• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penghapusan kewenangan mahkamah konstitusi dalam perkara sengketa pemilukada: analisis putusan mahkamah konstitusi nomor 97/PUU-XI/2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penghapusan kewenangan mahkamah konstitusi dalam perkara sengketa pemilukada: analisis putusan mahkamah konstitusi nomor 97/PUU-XI/2013"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

PENGHAPUSAN KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI

DALAM PERKARA SENGKETA PEMILUKADA

(Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

Jentel Chairnosia

NIM. 1110048000053

KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)

iii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi yang berjudul “PENGHAPUSAN KEWENANGAN MAHKAMAH

KONSTITUSI DALAM PERKARA SENGKETA PEMILUKADA (Analisis

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-

XI/2013)” telah diajukan dalam

sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Ilmu Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 29 Desember

2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Program Strata Satu (S1) pada Program Studi Ilmu Hukum.

Jakarta, 12 November 2014

Mengesahkan

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum,

Dr. H. JM. Muslimin, MA, Ph.D.

NIP. 196808121999031014

PANITIA UJIAN

1.

Ketua

: Dr. Djawahir Hejazziey, SH, MA.

(.………)

NIP. 195510151979031002

2.

Sekretaris

: Arip Purkon, SH.I, MA

(.………)

NIP. 197904272003121002

3.

Pembimbing 1

: Nur Habibi, SH.I, MH.

(.………)

NIP. 197608172009121005

4.

Pembimbing II

: Nur Rohim Yunus, LLM.

(.………)

NIP. 197904162011011004

5.

Penguji I

: Ismail Hasani, SH, MH.

(.………)

NIP. 197712172007101002

(4)

iv

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1.

Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S1) DI uin Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2.

Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3.

Jika dikemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya saya atau

hasil jiplakan dari hasil karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 12 November 2014

(5)

v

ABSTRAK

Penghapusan Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Sengketa

Pemilukada (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013)

Putusan

Mahkamah

Konstitusi

Nomor

97/PUU-XI/2013

yang

membatalkan ketentuan Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah ditanggapi berbeda oleh berbagai pakar dan aparatur

penegak hukum. Pembatalan ketentuan tersebut berarti kewenangan mengadili

sengketa Pemilihan Kepala Daerah tidak berada pada lembaga Mahkamah

Konstitusi. Dikarenakan Pemilihan Kepala Daerah bukanlah termasuk rezim

Pemilu, melainkan termasuk rezim Pemerintahan Daerah. Maka dari itu

Mahkamah Konstitusi tidak berwenang mengadili perkara sengketa Pemilihan

Kepala Daerah. Terdapat beberapa pemikiran alternatif antara lain kewengangan

tersebut ditangani oleh Peradilan Tata Usaha Negara atau membentuk lembaga

penyelesaian sengketa Pemilihan Kepala daerah yang bersifat ad hoc. Namun

keputusannya akan tetap ditentukan oleh DPR dan Pemerintah yang akan

dituangkan dalam Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah.

Jentel Chairnosia

1110048000053

Konsentrasi: Hukum Kelembagaan Negara

Pembimbing: 1. Nur Habibi, SH.I, MH.

2. Nur Rohim Yunus, LLM.

73 Halaman + lampiran, 2014

Keyword: Kewenangan MK, Sengketa Pemilukada

(6)

vi

KATA PENGANTAR









Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah

memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan masa kuliah di

Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta. Shalawat serta salam semoga selalu dicurahkan kepada Baginda

Rasulullah Muhammad SAW, beserta keluarga, para sahabat, para tabi‟in serta

kamu muslimmin yang tetap berpegang teguh kepada risalahnya hingga akhir

zaman dan membawa manusia keluar dari kubangan lumpur Jahiliyah menuju

jalan yang diridhoi oleh Allah SWT.

Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai salah satu persyaratan

untuk menadapatkan gelar S1 Sarjana Hukum (S.H). Penulis berharap semoga

skripsi ini sangat berguna dan bermanfaat bagi penulis dan para pembaca.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis betul-betul menyadari adanya

rintangan dan ujian, namun pada akhirnya selalu ada jalan kemudahan, tentunya

tidak terlepas dari berbagai pihak yang sepanjang penulisan skripsi ini banyak

membantu dalam memberikan bimbingan dan masukan yang berharga kepada

penulis guna menyempurnakan skripsi ini.

Oleh karena itu, dari lubuk hati yang paling dalam penulis mengucapkan

(7)

vii

1.

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta, H. JM. Muslimin, MA, Ph.D.

2.

Dr. H. Djawahir Hejazziey, SH, MA. Dan Arip Purkon, SH.I, MA.

selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Konsentrasi

Hukum Kelembagaan Negara

3.

Nur Habibi, SH.I, MH. Dosen Pembimbing I, dan Nur Rohim Yunus,

LLM. Dosen Pembimbing II, yang dengan sabar dalam memberikan

arahan dan masukan yang amat bermanfaat kepada penulis hingga

selesainya skripsi ini, tiada kata yang pantas selain ucapan terima kasih

dan doa semoga Allah SWT membalasnya.

4.

Seluruh dosen Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas

Syariah dan Hukum, serta karyawan-karyawan dan staf perpustakaan

utama dan perpustakaan fakultas yang telah memfasilitasi penulis

dalam menyelesaikan skripsi ini.

5.

Orang tua tercinta, Ayahanda Chairuddin dan Ibunda Nonon Sukaesih

yang telah mencurahkan kasih sayangnya kepada penulis, tak

henti-hentinya memberikan nasehat, dukungan baik moriil dan materiil yang

tak terhingga, motivasi serta doa yang tak pernah lelah dipanjatkan

untuk penulis, memberikan semangat kepada penulis sehingga bias

menyelesaikan studi S1 ini.

6.

Kakak-kakak tersayang, Maya Puspa Juwita, Agus Vriawan, Noke

Verawaty, dan Oscar Harris yang selalu mendukung dan mendoakan

(8)

viii

kakak ipar, Icwanudin Siregar yang selalu memberikan motivasi,

solusi dan inspirasi bagi penulis.

7.

Mona Hasinah, orang terdekat yang selalu men-support penulis setiap

harinya, dan terima kasih atas semangat, motivasi dan dukungannya,

yang senantiasa memberi keceriaan pada penulis saat semangat mulai

kendor

‟ dan saat penat mulai terasa. Dan dalam suka maupun duka

kita lalui bersama.

8.

Teman-teman yang tak pernah terlupakan yang juga memberikan

dukungan tanpa henti kepada penulis, teman-teman Basbin, mertilang,

DPR, Serigala, Monasco, PMII, Generasi PH, serta teman-teman

seperjuangan di Jurusan Ilmu Hukum 2010.

9.

Semua pihak yang telah memberikan kontribusi terhadap penyelesaian

skripsi ini dan tidak dapat disebut satu persatu

Akhirnya, kepada Allah SWT jualah penulis serahkan segalanya dan

semoga amal kebajikan mereka semua diterima disisi-Nya dan diberikan pahala

yang berlipat ganda sesuai dengan amal perbuatannya. Penulis berharap semoga

skripsi ini bermanfaat bagi pembaca, dan masyarakat umumnya.

Jakarta, 12 November 2014

(9)

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

………...

i

PERSETUJUAN PEMBIMBING

………

ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI

………iii

LEMBAR PERNYATAAN

………

..iv

ABSTRAK

………..

v

KATA PENGANTAR

………...vi

DAFTAR ISI

………

.

….xi

BAB I: PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah

………...

1

B.

Pembatasan dan Perumusan Masalah

………...

9

C.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

………..

10

D.

Tinjauan (Review) Studi Terdahulu

………...

11

E.

Metode Penelitian

………...

13

F.

Sistematika Penulisan

……….

16

BAB II: IMPLEMENTASI DEMOKRASI DALAM PEMILIHAN UMUM

DI INDONESIA

A.

Teori Pendukung

1.

Demokrasi Klasik……….

19

2.

Kontrak Sosial

………..

20

(10)

x

B.

Pemilihan Umum dan Kedaulatan Rakyat

1.

Pengertian Pemilihan Umum

………...

23

2.

Sistem Pemilihan Umum

………..

24

3.

Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

………..

26

C.

Sengketa Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

1.

Pengertian Sengketa Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil

Kepala Daerah

(Pilkada)………..

29

2.

Proses Penyelesaian Sengketa Pemilihan Umum Kepala Daerah dan

Wakil Kepala Daerah (Pilkada)

………...

30

3.

Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Penyelesaian Sengketa

Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

(Pilkada)………...

31

BAB III: MAHKAMAH KONSTITUSI DAN PERKARA SENGKETA

PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA

DAERAH

A.

Mahkamah Konstitusi

1.

Pengertian Mahkamah Konstitusi

………

34

2.

Dasar Hukum Mahkamah Konstitusi

………...

35

3.

Kewajiban dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi

………...

37

B.

Pengujian Undang-undang dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam

Perkara Sengketa Pemilihan Umum Kepala Derah dan Wakil Kepala

Daerah

(11)

xi

2.

Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Sengketa Pemilihan

Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

………...

40

C.

Dasar Hukum Peralihan Kewenangan Memutus Sengketa Pemilihan

Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

………

42

D.

Awal Mula Permohonan Untuk Pengujian Undang-Undang oleh

Mahkamah Konstitusi………

44

BAB IV: PRAKTIK DAN PERALIHAN KEWENANGAN MAHKAMAH

KONSTITUSI DALAM PERKARA SENGKETA PEMILIHAN UMUM

KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH

A.

Implementasi Pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil

Kepala Daerah di Indonesia

………...

49

B.

Faktor Penyebab Mahkamah Konstitusi Menghapus Kewenangannya

Terkait Perkara Sengketa Pemilihan Umum Kepala Derah dan Wakil

Kepala Daerah

………....

52

C.

Argumentasi Konstitusional Penghapusan Kewenangan Mahkamah

Konstitusi Dalam Perkara Sengketa Pemilukada………...

55

1.

Kewenangan Mengadili Perkara Sengketa Pemilukada di Mahkamah

Agung

………..………

.55

2.

Peralihan Kewenangan Mengadili Perkara Sengketa Pemilukada Dari

Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi

………

...58

3.

Peralihan Kewenangan Mengadili Perkara Sengketa Pemilukada Dari

Mahkamah Konstitusi ke Luar Mahkamah Konstitusi...………..59

(12)

xii

BAB V: PENUTUP

A.

Kesimpulan

………....

67

B.

Saran

………..

.69

DAFTAR PUSTAKA

………...

71

(13)
(14)
(15)
(16)
(17)
(18)
(19)
(20)
(21)
(22)
(23)
(24)
(25)
(26)
(27)
(28)
(29)
(30)
(31)
(32)
(33)
(34)
(35)
(36)
(37)
(38)
(39)
(40)
(41)
(42)
(43)
(44)
(45)
(46)
(47)
(48)
(49)
(50)
(51)
(52)
(53)
(54)
(55)
(56)
(57)
(58)
(59)
(60)
(61)
(62)
(63)
(64)
(65)
(66)
(67)
(68)
(69)
(70)
(71)
(72)
(73)
(74)
(75)
(76)
(77)
(78)
(79)
(80)
(81)
(82)
(83)
(84)
(85)
(86)

Jumlah Dalam Jumlah UU

Kabul Tolak Tidak Diterima Tarik Kembali Gugur Putusan Proses yang Diuji

2003

24

0

0

3

1

4

20

16

2004

47

11

8

12

4

35

12

14

2005

37

10

14

4

0

28

9

12

2006

36

8

8

11

2

29

7

9

2007

37

4

11

7

5

27

10

12

2008

46

10

12

7

5

34

12

18

2010

120

17

23

16

5

61

59

58

2011

145

21

29

35

9

94

51

55

2012

169

30

31

30

6

97

72

0

2013

181

22

52

23

13

110

71

64

2014

211

29

41

43

18

131

80

71

Jumlah

1053

162

229

191

68

0

650

403

329

Jumlah Dalam Jumlah UU

Kabul Tolak Tidak Diterima Tarik Kembali Gugur Putusan Proses yang Diuji

2008

27

3

12

3

0

0

18

2009

12

1

10

1

0

0

12

2010

230

26

149

45

4

0

224

2011

138

13

87

29

2

0

131

2012

112

11

57

27

8

1

104

2013

200

14

132

42

6

2

196

6

2014

13

0

9

4

0

0

13

Jumlah

732

68

456

151

20

3

698

6

0

*Sumber: http//:www.mahkamahkonstitusi.go.id

Amar Putusan

Tahun Jumlah

Amar Putusan

Tahun Jumlah

REKAPITULASI PERKARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG

(87)

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

IkhtIsar Putusan

PErkara nOMOr 97/Puu-XI/2013

tEntanG

InkOnstItusIOnaLItas kEWEnanGan MahkaMah

kOnstItusI untuk MEnYELEsaIkan PErsELIsIhan hasIL

PEMILIhan uMuM kEPaLa DaErah

Pemohon : 1. Victor Santoso Tandiasa, SH., Ryan Muhammad, SH., Okta Heriawan, SH., (bertindak dan untuk atas nama Forum Kajian Hukum Dan Konstitusi, sebagai Pemohon i); 2. Kurniawan, Danny Dzul Hidayat, Landipa Nada Atmaja

(bertindak dan untuk atas nama Badan Ekesekutif Mahasiswa Fakultas Hukum universitas Esa unggul, sebagai Pemohon ii);

3. Achmad Saifudin Firdaus, Lintar Fauzi (bertindak dan untuk atas nama Gerakan Mahasiswa Hukum Jakarta, sebagai Pemohon iii);

Jenis Perkara : Pengujian undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (uu 12/2008) dan undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (uu 48/2009) terhadap uuD 1945.

Pokok Perkara : - Pasal 236Cuu 12/2008, mengenai, “Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan”.

(88)

Ikhtisar Putusan Mahkamah Konstitusi periode 2013 80

Republik Indonesia Tahun 1945; b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; c. memutus pembubaran partai politik; d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan e. kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang”.

bertentangan dengan pasal-pasal uuD 1945, yakni:

- Pasal 1 ayat (3) uuD 1945 mengenai, “Negara Indonesia ialah negara hukum”;

- Pasal 22E ayat (2) uuD 1945 mengenai, “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakialn Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”;

- Pasal 24C ayat (1) uuD 1945 mengenai, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang pututsannya bersifat inal untuk menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar, emmutus sengketa kewenanganlembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.

amar Putusan : Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;

tanggal Putusan : Senin, 19 Mei 2014.

Ikhtisar Putusan :

(89)

Ikhtisar Putusan Mahkamah Konstitusi periode 2013 81

dan konstitusionalisme indonesia dengan melakukan kegiatan kajian serta gerakan pemantauan terhadap penyimpangan yang terjadi dalam proses pelaksanaan nilai konstitusionalisme uuD 1945.

Mengenai Kewenangan Mahkamah, oleh karena permohonan para Pemohon adalah mengenai pengujian undang-undang terhadap undang-undang Dasar yakni uu 12/2008 dan uu 48/2009, Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan para Pemohon sesuai dengan kewenangan Mahkamah berdasarkan Pasal 24C ayat (1) uuD 1945, Pasal 10 ayat (1) undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan undang-undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 (uu MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a uu 48/2009.

Mengenai kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon, bahwa Pemohon i adalah badan hukum publik, Pemohon ii dan Pemohon iii adalah kelompok atau organisasi yang memiliki hak konstitusional dan diatur uuD 1945, dalam hal ini telah dirugikan dengan berlakunya uu 28/2009, sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) uu MK dan Putusan Mahkamah Nomor 006/Puu-iii/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Nomor 11/Puu-V/2007 bertanggal 20 September 2007 mengenai syarat kerugian konstitusional bagi para Pemohon.

(90)

Ikhtisar Putusan Mahkamah Konstitusi periode 2013 82

Kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutus perselisihan hasil pemilihan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C ayat (1) uuD 1945, harus dikaitkan makna pemilihan umum dalam Pasal 22E uuD 1945 yang secara khusus dengan mengatur mengenai pemilihan umum. Paling tidak terdapat empat prinsip mengenai pemilihan umum dalam Pasal 22E uuD 1945, yaitu: i) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali, ii) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden dan Wakil Presiden, serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), iii) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik dan pemilihan umum untuk memilih anggota DPD adalah perorangan, dan iv) Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Berdasarkan ketentuan Pasal 22E uuD 1945 tersebut, dengan menggunakan penafsiran sistematis dan

original intent, yang dimaksud pemilihan umum menurut uuD 1945 adalah pemilihan

yang dilaksanakan sekali dalam setiap lima tahun untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta DPRD. Oleh karena itu, sudah tepat ketentuan Pasal 74 ayat (2) uu MK yang menegaskan bahwa perselisihan hasil pemilihan umum yang menjadi kewenangan Mahkamah yaitu perselisihan hasil pemilihan umum anggota DPR, DPRD, DPD, serta Presiden dan Wakil Presiden.

Jika berdasarkan kewenangannya, pembentuk undang-undang menentukan pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD maka tidak relevan kewenangan Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi untuk mengadili perselisihan hasil pemilihan kepala daerah. Hal itu membuktikan pula bahwa memang pemilihan kepala daerah itu bukanlah pemilihan umum sebagaimana dimaksud Pasal 22E uuD 1945. Demikian juga halnya walaupun pembentuk undang-undang menentukan bahwa pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat, tidak serta merta penyelesaian perselisihan hasil pemilihan kepala daerah harus dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Logika demikian semakin memperoleh alasan yang kuat ketika pemilihan kepala desa yang dilakukan secara langsung oleh rakyat.

Bahwa pengalihan penyelesaian perselisihan hasil pemilihan kepala daerah dari Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konstitusi bermula dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-73/Puu-ii/2004, tanggal 22 Maret 2005. Dalam halaman 114, angka 6 putusan tersebut, Mahkamah mempertimbangkan, antara lain, sebagai berikut,

Sebagai akibat (konsekuensi) logis dari pendapat Para Pemohon yang menyatakan

(91)

Ikhtisar Putusan Mahkamah Konstitusi periode 2013 83

langsung itu merupakan perluasan pengertian Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E UUD 1945 sehingga karena itu, perselisihan mengenai hasilnya menjadi bagian dari kewenangan Mahkamah Konstitusi dengan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Namun pembentuk undang-undang juga dapat menentukan bahwa Pilkada langsung itu bukan Pemilu dalam arti formal yang disebut dalam Pasal 22E UUD 1945 sehingga perselisihan hasilnya ditentukan sebagai tambahan kewenangan Mahkamah Agung sebagaimana dimungkinkan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang”.

Meskipun dalam pertimbangan putusan tersebut di atas Mahkamah tidak secara tegas menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung termasuk dalam kategori pemilihan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E ayat (2) uuD 1945, namun Mahkamah memberi ruang kepada pembentuk undang-undang untuk memperluas makna pemilihan umum sebagaimana diatur dalam Pasal 22E uuD 1945 dengan memasukkan pemilihan kepala daerah. Dalam putusan Mahkamah tersebut, terdapat tiga hakim konstitusi yaitu H.M. Laica Marzuki, A. Mukthie Fadjar dan Maruarar Siahaan memberikan dissenting opinion (pendapat berbeda) yang memasukkan pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat sebagai bagian dari rezim hukum pemilihan umum.

Di samping itu, sebagaimana telah menjadi pendirian Mahkamah dalam pertimbangan putusannya Nomor 1-2/Puu-Xii/2014, tanggal 13 Februari 2014, kewenangan lembaga negara yang secara limitatif ditentukan oleh uuD 1945 tidak dapat ditambah atau dikurangi oleh undang-undang maupun putusan Mahkamah karena akan mengambil peran sebagai pembentuk uuD 1945. Dengan demikian, menurut Mahkamah, penambahan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengadili perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah dengan memperluas makna pemilihan umum yang diatur Pasal 22E uuD 1945 adalah inkonstitusional.

(92)

Ikhtisar Putusan Mahkamah Konstitusi periode 2013 84

Menimbang bahwa meskipun dalam putusan ini, Mahkamah tidak berwenang mengadili dan memutus perselisihan hasil pemilihan kepala daerah, namun tidaklah berarti bahwa segala putusan Mahkamah mengenai perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah sejak tahun 2008 yang dilakukan berdasarkan kewenangan yang diatur dalam uu 12/2008 serta uu 48/2009, menjadi batal dan tidak berkekuatan hukum mengikat. Berdasarkan Pasal 47 uu MK yang menyatakan, “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum”, sehingga semua putusan Mahkamah mengenai sengketa pemilihan umum kepala daerah adalah tetap sah. Selain itu, undang-undang yang diundangkan secara sah, berdasarkan prinsip “presumptio iustitia causa”, harus dinyatakan benar, valid dan berlaku sah sepanjang tidak dicabut oleh pembentuknya atau dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah. Demikian juga segala keputusan yang telah diterbitkan atau tindakan yang telah dilakukan berdasarkan alasan hukum yang sah, harus dinyatakan sah dan valid sampai dinyatakan dicabut atau dibatalkan oleh pejabat atau lembaga yang berwenang.

Berdasarkan perimbangan hukum di atas, Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya.

1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;

1.1 Pasal 236C undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik indonesia Nomor 4844) dan Pasal 29 ayat (1) huruf e undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik indonesia Nomor 5076) bertentangan dengan undang-undang Dasar Negara Republik indonesia Tahun 1945;

1.2 Pasal 236C undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik indonesia Nomor 4844) dan Pasal 29 ayat (1) huruf e undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik indonesia Nomor 5076) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

2. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah selama belum ada undang-undang yang mengatur mengenai hal tersebut;

(93)

Ikhtisar Putusan Mahkamah Konstitusi periode 2013 85

Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion)

Secara jelas Mahkamah telah memberi tafsir bahwa terkait mekanisme Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah merupakan pilihan kebijakan pembuat undang-undang (opened legal policy), sesuai Pertimbangan Hukum Putusan Nomor 72-73/ Puu-ii/2004. Artinya, pembuat undang-undang dapat memasukkan Pilkada sebagai rezim Pemilu atau bukan. Dalam perkembangan selanjutnya, ternyata pembuat uu memilih memasukkan Pilkada pada rezim Pemilu. Hal tersebut terlihat dengan lahirnya undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu (uu 22/2007).

Dalam Pasal 1 angka 4 UU 22/2007 dengan tegas mendeinisikan pemilihan kepala

daerah secara langsung sebagai pemilihan umum kepala daerah atau lazim disingkat Pemilukada. Dengan demikian, maka Pilkada langsung adalah Pemilu, yang itu berarti masuk dalam ranah pengaturan dasar Pasal 22E uuD 1945. Pilihan memasukkan Pilkada ke dalam rezim Pemilu lebih dipertegas lagi dengan diterbitkannya uu 12/2008. Dengan demikian, ketentuan Pasal 236C uu 12/2008 tersebut tidak seketika ada, tetapi merupakan praktek ketatanegaraan panjang yang bermula dari Putusan Mahkamah Nomor 72-73/Puu-ii/2004. Karena bermula dari Putusan Mahkamah, maka seyogyanya Mahkamah dalam perjalanannya juga mengawal pelaksanaan dari putusan tersebut. Artinya tetap menyerahkan kebijakan tersebut kepada pembentuk undang-undang

(opened legal policy) tanpa harus membuat tafsir baru yang akan mengambil peran

dari pembentuk undang-undang.

Terhadap dalil Pemohon yang mempertanyakan original intent dari Pasal 24C uuD 1945 yang secara nyata tidak memasukkan penanganan sengketa Pemilukada sebagai bagian dari kewenangan Mahkamah. Saya berpendapat Mahkamah tidak wajib berpegang pada original intent semata dalam memutus suatu perkara. Dengan demikian, saya berpendapat menyatakan menolak seluruh permohonan Pemohon.

Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion)

Bahwa maksud dari permohonan para Pemohon yang berkeinginan untuk menyatakan penyelesaian PHPu Kada bukan merupakan kewenangan MK untuk menyelesaikannya, karena tidak diatur dalam uuD 1945 melalui pengujian materiil Pasal 236C uu 12/2008 dan Pasal 29 ayat (1) huruf e uu 48/2009, menurut saya adalah hal yang tidak tepat, sebab kedua norma tersebut, bukan merupakan dasar kewenangan Mahkamah yang utama, untuk memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa PHPu Kada. Bahwa Pasal 236C uu 12/2008, pada prinsipnya hanyalah memuat norma yang bersifat administratif semata, yaitu pengalihan sengketa PHPu Kada oleh Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak berlakunya uu 12/2008.

(94)

Ikhtisar Putusan Mahkamah Konstitusi periode 2013 86

hasil pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah secara hukum menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C uuD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf d uu MK, dan Pasal 12 ayat (1) huruf d uu 4/2004. Hal tersebut diatur lebih lanjut dalam Pasal 236C uu 12/2008. Dengan demikian, perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah secara hukum merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi;”

Bahwa dengan adanya frasa “dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan”, Mahkamah harus menjawab apakah diperlukan suatu tindakan hukum untuk pengalihan kewenangan dimaksud sebelum berakhirnya tenggat yang ditetapkan, tetapi apabila peralihan tersebut dilakukan sebelum berakhirnya tenggat yang ditetapkan, perlu ada suatu tindakan hukum pengalihan penanganan perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi secara nyata. Konsekuensi yurudisnya, jika tidak ada tindakan hukum pengalihan, maka pengalihan kewenangan tersebut menurut Mahkamah, terjadi dengan sendirinya (demi hukum) setelah habis tenggat 18 (delapan belas) bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 236C uu 12/2008. Oleh karena tindakan hukum yang demikian hingga saat ini belum ada, maka kewenangan tersebut belum secara efektif beralih ke Mahkamah.

Demikian pula untuk pengujian konstitusionalitas Pasal 29 ayat (1) huruf e uu 48/2009, juga bukanlah merupakan norma yang memberikan dasar kewenangan bagi Mahkamah dalam memutus sengketa pemilukada, melainkan norma yang merujuk kepada uu lain, yaitu uu Nomor 22/2007 yang telah mengubah paradigma bahwa pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak lagi masuk rezim Pemda akan tetapi masuk ke dalam rezim hukum pemilihan umum, sehingga memberikan dasar kewenangan kepada Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa PHPu Kada.

(95)

Ikhtisar Putusan Mahkamah Konstitusi periode 2013 87

apabila Pilkada dilakukan secara langsung dan menggunakan asas-asas Pemilu, maka berarti menjadi bagian dari rezim pemilu. Ditambah lagi bahwa Pilkada yang dilakukan secara langsung tersebut, juga menggunakan instrumen organ penyelenggara Pemilu yaitu komisi pemilihan umum sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (5) uuD 1945. Perdebatan akan masuknya pemilihan kepala daerah yang dilakukan secara langsung tersebut merupakan bagian dalam rezim Pemilu ataukah masuk ke dalam rezim pemerintahan daerah tak terelakkan. Hingga akhirnya Mahkamah Konstitusi di dalam Putusan Nomor 072-073/Puu-ii/2004 secara jelas mempertimbangkan dalam halaman 109 alinea kedua dan ketiga menyatakan:

Bahwa ternyata dalam menjabarkan maksud “dipilih secara demokratis” dalam Pasal 18 ayat (4) uuD 1945 pembuat undang-undang telah memilih Pilkada secara langsung, maka menurut Mahkamah sebagai konsekuensi logisnya, asas-asas penyelenggaraan pemilihan umum harus tercermin dalam penyelenggaraan Pilkada yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber-jurdil) yang

diselenggarakan oleh lembaga yang independen. Dari pertimbangan tersebut di

atas telah nyata bahwa sesungguhnya kebijakan untuk menerapkan Pasal 18 ayat (4) uuD 1945 khususnya frasa “dipilih secara demokratis” bagi kepala daerah (Gubernur, Bupati, dan Walikota) adalah merupakan opened legal policy bagi pembentuk undang-undang. Dengan demikian pemilihan kepala daerah yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung, menjadi bagian dari kewenangan pembentuk uu untuk menentukannya.

(96)

Ikhtisar Putusan Mahkamah Konstitusi periode 2013 88

sebagai dasar kewenangan Mahkamah dalam memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa pemilukada, melainkan juga merujuk kepada peraturan perundang-undangan lain sebagaimana telah diuraikan di atas.

Bahwa sejak tahun 2008 hingga tahun 2014 Mahkamah telah menerima dan memutus PHPu Kada sebanyak 689 perkara. Sebanyak itu pulalah Mahkamah secara konsisten menyatakan dalam putusannya berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara PHPu Kada. Adalah sungguh sebuah kenaifan jikalau dalam perkara a quo Mahkamah justru menyatakan bahwa “Pasal 236C uu 12/2008 serta Pasal 29 ayat (1) huruf e UU 48/2009 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat”, padahal di sisi lain, Mahkamah telah beratus kali menyatakan dirinya berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara PHPu Kada. Keberadaan pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji pun menjadi bagian yang selalu dipertimbangkan oleh Mahkamah dan dihubungkan pula dengan Pasal 24C ayat (1) uuD 1945 dalam setiap putusan PHPu Kada. Artinya, pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji adalah konstitusional. Bahwa apabila Mahkamah menyatakan diri tidak berwenang mengadili sengketa Pemilu Kada dengan pertimbangan tidak diatur dalam Pasal 24C ayat (1) uuD 1945, seharusnya hal tersebut dinyatakan sejak pertama kali menerima permohonan penyelesaian sengketa Pemilu Kada pada tahun 2008, sebab hal tersebut menyangkut kewenangan mutlak yang dapat membawa akibat hukum tersendiri.

Berdasarkan seluruh uraian di atas, saya berpendapat bahwa pokok permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum dan Mahkamah harus menyatakan permohonan Pemohon ditolak.

Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion)

(97)

Ikhtisar Putusan Mahkamah Konstitusi periode 2013 89

parpol; (4) penyelenggara, yaitu bahwa pemilu diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum, yang dalam aras undang-undang lembaga penyelenggara tersebut nomenklaturnya juga Komisi Pemilihan umum (KPu) yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.

Selain unsur-unsur tersebut, Pasal 22E ayat (6) uuD 1945 mengamanatkan supaya ketentuan konstitusional tersebut diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Dengan perkataan lain, pembentuk undang-undang, dalam hal ini DPR dan Presiden, diberikan ruang kebijakan yang sangat luas (opened legal policy) untuk mengatur secara teknis penyelenggaraan pemilu. Dengan demikian, pemilu adalah sistem dan mekanisme rekrutmen dalam pengisian jabatan sebagai anggota lembaga perwakilan dan pemimpin pemerintah negara demokrasi konstitusional (constitutional democratic state) Republik indonesia. Kepala daerah adalah pemimpin pemerintah dalam skala dan dengan ruang lingkup wilayah tertentu yang disebut daerah, baik daerah provinsi (regional government), daerah kabupaten, atau kota (local government) sebagaimana ditentukan oleh Pasal 18 uuD 1945. itulah sistem dan mekanisme yang disebut pemilu berdasarkan Pasal 22E uuD 1945.

Pemilihan kepala daerah secara langsung dalam perspektif yang lebih luas, yaitu dalam perspektif paradigmatik sistem dan mekanisme rekrutmen pengisian jabatan dapat dikonstruksikan sebagai pemilu. Sebagai sistem dan mekanisme rekrutmen pengisian jabatan kepala daerah, di dalamnya terdapat beberapa subjek dan bagian yang kait mengait satu sama lainnya dalam proses pemilihan yang sama dengan pemilu dengan tujuan, antara lain, terpilihnya pemimpin pemerintah. Oleh karena itu, sistem dan mekanisme pemilihan kepala daerah adalah pemilu sebagaimana dimaksud Pasal 22E uuD 1945.

Oleh karena sistem dan mekanisme rekrutmen pengisian kepala daerah adalah pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E maka perselisihan hasil pemilihan kepala daerah berdasarkan uraian di atas adalah perselisihan hasil pemilu (PHPu). Perselisihan hasil sebagai sesuatu permasalahan sistem harus dapat diselesaikan. untuk itu haruslah ada forum yang menyelesaikannya. PHPu adalah perselisihan hukum konstitusi terkait dengan pemilu sebagai mekanisme dalam pelaksanaan hak konstitusional di bidang politik, khusunya hak untuk memilih (right to vote) dan hak untuk dipilih (right to be voted or to be candidate). Mahkamah Konstitusi merupakan penyelenggara peradilan sebagai forum penyelesaian perselisihan dengan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan konstitusi. Oleh karena itu berdasarkan Pasal 24C ayat (1) maka Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili PHPu kepala daerah dan dengan demikian maka permohonan Pemohon seharusnya ditolak.

(98)

Ikhtisar Putusan Mahkamah Konstitusi periode 2013 90

mengajukan permohonan a quo; dan (iii) Pokok permohonan beralasan menurut hukum untuk sebagian dengan demikian Mahkamah menyatakan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.

Panitera Pengganti,

ttd.

Referensi

Dokumen terkait

Terakhir yakni lewat pengesahan Undang-undang Cipta Kerja yang diharapkan dapat berkontribusi untuk memperbaiki tata kelola perkebunan kelapa sawit di Indonesia agar lebih

Simpulan dari penelitian tindakan ini adalah Penerapan Metode Pembelajaran Cooperative Learning Dapat Meningkatkan Keaktifan Siswa dan hasil belajar siswa Kelas V

Hurricane terbentuk paling sering pada akhir musim panas ketika temperatur permukaan laut mencapai 27°C atau lebih tinggi dan mampu untuk memasok kalor dan uap air yang

Sekolah teologi merupakan karakteristik khusus dari Gereja Kemah Injil Indonesia yang dibuat untuk mendidik hamba-hamba Tuhan dalam menunjang strategi pekabaran Injil yang

Peperangan yang kaya akan strategi menjadi hiburan yang menjanjikan keseruan, sehingga tidak aneh mereka yang memainkan video game ini membutuhkan waktu yang panjang,

Berdasarkan gambar di atas, menunjukkan bahwa hasil pengukuran kadar HDL pada mencit setelah diberi pakan diet tinggi lemak selama 28 hari, kemudian diberi perlakuan selama

1. Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Universitas Gajah Mada. Universitas Sumatera Utara.

Sedangkan tanah (soil) berarti bahan atau material di permukaan atau di bawah permukaan yang menyusun dan membentuk lahan di permukaan bumi. Berdasarkan pengertian tersebut,