• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bioprospeksi Tumbuhan Liar Edibel dalam Kehidupan Masyarakat di Sekitar Kawasan Hutan Gunung Salak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Bioprospeksi Tumbuhan Liar Edibel dalam Kehidupan Masyarakat di Sekitar Kawasan Hutan Gunung Salak"

Copied!
161
0
0

Teks penuh

(1)

KEHIDUPAN MASYARAKAT DI SEKITAR KAWASAN

HUTAN GUNUNG SALAK

MADE SUWENA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Bioprospeksi Tumbuhan Liar Edibel dalam Kehidupan Masyarakat di Sekitar Kawasan Hutan Gunung Salak adalah karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulisan lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor Nopember 2006

(3)

Masyarakat di Sekitar Kawasan Hutan Gunung Salak. Dibimbing oleh DEDE SETIADI, EDI GUHARDJA, dan IBNUL QAYIM.

Eksplorasi biodiversitas tumbuhan liar dan pengetahuan masyarakat di sekitar kawasan hutan Gunung Salak dilakukan dengan tujuan utama mendapatkan jenis tumbuhan liar edibel yang paling berpotensi untuk dikembangkan. Tujuan lain adalah mempelajari biodiversitas tumbuhan liar, pengetahuan pemanfaatan dan pelestarian lingkungan oleh masyarakat serta etnobotani tumbuhan liar edibel yang paling berpotensi. Penelitian di lakukan di sekitar kawasan hutan Gunung Salak mulai bulan Mei 2004 sampai Agustus 2005.

Data tumbuhan diperoleh dengan analisis vegetasi menggunakan metode kuadrat dan transek. Analisis vegetasi dilakukan pada ekosistem sawah, semak, tegalan, hutan produksi, dan hutan alam. Analisis data untuk indeks keanekaragaman berdasarkan Shanon-Wiener, indeks kemerataan berdasarkan Simpson, dan indeks similaritas jenis berdasarkan Sorensen.Pengumpulan data pada masyarakat dengan teknik wawancara struktural dan kuesioner. Penentuan tumbuhan liar edibel yang paling berpotensi berdasarkan metode perbandingan eksponensial. Ekologi dan fenologi tumbuhan yang paling berpotensi diketahui dengan cara pembuatan demplot dan percobaan di Rumah Kaca.

Hasil penelitian menunjukkan, bahwa di kawasan hutan Gunung Salak ditemukan tumbuhan liar dan tanaman budidaya sebanyak 595 jenis dari 140 suku. Tumbuhan liar sebanyak 513 jenis dari 121 suku dengan indeks keanekaragaman sangat tinggi dan kemerataan jenis yang tinggi. Tumbuhan liar edibel sebanyak 185 dari 65 suku dengan indeks keanekaragaman dan kemerataan yang tinggi. Jenis tumbuhan yang mendominasi adalah Digitaria radicosa. Pengetahuan masyarakat mengenai pemanfaatan tumbuha n liar dan pelestarian lingkungan berkorelasi positif dengan kelas usia. Semakin tua usia, semakin tinggi tingkat pengetahuan yang dimiliki. Pengetahuan kaum laki- laki lebih tinggi dibandingkan perempuan. Jumlah jenis tumbuhan liar edibel yang berfungsi sebagai buah sebanyak 29 jenis dari 15 suku, sayur 68 jenis dari 36 suku, obat sebanyak 92 jenis dari 40 suku, penyedap sebanyak 11 jenis dari 10 suku, dan sebagai sumber karbohidrat sebanyak 10 jenis dari 8 suku.

Tumbuhan liar edibel yang paling berpotensi untuk dikembangkan adalah canar susu (Smilax macrocarpa Bl.). Habitat tumbuh canar susu adalah hutan produksi dan hutan alam pada ketinggian >800 m dpl. Tipe iklim A (Schmidt dan Ferguson), jenis tanah asosiasi andosol, latosol, dan regusol. Tumbuhan ini termasuk tumbuhan liana, panjang 5 – 15 m, bunga uniseksual dan bergerombol, buah bergerombol pada setiap tangkai dengan jumlah 10 – 15 buah. Perbanyakan dapat dilakukan dengan biji dan stek. Hasil buah dapat mencapai 500 kg/rumpun. Keunggulan tumbuhan ini yang dimiliki diantaranya: kandungan kalsium (Ca) yang tinggi (0.30%), kandungan tanin (positif sangat kuat) dan saponin (positif kuat) sebagai bahan industri, dapat memberikan keuntungan bersih sebesar Rp. 22.500.000 pada panen pertama (tahun III) dan sebesar Rp. 67.500.000 pada panen kedua (tahun IV) dalam 1 ha.

(4)

MADE SUWENA

Gunung Salak Forest Area. Under the direction of DEDE SETIADI, EDI GUHARDJA, and IBNUL QAYIM.

Exploration of wild plant biodiversity and cummunity knowledge in Gunung Salak forest area was conducted with main purpose to obtain the most potential edible wild plant to be developed. The other purposes were to study biodiversity of wild plant, community knowledge on the use of plant, conservation of edible wild plant, and ethnobotany of most potential edible wild plant. Research was conducted in Gunung Salak area, started on May 2004 until August 2005.

Plants data were obtained by vegetation analysis using quadratic and transect methods. Vegetation analysis was conducted on paddy field, shrub, mix garden, man made forest, and primary forest. Data analysis for diversity index was based on Shanon-Wiener and evennes index was based on Simpson’s. Data collection on community was done by participation observation and structural survey method. The determination of the most potential edible wild plant was based on Exponential Comparation Method. Ecology and fenology of the most potential plant was studied by demplot (plot demonstration) and greenhouse experiment.

The result indicated that there were 595 species from 140 families of wild plant and cultivated plant found in around Gunung Salak. The wild plant were 513 species from 121 familieswhich very high diversity index and high evennes. Edible wild plant were 185 species from 65 families which high diversity and evennes index. The plant which dominated was Digitaria radicosa. The community knowledge on the use of species wild plant as well as environment conservation had linear correlation with ages class. The more ages, the more increase the knowledge and vice versa. Group of men had more knowledge on the use of wild plant as well as environment conservation compare to group of women. The number of edible wild plant as fruits were 29 species from 15 families, vegetables were 68 species from 36 families, medicine were 92 species from 40 families, spicy were 11 species from 10 familes, and source of carbohidrate were 10 species from 8 familes.

Canar susu (Smilax macrocarpa Bl.) plant was the most potential edible plant to be developed. The habitat of canar susu was in man made forest and primary forest with >800 m above the sea level. Climate type according to Schmidt and Ferguson was A. The soil was asosiation of andosol, latosol, and regusol. The plant was liana, 5-15 m in lenght, flower unisexual and umbels, fruiting umbels with 10 – 15 fruits. Seeding and stump can be used as plant propagation. There were several superiorities of this plant i.e. nutrition content of its fruit as an alternative of calcium source (0.30% Ca), tannin content (very strong positive) and saponin (strong positive) as industry material, and by using intensive management the total profit can be gained about Rp. 22.500.000 per hectare at first harvest (third year) and Rp. 67.500.000 (fourth year) at second harvest.

(5)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006 Hak Cipta Dilindungi

(6)

HUTAN GUNUNG SALAK

MADE SUWENA

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Biologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Nama : Made Suwena NIM : G.361020041

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Dede Setiadi, MS Ketua

Prof. Dr. Ir. Edi Guhardja, M.Sc. Dr. Ir. Ibnul Qayim Anggota Anggota

Diketahui,

2. Ketua Pragram Studi Biologi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin., DEA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro MS

(8)

Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga disertasi yang berjudul Bioprospeksi Tumbuhan Liar Edibel dalam Kehidupan Masyarakat di Sekitar Kawasan Hutan Gunung Salak dapat terselesaikan.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada yang terhormat Bapak Dr. Ir. H. Dede Setiadi, MS., Bapak Prof. Dr. Ir. Edi Guhardja, M.Sc. dan Bapak Dr. Ir. Ibnul Qayim atas bimbingan, arahan, nasehat dan dorongan moral dalam penyusunan karya ilmiah ini. Kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Latifah Kasim Darusman, MS., Bapak Prof. Dr. Ir. Roedy Poerwanto, M.Sc., dan Bapak Dr. Eko Baroto Waluyo atas segala masukkannya baik dalam sidang tertutp maupun sidang terbuka.

Terima kasih disampaikan kepada Departemen Pendidikan Nasional atas beasiswa yang diberikan. Universitas Mataram dan Institut Pertanian Bogor atas segala fasilitas dan pelayanannya. Pemda Dati I Nusa Tenggara Barat dan Yayasan Toyota & Astra atas bantuan dananya.

Penghargaan dan terima kasih disampaikan kepada Ibu Dr. Ir. Damayanti Buchori, M.Sc. selaku Ketua Yayasan Peka Indonesia dan Bapak David Ardhian, S.Tp. selaku Manajer Proyek Gunung Salak dan Unocal yang telah mendanai penelitian ini. Rekan-rekan di Yayasan Peka Indonesia Mas Bandung, Hertab, Jalu, Wika, Mbak Aida, Mbak Sinta dan yang lainnya yang telah membantu lancarnya pelaksanaan penelitian ini.

Terima kasih juga disampaikan kepada saudara Mulus, Luluk, Ustad Acak Abdullah, Bpk. Madnasi, Bpk. Upah, Bpk Ajum, Bpk Asep, Bpk Padma Sasmita, dan rekan-rekan lainnya atas bantuannya selama di lapangan. Kepada Bpk.Dr. Ir. Gde Ekaputra Gunartha, M.Sc. atas masukannya dalam bidang statistik, Bpk. Dr. Y. Purwanto (LIPI) atas masukannya dalam bidang Etnobotani.

Kebanggaan dan penghargaan disampaikan kepada kedua orang tua, ayah dan ibu mertua, istri dan anak-anak tercinta atas segala pengorbanan, pengertian, ketabahan, dan dorongan yang diberikan selama penulis mengikuti pendidikan. Om shanti, shanti, shanti, Om.

(9)

Penulis dilahirkan di Desa Alasangker Kabupaten Buleleng-Singaraja Bali pada tanggal 11 Juni 1961 dengan nama lengkap Made Wetan Suwena sebagai anak kedua dari pasangan Ketut Wetan dan Ni Ketut Redianing (almarhum).

Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Mataram, lulus pada tahun 1986. Tahun 1996 berkesempatan menempuh pendidikan Pascasarjana di Program Studi Ilmu Tanaman, Universitas Brawijaya dan lulus pada tahun 1998. Tahun 2002 penulis melanjutkan ke Program Doktor pada Program Studi Biologi Sekolah Pascasarjana IPB. Dalam menempuh pendidikan S2 dan S3 penulis memperoleh dana Bantuan Pendidikan Pascasarjana (BPPS) dari Departemen Pendidikan Nasional

Penulis bekerja sebagai tenaga honorer di Departemen Transmigrasi Sulawesi Tenggara, Kendari pada tahun 1986. Tahun 1987 diangkat sebagai tenaga edukatif di Program Studi Hortikultura, Jurusan Budidaya Pertanian, Universitas Mataram sampai sekarang.

(10)

DAFTAR TABEL ……….………. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Biodiversitas Tumbuhan ………… Pemanfaatan dan Pelestarian Tumbuhan Liar .……… Etnobotani ………...……….………... GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ……… Status dan Luas Wilayah ………. Topografi dan Iklim ….……… Keadaan Tanah .……….. Sosial Budaya Masyarakat ………. ANALISIS VEGETASI TUMBUHAN LIAR DI SEKITAR KAWASAN HUTAN GUNUNG SALAK…….………... Abstrak………... ……….

Abstract …………..……….……..

Pendahuluan ……….. …… Bahan dan Metode ………... Hasil dan Pembahasan ……… Kesimpulan ………. PEMANFAATAN TUMBUHAN LIAR EDIBEL DAN PELESTARIAN LINGKUNGAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR KAWASAN HUTAN GUNUNG SALAK ……….. Abstrak………... ……….

Abstract …………..……….……..

(11)

SEBAGAI TUMBUHAN EDIBEL POTENSIAL DI KAWASAN HUTAN GUNUNG SALAK ………. Abstrak………... ……….

Abstract …………..……….……..

Pendahuluan ……….. …… Bahan dan Metode ………... Hasil dan Pembahasan ……… Kesimpulan ……….

PEMBAHASAN UMUM ………... KESIMPULAN DAN SARAN ……….. Kesimpulan ……….. Saran ……….. DAFTAR PUSTAKA ………. LAMPIRAN ………...

(12)

1 Jumlah penduduk yang berumur >15 tahun berdasarkan tingkat pendidikan di delapan desa pengataman ………... 22 2 Jumlah jenis (S), indeks keanekaragaman (H’), dan indeks kemerataan

(E) tumbuhan liar dan liar edibel untuk setiap tingkat pertumbuhan di kawasan hutan Gunung Salak ….……….. 29 3 Jumlah jenis (S), indeks keanekaragaman (H’), dan indeks kemerataan

(E) tumbuhan liar dan liar edibel pada setiap lokasi desa pengamatan…. 31 4 Nilai p hasil Anova jumlah jenis tumbuhan liar dan liar edibel untuk

stiap tingkat pertumbuhan ….……….... 32 5 Rata-rata jumlah jenis tumbuhan liar dan liar edibel pada setiap desa

untuk setiap tingkat pertumbuhan ………..………... 33 6 Nilai p hasil Anova indeks keanekaragaman jenis tumbuhan liar dan liar

edibel untuk stiap tingkat pertumbuhan ………..………….. 36 7 Rata-rata indeks keanekaragaman jenis tumbuhan liar dan liar edibel

pada setiap desa untuk setiap tingkat pertumbuhan ...………... 36 8 Nilai p hasil Anova indeks kemerataan jenis tumbuhan liar dan liar

edibel untuk stiap tingkat pertumbuhan ……… 39 9 Rata-rata indeks kemerataan jenis tumbuhan liar dan liar edibel pada

setiap desa untuk setiap tingkat pertumbuhan ……….. 40 10 Indeks Similaritas (IS) dan Indeks Desimilaritas (ID) tumbuhan liar

untuk tingkat pertumbuhan pada setiap lokasi ………. 42 11 Indeks Similaritas (IS) dan Indeks Desimilaritas (ID) tumbuhan liar

edibel untuk tingkat pertumbuhan pada setiap lokasi ……….. 45 12 Dominansi jenis tumbuhan liar dan liar edibel untuk setiap tingkat

pertumbuhan di kawasan hutan Gunung Salak ……… 47 13 Dominansi jenis tumbuhan liar dan liar edibel untuk setiap tingkat

pertumbuhan di setiap desa pengamatan ……….. 47 14 Dominansi jenis tumbuhan liar edibel untuk setiap tingkat pertumbuhan

di setiap desa pengamatan ………... 48 15 Jumlah jenis (S), indeks keanekaragaman (H’), dan indeks kemerataan

(E) tumbuhan liar dan liar edibel pada setiap tipe ekosistem ………..…. 49 16 Nilai p hasil Anova jumlah jenis tumbuhan liar dan liar edibel untuk

stiap tingkat pertumbuhan ………. 50 17 Rata-rata jumlah jenis tumbuhan liar dan liar edibel pada setiap tipe

ekosistem untuk setiap tingkat pertumbuhan ………...…………. 51 18 Nilai p hasil Anova indeks keanekaragaman jenis tumbuhan liar dan liar

(13)

x

19 Rata-rata indeks keanekaragaman jenis tumbuhan liar dan liar edibel untuk setiap tingkat pertumbuhan pada setiap tipe ekosistem…………... 58 20 Nilai p hasil Anova indeks kemerataan jenis tumbuhan liar dan liar

edibel untuk stiap tingkat pertumbuhan………. 61 21 Rata-rata indeks kemerataan jenis tumbuhan liar dan liar edibel pada

setiap tipe ekosistem untuk setiap tingkat pertumbuhan ………... 62 22 Indeks similaritas (IS) dan indeks desimilaritas (ID) tumbuhan liar

untuk setiap tingkat pertumbuhan pada setiap ekosistem ………. 63 23 Indeks similaritas (IS) dan indeks desimilaritas (ID) tumbuhan liar

edibel tingkat bawah pancang, tiang, dan pohon pada setiap ekosistem 65 24 Dominansi jenis tumbuhan liar untuk setiap tingkat pertumbuhan di

setiap tipe ekosistem ………. 66 25 Dominansi jenis tumbuhan liar edibel untuk setiap tingkat pertumbuhan

di setiap tipe ekosistem ……….. 67 26 Nilai kualitas kegunaan suatu jenis tumbuhan menurut kategori

etnobotani (quality of use catagories in ethnobotany……… 75 27 Kategori yang menggambarkan tentang intensitas penggunaan (intensity

of use) jenis tumbuhan berguna ………. 77

28 Kategori yang menggambarkan tentang tingkat eksklusivitas atau

tingkat kesukaan ……… 77

29 Jumlah responden laki- laki dan perempuan berdasarkan kelas

usia pada setiap desa ……… 80

30 Pemanfaatan jenis serta kelestarian tumbuhan liar edibel berdasarkan kelas usia dan jenis kelamin ………. 80 31 Sepuluh peringkat teratas berdasarkan nilai penting (NP) jenis tumbuhan

kategori buah ……… 85

32 Sepuluh peringkat teratas berdasarkan nilai penting (NP) jenis tumbuhan

kategori sayur ……… 85

33 Sepuluh peringkat teratas berdasarkan nilai penting (NP) jenis tumbuhan

kategori obat ……… 86

34 Hasil perhitungan MPE berdasarkan kriteria dan alternatif yang digunakan dalam penentuan prioritas tumbuhan berpotensi ………. 89 35 Berbagai perlakuan dalam usaha perbanyakan tumbuhan canar ……….. 100 36 Kandungan nutrisi buah canar susu (Smilax macrocarpa BL) dan

(14)

1 Kerangka studi bioprospeksi tumbuhan liar edibel dalam kehidupan masyarakat di sekitar kawasan hutan Gunung Salak ………. 5 2 Peta topografi berdasarkan ketinggian tempat di kawasan hutan Gunung

Salak ……… 17

3 Peta curah hujan di kawasan hutan Gunung Salak ……… 19 4 Peta tanah di kawasan hutan Gunung Salak ………. 20 5 Lokasi pengambilan sampel di kawasan hutan Gunung Salak ………... 25 6 Grafik hubungan indeks keanekaragaman jenis dengan jumlah jenis

tumbuhan liar tingkat bawah (a), pancang (b), tiang (c), dan pohon (d) ... 30 7 Jumlah jenis tumbuhan liar tingkat bawah pada setiap lokasi desa ………. 33 8 Indeks keanekaragaman jenis tumbuhan liar edibel tingkat pancang pada

setiap lokasi desa ……….. 37 9 Dendrogram pengelompokan jenis tumbuhan liar berdasarkan lokasi

untuk setiap tingkat pertumbuhan ………. 43 10 Dendrogram pengelompokan jenis tumbuhan liar edibel berdasarkan

lokasi untuk setiap tingkat pertumbuhan ………. 46 11 Jumlah jenis tumbuhan liar tingkat pancang (a) dan tiang (b) pada setiap

ekosistem ………. 51

12 Jumlah jenis tumbuhan liar tingkat pohon (a) dan tumbuhan liar edibel tingkat bawah (b) pada setiap ekosistem ……….. 52 13 Jumlah jenis tumbuhan liar edibel tingkat tiang (a) dan tingkat pohon (b) pada

setiap ekosistem ……….. 52 14 Indeks keanekaragaman jenis tumbuhan liar tingkat bawah (a) dan

tingkat pancang (b) pada setiap ekosistem ……….. 58 15 Indeks keanekaragaman jenis tumbuhan liar tingkat tiang (a) dan tingkat

pohon (b) pada setiap ekosistem ……….. 58 16 Indeks keanekaragaman jenis tumbuhan liar edibel tingkat bawah (a)

dan tingkat tiang (b) pada setiap ekosistem …….……… 59 17 Indeks keanekaragaman jenis tumbuhan liar edibel tingkat pohon pada

setiap ekosistem ………... 59 18 Indeks kemerataan jenis tumbuhan liar (a) dan liar edibel (b) tingkat

bawah pada setiap tipe ekosistem ……… 62 19 Dendrogram pengelompokan jenis tumbuhan liar pada berbagai tingkat

pertumbuhan berdasarkan ekosistem ………. 64 20 Dendogram pengelompokan jenis tumbuhan liar edibel pada berbagai

tingkat pertumbuhan berdasarkan ekosistem ……… 65 21 Histogram jumlah jenis dan suku tumbuhan liar edibel berdasarkan

kegunaan oleh masyarakat di sekitar kawasan hutan Gunung Salak…….. 78 22 Grafik hubungan pemanfaatan jenis (a) dan pelestarian lingkungan (b)

dengan kelas usia ………... 81

23 Jenis tumbuhan liar edibel kategori tumbuhan buah-buhan, obat-obatan, dan sayur-sayuran masing- masing berdasarkan tiga peringkat INP

tertinggi ………. 86

(15)

xii

25 Lokasi penyebaran tumbuhan canar susu (Smilax macrocarpa BL) di

kawasan Gunung Salak ………. 96

26 Perkembangan tumbuhan canar (Smilax macrocarpa Bl.) dari biji sampai buah……… …...………

99 27 Beberapa percobaan cara perbanyakan tumbuhan canar (Smilax

macrocarpa Bl.)……….. 101

28 Buah masak panen yang biasa dijual petani dan buah hasil olahan yang

diperdagangkan ………. 107

29 Jalur pemasaran buah canar hasil panen di sekitar kawasan hutan

Gunung Salak ……… 108

(16)

1 Jenis tumbuhan liar hasil analisis vegetasi di sekitar kawasan hutan

Gunung Salak ……….………. 136

2 Koordinat dan ketinggian tempat di atas permukaan laut titik pertama pengambilan sampel pada masing- masing ekosistem di setiap lokasi pengamatan ………..

151 3 Daftar pertanyaan pengetahuan masyarakat tentang jenis dan kegunaan

tumbuhan liar edibel

152 4 Daftar pertanyaan penentuan MPE untuk setiap jenis yang terpilih pada

setiap kriteria yang ditentukan ……….……….. 153 5 Hasil analisis tanah pada demplot di daerah Tapos 1 ………. 154 6

7 8

Rata-rata curah hujan, suhu, dan kelembaban di daerah Tapos 1 selama bulan Juli dan Agustus 2005 ……… Daftar pertanyaan mengenai pengetahuan lingkungan ……… Daftar pertanyaan untuk petani canar susu (Smilax macrocarpa Bl.) ….

155 156 160

(17)

Latar Belakang

Biodiversitas baik flora maupun fauna mempunyai peranan yang sangat penting bagi umat manusia, karena sumber-sumber kehidupan manusia itu sendiri secara esensial tergantung dari variabilitas kekayaan hayati yang berada dalam ekosistem alam (Primack et al. 1998; Kusumaatmadja 2001). Penyebaran sumber biodiversitas dunia terkonsentrasi diantaranya di daerah hutan hujan tropis yang meliputi tiga kawasan, yaitu: (1) kawasan Amerika Selatan terpusatkan di Lembah Amazon Brazil; (2) kawasan hutan Afrika Barat terpusatkan di Lembah Sungai Congo sampai Teluk Guyana; dan (3) kawasan Indo-Malaya yang terpusatkan di India, Thailand, Malaysia dan Indonesia (Myers 1980; Whitmore 1990; Kustiyono 2003).

Indonesia terletak di daerah katulistiwa yang mempunyai tipe hutan hujan tropika yang sampai dengan saat ini dikenal sebagai tipe hutan yang cukup unik dengan biodiversitas jenis tertinggi di dunia. Kandungan komunitas biodiversitas Indonesia menduduki peringkat kedua dunia setelah Brazil, yakni: 10% jenis tumbuhan berbunga, 12% binatang menyusui, 16% reptilia dan ampibia, 17% jenis burung, 25% jenis ikan, 15% jenis serangga (Tjakrarini 2002; KLH 2002a; Subadia 2003). Selain itu, Indonesia juga diakui sebagai salah satu bagian dunia yang masih menyisakan kehidupan liar sebagai gudang keanekaragaman plasma nutfah untuk memenuhi kebutuhan manusia masa kini maupun masa mendatang (Zuhud, Ekarelawan, dan Riswan 1994).

(18)

Bioprospeksi pada dasarnya adalah eksplorasi biodiversitas dan pengetahuan tradisional untuk mendapatkan sumber genetik dan biokimia yang bernilai ekonomi tinggi (Reid et al. 1993; Posey 1997). Nilai produk-produk berbahan baku hayati yang sangat tinggi hasil bioprospeksi dan berbagai jenis tanaman bahan pangan saat ini sebagian besar berasal dari kehidupan liar. Kegiatan bioprospeksi telah dilakukan oleh negara-negara maju terhadap Indonesia, jauh sebelum Indonesia menyadari, betapa berharganya kekayaan hayati yang dimiliki (Kehati 2001). Padahal, sumberdaya biodiversitas hayati dan keanekaragaman budaya lokal yang dimiliki sangat penting dan strategis untuk kelangsungan bangsa Indonesia (Hanif 2003).

Perambahan bahan hayati dan pengetahuan mengenai khasiatnya yang lazim disebut dengan biopiracy (Posey 1997) dilakukan melalui bentuk kolonialisme, pertukaran pelajar, dan hak paten. Kegiatan seperti ini apabila dibiarkan terus, maka lambat laun Indonesia akan kehilangan sesuatu yang sangat berharga terutama hilangnya kesempatan generasi mendatang memanfaatkan kekayaan biodiversitas hayati dan pengetahuan tradisionalnya untuk menuju kehidupan yang lebih baik (Kehati 2001).

Biodiversitas tumbuhan yang dimiliki Indonesia masih banyak yang tumbuh liar dan belum diketahui pemanfaatannya oleh masyarakat. Dari sekitar 4000 jenis tumbuhan yang ada di hutan dataran rendah Indonesia diketahui manfaatnya secara langsung oleh penduduk, hanya 25% saja yang telah dibudidayakan (Sastrapradja dan Rifai 1972). Sekitar 400 spesies tumbuhan edibel yang berupa buah-buahan dan biji-bijian yang termasuk dalam kelompok makanan penting kedua, sebagian besar (55%) berasal dari tumbuhan liar (Prosea 1994). Selain itu masih banyak publikasi mengenai penemuan bahan obat-obatan dan produk-produk lain yang berasal dari tumbuhan liar.

(19)

Kawasan Gunung Salak yang dulunya dikategorikan sebagai hutan lindung, belakangan ini dimasukkan sebagai bagian dari Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 175/Kpts-II/2003 menjadi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (Departemen Kehutanan 2003). Kawasan ini memiliki arti penting bagi konservasi biodiversitas pegunungan dalam melestarikan spesies langka dan berpotensi untuk dimanfaatkan. Diperkirakan sebanyak 456 jenis spesies flora pegunungan terdapat di kawasan ini (Steenis 1972). Dari sejumlah jenis flora tersebut belum diketahui secara pasti jumlah yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat lokal pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya.

Kekayaan biodiversitas tumbuhan dalam suatu wilayah bisa bertambah atau berkurang pada setiap waktu. Hal ini disebabkan disamping karena faktor bencana alam, masuknya jenis tumbuhan baru, juga akibat eksploitasi yang berlebihan atau karena tidak tercatat sebelumnya. Sebagai contoh, beberapa ekspedisi di kawasan TNGH menunjukkan jumlah dan jenis tumbuhan yang ditemukan bervariasi. Uji (2002) menemukan 275 jenis tumbuhan, baru 83 jenis diketahui dan dimanfaatkan oleh masyarakat setempat, 6 jenis termasuk tumbuhan langka, dan 10 jenis lainnya merupakan tumbuhan new record. Wiriadinata (2002) menemukan 1000 jenis tumbuhan berbunga. Sedangkan Hidayat dan Fijridiyanto (2002) menemukan 76 jenis tumbuhan liar hutan yang teridentifikasi dimanfaatkan secara langsung oleh masyarakat sekitar kawasan.

Perbedaan geografi, tipe ekosistem, komunitas masyarakat serta perbedaan kearifan tradisional masyarakat pada masing- masing wilayah memunculkan adanya biodiversitas setempat yang bersifat spesifik (Sugandhy 2001; Waluyo 2003). Dengan demikian walaupun kawasan Gunung Salak berada dalam kesatuan hamparan dengan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH), tidak menutup kemungkinan memiliki potensi jenis tumbuhan yang dapat dimanfaatkan lebih banyak dan lebih baik dibandingkan dengan kawasan TNGH.

(20)

2002). Dengan demikian sudah seharusnya dilakukan upaya pengkajian aspek ekologi, etnobotani, dan bioprospeksi secara bersamaan terhadap tumbuhan liar di kawasan hutan Gunung Salak, agar diketahui potensi kekayaan biodiversitas yang ada sebelum pihak asing lebih dahulu mengeksplorasi habis kekayaan tersebut serta dapat diambil langkah- langkah dalam usaha pelestarian.

Masyarakat perlu dibuka wawasannya tentang bioprospeksi, kewaspadaan terhadap kemungkinan perambahan hayati, di samping juga dimotivasi untuk melakukan upaya- upaya pelestarian dalam pengumpulan biodiversitas. Kegiatan ini penting untuk mendokumentasikan sumber biodiversitas yang ada di sekitar kawasan Gunung Salak sekaligus mencari sumber keuntungan ekonomi dan plasma nutfah di masa mendatang.

Tujuan penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan utama mendapatkan jenis tumbuhan liar yang paling berpotensi untuk dikembangk an. Tujuan lain adalah :

1. Mempelajari biodiversitas tumbuhan liar dan tumbuhan liar edibel yang ada di sekitar kawasan hutan Gunung Salak

2. Mempelajari pengetahuan pemanfaatan dan pelestarian tumbuhan liar edibel dalam kehidupan masyarakat setempat

3. Mempelajari etnobotani tumbuhan liar edibel yang paling berpotensi untuk di kembangkan di kawasan Gunung Salak

Manfaat Penelitian

(21)

Secara keseluruhan kerangka studi bioprospeksi tumbuhan liar edibel dalam kehidupan masyarakat di sekitar kawasan hutan Gunung Salak sebagai berikut :

I II

III

Etnobotani IV

Ekologi, fenologi, pemanfaatan, kandungan kimia, dan nilai finansial

Gambar 1. Kerangka studi bioprospeksi tumbuhan liar edibel dalam kehidupan masyarakat di sekitar kawasan hutan Gunung Salak

Bioprospeksi

Pengetahuan masyarakat

(Wawancara & Kuesioner)

Data Tumbuhan (Analisis vegetasi)

Biodiversitas Tumbuhan Liar

Pemanfaatan dan pelestarian

Metode Perbandingan Eksponensial (MPE)

Tumbuhan Liar Edibel yang paling berpotensi

Pembuatan Demplot dan Analisis Lab.

Jenis Tumbuhan Liar Edibel

(22)

Bioprospeksi

Bioprospeksi pada prinsipnya adalah upaya pencarian, penelitian, pengumpulan, ekstraksi dan pemilihan sumberdaya hayati dan pengetahuan tradisional untuk mendapatkan materi genetik dan sumber biokimia yang bernilai ekonomi tinggi (Kehati 2001). Sedangkan menurut Reid et al (1993), bioprospeksi adalah eksplorasi biodiversitas sumber-sumber genetik dan biokimia yang bernilai komersial, terutama mengacu pada industri farmasi, bioteknologi, dan pertanian.

Berbagai spesies biodiversitas mempunyai potensi kandungan bahan-bahan kimia dan sumberdaya genetika. Melalui pemberian nilai tambah terhadap biodiversitas tersebut akan diperoleh keuntungan secara ekonomis. Hal tersebut dapat menimbulkan insentif yang dapat memotivasi eksploitasi sumberdaya hayati secara berkelanjutan. Potensi ini merupakan keunggulan komperatif, karena pada saat ini terjadi peningkatan industri terhadap sumber-sumber bahan kimia untuk memproduksi obat-obatan, agrokimia, kosmetika, zat pewarna, bahan pengawet makanan dan lain- lainnya (Sumardja 1998)

Ancaman terhadap biodiversitas dapat bersifat global dan yang bersifat regional atau lokal. Ancaman yang bersifat global karena pertumbuhan populasi manusia, kepemilikan, dan pencemaran udara dan air. Ancaman yang bersifat regional atau lokal terjadi akibat pemanfaatan jenis secara berlebihan oleh manusia, pemakaian bahan-bahan beracun, pembagian habitat, penggurunan, penyempitan ekosistem dan bank genetik, masuknya jenis eksotik dan konversi kawasan konservasi untuk kegiatan pertanian, pemukiman dan industri (Salwasser 1991).

Biodiversitas

(23)

bentuk, penampilan, jumlah dan sifat yang terkait pada berbagai tingkatan persekutuan mahluk, yaitu tingkat ekosistem, tingkat jenis, dan tingkat genetika. McNeely (1990) biodiversitas sebagai jumlah jenis yang berbeda dalam suatu sistem dan frekuensi relatif jenis yang berbeda. Soemarwoto (1992), mendefinisikan biodiversitas sebagai jumlah jenis. Dobson (2000), biodiversitas merupakan keanekaragaman diantara organisme hidup dan kompleks ekologinya. Kekayaan hidup di bumi, termasuk jutaan tumbuhan, hewan dan mikroorganisme, gen yang didukungnya, dan ekosistem yang dibangun menjadi lingkungan hidup.

Biodiversitas dapat ditinjau dari tiga tingkat, yaitu : (1) tingkat gen dan kromosome yang merupakan pembawa sifat keturunan; (2) tingkat jenis, yaitu berbagai golongan mahluk yang mempunyai susunan gen yang sama; (3) tingkat ekosistem atau ekologi, yaitu tempat jenis melangsungkan kehidupannya dan berinteraksi dengan faktor biotik dan faktor abiotik (Temple 1991; Soemarwoto 1992).

(24)

komposisi spesies sepanjang gradien lingkungan. Sedangkan keanekaragaman gamma adalah variasi di suatu dearah yang mencakup keanekaragaman alfa dan keanekaragaman beta (Rice 1992).

(25)

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Biodiversitas Tumbuhan

Lingkungan yang bervariasi dari satu tempat ke tempat lain, dan kebutuhan tumbuhan akan keadaan lingkungan yang khusus mengakibatkan keragaman jenis tumbuhan yang berkembang dapat terjadi menurut perbedaan tempat dan waktu. Hal ini dapat dilihat dari perbedaan jenis tumbuhan yang berkembang dengan perbedaan tinggi tempat atau perbedaan musim (Sitompul dan Guritno 1995). Demikian halnya dengan perbedaan geografi, tipe ekosistem, komunitas masyarakat serta perbedaan kearifan tradisional masyarakat pada masing- masing wilayah (Sugandhy 2001; Waluyo 2003).

Bentuk suatu vegetasi merupakan hasil interaksi faktor- faktor lingkungan. Lingkungan penting yang mempengaruhi komunitas tropika merupakan gabungan dari berbagai macam unsur, yaitu unsur penyus un di atas tanah dan lingkungan dalam tanah yang dikelompokkan menjadi faktor fisik (abiotik) dan faktor biologi (biotik). Sebagian dari unsur ini khususnya yang terdapat dalam tanah dapat dikendalikan sedang unsur yang terdapat di atas tanah pada umumnya sulit atau tidak dapat dikendalikan (Sitompul dan Guritno 1995). Menurut Setiadi dan Muhadiono (2000), bentuk vegetasi merupakan hasil interaksi faktor-faktor lingkungan seperti: bahan induk, topografi, tanah, iklim, organisme-organisme hidup dan waktu. Interaksi dari faktor- faktor lingkungan tersebut dapat digunakan sebagai indikator dari lingkungan atau komponen-komponen penduga sifat lingkungan yang bersangkutan. Besarnya biodiversitas jenis tumbuhan di daerah tropika disebabkan oleh keanekaragaman kondisi lingkungan tempat hutan tropis berkembang, periode waktu yang tersedia dan kemungkinan adanya migrasi dengan pertukaran jenis (Longman dan Jenik 1987).

(26)

Secara umum dalam komunitas hutan hujan tropika, pohon-pohon menunjukkan strata yang jelas dan biasanya terdiri atas tiga strata tegakan pohon. Disamping strata pohon terdapat strata semak-semak, herba-herba raksasa dan strata tumbuhan bawah (Richards 1964). Loveless (1989) membagi strata pohon hutan hujan tropis menjadi tiga strata, yakni: strata A, biasanya membentuk kanopi yang kurang lebih kontinyu atau diwakili oleh pohon-pohon yang mencuat di atas kanopi umum; strata B, biasanya merupakan strata terlebat; dan strata C, disusun oleh jenis-jenis permulaan yang mencapai strata A, strata B dan pohon kecil. Sebaliknya, menurut Richards (1964) pada strata A biasanya membentuk kanopi yang tidak kontinyu, strata B bisa kontinyu atau tidak kontinyu, dan strata C hampir selalu kontinyu dan sering merupakan strata paling lebat di hutan.

Vegetasi yang paling lebat hanya akan ditemukan di tempat-tempat yang kelembaban tanahnya tinggi dengan draenase yang cukup baik. Penyederhanaan dalam struktur komunitas akan mulai tampak dalam vegetasi, bila kelembaban tidak memadai untuk pertumbuhan optimal sepanjang tahun (Loveless 1989). Secara umum komposisi jenis hutan tropik adalah campuran, dengan asosiasi tanpa dominasi tunggal. Jumlah populasi dominan berkisar antara satu sampai enam jenis. Jumlah ini berbeda antara satu lokasi dengan lokasi lainnya (Richards 1964).

Jenis dominan suatu tumbuhan dalam komunitas dapat diketahui dengan cara studi vegetasi suatu daerah. Studi vegetasi ini dapat dilakukan dengan analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisis kualitatif memberikan gambaran tentang komposisi jenis tumbuhan, stratifikasi, fenologi, vitalitas jenis, asosiasi dan sosiobilitas, bentuk tumbuh dan fisiognomi serta organisasi tingkatan tropika (Misra 1980). Sedangkan analisis kuantitatif memberikan gambaran tentang komposisi jenis, pola penyebaran, frekuensi, kerapatan, dan dominansi jenis tersebut (Setiadi dan Muhadiono 2000).

(27)

tumbuhan persatuan luas tertentu (Cox 2002). Kerapatan relatif menunjukkan persentase dari jumlah individu jenis yang bersangkutan di dalam komunitasnya. Frekuensi adalah nilai besaran yang menyatakan drajad penyebaran jenis di dalam komunitasnya. Angka frekuensi diperoleh dengan melihat perbandingan jumlah dari petak-petak yang diduduki oleh suatu jenis terhadap keseluruhan petak yang diambil sebagai petak contoh dalam melakukan analisis vegatsi. Ada beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi frekuensi, seperti luas petak contoh, penyebaran tumbuhan, dan ukuran jenis tumbuhan (Setiadi dan Muhadiono 2000)

Dominansi adalah besaran yang digunakan untuk menyatakan drajat penguasaan ruang atau tempat tumbuh, berapa luas area yang ditumbuhi oleh sejenis tumbuhan atau kemampuan suatu jenis tumbuhan untuk bersaing terhadap jenis lainnya. Dalam pengukuran dominansi dapat digunakan persentase perlindungan (penutupan tajuk), luas basal area, biomasa atau volume (Setiadi dan Muhadiono 2000; Cox 2002). Nilai kerapatan, frekuensi, dan dominansi untuk spesies-spesies tertentu mungkin diekspresikan mutlak atau relatif yang menunjukkan porsentase bahwa nilai spesies individu merupakan total untuk semua spesies. Nilai relatif untuk kerapatan, dominansi, dan frekuensi dapat digabung menjadi nilai penting tunggal (Mueller-Dombois dan Ellenberg 1974; Shukla dan Chandel 1982; Setiadi dan Muhadiono 2000; Cox 2002).

Pemanfaatan dan Pelestarian Tumbuhan Liar

(28)

Secara umum tanaman berguna dikelompokkan (Waluyo 1987) menjadi : (1) bahan pangan, baik untuk makanan pokok maupun unt uk makanan tambahan; (2) bahan bangunan dan bahan lain seperti : bahan bangunan rumah baik yang permanen maupun semi permanen, bahan sandang, bahan untuk alat rumah tangga dan pertanian, bahan tali temali dan anyam-anyaman; (3) pelengkap upacara tradisiona l dan kegiatan sosial; (4) bahan obat-obatan, rempah-rempah dan kosmetika; (5) bahan pewarna; dan (6) pemenuhan keindahan, seni dan lain- lain. Jenis-jenis tumbuhan berguna tersebut kapan sebenarnya mulai dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup manusia belum diketahui secara pasti. Diduga bahwa asal mula pemanfaatan diawali dari adanya suatu rangsangan untuk mencoba dan mencicipinya. Daya tarik tumbuhan itu biasanya ditimbulkan oleh warna dan bentuk perawakan atau bagian-bagian tumbuhan seperti buah dan bunga. Seterusnya apabila jenis-jenis tadi memenuhi selera dan kebutuhan, dicari, dikumpulkan, dan akhirnya dibudidayakan. Selanjutnya pengetahuan tentang pemanfaatan tumbuhan itu berkembang sejalan dengan meningkatnya budaya dan pengetahuan tentang olah mengolah dan masak memasak dari tumbuhan tersebut (Waluyo 2003).

Aspek-aspek yang harus diperhatikan dalam mengungkapkan sistem pengetahuan masyarakat adalah: pemahaman terhadap ilmu pengetahuan dan kearifan; kepercayaan, persepsi, dan pengetahuan; dan sistem kognitif (Purwanto 2003). Menurut Toledo (1992), terdapat dua hal dalam mempelajari sistem pengetahuan yang ideal, yaitu ilmu pengetahuan (science) dan kearifan (wisdom). Ilmu pengetahuan lebih mengutamakan justifikasi, sedangkan kearifan berdasarkan pada penga laman pribadi. Ilmu pengetahuan memandang pengalaman pribadi sebagai konfirmasi, sedangkan kearifan memandang pengetahuan pribadi sebagai petunjuk untuk memperoleh pengalaman pribadi. Sehingga kearifan tidak memerlukan validasi justifikasi secara universal.

(29)

untuk menganalisis corpus dari pemikiran para informan, harus dilakukan penggabungan antara sistem kepercayaan dan persepsi masyarakat (Purwanto 2003).

Sistem kognitif atau kesadaran, merupakan komponen terakhir yang harus diperhatikan dalam mempelajari corpus. Sistem ini mempunyai kontribusi penting untuk memahami dimensi corpus. Oleh karena itu seorang etnoekolog harus mampu menggali informasi sistem pengetahuan lokal yang meliputi sistem klasifikasi populer terhadap sumberdaya alam dan lingkungannya (Purwanto 2003).

Konservasi keanekaragaman hayati sangat penting untuk bioprospeksi disamping pemanfaatannya yang berkelanjutan. Apabila peningkatan kemampuan serta berbagai keuntungan yang diperoleh digunakan untuk konservasi dan pembangunan yang berkesinambungan, berarti membuka sumber pendapatan baru untuk meningkatkan nilai keanekaragaman hayati yang akan memberikan keuntungan bagi masyarakat. Biodiversitas selain mempunyai fungsi ekonomi bagi kehidupan manusia, juga sangat erat hubungannya dengan fungsi ekosistem. Menurut Krebs (2001) salah satu alasan untuk pengawetan spesies adalah apabila biodiversitas dihubungkan dengan ekosistem, karena ekosistem sangat bermanfaat dalam sistem hidrologi dan polusi. Pengawetan biodiversitas lebih ditekankan terhadap spesies asli dibandingkan dengan introduksi, karena spesies asli merupakan kunci kontribusi terhadap fungsi ekosistem.

(30)

teknologi yang memungkinkan pemenuhan kebutuhan manusia yang menggunakan sumberdaya alam hayati bagi kesejahteraan; (3) pemanfaatan secara lestari, yaitu dengan mengendalikan cara-cara pemanfaatan sumberdaya alam hayati sehingga terjamin kelestariannya. Ketiga kepentingan ini tidak berdiri sendiri, tapi membentuk hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi.

Etnobotani

Studi yang mempelajari tentang pemanfaatan tumbuh-tumbuhan oleh masyarakat primitif atau penduduk asli yang berkaitan dengan kebudayaan masyarakat dikenal dengan istilah etnobotani. Menurut Heiser(1985),etnobotani adalah suatu studi tentang tumbuh-tumbuhan yang berkaitan dengan masyarakat yang memanfaatkannya. Sedangkan Schultes (1992) mengartikan, etnobotani sebagai pencatatan secara menyeluruh tentang pemanfaatan tumbuh-tumbuhan oleh penduduk asli. Umumnya penduduk yang memanfaatkan tumbuhan tersebut telah mengenal tumbuhannya, mengetahui cara pemanfaatannya, mengetahui jenis tumbuhan yang beracun atau mematikan serta telah mengetahui pula bentuk-bentuk pengolahan tumbuhan secara tradisional.

Harshberger (1896) dalam Wickens (1989) menjelaskan, bahwa entobotani dapat menjelaskan beberapa hal antara lain: (1) keadaan kebudayaan suatu bangsa yang memanfaatkan tumbuhan; (2) membuktikan penyebaran tumbuh-tumbuhan pada masa lalu; (3) membuktikan jalur perdagangan; dan (4) berguna dalam menerangkan nilai yang didapat dari pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar yang diambil dari alam.

(31)

Sistem-sistem lokal berbeda satu sama lain tergantung budaya dan tipe ekosistem setempat. Pada umumnya berupa sistem pengetahuan dan pengelolaan sumberdaya lokal yang diwariskan dan ditumbuhkembangkan secara turun temurun. Sebagai contoh: masyarakat adat ekosistem rawa bagian Selatan pulau Kimaam, kabupaten Merauke, Papua berhasil mengembangkan 144 kultivar ubi. Komunitas adat Dayak di Kalimantan, memiliki sistem perladangan berotasi. Adat sasi disebagian besar Maluku mengatur keberlanjutan pemanfaatan atas suatu kawasan dan jenis-jenis hayati tertentu (Nababan 2001).

(32)

Kawasan hutan lindung Gunung Salak merupakan gabungan lima kelompok hutan, yaitu kompleks hutan Gunung Salak Utara, Gunung Salak Selatan, Gunung Salak Nanggung, Gunung Salak Kendang Kulon dan Ciampea yang masing- masing telah memperoleh pengesahan tata batas yang jelas pada tanggal 3 Mei 1941, 5 Nopember 1906, 7 September 1934, 8 Juni 1916 dan Surat Keputusan Menteri Pertanian No.92/Kpts/Um/8/1954 pada tanggal 31 Agustus 1954 (Departemen Kehutanan 1983). Kemudian berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 175/Kpts-II/2003 menjadi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (Departemen Kehutanan 2003). Secara administratif luas hutan lindung Gunung Salak 31.237 ha berada di wialayah Ciampea, kecamatan Ciomas, dan kecamatan Cibungbulan, kabupaten Bogor; kecamatan Cicurug dan kecamatan Parung Kuda, kabupaten Sukabumi.

Topografi dan Iklim

Gunung Salak merupakan salah satu dari kurang lebih 40 gunung berapi utama yang ada di pulau Jawa yang sampai saat ini sudah tidak aktif lagi. Sisa-sisa aktivitas vulkanik masih dapat ditemukan antara lain di Kawah Ratu, Kawah Hirup, Kawah Paeh, Kawah Perbakti dan Kawah Cibereum. Ditinjau dari letak topografis, Gunung Salak berada dalam kesatuan hamparan dengan Gunung Halimun Timur dan Gunung Halimun Barat, namun terpisah dari Gunung Gede Pangrango oleh lembah sungai Cisadane dan Cicurug. Gunung Salak dan Gunung Halimun merupakan daerah hulu dari beberapa daerah aliran sungai (DAS) utama di Jawa Barat, terutama daerah Cisadane, Cidur ian, dan Ciujung (RIMPALA 2000).

(33)
(34)

Data curah hujan selama 10 tahun terakhir menunjukkan, bahwa rata-rata curah hujan yang tinggi terjadi sekitar bulan Nopember hingga Mei yaitu mencapai di atas 300 mm/bulan. Bulan Juni hingga Oktober curah hujan umumnya kurang dari 300 mm/bulan. Bulan-bulan selanjutnya terjadi penurunan hingga mencapai intensitas terendah pada bulan Agustus, yaitu 159 mm/bulan kemudian terjadi kenaikan kembali dengan intensitas yang cukup tinggi mulai bulan Nopember. Daerah Gunung Salak mengalami musim hujan sepanjang tahun. Suhu udara maksimum berkisar 29.9oC, suhu minumum 21.2oC dan suhu udara rata-rata 25.7oC. Klasifikasi iklim menurut Schmidt dan Fegurson curah hujan di daerah Gunung Salak termasuk tipe iklim A dengan nilai 0 – 143% (Departemen Kehutanan 1983). Secara spesifik kisaran curah hujan daerah tempat pengambilan sampel (Gambar 3), yaitu untuk kecamatan Gunung Bundar berkisar 4500 mm – 5000 mm, kecamatan Cijeruk 4000 mm – 4500 mm, kecamatan Cidahu 3500 mm – 4000 mm, kecamatan Parakan Salak dan Pulosari 4000 mm – 4500 mm, kecamatan Tamansari dan Sedanglaya 5000 mm – 6000 mm (Prasetyo, Setiawan, dan Prastowo 2002).

Di dalam kawasan hutan lindung Gunung Salak terdapat banyak mata air yang merupakan sumber air bagi sungai-sungai yang sebagian mengalir ke arah Selatan menuju Samudera Indonesia dan sebagian lagi mengalir ke arah Utara menuju laut Jawa. Salah satu mata air yang terdapat di kawasan hutan lindung Gunung Salak dikenal dengan mata air Ciburial yang dikelola PAM DKI Jaya untuk suplai air bersih bagi penduduk di Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor, Kodya Jakarta Selatan dan Depok (Departemen Kehutanan 1983).

Keadaan Tanah

(35)
(36)
(37)

Sosial Budaya Masyarakat

Mayoritas masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan lindung Gunung Salak adalah suku Sunda. Beberapa penduduk yang berasal dari luar suku Sunda, seperti suku Jawa, Batak, Bugis dan lain- lainnya adalah akibat dari perkawinan dengan penduduk setempat dan selanjutnya tinggal secara menetap di wilayah tersebut. Suku Sunda merupakan suku terbesar kedua yang seluruhnya hidup di Jawa Barat. Secara antropologi budaya, yang dimaksud dengan suku Sunda adalah orang yang turun temurun menggunakan bahasa Sunda (bahasa ibu) serta dialeknya dalam kehidupan sehari- hari, dan berasal serta bertempat tinggal di daerah Jawa Barat atau yang dikenal dengan tanah Pasundan atau tanah Datar (Harsojo 1988). Pola pemukiman masyarakat Sunda di desa merupakan keselarasan naluri arsitektur alamiah dengan lingkungannya yang terdiri atas beberapa kampung. Sebuah kampung merupakan sekumpulan rumah dengan pekarangan, lumbung padi, kandang ternak, kolam ikan, tempat permandian, tempat ibadah atau tanah lapang. Sebuah kampung mempunyai areal sawah atau kebun yang dilintasi jalan setapak atau jalan desa. Rumahnya terdiri atas beberapa kamar, serambi, ruang tengah dan dapur (Melalatoa 1995). Hampir seluruh keluarga penduduk yang tinggal di sekitar kawasan Gunung Salak memeluk agama Islam, hanya ada beberapa keluarga di daerah Cidahu dan Gunung Bundar 2 memeluk agama Kristen. Ditinjau dari Pendidikan Penduduk Usia Kerja (PPUK), tingkat pendidikan masyarakat sangat bervariasi yaitu dari tidak bersekolah dasar sampai tamat perguruan tinggi. Jumlah penduduk yang berpendidikan sampai tamat sekolah dasar menunjukan angka yang tertinggi (46%), disusul yang tidak tamat sekolah dasar (25%), tamat sekolah lanjutan tingkat pertama (20%), sekolah lanjutan tingkat atas (8%), dan yang terendah adalah penduduk yang tamat perguruan tinggi (1%). Pada umumnya, mereka yang berpendidikan sampai tingkat sekolah lanjutan atas (SLTA) dan tingkat Perguruan Tinggi rata-rata telah keluar dari desanya atau walaupun mereka masih tinggal di desa namun aktivitas kerja mereka sehari- harinya sebagian besar di luar desa.

(38)

sebanyak 9%. Sebagian besar masyarakat berprofesi sebagai petani dengan usaha pertanian di lahan sawah dan tegalan. Di samping itu, masyarakat setempat juga mempunyai pekerjaan tambahan seperti sebagai tukang batu, pedagang, dan ojeg. Sebagai ilustrasi hasil survey data jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan di delapan desa sampel sebagai berikut.

Tabel 1. Jumlah penduduk yang berumur =15 tahun berdasarkan tingkat pendidikan di delapan desa pengamatan

Jumlah

Penduduk Pendidikan

Lokasi

L P TTSD TSD TSLTP TSLTA TPT

Cidahu 4156 3934 864 1028 695 146 43

Cipelang 4483 4179 561 666 665 100 30

Cipeuteuy 3195 3055 543 2047 311 99 15

G. Bundar2 3718 3725 3705 2311 1613 173 10

Pulosari 4067 3914 701 926 300 122 72

Parakan Salak 3637 3406 468 2783 824 728 101

Tapos 1 3599 3592 189 153 169 97 26

Tamansari 4198 4953 316 2538 1452 584 54

Jumlah 31053 30758 6804 12452 5334 2049 351

Sumber : Data dari kantor desa masing-masing. TTSD = tidak tamat sekolah dasar, TSD = tamat sekolah dasar, TSLTP = tamat sekolah lanjutan pertama, TSLTA = tamat sekolah lanjutan atas, TPT = tamat perguruan tinggi (termasuk diploma)

(39)

Gambar 10 juga dapat memberikan gambaran, bahwa tumbuhan liar edibel tingkat bawah berada dalam satu kelompok, yaitu desa Cidahu dengan desa Pulosari mempunyai jarak hubungan yang terdekat (IS=0.67). Demikian halnya dengan jenis tumbuhan tingkat pancang, tiang maupun pohon. Tumbuhan liar edibel antara lokasi tidak ada yang mempunyai tingkat kemiripan sangat tinggi (IS>0.75). Beberapa lokasi mempunyai tingkat kemiripan tinggi (0.50<IS<0.75) selebihnya tingkat kemiripannya sangat rendah. Berdasarkan kriteria tingkat kemiripan menurut Krebs (1978) dan Jufri (2005), yaitu : IS=0.75 kemiripan sangat tinggi, 0.50=IS<0.75 tingkat kemiripan tinggi, 0.25=IS<0.50 tingkat kemiripan rendah, IS=0.25 tingkat kemiripan sangat rendah.

Gambar 10. Dendrogram pengelompokan jenis tumbuhan liar edibel berdasarkan lokasi untuk setiap tingkat pertumbuhan menggunakan UPGMA dan jarak Euclidean CD=cidahu, Cp=cipelang, CT=cipeuteuy, GB=gunung bundar 2, PL=pulosari, PS=parakan salak, TP=tapos, TS=tamansari, 1=bawah, 2=pancang, 3=tiang, 4=pohon..

5. Dominansi Jenis

(40)

Tabel 12. Dominansi jenis tumbuhan liar dan liar edibel untuk setiap tingkat pertumbuhan di kawasan hutan Gunung Salak

Tingkat Pertumbuhan Nama Jenis INP (%)

Tumbuhan Liar

Bawah Digitaria radicosa 9.793

Pancang Alsophila lurida 14.259

Tiang Symplocos faciculata 10.014

Pohon Quercus turbinata 13.497

Tumbuhan Liar Edibel

Bawah Nephrolepis bisserata 12.614

Pancang Symplocos faciculata 22.119

Tiang Symplocos faciculata 40.526

Pohon Altingia excelsa 40.668

Tabel 12 menunjukkan, bahwa jenis tumbuhan liar yang mendominasi kawasan hutan Gunung Salak secara keseluruhan untuk tingkat bawah adalah jenis jampang pait (Digitaria radicosa), tingkat pancang adalah pakis tiang (Alsophila lurida), tingkat tiang adalah jirak (Symplocos faciculata), dan tingkat pohon adalah jenis pasang jambe (Quercus turbinata). Tumbuhan liar edibel tingkat bawah adalah jenis pakis hayam (Nephrolepis bisserata), tingkat pancang dan tingkat tiang adalah jenis jirak (Symplocos faciculata), dan tingkat pohon adalah jenis rasamala (Altingia excelsa).

(41)

Tabel 13 menunjukkan, bahwa jenis tumbuhan liar tingkat bawah yang mendominasi di daerah Cidahu, Pulosari dan Parakan Salak adalah jenis harendong bulu (Clidemia hirta), Cipelang dan Tamansari jenis jukut pait ( Axonophus compressus), Cipeuteuy jenis jotang koneng (Spilanthes acmela); G. Bundar 2 dan Tapos 1 jenis jampang pait (Digitaria radicosa). Tiangkat pancang daerah Cidahu ki sampang (Evoidea latifolia); Cipelang jenis huru minyak (Litsea resinosa); Cipeuteuy, Pulosari, dan Parakan Salak jenis pakis tiang (Alsophila lurida); Gunung Bundar jenis seuserehan (Andropogon nardus); Tapos 1 jenis tepus (Eltingera punicea), dan Tamansari jenis panggang cucuk (Trevessa sundaica). Tingkat tiang daerah Cidahu adala h sungkai (Peronema canecens); Cipelang jenis pakis tiang (Alsophila lurida); Cipeuteuy dan Tamansari jenis jirak (Symplocos faciculata); Gunung Bundar dan Parakan Salak jenis pandan gunung (Pandanus andamanesium); Pulosari jenis jambe (Areca catechu)Tapos 1 jenis nangsi (Villebrunea rubescens). Tingkat pohon daerah Cidahu dan Parakan Salak adalah pasang jambe (Quercus turbinata); Cipelang huru minyak (Litsea resinosa); Cipeuteuy jenis pasang batarua (Quercus induta); Gunung Bundar rasamala (Altingia excelsa); Pulosari pete (Parkia speciosa); Tapos 1 jenis jirak (Symplocos faciculata); dan Tamansari jenis jambe (Areca catechu).

(42)

Tabel 14 menunjukkan, bahwa jenis tumbuhan liar edibel tingkat bawah yang mendominasi di daerah Cidahu, Gunung Bundar 2, Pulosari dan Tapos 1 adalah jampang pait (Digitaria radicosa), Cipelang adalah jenis babadotan awewena (Ageratum conyzoides), Cipeuteuy adalah jotang koneng (Spilanthes acmela), Parakan Salak adalah jenis rane (Selaginella plana), Tamansari adalah pakis hayam (Nephrolepis bisserata). Tingkat pancang, daerah Cidahu adalah ki sampang (Evoidea latifolia); Cipelang adalah ki urat (Plantago major); Cipeuteuy dan Parakan Salak adalah jirak (Symplocos faciculata); Gunung Bundar adalah seuserehan (Andropogon nardus); Pulosari adalah honje (Kadsura scandens), Tapos 1 jenis tepus (Eltingera punicea), dan Tamansari adalah jenis panggang cucuk (Trevessa sundaica). Tingkat tiang yang mendominasi daerah Cidahu dan Pulosari adalah jambe (Areca catechu); Cipelang adalah jenis kondang (Ficus variegata); Cipeuteuy, Gunung Bundar 2, dan Tamansari adalah jenis jirak (Symplocos faciculata), Parakan Salak adalah jenis kanyere (Bridelia monoica); Tapos 1 adalah nangsi (Villebrunea rubescens). Tingkat pohon yang mendominasi daerah Cidahu, Cipelang, dan Pulosari adalah jenis jenis pete (Parkia speciosa); Cipeuteuy dan Tapos 1 adalah jenis ki sampang (Evoidea latifolia); Gunung Bundar adalah rasamala (Altingia excelsa); Parakan Salak adalah jenis limus (Mangifera foetida); Tamansari jenis jambe (Areca catechu).

Pengamatan Berdasarkan Tipe Ekosistem

Hasil pengamatan jumlah jenis, indeks keanekaragaman, indeks kemerataan jenis di setiap tipe ekosistem yang ada kawasan hutan Gunung Salak disajikan sebagai berikut.

Tabel 15. Jumlah jenis (S), indeks keanekaragaman (H’), dan indeks kemerataan (E) tumbuhan liar dan liar edibel pada setiap tipe ekosistem

Tumbuhan Liar Tumbuhan Liar Edibel Tipe

Ekosistem S H’ E S H’ E

H.Alam 315 4.715 0.820 96 3.550 0.780

H.Produksi 220 4.011 0.744 86 3.067 0.689

Tegalan 230 4.222 0.776 102 3.437 0.743

Semak 146 3.861 0.775 50 2.827 0.723

(43)

Tabel 15 menunjukkan, bahwa jenis tumbuhan liar terbanyak ditemukan di hutan alam, secara berturut-turut diikuti tegalan, hutan produksi, semak, dan yang terendah di sawah. Indeks keanekaragaman jenis untuk masing- masing ekosistem relatif homogen dan termasuk dalam kategori yang sangat tinggi (H’>4), kecuali pada semak yang termasuk dalam kategori tinggi (3<H’<4). Sedangkan indeks kemerataan jenis yang terdapat di hutan alam dan sawah (E>0.8) lebih tinggi dibandingkan yang terdapat di tegalan dan hutan produksi (E<0.8). Tumbuhan liar yang mendominasi hutan alam adalah jenis Clidemis hirta, hutan produksi dan tegalan jenis Digitaria radicosa, semak jenis Imperata cylindrica, dan sawah jenis

Ageratum conyzoides. Tumbuhan liar edibel yang mendominasi hutan alam adalah jenis Symlocos faciculata , hutan produksi dan tegalan adalah jenis Digitaria radicosa, semak jenis Imperata cylindrica, dan sawah jenis Ageratum conyzoides.

Rincian hasil perhitungan jumlah jenis, indeks keanekaragaman jenis, dan indeks kemerataan jenis tumbuhan liar dan liar edibel untuk setiap tingkat pertumbuhan yang ditemukan di setiap tipe ekosistem sebagai berikut.

1. Jumlah Jenis

Tabel 16. Nilai p hasil Anova jumlah jenis tumbuhan liar dan liar edibel untuk stiap tingkat pertumbuhan

Kategori Tingkat

Pertumbuhan Tumbuhan Liar Tumbuhan Liar Edibel

Bawah 0.238 0.000*

Pancang 0.000* 0.478

Tiang 0.000* 0.000*

Pohon 0.000* 0.020*

Keterangan : *) berbeda nyata berdasarkan taraf nyata 5%

Hasil analisis keragaman terhadap jumlah jenis tumbuhan liar maupun liar edibel (Tabel 16) menunjukkan beda nyata terhadap semua tingkat pertumbuhan yang diamati, kecuali untuk jumlah tumbuhan liar tingkat bawah dan tumbuhan liar edibel tingkat pancang.

(44)

H Alam H Produksi Tegalan

Jumlah Jenis Tumbuhan Liar (pancang)

H Alam H Produksi Tegalan

Jumlah Jenis Tumbuhan Liar (tiang)

Tabel 17. Rata-rata jumlah jenis tumbuhan liar dan liar edibel pada setiap tipe ekosistem untuk setiap tingkat pertumbuhan

Tumbuhan Liar Tumbuhan Liar Edibel Tipe

Hasil uji lanjut jumlah jenis tumbuhan liar berdasarkan tipe ekosistem menunjukkan, bahwa baik tingkat pancang maupun tingkat tiang pada hutan alam lebih tinggi dibandingkan jumlah jenis pada tegalan, masing- masing antara hutan produksi dan tegalan maupun hutan alam dengan hutan produksi relatif sama (Gambar 11).

Gambar 11. Jumlah jenis tumbuhan tingkat pancang (a) dan tingkat tiang (b) pada setiap ekosistem yang dinyatakan dalam rata-rata (•), ± galat baku (?) dan ± 95% simpangan baku (- ).

Jumlah jenis tumbuhan liar tingkat pohon yang terdapat pada hutan alam lebih tinggi dibandingkan tegalan dan hutan produksi. Jumlah jenis antara hutan alam dengan tegalan relatif sama. Sedangkan jumlah jenis tumbumbuhan liar edibel tingkat bawah pada sawah dan tegalan lebih tinggi dibandingkan jumlah jenis pada hutan produksi dan hutan alam. Jumlah jenis yang terdapat pada sawah dengan tegalan relatif sama, demikian halnya halnya antara tegalan dengan semak dan antara hutan alam, hutan produksi dan semak (Gambar 12).

(45)

H Alam H Produksi Tegalan

Jumlah Jenis Tumbuhan Liar (pohon)

H.Alam

Jumlah Jenis Tumbuhan Liar Edibel

(bawah)

Jumlah Jenis Tumbuhan Liar Edibel (tiang)

H Alam H Produksi Tegalan

Jumlah Jenis Tumbuhan Liar Edibel (pohon)

Gambar 12. Jumlah jenis tumbuhan liar tingkat pohon (a) dan tumbuhan liar edibel tingkat bawah (b) pada setiap ekosistem yang dinyatakan dalam rata-rata (•), ± galat baku (?) dan ± 95% simpangan baku (- ).

Jumlah jenis tumbuhan liar edibel tingkat tiang maupun tingkat pohon antara ekosistem relatif sama (Gambar 13).

Gambar 13. Jumlah jenis tumbuhan liar edibel tingkat tiang (a) dan tingkat pohon (b) pada setiap ekosistem yang dinyatakan dalam rata-rata (•), ± galat baku (?) dan ± 95% simpangan baku (- ).

Tipe ekosistem berpengaruh terhadap jumlah jenis tumbuhan liar tingkat pancang, tiang maupun tingkat pohon. Rata-rata jumlah jenis tingkat pancang, tiang maupun pohon paling tinggi terdapat pada hutan alam diikuti hutan produksi, dan terendah pada tegalan. Sedangkan jenis tumbuhan tingkat bawah, walaupun secara uji statistik tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan, namun secara rata-rata jumlah jenis tertinggi pada hutan alam, diikuti, sawah, semak dan terendah pada hutan produksi.

a b

(46)
(47)

ditempati oleh pohon-pohon dengan tajuk yang lebih rendah, stratum D ditempati oleh anakan pohon, dan stratum E ditempati oleh tumbuhan herba dan semai yang menutupi lantai hutan. Loveless (1989) menyatakan vegetasi yang paling lebat hanya akan ditemukan di tempat-tempat yang kelembaban tanahnya tinggi dengan draenase yang cukup baik. Penyederhanaan dalam struktur komunitas akan mulai tampak dalam vegetasi, bila kelembaban tidak memadai untuk pertumbuhan optimal sepanjang tahun. Lebih lanjut Richards (1964) mengemukakan, bahwa secara umum komposisi jenis hutan tropik adalah campuran, dengan asosiasi tanpa dominasi tunggal. Jumlah populasi dominan berkisar antara satu sampai enam jenis. Jumlah ini berbeda antara satu lokasi dengan lokasi lainnya

(48)

sebagai akibat udara merupakan penyimpan panas terburuk, sehingga suhu udara sangat dipengaruhi oleh permukaan bumi tempat persentuhan antara udara dengan daratan dan lautan. Akibatnya suhu akan turun menurut ketinggian baik di atas lautan maupun daratan. Rata-rata penurunan suhu udara di Indonesia sekitar 5 – 6oC setiap kenaikan 1000 m di atas permukaan laut (Handoko 1995). Disamping itu perbedaan ketinggian tempat di atas permukaan laut (dpl) dapat menimbulkan perbedaan cuaca dan iklim secara keseluruhan pada tempat tersebut, terutama suhu, kelembaban dan curah hujan. Unsur-unsur tersebut banyak dikendalikan oleh letak lintang, ketinggian, jarak dari laut, topografi, jenis tanah dan vegetasi (Miller 1976). Bertambahnya ketinggian tempat dari permukaan laut menyebabkan tekanan udara menjadi berkurang (Threwartha 1968) yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya pergerakan udara (angin). Kecepatan angin akan meningkat dengan bertambahnya ketinggian. Dataran tinggi selain berpengaruh terhadap tekanan udara dan suhu, juga berpengaruh terhadap curah hujan. Umumnya dataran tinggi memiliki frekuensi, penyebaran serta jumlah curah hujan yang lebih besar serta berbeda nyata bila dibandingkan dengan dataran rendah (Barry dan Chorley 1976). Perbedaan komponen-komponen iklim tersebut yang menyebabkan terjadi perbedaan jumlah jenis tumbuhan pada setiap tipe ekosistem yang diamati.

(49)

buah-buahan. Letak antara perkampungan dengan kawasan hutan alam relatif jauh, disamping juga karena kawasan hutan merupakan kawasan yang dilindungi sehingga masyarakat tidak dapat dengan leluasa melakukan aktivitasnya. Dampak dari semua ini berpengaruh terhadap pengetahuan masyarakat mengenai lingkungannya. Mereka lebih banyak mengenal lingkungan persawah dan tegalan, khususnya mengenai jenis-jenis tumbuhan liar dan kemungkinan pemanfaatannya. Kondisi seperti ini sangat berbeda dengan daerah-daerah (perkampungan) yang letaknya sangat terpencil , seperti suku-suku yang hidup di daerah pedalaman Irian dan Kalimantan dimana masyarakatnya tinggal dan hidup dalam hutan-hutan yang terisolasi dari daerah perkotaan atau perkampungan yang satu dengan yang lainnya. Pengetahuan mereka terhadap lingkungannya, khususnya mengenai pemanfaatan tumbuhan hutan akan lebih banyak dibandingkan dengan pengetahuan mengenai tumbuhan yang hidup di daerah persawahan. Menurut Rambo (1982), aktivitas manusia me mpunyai keterkaitan erat dengan faktor lingkungan. Faktor- faktor lingkungan akan mempengaruhi aktivitas manusia dan aktivitas manusia akan mempengaruhi faktor lingkungan. Nilai- nilai dasar kebudayaan turut mempertimbangkan latar belakang lingkungan biotik dan abiotik. Aktivitas manusia, pranata sosial dan unsur- unsur budaya berada dalam kesatuan intergrasi sistem sosial.

(50)

(Arcangelisia flava Merr) sebagai bahan obat (Wardah dkk 2002), dan pecut kuda (Stachytarpheta jamaicensis (L) Vahl.) sebagai obat kencing nanah, dan mencret (Sukarsono dkk. 2003; Djauhariah dan Hernani 2004). Selain itu masih banyak jenis-jenis tumbuhan liar yang dapat dikonsumsi sebagai bahan obat, sayur, maupun buah-buhan yang belum diketahui oleh penduduk sekitar kawasan hutan. Menurut Sugandhy (2001) dan Waluyo (2003), perbedaan geografi, tipe ekosistem, komunitas masyarakat serta perbedaan kearifan tradisional masyarakat pada masing-masing wilayah memunculkan adanya biodiversitas setempat yang bersifat spesifik .

2. Indeks keanekaragaman jenis

Hasil analisis keragaman terhadap indeks keanekaragaman jenis tumbuhan liar maupun liar edibel sebagai berikut.

Tabel 18. Nilai p hasil Anova indeks keanekaragaman jenis tumbuhan liar dan liar edibel untuk setiap tingkat pertumbuhan

Kategori Tingkat

Pertumbuhan Tumbuhan Liar Tumbuhan Liar Edibel

Bawah 0.001* 0.000*

Pancang 0.005* 0.498

Tiang 0.004* 0.035*

Pohon 0.001* 0.036*

Keterangan : *) berbeda nyata berdasarkan taraf nyata 5%

Tabel 18 menunjukkan, bahwa berdasarkan tipe ekosistem, indeks keanekaragaman jenis tumbuhan liar maupun tumb uhan liar edibel berbeda nyata terhadap semua tingkat pertumbuhan, kecuali tumbuhan liar edibel untuk tingkat pancang tidak berbeda nyata.

Tabel 19. Rata-rata indeks keanekaragaman jenis tumbuhan liar dan liar edibel untuk setiap tingkat pertumbuhan pada setiap tipe ekosistem

Tumbuhan Liar Tumbuhan

Tipe

Ekosistem Bawah Pancang Tiang Pohon Bawah Pancang Tiang Pohon H.Alam 3.335 2.800 2.676 2.781 2.365 1.358 2.676 1.330 H.Produksi 2.990 2.025 1.132 1.169 2.123 0.970 1.132 0.565 Tegalan 3.354 1.514 1.320 1.905 2.718 1.012 1.320 1.289

Semak 3.231 - - - 2.232 - - -

(51)

H.Alam

Indeks Keanekaragaman Tumbuhan Liar

(bawah)

Indeks keanekaragaman jenis tumbuhan liar tingkat bawah relatif sama antara ekosistem. Indeks keanekaragaman tingkat pancang pada hutan alam lebih tinggi dibandingkan tegalan. Indeks keanekaragaman pada hutan produksi relatif sama dengan hutan alam, demikian halnya tegalan relatif sama dengan hutan produksi (Gambar 14).

Gambar 14. Indeks keanekaragaman jenis tumbuhan liar tingkat bawah (a) dan tingkat pancang (b) pada setiap tipe ekosistem yang dinyatakan dalam rata-rata (•), ± galat baku (?) dan ± 95% simpangan baku (- ).

Indeks keanekaragaman tingkat tiang antar ekosistem relatif sama, demikian halnya dengan hutan alam dan hutan produksi. Indeks keanekaragaman jenis tingkat pohon pada hutan alam lebih tinggi dibandingkan hutan produksi. Indeks keanekaragaman pada tegalan relatif sama dengan hutan produksi maupun hutan alam (Gambar 15).

(52)

H.Alam

Indeks keanekaragaman jenis tumbuhan liar edibel tingkat bawah pada sawah tertinggi dibandingkan ekosistem lainnya, kecuali dengan tegalan relatif sama. Indeks keanekaragaman jenis pada tegalan lebih tinggi dibandingkan hutan produksi, tetapi relatif sama dibandingkan ekosistem yang lainnya. Sedangkan untuk tingkat tiang relatif sama antara ekosistem (Gambar 16).

Gambar 16. Indeks keanekaragaman jenis tumbuhan liar edibel tingkat bawah (a) dan tingkat tiang (b) pada setiap tipe ekosistem yang dinyatakan dalam rata-rata (•), ± galat baku (?) dan ± 95% simpangan baku (- ).

Indeks keanekaragaman jenis tumbuhan liar edibel tingkat pohon relatif sama antara ekosistem hutan alam, hutan produksi, dan tegalan (Gambar 17).

Gambar 17. Indeks keanekaragaman jenis tumbuhan liar edibel tingkat pohon pada setiap tipe ekosistem yang dinyatakan dalam rata-rata (•), ± galat baku (?) dan ± 95% simpangan baku (- ).

(53)

Indeks keanekaragaman jenis tumbuhan liar untuk tingkat bawah di setiap ekosistem termasuk dalam kategori tinggi (3<H’<4), kecuali pada hutan produksi termasuk kategori sedang (2<H’<3).Tingkat pancang pada hutan alam dan hutan produksi termasuk dalam kategori sedang (2<H’<3), pada tegalan termasuk kategori rendah (H’<1).Tingkat tiang pada hutan alam termasuk dalam kategori sedang (2<H’<3), hutan produksi dan tegalan termasuk kategori rendah (1<H’<2).Tingkat pohon pada hutan alam termasuk dalam kategori sedang (2<H’<3), hutan produksi dan tegalan termasuk kategori rendah (1<H’<2). Indeks keanekaragaman jenis tumbuhan liar edibel tingkat bawah untuk semua ekosistem termasuk dalam kategori sedang, kecuali pada sawah termasuk dalam kategori tinggi. Untuk tingkat pancang, tiang, dan pohon pada masing- masing ekosistem termasuk dalam kategori rendah, kecuali tingkat tiang pada hutan alam termasuk dalam kategori sedang. Menurut Barbour at al. (1987), kriteria nilai indeks keanekaragaman jenis Shanon-Wiener sebagai berikut : jika H’<1 dikategorikan sangat rendah, 1<H’=2 kategori rendah, 2=H’=3 kategori sedang (medium), 3=H’=4 kategori tinggi, dan jika H’>4 kategori sangat tinggi. Menurut Djufri dkk. (2005), keanekaragaman jenis yang tinggi pada suatu komunitas akan dapat bertahan apabila terdapat gangguan secara teratur dan periodik. Komunitas yang sangat stabil, meluas secara regional dan homogen akan memperlihatkan keanekaragaman spesies lebih rendah dibandingkan dengan ekosistem berbentuk mozaik atau secara regional diganggu pada waktu tertentu. Biasanya setelah gangguan berlalu, maka akan terjadi peningkatan spesies sampai pada suatu titik dimana dominasi sedikit spesies yang hidup lama dan berukuran besar, sehingga dapat membalikkan kecenderungan keanekaragaman menjadi menurun.

(54)

dan terendah di hutan produksi. Hal ini sangat berhubungan erat dengan jumlah jenis yang ditemukan di masing- masing ekosistem, semakin tinggi jumlah jenis maka akan semakin tinggi indeks keanekaragaman suatu jenis. Keanekaragaman jenis yang tinggi merupakan indikator dari kemantapan atau kestabilan dari suatu lingkungan pertumbuhan, dengan kata lain hutan alam merupakan tempat tumbuh yang mempunyai stabilitas lingkungan paling tinggi bagi pertumbuhan tingkat pancang, tiang maupun pohon dibandingkan tegalan dan hutan produksi. Menurut Odum (1993) bahwa keanekaragaman akan menjadi tinggi pada komunitas yang lebih tua dan rendah pada komunitas yang baru terbentuk. Kestabilan yang tinggi menunjukan tingkat kompleksitas yang tinggi, hal ini disebabkan terjadinya interaksi yang tinggi pula sehingga akan mempunyai kemampuan lebih tinggi dalam menghadapi gangguan terhadap komponen-komponennya.Selanjutnya Walter (1971) menyatakan, bahwa di dalam lingkungan yang tidak menunjukkan adanya faktor khusus, maka komunitas yang menduduki lingkungan yang bersangkutan akan menunjukkan tingkat keanekaragaman jenis yang tinggi. Disini nampak jelas, bahwa faktor fisiografi telah bertindak sebagai faktor khusus yang mempengaruhi keanekaragaman jenis tumbuhan yang hidup di atasnya.

3. Indeks Kemerataan jenis

Tabel 20. Nilai p hasil Anova indeks kemerataan jenis tumbuhan liar dan liar edibel untuk stiap tingkat pertumbuhan

Kategori Tingkat

Pertumbuhan Tumbuhan Liar Tumbuhan Liar Edibel

Bawah 0.001* 0.001*

Pancang 0.444 0.364

Tiang 0.093 0.320

Pohon 0.286 0.079

Keterangan : *) berbeda nyata berdasarkan taraf nyata 5%

Gambar

Gambar 10. Dendrogram pengelompokan jenis tumbuhan liar edibel berdasarkan lokasi untuk setiap tingkat pertumbuhan menggunakan UPGMA dan jarak Euclidean CD=cidahu, Cp=cipelang, CT=cipeuteuy, GB=gunung bundar 2, PL=pulosari, PS=parakan salak, TP=tapos, TS=t
Tabel 12. Dominansi jenis tumbuhan liar dan liar edibel untuk setiap tingkat pertumbuhan di kawasan hutan Gunung Salak
Tabel 14.  Dominansi jenis tumbuhan liar edibel untuk setiap tingkat pertumbuhan di setiap    desa pengamatan
Gambar 12. Jumlah jenis tumbuhan liar tingkat pohon (a) dan tumbuhan liar edibel tingkat bawah (b) pada setiap ekosistem yang dinyatakan dalam rata-rata (•), ± galat baku (?) dan ± 95% simpangan baku (- )
+7

Referensi

Dokumen terkait

jenis tumbuhan paku di kawasan hutan Gunung Sinabung jalur pendakian. Sigarang-garang Kabupaten Karo

Di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, Resort Cidahu, Jawa Barat, ditemukan ada lima jenis tumbuhan lantai hutan dari Suku Araceae , yaitu Schismatoglottis calyptrata ,

Persebaran frekuensi jenis pohon di kawasan hutan Resort Cidahu, Taman Nasional Gunung Halimun – Salak Jenis Macaranga triloba bersama Callyandra

Di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, Resort Cidahu, Jawa Barat, ditemukan ada lima jenis tumbuhan lantai hutan dari Suku Araceae , yaitu Schismatoglottis calyptrata ,

Judul Penelitian : Interaksi dan Pemanfaatan Hasil Hutan Oleh Masyarakat Sekitar Taman Nasional Gunung Leuser (Studi Kasus: Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser Seksi

Hasil analisis uji kesesuaian beberapa jenis anakan pohon terhadap kelas penutupan kanopi hutan kawasan hutan Resort Cidahu, Taman Nasional Gunung Halimun–Salak..

Untuk keanekaragaman jenis tumbuhan yang telah dikoleksi dari kawasan Hutan Lindung Gunung Pesagi dan berpotensi sebagai tanaman obat didominasi oleh suku Piperaceae (Piper

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pemanfaatan Tradisional Tumbuhan Obat Oleh Masyarakat di sekitar Kawasan Cagar Alam Gunung Tilu, Jawa Barat