• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tabel 16. Nilai p hasil Anova jumlah jenis tumbuhan liar dan liar edibel untuk stiap tingkat pertumbuhan

Kategori Tingkat

Pertumbuhan Tumbuhan Liar Tumbuhan Liar Edibel

Bawah 0.238 0.000*

Pancang 0.000* 0.478

Tiang 0.000* 0.000*

Pohon 0.000* 0.020*

Keterangan : *) berbeda nyata berdasarkan taraf nyata 5%

Hasil analisis keragaman terhadap jumlah jenis tumbuhan liar maupun liar edibel (Tabel 16) menunjukkan beda nyata terhadap semua tingkat pertumbuhan yang diamati, kecuali untuk jumlah tumbuhan liar tingkat bawah dan tumbuhan liar edibel tingkat pancang.

H Alam H Produksi Tegalan Ekosistem 0 5 10 15 20 25 30 35

Jumlah Jenis Tumbuhan Liar (pancang)

H Alam H Produksi Tegalan

Ekosistem -5 0 5 10 15 20 25 30

Jumlah Jenis Tumbuhan Liar (tiang)

Tabel 17. Rata-rata jumlah jenis tumbuhan liar dan liar edibel pada setiap tipe ekosistem untuk setiap tingkat pertumbuhan

Tumbuhan Liar Tumbuhan Liar Edibel

Tipe

Ekosistem Bawah Pancang Tiang Pohon Bawah Pancang Tiang Pohon

H.Alam 61.375 24.875 19.125 25.625 20.375 5.875 4.875 5.125

H.Produksi 49.125 12.125 5.875 4.500 20.625 4.000 1.875 1.875

Tegalan 58.000 7.500 5.125 7.875 29.125 4.125 3.000 5.250

Semak 52.875 - - - 21.250 - - -

Sawah 56.625 - - - 33.250 - - -

Hasil uji lanjut jumlah jenis tumbuhan liar berdasarkan tipe ekosistem menunjukkan, bahwa baik tingkat pancang maupun tingkat tiang pada hutan alam lebih tinggi dibandingkan jumlah jenis pada tegalan, masing- masing antara hutan produksi dan tegalan maupun hutan alam dengan hutan produksi relatif sama (Gambar 11).

Gambar 11. Jumlah jenis tumbuhan tingkat pancang (a) dan tingkat tiang (b) pada setiap ekosistem yang dinyatakan dalam rata-rata (•), ± galat baku (?) dan ± 95% simpangan baku (- ).

Jumlah jenis tumbuhan liar tingkat pohon yang terdapat pada hutan alam lebih tinggi dibandingkan tegalan dan hutan produksi. Jumlah jenis antara hutan alam dengan tegalan relatif sama. Sedangkan jumlah jenis tumbumbuhan liar edibel tingkat bawah pada sawah dan tegalan lebih tinggi dibandingkan jumlah jenis pada hutan produksi dan hutan alam. Jumlah jenis yang terdapat pada sawah dengan tegalan relatif sama, demikian halnya halnya antara tegalan dengan semak dan antara hutan alam, hutan produksi dan semak (Gambar 12).

H Alam H Produksi Tegalan Ekosistem -5 0 5 10 15 20 25 30 35 40

Jumlah Jenis Tumbuhan Liar (pohon)

H.Alam H.Produksi Semak Sawah Tegalan Ekosistem 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 36 38 40

Jumlah Jenis Tumbuhan Liar Edibel

(bawah)

H Alam H Produksi Tegalan

Ekosistem -2 0 2 4 6 8 10 12

Jumlah Jenis Tumbuhan Liar Edibel (tiang)

H Alam H Produksi Tegalan

Ekosistem -1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Jumlah Jenis Tumbuhan Liar Edibel (pohon)

Gambar 12. Jumlah jenis tumbuhan liar tingkat pohon (a) dan tumbuhan liar edibel tingkat bawah (b) pada setiap ekosistem yang dinyatakan dalam rata-rata (•), ± galat baku (?) dan ± 95% simpangan baku (- ).

Jumlah jenis tumbuhan liar edibel tingkat tiang maupun tingkat pohon antara ekosistem relatif sama (Gambar 13).

Gambar 13. Jumlah jenis tumbuhan liar edibel tingkat tiang (a) dan tingkat pohon (b) pada setiap ekosistem yang dinyatakan dalam rata-rata (•), ± galat baku (?) dan ± 95% simpangan baku (- ).

Tipe ekosistem berpengaruh terhadap jumlah jenis tumbuhan liar tingkat pancang, tiang maupun tingkat pohon. Rata-rata jumlah jenis tingkat pancang, tiang maupun pohon paling tinggi terdapat pada hutan alam diikuti hutan produksi, dan terendah pada tegalan. Sedangkan jenis tumbuhan tingkat bawah, walaupun secara uji statistik tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan, namun secara rata-rata jumlah jenis tertinggi pada hutan alam, diikuti, sawah, semak dan terendah pada hutan produksi.

a b

Kekayaan jenis adalah jumlah jenis dari suatu komunitas. Setiap jenis tidak mungkin mempunyai jumlah individu yang sama (Krebs 1978). Perbedaan jumlah jenis pada setiap tipe ekosistem pada dasarnya disebabkan oleh dua hal utama, yaitu akibat dari adanya pengaruh faktor cahaya dan ketinggian tempat dari permukaan laut. Sawah dan semak mempunyai struktur vegetasi yang lebih sederhana dibandingkan dengan tipe yang lain, karena berada dalam areal terbuka, walaupun ada beberapa jenis tumbuhan tingkat pancang, tiang ataupun pohon relatif sangat sedikit. Kondisi seperti ini menyebabkan jenis tumbuhan yang dapat hidup dan berkembang pada sawah dan semak hanya jenis tumbuhan yang bersifat spesifik, terutama tumbuhan yang tahan atau suka cahaya penuh (sun loving) sedangkan jenis- jenis tumbuhan yang tidak tahan cahaya akan tereliminasi. Sebaliknya tegalan, hutan produksi, dan hutan alam mempunyai struktur vegetasi lebih kompleks dan berlapis- lapis dari tingkat yang paling rendah (cover crops), pancang, tiang sampai pada tingkat yang paling tinggi (pohon). Lingkungan pada komunitas ini sangat bervariasi pula, yaitu dari areal yang terbuka penuh, areal setengah ternaungi, sampai pada areal yang teraungi secara penuh. Kondisi seperti ini memberikan peluang untuk dapat hidup dan berkembangnya berbagai jenis tumbuhan, baik jenis yang membutuhkan cahaya penuh, setengah naungan sampai pada tumbuhan yang membutuhkan naungan penuh. Dengan demikian jumlah jenis yang memungkinkan dapat tumbuh pada tegalan, hutan produksi, maupun hutan alam akan lebih banyak dibandingkan dengan sawah maupun semak. Sugito (1994), menyatakan berdasarkan pada kebutuhan dan adaptasi tumbuhan terhadap radiasi matahari, pada dasarnya tumbuhan dibagi kedalam dua kelompok. Kelompok pertama disebut sciophytes/shade spesies/shade loving, yaitu jenis tumbuhan yang tumbuh baik pada tempat yang ternaung dengan intensitas radiasi matahari rendah. Kelompok kedua disebut heliophytes/sun spesies/sun loving, yaitu jenis tumbuhan yang tumbuh baik pada intensitas radiasi matahari penuh. Tumbuhan ini tidak akan dapat tumbuh baik bila ternaung oleh tumbuhan lain. Menurut Soemarwoto (1985) struktur tumbuhan pada tegalan atau talun yang berlapis- lapis menyerupai stratifikasi hutan. Selanjutnya menurut Whitmore (1986) stratifikasi hutan terdiri atas lima strata, yaitu stratum A yang ditempati oleh jenis pohon besar dengan tajuk yang mencuat (emergence), stratum B ditempati oleh pohon-pohon dengan lapisan tajuk yang menerus, stratum C

ditempati oleh pohon-pohon dengan tajuk yang lebih rendah, stratum D ditempati oleh anakan pohon, dan stratum E ditempati oleh tumbuhan herba dan semai yang menutupi lantai hutan. Loveless (1989) menyatakan vegetasi yang paling lebat hanya akan ditemukan di tempat-tempat yang kelembaban tanahnya tinggi dengan draenase yang cukup baik. Penyederhanaan dalam struktur komunitas akan mulai tampak dalam vegetasi, bila kelembaban tidak memadai untuk pertumbuhan optimal sepanjang tahun. Lebih lanjut Richards (1964) mengemukakan, bahwa secara umum komposisi jenis hutan tropik adalah campuran, dengan asosiasi tanpa dominasi tunggal. Jumlah populasi dominan berkisar antara satu sampai enam jenis. Jumlah ini berbeda antara satu lokasi dengan lokasi lainnya

Profil ekologi mengikuti ketinggian tempat dari atas permukaan laut. Areal persawahan dan semak berada pada tempat yang terendah, secara berturut-turut ketinggian meningkat ditempati oleh tegalan, hutan produksi, dan hutan alam.

(Lampiran 2). Perbedaan ketinggian tempat dari permukaan laut akan berpengaruh terhadap faktor-faktor iklim yang lainnya, seperti suhu, kelembaban, penyinaran maupun curah hujan. Perbedaan komponen iklim ini akan berpengaruh terhadap lingkungan hidup bagi suatu jenis tumbuhan. Jumlah jenis tumbuhan liar secara keseluruhan menunjukkan kecenderungan peningkatan sejalan dengan meningkatnya ketinggian tempat dari permukaan laut, yaitu jumlah jenis terendah ditunjukkan oleh sawah kemudian meningkat pada semak, tegalan dan tertinggi pada hutan alam. Kecuali pada hutan produksi, justru jumlah jenis tumbuhan pada tingkat poho n lebih rendah dibandingkan dengan tegalan, hal ini disebabkan semata- mata akibat dari tingkat pengelolaannya. Hutan produksi yang merupakan hutan yang sengaja diusahakan dengan maksud komersial pengelolaannya dilakukan sangat intensif, pembersihan terhadap gulma (weed cleaning) secara periodik dan terjadwal, disamping itu juga jenis tanaman yang diusahakan bersifat monokultur (homogen). Lingkungan yang bervariasi dari satu tempat ke tempat lain, dan kebutuhan tumbuhan akan keadaan lingkungan yang khusus mengakibatkan keragaman jenis tumbuhan yang berkembang dapat terjadi menurut perbedaan tempat dan waktu. Hal ini dapat dilihat dari perbedaan jenis tumbuhan yang berkembang dengan perbedaan tinggi tempat atau perbedaan musim (Sitompul dan Guritno, 1995). Pada lapisan troposfer bumi, suhu makin rendah dengan bertambahnya ketinggian tempat. Hal ini

sebagai akibat udara merupakan penyimpan panas terburuk, sehingga suhu udara sangat dipengaruhi oleh permukaan bumi tempat persentuhan antara udara dengan daratan dan lautan. Akibatnya suhu akan turun menurut ketinggian baik di atas lautan maupun daratan. Rata-rata penurunan suhu udara di Indonesia sekitar 5 – 6oC setiap kenaikan 1000 m di atas permukaan laut (Handoko 1995). Disamping itu perbedaan ketinggian tempat di atas permukaan laut (dpl) dapat menimbulkan perbedaan cuaca dan iklim secara keseluruhan pada tempat tersebut, terutama suhu, kelembaban dan curah hujan. Unsur-unsur tersebut banyak dikendalikan oleh letak lintang, ketinggian, jarak dari laut, topografi, jenis tanah dan vegetasi (Miller 1976). Bertambahnya ketinggian tempat dari permukaan laut menyebabkan tekanan udara menjadi berkurang (Threwartha 1968) yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya pergerakan udara (angin). Kecepatan angin akan meningkat dengan bertambahnya ketinggian. Dataran tinggi selain berpengaruh terhadap tekanan udara dan suhu, juga berpengaruh terhadap curah hujan. Umumnya dataran tinggi memiliki frekuensi, penyebaran serta jumlah curah hujan yang lebih besar serta berbeda nyata bila dibandingkan dengan dataran rendah (Barry dan Chorley 1976). Perbedaan komponen-komponen iklim tersebut yang menyebabkan terjadi perbedaan jumlah jenis tumbuhan pada setiap tipe ekosistem yang diamati.

Jumlah jenis tumbuhan liar edibel untuk tingkat bawah yang dimanfaatkan masyarakat terbanyak ditemukan pada sawah dan tegalan dibandingkan dengan semak, hutan produksi dan hutan alam. Sedangkan jumlah jenis pada tingkat pohon terbanyak pada tegalan diikuti hutan alam dan hutan produksi. Hal ini berhubunga n erat dengan faktor jarak letak perkampungan dan aktivitas masyarakat setempat. Secara umum areal persawahan di desa-desa sekitar kawasan hutan Gunung Salak terletak di bagian depan perumahan sedangkan tegalan dibagian belakang atau sebaliknya sehingga sawah maupun tegalan lokasinya sengat berdekatan dengan rumah tinggal penduduk (perkampungan). Mayoritas penduduk desa berprofesi sebagai petani sawah, sehingga aktivitas sehari- harinya sebagian besar dilakukan di sawah maupun tegalan dibandingkan semak, hutan produksi maupun hutan alam. Aktivitas ke hutan alam dilakukan hanya sewaktu-waktu, teruma apabila kebutuhan tumbuhan tidak dapat ditemukan di sawah atau tegalan, seperti untuk kayu bangunan ataupun jenis-jenis tumbuhan tertentu yang diperlukan sebagai obat, sayuran maupun

buah-buahan. Letak antara perkampungan dengan kawasan hutan alam relatif jauh, disamping juga karena kawasan hutan merupakan kawasan yang dilindungi sehingga masyarakat tidak dapat dengan leluasa melakukan aktivitasnya. Dampak dari semua ini berpengaruh terhadap pengetahuan masyarakat mengenai lingkungannya. Mereka lebih banyak mengenal lingkungan persawah dan tegalan, khususnya mengenai jenis- jenis tumbuhan liar dan kemungkinan pemanfaatannya. Kondisi seperti ini sangat berbeda dengan daerah-daerah (perkampungan) yang letaknya sangat terpencil , seperti suku-suku yang hidup di daerah pedalaman Irian dan Kalimantan dimana masyarakatnya tinggal dan hidup dalam hutan-hutan yang terisolasi dari daerah perkotaan atau perkampungan yang satu dengan yang lainnya. Pengetahuan mereka terhadap lingkungannya, khususnya mengenai pemanfaatan tumbuhan hutan akan lebih banyak dibandingkan dengan pengetahuan mengenai tumbuhan yang hidup di daerah persawahan. Menurut Rambo (1982), aktivitas manusia me mpunyai keterkaitan erat dengan faktor lingkungan. Faktor- faktor lingkungan akan mempengaruhi aktivitas manusia dan aktivitas manusia akan mempengaruhi faktor lingkungan. Nilai- nilai dasar kebudayaan turut mempertimbangkan latar belakang lingkungan biotik dan abiotik. Aktivitas manusia, pranata sosial dan unsur- unsur budaya berada dalam kesatuan intergrasi sistem sosial.

Jumlah jenis tumbuhan liar edibel tingkat pohon walaupun secara uji statistik tidak beda nyata, tetapi secara rata-rata jumlah jenis yang terdapat di tegalan paling tinggi diikuti hutan alam dan yang terendah pada hutan produksi. Kondisi ini lebih ditentukan oleh faktor biotik, terutama akibat dari aktivitas manusianya. Jenis tumbuhan liar yang hidup di sekitar kawasan hutan Gunung Salak, baik pada ekosistem sawah, semak, tegalan, hutan produksi, maupun hutan alam masih banyak yang belum diketahui pemanfaatannya sebagai tumbuhan edibel oleh masyarakat setempat. Hal ini diketahui dari beberapa pustaka dan jurnal hasil penelitian, sebagai contoh dari hasil wawancara terhadap beberapa ahli lokal tidak ada yang mengetahui kegunaan dari tumbuhan harendong bulu (Clidemia hirta Don.) sebagai obat diare (Wardah dkk 2002), pacar cai (Impatiens balsamina) sebagai obat terlambat datang bulan (Sukarsono dkk. 2003), rumput bambu (Lophaterum gracile Brongen) sebagai bahan obat demam, bisul, kemih berdarah (Djauhariya dan Hernani 2004), ki hujan (Myrica esculenta) sebagai penghasil buah-buhan (Uji 2002), ki koneng

(Arcangelisia flava Merr) sebagai bahan obat (Wardah dkk 2002), dan pecut kuda (Stachytarpheta jamaicensis (L) Vahl.) sebagai obat kencing nanah, dan mencret (Sukarsono dkk. 2003; Djauhariah dan Hernani 2004). Selain itu masih banyak jenis- jenis tumbuhan liar yang dapat dikonsumsi sebagai bahan obat, sayur, maupun buah- buhan yang belum diketahui oleh penduduk sekitar kawasan hutan. Menurut Sugandhy (2001) dan Waluyo (2003), perbedaan geografi, tipe ekosistem, komunitas masyarakat serta perbedaan kearifan tradisional masyarakat pada masing- masing wilayah memunculkan adanya biodiversitas setempat yang bersifat spesifik . 2. Indeks keanekaragaman jenis

Hasil analisis keragaman terhadap indeks keanekaragaman jenis tumbuhan liar maupun liar edibel sebagai berikut.

Tabel 18. Nilai p hasil Anova indeks keanekaragaman jenis tumbuhan liar dan liar edibel untuk setiap tingkat pertumbuhan

Kategori Tingkat

Pertumbuhan Tumbuhan Liar Tumbuhan Liar Edibel

Bawah 0.001* 0.000*

Pancang 0.005* 0.498

Tiang 0.004* 0.035*

Pohon 0.001* 0.036*

Keterangan : *) berbeda nyata berdasarkan taraf nyata 5%

Tabel 18 menunjukkan, bahwa berdasarkan tipe ekosistem, indeks keanekaragaman jenis tumbuhan liar maupun tumb uhan liar edibel berbeda nyata terhadap semua tingkat pertumbuhan, kecuali tumbuhan liar edibel untuk tingkat pancang tidak berbeda nyata.

Tabel 19. Rata-rata indeks keanekaragaman jenis tumbuhan liar dan liar edibel untuk setiap tingkat pertumbuhan pada setiap tipe ekosistem

Tumbuhan Liar Tumbuhan

Tipe

Ekosistem Bawah Pancang Tiang Pohon Bawah Pancang Tiang Pohon

H.Alam 3.335 2.800 2.676 2.781 2.365 1.358 2.676 1.330

H.Produksi 2.990 2.025 1.132 1.169 2.123 0.970 1.132 0.565

Tegalan 3.354 1.514 1.320 1.905 2.718 1.012 1.320 1.289

Semak 3.231 - - - 2.232 - - -

H.Alam H.Produksi Semak Sawah Tegalan Ekosistem 2.6 2.8 3.0 3.2 3.4 3.6 3.8

Indeks Keanekaragaman Tumbuhan Liar

(bawah) H A l a m H Produksi Tegalan Ekosistem 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 1.4 1.6 1.8 2.0 2.2 2.4 2.6 2.8 3.0 3.2 3.4

Indeks Keanekaragaman Tumbuhan Liar

(pancang)

Indeks keanekaragaman jenis tumbuhan liar tingkat bawah relatif sama antara ekosistem. Indeks keanekaragaman tingkat pancang pada hutan alam lebih tinggi dibandingkan tegalan. Indeks keanekaragaman pada hutan produksi relatif sama dengan hutan alam, demikian halnya tegalan relatif sama dengan hutan produksi (Gambar 14).

Gambar 14. Indeks keanekaragaman jenis tumbuhan liar tingkat bawah (a) dan tingkat pancang (b) pada setiap tipe ekosistem yang dinyatakan dalam rata-rata (•), ± galat baku (?) dan ± 95% simpangan baku (- ).

Indeks keanekaragaman tingkat tiang antar ekosistem relatif sama, demikian halnya dengan hutan alam dan hutan produksi. Indeks keanekaragaman jenis tingkat pohon pada hutan alam lebih tinggi dibandingkan hutan produksi. Indeks keanekaragaman pada tegalan relatif sama dengan hutan produksi maupun hutan alam (Gambar 15).

Gambar 15. Indeks keanekaragaman jenis tumbuhan tingkat tiang (a) dan tingkat pohon (b) pada setiap tipe ekosistem yang dinyatakan dalam rata-rata (•), ± galat baku (?) dan ± 95% simpangan baku (- ).

a b

H Alam H Produksi Tegalan

Ekosistem -0.5 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0

Indeks Keanekaragaman Tumbuhan Liar

(tiang)

H Alam H Produksi Tegalan

Ekosistem 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0

Indeks Keanekaragaman Tumbuhan Liar

H.Alam H.Produksi Semak Sawah Tegalan Ekosistem 1.6 1.8 2.0 2.2 2.4 2.6 2.8 3.0 3.2 3.4

Indeks Keanekaragaman Tumbuhan Liar

Edibel (bawah)

H Alam H Produksi Tegalan

Ekosistem 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 1.4 1.6 1.8 2.0 2.2 2.4 2.6 2.8

Indeks Keanekaragaman Tumbuhan Liar

Edibel (tiang)

H Alam H Produksi Tegalan

Ekosistem -0.2 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 1.4 1.6 1.8 2.0 2.2

Indeks Keanekaragaman Tumbuhan Liar

Edibel (pohon)

Indeks keanekaragaman jenis tumbuhan liar edibel tingkat bawah pada sawah tertinggi dibandingkan ekosistem lainnya, kecuali dengan tegalan relatif sama. Indeks keanekaragaman jenis pada tegalan lebih tinggi dibandingkan hutan produksi, tetapi relatif sama dibandingkan ekosistem yang lainnya. Sedangkan untuk tingkat tiang relatif sama antara ekosistem (Gambar 16).

Gambar 16. Indeks keanekaragaman jenis tumbuhan liar edibel tingkat bawah (a) dan tingkat tiang (b) pada setiap tipe ekosistem yang dinyatakan dalam rata-rata (•), ± galat baku (?) dan ± 95% simpangan baku (- ).

Indeks keanekaragaman jenis tumbuhan liar edibel tingkat pohon relatif sama antara ekosistem hutan alam, hutan produksi, dan tegalan (Gambar 17).

Gambar 17. Indeks keanekaragaman jenis tumbuhan liar edibel tingkat pohon pada setiap tipe ekosistem yang dinyatakan dalam rata-rata (•), ± galat baku (?) dan ± 95% simpangan baku (- ).

Indeks keanekaragaman jenis tumbuhan liar untuk tingkat bawah di setiap ekosistem termasuk dalam kategori tinggi (3<H’<4), kecuali pada hutan produksi termasuk kategori sedang (2<H’<3).Tingkat pancang pada hutan alam dan hutan produksi termasuk dalam kategori sedang (2<H’<3), pada tegalan termasuk kategori rendah (H’<1).Tingkat tiang pada hutan alam termasuk dalam kategori sedang (2<H’<3), hutan produksi dan tegalan termasuk kategori rendah (1<H’<2).Tingkat pohon pada hutan alam termasuk dalam kategori sedang (2<H’<3), hutan produksi dan tegalan termasuk kategori rendah (1<H’<2). Indeks keanekaragaman jenis tumbuhan liar edibel tingkat bawah untuk semua ekosistem termasuk dalam kategori sedang, kecuali pada sawah termasuk dalam kategori tinggi. Untuk tingkat pancang, tiang, dan pohon pada masing- masing ekosistem termasuk dalam kategori rendah, kecuali tingkat tiang pada hutan alam termasuk dalam kategori sedang. Menurut Barbour at al. (1987), kriteria nilai indeks keanekaragaman jenis Shanon-Wiener sebagai berikut : jika H’<1 dikategorikan sangat rendah, 1<H’=2 kategori rendah, 2=H’=3 kategori sedang (medium), 3=H’=4 kategori tinggi, dan jika H’>4 kategori sangat tinggi. Menurut Djufri dkk. (2005), keanekaragaman jenis yang tinggi pada suatu komunitas akan dapat bertahan apabila terdapat gangguan secara teratur dan periodik. Komunitas yang sangat stabil, meluas secara regional dan homogen akan memperlihatkan keanekaragaman spesies lebih rendah dibandingkan dengan ekosistem berbentuk mozaik atau secara regional diganggu pada waktu tertentu. Biasanya setelah gangguan berlalu, maka akan terjadi peningkatan spesies sampai pada suatu titik dimana dominasi sedikit spesies yang hidup lama dan berukuran besar, sehingga dapat membalikkan kecenderungan keanekaragaman menjadi menurun.

Tumbuhan tingkat bawah di daerah terbuka seperti sawah cenderung menunjukan indeks keanekaragaman lebih tinggi dibandingkan ekosistem yang ternaungi baik tegalan, hutan produksi maupun hutan alam. Hal ini disebabkan tingkat gangguan pada sawah jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ekosistem yang lain. Kegiatan petani dalam mengolah lahannya, baik dalam bentuk pambajakan, pemupukan, atau introduksi jenis-jenis tanaman baru dapat menambah keanekaragaman tumbuhan pada areal sawah. Rata–rata indeks keanekaragaman tumbuhan tingkat pancang, tiang ma upun tingkat pohon paling tinggi di hutan alam

dan terendah di hutan produksi. Hal ini sangat berhubungan erat dengan jumlah jenis yang ditemukan di masing- masing ekosistem, semakin tinggi jumlah jenis maka akan semakin tinggi indeks keanekaragaman suatu jenis. Keanekaragaman jenis yang tinggi merupakan indikator dari kemantapan atau kestabilan dari suatu lingkungan pertumbuhan, dengan kata lain hutan alam merupakan tempat tumbuh yang mempunyai stabilitas lingkungan paling tinggi bagi pertumbuhan tingkat pancang, tiang maupun pohon dibandingkan tegalan dan hutan produksi. Menurut Odum (1993) bahwa keanekaragaman akan menjadi tinggi pada komunitas yang lebih tua dan rendah pada komunitas yang baru terbentuk. Kestabilan yang tinggi menunjukan tingkat kompleksitas yang tinggi, hal ini disebabkan terjadinya interaksi yang tinggi pula sehingga akan mempunyai kemampuan lebih tinggi dalam menghadapi gangguan terhadap komponen-komponennya.Selanjutnya Walter (1971) menyatakan, bahwa di dalam lingkungan yang tidak menunjukkan adanya faktor khusus, maka komunitas yang menduduki lingkungan yang bersangkutan akan menunjukkan tingkat keanekaragaman jenis yang tinggi. Disini nampak jelas, bahwa faktor fisiografi telah bertindak sebagai faktor khusus yang mempengaruhi keanekaragaman jenis tumbuhan yang hidup di atasnya.

Dokumen terkait