataupun karangan-karangan ilmiah yang membahas tentang tema tersebut, baik bercorak studi kasus (penelitian) ataupun literature(referensi). Berikut beberapa tinjauan umum atas bagian karya-karya penelitian gugatan perdata yang diwariskan kepada ahli waris dalam tindak pidana korupsi.

1. Frans Rudy Putra Zebua, Iman Jauhari, Taufik Siregar, Tahun 2008 Jurnal Berjudul “Tanggung Jawab Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dan Ahli Warisnya Dalam Pembayaran Uang Pengganti Kerugian Keuangan Negara Ditinjau Dari Aspek Hukum Perdata” Jurnal ini membahas bisa tidanya penggunaan instrument hukum perdata dalam pertanggung jawaban pelaku dan ahli warisnya dalam kewajibannya pembayaran uang pengganti kerugian negara, Perbedaan dengan skripsi yang penulis buat dengan jurnal yang ditulis oleh frans rudy putra zebua, iman jauhari dan taufik siregar terdapat pada pembahasan didalamnya. Yakni penulis selain melihat ketentuan hukum perdata tapi pula melihat bagaimana pandangan serta kajian terhadap hukum islamnya apakah bertentangan dengan syara atau tidak tentunya disertai dengan alasan yang telah penulis kaji terlebih dahulu.

2. Fuad Akbar Yamin, Tahun 2013, Universitas Hasanuddin Makassar,

“Tinjauan Yuridis Terhadap Uang Pengganti Untuk Pengembalian Kerugian

(24)

Negara Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi”, Skripsi ini hanya membahas pada tinjauan yuridis terhadap uang penggantian kerugian negara dalam tindak pidana korupsi sebagai pidana tambahan, Perbedaan dengan skripsi yang penulis angkat dan tulis adalah terletak pada pembahasannya dimana penulis juga menekankan tentang gugatan perdata yang diwariskan dalam kasus korupsi kepada ahli waris menurut kajian intrumen hukum perdata serta kajian pandangan hukum islam.

3. Hendri Yanto, Fakultas Hukum, Universitas Sriwijaya, Tahun 2019, Gugatan Perdata Terhadap Ahli Waris Tersangka/Terdakwa Yang Melakukan Tindak Pidana Korupsi Dalam Lingkup Pasal 33 Dan Pasal 34 Undang-Undang Ri Nomor : 31 Tahun 1999 Sebagaimana Telah Diubah Undang-Undang Ri Nomor : 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tesis ini hanya membahas mekanisme dari peraturan yang ada dan mencoba melihat dari perspektif keadilan hukum, perbedaan dengan skripsi yang penulis bahas adalah penulis lebih membahas tentang peraturan tersebut apakah bertentangan dengan hukum islam atau tidak. Selain itu untuk melihat perbandingan dengan hukum perdata dan hukum islam.

E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Adapun jenis penelitian dalam proposal ini menggunakan penelitian normatif (penelitian hukum normatif), yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.8serta metode perbandingan hukum dalam hal ini penulis akan mengkomparasikan antara hukum islam dan hukum positif yang berlaku Sesuai dengan

8 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), (Jakarta: Rajawali Press, 2001) h 13-14.

(25)

karakteristik kajiannya, maka penelitian ini menggunakan metode Library research (kajian kepustakaan).9

2. Pendekatan Penelitian

Peter Marzuki mengemukakan bahwa di dalam penelitian hukum terdapat sejumlah pendekatan, yakni pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan (conseptual approach).10Bahwa dalam hal ini penulis melakukan pendekatan masalah melalui undang-undang serta melihat pandangan terhadap hukum islam.

3. Sumber Data

Pada penelitian ini, data yang digunakan berupa data hukum primer dan data hukum sekunder. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang utama berupa perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang berupa buku-buku, jurnal hukum, dan artikel hukum yang berasal dari media cetak maupun media elektronik.

4. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang akurat dan faktual, teknik teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan studi keputakaan dengan data-data yang kualitatif. Yakni dengan mencari bahan-bahan (referensi) yang terkait serta mempunyai relevansi dengan penelitian. Adapun teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan adalah dokumentasi, yaitu bahan-bahan yang telah

9 Fahmi Muhammad Ahmadi, Metode Penelitian Hukum, ( Jakarta. PT. Raja Grapindo Persada, 2008) h 97.

10Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Meida Group, 2008) h. 93

(26)

tersusun baik berupa buku maupun jurnal yang memiliki kaitan dengan pembahasan judul.

5. Analiasi Data

Analisis data yang digunakan adalah analisis komparatif, yaitu menganalisi pendapat dari kedua hukum antara hukum islam dengan hukum positif tentang gugatan perdata yang diwariskan kepada ahli waris dalam tindak pidana korupsi. Kemudian membandingkan antara keduanya sehingga dapat menemukan perbedaan dan persamaan untuk dijadikan kesimpulan yang akurat.11

6. Teknik Penulisan Skripsi

Penulisan skripsi ini berpedoman pada “Buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbtkan Oleh FSH Uin Jakarta tahun 2015”.

F. Sitematika Penulisan

Untuk mempermudah dalam penulisan skripi ini, penulis membuat sistematika penulisan dengan membagi kepada lima (5) bab, tiap-tiap bab terdiri dari sub-sub bab dengan rimcia sebagaai berikut:

BAB I : Pendahuluan yang berisi tentang latar belakang, identifikasi masalah, batsan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan terdahulu, kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : Bab ini suatu gerbang untuk pembaca dalam memahami korupsi termasuk didalamnya pengertian, hukum, serta jenis-jenis korupsi.

BAB III : Pertanggung jawaban pidana serta perdata bagi para pelaku korupsi.

11 Suharsmi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta:Ady Mahasatya, 2015) h 236.

(27)

BAB IV : Analisis study komparatif hukum islam dan hukum positif di Indonesia.

BAB V : Berisi kesimpulan berupa pernyataan singkat dari hasil penelitian, dan saran sebagai rekomendasi bagi banyak pihak.

(28)

13 BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI KORUPSI DAN KEWARISAN DALAM ISLAM

A. Tinjauan Umum Korupsi 1. Pengertian Korupsi

Tindak pidana korupsi dalam Bahasa latin disebut corruptio atau corrupios. Andi Hamzah menyatakan bahwa kata korupsi dari Bahasa latin yaitu “corruptio” atau “corruptus” yang kemudian muncul dalam banyak Bahasa eropa seperti Inggris dan Prancis yaitu “corruption” dalam Bahasa belanda “korruptie” yang selanjutnya muncul pula dalam perbendaharaan Bahasa Indonesia yaitu korupsi yang berarti suka disuap.12

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk kepentingan pribadi atau orang lain.13 Pendapat lain dikemukakan Syeh Hussein alatas dalam bukunya The Sosiology of corruption mengemukakan pengertian korupsi dengan menyebutkan benang merah yang menjelujuri dalam aktifitas korupsi yaitu subordinasi kepentingan umum dibawah kepentingan tujuan-tujuan pribadi yang mencakup pelanggaran norma-norma, tugas, dan kesejahteraan umum dibarengi dengan kerahasiaan, penghianatan, penipuan, dan kemasabodoan yang luar biasa akan akibat yang diderita oleh masyarakat.14

Secara luingistik kata korupsi berarti kemerosotan dari semua hal baik, sehat, dan benar, serta menjadi penyelewengan dan kebusukan.

12 Kristian dan Yopi Gunawan, Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2015) h 19.

13Departemen Pendidikann Nasinal, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta:PusatBahasa, 2008) h 756.

14 Chaeruddin DKK, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011) h 7.

(29)

Poerwardaminanta dalam kamus bahasa Indonesia mengatakan bahwa korupsi adalah perbuatan yang busuk, seperti penggelapan uang penerimaan uang uang sogok, dan sebagainya. S. H. Alatas mendefinisikan korupsi dari sudut pandang sosiologis bahwa “apabila pegawai negri menerima pemberian yang disodorkan oleh orang lain dengan maksud mempengaruhinya agar mendapat perlakuan istimewa pada kepentingan- kepentingan pemberi, itulah korupsi”.15

Korupsi merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seorang atau bersama-sama beberapa orang secara professional yang berkaitan dengan kewenangan atau jabatan dalam suatu birokrasi pemerintahan dan dapat merugikan departemen atau instasi terkait lain.16 Seseorang yang melakukan pelanggaran bidang administrasi seperti memberikan laporan melebihi kenyataan dana yang dikeluarkan merupakan jenis perilaku yang merugikan pihak yang berkaitan dengan laporan yang dibuatnya.

Dalam hukum Islam klasik belum dikemukakan oleh para fuqaha tentang pidana korupsi. Hal ini didasari oleh situasi dan kondisi pada waktu itu karna sistem administrasi belum dikembangkan. Korupsi atau dalam istilah hukum pidana Islam dinamakan al-ghulul serupa dengan kata khaana, urainya: gaalunkhaana qa huna ma ya’ khuzul ganimata khafyata qabla qassamatha. Artinya mengambil sesuatu dari ghanimah lantaran takut tidak mendapat bagian setelah ghanimah itu dibagi.17 Jadi, sebagaimana dijelaskan pula diatas bahwa yang melatar belakangi (asbab al-wurud) hadis nabi diatas ini adalah pemberian hadiah dengan motif tertentu. Dilihat dari asas pidana bahwa korupsi dan pencurian mempunyai kesamaan, yaitu sama-sama merugikan sepihak. Perbedaan antara keduanya hanya dari

15 Mustafa hasan dan Beni Ahmad Subeni, Hukum Pidana Islam Fiqh Jinayah, (Cet ke-1:

Bandung: Pustaka Setia, 2013) h. 364

16 Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009) h. 71

17 Mas Alim Katu, Korupsi Malu Ah!, (Makasar: Pustaka Refleksi, 2009) h. 10

(30)

teknis bukan prinsip. Atas dasar itu korupsi merupakan delik pidana ekonomi yang sanksi hukumya dapat disamakan dengan pidana pencurian baik mengenai yang dikorupsi maupun sanksi yang diberlakukan terhadap pelakunya begitu pula persyaratannya.

Meski didalam Al-Qur’an dan hadis belum terlalu dijelaskan tentang korupsi. Namun, disisi lain para ulama dan organisai islam khusunya organisai islam di Indonesia bersepakat bahwa korupsi dipersamakan dengan penyuapan atau pencurian karna barang atau harta yang diambil adalah milik orang lain atau milik negara secara bathil sehingga menimbulkan kerugian besar terhadap kemaslahatan ummat. Nahdatul Ulama sebagai organisai muslim terbesar di Indonesia dengan puluhan juta umat memandang korupsi sebagai berat (ghulul) terhadap rakyat. Dari cara kerja dan dampaknya, korupsi dikategorikan sebagai pencurian (sariqah) dan perampokan (nahb).18

Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lebaga fatwa pun telah mengelurkan status hukum korupsi, risywah, suap-menyuap, hadiah, atau jenis-jenis korupsi lainnya adalah haram.19 Adapun dalil yang digunakan sebagai berikut :

QS. Al-Baqarah ayat 188:

اوُلُكْأَتِل ِماَّكُحْلا ىَلِإ اَهِب اوُلْدُت َو ِلِطاَبْلاِب ْمُكَنْيَب ْمُكَلا َوْمَأ اوُلُكْأَت َلَ َو ْمُتْنَأ َو ِمْثِ ْلإاِب ِساَّنلا ِلا َوْمَأ ْنِم اًقي ِرَف

َنوُمَلْعَت Artinya: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang bathil dan jangan lah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari

18 Marzuki Wahid, Buku Jihad Nahdatul Ulama Melawan Korupsi, (Jakarta:Lakpesdam- PBNU, 2017) h 105.

19 Fatwa MUI tentang korupsi tahun 2000

(31)

pada harta benda orang lain iudengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.20

QS. Al-Nisa ayat 2

لِطاَبْلاِ ْمُكَنْيَبْمُكَلا َوْمَأاوُلُكْأَت َلَاوُنَمآَنيِذَّلااَهُّيَأاَي

“Hai orang-orang beriman janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan batil”.

QS. Ali’Imran ayat 161

ْلُلْغَي ْنَم َو ْفَن ُّلُك ٰىَّف َوُت َّمُث ۚ ِةَماَيِقْلا َم ْوَي َّلَغ اَمِب ِتْأَي

َنوُمَلْظُي َلَ ْمُه َو ْتَبَسَك اَم ٍس

“Barang siapa yang berhianat dalam urusan harta rampasan perang, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang ia hianatinya itu”.

2. Dimensi Korupsi dalan Islam

Islam mengenal korupsi dalam beberapa dimensi:

a. Ghulul

Ghulul mempunyai arti berkhianat terhadap harta rampasan perang. Secara terminologis, kata ghulul oleh Rawas Qala‘arji dan Hamid Sadiq Qunaibi dimaknai dengan:

ّعاتي ىف ّصدو ء ًشنا زخأ

“mengambil sesuatu dan menyembunyikannya dalam hartanya”.21

Pengertian ghulul pada mulanya memang hanya terbatas pada tindakan pengambilan, penggelapan atau berlaku curang, dan khianat terhadap harta rampasan perang. Dalam perkembangannya kata ini melebar dan mempunyai arti tindakan curang dan khianat terhadap harta-harta lain (tidak hanya terbatas pada harta rampasan perang),

20 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: J-Art, 2004) h. 29

21 Muhammad Rawas Qala‘arji dan Hamid Shadiq Qunaibi, Mu’jam Lughat al-Fuqaha, (Beirut: Dar al-Nafis, 1985), h 334.

(32)

seperti tindakan penggelapan terhadap harta baitul mal, harta bersama dalam suatu kerjasama bisnis, harta negara, harta zakat, dll.22

Sanksi hukum yang diterapkan pada perkara ghulul, jika dilihat pada ayat di atas memang bersifat moral, berupa resiko akan dipermalukan di hadapan Allah kelak di hari kiamat. Hal ini selaras dengan sanksi yang juga diberlakukan oleh Nabi terkait kasus tersebut, yaitu beliau enggan untuk mensholati jenazah pelaku ghulul. Bentuk sanksi hukum yang bersifat moral ini bisa dimaklumi karena pada saat itu kasus-kasus ghulul belum dianggap tindak pidana atau jarimah yang harus dijatuhi sanksi tegas karena jumlah kerugian akibat tidakan tersebut relatif masih kecil.

Dalam jumlah yang relatif masih kecil ini, Nabi mengedepankan pembinaan moral sebagai sanksi hukuman dan tidak menjadikannya suatu jarimah atau tindakan kriminal seperti kasus hudud atau qisas.

Namun akan berbeda jika kerugian mencapai jumlah yang sangat tinggi, maka hukuman pun tentu berbeda dengan yang sebelumnya.

b. Risywah

Dalam kamus al-Mu’jam al-Wasit, kata Risywah mempunyai arti:

ح لاطتإ وأ مطات قامحلإ ىطعٌ اي

“sesuatu yang diberikan dalam rangka membenarkan yang salah atau menyalahkan yang benar”.23

Apapun bentuknya jika dipergunakan untuk melegalkan sesuatu yang dilarang ataupun mengubah keputusan maka itu tidaklah diperbolehkan. Terkait sanksi yang digunakan untuk pelaku tindakan risywah tidak jauh berbeda dengan sanksi hukum bagi pelaku ghulul.

Dalam hal ini, Abdullah Muhsin athThariqi berpendapat bahwa sanksi

22 M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Amzah, 2014), h 81.

23 Nur Iqbal Mahfudh, “Hukum Pidana Islam Tentang Korupsi”. Jurnal agama dan hak asasi manusia vol 6, no 2, 2017.

(33)

hukum pelaku tindakan risywah memang tidak disebutkan secara jelas oleh syariat (alQuran dan Hadis), mengingat sanksi tindak pidana risywah masuk dalam kategori sanksi ta’zir yang kompentensinya ada di tangan hakim. Sedangkan untuk menentukan jenis sanksi agar sesuai dengan kaidah-kaidah hukum Islam dan sejalan dengan prinsip untuk memelihara stabilitas hidup bermasyarakat maka berat dan ringannya sanksi hukum harus disesuaikan dengan jenis tindak pidana yang dilakukan, dan disesuaikan dengan lingkungan dimana pelanggaran itu terjadi, kemudian dikaitkan dengan motivasi-motivasi yang mendorong sebuah tindak pidana itu dilakukan.24

Beliau ath-Thariqi juga menjelaskan bahwa sanksi ta’zir bagi pelaku tindak pidana risywah merupakan konsekuensi dari sikap melawan hukum Islam dan sebagai konsekuensi dari sikap menentang atau melakukan kemaksiatan kepada Allah. Untuk itu, harus dijatuhi sanksi tegas dengan tujuan menyelamatkan banyak orang dari kejahatan pelaku tindak pidana tersebut.25

c. Ghasab

Muhammad Khatib Syarbini memberikan arti ghasab dengan mengambil sesuatu secara dzalim, dan (sebelum mengambilnya secara dzalim, ia juga melakukannya) secara terang-terangan. Secara terminologi sebagai upaya untuk menguasai hak orang lain secara permusuhan atau terang-terangan.26

Dengan kata lain, ghasab dimaknai sebagai perbuatan mengambil harta atau menguasai hak orang lain tanpa izin pemiliknya

24 Abdullah ibn Abdul Muhsin ath-Thariqi, Jarimah ar-Risywah fi asySyariah al-Islamiyah, (Riyad: Mamlakah al-Arabiyah as-Su‘udiyah, 1982), h. 113.

25 Abdullah ibn Abdul Muhsin ath-Thariqi, Jarimah ar-Risywah fi asySyariah al-Islamiyah, h 115.

26 Muhammad Khatib Syarbini, Mughni al-Muhtaj ila Ma‘rifati Ma‘ani al-Fazial-Minhaj, Jilid 2, (Beirut: Dar al-Fikr) 1985 h 275.

(34)

dengan unsur pemaksaan yang dilakukan secara terang-terangan.

Berbeda dengan kasus pencurian yang dilakukan secara diam-diam.

Terkait sanksi ghasab, Imam Nawawi dalam kitabnya alMajmu’

syarh al-Muhadzab menguraikan secara detail terhadap sanksi yang harus dijatuhkan kepada pelaku ghasab. Pertama, jika barang yang diambil masih utuh dalam keadaan semula, maka barang tersebut wajib dikembalikan kepada pemilik aslinya. Kedua, seandainya barang yang diambil ternyata sudah tidak ada, maka wajib mengganti dengan barang yang sama atau dengan membayar ganti dengan harga yang sama.

Ketiga, andai barang yang diambil itu barang hidup dan mengalami penyusutan, maka pelaku harus membayar kekurangan yang telah hilang dari barang tersebut. Namun jika barang tersebut adalah benda mati seperti piring atau gelas, maka pelaku harus menggantinya secara utuh.27

d. Shariqah

Persoalan sariqah atau pencurian ini sebenarnya sudah tidak asing lagi. Tidak bisa dipungkiri bahwa pembahasan pencurian terkait hukum pidana Islam akan langsung mengarah pada hukum potong tangan. Yang perlu diperjelas adalah, bahwa hukum potong tangan tidak serta merta dilakukan tanpa adanya syarat dan ketentuan yang harus terpenuhi. Setidaknya ada empat unsur penting yang harus lebih dahulu ada pada kasus ini:

Pertama, mengambil secara sembunyi-sembunyi. Kedua, barang yang diambil berupa harta. Ketiga, barang yang diambil tersebut milik orang lain. Kempat, unsur melawan hukum.28

27 Abu Zakariya Muhyiddin ibn Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ syarh alMuhadzab jilid 14, (Jeddah: Maktabah al-Irsyad, 2008) h 65.

28 Abdul Qadir Audah, at-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami jilid 1, (Beirut: Dar al-Katib al-Azaliy, 2008), h 514.

(35)

Terkait unsur yang pertama itu pun harus memenuhi tiga syarat, yaitu pencuri mengambil barang curian dari tempat penyimpanan yang biasa digunakan untuk menyimpan, barang curian tersebut dikeluarkan dari pemeliharaan pihak korban dan terjadi proses pemindahan barang curian dari pihak korban kepada pihak pelaku. Jika syarat-syarat ini tidak terpenuhi maka proses potong tangan pun tidak bisa dijatuhkan.

Begitu juga syarat-syarat lain yang ada pada unsur-unsur yang lainnya.

Meskipun tindak pidana ini termasuk salah satu dari jarimah hudud karena secara tegas diatur dalam nash al-Quran dan Sunnah, pada dasarnya masih terjadi keberagaman interpretasi para ulama berkaitan dengan sanksi potong tangan bagi pelaku tindakan pencurian ini.

e. Al-Maks

Kata al-maks atau pungutan liar yang biasa disingkat dengan pungli, sebenarnya sudah terjadi sejak masa-masa sebelum Nabi diutus.

Di dalam kitab Lisan al-Arab, kata almaks bermakna beberapa uang (dirham) yang diambil dari para pedagang di pasar-pasar pada zaman jahiliyah.’’29

Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abi Daud, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

للَ ىهصو ٍّهع لاله ىهص لاله لىصس تعًص للَ شياع ٍت حثمع ٍع : ةحاص حُجنا مخذٌ لا كي ش

‘’Dari Uqbah ibn Amir berkata, saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: orang yang melakukan pungutan liar tidak akan masuk surga.’’

Hadits ini sangat jelas sekali bahwa hukuman bagi pelaku pungutan liar tidaklah seperti tindak pidana berat / hudud. Nabi lebih

29Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar Shadir, 2008), jilid 6, h. 220

(36)

memilih pendekatan moral dalam hal pemberian sanksi pelaku pungutan liar.

3. Jenis-jenis Tindak Pidana Korupsi

Sejatinya definisi korupsi telah disebutkan secara gamblang dalam 13 buah pasal UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001.

Berdasarkan pasal-pasal terebut, korupsi dirumuskan kedalam tiga puluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal terebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karna korupsi.30

Ketiga puluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokan sebagai berikut:31

a. Kerugian keuangan negara:

Bahwa segala sesuatu yang merugikan negara baik langsung maupun tidak langsung termasuk kategori perbuatan korupsi, ketentuannya mengenai jenis tindak pidana korupsi ini telah dimuat dalam Undang-Undang No 31 tahun 1999 jo Undang-Undang No 20 tahun 2001 yang tertera pada pasal.

b. Suap-menyuap:

Suap menyuap termasuk jenis tindak pidana korupsi yang mungkin paling sering dilakukan. Suap menyuap sangat popular sebagai upaya memuluskan atau meloloskan suatu harapan/keinginan/kebutuhan sipenyuap dengan memberikan sejumlah uang.

c. Penggelapan dalam Jabatan:

30Komisi Pemberantasan Korupsi, Memahami Untuk Membasmi, (Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2006) h 15.

31KPK, “Modul Tindak Pidana Korupsi”, (Jakarta:Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat, 2016) h 23.

(37)

Korupsi jenis ini tentunya mereka yang memiliki jabatan tertentu, bentuk lain dari penyalah guanaan jabatan adalah pemalsuan dokumen maupun buku untuk pemeriksaan administrasi sehingga sang pelaku memperoleh keuntungan untuk dirinya sendiri maupun orang lain, kata lainnya adalah penghancuran bukti penyimpangan berupa akta, surat, ataupun data yang dapat digunakan sebagai barang bukti penyimpangan.

d. Pemerasan:

Model lain pemerasan yang berhubungan dengan uang adalah menaikan tarif diluar ketentuan yang berlaku. Misalnya pegawai negri memasang tarif 50 ribu untuk membuat suatu dokumen padahal edaran resmin yang dikeluarkan 15 ribu.

e. Perbuatan Curang:

Seperti juga pemerasan bahwa jenis ini banyak yang tidak mengetahui bahwa ini termasuk dalam tindak pidana korupsi. Padahal perbuatan curang sendiri telah duatur dan termasuk salah satu perbuatan korupsi.

f. Bentuk Kepentingan dalam Pengadaan:

Benturan kepentingan ini terkait dengan jabatan tersebut atau kedudukan seseorang yang di satu sisi ia dihadapkan pada peluang menguntungkan dirinya sendiri, keluarga, ataupun kroni-kroninya, yang secara lengkap diatur didalam Pasal 12 huruf i.

g. Gratifikasi:

Pengertian gratifikasi dapat diperoleh dari penjelasan pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001, yaitu pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan dalam atau luar

(38)

negri, yang dilakukan dengan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Hal yang perlu dipahami, jika dikaitkan dengan adanya kewajiban penyetoran gratifikasi kenegara sebagai tindak lanjut dari keputusan pimpinan KPK tentang penetapan status gratifikasi menjadi milik negara, maka gratifikasi yang dimaksud dalam unsur pasal ini haruslah penerima yang dapat dinilai dengan uang.

1) Yang menerima gratifikasi haruslah pegawai negri/penyelenggara negara.

2) Gratifikasi yang dianggap pemberian suap.

4. Unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi

Unsur unsur tindak pidan korupsi tidak akan terlepas dari unsur- unsur yang tercantum dalam pasal 2 dan pasal 3 Undang-Undang No 31 tahun 1999 jo Undang-Undang no 21 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, sebagai berikut:

- Pasal 2 setiapa orang yang melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau salah satu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana paling singkat 4 (tahun) paling lama 20 (tahun), dan denda paling sedikit dua ratus juta rupiah dan paling banyak satu milyar.

- Pasal 3 setiap orang yang bertujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya Karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana seumur hidup atau pidana paling

(39)

singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dana tau denda paling sedikit lima puluh juta rupiah paling banyak satu milyar.

Firman Wijaya mengguraikan unsur-unsur delik korupsi yang terdapat dalam pasal 2 UU PTPK tersebut sebagai berikut:

a. Setiap orang

b. Secara melawan hukum

c. Perbuatan memperkaya diri sendiri dan orang lain atau suatu korporasi d. Dapat merugikan keuangan negara atau keuangan negara.

5. Subjek Hukum dalam Tindak Pidana Korupsi

Subjek hukum tindak pidana korupsi di Indonesia pada dasarnya adalah orang pribadi sama seperti yang tercantum dalam hukum pidana umum. Hal ini tidak mungkin ditiadakan, namun ditetapkan pula suatu badan yang dapat menjadi subjek hukum tindak pidana korupsi sebagai mana dimuat pada pasal 20 jo pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.

Subjek hukum tindak pidana korupsu terdiri dari subjek hukum orang dan subjek hukum korporasi.

a. Subjek Hukum Orang

Subjek hukum tibdak pidana tidak terlepas pada sistem pembebanan pertanggung jawaban pidana yang dianut. Dalam hukum pidana umum (sumber pokoknya KUHP) adalah pribadi orang.

Pertanggung jawaban bersifat pribadi, artinya orang yang dibebani tanggung jawab pidana dan pidana hanyalah orang atau pribadi sipembuatnya.

Subjek hukum orang dalam UU PTPK ditentukan melaui dua cara antara lain:

(40)

1) Cara pertama disebutkan sebagai subjek hukum orang pada umumnya, artinya tidak ditentukan kualitas pribadinya Kata permulaan dalam kalimat rumusan tindak pidana yang menggambarkan atau menyebutkan subjek hukum tindak pidana orang pada umumnya, yang In Casu tindak pidana korupsi disebutkan dengan perkataan “setiap orang” (misalnya pasal 2, 3, 21, ,22). Tetapi juga subjek hukum tindak pidana juga diletakan ditengah rumusan (misalnya pasal 5, 6).

2) Sedangkan cara kedua menyebutkan kualitas pribadi dari subjek hukum orang tersebut, yang In Casu ada banyak kualitas pembuatnya antara lain (1) pegawai negri: penyelenggara negara (misalnya pasal 8, 9, 10, 11, 12, huruf a, b, e, f, g, h, i), (2) pemborong ahli bangunan (pasal 7 ayat 1 huruf a), (3) hakim (pasal 12 huruc), (4) advokat (pasal 12 huruf d), (5) asksi (pasal 24), (6) tersangka (pasal 22 jo 28).

b. Subjek Hukum Korporasi

Penggunaan istilah badan hukum (reshtpersoon; legal entities;

corporation) sebagai subjek hukum semata-mata untuk membedakan dengan manusia (naturlijk person) sebagai subjek hukum, penempatan korporasi sebagai subjek hukum dalam tindak pidan korupsi adalah suatu hal yang baru dalam UU PTPK. Dengan demikian, subjek tindak pidana korupsi tidak hanya individu melainkan korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang belum berbadan hukum.

B. Tinjauan Umum Kewarisan dalam Islam 1. Pengertian Waris

“Mawarits, jamak dari mirats (iris, wirts, wiratsh, dan turast, yang dinamakan dengan mauruts) adalah harta peninggalan yang meninggal yang

(41)

diwariskan kepada pewarisnya. Orang yang meninggalkan harta disebut muwarits. Sedang yang menerima pusaka disebut warits.32

Adapun dalam Al-Qur’an ditemukan banyak kata warasa yang berarti menggantikan kedudukan, memberi atau menganugrahkan, dan menerima warisan. Sedangkan al-miras menurut istilah para ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup baik yang ditinggalkan itu berupa harta, tanah atau apa saja yang berupa milik legal secara syar’i.

Kewarisan yang disebut juga sebagai faraidh berartin bagian tertentu dari harta warisan sebagaimana telah diatur dalam nash Al-Qur’an dan Al-Hadits. Sehingga dapat disimpulkan kewarisan adalah perpindahan hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia terhadap orang-orang yang masih hidup dengan bagian yang telah ditentukan dalam nash- nash Al-Qur’an dan Al-Hadits.33

Pembagian harta peninggalan dalam islam akan dibagi setelah bersih dari pengurusan jenazah, utang, zakat dan wasiat, utang-utang pewaris sebagai pasiva dari harta peninggalan. Begitu pula dalam hal bagian masingmasing ahli waris, dalam hukum Islam membedakan bagian ahli waris antara lakilaki dan perempuan.

2. Kewajiban Ahli Waris

Kompilasi hukum islam pasal 175 ayat 1 tentang kewajiban ahli waris terhadap pewaris sebagai berikut :

a. Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah.

32 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fifih Mawaris, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2013) h 5.

33 Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011) h 18.

(42)

b. Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan, termasuk kewajiban pewaris maupun menagih hutang.

c. Menyelesaikan wasiat pewaris.

d. Membagi harta warisan kepada ahli waris yang berhak.

Pelaksanaan kewajiban ini hanya terbatas pada nilai atau jumlah yang ditinggalkan seperti yang telah dijelaskan pada pasal 175 ayat 2 sebagai berikut : “tanggung jawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban pewaris hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalannya”. Lalau bagaimana jika harta pewaris tidak cukup membiyayai kewajiban-kewajiban ahli waris tersebut. Ulama dalam hal ini berbeda pendapat. Ulama hanafiyah dan hanabilah serta syafi’iah berpendapat “bahwa biaya tersebut harus dipikul oleh keluarga-keluarga yang menjadi tanggungannya sewaktu hidup. Sedangkan imam malik berpendapat bahwa “apabila si mayit tidak meninggalkan harta maka biaya perawatan jenazah langsung diserahkan kepada baitul mal.

(43)

28 BAB III

PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM A. PertanggungJawaban hukum

Tanggung jawab menurut kamus bahasa Indonesia adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya. Bertanggung jawab menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah berkewajiban menanggung, memikul, menanggung segala sesuatunya dan menanggung akibatnya. Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran atau kewajiban. Tanggung jawab itu bersifat kodrati, artinya sudah menjadi bagian hidup manusia, bahwa setiap manusia dibebani dengan tanggung jawab, apabila dikaji tanggung jawab itu adalah kewajiban yang harus dipikul sebagai akibat dari perbuatan pihak yang berbuat. Tanggung jawab adalah ciri manusia yang beradab, manusia merasa bertanggung jawab karena ia menyadari akibat baik atau buruk perbuatannya itu, dan menyadari pula bahwa pihak lain memerlukan pengadilan atau pengorbanan.

Selanjutnya mengenai Tanggung jawab hukum, Ridwan Halim mendefinisikan tanggung jawab hukum sebagai sesuatu akibat lebih lanjut dari pelaksanaan peranan, baik peranan itu merupakan hak dan kewajiban ataupun kekuasaan. Secara umum tanggung jawab hukum diartikan sebagai kewajiban untuk melakukan sesuatu atau berperilaku menurut cara tertentu tidak menyimpang dari peraturan yang telah ada.34

34 Khairunnisa, Tesis: ”Kedudukan, Peran dan Tanggung Jawab Hukum Direksi”, (Universitas Sumatra Utara, 2008) h 4.

(44)

Selanjutnya menurut Titik Triwulan pertanggung jawaban harus mempunyai dasar, yaitu hal yang menyebabkan timbulnya hak hukum bagi seseorang untuk menuntut orang lain sekaligus berupa hal yang melahirkan kewajiban hukum orang lain untuk memberi pertanggung jawabannya.35

Menurut hukum perdata dasar pertanggung jawaban dibagi menjadi dua macam, yaitu kesalahan dan risiko. Dengan demikian dengan pertanggung jawaban atas dasar kesalahan (lilability without based on fault) dan pertanggung jawaban tanpa kesalahan yang dikenal (lilability without fault) yang dikenal dengan tanggung jawab risiko atau tanggung jawab mutlak (strick liability).36 Prinsip dasar pertanggung jawaban atas dasar kesalahan mengandung arti bahwa seseorang harus bertanggung jawab karena ia melakukan kesalahan karena merugikan orang lain. Sebaliknya prinsip pertangggung jawaban risiko adalah bahwa konsumen penggugat tidak diwajibkan lagi melainkan produsen tergugat langsung langsung bertanggung jawab sebagai risiko usahanya.

Purbacaraka berpendapat bahwa bahwa tanggung jawab hukum bersumber atau lahir atas penggunaan fasilitas dalam penerapan kemampuan tiap orang untuk menggunakan hak atau/dan melaksanakan kewajibannya.

Lebih lanjut ditegaskan, setiap penggunaan hak baik dilakukan secara tidak memadai maupun yang dilakukan secara memadai pada dasarnya tetap harus disertai dengan pertanggungjawaban, demikian dengan pelaksanaan kekuasaan.37

35 Titik Triwulan, Perlindungan Hukum Bagi pasien, (Jakarta:Prestasi Pustaka, 2010) h 48.

36 Titik Triwulan, Perlindungan Hukum Bagi pasien 2010 hal 49.

37 Purbacaraka, Perihal Keadaan Hukum, (Bandung :Citra Aditya, 2010) h 37.

Referensi

Dokumen terkait

pelapor dalam tindak pidana korupsi. Hasil penelitian : bentuk perlindungan yang diberikan jaksa kepada saksi. pelapor dalam perkara tindak pidana korupsi masih

pemberantasan korupsi khususnya mengetahui tentang pengembalian uang Negara akibat dari tindak pidana korupsi serta mengetahui kendala yang dihadapi dalam pengembalian kerugian

4) Penyerahan aset dari negara penerima kepada negara korban tempat aset diperoleh secara tidak sah. Tindakan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi sebagai

Jadi mengenai bagaimana Tinjauan yuridis terhadap implementasi pidana korupsi dalam upaya mengembalikan kerugian keuangan negara yang terdapat Undang-undang Nomor 31 Tahun

pada akhir penelitian, didapatkan kesimpulan bahwa yang menjadi dasar perumusan bagi terjadinya kerugian keuangan negara dalam perkara tindak pidana korupsi yaitu

Tujuan pidana tambahan pembayaran uang pengganti dalam perkara korupsi adalah untuk menekan kerugian negara akibat korupsi, banyak upaya yang dilakukan pemerintah untuk

Skripsi Mutia Oktaria Mega Nanda (2016), yang berjudul “Analisis Dampak Pengembalian Kerugian Keuangan Negara dalam Tuntutan dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi”. Penelitian

"Pergeseran Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Dari Pengejaran Tersangka ke Pengejaraan Uang Kerugian Negara", Bacarita Law Journal, 2022 Publication firmanbusroh.blogspot.com