Masyarakat di Sekitar Kawasan Hutan Gunung Salak. Dibimbing oleh DEDE SETIADI, EDI GUHARDJA, dan IBNUL QAYIM.
Eksplorasi biodiversitas tumbuhan liar dan pengetahuan masyarakat di sekitar kawasan hutan Gunung Salak dilakukan dengan tujuan utama mendapatkan jenis tumbuhan liar edibel yang paling berpotensi untuk dikembangkan. Tujuan lain adalah mempelajari biodiversitas tumbuhan liar, pengetahuan pemanfaatan dan pelestarian lingkungan oleh masyarakat serta etnobotani tumbuhan liar edibel yang paling berpotensi. Penelitian di lakukan di sekitar kawasan hutan Gunung Salak mulai bulan Mei 2004 sampai Agustus 2005.
Data tumbuhan diperoleh dengan analisis vegetasi menggunakan metode kuadrat dan transek. Analisis vegetasi dilakukan pada ekosistem sawah, semak, tegalan, hutan produksi, dan hutan alam. Analisis data untuk indeks keanekaragaman berdasarkan Shanon-Wiener, indeks kemerataan berdasarkan Simpson, dan indeks similaritas jenis berdasarkan Sorensen.Pengumpulan data pada masyarakat dengan teknik wawancara struktural dan kuesioner. Penentuan tumbuhan liar edibel yang paling berpotensi berdasarkan metode perbandingan eksponensial. Ekologi dan fenologi tumbuhan yang paling berpotensi diketahui dengan cara pembuatan demplot dan percobaan di Rumah Kaca.
Hasil penelitian menunjukkan, bahwa di kawasan hutan Gunung Salak ditemukan tumbuhan liar dan tanaman budidaya sebanyak 595 jenis dari 140 suku. Tumbuhan liar sebanyak 513 jenis dari 121 suku dengan indeks keanekaragaman sangat tinggi dan kemerataan jenis yang tinggi. Tumbuhan liar edibel sebanyak 185 dari 65 suku dengan indeks keanekaragaman dan kemerataan yang tinggi. Jenis tumbuhan yang mendominasi adalah Digitaria radicosa. Pengetahuan masyarakat mengenai pemanfaatan tumbuha n liar dan pelestarian lingkungan berkorelasi positif dengan kelas usia. Semakin tua usia, semakin tinggi tingkat pengetahuan yang dimiliki. Pengetahuan kaum laki- laki lebih tinggi dibandingkan perempuan. Jumlah jenis tumbuhan liar edibel yang berfungsi sebagai buah sebanyak 29 jenis dari 15 suku, sayur 68 jenis dari 36 suku, obat sebanyak 92 jenis dari 40 suku, penyedap sebanyak 11 jenis dari 10 suku, dan sebagai sumber karbohidrat sebanyak 10 jenis dari 8 suku.
Tumbuhan liar edibel yang paling berpotensi untuk dikembangkan adalah canar susu (Smilax macrocarpa Bl.). Habitat tumbuh canar susu adalah hutan produksi dan hutan alam pada ketinggian >800 m dpl. Tipe iklim A (Schmidt dan Ferguson), jenis tanah asosiasi andosol, latosol, dan regusol. Tumbuhan ini termasuk tumbuhan liana, panjang 5 – 15 m, bunga uniseksual dan bergerombol, buah bergerombol pada setiap tangkai dengan jumlah 10 – 15 buah. Perbanyakan dapat dilakukan dengan biji dan stek. Hasil buah dapat mencapai 500 kg/rumpun. Keunggulan tumbuhan ini yang dimiliki diantaranya: kandungan kalsium (Ca) yang tinggi (0.30%), kandungan tanin (positif sangat kuat) dan saponin (positif kuat) sebagai bahan industri, dapat memberikan keuntungan bersih sebesar Rp. 22.500.000 pada panen pertama (tahun III) dan sebesar Rp. 67.500.000 pada panen kedua (tahun IV) dalam 1 ha.
MADE SUWENA
Gunung Salak Forest Area. Under the direction of DEDE SETIADI, EDI GUHARDJA, and IBNUL QAYIM.
Exploration of wild plant biodiversity and cummunity knowledge in Gunung Salak forest area was conducted with main purpose to obtain the most potential edible wild plant to be developed. The other purposes were to study biodiversity of wild plant, community knowledge on the use of plant, conservation of edible wild plant, and ethnobotany of most potential edible wild plant. Research was conducted in Gunung Salak area, started on May 2004 until August 2005.
Plants data were obtained by vegetation analysis using quadratic and transect methods. Vegetation analysis was conducted on paddy field, shrub, mix garden, man made forest, and primary forest. Data analysis for diversity index was based on Shanon-Wiener and evennes index was based on Simpson’s. Data collection on community was done by participation observation and structural survey method. The determination of the most potential edible wild plant was based on Exponential Comparation Method. Ecology and fenology of the most potential plant was studied by demplot (plot demonstration) and greenhouse experiment.
The result indicated that there were 595 species from 140 families of wild plant and cultivated plant found in around Gunung Salak. The wild plant were 513 species from 121 familieswhich very high diversity index and high evennes. Edible wild plant were 185 species from 65 families which high diversity and evennes index. The plant which dominated was Digitaria radicosa. The community knowledge on the use of species wild plant as well as environment conservation had linear correlation with ages class. The more ages, the more increase the knowledge and vice versa. Group of men had more knowledge on the use of wild plant as well as environment conservation compare to group of women. The number of edible wild plant as fruits were 29 species from 15 families, vegetables were 68 species from 36 families, medicine were 92 species from 40 families, spicy were 11 species from 10 familes, and source of carbohidrate were 10 species from 8 familes.
Canar susu (Smilax macrocarpa Bl.) plant was the most potential edible plant to be developed. The habitat of canar susu was in man made forest and primary forest with >800 m above the sea level. Climate type according to Schmidt and Ferguson was A. The soil was asosiation of andosol, latosol, and regusol. The plant was liana, 5-15 m in lenght, flower unisexual and umbels, fruiting umbels with 10 – 15 fruits. Seeding and stump can be used as plant propagation. There were several superiorities of this plant i.e. nutrition content of its fruit as an alternative of calcium source (0.30% Ca), tannin content (very strong positive) and saponin (strong positive) as industry material, and by using intensive management the total profit can be gained about Rp. 22.500.000 per hectare at first harvest (third year) and Rp. 67.500.000 (fourth year) at second harvest.
KEHIDUPAN MASYARAKAT DI SEKITAR KAWASAN
HUTAN GUNUNG SALAK
MADE SUWENA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Bioprospeksi Tumbuhan Liar
Edibel dalam Kehidupan Masyarakat di Sekitar Kawasan Hutan Gunung Salak
adalah karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum pernah
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi
yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulisan lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di
bagian akhir disertasi ini.
Bogor Nopember 2006
Made Suwena
Masyarakat di Sekitar Kawasan Hutan Gunung Salak. Dibimbing oleh DEDE SETIADI, EDI GUHARDJA, dan IBNUL QAYIM.
Eksplorasi biodiversitas tumbuhan liar dan pengetahuan masyarakat di sekitar kawasan hutan Gunung Salak dilakukan dengan tujuan utama mendapatkan jenis tumbuhan liar edibel yang paling berpotensi untuk dikembangkan. Tujuan lain adalah mempelajari biodiversitas tumbuhan liar, pengetahuan pemanfaatan dan pelestarian lingkungan oleh masyarakat serta etnobotani tumbuhan liar edibel yang paling berpotensi. Penelitian di lakukan di sekitar kawasan hutan Gunung Salak mulai bulan Mei 2004 sampai Agustus 2005.
Data tumbuhan diperoleh dengan analisis vegetasi menggunakan metode kuadrat dan transek. Analisis vegetasi dilakukan pada ekosistem sawah, semak, tegalan, hutan produksi, dan hutan alam. Analisis data untuk indeks keanekaragaman berdasarkan Shanon-Wiener, indeks kemerataan berdasarkan Simpson, dan indeks similaritas jenis berdasarkan Sorensen.Pengumpulan data pada masyarakat dengan teknik wawancara struktural dan kuesioner. Penentuan tumbuhan liar edibel yang paling berpotensi berdasarkan metode perbandingan eksponensial. Ekologi dan fenologi tumbuhan yang paling berpotensi diketahui dengan cara pembuatan demplot dan percobaan di Rumah Kaca.
Hasil penelitian menunjukkan, bahwa di kawasan hutan Gunung Salak ditemukan tumbuhan liar dan tanaman budidaya sebanyak 595 jenis dari 140 suku. Tumbuhan liar sebanyak 513 jenis dari 121 suku dengan indeks keanekaragaman sangat tinggi dan kemerataan jenis yang tinggi. Tumbuhan liar edibel sebanyak 185 dari 65 suku dengan indeks keanekaragaman dan kemerataan yang tinggi. Jenis tumbuhan yang mendominasi adalah Digitaria radicosa. Pengetahuan masyarakat mengenai pemanfaatan tumbuha n liar dan pelestarian lingkungan berkorelasi positif dengan kelas usia. Semakin tua usia, semakin tinggi tingkat pengetahuan yang dimiliki. Pengetahuan kaum laki- laki lebih tinggi dibandingkan perempuan. Jumlah jenis tumbuhan liar edibel yang berfungsi sebagai buah sebanyak 29 jenis dari 15 suku, sayur 68 jenis dari 36 suku, obat sebanyak 92 jenis dari 40 suku, penyedap sebanyak 11 jenis dari 10 suku, dan sebagai sumber karbohidrat sebanyak 10 jenis dari 8 suku.
Tumbuhan liar edibel yang paling berpotensi untuk dikembangkan adalah canar susu (Smilax macrocarpa Bl.). Habitat tumbuh canar susu adalah hutan produksi dan hutan alam pada ketinggian >800 m dpl. Tipe iklim A (Schmidt dan Ferguson), jenis tanah asosiasi andosol, latosol, dan regusol. Tumbuhan ini termasuk tumbuhan liana, panjang 5 – 15 m, bunga uniseksual dan bergerombol, buah bergerombol pada setiap tangkai dengan jumlah 10 – 15 buah. Perbanyakan dapat dilakukan dengan biji dan stek. Hasil buah dapat mencapai 500 kg/rumpun. Keunggulan tumbuhan ini yang dimiliki diantaranya: kandungan kalsium (Ca) yang tinggi (0.30%), kandungan tanin (positif sangat kuat) dan saponin (positif kuat) sebagai bahan industri, dapat memberikan keuntungan bersih sebesar Rp. 22.500.000 pada panen pertama (tahun III) dan sebesar Rp. 67.500.000 pada panen kedua (tahun IV) dalam 1 ha.
MADE SUWENA
Gunung Salak Forest Area. Under the direction of DEDE SETIADI, EDI GUHARDJA, and IBNUL QAYIM.
Exploration of wild plant biodiversity and cummunity knowledge in Gunung Salak forest area was conducted with main purpose to obtain the most potential edible wild plant to be developed. The other purposes were to study biodiversity of wild plant, community knowledge on the use of plant, conservation of edible wild plant, and ethnobotany of most potential edible wild plant. Research was conducted in Gunung Salak area, started on May 2004 until August 2005.
Plants data were obtained by vegetation analysis using quadratic and transect methods. Vegetation analysis was conducted on paddy field, shrub, mix garden, man made forest, and primary forest. Data analysis for diversity index was based on Shanon-Wiener and evennes index was based on Simpson’s. Data collection on community was done by participation observation and structural survey method. The determination of the most potential edible wild plant was based on Exponential Comparation Method. Ecology and fenology of the most potential plant was studied by demplot (plot demonstration) and greenhouse experiment.
The result indicated that there were 595 species from 140 families of wild plant and cultivated plant found in around Gunung Salak. The wild plant were 513 species from 121 familieswhich very high diversity index and high evennes. Edible wild plant were 185 species from 65 families which high diversity and evennes index. The plant which dominated was Digitaria radicosa. The community knowledge on the use of species wild plant as well as environment conservation had linear correlation with ages class. The more ages, the more increase the knowledge and vice versa. Group of men had more knowledge on the use of wild plant as well as environment conservation compare to group of women. The number of edible wild plant as fruits were 29 species from 15 families, vegetables were 68 species from 36 families, medicine were 92 species from 40 families, spicy were 11 species from 10 familes, and source of carbohidrate were 10 species from 8 familes.
Canar susu (Smilax macrocarpa Bl.) plant was the most potential edible plant to be developed. The habitat of canar susu was in man made forest and primary forest with >800 m above the sea level. Climate type according to Schmidt and Ferguson was A. The soil was asosiation of andosol, latosol, and regusol. The plant was liana, 5-15 m in lenght, flower unisexual and umbels, fruiting umbels with 10 – 15 fruits. Seeding and stump can be used as plant propagation. There were several superiorities of this plant i.e. nutrition content of its fruit as an alternative of calcium source (0.30% Ca), tannin content (very strong positive) and saponin (strong positive) as industry material, and by using intensive management the total profit can be gained about Rp. 22.500.000 per hectare at first harvest (third year) and Rp. 67.500.000 (fourth year) at second harvest.
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006 Hak Cipta Dilindungi
HUTAN GUNUNG SALAK
MADE SUWENA
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Biologi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Nama : Made Suwena
NIM : G.361020041
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Dede Setiadi, MS Ketua
Prof. Dr. Ir. Edi Guhardja, M.Sc. Dr. Ir. Ibnul Qayim Anggota Anggota
Diketahui,
2. Ketua Pragram Studi Biologi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin., DEA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro MS
Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga disertasi yang
berjudul Bioprospeksi Tumbuhan Liar Edibel dalam Kehidupan Masyarakat di
Sekitar Kawasan Hutan Gunung Salak dapat terselesaikan.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada yang terhormat Bapak Dr. Ir. H.
Dede Setiadi, MS., Bapak Prof. Dr. Ir. Edi Guhardja, M.Sc. dan Bapak Dr. Ir. Ibnul
Qayim atas bimbingan, arahan, nasehat dan dorongan moral dalam penyusunan karya
ilmiah ini. Kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Latifah Kasim Darusman, MS., Bapak Prof. Dr.
Ir. Roedy Poerwanto, M.Sc., dan Bapak Dr. Eko Baroto Waluyo atas segala
masukkannya baik dalam sidang tertutp maupun sidang terbuka.
Terima kasih disampaikan kepada Departemen Pendidikan Nasional atas
beasiswa yang diberikan. Universitas Mataram dan Institut Pertanian Bogor atas
segala fasilitas dan pelayanannya. Pemda Dati I Nusa Tenggara Barat dan Yayasan
Toyota & Astra atas bantuan dananya.
Penghargaan dan terima kasih disampaikan kepada Ibu Dr. Ir. Damayanti
Buchori, M.Sc. selaku Ketua Yayasan Peka Indonesia dan Bapak David Ardhian,
S.Tp. selaku Manajer Proyek Gunung Salak dan Unocal yang telah mendanai
penelitian ini. Rekan-rekan di Yayasan Peka Indonesia Mas Bandung, Hertab, Jalu,
Wika, Mbak Aida, Mbak Sinta dan yang lainnya yang telah membantu lancarnya
pelaksanaan penelitian ini.
Terima kasih juga disampaikan kepada saudara Mulus, Luluk, Ustad Acak
Abdullah, Bpk. Madnasi, Bpk. Upah, Bpk Ajum, Bpk Asep, Bpk Padma Sasmita,
dan rekan-rekan lainnya atas bantuannya selama di lapangan. Kepada Bpk.Dr. Ir.
Gde Ekaputra Gunartha, M.Sc. atas masukannya dalam bidang statistik, Bpk. Dr. Y.
Purwanto (LIPI) atas masukannya dalam bidang Etnobotani.
Kebanggaan dan penghargaan disampaikan kepada kedua orang tua, ayah dan
ibu mertua, istri dan anak-anak tercinta atas segala pengorbanan, pengertian,
ketabahan, dan dorongan yang diberikan selama penulis mengikuti pendidikan. Om
shanti, shanti, shanti, Om.
Penulis dilahirkan di Desa Alasangker Kabupaten Buleleng-Singaraja Bali
pada tanggal 11 Juni 1961 dengan nama lengkap Made Wetan Suwena sebagai anak
kedua dari pasangan Ketut Wetan dan Ni Ketut Redianing (almarhum).
Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas
Pertanian Universitas Mataram, lulus pada tahun 1986. Tahun 1996 berkesempatan
menempuh pendidikan Pascasarjana di Program Studi Ilmu Tanaman, Universitas
Brawijaya dan lulus pada tahun 1998. Tahun 2002 penulis melanjutkan ke Program
Doktor pada Program Studi Biologi Sekolah Pascasarjana IPB. Dalam menempuh
pendidikan S2 dan S3 penulis memperoleh dana Bantuan Pendidikan Pascasarjana
(BPPS) dari Departemen Pendidikan Nasional
Penulis bekerja sebagai tenaga honorer di Departemen Transmigrasi Sulawesi
Tenggara, Kendari pada tahun 1986. Tahun 1987 diangkat sebagai tenaga edukatif di
Program Studi Hortikultura, Jurusan Budidaya Pertanian, Universitas Mataram
sampai sekarang.
Tahun 1990 penulis menikah dengan Ni Made Laksmi Ernawati dan
dikaruniai seorang putra Gde Wetan Pragena Anggara dan seorang putri Ni Made
DAFTAR TABEL ……….………. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Biodiversitas Tumbuhan ………… Pemanfaatan dan Pelestarian Tumbuhan Liar .……… Etnobotani ………...……….………...
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ………
Status dan Luas Wilayah ………. Topografi dan Iklim ….……… Keadaan Tanah .……….. Sosial Budaya Masyarakat ……….
ANALISIS VEGETASI TUMBUHAN LIAR DI SEKITAR KAWASAN HUTAN GUNUNG SALAK…….………...
Abstrak………... ………. Abstract …………..……….…….. Pendahuluan ……….. …… Bahan dan Metode ………... Hasil dan Pembahasan ……… Kesimpulan ……….
PEMANFAATAN TUMBUHAN LIAR EDIBEL DAN PELESTARIAN LINGKUNGAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR KAWASAN HUTAN GUNUNG SALAK ………..
SEBAGAI TUMBUHAN EDIBEL POTENSIAL DI KAWASAN HUTAN GUNUNG SALAK ……….
Abstrak………... ……….
Abstract …………..……….…….. Pendahuluan ……….. …… Bahan dan Metode ………... Hasil dan Pembahasan ……… Kesimpulan ……….
PEMBAHASAN UMUM ………...
KESIMPULAN DAN SARAN ………..
Kesimpulan ……….. Saran ………..
DAFTAR PUSTAKA ……….
LAMPIRAN ………...
92
92
92 93 94 95 112
113
126
126
127
128
1 Jumlah penduduk yang berumur >15 tahun berdasarkan tingkat
pendidikan di delapan desa pengataman ………... 22
2 Jumlah jenis (S), indeks keanekaragaman (H’), dan indeks kemerataan (E) tumbuhan liar dan liar edibel untuk setiap tingkat pertumbuhan di
kawasan hutan Gunung Salak ….……….. 29
3 Jumlah jenis (S), indeks keanekaragaman (H’), dan indeks kemerataan (E) tumbuhan liar dan liar edibel pada setiap lokasi desa pengamatan…. 31
4 Nilai p hasil Anova jumlah jenis tumbuhan liar dan liar edibel untuk
stiap tingkat pertumbuhan ….……….... 32
5 Rata-rata jumlah jenis tumbuhan liar dan liar edibel pada setiap desa
untuk setiap tingkat pertumbuhan ………..………... 33
6 Nilai p hasil Anova indeks keanekaragaman jenis tumbuhan liar dan liar
edibel untuk stiap tingkat pertumbuhan ………..………….. 36
7 Rata-rata indeks keanekaragaman jenis tumbuhan liar dan liar edibel pada setiap desa untuk setiap tingkat pertumbuhan ...………... 36
8 Nilai p hasil Anova indeks kemerataan jenis tumbuhan liar dan liar
edibel untuk stiap tingkat pertumbuhan ……… 39
9 Rata-rata indeks kemerataan jenis tumbuhan liar dan liar edibel pada
setiap desa untuk setiap tingkat pertumbuhan ……….. 40
10 Indeks Similaritas (IS) dan Indeks Desimilaritas (ID) tumbuhan liar
untuk tingkat pertumbuhan pada setiap lokasi ………. 42
11 Indeks Similaritas (IS) dan Indeks Desimilaritas (ID) tumbuhan liar edibel untuk tingkat pertumbuhan pada setiap lokasi ……….. 45
12 Dominansi jenis tumbuhan liar dan liar edibel untuk setiap tingkat
pertumbuhan di kawasan hutan Gunung Salak ……… 47
13 Dominansi jenis tumbuhan liar dan liar edibel untuk setiap tingkat
pertumbuhan di setiap desa pengamatan ……….. 47
14 Dominansi jenis tumbuhan liar edibel untuk setiap tingkat pertumbuhan di setiap desa pengamatan ………... 48
15 Jumlah jenis (S), indeks keanekaragaman (H’), dan indeks kemerataan (E) tumbuhan liar dan liar edibel pada setiap tipe ekosistem ………..…. 49
16 Nilai p hasil Anova jumlah jenis tumbuhan liar dan liar edibel untuk
stiap tingkat pertumbuhan ………. 50
17 Rata-rata jumlah jenis tumbuhan liar dan liar edibel pada setiap tipe
ekosistem untuk setiap tingkat pertumbuhan ………...…………. 51
18 Nilai p hasil Anova indeks keanekaragaman jenis tumbuhan liar dan liar
x 19 Rata-rata indeks keanekaragaman jenis tumbuhan liar dan liar edibel
untuk setiap tingkat pertumbuhan pada setiap tipe ekosistem…………... 58
20 Nilai p hasil Anova indeks kemerataan jenis tumbuhan liar dan liar
edibel untuk stiap tingkat pertumbuhan………. 61
21 Rata-rata indeks kemerataan jenis tumbuhan liar dan liar edibel pada setiap tipe ekosistem untuk setiap tingkat pertumbuhan ………... 62
22 Indeks similaritas (IS) dan indeks desimilaritas (ID) tumbuhan liar untuk setiap tingkat pertumbuhan pada setiap ekosistem ………. 63
23 Indeks similaritas (IS) dan indeks desimilaritas (ID) tumbuhan liar edibel tingkat bawah pancang, tiang, dan pohon pada setiap ekosistem 65
24 Dominansi jenis tumbuhan liar untuk setiap tingkat pertumbuhan di
setiap tipe ekosistem ………. 66
25 Dominansi jenis tumbuhan liar edibel untuk setiap tingkat pertumbuhan
di setiap tipe ekosistem ……….. 67
26 Nilai kualitas kegunaan suatu jenis tumbuhan menurut kategori
etnobotani (quality of use catagories in ethnobotany……… 75
27 Kategori yang menggambarkan tentang intensitas penggunaan (intensity
of use) jenis tumbuhan berguna ………. 77
28 Kategori yang menggambarkan tentang tingkat eksklusivitas atau
tingkat kesukaan ……… 77
29 Jumlah responden laki- laki dan perempuan berdasarkan kelas
usia pada setiap desa ……… 80
30 Pemanfaatan jenis serta kelestarian tumbuhan liar edibel berdasarkan
kelas usia dan jenis kelamin ………. 80
31 Sepuluh peringkat teratas berdasarkan nilai penting (NP) jenis tumbuhan
kategori buah ……… 85
32 Sepuluh peringkat teratas berdasarkan nilai penting (NP) jenis tumbuhan
kategori sayur ……… 85
33 Sepuluh peringkat teratas berdasarkan nilai penting (NP) jenis tumbuhan
kategori obat ……… 86
34 Hasil perhitungan MPE berdasarkan kriteria dan alternatif yang digunakan dalam penentuan prioritas tumbuhan berpotensi ………. 89
35 Berbagai perlakuan dalam usaha perbanyakan tumbuhan canar ……….. 100
36 Kandungan nutrisi buah canar susu (Smilax macrocarpa BL) dan
beberapa buah komersial ……….. 103
37 Kandungan fitokimia buah canar susu (Smilax macrocarpa BL) …….. 104
1 Kerangka studi bioprospeksi tumbuhan liar edibel dalam kehidupan
masyarakat di sekitar kawasan hutan Gunung Salak ………. 5
2 Peta topografi berdasarkan ketinggian tempat di kawasan hutan Gunung
Salak ……… 17
3 Peta curah hujan di kawasan hutan Gunung Salak ……… 19
4 Peta tanah di kawasan hutan Gunung Salak ………. 20
5 Lokasi pengambilan sampel di kawasan hutan Gunung Salak ………... 25 6 Grafik hubungan indeks keanekaragaman jenis dengan jumlah jenis
tumbuhan liar tingkat bawah (a), pancang (b), tiang (c), dan pohon (d) ... 30 7 Jumlah jenis tumbuhan liar tingkat bawah pada setiap lokasi desa ………. 33 8 Indeks keanekaragaman jenis tumbuhan liar edibel tingkat pancang pada
setiap lokasi desa ……….. 37
9 Dendrogram pengelompokan jenis tumbuhan liar berdasarkan lokasi
untuk setiap tingkat pertumbuhan ………. 43
10 Dendrogram pengelompokan jenis tumbuhan liar edibel berdasarkan
lokasi untuk setiap tingkat pertumbuhan ………. 46
11 Jumlah jenis tumbuhan liar tingkat pancang (a) dan tiang (b) pada setiap
ekosistem ………. 51
12 Jumlah jenis tumbuhan liar tingkat pohon (a) dan tumbuhan liar edibel tingkat bawah (b) pada setiap ekosistem ……….. 52
13 Jumlah jenis tumbuhan liar edibel tingkat tiang (a) dan tingkat pohon (b) pada setiap ekosistem ……….. 52
14 Indeks keanekaragaman jenis tumbuhan liar tingkat bawah (a) dan
tingkat pancang (b) pada setiap ekosistem ……….. 58
15 Indeks keanekaragaman jenis tumbuhan liar tingkat tiang (a) dan tingkat
pohon (b) pada setiap ekosistem ……….. 58
16 Indeks keanekaragaman jenis tumbuhan liar edibel tingkat bawah (a)
dan tingkat tiang (b) pada setiap ekosistem …….……… 59
17 Indeks keanekaragaman jenis tumbuhan liar edibel tingkat pohon pada
setiap ekosistem ………... 59
18 Indeks kemerataan jenis tumbuhan liar (a) dan liar edibel (b) tingkat
bawah pada setiap tipe ekosistem ……… 62
19 Dendrogram pengelompokan jenis tumbuhan liar pada berbagai tingkat
pertumbuhan berdasarkan ekosistem ………. 64
20 Dendogram pengelompokan jenis tumbuhan liar edibel pada berbagai
tingkat pertumbuhan berdasarkan ekosistem ……… 65
21 Histogram jumlah jenis dan suku tumbuhan liar edibel berdasarkan kegunaan oleh masyarakat di sekitar kawasan hutan Gunung Salak…….. 78 22 Grafik hubungan pemanfaatan jenis (a) dan pelestarian lingkungan (b)
dengan kelas usia ………... 81
23 Jenis tumbuhan liar edibel kategori tumbuhan buah-buhan, obat-obatan, dan sayur-sayuran masing- masing berdasarkan tiga peringkat INP
tertinggi ………. 86
xii 25 Lokasi penyebaran tumbuhan canar susu (Smilax macrocarpa BL) di
kawasan Gunung Salak ………. 96
26 Perkembangan tumbuhan canar (Smilax macrocarpa Bl.) dari biji sampai buah……… …...………
99
27 Beberapa percobaan cara perbanyakan tumbuhan canar (Smilax
macrocarpa Bl.)……….. 101
28 Buah masak panen yang biasa dijual petani dan buah hasil olahan yang
diperdagangkan ………. 107
29 Jalur pemasaran buah canar hasil panen di sekitar kawasan hutan
Gunung Salak ……… 108
1 Jenis tumbuhan liar hasil analisis vegetasi di sekitar kawasan hutan
Gunung Salak ……….………. 136
2 Koordinat dan ketinggian tempat di atas permukaan laut titik pertama pengambilan sampel pada masing- masing ekosistem di setiap lokasi pengamatan ………..
151
3 Daftar pertanyaan pengetahuan masyarakat tentang jenis dan kegunaan tumbuhan liar edibel
152
4 Daftar pertanyaan penentuan MPE untuk setiap jenis yang terpilih pada
setiap kriteria yang ditentukan ……….……….. 153
5 Hasil analisis tanah pada demplot di daerah Tapos 1 ………. 154
6
7 8
Rata-rata curah hujan, suhu, dan kelembaban di daerah Tapos 1 selama bulan Juli dan Agustus 2005 ……… Daftar pertanyaan mengenai pengetahuan lingkungan ……… Daftar pertanyaan untuk petani canar susu (Smilax macrocarpa Bl.) ….
155 156 160
Latar Belakang
Biodiversitas baik flora maupun fauna mempunyai peranan yang sangat
penting bagi umat manusia, karena sumber-sumber kehidupan manusia itu sendiri
secara esensial tergantung dari variabilitas kekayaan hayati yang berada dalam
ekosistem alam (Primack et al. 1998; Kusumaatmadja 2001). Penyebaran sumber
biodiversitas dunia terkonsentrasi diantaranya di daerah hutan hujan tropis yang
meliputi tiga kawasan, yaitu: (1) kawasan Amerika Selatan terpusatkan di Lembah
Amazon Brazil; (2) kawasan hutan Afrika Barat terpusatkan di Lembah Sungai
Congo sampai Teluk Guyana; dan (3) kawasan Indo-Malaya yang terpusatkan di
India, Thailand, Malaysia dan Indonesia (Myers 1980; Whitmore 1990; Kustiyono
2003).
Indonesia terletak di daerah katulistiwa yang mempunyai tipe hutan hujan
tropika yang sampai dengan saat ini dikenal sebagai tipe hutan yang cukup unik
dengan biodiversitas jenis tertinggi di dunia. Kandungan komunitas biodiversitas
Indonesia menduduki peringkat kedua dunia setelah Brazil, yakni: 10% jenis
tumbuhan berbunga, 12% binatang menyusui, 16% reptilia dan ampibia, 17% jenis
burung, 25% jenis ikan, 15% jenis serangga (Tjakrarini 2002; KLH 2002a; Subadia
2003). Selain itu, Indonesia juga diakui sebagai salah satu bagian dunia yang masih
menyisakan kehidupan liar sebagai gudang keanekaragaman plasma nutfah untuk
memenuhi kebutuhan manusia masa kini maupun masa mendatang (Zuhud,
Ekarelawan, dan Riswan 1994).
Kekayaan biodiversitas yang dimiliki Indonesia merupakan potensi yang
mempunyai keunggulan komperatif, di samping sebagai bahan rekayasa produk
pertanian yang bersifat unggul juga karena kandungan bahan kimia untuk
memproduksi obat-obatan, agrokimia, kosmetika, zat pewarna, bahan pengawet, dan
lain- lain (Sumardja 1998). Potensi tersebut didukung oleh pengetahuan tradisional
masyarakat tentang khasiatnya, menyebabkan Indonesia sebagai salah satu negara
Bioprospeksi pada dasarnya adalah eksplorasi biodiversitas dan pengetahuan
tradisional untuk mendapatkan sumber genetik dan biokimia yang bernilai ekonomi
tinggi (Reid et al. 1993; Posey 1997). Nilai produk-produk berbahan baku hayati
yang sangat tinggi hasil bioprospeksi dan berbagai jenis tanaman bahan pangan saat
ini sebagian besar berasal dari kehidupan liar. Kegiatan bioprospeksi telah dilakukan
oleh negara-negara maju terhadap Indonesia, jauh sebelum Indonesia menyadari,
betapa berharganya kekayaan hayati yang dimiliki (Kehati 2001). Padahal,
sumberdaya biodiversitas hayati dan keanekaragaman budaya lokal yang dimiliki
sangat penting dan strategis untuk kelangsungan bangsa Indonesia (Hanif 2003).
Perambahan bahan hayati dan pengetahuan mengenai khasiatnya yang lazim
disebut dengan biopiracy (Posey 1997) dilakukan melalui bentuk kolonialisme,
pertukaran pelajar, dan hak paten. Kegiatan seperti ini apabila dibiarkan terus, maka
lambat laun Indonesia akan kehilangan sesuatu yang sangat berharga terutama
hilangnya kesempatan generasi mendatang memanfaatkan kekayaan biodiversitas
hayati dan pengetahuan tradisionalnya untuk menuju kehidupan yang lebih baik
(Kehati 2001).
Biodiversitas tumbuhan yang dimiliki Indonesia masih banyak yang tumbuh
liar dan belum diketahui pemanfaatannya oleh masyarakat. Dari sekitar 4000 jenis
tumbuhan yang ada di hutan dataran rendah Indonesia diketahui manfaatnya secara
langsung oleh penduduk, hanya 25% saja yang telah dibudidayakan (Sastrapradja
dan Rifai 1972). Sekitar 400 spesies tumbuhan edibel yang berupa buah-buahan dan
biji-bijian yang termasuk dalam kelompok makanan penting kedua, sebagian besar
(55%) berasal dari tumbuhan liar (Prosea 1994). Selain itu masih banyak publikasi
mengenai penemuan bahan obat-obatan dan produk-produk lain yang berasal dari
tumbuhan liar.
Keberadaan biodiversitas Indonesia mengalami penyusutan yang tinggi. Sekitar
20 – 70% habitat asli telah lenyap (BAPPENAS 1993). Diperkirakan kepunahan
terjadi satu spesies untuk setiap harinya (KLH 1997). Sementara keberadaan dan
penyusutan keanekaragaman genetik, terutama spesies liar belum terdokument asi
dengan baik, padahal sumberdaya genetik yang ada tersebut belum dimanfaatkan
Kawasan Gunung Salak yang dulunya dikategorikan sebagai hutan lindung,
belakangan ini dimasukkan sebagai bagian dari Taman Nasional Gunung Halimun
(TNGH) berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 175/Kpts-II/2003 menjadi
Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (Departemen Kehutanan 2003). Kawasan
ini memiliki arti penting bagi konservasi biodiversitas pegunungan dalam
melestarikan spesies langka dan berpotensi untuk dimanfaatkan. Diperkirakan
sebanyak 456 jenis spesies flora pegunungan terdapat di kawasan ini (Steenis 1972).
Dari sejumlah jenis flora tersebut belum diketahui secara pasti jumlah yang dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat lokal pada khususnya dan masyarakat luas pada
umumnya.
Kekayaan biodiversitas tumbuhan dalam suatu wilayah bisa bertambah atau
berkurang pada setiap waktu. Hal ini disebabkan disamping karena faktor bencana
alam, masuknya jenis tumbuhan baru, juga akibat eksploitasi yang berlebihan atau
karena tidak tercatat sebelumnya. Sebagai contoh, beberapa ekspedisi di kawasan
TNGH menunjukkan jumlah dan jenis tumbuhan yang ditemukan bervariasi. Uji
(2002) menemukan 275 jenis tumbuhan, baru 83 jenis diketahui dan dimanfaatkan
oleh masyarakat setempat, 6 jenis termasuk tumbuhan langka, dan 10 jenis lainnya
merupakan tumbuhan new record. Wiriadinata (2002) menemukan 1000 jenis
tumbuhan berbunga. Sedangkan Hidayat dan Fijridiyanto (2002) menemukan 76
jenis tumbuhan liar hutan yang teridentifikasi dimanfaatkan secara langsung oleh
masyarakat sekitar kawasan.
Perbedaan geografi, tipe ekosistem, komunitas masyarakat serta perbedaan
kearifan tradisional masyarakat pada masing- masing wilayah memunculkan adanya
biodiversitas setempat yang bersifat spesifik (Sugandhy 2001; Waluyo 2003).
Dengan demikian walaupun kawasan Gunung Salak berada dalam kesatuan
hamparan dengan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH), tidak menutup
kemungkinan memiliki potensi jenis tumbuhan yang dapat dimanfaatkan lebih
banyak dan lebih baik dibandingkan dengan kawasan TNGH.
Kajian dari aspek ekologi maupun etnobotani di beberapa wilayah kawasan
TNGH telah banyak dilakukan. Namun kajian kedua bidang tersebut masing- masing
dilakukan secara terpisah. Masih jarang atau bahkan belum ada yang
2002). Dengan demikian sudah seharusnya dilakukan upaya pengkajian aspek
ekologi, etnobotani, dan bioprospeksi secara bersamaan terhadap tumbuhan liar di
kawasan hutan Gunung Salak, agar diketahui potensi kekayaan biodiversitas yang
ada sebelum pihak asing lebih dahulu mengeksplorasi habis kekayaan tersebut serta
dapat diambil langkah- langkah dalam usaha pelestarian.
Masyarakat perlu dibuka wawasannya tentang bioprospeksi, kewaspadaan
terhadap kemungkinan perambahan hayati, di samping juga dimotivasi untuk
melakukan upaya- upaya pelestarian dalam pengumpulan biodiversitas. Kegiatan ini
penting untuk mendokumentasikan sumber biodiversitas yang ada di sekitar kawasan
Gunung Salak sekaligus mencari sumber keuntungan ekonomi dan plasma nutfah di
masa mendatang.
Tujuan penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan utama mendapatkan jenis tumbuhan liar
yang paling berpotensi untuk dikembangk an. Tujuan lain adalah :
1. Mempelajari biodiversitas tumbuhan liar dan tumbuhan liar edibel yang ada
di sekitar kawasan hutan Gunung Salak
2. Mempelajari pengetahuan pemanfaatan dan pelestarian tumbuhan liar edibel
dalam kehidupan masyarakat setempat
3. Mempelajari etnobotani tumbuhan liar edibel yang paling berpotensi untuk di
kembangkan di kawasan Gunung Salak
Manfaat Penelitian
Hasil studi ini diharapkan dapat merekomendasikan jenis tumbuhan liar edibel
yang paling berpotensi untuk dikembangkan. Selain itu, dapat sebagai bahan
informasi mengenai potens i biodiversitas tumbuhan, pengetahuan pemanfaatan dan
usaha konservasi tumbuhan liar oleh masyarakat di sekitar kawasan. Informasi ini
selanjutnya diharapkan dapat sebagai bahan masukan dalam proses pengambilan
keputusan untuk pengembangan komoditi unggulan dan usaha konservasi, oleh
Secara keseluruhan kerangka studi bioprospeksi tumbuhan liar edibel dalam
kehidupan masyarakat di sekitar kawasan hutan Gunung Salak sebagai berikut :
I II
III
Etnobotani IV
Ekologi, fenologi, pemanfaatan, kandungan kimia, dan nilai finansial
Gambar 1. Kerangka studi bioprospeksi tumbuhan liar edibel dalam kehidupan masyarakat di sekitar kawasan hutan Gunung Salak
Bioprospeksi
Pengetahuan masyarakat
(Wawancara & Kuesioner)
Data Tumbuhan (Analisis vegetasi)
Biodiversitas Tumbuhan Liar
Pemanfaatan dan pelestarian
Metode Perbandingan Eksponensial (MPE)
Tumbuhan Liar Edibel yang paling berpotensi
Pembuatan Demplot dan Analisis Lab.
Jenis Tumbuhan Liar Edibel
Bioprospeksi
Bioprospeksi pada prinsipnya adalah upaya pencarian, penelitian,
pengumpulan, ekstraksi dan pemilihan sumberdaya hayati dan pengetahuan
tradisional untuk mendapatkan materi genetik dan sumber biokimia yang bernilai
ekonomi tinggi (Kehati 2001). Sedangkan menurut Reid et al (1993), bioprospeksi
adalah eksplorasi biodiversitas sumber-sumber genetik dan biokimia yang bernilai
komersial, terutama mengacu pada industri farmasi, bioteknologi, dan pertanian.
Berbagai spesies biodiversitas mempunyai potensi kandungan bahan-bahan
kimia dan sumberdaya genetika. Melalui pemberian nilai tambah terhadap
biodiversitas tersebut akan diperoleh keuntungan secara ekonomis. Hal tersebut
dapat menimbulkan insentif yang dapat memotivasi eksploitasi sumberdaya hayati
secara berkelanjutan. Potensi ini merupakan keunggulan komperatif, karena pada
saat ini terjadi peningkatan industri terhadap sumber-sumber bahan kimia untuk
memproduksi obat-obatan, agrokimia, kosmetika, zat pewarna, bahan pengawet
makanan dan lain- lainnya (Sumardja 1998)
Ancaman terhadap biodiversitas dapat bersifat global dan yang bersifat
regional atau lokal. Ancaman yang bersifat global karena pertumbuhan populasi
manusia, kepemilikan, dan pencemaran udara dan air. Ancaman yang bersifat
regional atau lokal terjadi akibat pemanfaatan jenis secara berlebihan oleh manusia,
pemakaian bahan-bahan beracun, pembagian habitat, penggurunan, penyempitan
ekosistem dan bank genetik, masuknya jenis eksotik dan konversi kawasan
konservasi untuk kegiatan pertanian, pemukiman dan industri (Salwasser 1991).
Biodiversitas
Keanekaragaman hayati merupakan terjemahan dari kata biological diversity,
disingkat menjadi biodiversity yang dalam bahasa Indonesia menjadi biodiversitas.
Istilah biodiversitas menunjukkan adanya varietas dan variasi diantara organisme
hidup yang terkait dalam ekosistem yang kompleks di habitatnya (Temple 1991).
Beberapa definisi biodiversitas yang dikemukakan oleh para ahli, diantaranya
bentuk, penampilan, jumlah dan sifat yang terkait pada berbagai tingkatan
persekutuan mahluk, yaitu tingkat ekosistem, tingkat jenis, dan tingkat genetika.
McNeely (1990) biodiversitas sebagai jumlah jenis yang berbeda dalam suatu sistem
dan frekuensi relatif jenis yang berbeda. Soemarwoto (1992), mendefinisikan
biodiversitas sebagai jumlah jenis. Dobson (2000), biodiversitas merupakan
keanekaragaman diantara organisme hidup dan kompleks ekologinya. Kekayaan
hidup di bumi, termasuk jutaan tumbuhan, hewan dan mikroorganisme, gen yang
didukungnya, dan ekosistem yang dibangun menjadi lingkungan hidup.
Biodiversitas dapat ditinjau dari tiga tingkat, yaitu : (1) tingkat gen dan
kromosome yang merupakan pembawa sifat keturunan; (2) tingkat jenis, yaitu
berbagai golongan mahluk yang mempunyai susunan gen yang sama; (3) tingkat
ekosistem atau ekologi, yaitu tempat jenis melangsungkan kehidupannya dan
berinteraksi dengan faktor biotik dan faktor abiotik (Temple 1991; Soemarwoto
1992).
Dikenal tiga konsepsi keanekaragaman, yaitu : (1) keanekaragaman alfa (α
-diversity) merupakan kekayaan spesies dalam satu komunitas atau habitat; (2)
keanekaragaman beta (β-diversity) merupakan ukuran kecepatan dan besarnya
perubahan spesies sepanjang gradien dari satu habitat ke habitat lainnya; dan (3)
keragaman gamma (?-diversity) merupakan kekayaan spesies dalam satu kisaran
habitat dari satu daerah geografis contohnya pulau (Southwood 1978).
Keanekaragaman alfa atau keanekaragaman habitat merupakan jumlah spesies
didalam suatu habitat (Rice 1992) dan terjadi interaksi antar spesies tersebut
(Primack et al. 1998). Keanekaragaman alfa dapat dikelompokkan menjadi dua
komponen yang berbeda, yaitu total spesies dan kemerataan spesies. Indeks yang
menggabungkan kedua komponen tersebut menjadi satu nilai tunggal disebut indeks
keanekaragaman. Peubah-peubah yang disatukan menjadi satu nilai tunggal adalah
jumlah spesies, kelimpahan relatif spesies dan kemerataan (Ludwig dan Reynold
1988). Dengan demikian prosedur perhitungan indeks keanekaragaman meliputi
indeks kekayaan, indeks keanekaragaman dan indeks kemerataan (Ludwig dan
Reynold 1988; Magurran 1988). Keanekaragaman beta atau keanekaragaman
ekosistem adalah variasi dalam komposisi spesies antar dua atau lebih habitat di
komposisi spesies sepanjang gradien lingkungan. Sedangkan keanekaragaman
gamma adalah variasi di suatu dearah yang mencakup keanekaragaman alfa dan
keanekaragaman beta (Rice 1992).
Pemanfaatan biodiversitas dapat digolongkan berdasarkan nilai konsumtif,
nilai produktif, nilai pilihan, nilai eksistensi, dan nilai ekologis atau lingkungan
(Primack et al. 1998). Dikatakan mempunyai nilai produktif, karena manusia
tergantung dari sumberdaya hayati untuk memenuhi kebutuhan sandang, panga n, dan
papan (KLH 2002c). Sedangkan nilai kegunaan produktif diperoleh dari perdagangan
biodiversitas di pasar lokal maupun internasional (Godoy et al. 1993) dan ekoturisme
(Tjakrarini 2002; Subadia 2003). Nilai pilihan terkait dengan potensi biodiversitas
dalam memberikan keuntungan pada masyarakat dimasa mendatang. Nilai manfaat
yang belum disadari atau belum dapat dimanfaatkan oleh manusia pada saat kini,
namun seiring dengan perubahan permintaan, pola konsumsi dan perkembangan
teknologi nilai tersebut menjadi penting di masa depan (Myers 1984). Nilai
eksistensi merupakan nilai yang dimiliki oleh biodiversitas karena keberadaannya.
Nilai ini terkait dengan nilai estetis (bersifat abstrak) yang ditimbulkannya pada
manusia serta tidak berkaitan dengan manfaat ekonomi riil dan potensialnya
(Groombridge 1992). Biodiversitas juga memberikan jasa ekologis atau jasa
lingkungan bagi manusia. Ekosistem hutan melindungi keseimbangan siklus
hidrologi dan tata air, sehingga menghindarkan manusia dari bahaya banjir maupun
kekeringan. Hutan juga menjaga kesuburan tanah melalui pasokan unsur hara dari
seresah hutan, dapat mencegah erosi dan mengendalikan iklim mikro
(Kusumaatmadja 2001; Soemarwoto 2001; Molles 2002). Dengan demikian,
biodiversitas mempunyai arti yang penting tidak hanya bagi kehidupan manusia,
namun juga bagi kelangsungan seluruh sistem kehidupan. Selain nilai- nilai tersebut
di atas biodiversitas juga merupakan satu kesatuan dimana komponen yang ada
saling berkaitan dan tergantung. Sebagai contoh, rantai makanan tersusun atas
ratusan ribu spesies yang saling memanfaatkan. Demikian pula jasa lingkungan yang
disediakan ekosistem juga dibutuhkan dan dinikmati oleh beragam spesies yang lain
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Biodiversitas Tumbuhan
Lingkungan yang bervariasi dari satu tempat ke tempat lain, dan kebutuhan
tumbuhan akan keadaan lingkungan yang khusus mengakibatkan keragaman jenis
tumbuhan yang berkembang dapat terjadi menurut perbedaan tempat dan waktu. Hal
ini dapat dilihat dari perbedaan jenis tumbuhan yang berkembang dengan perbedaan
tinggi tempat atau perbedaan musim (Sitompul dan Guritno 1995). Demikian halnya
dengan perbedaan geografi, tipe ekosistem, komunitas masyarakat serta perbedaan
kearifan tradisional masyarakat pada masing- masing wilayah (Sugandhy 2001;
Waluyo 2003).
Bentuk suatu vegetasi merupakan hasil interaksi faktor- faktor lingkungan.
Lingkungan penting yang mempengaruhi komunitas tropika merupakan gabungan
dari berbagai macam unsur, yaitu unsur penyus un di atas tanah dan lingkungan
dalam tanah yang dikelompokkan menjadi faktor fisik (abiotik) dan faktor biologi
(biotik). Sebagian dari unsur ini khususnya yang terdapat dalam tanah dapat
dikendalikan sedang unsur yang terdapat di atas tanah pada umumnya sulit atau tidak
dapat dikendalikan (Sitompul dan Guritno 1995). Menurut Setiadi dan Muhadiono
(2000), bentuk vegetasi merupakan hasil interaksi faktor-faktor lingkungan seperti:
bahan induk, topografi, tanah, iklim, organisme-organisme hidup dan waktu.
Interaksi dari faktor- faktor lingkungan tersebut dapat digunakan sebagai indikator
dari lingkungan atau komponen-komponen penduga sifat lingkungan yang
bersangkutan. Besarnya biodiversitas jenis tumbuhan di daerah tropika disebabkan
oleh keanekaragaman kondisi lingkungan tempat hutan tropis berkembang, periode
waktu yang tersedia dan kemungkinan adanya migrasi dengan pertukaran jenis
(Longman dan Jenik 1987).
Kumpulan jenis tumbuhan yang terdapat dalam suatu daerah tertentu disebut
dengan flora, sedangkan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang terdiri atas
individu-individu jenis atau kumpulan populasi jenis disebut dengan vegetasi (Samingan
1989). Vegetasi hutan di pulau Jawa berdasarkan pembagian mintakat klimatis,
diklasifikasikan menjadi: (1) mintakat tropikal (ketinggian 1–1000 m dpl); (2)
mintakat montana (ketinggian 1000–2400 m dpl); (3) mintakat subalpina (ketinggian
>2400 m dpl). Vegetasi pada ketinggian 500–1000 m termasuk dalam mintakat
Secara umum dalam komunitas hutan hujan tropika, pohon-pohon
menunjukkan strata yang jelas dan biasanya terdiri atas tiga strata tegakan pohon.
Disamping strata pohon terdapat strata semak-semak, herba-herba raksasa dan strata
tumbuhan bawah (Richards 1964). Loveless (1989) membagi strata pohon hutan
hujan tropis menjadi tiga strata, yakni: strata A, biasanya membentuk kanopi yang
kurang lebih kontinyu atau diwakili oleh pohon-pohon yang mencuat di atas kanopi
umum; strata B, biasanya merupakan strata terlebat; dan strata C, disusun oleh
jenis-jenis permulaan yang mencapai strata A, strata B dan pohon kecil. Sebaliknya,
menurut Richards (1964) pada strata A biasanya membentuk kanopi yang tidak
kontinyu, strata B bisa kontinyu atau tidak kontinyu, dan strata C hampir selalu
kontinyu dan sering merupakan strata paling lebat di hutan.
Vegetasi yang paling lebat hanya akan ditemukan di tempat-tempat yang
kelembaban tanahnya tinggi dengan draenase yang cukup baik. Penyederhanaan
dalam struktur komunitas akan mulai tampak dalam vegetasi, bila kelembaban tidak
memadai untuk pertumbuhan optimal sepanjang tahun (Loveless 1989). Secara
umum komposisi jenis hutan tropik adalah campuran, dengan asosiasi tanpa
dominasi tunggal. Jumlah populasi dominan berkisar antara satu sampai enam jenis.
Jumlah ini berbeda antara satu lokasi dengan lokasi lainnya (Richards 1964).
Jenis dominan suatu tumbuhan dalam komunitas dapat diketahui dengan cara
studi vegetasi suatu daerah. Studi vegetasi ini dapat dilakukan dengan analisis
kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisis kualitatif memberikan gambaran tentang
komposisi jenis tumbuhan, stratifikasi, fenologi, vitalitas jenis, asosiasi dan
sosiobilitas, bentuk tumbuh dan fisiognomi serta organisasi tingkatan tropika (Misra
1980). Sedangkan analisis kuantitatif memberikan gambaran tentang komposisi jenis,
pola penyebaran, frekuensi, kerapatan, dan dominansi jenis tersebut (Setiadi dan
Muhadiono 2000).
Jumlah frekuensi relatif, kerapatan relatif dan dominansi relatif adalah
merupakan nilai penting dari suatu jenis di dalam komunitasnya dan menunjukkan
besarnya peranan jenis tersebut. Jenis dominan ini adalah jenis yang mempunyai
nilai penting tertinggi dan dapat digunakan untuk menduga keadaan lingkungan
tempat tumbuhnya (Mueller- Dombois dan Ellenberg 1974; Cox 2002). Kerapatan
tumbuhan persatuan luas tertentu (Cox 2002). Kerapatan relatif menunjukkan
persentase dari jumlah individu jenis yang bersangkutan di dalam komunitasnya.
Frekuensi adalah nilai besaran yang menyatakan drajad penyebaran jenis di dalam
komunitasnya. Angka frekuensi diperoleh dengan melihat perbandingan jumlah dari
petak-petak yang diduduki oleh suatu jenis terhadap keseluruhan petak yang diambil
sebagai petak contoh dalam melakukan analisis vegatsi. Ada beberapa faktor-faktor
yang mempengaruhi frekuensi, seperti luas petak contoh, penyebaran tumbuhan, dan
ukuran jenis tumbuhan (Setiadi dan Muhadiono 2000)
Dominansi adalah besaran yang digunakan untuk menyatakan drajat
penguasaan ruang atau tempat tumbuh, berapa luas area yang ditumbuhi oleh sejenis
tumbuhan atau kemampuan suatu jenis tumbuhan untuk bersaing terhadap jenis
lainnya. Dalam pengukuran dominansi dapat digunakan persentase perlindungan
(penutupan tajuk), luas basal area, biomasa atau volume (Setiadi dan Muhadiono
2000; Cox 2002). Nilai kerapatan, frekuensi, dan dominansi untuk spesies-spesies
tertentu mungkin diekspresikan mutlak atau relatif yang menunjukkan porsentase
bahwa nilai spesies individu merupakan total untuk semua spesies. Nilai relatif untuk
kerapatan, dominansi, dan frekuensi dapat digabung menjadi nilai penting tunggal
(Mueller-Dombois dan Ellenberg 1974; Shukla dan Chandel 1982; Setiadi dan
Muhadiono 2000; Cox 2002).
Pemanfaatan dan Pelestarian Tumbuhan Liar
Tumbuhan liar adalah tumbuhan yang dalam pertumbuhan maupun
perkembangannya tanpa adanya ikut campur tangan manusia, sehingga pertumbuhan
maupun perkembangannya sepenuhnya tergantung keadaan alam. Menurut Waluyo
(1989) proses pengalihan tumbuhan liar menjadi tanaman budidaya, sampai sekarang
masih belum jelas. Di Irian Jaya misalnya sagu (Metroxylon sagu) ditanam di
kampung-kampung walaupun masih banyak yang tumbuh meliar. Demikian halnya
dengan kelapa hutan atau woramo (Pandanus brosimos) banyak ditemui ditanam di
Secara umum tanaman berguna dikelompokkan (Waluyo 1987) menjadi :
(1) bahan pangan, baik untuk makanan pokok maupun unt uk makanan tambahan; (2)
bahan bangunan dan bahan lain seperti : bahan bangunan rumah baik yang permanen
maupun semi permanen, bahan sandang, bahan untuk alat rumah tangga dan
pertanian, bahan tali temali dan anyam-anyaman; (3) pelengkap upacara tradisiona l
dan kegiatan sosial; (4) bahan obat-obatan, rempah-rempah dan kosmetika; (5) bahan
pewarna; dan (6) pemenuhan keindahan, seni dan lain- lain. Jenis-jenis tumbuhan
berguna tersebut kapan sebenarnya mulai dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup
manusia belum diketahui secara pasti. Diduga bahwa asal mula pemanfaatan diawali
dari adanya suatu rangsangan untuk mencoba dan mencicipinya. Daya tarik
tumbuhan itu biasanya ditimbulkan oleh warna dan bentuk perawakan atau
bagian-bagian tumbuhan seperti buah dan bunga. Seterusnya apabila jenis-jenis tadi
memenuhi selera dan kebutuhan, dicari, dikumpulkan, dan akhirnya dibudidayakan.
Selanjutnya pengetahuan tentang pemanfaatan tumbuhan itu berkembang sejalan
dengan meningkatnya budaya dan pengetahuan tentang olah mengolah dan masak
memasak dari tumbuhan tersebut (Waluyo 2003).
Aspek-aspek yang harus diperhatikan dalam mengungkapkan sistem
pengetahuan masyarakat adalah: pemahaman terhadap ilmu pengetahuan dan
kearifan; kepercayaan, persepsi, dan pengetahuan; dan sistem kognitif (Purwanto
2003). Menurut Toledo (1992), terdapat dua hal dalam mempelajari sistem
pengetahuan yang ideal, yaitu ilmu pengetahuan (science) dan kearifan (wisdom).
Ilmu pengetahuan lebih mengutamakan justifikasi, sedangkan kearifan berdasarkan
pada penga laman pribadi. Ilmu pengetahuan memandang pengalaman pribadi
sebagai konfirmasi, sedangkan kearifan memandang pengetahuan pribadi sebagai
petunjuk untuk memperoleh pengalaman pribadi. Sehingga kearifan tidak
memerlukan validasi justifikasi secara universal.
Pengertian tentang kepercayaan memegang peranan penting dalam
melakukan pendekatan secara integratif dalam mempelajari pola pikir (corpus).
Kepercayaan suatu masyarakat mencapai bentuk yang paling sistematis terdapat pada
sebuah mitos. Hal yang sama terjadi pada pengertian pengetahuan, seperti konsepsi
pemikiran teori ekologis mengenai proses produksi berkelanjutan yang hanya dapat
untuk menganalisis corpus dari pemikiran para informan, harus dilakukan
penggabungan antara sistem kepercayaan dan persepsi masyarakat (Purwanto 2003).
Sistem kognitif atau kesadaran, merupakan komponen terakhir yang harus
diperhatikan dalam mempelajari corpus. Sistem ini mempunyai kontribusi penting
untuk memahami dimensi corpus. Oleh karena itu seorang etnoekolog harus mampu
menggali informasi sistem pengetahuan lokal yang meliputi sistem klasifikasi
populer terhadap sumberdaya alam dan lingkungannya (Purwanto 2003).
Konservasi keanekaragaman hayati sangat penting untuk bioprospeksi
disamping pemanfaatannya yang berkelanjutan. Apabila peningkatan kemampuan
serta berbagai keuntungan yang diperoleh digunakan untuk konservasi dan
pembangunan yang berkesinambungan, berarti membuka sumber pendapatan baru
untuk meningkatkan nilai keanekaragaman hayati yang akan memberikan
keuntungan bagi masyarakat. Biodiversitas selain mempunyai fungsi ekonomi bagi
kehidupan manusia, juga sangat erat hubungannya dengan fungsi ekosistem. Menurut
Krebs (2001) salah satu alasan untuk pengawetan spesies adalah apabila biodiversitas
dihubungkan dengan ekosistem, karena ekosistem sangat bermanfaat dalam sistem
hidrologi dan polusi. Pengawetan biodiversitas lebih ditekankan terhadap spesies asli
dibandingkan dengan introduksi, karena spesies asli merupakan kunci kontribusi
terhadap fungsi ekosistem.
Keanekaragaman kultural masyarakat merupakan bagian dari eksistensi
keanekaragaman hayati yang bersifat saling menguatkan yang termanifestasikan
dalam bahasa, kepercayaan, struktur sosial, seleksi tanaman, manajemen lahan serta
sejumlah simbul kemanusian lainnya. Oleh karena itu, keanekaragaman kultural
tersebut merupakan satu komponen utama dalam kajian strategi konservasi
biodiversitas. Menurut Tjakrarini (2002), keberhasilan pembangunan konservasi
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, terukur dari keberhasilan pencapaian tiga
sasaran konservasi yaitu: (1) perlindungan sistem penyangga kehidupan, yaitu
menjamin terpeliharanya proses ekologis di sekitarnya yang menjamin kelangsungan
kehidupan mahluk yang menunjang sistem penyangga kehidupan bagi kelangsungan
pembangunan dan kesejahteraan manusia; (2) pengawetan sumber plasma nutfah,
yaitu menjamin terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik dan tipe-tipe
teknologi yang memungkinkan pemenuhan kebutuhan manusia yang menggunakan
sumberdaya alam hayati bagi kesejahteraan; (3) pemanfaatan secara lestari, yaitu
dengan mengendalikan cara-cara pemanfaatan sumberdaya alam hayati sehingga
terjamin kelestariannya. Ketiga kepentingan ini tidak berdiri sendiri, tapi membentuk
hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi.
Etnobotani
Studi yang mempelajari tentang pemanfaatan tumbuh-tumbuhan oleh
masyarakat primitif atau penduduk asli yang berkaitan dengan kebudayaan
masyarakat dikenal dengan istilah etnobotani. Menurut Heiser(1985),etnobotani
adalah suatu studi tentang tumbuh-tumbuhan yang berkaitan dengan masyarakat
yang memanfaatkannya. Sedangkan Schultes (1992) mengartikan, etnobotani sebagai
pencatatan secara menyeluruh tentang pemanfaatan tumbuh-tumbuhan oleh
penduduk asli. Umumnya penduduk yang memanfaatkan tumbuhan tersebut telah
mengenal tumbuhannya, mengetahui cara pemanfaatannya, mengetahui jenis
tumbuhan yang beracun atau mematikan serta telah mengetahui pula bentuk-bentuk
pengolahan tumbuhan secara tradisional.
Harshberger (1896) dalam Wickens (1989) menjelaskan, bahwa entobotani
dapat menjelaskan beberapa hal antara lain: (1) keadaan kebudayaan suatu bangsa
yang memanfaatkan tumbuhan; (2) membuktikan penyebaran
tumbuh-tumbuhan pada masa lalu; (3) membuktikan jalur perdagangan; dan (4) berguna
dalam menerangkan nilai yang didapat dari pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar
yang diambil dari alam.
Pengetahuan tradisional (Indigenous knowledge) dan asli masyarakat lokal
merupakan sesuatu yang unik dalam satu kultur ataupun satu masyarakat yang sering
disebut pengetahuan asli, pengetahuan lokal, nilai- nilai tradisional atau ilmu
tradisional. Masyarakat lokal, telah memiliki berbagai pengetahuan yang luas tentang
ekosistem dimana mereka hidup. Pengetahuan bagaimana cara memanfaatkan
sumberdaya alam secara berkelanjutan yang ada di lingkungannya dengan
Sistem-sistem lokal berbeda satu sama lain tergantung budaya dan tipe
ekosistem setempat. Pada umumnya berupa sistem pengetahuan dan pengelolaan
sumberdaya lokal yang diwariskan dan ditumbuhkembangkan secara turun temurun.
Sebagai contoh: masyarakat adat ekosistem rawa bagian Selatan pulau Kimaam,
kabupaten Merauke, Papua berhasil mengembangkan 144 kultivar ubi. Komunitas
adat Dayak di Kalimantan, memiliki sistem perladangan berotasi. Adat sasi
disebagian besar Maluku mengatur keberlanjutan pemanfaatan atas suatu kawasan
dan jenis-jenis hayati tertentu (Nababan 2001).
Prinsip-prinsip kearifan tradisional (Nababan 2001) antara lain: (a)
ketergantungan manusia dengan alam mensyaratkan keselarasan hubungan dan
keseimbangan yang harus dijaga; (b) penguasaan atas wilayah adat tertentu bersifat
eksklusif sebagai hak penguasaan dan kepemilikan komunitas (comunual property
resources), selanjutnya dikenal sebagai wilayah adat yang mengikat semua warga
untuk menjaga dan mengelolanya bagi keadilan dan kesejahteraan bersama sekaligus
mengamankannya dari eksploitasi pihak luar; (c) sistem pengetahuan dan struktur
pengaturan adat memberikan kemampuan memecahkan masalah- masalah yang
mereka hadapi dalam pemanfaatan sumberdaya hutan; (d) sistem alokasi dan
penegakan hukum adat, mengamankan sumberdaya milik bersama dari penggunaan
berlebihan baik oleh masyarakat sendiri maupun pihak luar; (e) mekanisme
penerapan distribusi hasil panen sumberdaya alam milik bersama, dapat meredam
Kawasan hutan lindung Gunung Salak merupakan gabungan lima kelompok
hutan, yaitu kompleks hutan Gunung Salak Utara, Gunung Salak Selatan, Gunung
Salak Nanggung, Gunung Salak Kendang Kulon dan Ciampea yang masing- masing
telah memperoleh pengesahan tata batas yang jelas pada tanggal 3 Mei 1941, 5
Nopember 1906, 7 September 1934, 8 Juni 1916 dan Surat Keputusan Menteri
Pertanian No.92/Kpts/Um/8/1954 pada tanggal 31 Agustus 1954 (Departemen
Kehutanan 1983). Kemudian berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor
175/Kpts-II/2003 menjadi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (Departemen Kehutanan
2003). Secara administratif luas hutan lindung Gunung Salak 31.237 ha berada di
wialayah Ciampea, kecamatan Ciomas, dan kecamatan Cibungbulan, kabupaten
Bogor; kecamatan Cicurug dan kecamatan Parung Kuda, kabupaten Sukabumi.
Topografi dan Iklim
Gunung Salak merupakan salah satu dari kurang lebih 40 gunung berapi
utama yang ada di pulau Jawa yang sampai saat ini sudah tidak aktif lagi. Sisa-sisa
aktivitas vulkanik masih dapat ditemukan antara lain di Kawah Ratu, Kawah Hirup,
Kawah Paeh, Kawah Perbakti dan Kawah Cibereum. Ditinjau dari letak topografis,
Gunung Salak berada dalam kesatuan hamparan dengan Gunung Halimun Timur
dan Gunung Halimun Barat, namun terpisah dari Gunung Gede Pangrango oleh
lembah sungai Cisadane dan Cicurug. Gunung Salak dan Gunung Halimun
merupakan daerah hulu dari beberapa daerah aliran sungai (DAS) utama di Jawa
Barat, terutama daerah Cisadane, Cidur ian, dan Ciujung (RIMPALA 2000).
Berdasarkan kelas ketinggian tempat dari permukaan laut, wilayah Gunung
Salak berada pada ketinggian antara 300 m - 2200 m (Gambar 2). Topografi Gunung
Salak pada umumnya bervariasi dari curam sampai pada sangat curam dengan
Data curah hujan selama 10 tahun terakhir menunjukkan, bahwa rata-rata
curah hujan yang tinggi terjadi sekitar bulan Nopember hingga Mei yaitu mencapai
di atas 300 mm/bulan. Bulan Juni hingga Oktober curah hujan umumnya kurang dari
300 mm/bulan. Bulan-bulan selanjutnya terjadi penurunan hingga mencapai
intensitas terendah pada bulan Agustus, yaitu 159 mm/bulan kemudian terjadi
kenaikan kembali dengan intensitas yang cukup tinggi mulai bulan Nopember.
Daerah Gunung Salak mengalami musim hujan sepanjang tahun. Suhu udara
maksimum berkisar 29.9oC, suhu minumum 21.2oC dan suhu udara rata-rata 25.7oC.
Klasifikasi iklim menurut Schmidt dan Fegurson curah hujan di daerah Gunung
Salak termasuk tipe iklim A dengan nilai 0 – 143% (Departemen Kehutanan 1983).
Secara spesifik kisaran curah hujan daerah tempat pengambilan sampel (Gambar 3),
yaitu untuk kecamatan Gunung Bundar berkisar 4500 mm – 5000 mm, kecamatan
Cijeruk 4000 mm – 4500 mm, kecamatan Cidahu 3500 mm – 4000 mm, kecamatan
Parakan Salak dan Pulosari 4000 mm – 4500 mm, kecamatan Tamansari dan
Sedanglaya 5000 mm – 6000 mm (Prasetyo, Setiawan, dan Prastowo 2002).
Di dalam kawasan hutan lindung Gunung Salak terdapat banyak mata air
yang merupakan sumber air bagi sungai-sungai yang sebagian mengalir ke arah
Selatan menuju Samudera Indonesia dan sebagian lagi mengalir ke arah Utara
menuju laut Jawa. Salah satu mata air yang terdapat di kawasan hutan lindung
Gunung Salak dikenal dengan mata air Ciburial yang dikelola PAM DKI Jaya untuk
suplai air bersih bagi penduduk di Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor, Kodya
Jakarta Selatan dan Depok (Departemen Kehutanan 1983).
Keadaan Tanah
Berdasarkan Peta Tanah Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor, Kabupaten
Daerah Tingkat II Sukabumi dan Kabupaten Daerah Tingkat II Lebak skala 1 :
500.000, tanah pada kawasan Gunung Salak terdiri atas dua jenis yaitu gromusol
dengan batuan induk endapan dan bekuan, fisiografi gelombang dan andosol dengan
bahan induk batuan-batuan basis dan intermedier, fisiografi gunung (RIMPALA
2000). Sedangkan menurut Prasetyo, Setiawan, dan Prastowo (2002), kawasan
Gunung Salak terdiri atas andosol coklat dan coklat kekuningan; latosol coklat,
coklat kemerahan dan coklat kekuningan; regosol coklat dan kelabu; dan asosiasi
Sosial Budaya Masyarakat
Mayoritas masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan lindung Gunung
Salak adalah suku Sunda. Beberapa penduduk yang berasal dari luar suku Sunda,
seperti suku Jawa, Batak, Bugis dan lain- lainnya adalah akibat dari perkawinan
dengan penduduk setempat dan selanjutnya tinggal secara menetap di wilayah
tersebut. Suku Sunda merupakan suku terbesar kedua yang seluruhnya hidup di Jawa
Barat. Secara antropologi budaya, yang dimaksud dengan suku Sunda adalah orang
yang turun temurun menggunakan bahasa Sunda (bahasa ibu) serta dialeknya dalam
kehidupan sehari- hari, dan berasal serta bertempat tinggal di daerah Jawa Barat atau
yang dikenal dengan tanah Pasundan atau tanah Datar (Harsojo 1988). Pola
pemukiman masyarakat Sunda di desa merupakan keselarasan naluri arsitektur
alamiah dengan lingkungannya yang terdiri atas beberapa kampung. Sebuah
kampung merupakan sekumpulan rumah dengan pekarangan, lumbung padi, kandang
ternak, kolam ikan, tempat permandian, tempat ibadah atau tanah lapang. Sebuah
kampung mempunyai areal sawah atau kebun yang dilintasi jalan setapak atau jalan
desa. Rumahnya terdiri atas beberapa kamar, serambi, ruang tengah dan dapur
(Melalatoa 1995). Hampir seluruh keluarga penduduk yang tinggal di sekitar
kawasan Gunung Salak memeluk agama Islam, hanya ada beberapa keluarga di
daerah Cidahu dan Gunung Bundar 2 memeluk agama Kristen. Ditinjau dari
Pendidikan Penduduk Usia Kerja (PPUK), tingkat pendidikan masyarakat sangat
bervariasi yaitu dari tidak bersekolah dasar sampai tamat perguruan tinggi. Jumlah
penduduk yang berpendidikan sampai tamat sekolah dasar menunjukan angka yang
tertinggi (46%), disusul yang tidak tamat sekolah dasar (25%), tamat sekolah
lanjutan tingkat pertama (20%), sekolah lanjutan tingkat atas (8%), dan yang
terendah adalah penduduk yang tamat perguruan tinggi (1%). Pada umumnya,
mereka yang berpendidikan sampai tingkat sekolah lanjutan atas (SLTA) dan tingkat
Perguruan Tinggi rata-rata telah keluar dari desanya atau walaupun mereka masih
tinggal di desa namun aktivitas kerja mereka sehari- harinya sebagian besar di luar
desa.
Penduduk yang berjenis kelamin laki- laki sebanyak 51% dan perempuan
sebanyak 49% dengan simpangan umur : 15-29 tahun sebanyak 38%; umur 30 – 44
sebanyak 9%. Sebagian besar masyarakat berprofesi sebagai petani dengan usaha
pertanian di lahan sawah dan tegalan. Di samping itu, masyarakat setempat juga
mempunyai pekerjaan tambahan seperti sebagai tukang batu, pedagang, dan ojeg.
Sebagai ilustrasi hasil survey data jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan
di delapan desa sampel sebagai berikut.
Tabel 1. Jumlah penduduk yang berumur =15 tahun berdasarkan tingkat pendidikan di delapan desa pengamatan
Jumlah
Penduduk Pendidikan
Lokasi
L P TTSD TSD TSLTP TSLTA TPT
Cidahu 4156 3934 864 1028 695 146 43
Cipelang 4483 4179 561 666 665 100 30
Cipeuteuy 3195 3055 543 2047 311 99 15
G. Bundar2 3718 3725 3705 2311 1613 173 10
Pulosari 4067 3914 701 926 300 122 72
Parakan Salak 3637 3406 468 2783 824 728 101
Tapos 1 3599 3592 189 153 169 97 26
Tamansari 4198 4953 316 2538 1452 584 54
Jumlah 31053 30758 6804 12452 5334 2049 351
Sumber : Data dari kantor desa masing-masing. TTSD = tidak tamat sekolah dasar, TSD = tamat sekolah dasar, TSLTP = tamat sekolah lanjutan pertama, TSLTA = tamat sekolah lanjutan atas, TPT = tamat perguruan tinggi (termasuk diploma)
Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui, bahwa perbandingan jumlah penduduk
laki- laki dan perempuan menunjukkan jumlah yang seimbang (50% : 50%).
Penduduk yang berpendidikan sampai tamat sekolah dasar berjumlah hampir dua
kali lipat dibandingkan dengan penduduk yang tidak tamat sekolah dasar, jumlah
penduduk semakin menurun dengan semakin meningkatnya jenjang pendidikan.
Kondisi ini disebabkan oleh dua hal utama, yaitu yang pertama akibat dari
digalakkan program pendidikan wajib belajar 9 tahun dan yang kedua sebagai akibat
kondisi ekonomi masyarakat yang rata-rata masih sangat rendah. Para orang tua
berpendapat, bahwa dengan bisa membaca dan menulis saja sudah cukup, ada juga
yang berpendapat bahwa untuk apa mereka bersekolah tinggi yang pada akhirnya
akan menjadi pengangguran. Te rlepas dari semua itu, kemampuan ekonomi
merekalah yang tidak memungkinkan untuk membiayai sekolah anak-anak mereka.
Setelah anak-anak mereka tamat sekolah dasar diharapkan dapat membantu orang tua
Gambar 10 juga dapat memberikan gambaran, bahwa tumbuhan liar edibel
tingkat bawah berada dalam satu kelompok, yaitu desa Cidahu dengan desa Pulosari
mempunyai jarak hubungan yang terdekat (IS=0.67). Demikian halnya dengan jenis
tumbuhan tingkat pancang, tiang maupun pohon. Tumbuhan liar edibel antara lokasi
tidak ada yang mempunyai tingkat kemiripan sangat tinggi (IS>0.75). Beberapa
lokasi mempunyai tingkat kemiripan tinggi (0.50<IS<0.75) selebihnya tingkat
kemiripannya sangat rendah. Berdasarkan kriteria tingkat kemiripan menurut Krebs
(1978) dan Jufri (2005), yaitu : IS=0.75 kemiripan sangat tinggi, 0.50=IS<0.75
tingkat kemiripan tinggi, 0.25=IS<0.50 tingkat kemiripan rendah, IS=0.25 tingkat
kemiripan sangat rendah.
Gambar 10. Dendrogram pengelompokan jenis tumbuhan liar edibel berdasarkan lokasi untuk setiap tingkat pertumbuhan menggunakan UPGMA dan jarak Euclidean CD=cidahu, Cp=cipelang, CT=cipeuteuy, GB=gunung bundar 2, PL=pulosari, PS=parakan salak, TP=tapos, TS=tamansari, 1=bawah, 2=pancang, 3=tiang, 4=pohon..
5. Dominansi Jenis
Berdasarkan perhitungan indeks nilai penting (INP) jenis tumbuhan yang
tertinggi di setiap lokasi pada semua tingkat pertumbuhan diperoleh hasil sebagai