Dalam penulisan skripsi ini penulis memilih judul “Peranan Keluarga Terhadap Perkembangan Kecerdasan Emosional Anak”. Keluarga merupakan kesatuan hidup bersama yang pertama dikenal oleh anak. Oleh karena itu keluarga disebut sebagai ”Primary Community”, yaitu sebagai lingkungan pendidikan yang pertama dan utama.
Melalui berbagai penelitian dan kajian, diketahui bahwa bagi seorang anak, keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi pertumbuhan dan perkembangannya. Fungsi utama keluarga adalah sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh dan mensosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasaan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga sejahtera. Apabila keluarga gagal melakukan pendidikan karakter pada anak-anaknya, maka akan sulit bagi institusi-institusi lain di luar keluarga (termasuk sekolah) untuk memperbaikinya. Berbagai problema akhlak atau emosional yang dihadapi para pemuda, seperti narkotika, penyimpangan seksual, tidak disiplin, lari dari rumah, egois dan berbagai problema lainnya secara langsung bersumber dari pendidikan yang salah dari kedua orang tuanya atau orang tua yang tidak peduli terhadap pendidikan anak-anaknya.
Dari kecil anak dipelihara dan dibesarkan oleh dan dalam keluarga. Segala sesuatu yang ada dalam keluarga, baik yang berupa benda-benda dan orang-orang serta peraturan-peraturan dan adat istiadat yang berlaku dalam keluarga itu sangat berpengaruh dan menentukan corak perkembangan anak-anak. Bagaimana cara mendidik yang berlaku dalam keluarga itu, demikianlah cara anak itu mereaksi terhadap lingkungannya.
Keluarga sebagai suatu faktor dasar dalam pembentukan kepribadian anak dimana anak akan menyerap seluruh pengalaman yang ditangkap inderanya tanpa seleksi, pengalaman itu tidak akan hilang dan akan membentuk pola kepribadian.
Muhammad SAW, keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan para pengikutnya yang setia hingga hari pembalasan.
Salah satu sarat untuk menyelesaikan studi dan mencapai gelar sarjana Strata Satu (S-1) di Perguruan Tinggi termasuk di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta adalah membuat karya tulis ilmiah dalam bentuk skripsi. Dalam rangka itulah penulis membuat skripsi ini dengan judul :”PERANAN KELUARGA TERHADAP PERKEMBANGAN KECERDASAN EMOSIONAL ANAK”.
Selama pembuatan skripsi ini tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang dihadapi dan dialami penulis, baik yang menyangkut segi pengaturan waktu, pengumpulan bahan (data) maupun masalah pembiayaan dan lain sebagainya. Namun, berkat hidayah,’inayah Allah SWT dan dengan usaha yang sungguh-sungguh disertai dorongan dan bantuan berbagai pihak, maka segala kesulitan dan hambatan itu dapatdiatasi dengan sebaik-baiknya.Oleh karena itu, penulis merasa wajib memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, Yang Maha Agung dan mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga serta menyampaikan penghargaan yang setinggi-tigginya kepada semua pihak yang telah membantu atas terselesaikannya skripsi ini; terutama kepada Dr.Sururin, MA. yang telah membimbing dan mengarahkan serta memberikan petunjuk-petunjuk dan nasihat-nasihat yang berharga kepada penulis.
Selanjutnya, ucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis sampaikan pula kepada:
1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Ketua dan Sekretaris Jurusan PAI, FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4. Ibu Dr. Sururin, M.A. selaku dosen pembimbing yang dengan bimbingan dan kesabarannya meluangkan waktu dan pikiran, perhatian serta arahan untuk membimbing skripsi ini
5. Bapak Dr. Abdul Fattah Wibisono, M.A. selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama perkuliahan berlangsung
6. Pimpinan dan seluruh staff administrasi Perpustakaan Utama, Perpustakaan FITK yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk meluangkan waktu dengan membaca dan meminjamkan buku-buku kepada penulis yang digunakan sebagai referensi yang berkaitan dengan skripsi ini
7. Ayah ibuku tercinta dan tersayang, yang selalu mencurahkan doa, perhatian dan kasih sayangnya setiap saat
8. Teman-teman PAI se-angkatan (2006), khususnya kelas A dan SEJARAH yang telah memberikan semangat, masukan dan saran bagi penulis sehingga selesainya skripsi ini. Pastikan tali silaturahim kita tetap terjalin sampai akhir hayat
9. Teman-teman yang telah meminjamkan referensi-referensi yang terkait dengan skripsi ini, diantaranya Rahmah Khairunnisa, Railla Rafika, Zam-Zam Firdaus, Kholidatunnur “Younk”. Sukses selalu untuk kalian.
10.Kakak-kakak senior. Kak Miratul Hayati yang telah membimbing proposal skripsi saya secara non-teknis, perhatiannya sangat berarti untuk penulis. Kak Khairona Agustina yang telah meminjamkan banyak referensi untuk perkuliahan
11.Bapak dan ibu jamal selaku pemilik kost. Terima kasih atas sarana dan pra-sarananya sehingga memudahkan penulis untuk berangkat dan pulang dari kampus tanpa harus jauh-jauh ke rumah
14.Dan semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu penulisan skripsi ini.
Hanya harapan dan do’a semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda kepada semua pihak yang telah berjasa dalam membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Akhirnya kepada Allah jualah penulis serahkan segalanya dalam mengharapkan keridhoan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi masyarakat umumnya dan bagi penulis, khususnya keluarga, anak dan keturunan penulis kelak. Amien
Jakarta, 03 Agustus 2010
Penulis
ABSTRAK ... ...i
KATA PENGANTAR ... ..ii
DAFTAR ISI ... ..v
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………...………….……….……..1
B. Identifikasi Masalah………...………..6
C. Pembatasan Masalah………...……….7
D. Perumusan Masalah………...………….……...7
E. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian ………...…….…………7
2. Manfaat Penelitian………...………8
F. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian……….…………...………8
2. Sumber Data……….………..……….………8
3. Metode Pengolahan Data……….………9
4. Metode Penulisan………...10
5. Sistematika Penulisan……….10
BAB II KELUARGA A. Pengertian Keluarga……….………...…………...12
B. Tujuan Berkeluarga……….…………...………16
C. Fungsi dan Peranan Keluarga 1. Fungsi Keluarga………...………...….………..16
2. Peranan Keluarga………...………19
3. Peranan Keluarga Bagi Pendidikan Anak…………...…………...20
B. Ranah Kecerdasan Emosional Menurut
Goleman……….………....….….…..26 C. Ranah Kecerdasan Emosional Menurut Howard
Gardner………..………...….…….31 D. Perbandingan Kecerdasan Emosional Menurut Daniel Goleman dan
Howard Gardner; Sebuah Analisis………..……..….32 E. Kecerdasan Emosional Melengkapi Kecerdasan Intelektual…………...33 F. Fungsi Emosi Sebagai Pengembangan Intelektual………35
BAB IV KETERKAITAN ANTARA KELUARGA DENGAN KECERDASAN EMOSIONAL ANAK
A. Keluarga Sebagai Wahana Pertama dan Utama Pendidikan Karakter
Anak………..………...…..………..39 B. Aspek-Aspek Penting dalam Pendidikan Karakter Anak……..…...……41 C. Pola Asuh Menentukan Keberhasilan Pendidikan Karakter Anak dalam
Keluarga ………..………..…………42 D. Pengaruh Lingkungan Keluarga Terhadap Pendidikan Anak-Anak……...47
BAB V UPAYA-UPAYA UNTUK MENGEMBANGKAN KECERDASAN EMOSIONAL ANAK
A. Peran Orang Tua………50
B. Peran Lingkungan Keluarga………..64
BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan……….….………..68
B. Saran……….….………68
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu Pendidikan Agama Islam pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Jurusan Pendidikan Agama Islam pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Jurusan Pendidikan Agama Islam pada fakultas Ilmu Tarbiiyah dan Keguruan di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, Agustus 2010
Aditya Ramadhan NIM: 106011000028
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keluarga merupakan kesatuan hidup bersama yang pertama dikenal oleh
anak. Oleh karena itu keluarga disebut sebagai “Primary Community”, yaitu
sebagai lingkungan pendidikan yang pertama dan utama.1
Keluarga disebut sebagai lingkungan pertama karena dalam keluarga
inilah anak pertama kalinya mendapatkan pendidikan dan bimbingan. Dan
keluarga disebut sebagai lingkungan pendidikan yang utama karena sebagian
besar hidup anak berada dalam keluarga, maka pendidikan yang paling banyak
diterima oleh anak ialah di dalam keluarga.
Tetapi banyak orang tua yang tidak menyadari hal ini. Para orang tua
menyerahkan pendidikan anak sepenuhnya kepada sekolah atau pesantren.
Mereka menganggap lembaga-lembaga itu seperti bengkel ketok magic yang dapat menyulap anak bengal menjadi insan shaleh dalam hitungan jam. Orang
tua banyak yang beranggapan bahwa anak penyejuk mata dan jiwa itu seperti
fast food yang dapat dipesan antar, yang penting orang tua punya uang untuk itu. Sebagian orang tua lupa, bahwa anak penyejuk mata dan jiwa itu adalah hasil
dari sebuah proses pembentukan yang berkesinambungan. Jika di sekolah
anak-anak diajari nilai-nilai Islam, maka setiba di rumah seringkali nilai-nilai itu
dilunturkan oleh kenyataan bahwa orang tuannya sendiri tidak shalat dan tidak
menunjukkan nilai-nilai Islam.2 Orang tua zaman sekarang yang pada umumnya
pasangan suami-istri yang berkarier atau bekerja dari pagi hingga malam,
beranggapan bahwa untuk mengembangkan pribadi anak dengan mendidik dan
mengajar serta memperbaiki dan memperhalus tingkah laku anak didik ialah
tugas utama guru atau ustadz di sekolah maupun pesantren.
Hal itu tidaklah salah, tetapi perlu diluruskan. Sebelum menyerahkan
pendidikan sepenuhnya kepada sekolah, orang tua harus “membentuk karakter”
anak di dalam keluarga. Orang tua harus menanamkan nilai-nilai agama,
perilaku terpuji, kedisiplinan dan bagaimana bersikap terhadap orang yang lebih
tua atau guru dan teman sebaya. Di samping memberikan pengajaran, yang
paling terpenting ialah memberikan keteladanan. Percuma kalau anak diajarkan
akhlak terpuji tetapi orang tuanya berakhlak buruk, tak akan berpengaruh jika
anak diajarkan setiap pagi harus bangun pukul setengah lima tetapi orang tuanya
tidak pernah sholat shubuh bahkan kesiangan. Teladan ini melahirkan gejala
identifikasi positif, yakni penyamaan diri dengan orang yang ditiru dan hal ini
penting sekali dalam rangka pembentukan kepribadian.3 Pengaruh orang tua
sangat penting bagi anak. Pengkhianatannya atas amanat akan menjadi
kejahatan yang panjang. Seorang anak datang ke dunia dengan hati yang bersih
dan fitrahnya selalu menghadap kepada agama yang benar. Kemudian orang
tuanya melakukan tindak pengrusakan terhadap fitrahnya dengan mencabut
benih-benih iman dari hatinya dan menanamkan penyakit dan kedengkian di
dalam jiwanya.4
Imam Ibnul Qayim berkata, “Berapa banyak orang yang mencelakakan
anaknya di dunia dan akhirat dengan menyia-nyiakan pendidikannya dan
2 Muhammad Rasyid Dimas, 25
Cara Mempengaruhi Jiwa&Akal Anak,( Pustaka Al‐ Kautsar : Jakarta,2006), hal. X
3 Hasbullah, Dasar‐
Dasar Ilmu Pendidikan, (PT Raja Grafindo Persada : Jakarta,2006), hal. 42
4 Dr.Anas Ahmad Karzun, Anak
membantunya mengikuti syahwat. Namun demikian, mereka tetap berpikir
bahwa dirinya telah memuliakan anaknya. Padahal dia telah merendahkannya.
Mereka berpikir bahwa dirinya telah menyayanginya. Padahal mereka telah
berbuat zalim kepadanya. Oleh karena itu, mereka tidak akan mendapatkan
manfaat dari anaknya, baik di dunia maupun di akhirat. Jika engkau menemukan
kerusakan pada anak-anak, maka sebagian besar penyebabnya adalah orang
tua.”5
Salah satu fungsi keluarga ialah fungsi sosialisasi, yaitu fungsi keluarga
dalam membentuk kepribadian anak. Melalui interaksi sosial dalam keluarga,
anak mempelajari pola-pola tingkah laku, sikap, keyakinan, cita-cita dan
nilai-nilai dalam masyarakat dalam rangka perkembangan kepribadiannya.6
Tapi saat ini, banyak orang tua yang cukup puas dan senang ketika
anak-anaknya mendapat nilai akademik yang bagus, tetapi tak cukup peduli terhadap
sikap dan tingkah laku anak di luar rumah. Apakah anak sudah mengaplikasikan
nilai-nilai kejujuran, konsisten, memiliki komitmen, dapat menjalin hubungan
sosial dengan orang lain, berintegritas tinggi, berpikiran terbuka, memiliki
kepercayaan diri, adil, empati, sabar, bijaksana, rasa semangat dan lain
sebagainya ? Berdasarkan hasil survey di AS tentang IQ, ternyata ditemukan
sebuah paradoks yang membahayakan. Skor IQ anak-anak makin tinggi,
kecerdasan emosi mereka justru menurun.7 Hal ini juga terjadi di Indonesia,
banyak anak-anak pintar dan cerdas tapi mereka lebih mudah depresi, lebih
cepat putus asa dan mudah marah. Jika kita perhatikan fenomena kehidupan
rumah tangga sekarang ini, kita akan menemukan bahwa banyak kedua orang
tua sangat perhatian terhadap kesehatan fisik anak-anak mereka. Jika salah satu
anak mereka terserang penyakit, mereka akan sibuk dan bergegas untuk
mengobatinya. Akan tetapi jika salah satu anak-anak mereka terserang penyakit
dalam akhlak dan perilakunya, mereka tidak terlalu mempedulikannya dan tidak
5 Dr.Anas Ahmad Karzun, Anak
Adalah Amanat, (Qisthi Press :Jakarta, 2006), hal. 4
6 Drs.Alisuf Subri, Ilmu Pendidikan, (CV Pedoman Ilmu Jaya : Jakarta,1999), hal 15 7 Daniel Goleman, Working
merasa sebagai suatu kesalahan. Kemudian keduanya sibuk dengan urusan
masing-masing. Mereka tidak peduli dan tidak menyadari musibah itu.
Disinilah pentingnya peranan keluarga di dalam melatih dan
mengembangkan aspek emosional anak yang akan berpengaruh terhadap sikap
dan tingkah laku anak di dalam maupun di luar rumah. Keluarga, yang di
dalamnya termasuk orang tua dan saudara-saudara yang tinggal satu rumah,
harus menciptakan suasana yang kondusif, edukatif dan menyenangkan agar
anak-anak memiliki mental yang sehat dan emosi yang stabil. Berbeda jika di
rumah tidak terdapat keharmonisan, orang tua selalu bertengkar sehingga
suasana di rumah selalu tegang, pastinya akan berdampak buruk pada mental
dan emosi anak.
Oleh karena itu, nasib seorang anak sampai batas tertentu berada di tangan
kedua orang tuanya, dan ini terkait dengan tingkat pendidikan keduanya, dan
sampai sejauh mana perhatian yang diberikan keduanya dalam mendidik dan
mengajar anak-anaknya. Jika seorang ayah dan ibu benar-benar menunaikan
kewajibannya maka ia telah menjamin kebahagiaan dan masa depan yang cerah
bagi mereka. Di samping itu, mereka juga akan memperoleh keuntungan dengan
memiliki anak-anak seperti ini, dan dengan itu berarti mereka telah melakukan
pelayanan yang besar kepada masyarakat. Karena mereka telah mendidik
individu-individu yang berkualitas dan berguna, dan mempersembahkannya
kepada masyarakat. Dengan demikian, orang tua yang semacam ini akan
mendapat kemuliaan di dunia dan di akhirat.
Sebaliknya jika mereka bersikap lalai dan masa bodoh dalam menunaikan
tanggung jawab besar ini, berarti mereka telah melakukan pengkhianatan dan
tindak kejahatan besar kepada anak-anaknya, karena dengan memberikan
pendidikan yang salah berarti mereka telah menyiapkan berbagai kesengsaraan
bagi anak-anaknya, dan pengkhianatan seperti ini tidak akan dibiarkan tanpa
balasan pada hari akhirat. Di samping itu, akibat dari pendidikan yang buruk
Berbagai problema yang dihadapi para pemuda, seperti penyimpangan
seksual, tidak disiplin dan tidak taat pada peraturan, kecanduan narkotika,
pengangguran, tindak pencurian, tindak kejahatan, bunuh diri, lari dari rumah,
putus asa, resah dan gelisah, tidak mempunyai semangat hidup, mementingkan
diri sendiri, tidak percaya diri, lemah kemauan, egois, merendahkan diri sendiri
dan berpuluh-puluh problema akhlak lainnya yang menimpa para pemuda,
secara langsung bersumber dari pendidikan yang salah dari kedua orang tuanya
atau setidaknya hal ini mempunyai peranan yang besar dalam masalah ini.8
Tiga belas abad yang lalu, John Lock berulang-ulang mengatakan bahwa
“akal anak merupakan halaman-halaman putih yang dapat anda ukir dengan
kebaikan dan belajar”. Berbeda halnya dengan pendidikan dan pengajaran pada
saat dewasa, di dalamnya banyak ditemui kesulitan-kesulitan sebagaimana yang
disebutkan oleh peribahasa, “kucing besar tidak akan dapat terdidik”.9 Sebagian
ayah tidak memperhatikan pendidikan anaknya sejak masih kecil. Dampaknya,
ketika anak-anak menapaki usia remaja, mereka akan sulit dibiasakan kepada
kebaikan, dan mereka justru mudah menjadi manusia-manusia yang
menyimpang. Mereka mudah meninggalkan sholat atau malas melakukannya.
Dia akan bergabung dengan teman-teman yang jahat. Ketika itu ayah baru
menyadari dan ia baru ingin meluruskan penyimpangan itu. Ia berpikir bahwa
dengan satu kata atau satu peringatan, ia akan mampu mengembalikan air ke
salurannya. Namun ternyata, ia berhadapan dengan kenyataaan yang pahit,
karena anaknya justru terus berperilaku menyimpang. Itulah akibat
penyia-nyiaan pendidikan akhlak anak sejak kecil.
Jadi, jelas bahwa pendidikan dan bimbingan anak sejak usia dini
mempunyai pengaruh lebih besar terhadap perkembangan emosional (yang akan
berdampak pada perilaku) anak jika dibandingkan dengan pendidikan pada usia
remaja atau beranjak dewasa. Keluarga sebagai suatu faktor dasar dalam
8 Ibrahim Amini, Agar
Tak Salah Mendidik, (Al‐Huda : Jakarta,2006), hal.112
9 Muhammad Rasyid Dimas, 25
Cara Mempengaruhi Jiwa&Akal Anak,( Pustaka Al‐ Kautsar : Jakarta,2006), hal. 4
pembentukan kepribadian anak dimana anak akan menyerap seluruh
pengalaman yang ditangkap oleh inderanya tanpa seleksi, pengalaman itu tidak
akan hilang dan akan membentuk pola kepribadian. Oleh karenanya, keluarga
menempati urutan pertama dan utama dalam rangka pelaksanaan, pembinaan,
dan pengembangan moral anak. Pendidikan yang diterima anak dari orang
tuanya merupakan dasar dari pembinaan dan pengembangan moral selanjutnya.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merasa tertarik untuk
mengangkat sebuah karya ilmiah dengan judul “ Peranan Keluarga Terhadap
Perkembangan Kecerdasan Emosional Anak”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian di atas, dapat kita ketahui bahwa betapa pentingnya
kontribusi keluarga agar proses perkembangan aspek emosional anak berjalan
sesuai dengan yang kita harapkan. Berdasarkan kenyataan yang ada, maka
alasan saya membahas peran keluarga disebabkan timbulnya beberapa masalah,
antara lain :
a. Tidak adanya kontribusi dari keluarga berpengaruh terhadap
perkembangan kecerdasan emosional anak
b. Kurangnya kesadaran orang tua bahwa keluarga sebagai lingkungan
pendidikan yang utama dan pertama
c. Mayoritas orang tua lebih menekankan IQ daripada EQ
d. Sebagian orang tua belum memberikan keteladanan yang baik sebagai
modal utama pembentukan kepribadian anak
e. Orang tua kurang memperhatikan sikap dan perilaku anak
f. Aspek emosional anak sangat dipengaruhi oleh keadaan dan kondisi
C. Pembatasan Masalah
Agar penulisan skripsi ini mempunyai arah dan tujuan yang jelas, maka
penulis membatasi masalah pada peran keluarga terhadap perkembangan
kecerdasan emosional anak.
a. Peranan keluarga ialah tindakan, kewajiban orang tua terhadap
anaknya baik dalam mendidik, membimbing, melindungi dan
menghidupi dengan cara-cara yang tepat dan kondisi keluarga tempat
si anak tinggal.
b. Kecerdasan emosional ialah kemampuan anak untuk memahami
perasaan dan emosi diri sendiri maupun orang lain, sehingga bisa
berinteraksi dengan baik. Kecerdasan emosi juga melahirkan sifat dan
sikap positif seperti percaya diri, jujur, rendah hati, sabar, empati,
bijaksana dan lain sebagainya.
c. Usia anak dibatasi 3-6 tahun. Karena pada usia ini, proses
perkembangan anak sangat pesat. Menurut Freud, pembentukan
kepribadian dan kecerdasan anak terjadi pada masa lima tahun
pertama. Masa ini merupakan masa peka ketika anak mudah sekali
menerima rangsangan baik dari dalam maupun dari luar dirinya.10
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka dapat
dirumuskan permasalahan pokok, yaitu :
“Bagaimana peranan keluarga terhadap perkembangan emosional anak ?”
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
10 Indra Soefandi dan S.Ahmad Pramudya, Strategi
a. Untuk mengetahui peranan keluarga terhadap perkembangan
kecerdasan emosional anak.
b. Untuk mengetahui upaya-upaya dari keluarga dan orang tua dalam
mengoptimalkan perkembangan emosi anak.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
a. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukkan bagi keluarga
dalam rangka mendidik anak.
b. Dapat memberikan kontribusi dalam rangka mengoptimalkan
pelaksanaan pendidikan karakter di dalam keluarga.
c. Untuk memperluas paradigma berpikir dan khazanah keilmuan dalam
bidang pendidikan Islam di dalam keluarga
F. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Berdasarkan objek penelitian ini, jenis penelitian ini merupakan penelitian
kepustakaan (library research) dengan menggunakan deskriptif analitis, maka
kajian ini murni menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode study
pustaka. Yaitu berusaha mengungkap dan menemukan secara sistematis
berbagai data mengenai peran keluarga sebagai lingkungan pendidikan yang
pertama dan utama di dalam mendidik kecerdasan emosional anak.
2. Sumber Data
Jenis data peneliti kumpulkan dari berbagai sumber teks yang berkaitan
dengan pokok permasalahan (data primer) dan sumber-sumber teks
pendukung (sekunder) yang berkaitan dalam penelitian ini. Untuk sumber data
a. Data Primer (Primary Sources):
1. 25 Cara Mempengaruhi Jiwa&Akal Anak, karangan Muhammad Rasyid Dimas
2. Melejitkan Kecerdasan Emosi (EQ) Buah Hati, karangan Al.Tridhonanto
3. Anak Adalah Amanat, karangan Dr.Anas Ahmad Karzun
4. Melejitkan Kecerdasan Intelektual&Emosional Sang Buah Hati, karangan Dyah Pitaloka, S.Psi
5. Emotional Intelligent Parenting, karangan Amaryllia Puspasari
6. Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis, karangan Drs. M. Ngalim Purwanto, MP.
b. Data Sekunder (Secondary Sources):
Untuk sumber data sekunder, penulis menggunakan buku yang berjudul:
1. Pendidikan Dalam Keluarga, karangan Dr. M.I. Soelaeman
2. Strategi Mengembangkan Potensi Kecerdasan Anak, karangan Drs.Indra Soefandi dan S. Ahmad Pramudya S.E
3. Ilmu Jiwa Agama, karangan Prof. DR. Hj. Zakiah Daradjat 4. EQ Anak VS EQ Orang Tua, karangan Tutu April.A Suseno
3. Metode Pengolahan Data
Metode yang digunakan untuk mengolah data adalah metode deskriptif
yaitu data yang telah dikumpulkan ditelaah dan dikaji secara objektif dan
proporsional untuk kemudian dianalisis secara komprehensif sehingga akan
nampak jelas rincian jawaban atau permasalahan yang dibahas atau dicari
4. Metode Penulisan
Adapun teknik penulisan skripsi ini penulis berpedoman pada buku
“Pedoman Penulisan Skripsi 2007” yang disusun oleh Tim Penyusun Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari enam bab, yang setiap bab
terdiri atas beberapa sub yang saling berkaitan, yaitu :
BAB I, bab ini terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
metodologi penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II, dalam bab ini dijelaskan hal-hal yang berkaitan dengan keluarga
yang terdiri dari pengertian keluarga, tujuan berkeluarga, fungsi dan peranan
keluarga.
BAB III, bab ini menjelaskan tentang kecerdasan emosional yang terdiri
dari pengertian kecerdasan emosional, ranah utama menurut Goleman, ranah
utama menurut Howard Gardner dan kecerdasan emosional melengkapi
kecerdasan intelektual.
BAB IV, bab ini menjelaskan keterkaitan antara keluarga dengan
kecerdasan emosional.
BAB V, bab ini menjelaskan pembahasan inti, yaitu tentang upaya-upaya
yang mengoptimalkan perkembangan kecerdasan emosional di dalam
keluarga.
BAB VI, sebagai penutup, bab ini berisi kesimpulan dari uraian yang
terdapat dalam bab-bab sebelumnya dan saran-saran yang merupakan
mempunyai tanggung jawab terhadap pembinaan perkembangan kecerdasan
BAB II
KELUARGA
1. Pengertian Keluarga
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia keluarga adalah: “Ibu, bapak dengan
seisi rumah, orang seisi rumah yang menjadi tanggungan dalam masyarakat,
kesatuan kerabat yang sangat mendasar dalam masyarakat.”1
Sedang pengertian keluarga menurut Rohiman Notowidegdo adalah: “Suatu
institusi sosial terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari sepasang suami istri
dan anak-anak yang terkait oleh hubungan biologis, sosial, ekonomi dan
psikologi.”2
Dari pengertian di atas, melihat pengertian keluarga secara sempit yang dapat
diartikan bahwa keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak.
Sedangkan pengertian keluarga secara luas adalah: “Suatu keluarga inti dengan
1 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus
Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta: PT.Bina Pustaka,1988), cet.Ke‐1, hal.326
2 Rohiman Notowidegdo, Ilmu
adanya tambahan dari sejumlah orang lain baik yang sekerabat yang secara
bersama-sama hidup dalam satu rumah tangga dengan keluarga inti.
Orang-orang yang sekerabat tersebut bisa berasal dari pihak suami maupun
dari pihak istri seperti kakek, nenek, paman, bibi dan saudara sepupu. Sedangkan
orang lain yang dapat mewujudkan adanya keluarga luas dari suatu keluarga inti
adalah pembantu rumah tangga dan pesuruh yang hidup bersama keluarga inti.
Dengan melihat pengertian keluarga secara sempit dan luas, maka dapat
disimpulkan bahwa keluarga adalah suatu komunitas masyarakat terkecil yang
terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak yang di dalamnya juga terdapat kerabat dari
pihak suami dan istri serta orang lain yang dapat hidup bersama dalam suatu
rumah tangga.
2. Tujuan Berkeluarga
Pembentukan keluarga dalam Islam bermula dengan terciptanya hubungan
suci yang terjalin antara seorang laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim
melalui perkawinan yang sah dengan memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat
yang telah ditentukan berdasarkan syariat Islam.
Sudah barang tentu semua orang yang akan menikah mempunyai tujuan dalam
perkawinan. Tujuan-tujuan tersebut selalu baik, misalnya untuk memperoleh
keturunan, menjaga martabat, melindungi wanita dan untuk memelihara akhlak
dan moral, yang kesemuanya itu dilakukan untuk menciptakan suatu keamanan
dan keselamatan manusia dari perbuatan perzinahan.
Begitu juga dalam membentuk suatu komunitas keluarga terdapat
beberapa tujuan yang tentu saja terdapat beberapa tujuan yang tentu saja
memberikan dampak positif dalam kehidupan individu dan masyarakat, sebab
dengan berkeluarga berarti telah mempertahankan kelangsungan hidup manusia
Tujuan perkawinan adalah sebagai berikut :
a. Membina kehidupan rumah tangga/keluarga yang rukun, tenang dan
bahagia (sakinah)
b. Untuk memperoleh rasa mawaddah, yaitu merasa diri satu nasib dan sepenanggungan, susah sama menderita dan bila senang, maka sama-sama
berbahagia.
c. Saling asih, asuh dan asah (rahmah) dengan penuh cinta kasih.3
Sedangkan tujuan perkawinan lebih jelas tercantum dalam undang-undang
RI No.1 tahun 1974 tentang perkawinan Bab I pasal 1 yang berbunyi :
“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai
seorang suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (berumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”4
Dari tujuan perkawinan tersebut maka tujuan terpenting dalam keluarga,
menurut syariat Islam adalah sebagai berikut :
a. Mengatur Kebutuhan Biologis
Sejak manusia diciptakan di muka bumi ini, Allah SWT telah memberikan
dan menetapkan berbagai kebutuhan, di antara kebutuhan tersebut adalah
kebutuhan akan biologis (kebutuhan hubungan seksual). Kebutuhan ini sudah
merupakan fitrah manusia dan manusia harus menyalurkan kebutuhan tersebut
dengan baik.
Pernikahan merupakan suatu sarana yang halal untuk laki-laki dan
perempuan melakukan suatu hubungan. Islam menghargai segala sesuatu yang
dapat menghantarkan pada tercapainya tujuan-tujuan mulia dalam melestarikan
sejarah kehidupan manusia yang telah diangkat sebagai khalifah di muka bumi.5
3 Ahmad Usman,Petunjuk
Membina Keluarga Bahagia, (Semarang : CV.Toha Putra, 1976). Cet.Ke‐1, hal.54.
4 R.Subekti, al‐
Kitab Undang‐Undang Hukum Perdata, (Jakarta : PT.Pradnya Paramita, 1990), cet.Ke‐22, hal.449
5 Abu Ahmad Muhammad Naufal, Langkah
b. Melestarikan Keturunan yang mulia
Bila pertemuan seorang laki-laki dan perempuan dalam jenjang pernikahan
dipandang sebagai suatu tujuan, maka dalam segi lain dipandang sebagai suatu
sarana untuk terwujudnya keturunan yang mulia.
Selanjutnya keturunan merupakan buah pernikahan, sebab tujuan
penciptaan alam oleh Allah SWT, adanya manusia dan kesempurnaanya. Anak
yang shaleh menurut pandangan Islam merupakan amal kewajiban bagi kedua
orang tua, yang membuahkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.6
Selain sebagai suatu amal kebajikan bagi orang tua, anak merupakan unsur
perhiasan serta kemegahan hidup di dunia selain harta benda. Anak merupakan
harta yang tidak ternilai harganya. Anak merupakan suatu kebanggaan bagi kedua
orang tuanya, namun hendaknya kebanggan tersebut bukan dari sekedar dari
jumlah banyaknya anak, akan tetapi orang tua harus pula memikirkan dan
bertanggung jawab untuk memberikan pendidikan yang baik bagib anaknya, agar
kelak menghasilkan generasi-generasi baru yang beriman, bertakwa serta
berkualitas. Karena di hari kiamat nanti Rasulullah SAW lebih merasa bangga
mempunyai umat yang berkualitas bukan sekedar umat yang kuantitas.
c. Merasakan hidup bersama
Dengan adanya perkawinan seorang suami istri dapat hidup bersama
dalam membina istri dalam membina rumah tangga yang penuh cinta kasih,
karena itu keduanya harus dapat bekerja sama untuk saling melengkapi satu sama
lain. Dalam berkeluarga suami adalah pemimpin bagi istri, anak dan keluarganya.
Selain itu juga seorang suami harus mengerjakan kewajiban-kewajibannya yang
lain yaitu mencari nafkah, mengurus kehidupan keluarga, berjuang menegakkan
agama Allah dan menciptakan perdamaian seta keselamatan bagi keluarganya.
Semua tugas itu tidak akan dilaksanakan tanpa adanya pendamping di
sisinya, yakni istri yang shalehah. Istri yang senantiasa membantu menyertai serta
6 Ibrahim Amini, Kiat
menghiburnya atau bahkan yang mampu meringankan beban hidupnya serta
menjaga rumah dan memelihara anak-anaknya.
Dengan demikian, maka suami istri harus dapat bekerja sama dalam
menjalankan semua tugas dan kewajibannya dalam berkeluarga, sehingga dapat
melahirkan dan mendidik anak-anak yang shaleh dan berkualitas.
3. Fungsi dan Peranan Keluarga
a. Fungsi Keluarga
Dalam kehidupan manusia, keperluan dan hak kewajiban, perasaan dan
keinginan keluarga sangat mendukung pertumbuhan dan perkembangan diri
seseorang dan akan binasalah pergaulan seseorang bila orang tua tidak
menjalankan tugasnya sebagai pendidik.
Secara sosiologi keluarga dituntut berperan dan berfungsi untuk
menciptakan suatu masyarakat yang aman, tentram, bahagia dan sejahtera, yang
kesemuanya itu harus dijalankan oleh keluarga sebagai lembaga social yang
terkecil. Dalam buku keluarga muslim dalam masyarakat modern, dijelaskan
bahwa : “Berdasarkan pendekatan budaya keluarga sekurang-kurangnya
mempunyai tujuh fungsi, yaitu fungsi biologis, edukatif, religius, protektif,
sosialisasi, rekreatif dan ekonomi.”7
1. Fungsi Biologis
Fungsi biologis keluarga berhubungan dengan “pemahaman-pemahaman
kebutuhan biologis anggota keluarga”.8 Di antara kebutuhan biologis ini
kebutuhan akan keterlindungan fisik guna melangsungkan kehidupannya,
keterlindungan kesehatan, keterlindungan dari rasa lapar, haus, kedinginan,
kepanasan, kelelahan, kesegaran fisik. Termasuk juga kebutuhan biologis ialah
kebutuhan mendapatkan keturunan dengan melahirkan anak-anak sebagai generasi
penerus dan dengan kata lain kelanjutan identitas keluarga.
2. Fungsi Edukatif
7 Jalaludin Rakhmat dan Mukhtar Gandaatmaja, Keluarga
Muslim dalam Masyarakat Modern, (Bandung : Remaja Rosda Karya, 1994),cet.Ke‐2, hal.20‐21
8 M.I. Soelaeman, Pendidikan
Yang dimaksud fungsi edukatif ialah “fungsi keluarga yang berkaitan
dengan pendidikan anak khusussnya serta pembinaan pendidikan anggota
keluarga pada umumnya.”9 Fungsi ini mengharuskan setiap orang tua
mengkondisikan kehidupan keluarga menjadi situasi pendidikan yang dapat
mendorong anak-anak untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengarah
kepada tujuan pendidikan.
Dalam melaksanakan fungsi edukatif ini keluarga sebagai salah satu tri
pusat pendidikan, dalam hal ini orang tua memegang peranan utama dalam proses
pembelajaran anaknya terutama dikala mereka belum dewasa. Kegiatan
pembelajaran orang tua antara lain melalui asuhan, pembiasaan dan contoh
teladan.
3. Fungsi Religius
Fungsi ini berkaitan dengan kewajiban keluarga untuk memperkenalkan
dan mengajak anak serta anggota keluarga lainnya dalam kehidupan beragama
dengan melakukan semua kegiatan yang sesuai dengan ajaran-ajaran dan
ketentuan agama dengan menuju keridhoan-Nya.
4. Fungsi Protektif
Fungsi protektif (perlindungan) dalam keluarga ini berfungsi “memelihara
merawat dan melindungi si anak baik fisik maupun sosialnya.”
Fungsi ini menangkal pengaruh kehidupan pada saat sekarang dan masa
yang akan datang.
5. Fungsi Sosialisasi
Fungsi sosialisasi berkaitan dengan mempersiapkan anak menjadi anggota
masyarakat yang baik, dalam melaksanakan fungsi ini “keluarga membentuk
kepribadian anak melalui intreraksi social, mempelajari pola-pola tingkah laku,
sikap, keyakinan, cita-cita dan nilai-nilai dalam masyarakat yang kesemuanya itu
dilakukan dalam rangka perkembangan kepribadiannya.”
6. Fungsi Ekonomis
Fungsi ekonomis keluarga meliputi “pencarian nafkah, perencanaan serta
pembelajaran dan manfaatnya.” Pada dasarnya yang mengemban kesejahteraan
9 M.I. Soelaeman, Pendidikan
keluarga, termasuk pencarian nafkah keluarga. Akan tetapi ini tidak berarti bahwa
istri tidak diperkenankan mencari nafkah, namun dalam keadaan demikian
tanggung jawab yang diemban oleh seorang suami tidaklah diserahkan istri
sepenuhnya karena hal ini dilakukannya untuk masa depan anak-anak dan
keluargannya.
7. Fungsi Rekreatif
Fungsi ini tidak harus dengan kemewahan serba ada, melainkan melalui
penciptaan suasana kehidupan yang tenang dan damai. Fungsi rekreatif ini juga
dapat membawa anggota keluarga dalam merealisasikan dirinya dalam suasana
yang bebas dan nyaman sebagai selingan dari kesibukan sehari-hari. Hal ini dapat
juga di dapat dengan mencari hiburan di alam segar bersama keluarga.
Dengan melihat fungsi keluarga di atas, hendaknya dalam pelaksanaan
fungsi haruslah seiring sejalan antara yang satu dengan fungsi yang lain, ketujuh
fungsi tersebut tidak dapat dipisahkan. Sebuah keluarga tanpa fungsi biologis,
maka keluarga akan punah, tidak ada generasi penerus yang akan melanjutkan
identitas keluarga. Tanpa fungsi edukatif generasi yang dilahirkan akan
berantakan, tanpa fungsi religius generasi akan tersesat, tanpa fungsi protektif
tidak ada ketentraman dan kedamaian dalam keluarga, tanpa fungsi sosialisasi
akan muncul generasi-generasi yang memiliki sifat individual yang tinggi, tanpa
fungsi rekreatif rumah tangga terasa membosankan dan meliputi kejenuhan dan
tanpa fungsi ekonomis kesejahteraan rumah tangga akan goyah.
Sedangkan H.Ali Akbar mengemukakan tentang fungsi keluarga sebagai
berikut:
1. Tempat istirahat sesudah kerja fisik mencari nafkah
2. Menumbuhkan rasa cinta kasih dan melestarikannya
3. Mendidik anak (kedua orang tua ialah guru pertama dan utama
dalam bidang ini
4. Mendidik diri sendiri dalam bidang agama seperti sholat
5. Mendidik anak dalam beribadah, ketabahan, ketekunan belajar,
kesabaran, akhlak, bertutur kata, berpakaian dan lain sebagainya
6. Mendiddik anak dalam bidang kasih sayang, baik di antara mereka
maupun terhadap family dan orang lain di tengah masyarakat
7. Mendidik manajemen perbelanjaan untuk tidak boros
8. Mendidik anak dalam menyelesaikan pertikaian dengan
musyawarah.10
b. Peranan Keluarga
Setiap keluarga terdiri atas beberapa anggota keluarga yang
masing-masing anggota keluarga memiliki peranannya sendiri-sendiri sesuai dengan
kedudukannya dalam keluarga yang bersangkutan, sehingga menambah
keharmonisan kehidupan keluarga.
Dalam keluarga sosok seorang ibu sangat diperlukan sebagai pendidik
dasar bagi anak-anaknya, maka dari itu seorang ibu hendaklah seorang yang
bijaksana dan pandai mendidik anak-anaknya. Sesuai dengan fungsi serta
tanggung jawabnya sebagai anggota keluarga. Peran ibu dalam pendidikan
anak-anaknya adalah sebagai berikut :
1) Sumber dan pemberi kasih sayang
2) Pengasuh dan pemelihara
3) Tempat mencurahkan isi hati
4) Pengatur kehidupan dalam rumah tangga
5) Pembimbing hubungan pribadi
6) Pendidik dalam segi emosional11
Bukan saja peran seorang ibu yang sangat dibutuhkan dalam keluarga.
Tetapi peran seorang ayah juga lebih sangat dibutuhkan dalam membentuk
perkembangan keluarga. Adapun peranan ayah sebagai berikut :
10 Ali Akbar, Merawat
Cinta Kasih Untuk Mewujudkan Keluarga Sejahtera, Membina Keluarga Bahagia, (Jakarta: Pustaka Antara, 1996), cet.ke 54
11 M.Ngalim Poerwanto, Ilmu
1) Sumber kekuasaan dalam keluarga
2) Penghubung intern keluarga dalam masyarakat/dunia luar
3) Pemberi perasaan aman bagi seluruh anggota keluarga
4) Pelindung terhadap ancaman dari luar
5) Hakim yang mengadili jika terjadi perselisihan
6) Pendidik dalam segi-segi rasional.
Begitu pentingnya peranan yang harus dimainkan orang tua dalam
mendidik, sehingga banyak pakar pendidikan, seperti yang dikatakan oleh Ki
Hajar Dewantara bahwa “Alam keluarga itu buat tiap-tiap orang adalah alam
pendidikan yang permulaan.”12 Maksudnya adalah bahwa orang tua pendidik,
penuntun dan pengajar yang pertama bagi anak-anaknya.
Peranan keluarga sangat besar pengaruhnya dalam perkembangan jiwa
anak, apabila orang tua salah mendidik maka anaknya pun akan mudah terbawa
arus kepada hal-hal yang tidak baik, maka dengan adanya peranan masing-masing
hendaknya orang tua saling melengkapi sehingga dapat membentuk keluarga yang
utuh dan harmonis dan dapat menjalankan perintah agama dengan sebaik-baiknya.
c. Peranan Keluarga Bagi Pendidikan Anak
Anak merupakan titipan (amanah) dari Allah SWT. Setiap anak yang
dilahirkan dalam keadaan suci, sebagaiman sabda Rasulullah SAW :
ﺎ آ
ﺎﺴ
وأ
اﺮﺼ
وأ
ادﻮﻬ
اﻮ ﺄ
ةﺮﻄ ا
ﻰ
ﺪ ﻮ
ﻻإ
دﻮ ﻮ
ﺎ
ءﺎ ﺪ
ﺎﻬ
نﻮﺴﺤ
ه
ءﺎ
ﺔ ﻬ
ﺔ ﻬ ا
“Setiap anak dilahirkan itu dalam keadaan suci, maka orang tuanyalah yang menjadikan anak menjadi yahudi, nasrani dan majusi”. (HR. Muslim).13
Hadits di atas menyatakan orang tua merupakan pemeran utama dalam
mendidik anak-anaknya. Secara kodrati bayi dilahirkan dalam keadaan suci,
keluargalah yang membesarkannya menjadi baik atau buruk. Keluarga dan
pendidikan dalam keluarga berpengaruh, bahkan dapat menghilangkan sifat-sifat
khas yang diwarisinya. Yang dimaksud fitrah dalam hadits di atas ialah potensi
yang dibawa oleh anak semenjak lahir. Orang tua dalam hal ini bertanggung
jawab untuk selalu mengembangkan potensi tersebut agar lebih baik. Dalam
konsep Islam, keluarga adalah penanggung jawab utama terpeliharanya potensi
tersebut.
Para ahli pendidikan dan para ahli ilmu jiwa sepakat bahwa menanamkan
pendidikan pada anak sejak dini (dalam rumah tangga) adalah masalah yang
strategis. Kita ketahui bahwasannya pendidikan dalam keluarga merupakan
pendidikan pertama dan utama. Disini anak didik sepanjang waktu dan meliputi
berbagai bidang kehidupan, seperti kesehatan, kebersihan, sopan santun
pergaulan, disiplin pribadi, tanggung jawab, kerja sama, pengenalan kehidupan
keagamaan dan lain sebagainnya. Hal ini akan mempunyai pengaruh yang sangat
mendalam bagi pembentukan kepribadian anak dan watak kepribadiannya di masa
yang akan datang, karenanya, suatu rumah tangga yang di dalamnya penuh
dengan liputan kasih sayang dan suasana keislaman, maka akan tumbuh menjadi
pribadi-pribadi yang wajar. Sedangkan dalam suatu rumah tangga yang di
dalamnya telah terputus hubungan kasih sayang dan cinta, penuh dengan suasana
muram, maka dari rumah tersebut akan tumbuh pribadi-pribadi yang tidak
diinginkan. Mereka kelak akan menjadi beban bagi masyarakat dan orang-orang
yang berada dalam rumah itu sendiri.
Hubungan orang tua yang efektif penuh kemesraan dan tanggung jawab
yang didasari oleh kasih sayang yang tulus, menyebabkan anak-anaknya akan
mampu mengembangkan aspek-aspek kegiatan manusia yang pada umumnya
ialah kegiatan yang bersifat individual, kegiatan social dan keagamaan.14
Suasana keluarga yang baik sekurang-kurangnya harus ditunjang oleh 3
faktor antara lain:15
1. Keluarga dapat memberikan suasana emosional yang baik bagi
anak-anak, misalnya perasaan senang, aman, disayangi dan dilindungi.
14 Hasan Basri, Keluarga Sakinah, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar 1995) cet. Ke ‐2, hal.90 15 Drs. Hery Noer Aly, MA, Ilmu
Suasana ini dapat tercipta apabila kehidupan rumah tangga diliputi
suasana yang sama.
2. Mengetahui dasar-dasar kependidikan terutama yang berkaitan
dengan kewajiban dan tanggung jawab orang tua terhadap
perkembangan mental anak. Lebih lanjut, orang tua juga bertanggung
jawab pada tujuan dan isi pendidikan yang diberikan kepada anaknya.
3. Bekerja sama dengan lembaga pendidikan dimana orang tua
memberikan amanatnya dalam mendidik anaknya. Bentuk kerja sama
ini antara lain menyangkut anak belajar dan mengerjakan pekerjaan
rumah (PR) dari lembaga pendidikan tersebut.
Berdasarkan pandangan di atas, Pendidikan Islam dalam kerangka tauhid
harus melahirkan dua kemestian strategis sekaligus, yaitu:
1. Menjaga keharmonisan untuk meraih kehidupan yang abadi dalam
hubungannya dengan Allah.
2. Melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan dalam
hubungannya dengan alam lingkungan dan sesamanya.
Menurut Utami Munandar bahwa secara umum keluarga (orang tua)
mempunyai tiga peranan terhadap anak, yaitu :16
1. Perawatan fisik anak, agar anak belajar tumbuh berkembang dengan
sehat.
2. Proses sosialisasi anak, agar anak menyesuaikan diri terhadap
lingkungannya.
3. Kesejahteraan psikologi dan emosional anak.
Segala sesuatu yang telah dilakukan oleh orang tua kepada anak
merupakan pembinaan kebiasaan yang akan tumbuh menjadi tindakan moral di
kemudian hari. Dengan kata lain, setiap pengalaman anak baik yang diterimannya
melalui penglihatan, pendengaran dan perlakuan pada waktu kecil akan menjadi
16 Utami Munandar, Membina
kebiasaan yang akan tumbuh di kemudian hari. Karena itulah orang tua sangat
penting dan besar pengaruhnya terhadap pendidikan anak.
Dengan demikian, keluarga memiliki peranan yang sangat strategis dalam
pembentukan kepribadian anak yang tangguh. Oleh karena itu, di bawah ini akan
dibahas secara rinci mengenai peranan masing-masing anggota keluarga dalam
menyiapkan generasi yang berkepribadian tangguh.
1. Peranan Ayah
Pria adalah pemimpin bagi kaum wanita. Ayah adalah sebagai pemimpin
dalam keluarga, pemimpin bagi istri dan anak-anaknya. Hal ini sebagaimana
dijelaskan dalam Al-Quran :
☺
Dari riwayat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa secara fitrah, baik
secara fiologis maupun psikologis maka suami yang mempunyai otoritas dan
tegas untuk memimpin, membela dan melindungi keluarga.17
Adapun peran seorang ayah dalam keluarga, Singgih dan Y. Singgih D.
Gunarsa mengatakan antara lain :
a. Ayah sebagai pencari nafkah
b. Ayah sebagai suami yang dapat memberikan rasa aman
c. Ayah berpartisipasi dalam pendidikan anak
d. Ayah sebagai pelindung atau tokoh yang tegas, bijaksana dan
mengasihi keluarga.18
2. Peranan Ibu
Sebagaimana ayah, maka ibu pun mempunyai peranan yang sangat
Sentral dan penting dalam keluarga. Dengan adanya peran serta dari seorang ibu,
maka akan terciptalah keluarga yang bahagia. Adapun peranan ibu yang dimaksud
antara lain :
a. Memenuhi kebutuhan fisiologis dan praktis
b. Peranan ibu dalam merawat dan mengurus keluarga dengan sabar,
mesra dan konsisten’
c. Peran ibu sebagai pendidik yang mampu mengatur dan
mengendalikan anak.
d. Ibu sebagai contoh tauladan
e. Ibu sebagai manajer yang bijaksana
f. Ibu memberi rangsangan dan pelajaran
g. Peran ibu sebagai istri
17 Ali Akbar, Merawat
Cinta Kasih Untuk Mewujudkan Keluarga Sejahtera, Membina Keluarga Bahagia, (Jakarta: Pustaka Antara, 1996), cet.ke 30
18 Singgih D.Gunarsa dan Y D.Gunarsa, Psikologi Remaja, (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia,
Tugas dan tanggung jawab di atas merupakan syarat yang harus dipenuhi
dan dilaksanakan oleh suami istri dalam hal ini peranan ayah dan ibu dalam
keluarga.
Apabila kesemuanya itu dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, maka
BAB III
KECERDASAN EMOSIONAL A. Pengertian Kecerdasan Emosional
Istilah “Kecerdasan Emosional” pertama kali dilibatkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Solovey dari Harvard University of New Hampshire untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan.1
Menurutnya kualitas-kualitas itu meliputi : empati, mengungkapkan dan memahami perasan, mengendalikan amarah, kemandirian, menyesuaikan diri, disukai, kemampuan menyelesaikan masalah antar pribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan dan sikap hormat.
Menurut Bar-Ojn kecerdasan emosional adalah serangkaian kemampuan, kompetensi, dan keterampilan yang dapat mempengaruhi keberhasilan seseorang
1 Tutu April A.Suseno, EQ
dalam mengatasi tuntutan oleh tekanan lingkungan dan secara langsung memepengaruhi seluruh kesejahteraan psikologi individu.2
Menurut Goleman Emotional Intelligence adalah kemampuan seseorang
mengatur kehidupan emosinya dengan inteligen (to manage our emotional life with intelligence) menjaga keselarasan emosi dan mengungkapkannya (the appropriatnesss emotion and its expression) melalui keterrampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan social.3
Dalam definisi Goleman yang lainnya, kecerdasan emosional yaitu
kemampuan untuk mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain,
kemampuan memotivasi diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.4
Kecerdasan emosi mencakup kemampuan yang berbeda-beda, tetapi saling
melengkapi, dengan kecerdasan akademik (academic intelligence), yaitu kemampuan-kemampuan kognitif murni yang diukur dengan IQ. Meskipun IQ tinggi
tapi kecerdasan emosi rendah tidak banyak membantu. Banyak orang cerdas, dalam
arti terpelajar, tetapi tidak mempunyai kecerdasan emosi, ternyata bekerja menjadi
bawahan orang yang IQ-nya lebih rendah tetapi unggul dalam keterampilan
kecerdasan emosi.5 Berikut ini akan dijabarkan mengenai keselarasan atau lebih
popular dengan Ranah utama Goleman.
B. Ranah Kecerdasan Emosional Menurut Goleman
1) Kesadaran Diri
Orang dengan kecakapan ini :
a. Tahu emosi mana yang sedang mereka rasakan dan mengapa
2 Sri Lanawati, Hubungan
antara EI dan IQ Dengan Prestasi Belajar, Tesis, (Jakarta, Universitas Indonesia,1999), hal.66
3 Daniel Goleman, Kecerdasan Emosional, (Jakarta:Pt Gramedia Pustaka Utama,2000), cet
ke‐1, hal.53
b. Menyadari keterkaitan antara perasaan mereka dengan yang mereka pikirkan,
perbuat, dan katakan
c. Mengetahui bagaimana perasaan mereka mempengaruhi kinerja
d. Mempunyai kesadaran yang menjadi pedoman untuk nilai-nilai dan
sasaran-sasaran mereka.6
Menurut Richard kecakapan ini memusatkan perhatian, kesadaran tentang
adanya instrument ukur batiniah dan sinyal-sinyal samar yang menginformasikan
perasaan sebagai pedoman untuk menuntun kerja. Instrumen tersebut biasa dikenal
dengan intuisi yang bekerja di dalam logika bawah sadar. Intuisi berkaitan dengan
kemampuan mengindra pesan-pesan dari gudang penyimpanan memori emosi kita
tempat tersimpannya kebijaksanaan dan kearifan sendiri. Kemampuan ini terdapat di
pusat kesadaran diri.
Kesadaran diri menuntut seseorang untuk dapat mengenal, memahami
kualitas, intensitas dan durasi emosi yang sedang berlangsung. Kesadaran akan
intensitas emosi dapat member informasi sejauh mana individu dipengaruhi oleh
kejadian itu. Intensitas emosi yang tinggi cenderung memotivasi individu untuk
bereaksi dibandingkan intensitas emosi yang rendah.
Sungguh sangat tidak beruntung bagi orang-orang yang rendah emosinya
karena orang-orang ini tidak mengenali emosinya sendiri. Dengan kata lain mereka
buta emosi, terhalang dari dunia realitas yang sangat penting untuk sukses dalam
hidup secara keseluruhan, termasuk kerja. Apabila individu tidak mampu untuk
mencermati perasaan yang sesungguhnya, dia berada dalam kekuasaan perasaan.
Karena itu, tidak peka akan perasaan yang sesungguhnya akan berakibat buruk bagi
pengambilan keputusan akan masalah.7 Dengan demikian orang yang tidak mengenal
emosinya sendiri maka yang lebih tampak dan lebih detail adalah dunia luar
6 Daniel Goleman, (Alih Bahasa: Alex Tri Kantjoro), Kecerdasan
Emosi Untuk Mencapai Puncak Prestasi, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2003), cet ke‐5, hal.84‐342
7Al.Tridhonanto, Melejitkan
Kecerdasan Emosi (EQ) Buah Hati. (Jakarta, PT Elex Media Komputindo : 2009), hal. 6
dibandingkan dunia batiniahnya. Mereka juga susah membedakan emosi yang baik
dan yang tidak, ini dikarenakan rentang emosi yang terbatas. Sebuah emosi sangat
erat kaitannya dengan hati dimana di dalam hati sebuah perkara baik dan buruk dapat
dibedakan secara nyata. Namun hati yang sesuai dengan fitrahlah yang dapat
melakukan itu dan bukan hati yang buta.
Ari Ginanjar Agustian menjelaskan untuk mendapatkan hati yang sesuai fitrah
dengan cara : mengingat nama-nama Allah secara berulang-ulang, melalui ucapan,
pikiran, dan hati sekaligus mampu mendorong pikiran menjadi suci dan bersih,
sehingga membekas di hati. Ucapan Subhanallah (Maha Suci Allah) harus ditetapkan
untuk membangun kekuatan pikiran bawah sadar, sehingga akan mendarah daging di
dalam diri kita menjadi suatu kekuatan, itulah yang disebut “Repetitive Magic
Power”, yang akan menghilangkan pengaruh-pengaruh buruk.8
2) Pengendalian Diri
Pengendalian diri adalah kemampuan mengendalikan emosi sendiri dan
mengelola emosi agar dapat terungkap dengan selaras.
Orang dengan kecakapan ini :
a. Mengelola dengan baik perasaan-perasaan impulsif dan emosi-emosi yang
menekan mereka. Perasaan seseorang dikatakan dikelola dengan baik, bila
individu mampu menghibur diri ketika ditimpa kesedihan, dapat melepas
kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan, dan bangkit kembali dengan
cepat dari semua itu.9
b. Tetap teguh, tetap optimis, dan tidak goyah bahkan dalam situasi yang paling
berat
c. Berpikir dengan jernih dan tetap terfokus kendati dalam tertekan
8 Ary Ginanjar Agustian, ESQ
Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (Jakarta: Arga,2002), cet ke‐7, hal.46
9Al.Tridhonanto, Melejitkan
Tujuan pengendalian emosi itu adalah keseimbangan dan keselarasan dalam
mengungkapkan emosi.
3) Motivasi Diri
Motivasi diri adalah kemampuan untuk bertahan dan terus berusaha
menemukan banyak cara untuk mencapai tujuan. Orang yang memiliki motivasi diri
cukup terampil dan fleksibel dalam menemukan cara alternatif agar sasaran tercapai
atau mengubah sasaran jika sasaran tidak mungkin tercapai juga cukup mampu
memecahkan tugas yang amat berat menjadi tugas kecil yang mudah dijalankan.10
Kecakapan motivasi seseorang diantaranya :
a. Dorongan Berprestasi : Dorongan untuk meningkatkan atau memenuhi
standar keunggulan.
Orang dengan kecakapan ini :
1) Berorientasi kepada hasil, dengan semangat juang tinggi untuk meraih
tujuan dan memenuhi standard
2) Menetapkan sasaran yang menantang dan berani mengambil resiko
yang telah dipenuhi
3) Mencari informasi sebanyak-banyaknya guna mengurangi
ketidakpastian dan mencari cara yang lebih baik
4) Terus bekerja untuk meningkatkan kinerja mereka
b. Komitmen : setia pada visi dan sasaran perusahaan atau kelompok
Orang dengan kecakapan ini :
1) Siap berkorban demi pemenuhan sasaran perusahaan yang lebih
penting
2) Merasakan dorongan semangat dalam misi yang lebih besar
10 Sri Lanawati, Hubungan
3) Menggunakan nilai-nilai kelompok dalam pengambilan keputusan dan
penjabaran pilihan-pilihan
4) Aktif mencari peluang guna memenuhi misi kelompok
c. Inisiatif dan Optimisme: kedua kecakapan kembar yang menggerakan orang
untuk menangkap peluang dan membuat mereka menerima kegagalan dan
rintangan sebagai awal keberhasilan.
Orang dengan kecakapan inisiatif diantaranya:
1) Siap memanfaatkan peluang
2) Mengejar sasaran lebih daripada yang tidak prinsip bila perlu agar
tugas dapat dilaksanakan
3) Berani melanggar batas-batas atau aturan-aturan yang tidak prinsip
bila perlu agar tugas dapat dilaksanakan
4) Mengajak orang lain melakukan sesuatu yang tidak lazim dan
bernuansa peluang.
Orang dengan kecakapan optimisme diantaranya:
1) Tekun dalam mengejar sasaran kendati banyak halangan dan
kegagalan
2) Bekerja dengan harapan untuk sukses bukannya takut gagal.
3) Memandang kegagalan atau kemunduran sebagai situasi yang dapat
dikendalikan ketimbang sebagai kekurangan pribadi.
4) Empati
Empati adalah kemampuan dalam membaca emosi orang lain, kemampuan
merasakan perasaan orang lain melalui keterampilan membaca pesan non-verbal :
nada bicara, gerak-gerik, ekspresi wajah dan sebagainya.11 Wahana pikiran rasional
11 Daniel Goleman, (Alih Bahasa:T.Hermaya) Emotional Intelligence, (Jakarta:Gramedia
adalah kata-kata, sedangkan wahana emosi adalah pesan non verbal. Orang yang
mampu membaca perasaan dan isyarat non verbal, menunjukkan lebih pandai
menyesuaikan diri secara emosional, lebih popular, lebih mudah bergaul dan lebih
peka.
5) Keterampilan Sosial
Keterampilan sosial adalah kemampuan menjalin hubungan dengan orang
lain, kemampuan membaca reaksi dan perasaan orang lain. Ada beberapa
keterampilan social yang diungkapkan oleh Daniel Goleman :
a. Memiliki taktik untuk melakukan persuasi
b. Mengirimkan pesan yang jelas dan meyakinkan
c. Kepemimpinan : membangkitkan insipirasi dan memandu kelompok dengan
orang lain
d. Manajemen konflik : negosiasi dan pemecahan silang pendapat.
e. Kolaborasi dan Kooperasi : kerja sama dengan orang lain demi tujuan
bersama
Keterampilan social juga sangat berpengaruh untuk menciptakan sebuah
keputusan suatu masalah dalam kelompok, sehingga keterampilan ini mutlak
diperlukan guna mencapai mufakat.
C. Ranah Kecerdasan Emosional Menurut Howard Gardner
Kecerdasan emosi menurut Howard Gardner terdiri dari dua kecakapan yaitu
intrapersonal intelligence dan interpersonal intelligence.
Kecerdasan interpersonal (interpersonal intelligence) terkait dengan
kepandaian untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain. Kecerdasan ini
menuntut seseorang untuk memahami, bekerja sama, dan berkomunikasi. Serta
11 Lauren Schmidt, Jalan
Menuju 7 Kali Lebih Cerdas, (Bandung: Kaifa,2002), cet ke‐1, hal.36
memelihara hubungan baik dengan orang lain.12 Sedangkan kecerdasan intrapersonal
tidak cepat puas dengan hasil pekerjaan mereka. Mereka memiliki pengetahuan
dengan dirinya, terutama kepekaan terhadap nilai, tujuan dan perasaan mereka.
Sifat-sifat tersebut membuat mereka mandiri, penuh percaya diri, punya tujuan, dan
disiplin.13
Seperti yang diajarkan Islam bila seseorang telah memahami dirinya sendiri
dengan baik maka akan baik pula mengenal dan memahami orang lain yang
berpangkal pada pengenalan Tuhan.
D. Perbandingan Kecerdasan Emosional Menurut Daniel Goleman dan Howard Gardner; Sebuah Analisis
Perbandingan Kecerdasan Emosional Menurut
Daniel Goleman dan Howard Gardner
Ranah Daniel Goleman Ranah Howard Gardner
a. Kesadaran Diri (mengenal emosi
dalam diri)
b. Pengendalian Diri (sabar, teguh,
optimis dan tidak goyah)
c. Motivasi Diri (dorongan
berprestasi, komitmen, inisiatif
dan optimisme)
d. Empati
e. Keterampilan Sosial
a. Interpersonal Intelligence
(mampu bekerja sama dan
berkomunikasi)
b. Intrapersonal Intelligence
(mandiri, penuh percaya diri,
punya tujuan dan disiplin)
12 Lauren Schmidt, Jalan
Menuju 7 Kali Lebih Cerdas, (Bandung: Kaifa,2002), cet ke‐1, hal.36
13 Lauren Schmidt, Jalan
Daniel Goleman lebih spesifik dan detail dalam membagi unsur-unsur kecerdasan emosional, akan tetapi ranah kesadaran diri, pengendalian diri dan motivasi diri bisa masuk ke ranah intrapersonal intelligence Howard Gardner. Sedangkan ranah empati dan keterampilan sosial Goleman bisa masuk ke ranah
interpersonal intelligence Gardner.
Sejauh pengamatan penulis, belum banyak dari kalangan ilmuwan muslim dan para ulama yang membahas tentang kecerdasan emosional, menurut definisi yang penulis buat, kecerdasan emosional menurut perspektif Islam adalah kemampuan seseorang untuk mengenal atau peka terhadap hati nuraninya atau sesuai kehendak fitrah. Sebagai contoh, pengendalian diri adalah suatu ranah kecerdasan emosional yang dibuat Goleman. Salah satu unsur pengendalian diri ialah sifat sabar, jika seseorang ditimpa musibah, pasti hati nurani selalu berkata “bersabarlah” atau jika kita melihat pengemis dengan pakaian lusuh meminta-minta kepada kita, pasti suara hati berkata “sedekahlah untuk pengemis itu”. Jika mampu mengikuti kehendak hati nurani, maka orang tersebut memiliki kecerdasan emosional.
Hati nurani selalu mengajak manusia kepada kebenaran dan kebaikan, karena suara hati ialah petunjuk Tuhan yang dianugerahkan kepada setiap umat manusia
E. Kecerdasan Emosional Melengkapi Kecerdasan Intelektual
Kecerdasan dalam arti umum merupakan suatu kemampuan yang dimiliki
seseorang dalam memahami dan menyadari terhadap apa yang dialaminya baik
melalui pikiran, perkataan dan perbuatan. Dalam berpikir biasanya seorang individu
mengalama berbagai hal terhadap apa yang dialaminya sehingga dia mampu untuk
merangkai, merumuskan, membandingkan dan menganalogikan.14
14 Al.Tridhonanto, Melejitkan
Seorang yang dikatakan cerdas apabila ia dapat bereaksi secara logis dan
mampu melakukan sesuatu yang berguna terhadap apa yang dialami lingkungannya.
Sebelumnya para ahli perkembangan manusia menemukan kecerdasan yang
sifatnya kognitif atau dikenal dengan istilah kecerdasan intelektual sebagai
kecerdasan yang mutlak. Kecerdasan intelektual atau dikenal dengan IQ (Intelligence
Quotient) ialah kemampuan seseorang dalam beradaptasi dengan lingkungan dengan
menggunakan akal sehat sehingga dalam hal ini berhubungan dengan pemahaman
seseorang. Karena itu, pada saat itu teori kesuksesan individu diukur dari sejauh mana
IQ dimiliki seseorang. Bila individu memiliki IQ yang tinggi, ia pun memiliki
harapan untuk sukses dibanding individu yang memiliki IQ rendah.
Namun lambat laun teori itu menjadi perdebatan diantara ahli-ahli psikologi
perkembangan. Pada kenyataanya, individu yang memiliki IQ tinggi tidak selalu
sukses, malah sebaliknya, dimana individu yang memiliki IQ menengah bahkan
rendah mampu meraih sukses dengan sempurna. Seperti yang telah penulis paparkan
sebelumnya bahwa banyak anak-anak pintar dan cerdas di Indonesia maupun di
negara-negara lainnya, tapi mereka lebih mudah depresi, lebih cepat putus asa dan
mudah marah. Sepertinya, dalam kasus tersebut terdapat kejannggalan. Dan,
kejanggalan tersebut disikapi sepenuhnya oleh Daniel Goleman, yakni seorang ahli
psikologi perkembangan dari Universitas Harvard, Amerika Serikat.15
Goleman memaparkan beberapa hasil penelitiannya mengenai kecerdasan lain
dalam kejiwaan manusia, dalam bukunya yang berjudul Emotional Intelligence yang
diterbitkannya pada tahun 1995. Ia mengatakan bahwa koordinasi suasana hati adalah
inti dari hubungan sosial yang baik. Apabila seseorang pandai menyesuaikan diri
dengan suasana hati individu orang lain, orang tersebut akan memiliki tingkat
emosionalitas yang baik dan akan lebih mudah menyesuaikan diri dalam pergaulan
sosial serta lingkungannya. Beliau juga mengatakan bahwa kecerdasan emosional
adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan
15 Al.Tridhonanto, Melejitkan
dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasaan, serta
mengatur keadaan jiwa.
Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang mampu menempatkan
emosi secara tepat, memilah kepuasaan dan mengatur suasana hati.
Lambat laun teori kecerdasan emosional inipun disempurnakan oleh ahli
psikologi perkembangan tepatnya pada tahun 1999, yakni oleh Cooper dan Sawaf.
Mereka berpendapat bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan,
memahami, dan secara selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber
energy dan pengaruh yang manusiawi. Di dalam kecerdasan emosi menuntut
penilikan perasaan, untuk belajar mengakui, menghargai perasaan pada diri dan orang
lain. Selain itu, mampu menanggapinya dengan tepat, menerapkan secara efektif
energy emosi dalam kehidupan sehari-hari.
Di tahun yang sama, dua orang ahli perkembangan juga memiliki pendapat
mengenai kecerdasan emosional. Dua orang ahli tersebut bernama Howes dan
Herald.16 Mereka juga berpendapat bahwa kecerdasan emosional komponen yang
membuat seseorang menjadi pintar menggunakan emosi. Emosi manusia berada di
wilayah dari perasaan lubuk hati, naluri yang tersembunyi, dan sensasi emosi, bila
diakui dan dihormati, kecerdasan emosional menyediakan pemahaman yang lebih
mendalam dan lebih utuh tentang diri sendiri dan orang lain.
Dari pendapat-pendapat para ahli di atas, dapatlah disimpulkan bahwa
kecerdasan emosioanal menuntut manusia agar dapat mengembangkan kemampuan
emosionalnya dan kemampuan sosialnya. Kemampuan emosional sendiri meliputi
sadar akan keadaan emosi diri sendiri, kemampuan mengelola emosi, kemampuan
memotivasi diri, dan kemampuan menyatakan perasaan kepada orang lain.
Apabila ditinjau lebih dalam, ternyata terdapat tiga unsur yang pokok
mengenai kecerdasan emosional, yakni mengenai kecakapan pribadi (mengelola diri
sendiri), kecakapan sosial (menangani suatu hubungan) dan keterampilan sosial
16 Al.Tridhonanto, Melejitkan