GUNUNG SALAK, JAWA BARAT
RONI KONERI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
xi
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Bioekologi dan Konservasi Kumbang Lucanid (Coleoptera: Lucanidae) di Hutan Gunung Salak, Jawa Barat, adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, 14 Februari 2007
xii
Lucanidae) di Hutan Gunung Salak, Jawa Barat. Dibimbing oleh DEDY DURYADI SOLIHIN, DAMAYANTI BUCHORI, dan RUDY C. TARUMINGKENG.
Kumbang lucanid berperanan penting dalam ekosistem hutan dan merupakan elemen penting dari keanekaragaman hayati. Keberadaan kumbang lucanid di hutan Gunung Salak saat ini mulai terancam punah karena perburuan dan kerusakan habitat. Penelitian ini bertujuan untuk memahami pengaruh perburuan dan gangguan hutan terhadap komunitas dan fluktuasi populasi kumbang lucanid, selain itu juga mengkaji biologinya di laboratorium. Penelitian dilakukan dari bulan Mei 2004 sampai Desember 2005 di Gunung Salak, Jawa Barat. Pengambilan sampel kumbang lucanid dilakukan dengan tiga cara, yaitu 1) menggunakan perangkap lampu buatan yang dilaksanakan pada tiga tingkat gangguan hutan, 2) memanfaatkan lampu penerangan yang sudah terpasang di lapangan panas bumi Unocal pada lima ketinggian tempat berbeda, dan 3) mencatat jumlah kumbang lucanid yang dijual oleh pedagang kumbang. Pengambilan data kumbang lucanid dilakukan setiap bulan selama satu tahun. Analisis vegetasi menggunakan metode plot dan ditempatkan secara sistematis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tipe habitat berpengaruh nyata terhadap struktur vegetasi dan komunitas kumbang lucanid. Jumlah spesies, nilai keanekaragaman spesies, kemerataan spesies dan kerapatan tumbuhan bawah lebih tinggi pada hutan terganggu, sedangkan penutupan kanopi pohon, kerapatan pohon, dan luas bidang dasar pohon nilainya lebih rendah. Total kumbang lucanid yang terkumpul sebanyak 10.987 individu yang meliputi 12 spesies. Rata-rata kekayaan, kelimpahan dan nilai keanekaragaman spesies kumbang lucanid lebih tinggi pada hutan tidak terganggu daripada hutan kurang terganggu dan hutan sangat terganggu. Ketinggian tempat berpengaruh terhadap komunitas kumbang lucanid. Kekayaan, kelimpahan dan nilai keanekaragaman spesies kumbang lucanid berkurang dengan semakin tingginya lokasi penelitian. Hasil
redundancy analysis menunjukkan bahwa volume total kayu lapuk sebagai faktor lingkungan yang paling mempengaruhi struktur komunitas kumbang lucanid pada semua tipe habitat. Analisis faktor lingkungan utama yang sangat mempengaruhi distribusi spesies kumbang lucanid pada tiga tingkat gangguan hutan dari canonical correspondence analysis adalah tebal serasah, sedangkan pada hutan Unocal dengan lima ketinggian tempat dipengaruhi oleh volume kayu lapuk kelas 2. Fluktuasi kelimpahan populasi kumbang lucanid hasil perangkap lampu buatan dan Unocal tertinggi muncul pada bulan April dan Mei, sedangkan yang diperdagangkan tertinggi terjadi pada bulan Oktober dan Nopember.
Hasil pemeliharaan kumbang lucanid di laboratorium menunjukkan bahwa waktu yang dibutuhkan oleh O. bellicosa mulai dari pertemuan jantan dan betina sampai bertelur 26,20 hari dengan keperidian 24,20 butir perbetina. Telur menetas menjadi larva 5,80 hari, perkembangan larva menjadi kepompong 12 bulan dan imago muncul dari kepompong selama satu bulan. Laju reproduksi kotor sebesar 91,70 individu/induk/generasi, laju reproduksi bersih = 6,78 individu/induk/generasi,laju pertambahan intrinsik = 0,09 individu/induk/generasi dan waktu generasi = 21,37. Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa laju pemanenan kumbang lucanid lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhannya. Hal ini akan menyebabkan kumbang lucanid terancam kepunahan, untuk itu diperlukan usaha-usaha konservasi kumbang lucanid supaya kelestariannya tetap terjaga.
xiii
Lucanidae) in Salak Mountain Forest, West Java. Under the direction of DEDY DURYADI SOLIHIN, DAMAYANTI BUCHORI, dan RUDY C. TARUMINGKENG.
Lucanids beetles play a very important role in forest ecosystem and as an crucial element of biodiversity. Unfortunately, these lucanids beetles are now threatened by illegal hunting and habitat destruction. The objectives of the research were to study the effects of illegal hunting and disturbance forest level on the community and population of lucanids beetles, as well as to evaluate biology of lucanids beetles under laboratory condition. Research was conducted between May 2004 and December 2005 in Salak Mountain, Indonesia. Data of lucanids beetles were observed in three different methods. In the first method, lucanids were sampled using light trap in three forest habitats with different disturbance level (undisturbed forest, moderately disturbed forest, and highly disturbed forest). In the second method, lucanids were collected using Unocal lights at the Unocal compound (with five different altitudes i.e 1021 asl, 1110 asl, 1239 asl, 1349 asl, and 1400 m asl). In the third method, data of lucanids were acquired from local people who sold the beetles. Insect collections were conducted monthly during 12 months. Vegetation analyses were conducted using systematic plot method.
The result of study indicated that habitat type has a strong effect on lucanid beetle communities and vegetation structures. Number of species, species diversity, species eveness, and density of understorey vegetation were found to be lower in highly disturbed forest than forests with lower degree of disturbance. In contrast, canopy cover, plant density and bassal area of trees vegetation were found to be higher in forests experienced with lower disturbance. This study also identified 12 species of lucanids beetles of 10.987 individuals. Mean of species richness, abundance, and species diversity of lucanids beetle were recorded to be higher in undisturbed forest than forests experienced with lower degree of disturbance. Altitude was found to have a strong effect on beetle community. Species richness, abundance, and species diversity of lucanids beetle are decreasing with increasing altitude of locations. RDA (Redundancy analysis) identified that total volume of coarse woody debris (CWD) in the selected locations was recorded as key environmental factor influencing community structure of lucanids beetles. Based on CCA (canonical correspondence analysis), the thickness of litter was recorded as main factor affecting the ditribution of lucanids species in forests outside Unocal compound, however, in forests inside Unocal Compound, the distribution of the beetles were affected by the volume of CWD in decay class 2. Higher number of lucanids beetle species collected both from forests outside and inside Unocal Compound was recorded in April and May, but not in other months. Number of beetle harvested and traded was identified to be higher in October dan November.
From the laboratory evaluation, Odontolabis bellicosa needs
approximately 26,20 days from mating until eggs were produced with about 24,20 eggs per female. Eggs hacthed approximately 5,80 days after being were laid and it needs about 12 months to grow until pupation. Adults emerged from pupae about one month from pupa formation.Gross reproductive rate (GRR) was about 91,70 individual/ parent/generation, net reproductive rate (R0) was about
6,78 individual/parent/generation, intrinsic rate of increase (r) = 0,09 individu/parent/generation and generation time (T) = 21,37 months. Based on the result, we identified that harvesting rate of the beetle was recorded to be higher than their growth. This may threat the beetle population, therefore some conservation efforts are need to be developed for saving the beetle in the future.
xiv
©
Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007
Hak cipta dilindungi
xv
GUNUNG SALAK, JAWA BARAT
RONI KONERI
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Biologi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
xvi
Nama : Roni Koneri
Nomor Pokok : G 361020131
Program Studi : Biologi
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA. Ketua
Dr. Ir. Damayanti Buchori, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng, MF.
Anggota Anggota
Ketua Program Studi Biologi Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.
xvii
berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi ini sebagaimana yang diharapkan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan mulai dari bulan Mei 2004 sampai Oktober 2006 adalah bioekologi dan konservasi kumbang lucanid (Coleoptera: Lucanidae) di hutan Gunung Salak, Jawa Barat. Penelitian ini dilaksanakan di hutan Gunung Salak yang merupakan bagian dari Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Aspek-aspek yang diteliti meliputi analisis vegetasi, struktur komunitas kumbang lucanid, fluktuasi populasi kumbang lucanid dan pengamatan di laboratorium
yang mencakup biologi dan tabel kehidupan Odontolabis bellicosa yang
merupakan salah satu spesies dari kumbang lucanid. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan pengaruh perburuan kumbang lucanid dan gangguan hutan terhadap komunitas dan fluktuasi populasi kumbang lucanid, biologi dan tabel kehidupan kumbang lucanid serta menjadi bahan pertimbangan
dalam upaya mengembangkan konservasi kumbang lucanid baik secara in situ
maupun ex situ di hutan Gunung Salak.
Pelaksanaan penelitian dan penulisan disertasi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Penghargaan dan terimakasih dari lubuk hati yang paling dalam penulis ucapkan kepada Yth. Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA; Yth. Dr. Ir. Damayanti Buchori, M.Sc; dan Yth. Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng, MF; selaku komisi pembimbing atas bimbingan yang telah diberikan. Semoga jasa baik Bapak dan Ibu mendapatkan pahala yang setimpal dari Tuhan YME. Penulis juga menyampaikan ucapan terimakasih kepada Rektor Unsrat, Dekan FMIPA dan Pimpinan Jurusan Biologi FMIPA Unsrat yang telah memberi izin dan dukungan selama melaksanakan studi di IPB. Kepada Pimpinan IPB dan Sekolah Pascasarjana IPB, Pimpinan dan staf pengajar Departemen Biologi FMIPA IPB, Ketua Program Studi Biologi Pascasarjana IPB, Pimpinan dan staf Laboratorium Zoologi Biologi Tajur, Pimpinan dan staf Laboratorium Biologi Molekuler PAU, Pimpinan dan staf Laboratorium Bioekologi Predator dan Parasitoid Faperta IPB.Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Kepala dan staf Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Kepala dan sataf Perum Perhutani Sukabumi dan Bogor, Kepala dan staf Wanawisata Cangkuang Cidahu, Kepala dan Staf
Museum serangga LIPI Cibinong, Manager project dan staf Unocal Gunung
Salak atas izin dan fasilitas yang diberikan selama melaksanakan penelitian. Penelitian ini tidak akan terlaksana tanpa bantuan dana, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada Dirjen Dikti Depdiknas yang telah memberikan beasiswa BPPS; Direktur Peduli Konservasi Alam Indonesia (PEKA) yang telah membiayai penelitian sampai selesai, Yayasan Toyota & Astra dan Yayasan Damandiri yang telah memberikan dana untuk penulisan disertasi. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Prof. Dr.Woro A. Noerdjito yang telah membimbing identifikasi sampel lucanid serta memberikan masukkan untuk kesempurnaan tulisan ini. Kepada Bapak Dr. Ir. Purnama Hidayat, M.Sc dan Bapak Dr. Ir. Hermanu Triwidodo, M.Sc yang telah memberikan masukan terhadap disertasi ini. Kepada Dr. Ir. Ramadanil Pitopang, M.Si; Dr. Ir. Made Suwena, MP; Ir. Herny E. Simbala, M.Si; Ahmad Rizali, M.Si; Bandung Sahari, M.Si; Heri Tabadepu, SP; Wika Hamdini, SP; Nurhasanah, S.Si, Ratna Siaahan, M.Si. atas kerjasama dan dukungannya. Kepada teman-teman dari Program studi Biologi; Laboratorium Bioekologi Predator dan Parasitoid; Laboratorium Biologi Molekuler; Peduli Konservasi Alam Indonesia (PEKA); dan persatuan mahasiswa Sulawesi Utara atas dukungan yang diberikan.
xviii
Penulis dilahirkan di Cupak-Kab. Solok, Sumatera Barat, pada tanggal 13 Maret 1969 sebagai anak keempat dari sembilan bersaudara, dari pasangan H. Ali Aman dan Syamsinar. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar pada SD Negeri 2 Cupak-Kab. Solok tahun 1982, SMP Negeri Cupak-Kab. Solok tahun 1985 dan SMA Negeri Gunung Talang, Cupak-Kab. Solok tahun 1988. Lulus dari Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA Unsyiah Banda Aceh tahun 1993. Tahun 1995 mengikuti program Pramagister di Program Studi Biologi PPs ITB Bandung dan pada tahun 1996 mengikuti program S2 Biologi Program Pascasarjana Institut Teknologi Bandung dan menamatkannya pada tahun 1999. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor di Program Studi Biologi pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor diperoleh tahun 2002. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.
xix
DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN...
1 PENDAHULUAN ………...
Latar Belakang Penelitian ………... Tujuan Penelitian………... Manfaat Penelitian………... Alur Pemikiran dan Landasan Penelitian………....……...
2 TINJAUAN PUSTAKA………...
Deskripsi Kawasan Hutan Gunung Salak………... Taksonomi Kumbang Lucanid...……… Biologi Kumbang Lucanid dan Karakter Taksonomi yang penting... Ekologi Kumbang Lucanid...………....
Keanekaragaman Hayati ………... Vegetasi dan Kehidupan Serangga….………... Fragmentasi Habitat... Dinamika Populasi dan Neraca Kehidupan ……...
3 STRUKTUR KOMUNITAS KUMBANG LUCANID
(COLEOPTERA:LUCANIDAE) DI HUTAN GUNUNG SALAK, JAWABARAT………...
xx
Abstrak... Pendahuluan... Bahan dan Metode... Hasil... Pembahasan... Kesimpulan...
6 PEMBAHASAN UMUM ... 7 KESIMPULAN DAN SARAN ... DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN...
113 113 116 112 134 138
140
152
154
xxi
Waktu yang diperlukan oleh beberapa spesies kumbang lucanid untuk menyelesaikan tahap perkembangannya...
Perbedaan tiga tipe habitat penelitian kumbang lucanid di kawasan hutan Gunung Salak Jawa Barat...
Tingkat kebusukan jatuhan kayu yang digunakan untuk menghitung volume jatuhan kayu lapuk di hutan Gunung Salak...
Metode dan lama pengambilan sampel kumbang lucanid di hutan Gunung Salak Jawa Barat...
Kelimpahan spesies kumbang lucanid yang ditemukan dengan perangkap lampu buatan dan perangkap lampu Unocal selama satu tahun di hutan Gunung Salak...
Lima indeks nilai penting (INP) tertinggi dari spesies pohon, tiang, pancang dan tumbuhan bawah pada tiga tipe habitat di Gunung Salak...
Lima indeks nilai penting (INP) tertinggi dari famili pohon, tiang, pancang dan tumbuhan bawah pada tiga tipe habitat di Gunung Salak.
Spesies kumbang lucanid yang ditemukan dengan perangkap lampu buatan pada tiga tingkat gangguan hutan...
Kelimpahan spesies kumbang lucanid hasil perangkap lampu buatan pada tiga tingkat gangguan hutan di Gunung Salak...
Rata-rata dan standar deviasi struktur komunitas kumbang lucanid hasil perangkap lampu pada tiga tingkat gangguan hutan ...
Kelimpahan spesies kumbang lucanid berdasarkan jenis kelamin hasil perangkap lampu buatan pada tiga tingkat gangguan hutan di Gunung Salak ...
Volume kayu lapuk yang ditemukan pada tiga tingkat gangguan hutan...
Koefisien korelasi Spearman (RS) antara parameter lingkungan dengan struktur komunitas kumbang lucanid (kelimpahan, kekayaan, keanekaragaman dan kemerataan spesies) pada tiga tingkat gangguan hutan di Gunung Salak...
Ranking parameter lingkungan yang mempengaruhi struktur komunitas kumbang lucanid (kelimpahan, kekayaan, keanekaragaman dan kemerataan spesies) pada tiga tingkat gangguan hutan di Gunung Salak...
Ranking parameter lingkungan yang mempengaruhi distribusi spesies kumbang lucanid pada tiga tingkat gangguan hutan di Gunung Salak...
Spesies kumbang lucanid yeng ditemukan dengan perangkap lampu Unocal pada lima ketinggian tempat...
xxii
Rata-rata dan standar deviasi struktur komunitas kumbang lucanid hasil perangkap lampu Unocal pada lima ketinggian tempat...
Kelimpahan spesies kumbang lucanid berdasarkan jenis kelamin hasil perangkap lampu Unocal pada lima ketinggian tempat di hutan Gunung Salak...
Koefisien korelasi Spearman (RS) antara parameter lingkungan dengan struktur komunitas kumbang lucanid (kelimpahan, kekayaan, keanekaragaman dan kemerataan spesies) pada lima ketinggian tempat...
Ranking parameter lingkungan yang mempengaruhi struktur komunitas kumbang lucanid (kelimpahan, kekayaan, keanekaragaman dan kemerataan spesies) pada lima ketinggian tempat ...
Ranking parameter lingkungan yang mempengaruhi distribusi 12 spesies kumbang lucanid pada lima ketinggian tempat………...
Beberapa spesies kayu lapuk tempat bersarangnya kumbang lucanid di hutan Gunung Salak...
Kehadiran spesies kumbang lucanid yang ditemukan dengan tiga teknik pengambilan sampel selama satu tahun di Gunung Salak...
Kehadiran spesies kumbang lucanid hasil perangkap lampu buatan pada tiga tingkat gangguan hutan setiap bulan selama setahun...
Kehadiran spesies kumbang lucanid hasil perangkap lampu Unocal pada lima ketinggian tempat...
Kehadiran spesies kumbang lucanid yang dijual pedagang setiap bulan...
Spesies dan jumlah individu kumbang lucanid yang dijual berdasarkan jenis kelamin selama satu tahun...
Kelimpahan spesies kumbang lucanid yang ditemukan dengan tiga teknik pengambilan sampel selama satu tahun di hutan Gunung Salak..
Ukuran dan berat O. bellicosa yang dipelihara di laboratorium pada berbagai tahap perkembangan...
Rata-rata dan standar deviasi dari parameter O. bellicosa.....
Parameter populasi O. bellicosa yang dipelihara di laboratorium...
Neraca kehidupan statis Allotopus rosenbergi (Coleoptera:
xxiii
Kerangka penelitian kumbang lucanid di hutan Gunung Salak ...
Kumbang lucanid, Allotopus rosenbergi... Pertarungan dua ekor kumbang lucanid dengan menggunakan mandibulanya...
Morfologi kumbang lucanid...
Tahapan perkembangan kumbang lucanid...
Organ stridulasi pada larva kumbang lucanid...
Peta lokasi penelitian di Gunung Salak, Jawa Barat...
Tipe habitat yang dijadikan lokasi penelitian di Gunung Salak...
Penempatan plot dalam analisis vegetasi pada masing-masing titik sampel di hutan Gunung Salak...
Ilustrasi proyeksi vertikal penutupan tajuk pohon terhadap tanah untuk menghitung persentase penutupan tajuk…………...
Penempatan plot pada satu jalur transek untuk menghitung volume kayu lapuk dan ketebalan serasah pada setiap lokasi pengamatan di hutan Gunung Salak...
Perangkap lampu untuk sampling kumbang lucanid ...
Peta distribusi struktur komunitas kumbang lucanid, volume kayu lapuk dan lima famili pohon yang dominan (diameter > 20 cm) pada tiga tingkat gangguan hutan dan di hutan Unocal dengan lima ketinggian tempat berbeda...
Kurva akumulasi jumlah spesies tumbuhan berdasarkan Jack I
estimator pada tiga tingkat gangguan hutan di Gunung Salak... Pengaruh tingkat gangguan hutan terhadap struktur vegetasi pada tingkat pohon, tiang, pancang dan tumbuhan bawah di hutan Gunung Salak ...………...
Pengaruh tingkat gangguan hutan terhadap struktur vegetasi secara umum di Gunung Salak...
Kurva akumulasi spesies kumbang lucanid berdasarkan Jack I
estimator pada tiga tingkat gangguan hutan di Gunung Salak... Kelimpahan relatif spesies kumbang lucanid hasil perangkap lampu buatan pada tiga tingkat gangguan hutan di Gunung Salak.
Pengaruh tingkat gangguan hutan terhadap kekayaan, kelimpahan, keanekaragaman dan kemerataan spesies kumbang lucanid hasil perangkap lampu buatan ...
xxiv
Dendogram menggunakan UPGMA untuk melihat kemiripan vegetasi antar tingkat gangguan hutan ...
Plot skala dua dimensi (MDS) untuk melihat kemiripan vegetasi dan kumbang lucanid antar tingkat gangguan hutan...
Dendogram menggunakan UPGMA untuk melihat kemiripan vegetasi dan kumbang lucanid antar tingkat gangguan hutan...
Pengaruh tingkat gangguan hutan terhadap volume jatuhan kayu lapuk (m3 / ha) di Gunung Salak... Persentase volume kelas kebusukan kayu lapuk pada tiga tingkat gangguan hutan di Gunung Salak...
Pengaruh tingkat gangguan hutan terhadap volume kelas kayu lapuk (m3/ha) di Gunung Salak...
RDA (Redundancy analysis) dari kelimpahan (Klu), kekayaan
(Slu), keanekaragaman (Hlu) dan kemeratan spesies (Elu)
kumbang lucanid dengan 19 parameter lingkungan pada tiga tingkat gangguan hutan di Gunung Salak...
Ordinasi CCA (Canonical Correspondence analysis)
menggambarkan distribusi dari 11 spesies kumbang lucanid dengan 19 parameter lingkungan pada tiga tingkat gangguan hutan di Gunung Salak...
Kurva akumulasi spesies kumbang lucanid hasil penangkapan lampu Unocal berdasarkan Jack I pada lima ketinggian tempat di hutan Gunung Salak...
Kelimpahan relatif spesies kumbang lucanid hasil perangkap lampu Unocal pada lima ketinggian tempat...
Pengaruh ketinggian tempat terhadap kekayaan spesies, kelimpahan spesies, keanekaragaman spesies dan kemerataan spesies hasil perangkap lampu Unocal...
Plot skala dua dimensi (MDS) untuk melihat kemiripan komunitas kumbang lucanid antar lima ketinggian tempat di hutan konsensi Unocal Gunung Salak ...
Dendogram menggunakan UPGMA untuk melihat kemiripan komunitas kumbang lucanid antar lima ketinggian tempat di hutan konsensi Unocal Gunung Salak ...
RDA dari kelimpahan (Klu), kekayaan (Slu), keanekaragaman
(Hlu) dan kemeratan spesies (Elu) kumbang lucanid dengan 22 parameter lingkungan pada lima ketinggian tempat di hutan konsensi Unocal...
xxv
Persentase kehadiran spesies kumbang lucanid hasil perangkap lampu buatan selama satu tahun pada tiga tingkat gangguan hutan.
Pola sebaran tiga spesies kumbang lucanid yang selalu muncul setiap bulan pada tiga tingkat gangguan hutan di Gunung Salak.
Kelimpahan spesies kumbang lucanid setiap bulan hasil perangkap lampu buatan pada tiga tingkat gangguan hutan di Gunung Salak...
Fluktuasi kelimpahan kumbang lucanid hasil perangkap lampu buatan pada tiga tingkat gangguan hutan di Gunung Salak...
Pengaruh waktu pengamatan terhadap kelimpahan, kekayaan, keanekaragaman dan kemerataan spesies kumbang lucanid pada tiga tingkat gangguan hutan di Gunung Salak...
Kelimpahan spesies kumbang lucanid yang ditemukan setiap bulan dengan perangkap lampu Unocal pada lima ketinggian tempat di hutan Gunung Salak...
Pola sebaran 6 spesies kumbang lucanid yang ditemukan setiap bulan selama setahun pada lima ketinggian tempat di hutan Gunung Salak...
Pola sebaran tiga spesies kumbang lucanid yang bernilai jual tinggi pada lima ketinggian tempat di hutan Gunung Salak…...
Fluktuasi kelimpahan kumbang lucanid hasil penangkapan lampu Unocal pada lima ketinggian tempat di Gunung Salak...
Pengaruh waktu pengamatan terhadap kelimpahan, kekayaan, keanekaragaman dan kemeratan spesies pada lima ketinggian tempat di hutan Gunung Salak...
Pola sebaran empat spesies kumbang lucanid yang selalu dijual setiap bulan selama satu tahun………...
Kelimpahan spesies kumbang lucanid yang dijual oleh pedagang kumbang lucanid di sekitar kawasan hutan Gunung Salak...
Desain penelitian untuk pengamatan neraca kehidupan O.
bellicosa... Kelimpahan relatif spesies kumbang lucanid yang dijual pedagang selama satu tahun di sekitar hutan Gunung Salak...
Kelimpahan spesies Lucanidae yang ditemukan berdasarkan tiga teknik pengambilan sampel selama satu tahun di hutan Gunung Salak……….
xxvi 5.7
5.8
5.9
5.10
5.11
5.12
5.13
6.1
6.2
Kumbang O. bellicosa dewasa hasil pemeliharaan di laboratorium Siklus hidup O. bellicosa yang dipelihara laboratorium...
Kurva bertahan hidup lima ekor O. bellicosa diperoleh dari
pengamatan di laboratorium...
Kurva prediksi pertumbuhan O. bellicosa (Coleoptra: Lucanidae) yang memiliki empat kategori umur yang dipelihara di laboratorium...
Kurva prediksi pertumbuhan A. rosenbergi (Coleoptra:
Lucanidae) yang memiliki empat kategori umur (telur, larva, pupa dan dewasa) yang diamati di lapang...
Model populasi O. bellicosa dengan adanya perburuan…………..
Simulasi model pertumbuhan populasi O. bellicosa ….…………..
Faktor yang mempengaruhi dinamika metapopulasi kumbang lucanid...
Kerangka permasalahan dan pemecahan masalah ………..
127
127
129
130
131
133
134
145
xxvii
Daftar jenis dan famili tingkat pohon (dbh > 20 cm) pada tiga tipe habitat di hutan Gunung Salak ...
Daftar jenis dan famili tingkat tiang (dbh 10-20 cm) pada tiga tipe habitat di hutan Gunung Salak ...
Daftar jenis dan famili tingkat pancang (tinggi > 1,5 m, dbh < 10 cm) pada tiga tipe habitat di hutan Gunung Salak...
Daftar jenis dan famili tumbuhan bawah pada tiga tipe habitat di hutan Gunung Salak...
Kelimpahan spesies dan jenis kelamin kumbang lucanid yang dikoleksi dengan perangkap lampu buatan pada tiga tipe habitat...
Famili, jumlah spesies dan volume jatuhan kayu lapuk (m3/ha) yang ditemukan pada tiga tingkat gangguan hutan di Gunung Salak ...
Famili, spesies dan volume kayu lapuk (m3/ha) yang ditemukan pada tiga tingkat gangguan hutan di Gunung Salak...
Struktur komunitas kumbang lucanid dan 19 parameter lingkungan pada tiga tingkat gangguan hutan di Gunung Salak...
Kelimpahan spesies dan jenis kelamin kumbang lucanid yang dikoleksi dengan perangkap lampu Unocal pada lima ketinggian tempat di hutan Gunung Salak...
Struktur komunitas kumbang lucanid dan 22 parameter
lingkungan pada lima ketinggian tempat di hutan konsensi Unocal.
Spesies kumbang lucanid yang ditemukan di Gunung Salak dan penyebarannya pada beberapa Pulau di Indonesia...
Jumlah kumbang lucanid yang ditemukan di luar Indonesia...
Perbandingan jumlah spesies, kerapatan pohon dan luas bidang dasar pada lokasi penelitian dan beberapa lokasi lain di pulau Jawa berdasarkan tingkat gangguan hutan...
Lembaran isian jumlah spesies kumbang lucanid yang dijual pedagang setiap bulan di kawasan hutan Gunung Salak...
Jumlah individu dan persentase kumbang lucanid yang ditemukan setiap bulan dengan perangkap lampu buatan pada tiga tingkat gangguan hutan di hutan di Gunung Salak...
Jumlah individu dan persentase kumbang lucanid yang ditemukan setiap bulan dengan perangkap lampu Unocal pada lima ketinggian tempat di Gunung Salak...
Jumlah individu dan presentase kumbang lucanid yang terkumpul dan dijual oleh pedagang setiap bulan di kawasan Gunung Salak....
xxviii
Neraca kehidupan Odontolabis bellicosa (Coleoptera: Lucanidae)
yang dipelihara di laboratorium pada suhu 22-260
C (Ulangan 1/G1)...
Neraca kehidupan Odontolabis bellicosa (Coleoptera: Lucanidae)
yang dipelihara di laboratorium pada suhu 22-260C (Ulangan
1/G2)...
Neraca kehidupan Odontolabis bellicosa (Coleoptera: Lucanidae)
yang dipelihara di laboratorium pada suhu 22-260C (Ulangan
3/G3)...
Neraca kehidupan Odontolabis bellicosa (Coleoptera: Lucanidae)
yang dipelihara di laboratorium pada suhu 22-260C (Ulangan
4/G4)...
Neraca kehidupan Odontolabis bellicosa (Coleoptera: Lucanidae)
yang dipelihara di laboratorium pada suhu 22-260C (Ulangan
5/G5)...
Neraca kehidupan Odontolabis bellicosa (Coleoptera: Lucanidae) yang dipelihara di laboratorium pada suhu 22-260C (rata-rata dari
lima ulangan)...
Neraca kehidupan dan hasil perhitungan matriks Leslie O.
bellicosa (Coleoptera: Lucanidae) yang dipelihara di laboratorium berdasarkan empat kategori umur (Ulangan 1/G1)...
Neraca kehidupan dan hasil perhitungan matriks Leslie O.
bellicosa (Coleoptera: Lucanidae) yang dipelihara di laboratorium berdasarkan empat kategori umur (Ulangan 2/G2)...
Neraca kehidupan dan hasil perhitungan matriks Leslie O.
bellicosa (Coleoptera: Lucanidae) yang dipelihara di laboratorium berdasarkan empat kategori umur (Ulangan 3/G3)...
Neraca kehidupan dan hasil perhitungan matriks Leslie O.
bellicosa (Coleoptera: Lucanidae) yang dipelihara di laboratorium berdasarkan empat kategori umur (Ulangan 4/G4)...
Neraca kehidupan dan hasil perhitungan matriks Leslie O.
bellicosa (Coleoptera: Lucanidae) yang dipelihara di laboratorium berdasarkan empat kategori umur (Ulangan 5/G5)...
Neraca kehidupan dan hasil perhitungan matriks Leslie O.
bellicosa (Coleoptera: Lucanidae) yang dipelihara di laboratorium berdasarkan empat kategori umur (rata-rata dari lima ulangan)...
Spesies dan jumlah kumbang lucanid yang terkumpul dan dijual setiap bulan dari Desember 2004 sampai Nopember 2005...
xxix 33
34
Lokasi pengambilan sampel kumbang lucanid di hutan Gunung salak...
Dinamika metapopulasi kumbang lucanid yang terjadi di hutan Gunung Salak...
229
Latar Belakang Penelitian
Serangga merupakan makhluk hidup yang mendominasi bumi dan
berjumlah lebih kurang setengah dari total spesies tumbuhan dan hewan yang ada
di bumi (Ohsawa 2005) dan merupakan elemen penting dari keanekaragaman
hayati. Kurang lebih satu juta spesies serangga telah dideskripsikan dan
diperkirakan masih ada sekitar 5-30 juta belum diteliti di hutan tropik (Primack et
al. 1998). Keanekaragaman spesies serangga pada suatu areal yang kecil dalam
hutan tropik dapat mengandung jumlah yang besar (Grove & Stork 1999). Sebagai
contoh, Stork (1991) mengkoleksi lebih dari 4000 spesies serangga dan
arthropoda lainnya dari 10 pohon di hutan Borneo. Hammond (1990) mencatat
lebih dari 4000 spesies kumbang dalam satu hektar plot di hutan Sulawesi.
Serangga juga memiliki keanekaragaman luar biasa dalam ukuran, bentuk, warna
dan perilaku. Walaupun ukuran badan serangga relatif kecil dibandingkan dengan
hewan vertebrata, namun karena kuantitasnya yang demikian besar, menyebabkan
serangga sangat berperan dalam kestabilan suatu ekosistem dan siklus energi dari
suatu habitat (Tarumingkeng 2001).
Kehidupan serangga sangat ditentukan oleh faktor lingkungan biotik
maupun abiotik. Lingkungan biotik yang mempengaruhi kehidupan serangga
adalah tipe habitat, ketersediaan makanan, parasit, predator maupun patogen dari
serangga tersebut, sedangkan lingkungan abiotiknya meliputi suhu, kelembaban,
curah hujan, angin dan tanah. Beberapa studi menunjukkan bahwa berbagai
variabel iklim seperti sinar matahari, suhu, dan curah hujan, berkorelasi positif
dengan kekayaan spesies serta kelimpahan dari hewan tersebut (Wright 1983;
Turner et al. 1987; Woong 2003). Lassau et al. (2005) juga menemukan adanya korelasi positif antara faktor biotik (penutupan kanopi pohon dan penutupan tajuk
tumbuhan bawah) dan faktor abiotik (jumlah serasah dan kelembaban tanah)
Lingkungan serangga selalu dalam kondisi dinamis dan berubah, sehingga
serangga harus beradaptasi terhadap perubahan tersebut. Perubahan lingkungan
disebabkan oleh beberapa hal, baik yang bersifat alami maupun karena pengaruh
intervensi manusia. Perubahan lingkungan karena intervensi manusia membawa
pengaruh yang sangat berarti bagi kehidupan serangga. Perubahan yang
disebabkan oleh manusia antara lain adalah fragmentasi habitat, konversi dari
ekosistem alami menjadi buatan, eksploitasi sumberdaya alam berlebihan dan
introduksi spesies asing yang merubah tatanan keseimbangan lingkungan. Intachat
dan Holloway (2000) menyatakan bahwa stabilitas ataupun terjadinya perubahan,
seperti berubahnya iklim atau penebangan pohon, dapat menyebabkan perubahan
baik secara langsung atau tidak langsung terhadap kekayaan spesies komunitas
biotik di hutan tropik.
Salah satu famili serangga yang penting dalam ekosistem hutan adalah
kumbang lucanid yang termasuk dalam ordo Coleoptera. Keberadaan kumbang
lucanid pada ekosistem hutan sangat penting artinya dari segi ekologi yaitu dalam
menjaga keseimbangan ekosistem, terutama dalam jaring makanan karena
kumbang ini bersifat saproxylic yaitu sebagai pengurai bahan organik (kayu mati)
di hutan. Kumbang lucanid dewasa memiliki panjang badan bervariasi antara 1
sampai 9 cm dengan rahang atau mandibula yang besar serta kuat terutama pada
jantannya dan memiliki tipe mulut pengigit dan pengunyah (Tatsuta et al. 2001; Noerdjito 2003). Kepala larvanya juga dilengkapi dengan mandibula yang kuat
serta keras dan hal ini sangat berguna dalam mengebor atau merombak kayu lapuk
(Ratcliffe 2001; Noerdjito 2003).
Peran ekologis sebagai pengurai yang dilakukan oleh kumbang lucanid
sebagian besar terjadi pada fase larva. Larva kumbang lucanid hidup di dalam
kayu-kayu lapuk, dan tunggul kayu dengan proses mendapat makanannya melalui
penghancuran material batang kayu lapuk menggunakan rahang bawahnya. Hasil
serpihan kayu tersebut kemudian dilumatkan menjadi serbuk halus, dan
selanjutnya larva memakan serbuk tersebut (Oda 1997; Noerdjito 2003).
Kumbang ini hanya mendegradasi jatuhan kayu mati dan lapuk, sehingga tidak
dikatagorikan sebagai hama yang dapat merusak pohon-pohon di hutan. Hal
larva kumbang lucanid tidak memakan pohon yang masih hidup dan tidak bersifat
hama. Mereka berperan penting sebagai pengurai, membantu mengembalikan
mineral dari material tumbuhan mati ke tanah, membantu penyerapan kembali
senyawa anorganik atau nutrien oleh tumbuhan, yaitu dengan cara merombak atau
mendekomposisi dengan bantuan organisme lain. Walaupun fase imago dari
serangga perombak ini memiliki ukuran tubuh kecil, akan tetapi peranan
perombakannya jauh lebih besar dibandingkan kelompok hewan lainnya karena
memiliki jumlah jenis dan biomasa jauh lebih tinggi (Kahono 2003). Kecepatan
perombakan dari larva hewan ini cukup besar karena menurut Dajoz (1974) larva
kumbang lucanid seberat satu gram mempunyai kecepatan memakan kayu lapuk
sebesar 22,5 cm3/hari. Menurut Tarumingkeng (2001) dalam suatu habitat di
hutan hujan tropika, serangga pengurai peranannya dalam siklus energi adalah
diperkirakan 4 kalinya dari peranan jenis-jenis vertebrata.
Anggota kumbang lucanid yang diketahui di dunia sekarang ini, berjumlah
sekitar 109 genus (Paulsen 2005) dan 1000 spesies yang kebanyakan jenis ini di
temukan di Asia (Mizunuma & Nagai 2000; Hosoya et al. 2001). Di Indonesia genus dari kumbang ini berhasil dikoleksi di museum zoologi LIPI Cibinong
Bogor sekitar 24 genus yang berasal dari seluruh pulau di Indonesia (22,02% dari
jumlah genus yang ada di dunia). Keragaman jenis kumbang lucanid di Indonesia
menurut Mizunuma dan Nagai (1994) diketahui sekitar 178 spesies (17,8% dari
spesies yang ada di dunia) dan menurut laporan Noerdjito (2006) di Taman
Nasional Gunung Halimun Jawa Barat saat ini sudah terkumpul 14 spesies (7,87%
dari spesies yang ada di Indonesia atau 1,40 % dari spesies yang ada di dunia).
Selain memiliki keragaman jenis yang banyak, kumbang ini juga memiliki
jumlah biomasa yang besar. Endrestol (2003) menemukan total biomasa kumbang
lucanid sebesar 47 gr/m3 kayu lapuk jatuhan dan merupakan jumlah biomasa
tertinggi dari biomasa ordo Coleoptera yang ditemukan pada hutan hujan tropik
Dipterocarpaceae dataran rendah baik pada daerah bekas terbakar maupun tidak
terbakar di wilayah Kalimantan Timur.
Selain peran ekologi kumbang lucanid ini juga mempunyai arti ekonomi
penting, karena bentuknya yang menarik. Secara ekonomis kumbang lucanid
mempunyai bentuk tubuh dan mandibula yang sangat spesifik, disertai dengan
warnanya yang khas sehingga memiliki nilai estetik tinggi dan dapat dijadikan
sebagai hiasan rumah serta mainan anak-anak. Beberapa jenis kumbang lucanid
telah menjadi komoditi perdagangan baik tingkat nasional maupun internasional
dan memiliki harga jual bervariasi, mulai dari ribuan rupiah sampai dengan jutaan
rupiah. Nilai jual yang tinggi ini telah mengakibatkan peningkatan perburuan
terhadap kumbang ini sehingga penurunan populasinya terjadi sangat drastis
seperti yang terjadi terutama pada masyarakat sekitar kawasan hutan Gunung
Salak. Perburuan kumbang lucanid dewasa banyak dilakukan di kawasan Unocal
Geothermal Indonesia (UGI), wilayah Gunung Salak yaitu meliputi kabupaten Bogor dan Sukabumi. Selain di kawasasan UGI perburuan kumbang ini juga
dilakukan di luar kawasan UGI dengan memakai lampu petromak dan listrik dari
genset/generator. Tindakan masyarakat didalam memanfaatkan serangga ini
secara ekonomis telah menjurus kepada tindakan eksploitasi yang tidak terkendali
karena selain perburuan terhadap serangga dewasa para pemburu kumbang
tersebut mencari larva untuk dipelihara hingga dewasa. Pencarian larva kumbang
lucanid dilakukan dengan membongkar dan menghancurkan kayu-kayu lapuk di
hutan tempat bersarangnya larva kumbang tersebut. Dengan demikian dampak
jangka panjangnya akan sangat berbahaya terhadap keberadaan kumbang ini
apabila tindakan ini dibiarkan tanpa pengaturan kelembagaan dari departemen
kehutanan.
Penelitian tentang bioekologi coleoptera, terutama kumbang lucanid di
hutan Gunung Salak belum pernah dilakukan, padahal penelitian ini sangat
penting menginggat peran kumbang lucanid di hutan sebagai pengurai dan
membantu siklus nutrisi. Apabila keberadaan kumbang lucanid di Gunung Salak
punah akan mengakibatkan terganggunya kestabilan ekosistem hutan di Gunung
Salak. Untuk mempertahankan kestabilan ekosistem ini maka diperlukan
upaya-upaya konservasi kumbang lucanid. Inventarisasi dan analisis status
keanekaragaman hayati serangga dapat menjadi langkah awal yang baik untuk
membangun landasan dalam memformulasikan strategi konservasi.
Studi tentang kumbang lucanid banyak dilakukan di daerah temperata
Hoplogonus simsoni (Meggs 1997), Lissotes latidens (Meggs & Munks 2003),
Hoplogonus bornemisszai dan H. vanderschoori (Munks et al. 2004), Hoplogonus simsoni (Meggs et al. 2003); dampak penebangan dan pengambilan kayu terhadap kumbang lucanid (Coleoptera: Lucanidae) (Michaels & Bornemissza 1999);
pengembangan dan evaluasi prediksi model habitat untuk pengelolaan konservasi
kumbang lucanid (Hoplogonus simsoni) (Megss et al. 2004).
Hutan Gunung Salak merupakan salah satu kawasan pelestarian yang
terdapat di pulau Jawa bagian Barat. Kawasan pegunungan ini bersama dengan
Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) dan Gunung Gede Pangrango
(TNGGP) merupakan suatu kesatuan kawasan regional yang sangat penting bagi
kelestarian flora dan fauna. Kawasan ini termasuk hutan hujan pegunungan tropis
yang terdiri dari hutan primer dan sekunder yang kaya dengan flora dan fauna.
Saat ini kawasan hutan Gunung Salak mengalami banyak gangguan, seperti
penebangan hutan, alih fungsi lahan, pemanfaatan sumber daya alam, dan
intensifikasi pertanian. Perubahan yang cukup serius terjadi di areal hutan dataran
rendah (ketinggian < 1000 m dpl.). Hal ini terlihat dari banyaknya hutan dataran
rendah yang berubah menjadi semak belukar dan hutan sekunder muda (Yusuf
2004).
Pemanfaatan sumber daya alam hutan Gunung Salak berupa Pembangkit
Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) yang dikelola oleh UGI dan mulai beroperasi
sejak tahun 1982. Pada setiap lapangan pengeboran uap panas bumi dilengkapi
dengan lampu-lampu sorot untuk penerangan. Kehadiran lampu dapat memberi
dampak terhadap kehidupan serangga di hutan Gunung Salak, terutama kumbang
lucanid yang aktif terbang dan tertarik cahaya lampu pada malam hari. Kondisi ini
dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar hutan Gunung Salak untuk memburu
kumbang lucanid yang terperangkap oleh cahaya lampu yang terdapat di lapangan
uap panas bumi. Pada saat ini terdapat lebih kurang 8 lapangan panas bumi yang
menjadi lokasi perburuan kumbang lucanid dan tersebar dalam kawasan hutan
seluas 6.685 ha, masing-masing lapangan ditempati oleh 3-5 orang pemburu
kumbang. Perburuan kumbang lucanid biasanya dilakukan setiap malam pada
bulan gelap. Perburuan yang telah berlangsung lama ini ( ± 24 tahun) telah
terutama pada jenis-jenis yang digemari dan bernilai ekonomis tinggi. Hal ini
terbukti dari pergeseran dominasi jenis hasil tangkapan yang didapatkan oleh para
pemburu kumbang ini. Apabila perburuan ini terus dibiarkan berlangsung akan
mengakibatkan turunnya jumlah populasi kumbang lucanid, dalam jangka panjang
populasi yang kecil ini akan menyebabkan kehilangan keragaman genetik karena
proses hanyutan gen (genetic drift) dan naiknya derajat inbreeding. Berbagai teori dan simulasi, data lapangan menunjukkan bahwa populasi yang berukuran kecil
telah mendorong kehilangan alel dari suatu populasi (terfixasinya alel-alel
tertentu). Populasi berukuran kecil yang mengalami hanyutan genetik lebih rentan
terhadap berbagai efek genetik yang merugikan, misalnya berkurangnya
kemampuan berevolusi dan meningkatnya peluang menuju kepunahan (Primack,
1998).
Seberapa jauh pengaruh negatif dari tindakan masyarakat ini, yaitu
perburuan secara intensif baik pada stadia dewasa maupun larva dalam jangka
panjang terhadap kestabilan ekosistem kawasan ini, belum diketahui dengan
pasti, namun demikian beberapa peneliti menduga dalam jangka panjang akan
dapat di ketahui pengaruhnya. Oleh karena itu informasi mendasar dari bioekologi
serangga ini perlu dipelajari secara rinci.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengkaji bioekologi dan
konservasi kumbang lucanid (Coleoptera: Lucanidae) di hutan Gunung Salak.
Adapun tujuan khusus berdasarkan pada topik-topik penelitian ini adalah:
1. Mengkaji komposisi dan struktur komunitas kumbang lucanid di hutan
Gunung Salak.
2. Mengkaji fluktuasi spasial dan temporal kumbang lucanid di hutan Gunung
Salak.
3. Mengkaji biologi konservasi dan model pertumbuhan populasi kumbang
lucanid
4. Mencari strategi konservasi yang tepat untuk diterapkan dalam upaya
Manfaat Penelitian
Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh informasi tentang struktur
komunitas kumbang lucanid yang meliputi keanekaragaman, fluktuasi dan
pengaruh faktor lingkungan terhadap komunitas kumbang lucanid di hutan
Gunung Salak. Adanya perbedaan lingkungan biotik dan abiotik akan
mempengaruhi kehidupan kumbang lucanid di hutan Gunung Salak, sehingga
pemahaman terhadap pengaruh faktor-faktor lingkungan tersebut terhadap
dinamika populasi kumbang ini merupakan informasi yang sangat penting.
Selain struktur komunitas kumbang lucanid di lapang juga dipelajari
karakteristik biologi dan tabel kehidupan kumbang lucanid di laboratorium.
Informasi yang diperoleh dari hasil penelitian ini bersama dengan informasi yang
sudah ada mengenai kumbang lucanid, diharapkan menjadi bahan pertimbangan
dalam upaya mengembangkan konservasi kumbang lucanid baik secara in situ
maupun ex situ di hutan Gunung Salak. Hasil dari penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi dasar dan pendorong untuk penelitian-penelitian lebih lanjut
mengenai berbagai komponen ekologi dan aspek biologi dari kumbang lucanid
baik di ekosistem hutan Gunung Salak maupun pada ekosistem hutan lainnya.
Penelitian bioekologi dan konservasi kumbang lucanid di hutan Gunung
Salak yang dilakukan meliputi:
Penelitian 1: Kajian komposisi dan struktur komunitas kumbang lucanid di hutan
Gunung Salak, penelitian ini untuk menjawab permasalahan 1, 2 dan
3 (Gambar 1.1).
Penelitian 2: Fluktuasi spasial dan temporal kumbang lucanid di hutan Gunung
Salak, penelitian ini untuk menjawab permasalahan 1 dan 2
(Gambar 1.1).
Penelitian 3: Biologi konservasi dan model pertumbuhan populasi kumbang
lucanid, penelitian ini untuk menjawab permasalahan 4 (Gambar
1.1).
Penelitian 1 dan 2 akan memberikan informasi ekologi dan fluktuasi
kumbang lucanid dan penelitian 3 informasi perdagangan, biologi serta konservasi
kumbang lucanid. Berdasarkan informasi bioekologi akan dapat
memformulasikan strategi konservasi terhadap kumbang lucanid, sehingga
kestabilan ekosistem hutan dan kelestarian jenis kumbang tersebut di hutan
Gunung Salak tetap terjaga (Gambar 1.1).
Gambar 1.1 Kerangka penelitian kumbang lucanid di hutan Gunung Salak
Usaha-usaha perbaikan kearah kestabilan ekosistem berupa
kebijakan dan aktivitas (action)
Kestabilan ekosistem hutan terganggu
Laju dekomposisi dan siklus nutrisi terganggu Tekanan lingkungan terhadap
kestabilan ekosistem Hutan Gunung Salak
Penurunan populasi kumbang lucanidae (permasalahan umum)
Kurangnya informasi biologi dan neraca kehidupan lucanid (permasalahan 4) Perburuan kumbang
lucanid dewasa
Penebangan liar, alih fungsi lahan hutan menjadi pertanian Pemanfaatan dan
eksploitasi sumber daya alam (PLTP Gn.
Salak)
Gangguan terhadap kumbang lucanid (permasalahan 1)
Berdampak terhadap lanskap dan lucanid (permasalahan 2)
Fragmentasi dan kerusakan habitat
Hilangnya habitat kumbang lucanidae
(permasalahan 3)
Pengambilan larva lucanid untuk
Deskripsi Kawasan Hutan Gunung Salak
Status dan Luas Hutan
Hutan Gunung Salak merupakan bagian dari Taman Nasional Gunung
Halimun Salak. Sebelum digabung dengan Taman Nasional Gunung Halimun,
kawasan ini merupakan hutan lindung. Hal ini sesuai dengan Rencana Tata
Ruang (RUTR) dalam Keputusan Presiden No. 48 Tahun 1983. Kawasan Hutan
lindung Gunung Salak memiliki luas 31.237 ha. Kawasan hutan ini telah
memperoleh pengesahan tata batas yang jelas yaitu pada tanggal 3 Mei 1941; 5
Nopember 1906; 7 September 1934; dan Juni 1916 dan Surat Keputusan Menteri
Pertanian No 92/Kpts/Um/8/1954 tanggal 31 Agustus 1954. Kawasan hutan ini
dikelola oleh PT. Perhutani Unit III Jawa Barat yang secara administratif terletak
didua lokasi. Lokasi pertama adalah RPH Cianten, KPH Bogor yang terletak di
Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor. Kawasan ini merupakan hulu Sungai
Cisadane yang mengalir melalui wilayah Bogor dan Tangerang dan bermuara di
Laut Jawa. Lokasi kedua adalah RPH Gunung Salak, KPH Sukabumi yang
terletak di Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi.
Pada tanggal 10 Juni 2003, dengan SK Menteri Kehutanan Nomor
175/Kpts-II/2003, kawasan hutan lindung Gunung Salak berubah status menjadi
taman nasional. Kawasan hutan Gunung Salak digabung dengan Taman Nasional
Gunung Halimun dan berubah nama menjadi Taman Nasional Gunung
Halimun-Salak dengan luas setelah digabung menjadi 113.357 hektar. Keputusan ini
diambil dengan pertimbangan bahwa kawasan hutan yang berada di Gunung
Halimun dan Gunung Salak merupakan kesatuan hamparan hutan dataran rendah
dan pegunungan yang mempunyai keanekaragaman hayati yang tinggi, sumber
mata air bagi kepentingan kehidupan masyarakat sekitarnya yang perlu dilindungi
dan dilestarikan. Sehingga kawasan hutan lindung, hutan produksi tetap dan hutan
produksi terbatas yang berada di kedua gunung tersebut ditetapkan menjadi
Topografi
Secara geografis kawasan ini terletak di 060 42’43’’- 060 45’46’’ LS dan
106035’45’’ – 106043’43’’BT. Ketinggian lokasi berkisar antara 600 m dpl
sampai 2.211 m dpl. Topografi daerah ini bergelombang dan bergunung dengan
faktor kemiringan antara 15-50%. Kawasan Gunung Salak secara morfologi
terdiri dari deretan beberapa Gunung antara lain Gunung Gagak (1.500 m dpl),
Gunung Salak (1.439 m dpl), Gunung Purbakti (1.427 m dpl), Gunung Putri dan
Gunung Endut (1.474 m dpl) yang melingkari daerah Timur, Utara dan Selatan.
Selain terdiri dari sederetan pegunungan, di kawasan Gunung Salak juga terdapat
beberapa kawah yang masih aktif, seperti Cibeureum, Cibodas, Ciherang Balaok,
Pulosari dan Cipamanutan yang terletak di wilayah selatan dan barat. Kemiringan
lereng 15-30% di sekitar Gunung Salak dan mencapai 50% di sekitar kompleks
Gunung Salak (Pertamina-UGI 1995).
Tanah
Kawasan ini merupakan daerah vulkanik. Jenis tanahnya kebanyakan
adalah andosol dengan solum sedang sampai dalam (60-120 cm). Lapisan tanah
bagian atas kaya bahan organik yang berwarna coklat kemerahan sampai hitam.
Tekstur tanah adalah lempung dan lempung liat berdebu. Struktur tanah adalah
granular kasar dengan konsistensi sedang. Lapisan di bawahnya berwarna mulai
dari merah kekuningan, coklat kemerahan sampai coklat kuat dengan tekstur
lempung dan lempung berpasir, struktur granular kasar, konsistensi sedang.
Batu-batuan penyusun terdiri dari lahar, lava, bahan-bahan piroklastik dengan
komposisi basaltik andesit dan andesit yang berasal dari hasil kegiatan Gunung
Purbakti zaman awal pleistosen (Pertamina-UGI 1995).
Iklim
Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, curah hujan pada
Taman Nasional Halimun dan Kawasan Hutan Gunung Salak termasuk tipe
iklim A dengan nilai Q sebesar 0% sampai 143%. Suhu udara rata-rata bulanan
adalah 25,5°C dengan suhu tertinggi pada bulan Mei (25,9°C) dan terendah
bulan Februari (24,9°C). Kelembaban udara rata-rata 85,5% dengan kelembaban
Tekanan udara berkisar antara 986,9 milibar sampai 990,6 millibar
(Pertamina-UGI 1995).
Berdasarkan data pengamatan curah hujan selama sepuluh tahun
menunjukkan bahwa rata-rata curah hujan bulanan di daerah sekitar Gunung
Salak (stasiun Srogol 2211 m dpl) tertinggi terjadi pada bulan Nopember sampai
Mei, mencapai di atas 300 mm/bulan, sedangkan pada bulan-bulan Juni hingga
Oktober curah hujan umumnya kurang dari 300 mm/bulan. Pada daerah dimana
curah hujan lebih dari 300 mm/bulan terjadi pada bulan Desember dan pada
bulan-bulan selanjutnya mulai sedikit menurun, sedangkan di daerah yang mana
curah hujannya kurang dari 300 mm/bulan intensitas terendah terjadi pada bulan
Agustus yaitu sebesar 159 mm/bulan dan selanjutnya menunjukkan kenaikan
dengan intensitas yang cukup tinggi mulai bulan Nopember. Secara klimatologik
dapat dikatakan bahwa daerah Gunung Salak mengalami musim hujan sepanjang
tahun (Pertamina-UGI 1995).
Flora
Hutan Gunung Salak merupakan hutan hujan tropis yang terdiri dari hutan
primer dan sekunder. Secara umum jenis tumbuhan yang dominan adalah pasang
(Lithocarpus sp) dan puspa (Schima wallichii). Jenis tumbuhan lain yang termasuk dominan, tetapi penyebarannya kurang merata antara lain jenis huru
(Litsea sp.), rasamala (Altingia excelsa), saninten (Castanopsis argentea), kisampang (Evodia latifolia), gompong (Schefflera aromatica), ki leho (Saurauya pedunclosa). Sedangkan jenis tumbuhan herba yang dominan dan penyebarannya merata adalah hoi tali (Calamus sp.), dan ki beling gunung (Strobilanthes sp.). Jenis tumbuhan herba lainnya yang cukup dominan tetapi penyebarannya tidak
merata adalah awi rambat (Saxifrogaceo sp), begonia (Begonia sp.), congkok
(Curculigo capitulata), harendong (Melastoma malabatricum), paku tiang (Alsophylla glauca) dan tepus (Achasma megalochelos) (Pertamina-UGI 1995).
Fauna
Kawasan hutan ini memiliki berbagai tipe ekosistem yang merupakan
habitat satwa langka dan dilindungi. Jenis-jenis satwa langka yang terdapat di
lutung (Trachypithcus cristata), kijang (Muntiacus muntjak) dan macam tutul (Panthera pardus). Selain jenis-jenis mamalia tersebut, kawasan ini juga memiliki 114 jenis burung yang 9 jenis diantaranya merupakan jenis endemik. Jenis-jenis
amphibi yang terdapat di kawasan ini adalah katak bertanduk (Megalophyrys
montana), kodok buduk (Bufo melanotictus) dan katak biasa (Rana chalconota). Berbagai jenis reptil, ikan air tawar dan serangga dapat ditemukan di kawasan ini
(Pertamina-UGI 1995).
Taksonomi Kumbang Lucanid
Berbagai jenis serangga telah diketahui banyak menghuni hutan di
kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (Kahono, 2003). Beberapa
kumbang lucanid dari famili Lucanidae dapat ditemukan pada kawasan ini.
Kumbang lucanid kadang-kadang disebut juga dengan kepik pencubit karena
mempunyai mandibula yang besar pada jantan, ukuran mandibula separuh
panjang tubuh atau lebih besar dan bercabang seperti tanduk-tanduk menjangan
atau tanduk rusa, sehingga kumbang ini disebut juga kumbang rusa (stag beetles) (Gambar 2.1)(Borror et al. 1989). Oleh masyarakat di sekitar kawasan Gunung Salak kumbang ini dikenal dengan nama “bangbung capit”.
Gambar 2.1 Kumbang lucanid, Allotopus rosenbergi
70 mm
Biologi Kumbang Lucanid dan Karakter Taksonomi yang Penting
Ukuran tubuh kumbang lucanid berkisar dari 1 cm sampai 9 cm.
Kumbang lucanid jantan mempunyai rahang (mandibula) yang sangat panjang dan
kuat dan kadang-kadang digunakan untuk menyerang lawan jantan selama
perkelahian (Gambar 2.2). Kumbang lucanid betina mandibulanya tidak terlalu
besar. Pada betina perkembangan mandibula biasanya allometrik, yang mana
ukuran mandibula sebanding dengan ukuran tubuhnya. Tubuh kumbang lucanid
dewasa biasanya sedikit cembung, setengah datar, silendris dan umumnya
berwarna hitam atau coklat kemerahan, kadang-kadang mengkilat. Pada bagian
pungung sering terdapat bulu-bulu halus. Pada kumbang lucanid jantan maupun
betina mempunyai toraks berbentuk segi empat, coklat atau kuning, dengan atau
tanpa noda hitam dan licin. Kumbang ini mempunyai dua pasang sayap yaitu
sayap terbang dan sayap pengatur keseimbangan gerak serta memiliki 3 pasang
kaki yang ujung kakinya (tarsus) bergerigi tajam (Gambar 2.3) (Tatsuta et al.
2001; Ratcliffe 2001).
Kepala prognatus memanjang. Antena geniculate atau lurus, 10 ruas,
dengan 3-7 ruas melebar membentuk lammela, ruas pertama panjang dan
ruas-ruas berikutnya kurang dari setengahnya dan bentuknya sama. Mata tersusun oleh
ommatidia yang terletak di kedua sisi kepala. Bagian-bagian mulut yang terdiri
dari clyperus dan labrum bersatu di bagian dahi. Mandibula muncul di depan
labrum, yang mana pada kumbang jantan memanjang, melengkung ke dalam
membentuk capit, oleh karena itu sering disebut kumbang capit. Mandibula
dilengkapi dengan 4 ruas palpus dan labium dangan 3 palpus (palpus labial)
(Ratcliffe 2001).
Toraks atau dada merupakan bagian tubuh setelah kepala, terdiri atas tiga
ruas yaitu protoraks, mesotoraks dan metatoraks. Pronotum yang merupakan
bagian dorsal (atas) protoraks, cembung, dengan atau tanpa tonjolan. Elitra yang
merupakan pasangan sayap depan yang keras, sedikit cembung, tanpa atau dengan
garis-garis yang halus. Scuetelum (toraks bagian tengah) tampak jelas, berbentuk
segitiga atau membulat, diantara pangkal elitra. Pasangan sayap belakang
berkembang dengan baik, dengan vena-vena median melingkar dan dua vena
Kumbang lucanid mengalami metamorfosis sempurna dengan mengalami
perubahan bentuk empat kali dalam perkembangan hidupnya, yaitu telur, larva
kepompong dan dewasa. Pada tahap larva, semua spesies kumbang lucanid
mengalami 3 (tiga) tahap perkembangan yaitu larva instar 1 (L1), larva instar 2
(L2) dan Larva instar 3 (L3) (Gambar 2.4). Lama hidup larva bervariasi antara Gambar 2.2 Pertarungan dua ekor kumbang lucanid dengan menggunakan
mandibulanya (Fremlim 2004).
Gambar 2.3 Morfologi kumbang lucanid. Kumbang lucanid jantan (pandangan dorsal) dan betina (pandangan ventral) serta bagian-bagiannya: Palpus, mandibula (rahang), antena (sungut), mata, kepala, pronotum (torak bagian depan), scutellum (torak bagian tengah), abdomen (perut), kaki (kaki 3 pasang), dan elitra (sayap pelindung).
Elitra Palpus
Mata
Kepala Mandibula
Antena
Pronotum
Scutellum
Abdomen
Kaki
satu sampai 5 tahun tergantung kepada spesies kumbang lucanid, kandungan
nutrisi, kelembaban dan spesies pohon lapuk (Paulian 1988). Lama siklus hidup
kumbang lucanid bervariasi tergantung spesiesnya (Tabel 2.1).
Tabel 2.1 Waktu yang diperlukan oleh beberapa spesies kumbang lucanid untuk menyelesaikan tahap perkembangannya.
Tahap perkembangan (bln)
Larva Imago bisa Lama hidup Spesies Kelamin
Telur
L1 L2 L3 Pupa kawin Imago Prosopoilus girrafa (1) Jantan 1 1 1 7 1 3 - 4 10 - 12 Betina 1 1 1 2 - 7 1 3 - 4 10 - 12 Hexarthrius mandibularis(2) Jantan 1 1 1 9 1 3 - 4 10 - 12 Betina 1 1 2 6 - 9 1 3 - 4 10 - 12
Odontolabis gazzela(3) 1 7 - 8 1-2 3 - 4 *
Dorcus curvidens(4) 12 – 17 *
Keterangan:
(1) = Kasahara 2006 (http://www.harink.com/~benjamin/Pgkbreeding.htm) rearing di laboratorium pada suhu 18 – 26 0C
(2) = Kay 2004 (http://www.harink.com/~benjamin/Pgkbreeding.htm) rearing di laboratorium pada suhu 20 – 26 0C
(3) = Benjamin 2002 (http://www.harink.com/~benjamin/Pgkbreeding.htm) rearing di laboratorium
(4) = Ratnai 1998 (http://perso.wanadoo.fr/serge.mallet/coleos E.html)
rearing dilaboratorium pada suhu 25 – 26 0C * = Tidak ada data
Perkawinan kumbang lucanid dimulai dari pertemuan antara kumbang
jantan dan betina pada pohon. Kumbang jantan menguasai pohon bukan sekedar
untuk mencari makan, tetapi juga untuk mendapatkan pasangan. Pada beberapa
jenis, kumbang lucanid betina mengeluarkan bau yang khas (pheromones) yang
dikeluarkan melalui permukaan tubuhnya, sehingga kumbang jantan dari jenis
yang sama dapat mengenalinya. Setelah kumbang betina tertangkap, kumbang
jantan mengurung kumbang betina dengan kakinya yang berujung menyerupai
kunci. Kumbang betina itu dicengkeram kuat-kuat lalu mereka kawin (Gambar
2.4i) (Oda 1997; Sprecher 2003).
Setelah kawin, kumbang lucanid betina mencari batang lapuk dan lembab
untuk menyimpan telurnya. Dengan tubuhnya yang kuat ia segera masuk ke dalam
batang kayu lapuk. Selesai menggali lubang, induk kumbang itu segera
menjulurkan tabung penyalur telurnya, lalu bertelur. Telur yang baru keluar
Tubuh larva terbentuk dalam telur. Kira-kira setelah berumur 2 minggu,
telur menetas. Tubuh larva yang menetas masih lunak, sedangkan kepala dan
mandibulanya telah mengeras dan ia mulai menggigit-gigit batang lapuk untuk
membuat terowongan (Gambar 2.4b-d). Larva kumbang lucanid berwarna putih
kekuning-kuningan, dengan kepala kuning (kecuali bagian ujung ekor berwarna
gelap karena kumpulan dari feses). Bagian ujung abdomennya terbagi menjadi
dua bagian. Pada kepalanya terdapat antena 3-4 ruas yang berfungsi sebagai
indera peraba. Mulutnya dilengkapi rahang yang kuat untuk menggigit,
mengunyah dan membuat lubang pada batang pohon. Mereka menghabiskan
sebagian besar waktunya untuk makan dan tumbuh (Gambar 2.4b-e) (Oda 1997;
Scholfield 1997; Ratcliffe 2001).
Perbedaan bentuk larva kumbang lucanid dengan Scarabaidae dengan
melihat adanya organ stridulasi yang dimiliki oleh kumbang lucanid. Organ ini
terletak pada lempeng tengah dan lempeng plektrum pada trochanter belakang,
yang dikombinasikan dengan berkurangnya lekuk transversal pada tergum
abdominal dan adanya bantalan oval yang memanjang di kedua sisi lubang anal
(Gambar 2.5). Pada ujung analnya bentuk memanjang atau bentuk Y. Larva
kumbang lucanid termasuk tipe Scarabaeform (bentuk c, setengah selinder)
(Ratcliffe 2001).
Larva yang sudah tumbuh besar (larva instar 3) kemudian menggali liang
khusus pada batang kayu lapuk untuk berkepompong. Kira-kira tiga minggu
kemudian, ia berganti kulit, dan menjadi kepompong (Gambar 2.4f). Dengan
memakan persediaan makanan yang masih tersisa pada waktu masih berupa larva,
maka berangsur-angsur terbentuklah kumbang lucanid dewasa dalam kepompong
tersebut. Di dalamnya, kepompong berangsur-angsur berubah menjadi kumbang
lucanid dewasa, mata dan tanduknya mulai terlihat.
Kira-kira 3 minggu kemudian, tubuh kumbang terbentuk dalam
kepompong dengan sempurna. Warnanya berubah menjadi kecoklatan. Kemudian,
dengan menggerak-gerakan kaki dan kepalanya, ia merobek kulit kepompong.
Mula-mula yang muncul kepalanya, disusul kaki depan dan kaki tengahnya yang
telah mengeras. Setelah berhasil keluar dari kepompong, kumbang lucanid muda
transparan ini digunakan untuk terbang. Sementara itu, sayap depannya yang
semula berwarna putih perlahan-lahan mulai mengeras dan warnanya menjadi
coklat. Sambil menunggu tubuhnya benar-benar kuat dan keras, kumbang tetap
bersembunyi dalam liangnya. Setelah tubuhnya benar-benar kuat, barulah ia
keluar dari liang (Gambar 2.4h)(Oda 1997).
Kepompong kumbang lucanid bentuknya sangat mirip mumi kumbang
dewasa. Pada umumnya berwarna coklat tidak terbungkus oleh kokon atau
substrat lain (Gambar 2.4f). Kumbang kumbang lucanid berpupasasi di dalam
kayu lapuk. Lamanya pupa sangat bervariasi tergantung dari jenis. Jenis kumbang
lucanid yang berukuran besar umumnya lebih lama dibandingkan dengan yang
kecil.
Gambar 2.4 Tahapan perkembangan kumbang lucanid. (a) telur, (b) larva instar 1; (c) larva instar 2; (d) larva instar 3; (e) pra kepompong, (f) kepompong jantan dan betina, (g) jantan dan betina dewasa, (h) jantan yang sudah dapat terbang dan (i) lucanid sedang kawin
(f)
(a) (b) (c)
(d) (e)
(g) (h) (i)
Gambar 2.5 Organ stridulasi pada larva kumbang lucanid. a) letak organ stridulasi pada lempeng tengah dan lempeng plektrum pada trochanter belakang, b) stridulasi pada lempeng plektrum (perbesaran 300x), dan c) pada lempeng tengah (perbesaran 600x) (Sprecher 2003)
Ekologi Kumbang Lucanid
Famili kumbang lucanid terdiri dari sekitar 1000 spesies yang tersebar
luas di seluruh dunia dan banyak ditemukan di Asia tropika dibandingkan dengan
daerah yang lain (Paulsen & Smith 2005; Ratcliffe 2001). Kira-kira terdapat
sekitar 31 spesies kumbang lucanid di Amerika Serikat dan Kanada. Di Jepang
ada kira-kira 30 spesies, salah satu diantaranya adalah kumbang lucanid kecil
yang panjangnya hanya sekitar 1 cm (Oda 1997). Sedangkan di Indonesia jenis
kumbang ini yang sudah diketahui sekitar 120 spesies dan dari Taman Nasional
Gunung Halimun Jawa Barat saat ini terkumpul 32 spesies yang sebagian besar
dari perangkap lampu (Noerdjito 2003).
Kumbang lucanid umumnya hidup di hutan dan perkebunan, tetapi
beberapa jenis hidup di pantai yang berpasir. Kumbang dewasa sering tertarik
pada cahaya malam hari, sedangkan larvanya tetap berada dalam kayu yang lapuk.
Pohon yang mengeluarkan getah merupakan tempat yang penting bagi kumbang
lucanid, terutama untuk makan dan menemukan pasanganya. kumbang lucanid
dewasa yang berukuran lebih kecil hidup pada bunga. Sedangkan larva yang
berada dalam kayu lapuk dan sebagian waktunya digunakan untuk makan dan
tumbuh (Oda 1997). a
Kumbang lucanid merupakan salah satu jenis kumbang saproxylic dan
berasosiasi dengan kayu lapuk di hutan, oleh karena itu kelangsungan hidupnya
sangat erat kaitannya dengan keadaan tumbuhan pohon di hutan. Kumbang
saproxylic adalah kumbang yang sebagian besar siklus hidupnya tergantung pada
kayu mati atau kayu busuk atau kayu yang hampir mati, atau pada kayu yang
ditumbuhi jamur. Walaupun sedikit diketahui ekologi dari kumbang lucanid,
mereka semuanya bersifat xylophagus (makan pada kayu) dan umumnya batang
dan tunggul kayu mati sangat penting bagi semua tahap siklus hidupnya (Michaels
& Bornemissza 1999).
Setiap kumbang lucanid memiliki habitat yang berbeda-beda sesuai
dengan jenisnya. Jenis pohon yang biasa dijadikan habitat kumbang lucanid
sangat spesifik, seperti kumbang jenis Dorcus sp dan Hexarthrius sp biasa hidup
pada pohon-pohon dari famili Fagaceae, Theaceae dan Lauraceae. Sedangkan
pada daerah empat musim (temperata) habitat kumbang lucanid adalah hutan
konifer deciduous. Beberapa spesies kumbang lucanid dewasa tertarik dengan cahaya lampu dan diketahui sebagai pemakan cairan tumbuhan yang keluar dari
luka (Ratcliffe 2001). Beberapa spesies kumbang lucanid seperti genus
Cyclommatus diketahui sebagai pemakan nektar bunga. Beberapa spesies kumbang dewasa aktif di malam hari (nokturnal) dan tertarik dengan cahaya
lampu misalnya genus Prosopocoilus. Sedangkan jenis Aegus diketahui tertarik dengan buah yang sudah mengalami fermentasi. Data biologi kumbang lucanid
masih sangat terbatas, terutama jenis-jenis tumbuhan atau kayu yang disukai oleh
kumbang lucanid dewasa dan larva. Sprecher (2003) melaporkan bahwa
perkembangan larva berbeda sesuai dengan jenis pohon dan biasanya berasosiasi
dengan Dorcus parallelepipedus dan Prionus coriarius.
Keanekaragaman Hayati
Keanekaragaman hayati (biological diversity atau biodiversity) merupakan kekayaan makhluk hidup di bumi yang terdiri dari jutaan tumbuhan, hewan dan
mikroorganisme, genetika yang dikandungnya, dan ekosistem yang dibangunnya.
Jadi istilah keanekaragaman hayati mencakup tiga tingkatan pengertian yang
keanekaragaman ekosistem (Primack et al. 1998). Menurut Speight et al. (1999) yang dimaksud dengan keanekaragaman hayati adalah keanekaragaman diantara
makhluk hidup dari semua sumber, termasuk diantaranya daratan, lautan dan
ekosistem akuatik lain, serta kompleks-kompleks ekologi yang merupakan
bagian dari keanekaragamannya, mencakup keanekaragaman di dalam spesies,
antar spesies dan ekosistem
Keanekaragaman genetik merupakan konsep mengenai derajat keanekaan
gen dalam suatu spesies yang diukur dari variasi genetik (unit-unit kimia atau
sifat-sifat warisan yang dapat diturunkan dari suatu generasi kegenerasi lainnya)
yang terkandung dalam gen-gen individu organisme suatu spesies, subspesies,
varietas atau keturunan. Keanekaragaman spesies merupakan konsep mengenai
keanekaan makhluk hidup di muka bumi dan diukur dari jumlah total spesies di
muka bumi atau di wilayah tertentu. Sedangkan keanekaragam ekosistem
berkaitan dengan keanekaragaman habitat, komunitas biologis dan proses-proses
ekologis dimana berbagai spesies hidup di dalamnya (Primack et al. 1998).
Berdasarkan skala geografik yang berbeda-beda, maka keanekaragaman
hayati dapat dikelompokkan menjadi: (a) keanekaragaman alfa, (b)
keanekaragaman beta dan (c) keanekaragaman gamma. Keanekaragaman alfa
merupakan jumlah spesies pada komunitas tunggal atau merupakan jumlah spesies
di dalam suatu habitat dimana pada komunitas tersebut terjadi interaksi antar
spesies yang ada di dalamnya. Keanekaragaman alfa dapat dikelompokkan
menjadi dua komponen utama yang berbeda, yaitu jumlah total spesies dan
kemerataan spesies. Peubah-peubah yang disatukan menjadi suatu nilai tunggal
adalah jumlah spesies, kelimpahan relatif spesies dan kemerataan (Primack et al.
1998; dan McNaughton 1990).
Magurran (1988) mengelompokkan teknik pengukuran keanekaragaman
spesies ke dalam tiga kategori, yaitu:
1. Kekayaan spesies (species richness), diukur berdasarkan jumlah spesies pada unit contoh habitat atau komunitas yang ditetapkan sebelumnya.
2. Model kelimpahan spesies (species abudance models), memberikan