Halaman
DAFTAR TABEL... xiii
DAFTAR GAMBAR... xvi
DAFTAR LAMPIRAN. ... xvii
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 3
1.3. Tujuan Penelitian ... 8
1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 9
1.5. Kegunaan Penelitian ... 9
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 10
2.1. Peranan Sektor Tersier Dalam Perekonomian Indonesia ... 10
2.2. Peranan Sektor Tersier Dalam Perekonomian DKI Jakarta ... 11
2.3. Kebijakan Pemerintah di Pasar Tenaga Kerja ... 13
2.4. Kebijakan Upah Minimum Regional Sektoral ... 14
2.5. Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 16
2.5.1. Angkatan Kerja ... 16
2.5.2. Penyerapan Tenaga Kerja ... 17
2.5.3. Upah Sektor Tersier ... 18
2.5.4. Produktifitas Kerja ... 19
III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 22
3.1. Dasar Pemikiran ... 22
3.2. Kerangka Teori ... 24
3.2.1. Penawaran Tenaga Kerja... 24
3.2.2. Permintaan Tenaga Kerja... 28
3.2.3. Keseimbangan di Pasar Tenaga Kerja... 34
3.3. Angkatan Kerja dan Pengangguran... 36
IV. PERUMUSAN MODEL DAN PROSEDUR ANALISIS... 41
4.1. Sepesifikasi Model ... 41
4.1.1. Angkatan Kerja di Provinsi DKI Jakarta ... 45
4.1.2. Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Tersier ... 46
4.1.3. Upah Sektor Tersier ... 46
4.1.4. Upah Minimum Regional Jakarta ... 47
4.1.5. Pengangguran ... 48
4.1.6. Investasi Sektor Tersier ... 48
4.1.7. Pendapatan Daerah ... 50
4.2. Identifikasi Model ... 51
4.3. Metode Pendugaan Model ... 52
4.4. Penerapan Model ... 55
4.4.1. Sumber dan Jenis Data ... 55
4.4.2. Validasi Model ... 55
4.4.3. Simulasi Model... 57
V. GAMBARAN UMUM DAERAH DKI JAKARTA ... 58
5.1. Keadaan Geografi ... 58
5.2. Keadaan Perekonomian ... 60
5.2.1. Pertumbuhan Ekonomi Sub sektor Perdagangan ... 61
5.2.2. Pertumbuhan Ekonomi Sub sektor Pengangkutan dan Komunikasi ... 62
5.2.3. Pertumbuhan Ekonomi Sub sektor Perbankkan, Keuangan Persewaan dan Jasa ... 63
5.2.4. Pertumbuhan Ekonomi Sub sektor Jasa ... 64
5.3. Keadaan Penduduk ... 64
5.4. Ketenagakerjaan ... 66
5.4.1. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja ... 67
5.4.2. Lapangan Pekerjaan ... 68
VI. KERAGAAN MODEL PASAR KERJA, INVESTASI DAN PENDAPATAN SEKTOR TERSIER DI PROVINSI DKI JAKARTA ... 70
6.1. Gambaran Umum Model Dugaan ... 70
6.2. Pembahasan Model dugaan ... 71
6.2.1. Angkatan Kerja Jakarta ... 71
6.2.2.1. Penyerapan Tenaga Kerja Sub sektor Perdagangan 73
6.2.2.2. Penyerapan Tenaga Kerja Sub sektor Angkutan ... 75
6.2.2.3. Penyerapan Tenaga Kerja Sub sektor Perbankkan . 77
6.2.2.4. Penyerapan Tenaga Kerja Sub sektor Jasa ... 78
6.2.3. Upah Sektor Tersier ... 80
6.2.3.1. Upah Sub sektor Perdagangan ... 80
6.2.3.2. Upah Sub sektor Angkutan ... 82
6.2.3.3. Upah Sub sektor Perbankkan ... 84
6.2.3.4. Upah Sub sektor Jasa ... 86
6.2.4. Upah Minimum Regional Jakarta ... 88
6.2.5. Investasi Sektor Tersier ... 89
6.2.5.1. Investasi Sub sektor Perdagangan ... 90
6.2.5.2. Investasi Sub sektor Angkutan ... 91
6.2.5.3. Investasi Sub sektor Perbankkan ... 92
6.2.5.4. Investasi Sub sektor Jasa ... 94
6.2.6. Produk Domestik Regional Bruto Sektor Tersier... 95
6.2.6.1. Produk Domestik Rregional Bruto Sub sektor Perdagangan ... 96
6.2.6.2. Produk Domestik Regional Bruto Sub sektor Angkutan ... 98
6.2.6.3. Produk Domestik Regional Bruto Sub sektor Perbankkan ... 100
6.2.6.4. Produk Domestik Regional Bruto Sub sektor Jasa .. 102
6.3. Hasil Peramalan Dampak Kebijakan Ekonomi terhadap Pasar Kerja, Investasi dan Pendapatan Sektor Tersier di Provinsi DKI Jakarta, Tahun, 2007 – 2010 ... 104
6.3.1. Peramalan Validasi Mode Pasar Kerja, Investasi dan Pendapatan Sektor Tersier di Provinsi DKI Jakarta, Tahun 2007-2010 ... 104
6.3.2. Hasil dan Pembahasan Peramalan Simulasi Model Dampak Kebijakan Ekonomi terhadap Pasar Kerja, Investasi dan Pendapatan Sektor Tersier di Provinsi DKI Jakarta, Tahun 2007-2010 ... 106
6.3.4. Hasil Peramalan Dampak Penurunan Tingkat Suku Bunga
Kredit Perbankkan sebesar 5 persen,Tahun 2007-2010 .... 110
6.3.5. Hasil Peramalan Dampak Peningkatan Penerimaan Pajak Daerah Jakarta sebesar 10 persen,Tahun 2007-2010 ... 111
6.3.6. Hasil Peramalan Dampak Peningkatan Pengeluaran Pembanggunan sebesar 10 persen,Tahun 2007-2010 ... 112
6.4. Hasil Peramalan Simulasi Kebijakan Gabungan Upah, Pajak Daerah, Pengeluaran Pembangunan Pemerintah, Suku Bunga . 114 6.4.1. Hasil Peramalan Peningkatan Upah Minimum Regional Jakarta sebesar 20 persen dan Penurunan Suku Bunga Kredit Perbankkan sebesar 5 persen, Tahun 2007-2010 .. 114
6.4.2. Peramalan Dampak Kenaikan Pajak daerah dan Pengeluaran Pembangunan Pemerintah 10 persen, Tahun 2007-2010 ... 116
6.4.3. Hasil Peramalan Kenaikan Upah Minimum Regional Jakarta sebesar 20 persen, Pajak daerah, Pengeluaran Pembangunan sebesar 10 persen dan Penurunan Suku Bunga Kredit Perbankkan Sebesar 5 persen, Tahun 2007-2010 ... 117
6.4.3. Hasil Peramalan Kenaikan Pajak Daerah sebesar 10 persen dan Penurunan Tingkat Suku Bunga Kredit Perbankkan sebesar 5 persen, Tahun 2007-2010 ... 118
6.4.5. Hasil Peramalan Kenaikan Upah Minimum Regional Jakarta sebesar 20 persen dan Peningkatan Pengeluaran Pembangunan sebesar 10 persen, Tahun 2007-2010 ... 120
6.5. Ringkasan Peramalan dan Prioritas Skenario Kebijakan Ekonomi terhadap Pasar Kerja, Investasi dan Pendapatan Sektor Tersier di Provinsi DKI Jakarta,Tahun 2007 – 2010 ... 121
VII KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN KEBIJAKAN ... 125
7.1. Kesimpulan ... 125
7.2. Implikasi Kebijakan ... 128
7.3. Saran Penelitian Lanjutan ... 128
DAFTAR PUSTAKA ... 130
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Kontribusi Sektor Primer, Sekunder dan Tersier terhadap PDRB DKI Jakarta,Tahun 1985-2004... 5
2. Komposisi Penduduk Propinsi DKI Jakarta Yang Bekerja Menurut
Sektor Utama, Tahun 1985-2004 ... 6
3. Tingkat Upah Sektor Primer,Sekunder, dan Tersier Provinsi DKI
Jakarta,Tahun 1985-2004 ... 7
4. Distribusi Produk Domestik Bruto atas Dasar Harga Konstan,
Menurut Lapangan Usaha, Tahun 1985-2004 ... 11
5. Struktur Ekonomi DKI Jakarta dengan Harga Konstan Menurut
Lapangan Usaha,Tahun 1985-2004 ... 13
6. Distribusi Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran menurut
Sub sektor, Tahun 1999-2004 ... 64
7. Distribusi Sektor Perbankkan,Keuangan, Persewaan dan Jasa
Perusahaan Menurut Sub sektor, Tahun 1999-2004 ... 64
8. Perkembangan Jumlah Penduduk DKI Jakarta,Tahun 1961-2002 .... 65
9. Laju Pertumbuhan Penduduk menurut Kotamadya DKI Jakarta,
Tahun 1961-2000 ... 66
10. Penduduk Usia 15 Tahun keatas Menurut Jenis Kegiatan di DKI
Jakarta, Tahun 1997-2004 ... 67
11. Komposisi Penduduk DKI Jakarta yang Bekerja Menurut Sektor
Utama, Tahun 1987-2004 ... 68
12. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Angkatan Kerja Jakarta,
Tahun 1985-2004 ... 71
13. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Penyerapan Tenaga Kerja Sub sektor Perdagangan, Tahun 1985-2004 ... 73
14. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Penyerapan Tenaga Kerja Sub sektor Angkutan, Tahun 1985-2004 ... 75
15. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Penyerapan Tenaga Kerja Sub sektor Perbankkan, Tahun 1985-2004 ... 77
17. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Tingkat Upahl sub sektor
Perdagangan, Tahun 1985-2004 ... 81
18. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Tingkat Upah sub sektor
Angkutan, Tahun 1985-2004 ... 83
19. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Tingkat Upah sub sektor
Perbankkan, Tahun 1985-2004 ... 85
20. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Tingkat Upah sub sektor
Jasa, Tahun 1985-2004 ... 87
21. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Upah Minimum Regional
Jakarta, Tahun 1985-2004... 88
22. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Investasi sub sektor
Perdagangan, Tahun 1985-2004 ... 90
23. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Investasi sub sektor
Angkutan, Tahun 1985-2004 ... 91
24. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Investasi sub sektor
Perbankkan, Tahun 1985-2004 ... 93
25. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Investasi sub sektor
Jasa, Tahun 1985-2004 ... 94
26. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Produk Domestik Regional Bruto Sub sektor Perdagangan, Tahun 1985-2004 ... 96
27. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Produk Domestik Regional Bruto Sub sektor Angkutan, Tahun 1985-2004 ... 99
28. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Produk Domestik Regional Bruto Sub sektor Perbankkan, Tahun 1985-2004 ... 101
29. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Produk Domestik Regional Bruto Sub sektor Jasa, Tahun 1985-2004 ... 103
30. Hasil Peramalan Validasi Model Kebijakan Ekonomi terhadap Pasar Kerja, Investasi dan Pendapatan Sektor Tersier Provinsi DKI Jakarta,
Tahun 2007-2010 ... 105
31. Hasil Peramalan Dampak Kebijakan Ekonomi terhadap Pasar
Kerja, Investasi dan Pendapatan Sektor tersier di Provinsi DKI Jakarta, Tahun 2007-2010 ... 108
32. Hasil Peramalan Dampak Kebijakan Peningkatan Upah Minimum
Regional Jakarta sebesar 20 persen, tahun 2007-2010 ... 109
34. Hasil Peramalan Dampak Kebijakan Peningkatan Pajak Daerah
sebesar 10 persen, tahun 2007-2010... 112
35. Hasil Peramalan Dampak Kebijakan Peningkatan Pengeluaran
Pembangunan sebesar 10 persen, tahun 2007-2010 ... 114
36. Hasil Peramalan Dampak Kebijakan Penurunan Suku Bunga Kredit Perbankkan dan Sertifikat Bank Indonesia sebesar 5 persen, dan Peningkatan Upah Minimum Regional Jakarta sebesar 20 persen,
Tahun 2007-2010 ... 115
37. Hasil Peramalan Dampak Kebijakan Peningkatan Pajak Daerah dan Pengeluaran Pembangunan sebesar 10 persen, tahun 2007-2010 ... 116
38. Hasil Peramalan Dampak Kebijakan Peningkatan UMRJR sebesar 20 persen dan Peningkatan Pajak Daerah, Pengeluaran Pembangunan sebesar 10 persen dan Penurunan Suku Bunga Kredit Perbankkan sebesar 5 persen,Tahun 2007-2010 ... 118
39. Hasil Peramalan Dampak Kebijakan Peningkatan Pajak Daerah sebesar 10 persen dan Penurunan Suku Bunga Kredit Perbankkan sebesar 5 persen,Tahun 2007-2010 ... 119
40. Hasil Peramalan Dampak Kebijakan Peningkatan UMRJR sebesar 20 persen dan Peningkatan Pengeluaran Pembangunan sebesar
10 persen,Tahun 2007-2010 ... 121
41. Ringkasan Peramalan dan Prioritas Skenario Kebijakan Ekonomi terhadap Pasar Kerja, Investasi dan Pendapatan Sektor Tersier
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Kerangka Model Pasar Kerja, Investasi dan Pendapatan Sektor
Tersier di Provinsi DKI Jakarta ... 23
2. Menentukan Kurva Penawaran Tenaga Kerja ... 26
3. Hubungan antara Produksi Total, Produksi rata-rata dan Produksi Marginal dari Penggunaan Tenaga Kerja ... 31
4. Menentukan Kurva Permintaan Tenaga Kerja ... 33
5. Keseimbangan di Pasar Tenaga Kerja ... 34
6. Diagram Ketenagakerjaan ... 36
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Data Pasar Kerja, Investasi dan Pendapatan Sektor Tersier di
Provinsi DKI Jakarta, Tahun 1985-2004... 134
2. Program Pendugaan Dampak Kebijakan Ekonomi terhadap Pasar Kerja, Investasi dan Pendapatan Sektor Tersier di Provinsi DKI Jakarta, Tahun 1985-2004... 137
3. Hasil Pendugaan Dampak Kebijakan Ekonomi terhadap
Pasar Kerja, Investasi dan Pendapatan Sektor Tersier di Provinsi DKI Jakarta, Tahun 1985-2004... 139
4. Program Validasi Peramalan Dampak Kebijakan Ekonomi terhadap Pasar Kerja, Investasi dan Pendapatan Sektor Tersier di Provinsi DKI Jakarta, Tahun 2007-2010... 144
5. Hasil Peramalan Validasi Dampak Kebijakan Ekonomi terhadap Pasar Kerja, Investasi dan Pendapatan Sektor Tersier di Provinsi DKI Jakarta, Tahun 2007-2010... 146
6. Program Peramalan Peningkatan Upah Minimum Regional Jakarta sebesar 20 persen, Tahun 2007-2010... 148
7. Hasil Peramalan Peningkatan Upah Minimum Regional Jakarta sebesar 20 persen, Tahun 2007-2010... 150
8. Program Peramalan Penurunan Suku Bunga Kredit Perbankkan sebesar 5 persen, Tahun 2007-2010... 152
9. Hasil Peramalan Penurunan Suku Bunga Kredit Perbankkan
sebesar 5 persen, Tahun 2007-2010...154
10. Program Peramalan Kenaikan Pajak Daerah sebesar 10 persen, Tahun 2007-2010... 156
11. Hasil Peramalan Kenaikan Pajak Daerah sebesar 10 persen,
Tahun 2007-2010... 158
12. Program Peramalan Kenaikan Pengeluaran Pembangunan sebesar 10 persen, Tahun 2007-2010... 160
13. Hasil Peramalan Kenaikan Pengeluaran Pembangunan sebesar 10 persen, Tahun 2007-2010... 162
sebesar 20 persen dan Penurunan Suku Bunga Kredit Perbankkan sebesar 5 persen, Tahun 2007-2010... 164
15. Hasil Peramalan Kenaikan Upah Minimum Regional Jakarta sebesar 20 persen dan Penurunan Suku Bunga Kredit Perbankkan sebesar 5 persen, Tahun 2007-2010... 166
16. Program Peramalan Peningkatan Pajak Daerah dan Pengeluaran
Pembangunan sebesar 10 persen , Tahun 2007-2010... 168
17. Hasil Peramalan Peningkatan Pajak Daerah dan Pengeluara
Pembangunan sebesar 10 persen , Tahun 2007-2010... 170
18. Program Peramalan Kenaikan Upah Minimum Regional Jakarta sebesar 20 persen dan Peningkatan Pajak Daerah, Pengeluaran Pembangunan sebesar 10 persen serta Penurunan Suku Bunga Kredit Perbankkan sebesar 5 persen, Tahun 2007-2010...172
19. Hasil Peramalan Kenaikan Upah Minimum Regional Jakarta sebesar 20 persen dan Peningkatan Pajak Daerah, Pengeluaran Pembangunan sebesar 10 persen serta Penurunan Suku Bunga Kredit Perbankkan sebesar 5 persen, Tahun 2007-2010...174
20. Program Peramalan Penurunan Suku Bunga Kredit Perbankkan sebesar 5 persen dan Peningkatan Pajak Daerah sebesar 10 persen, Tahun 2007-2010... 176
21. Hasil Peramalan Penurunan Suku Bunga Kredit Perbankkan sebesar 5 persen dan Peningkatan Pajak Daerah sebesar 10 persen,
Tahun 2007-2010... 178
22. Program Peramalan Kenaikan Upah Minimum Regional Jakarta sebesar 20 persen dan Peningkatan Pengeluaran Pembangunan sebesar 10 persen , Tahun 2007-2010... 180
I.PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Salah satu modal pembangunan yang dominan dimiliki oleh negara
sedang berkembang adalah jumlah penduduk dan angkatan kerja yang cukup
besar jumlahnya. Hal ini juga yang terjadi di Indonesia selama masa orde baru
laju pertumbuhan penduduk dan tenaga kerja di Indonesia masih cukup tinggi.
Selama periode 1961-1971, laju pertumbuhan penduduk Indonesia sebesar 2.1
persen per tahun, kemudian pada tahun 1972-1994 mengalami peningkatan
menjadi 2.3 persen per tahun. Untuk tahun 1995-2000, seperti yang digariskan
oleh GBHN selama pelaksanaan Repelita VI, laju pertumbuhan penduduk akan
ditekan sampai mencapai 1.5 persen per tahun.
Jumlah penduduk dan tenaga kerja dapat menjadi masalah apabila tidak
dibarengi dengan ketersediaan kesempatan kerja yang memadai sehingga tidak
memperbesar angka pengangguran. Oleh sebab itu untuk menghidari
permasalahan tersebut dibutuhkan perencanaan tenaga kerja yang matang.
Perencanaan tenaga kerja dapat dikatakan sebagai posisi sentral dalam
pembangunan ekonomi.
Dalam Program Pembangunan Nasional (PROPENAS, 2000) telah
diisyaratkan tentang perencanaan tenaga kerja, telah ditetapkan bahwa
perluasan dan pemerataan kesempatan kerja serta peningkatan perlindungan
terhadap tenaga kerja merupakan kebijakaan pokok yang sifatnya menyeluruh
pada semua sektor. Sejalan dengan perkembanggan pembangunan terdapat
perubahan-perubahan pada pendapatan dan kesempatan kerja diantara sektor
atau kegiatan ekonomi penduduk (Widarti,1984).
Menurut Hasibuan (1987), ketenagakerjaan di Indonesia dihadapkan
1. Tidak seimbangnya penyerapan tenaga kerja antara sektor pertanian dan
non pertanian.
2. Adanya kepincangan penyerapan tenaga kerja produktif di sektor non
pertanian yaitu antara sektor pengolahan dibandingkan dengan sektor jasa.
Tidak seimbangnya jumlah penduduk dan kemampuan negara berkembang
untuk menciptakan kesempatan kerja bagi penduduk telah menimbulkan
berbagai implikasi yang buruk terhadap berbagai aspek pembangunan ekonomi,
diantaranya adalah tingginya angka pengangguran yang secara tidak langsung
berdampak negatif terhadap kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat.
Menurut Badwil (1986), sebuah negara harus mampu melakukan
transformasi, dari pembangunan industri setelah modernisasi pada sektor
pertanian serta penyedian model saranan sosialnya meningkat. Pertubuhan
ekonomi suatu negara pada tahap awal paling tinggi terjadi pada sektor pertanian
yang kemudian berubah dengan pembagunan industri, sehingga pergeseran
kesempatan kerja terjadi dari sektor manufaktur ke sektor jasa (tersier).
Akibat pergeseran-pergeseran yang terjadi, maka kesempatan kerja di
sektor tersier mangkin meningkat. Menurut Sukirno (1985), sektor-sektor yang
masuk dalam sektor tersier adalah angkutan dan perhubungan, pemerintah,
perdagangan dan jasa perorangan. Sedangkan menurut Widarti (1984), kegiatan
yang dikelompokan pada sektor tersier ini meliputi perdagangan, trasformasi,
keuangan dan jasa.
Proses pembangunan Indonesia yang berkesinambungan diarahkan
kepada perubahan struktur, dari struktur yang berlandaskan pertanian menjadi
struktur yang berlandaskan industri modern. Dengan kata lain perubahan dari
sektor primer ke sektor sekunder dan kemudian dari sektor sekunder ke sektor
tersier. Perubahan struktur, mempunyai tiga dimensi, yaitu pertama sumbangan
Kedua, persentase tenaga kerja yang bekerja pada sektor pertanian akan
semakin kecil, dan ketiga peningkatan produksi disemua bidang akan menjadi
lebih bersifat industri.
Hal ini juga terjadi di provinsi DKI Jakarta, jumlah penduduk DKI Jakarta
bertambah dari 8 256 165 orang pada tahun 1995 menjadi 8 566 300 orang pada
tahun 2003, maka laju pertumbuhan penduduk Jakarta sebesar 1.68 persen
pertahun. Sejalan dengan pertumbuhan penduduk, tenaga kerja dan angkatan
kerja juga mengalami peningkatan. Tenaga kerja bertambah dari 4 857 861
orang pada tahun 1995 menjadi 5 052 847 orang pada tahun 2002. Angkatan
kerja juga mengalami peningkatan dari 3 663 731 orang pada tahun 1995
menjadi 4 070 736 orang pada tahun 1997. dengan demikian jelas bahwa
semakin besar jumlah penduduk maka semakin besar pula tenaga kerja dan
angkatan kerja. Oleh karena itu penelitian, di rasa perlu untuk melihat seberapa
besar dampak kebijakan ekonomi terhadap pasar kerja, investasi dan
pendapatan sektor tersier di Provinsi DKI Jakarta.
1.2 Perumusan Masalah
Lahirnya UU No 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, dan PP
No.25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan provinsi sebagai daerah
otonomi, membawa implikasi kepada perubahan struktur pembangunan. Bila
sebelum pembangunan sangat bersifat sentralistik (top down), dengan peraturan
baru ini pembangunan dilaksanakan secara terdesentralisasi (bottom up) yang
mengandalkan sumberdaya lokal. Hal tersebut berarti bahwa pembangunan
ekonomi nasional akan terjadi pada setiap daerah dan perekonomian daerah.
Menurut Rasyid (2000), dengan lahirnya UU tentang otonomi daerah, menjadi
modal bagi pemerintah untuk melakukan upaya pembangunan daerah yang
bagi pemerintah daerah untuk mendorong investasi di berbagai sektor, yang
akan berimplikasi pada peningkatan pertumbuhan sektor tersebut.
DKI Jakarta memiliki potensi sumberdaya yang cukup memadai, baik
potensi sumberdaya di sektor sekunder maupun di sektor tersier, yang dapat
dikembangkan untuk meningkatkan produktifitas tenaga kerja pada sektor
tersebut. Pada tahap awal pertumbuhan tenaga kerja di DKI Jakarta lebih banyak
terserap di sektor primer, namun dengan proses industrialisasi terlihat terjadi
perpindahan tenaga kerja dari sektor primer ke sektor sekunder dan kemudian
dari sektor sekunder ke sektor tersier. Ketidakseimbangan penyerapan tenaga
kerja antar sektor ini, mengakibatkan tingkat pendapatan masyarakat masih tetap
rendah.
Masalah ketenagakerjaan di provinsi DKI Jakarta cukup serius dan penting
untuk dicari penyelesaianya, mengingat jumlah angkatan kerja di provinsi DKI
Jakarta dari tahun ketahun mengalami peningkatan, sebagai akibat pertambah
penduduk sementara kesempatan kerja yang tersediah terbatas. Pertumbuhan
penduduk yang tinggi mengharuskan pemerintah DKI Jakarta untuk
menyediakan dan memperluas lapangan kerja yang diperuntukkan bagi angkatan
kerja tersebut. Sumbangan sektor tersier terhadap produk domestik regional
bruto DKI Jakarta. Pada tahun 1997 sumbangan sektor tersier terhadap produk
domestik regional bruto propinsi DKI Jakarta sebesar 61.43 persen, dan terus
mengalami peningkatan hingga tahun 2004 menjadi 68.75 persen (Tabel 1).
Dari Tabel 1 dijelaskan bahwa kontribusi sektor tersier selalu diatas 60
persen. Ini menunjukkan bahwa sektor tersier menjadi sektor yang memberikan
pengaruh terhadap pertubuhan perekonomian di Provinsi DKI Jakarta. Tingginya
kontribusi sektor tersier terhadap Produk Domestik Regional Bruto di Jakarta
Persentasenya tingkat penyerapan tenaga kerja lebih besar dari persentase
produk domestik regional bruto sektor primer dan sekunder.
Tabel 1. Kontribusi Sektor Primer, Sekunder dan Tersier terhadap Produk Domestik Regional Bruto Provinsi DKI Jakarta, Tahun 1985 – 2004
(persen)
Tahun Sektor Jumlah
Primer Sekunder Tersier
1985 0.18 35.23 59.45 100 1986 0.17 34.55 60.12 100
1987 0.19 34.87 61.43 100 1988 0.19 35.21 61.54 100 1989 0.17 35.34 61.11 100 1990 0.18 35.88 62.11 100 1991 0.19 36.23 62.11 100 1992 0.19 36.45 62.44 100 1993 0.20 36.78 61.56 100 1994 0.20 37.22 62.45 100 1995 0.20 37.35 62.43 100 1996 0.18 37.98 61.84 100 1997 0.18 38.25 61.57 100 1998 0.18 34.44 65.37 100 1999 0.20 34.88 64.91 100 2000 0.19 34.58 65.23 100 2001 0.23 34.82 65.92 100 2002 0.44 35.53 67.20 100 2003 0.45 35.66 66.30 100 2004 0.55 35.90 68.75 100
Sumber : BPS (2005)
Pada tahun 1985 hingga tahun 2004, tingkat penyerapan tenaga kerja
sektor tersier lebih dari 60 persen dari angkatan kerja di Provinsi DKI Jakarta
(Tabel 2).
Dari Tabel 2 diatas terlihat bahwa tenaga kerja yang bekerja di Jakarta di
dominasi oleh sektor tersier. Jumlah yang bekerja dari sektor tersier di Provinsi
DKI Jakarta selalu bertambah, sala satu faktor yang mempengaruhi tingginya
tingkat yang bekerja di sub sektor tersier adalah tingkat penyerapan tenaga kerja
di dominasi oleh sektor tersier. Hal ini terlihat dari tingkat yang bekerja di sektor
ketiga kegiatan tersebut cukup banyak. Angkatan kerja baru yang terserap
sebagian besar di serap di sektor tersier.
Tabel 2. Komposisi Penduduk Provinsi DKI Jakarta yang Bekerja Menurut Sektor Utama, Tahun 1985 – 2004
(persen)
Tahun Sektor Jumlah
Primer Sekunder Tersier
1985 0.18 35.23 53.14 100
1986 0.17 34.55 54.14 100
1987 0.19 34.87 55.15 100
1988 0.19 35.21 56.78 100
1989 0.17 35.34 56.45 100
1990 1.60 27.50 70.80 100
1991 0.19 35.25 68.52 100
1992 0.19 36.45 58.89 100
1993 1.83 24.30 73.42 100
1994 2.32 23.94 73.21 100
1995 2.09 23.54 73.31 100
1996 1.98 23.60 73.42 100
1997 0.20 24.20 75.60 100
1998 0.90 21.60 77.00 100
1999 0.70 21.50 77.80 100
2000 0.20 24.80 75.00 100
2001 0.80 25.00 74.40 100
2002 0.62 24.21 75.17 100
2003 0.81 12.15 75.04 100
2004 0.55 35.90 68.75 100
Sumber : BPS (2005)
Salah satu faktor yang mempengaruhi permintaan tenaga kerja sektor
tersier tinggi adalah tingkat upah, walapun secara rata-rata tingkat upah disektor
tersier lebih rendah dari sektor sekunder maupun primer (Tabel 3).
Dari Tabel 3 dijelaskan bahwa upah sektor tersier lebih rendah dari sektor
sekunder. Hal ini akan menjadi insentif bagi para investor untuk berinvestasi di
sektor tersier. Upah disektor tersier tahun 1985 sebesar Rp 82 790 dan tahun
2004 sebesar Rp 1 240 557. Relatif rendahnya upah disektor tersier tidak
terlepas dari produktivitas kerja sektor tersier. Produktivitas yang dicerminkan
dari peran sektor tersier terhadap PDRB Provinsi DKI menunjukkan bahwa
persen penduduk yang bekerja di sektor tersier pada tahun 1985, akan tetapi
hanya menyumbang sebesar 63.45 persen terhadap total PDRB. Sedangkan
sektor sekunder, dengan 35.23 persen pekerja dari total pekerja di DKI Jakarta
tahun 1985 mampu menyumbang PDRB DKI Jakarta tahun 1985 sebesar 37.35
persen terhadap total PDRB DKI. Jakarta
Tabel 3. Tingkat Upah Sektor Primer, Sekunder, dan Tersier di Provinsi DKI Jakarta, Tahun 1985 -2004
( Rupiah)
Tahun Sektor
Primer Sekunder Tersier
1985 204 555 93 454 82 790
1986 215 454 95 545 84 936
1987 223 545 98 545 94 611
1988 235 488 134 554 123 564
1989 248 791 184 556 151 725
1990 252 164 198 899 169 916
1991 317 767 204 545 220 742
1992 354 369 220 878 243 118
1993 367 865 258 445 344 907
1994 374 562 307 651 302 217
1995 567 646 345 662 348 180
1996 695 500 364 782 372 860
1997 658 750 421 941 415 925
1998 643 136 460 781 508 210
1999 601 958 475 998 531 573
2000 608 466 498 655 612 470
2001 608 769 645 845 821 769
2002 615 401 891 442 987 417
2003 665 467 924 556 1 118 449
2004 787 908 1 025 484 1 240 557
Sumber : BPS (2005)
Dengan semakin banyaknya permasalahan ketenagakerjaan di DKI
Jakarta, baik dari pihak pengusaha maupun karyawan, maka dirasa perlu bagi
pemerintah untuk membuat kebijakan upah minimum regional Jakarta. Dengan
kebijakan ini, diharapkan pertumbuhan dan stabilitas ekonomi DKI Jakarta dapat
terjaga. Dari perumusan masalah diatas, maka dalam penelitian ini akan di
1. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi pasar kerja, investasi dan
pendapatan sektor tersier di Provinsi DKI Jakarta?
2. Bagaimana peramalan dampak kebijakan pemerintah terhadap pasar kerja,
investasi dan pendapatan sektor tersier di Provinsi DKI Jakarta?
1.3 Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak kebijakan
ekonomi terhadap pasar kerja, investasi dan pendapatan sektor tersier di
Provinsi DKI Jakarta. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi pasar kerja, investasi dan
pendapatan sektor tersier
2. Meramal dampak kebijakan ekonomi terhadap pasar kerja, investasi dan
pendapatan sektor tersier di Provinsi DKI Jakarta tahun 2007 – 2010.
1.4 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Sesuai dengan latar belakang, perumusan masalah dan tujuan penelitian
yang telah diuraikan, maka ruang lingkup penelitian ini adalah menganalisis
dampak kebijakan ekonomi terhadap pasar kerja, investasi dan pendapatan
sektor tersier di Provinsi DKI Jakarta. Secara khusus penelitian ini menganalisis
angkatan kerja Jakarta, penyerapan tenaga kerja, upah sektor tersier, upah
minimal regional Jakarta, investasi dan pendapatan sektor tersier, yang
merupakan perbedaan utama dari penelitian-penelitian sebelumnya. Adapun
keterbatasan dari penelitian ini adalah masalah tenaga kerja yang dianalisis
hanya mencakup sektor tersier yang terdiri dari sektor perdagangan, angkutan,
perbankkan serta jasa. Penelitian dilakukan di Provinsi DKI Jakarta karena
Jakarta memiliki daya serap yang tinggi terhadap pasar kerja disektor tersier
1.5. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pemerintah
DKI Jakarta mengenai keadaan pasar kerja, tingkat investasi dan Produk
Domestik Regional Bruto Provinsi DKI Jakarta pada sektor tersier. Sehingga
dapat menjadi acuan dalam pengambilan keputusan untuk menyusun
II.TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Peranan Sektor Tersier dalam Perekonomian Indonesia.
Pembangunan perekonomian sangat erat kaitannya dengan pembangunan
sektor tersier yang andal. Sektor tersier terdiri dari empat sektor, yaitu sektor
perdagangan, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor keuangan, dan
sektor persewaan, jasa perusahan dan lainnya. Keempat sektor ini memegang
peranan yang sangat penting dalam perekonomian nasional. Sub sektor
perdagangan merupakan jembatan penghubung antara produsen dan konsumen
sedangkan pendistribusian hasil produksi tidak lepas dari peranan sektor
pengangkutan. Sub sektor keuangan sangat dibutuhkan dalam pemodalan dunia
usaha sementara sub sektor jasa lainya juga tidak dapat diabaikan peranannya
dalam menciptakan perekonomian yang sehat.
Peranan sektor tersier terhadap Produk Domestik Regional Bruto pada
tahun 2004 sebesar 41.25 persen. Ini berarti lebih tinggi dari tahun 2003 yang
hanya sebesar 41.97 terhadap Produk Domestik Bruto. Hal ini terlihat pada tahun
1995 hampir 35.61 persen PDRB disumbang oleh sektor tersier, kontribusi
sektor tersier terus meningkat menjadi 42.65 persen pada tahun 2002 (Tabel 4).
Dari Tabel 4 ditunjukan bahwa selama periode tahun 1985-2004 diantara
sektor-sektor tersier tersebut, kontribusi sub sektor perdagangan mendominasi
nilai tambah, yaitu sekitar 16.12 persen. Sub sektor perdagangan berperan
sebagai penunjang kegiatan ekonomi untuk menghasilkan produk barang dan
jasa. Akibat dari krisis ekonomi sub sektor perdagangan juga mengalami dampak
yang sama dengan sektor-sektor yang lain. Hal ini terlihat pada tahun 1998
sektor ini mengalami penurunan menjadi 13.98 persen, akan tetapi hal ini tidak
berlangsung lama pada tahun 2004 sektor ini mengalami peningkatan menjadi
Tabel 4. Distribusi Produk Domestik Bruto atas Dasar Harga Konstan Menurut Lapangan Usaha,Tahun 1985-2004
(persen)
Tahu n
Lapangan usaha
Pertani an
Pertam bangan
Industri Listri gas dan air
Baguna na
Perdagan agan
Pengangkut an
Keuang an
Jasa PDB
1985 11.26 5.66 21.45 1.45 3.56 12.45 5.89 4.12 6.53 100
1986 11.24 5.12 21.86 1.02 2.89 12.56 5.78 4.13 6.48 100
1987 11.78 6.23 21.70 1.42 2.98 12.69 5.89 4.23 6.55 100
1988 11.45 6.54 21.45 1.11 3.21 12.89 6.00 4.33 6.12 100
1990 11.23 7.33 22.69 1.20 3.42 13.00 6.12 4.89 7.12 100
1991 11.89 7.21 22.78 1.22 3.58 13.45 6.23 5.12 7.56 100
1992 12.56 7.45 22.45 1.35 3.69 13.50 6.45 5.23 7.99 100
1993 12.45 7.89 22.56 1.45 4.90 13.56 6.58 5.23 7.45 100
1994 13.12 8.95 23.55 1.45 4.89 13.58 6.89 5.78 8.92 100
1995 14.02 9.25 23.88 1.45 4.89 14.52 6.78 5.76 8.55 100
1996 14.08 9.12 24.71 1.45 4.96 14.15 7.11 5.89 8.45 100
1997 14.88 8.90 24.84 1.50 5.45 14.15 7.12 6.45 8.09 100
1998 16.90 9.96 25.30 1.50 5.97 13.98 7.17 7.51 9.09 100
1999 17.21 9.04 26.07 1.01 5.87 15.86 7.05 6.89 9.85 100
2000 16.71 9.41 26.43 1.07 5.98 16.00 7.36 6.88 9.56 100
2001 16.97 9.05 26.87 1.77 6.23 16.34 7.23 7.00 10.2 100
2002 17.31 10.21 27.12 1.78 6.76 16.89 7.09 7.78 10.8 100
2003 17.31 10.33 27.14 1.79 6.23 16.10 7.09 7.88 10.9 100
2004 18.21 10.47 27.14 1.69 6.12 16.21 7.06 7.88 11.1 100
Sumber: BPS (2004)
Sub sektor jasa merupakan penyumbang kedua terbesar setelah sub
sektor perdagangan dengan konstribusi sebesar 9.53 persen pada tahun 1985.
Pada tahun 1996 dan 1997 sektor ini mengalami penurunan sebesar 8.05
persen. Badai krisis moneter yang kemudian menjadi krisis ekonomi yang
melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997, masih terlihat dampaknya
pada saat ini. Hampir semua sektor ekonomi masih belum dapat berjalan seperti
sedia kala, termasuk sub sektor jasa. Fenomena ini terlihat dari pertumbuhan
sektor jasa pada tahun 1998 yang menunjukan pertumbuhan yang membaik
yaitu sebesar 9.69 persen. Secara makro sektor tersier mengalami peningkatan.
Ini menandakan bahwa sektor tersier tidak begitu berpengaruh terhadap krisis
ekonomi.
2.2. Peranan Sektor Tersier dalam Perekonomian DKI Jakarta
Dalam mendukung terwujudnya struktur ekonomi yang semakin seimbang
dan kokoh antara sektor sekunder dan sektor primer yang tangguh diperlukan
Indonesia terlihat bahwa peran serta sektor tersier sangat membantu dalam
pertumbuhan produk domestik regional bruto DKI Jakarta dibanding dengan
sektor-sektor lainya. Sumbangannya sektor tersier dapat meningkatkan
pendapatan nasional maupun regional dan sekaligus dapat menamba
penerimaan masyarakat yang bergerak dalam proses produksi pada
masing-masing sektor (Prihawantoro, 2002).
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS DKI Jakarta, 2004) peran sektor
perdagangan sedikit mengalami penurunan, namun masih cukup tinggi dibanding
dengan sektor-sektor lainnya. Anggka penurunan yang besar pada sub sektor
perdagangan inilah yang memberikan kontribusi terbesar bagi turunnya produk
domestik regional bruto sektor perdagangan, hotel dan restoran. Turunnya sub
sektor perdangangan disebabkan karena krisis ekonomi yang terjadi telah
memberikan pengaruh terhadap turunnya volume kegiatan perdagangan.
Turunnya volume kegiatan perdagangan antara lain ditunjukkan oleh turunnya
nilai perdagangan Internasional DKI Jakarta, terutama nilai import DKI Jakarta
yang turun drastis sekitar 46.7 persen (BPS DKI Jakarta,2002).
Menurut Badan Pusat Statistik, (1999) bahwa selama delapan tahun
terakhir struktur perekonomian Provinsi DKI Jakarta didominasi oleh dua sektor
yang terdiri dari sektor sekunder pengolah dan sektor tersier. Sedangkan sektor
yang memiliki kontribusi yang kecil terhadap produk domestik regional bruto
provinsi DKI Jakarta adalah sektor listrik gas dan air bersih dan sektor primer.
Khusus untuk sektor primer selain sumbangannya kecil, persentase
sumbangannya pun cendrung menurun sedangkan sektor tersier sumbangannya
cendrung menaik dan memberikan kontribusi yang besar terhadap produk
domestik regional bruto Jakarta (Tabel 5 ).
Dari Tabel 5 diatas menunjukkan bahwa selama delapan tahun terakhir
sekunder, (2) Sektor tersier. Sedangkan sektor yang kecil sumbanganya
terhadap PDRB adalah sektor primer. Khusus sektor primer, selain
sumbanganya kecil, persentase sumbangannya pun cendrung menurun. Di
antara sektor-sektor yang besar sumbangannya terhadap produk domestik
regional bruto, sumbangan sektor industri pengolahan mengalami penurunan
setelah terjadinya krisis ekonomi. Hal ini disebabkan oleh besarnya penurunan
produk domestik regional bruto sektor tersebut, jauh lebih besar dari penurunan
produk domestik regional bruto DKI Jakarta. Sedangkan sektor tersier
mengalami kenaikan karena penurunan PDRB kedua sektor tersebut masih lebih
kecil dari penurunan PDRB DKI Jakarta.
Tabel 5. Struktur Ekonomi DKI Jakarta dengan Harga Konstan Menurut Lapangan Usaha, Tahun 1985-2004
(persen)
Tahun Lapangan usaha
Perta nian
Industr i
Listri gas dan air
Baguna n
Perdaganag a
Pengangk utan
Keuang an
Jasa PDB
1985 0.16 18.12 0.23 12.54 19.34 7.12 19.23 7.12 100 1986 0.17 18.33 0.56 12.43 18.34 7.23 20.57 7.23 100 1987 0.18 19.45 0.57 12.54 20.13 7.34 20.32 7.86 100 1988 0.18 19.86 0.56 12.34 20.32 7.54 20.56 8.45 100 1990 0.20 19.45 1.34 13.43 21.12 7.98 20.45 7.34 100 1991 0.17 20.45 0.89 13.87 21.21 8.90 20.68 9.56 100 1992 0.19 19.12 1.23 13.89 21.87 7.90 20.98 8.34 100 1993 0.18 20.57 1.04 13.34 21.65 8.98 21.12 8.56 100 1994 0.19 20.89 1.23 14.23 21.53 7.89 21.43 8.86 100 1995 0.20 21.21 1.66 14.48 22.53 8.41 21.97 9.52 100 1996 0.18 21.04 1.62 15.32 22.74 8.49 21.68 8.94 100 1997 0.18 21.16 1.74 15.35 22.90 8.64 21.50 8.53 100 1998 0.18 21.04 1.92 11.48 23.47 9.22 23.55 9.13 100 1999 0.20 21.66 2.03 11.19 23.68 9.81 22.17 9.25 100 2000 0.19 21.64 2.06 10.88 23.81 10.16 22.13 9.13 100 2001 0.23 21.68 2.15 10.99 24.12 10.23 22.23 9.34 100 2002 0.44 21.89 2.30 11.34 24.65 10.65 22.45 9.45 100 2003 0.45 22.12 2.35 11.56 24.65 10.34 22.60 9.65 100 2004 0.55 22.89 3.12 11.60 24.75 10.23 22.78 9.85 100 Sumber: BPS (2005)
2.3. Kebijakan Pemerintah di Pasar Tenaga kerja
Kebijakan pembangunan pada hakekatnya bertujuan untuk melindungi
kehidupan pekerja yang memiliki posisi lemah di pasar kerja. Hal ini juga
ketenaga kerjaan khususnya bidang pengupahan diarahkan pada sistem
pembayaran upah secara keseluruhan, tetapi tidak termasuk uang lembur. Upah
tidak dibayar bila pekerja tidak melakukan pekerjaan. Ketentuan ini merupakan
azas yang mendasar yang berlaku pada semua golongan pekerja, kecuali bila
pekerja yang bersangkutan tidak dapat bekerja disebabkan bukan karena
kesalahan pekerja (Safrida,1999).
Pada umumnya kebijakan pengupahan dapat dibedakan menjadi dua
bagian, yaitu:
a. Kebijakan umum
1. Dalam melaksanakan kebijakaan, pemerintah memandang upah pekerja
bukan hanya sekedar sebagai bagian dari biaya produksi, akan tetapi
merupakan biaya untuk memenuhi kebutuhan dasar agar dapat hidup layak
bersama keluarganya.
2. Upah yang rendah secara bertahap akan ditingkatkan sehingga nominal
sama dengan nilai kebutuhan dasar hidup minimum.
3. Peningkatan kesejahteraan tidak saja diberikan melalui peningkatan upah
akan tetapi dengan penyelengaran jaminan sosial yang lain misalnya
pengobatan, perumahan dan pensiun.
b. Kebijakan Khusus
1. Upah minimum mencakup upah pokok ditambah tunjangan tetap
2. Kebijakan upah minimum wajib untuk dilaksanakan oleh setiap perusahaan
3. Kebijakan upah minimum harus ditinjau sekurang kurangnya sekali dalam
dua tahun.
2.4. Kebijakan Upah Minimum Regional
Upah adalah kata atau terminologi yang sangat populer di masyarakat kita
imbalan yang diterima oleh seseorang yang telah melakukan kegiatan.
Pengertian pengupahan adalah imbalan yang diterima pekerja atas jasa kerja
yang diberikannya dalam proses produksi barang dan jasa diperusahan.
Upah sesunguhnya mempunyai korelasi yang positif dengan produktifitas
kerja, karena upah yang diterima akan digunakan oleh pekerja untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi giji dan biaya kesehatan. Selain itu upah tersebut juga
digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang lebi baik yang sifatnya fisik maupun
non fisik. Apabilah pekerja memperoleh upah yang terlalu rendah maka pekerja
tersebut tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan giji dan kesehatan yang
memadai.
Selain pemberi upah dan penerima upah, pihak lain yang sangat terkait
adalah pemerintah sebagai institusi yang mewakili negara dan masyarakat dalam
menjaga dan memelihara kondisi kehidupan sosial, ekonomi dan politik yang
sehat. Pemerintah mempunyai kepentingan untuk menetapkan kebijakan
pengupahan guna menjamin kelangsungan kehidupan yang layak bagi pekerja
dan keluarganya dan meningkatkan daya belik masyarakat sekaligus menjamin
peningkatan produktifitas kerja. Salah satu instrumen kebijakan pemerintah untuk
melindungi kelompok pekerja lapisan paling bawah di setiap perusahan agar
memperoleh upah dengan menetapkan upah minimum regional (UMR).
Menurut Menteri Tenaga Kerja RI No:Per-01/Men/1999, upah minimum
regional adalah upah pokok terendah termasuk tunjangan tetap yang diterima
oleh pekerja wilayah tertentu dalam satu provinsi. Upah minimum regional bukan
merupakan upah standar, tetapi merupakan jaring pengaman agar tidak terjadi
pembayaran upah yang semakin menurun karena labor surplus.
Indonesia pada umumnya menghadapi masalah dalam penentapan upah
minimum regional (UMR). Hal ini disebabkan karena adanya kesenjangan
pekerja level bawah dengan level atas, pekerja disektor primer dengan sektor
tersier. Kondisi ini mengakibatkan timbulnya kesulitan untuk menetapkan upah
minimum yang seragam .
2.5. Tinjauan Penelitian Terdahulu
2.5.1. Angkatan Kerja
Pengamatan mengenai keragaan tenaga kerja dapat dilihat dari beberapa
sisi, antara lain: angkatan kerja, penyerapan tenaga kerja, tingkat upah,
produktifitas kerja, migrasi dan pendapatan. Hal tersebut telah banyak dikaji
dalam penelitian terdahulu terutama penelitian berskala nasional. Adriani (2000),
melakukan analisis dengan melihat bagaimana dampak kebijakan pemerintah
terhadap keragaan pasar kerja dan migrasi pada periode krisis di Indonesia.
Hasil analisis menunjukan bahwa peningkatan angkatan kerja dipengaruhi oleh
pertambahan penduduk usia produktif dan jumlah angkatan kerja tersebut
sebelumnya baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan. Upah bukan
merupahkan faktor utama yang mendorong peningkatan jumlah angkatan kerja.
Perilaku tersebut disebabkan karena peningkatan jumlah angkatan kerja yang
tidak seimbang antara wilayah pedesaan dan perkotaan serta tidak tersediahnya
kesempatan kerja yang memadai.
Wulandari (2002), menganalisis mengenai bagaimana peranan sektor
tersier dalam perekonomian Provinsi Jawa Barat. Dari hasil penelitianya,
diperoleh hasil bahwa sebanyak 39.35 persen distribusi produk domestik regional
bruto berasal dari sektor tersier. Sektor perdagangan masih menjadi motor
pengerak dari sektor tersier. Ini terlihat dalam andilnya terhadap produk domestik
regional bruto, dari 39.35 persen peranan sektor tersier dalam Produk Domestik
Regional Bruto tersebut 18.83 persen berasal dari sektor perdagangan
persen, sektor bank dan lembaga keuangan lain menyumbang sebesar 1.67
persen serta sektor pemerintah dan keamanan serta jasa-jasa lainya
masing-masing mempunyai peran sebanyak 5.91 persen dan 4.62 persen.
Sulistyaningsih (1997), melakukan analisis mengenai hubungan antara
perubahan struktur ekonomi dan struktur tenaga kerja di Indonesia. Hasil analisis
menunjukkan bahwa perubahan struktur ekonomi Indonesia terjadi dari ekonomi
yang bertumpu pada sektor pertanian kepada ekonomi yang bertumpu pada
sektor manufaktur dan jasa. Diketahui bahwa perubahan struktur ekonomi
mempengaruhi struktur penyerapan tenaga kerja. Berdasarkan analisis diketahui
bahwa meskipun belum terdapat pergeseran dominasi penyerapan tenaga kerja
dalam ekonomi, tetapi terjadi perubahan peranan penyerapan tenaga kerja di
masing-masing sektor. Peranan sektor pertanian menurun dalam penyerapan
tenaga kerja dari 57.7 persen pada tahun 1980 menjadi 44.8 persen pada tahun
1998, walapun penyerapan tenaga kerja di sektor manufaktur dan jasa pada
periode 1980 sampai 1993 rata-rata meningkat.
2.5.2. Penyerapan Tenaga Kerja
Andriani (2000), melakukan analisis bahwa peningkatan penyerapan
tenaga kerja sektoral dipengaruhi secara nyata oleh pendapatan nasional
sektoral, program padat karya diperkotaan dan pembangunan prasarana
pendukung desa tertingal dari pada pendapatan nasional sektoral. Hal tersebut
menunjukkan adanya indikasi pendapatan nasional sektoral, walapun
berpengaruh positif tetapi lebih banyak digunakan untuk kegiatan penciptaan
kapital dari pada untuk penciptaan kesempatan kerja.
Benu (1990), menganalisis bagaimana peranan sektor tersier dalam
penyerapan tenaga kerja di Sulawesi Utara, menghasilkan bahwa sektor primer
terhadap total kesempatan kerja menurun yaitu dari 68.28 persen pada tahun
1971 menjadi 58.28 persen pada tahun 1986. Sebaliknya sektor sekunder
mengalami kenaikan yaitu dari 6.84 persen pada tahun 1971 menjadi 11.13
persen pada tahun 1985. Kenaikan kesempatan kerja disektor ini sejalan dengan
kebijakan pemerintah yang mengharapkan pengembangan sektor ini sebagai
penunjang sektor pertanian. Seperti halnya sektor sekunder maka sektor tersier
juga mengalami kenaikan yaitu dari 24.90 persen pada tahun 1971 menjadi
30.58 persen pada tahun 1985. Hal tersebut menunjukkan bahwa di Sulawesi
Utara terjadi pergeseran kesempatan kerja dari sektor primer kesektor sekunder
dan kemudian kesektor tersier.
2.5.3. Upah Sektor Tersier
Demikian pula untuk tingkat upah, hasil analisis dari Adriani (2000)
menunjukan jika upah sektoral dihubungkan dengan daya beli pekerja, maka
penurunan upah tersebut akan mengarah pada turunya daya belik masyarakat.
Dari hasil analisis tersebut dapat dilihat bahwa upah di luar Jawa lebih tinggi dari
pada di pulau Jawa. Karena upah merupahkan suatu faktor yang mempengaruhi
seseorang untuk melakukan migrasi maka perbedaan upah tersebut diperkirakan
akan mendorong terjadinya arus berpindah penduduk dari Jawa ke luar Jawa.
Safrida (1999), menganalisis mengenai dampak kebijakan upah minimum
dan makroekonomi terhadap laju inflasi, kesempatan kerja serta keragaan
permintaan dan penawaran agregat di Indonesia. Hasil analisis menunjukkan
bahwa pengaruh peningkatan upah minimum terhadap penawaran tenaga kerja
dan peningkatan permintaan tenaga kerja sektor pertanian dan jasa cukup besar
dan berpengaruh nyata. Sedangkan terhadap permintaan tenaga kerja sektor
industri pengaruhnya kecil dan tidak berpengaruh nyata. Melihat keadaan ini,
upah minimum sektor pertanian dan jasa dibandingkan dengan peningkatan
upah minimum sektor industri. Karena jika upah minimum sektor pertanian dan
jasa meningkat maka kemungkinan terjadi pengangguran.
Selanjutnya, kebijakan peningkatan upah minimum regional memberikan
dampak negatif pada peningkatan laju inflasi. Sedangkan dampak yang
ditimbulkan terhadap pendapatan nasional, investasi, tabungan, permintaan dan
penawaran tenaga kerja berdampak positif karena meningkatnya harga output.
Ini mengakibatkan setiap rumah tangga harus mengeluarkan biaya yang lebih
besar untuk mengkonsumsi output dalam jumlah yang sama.
2.5.4. Produktifitas Kerja
Rofiqoh (1994), juga melakukan penelitian mengenai produktifitas pekerja
di Kalimatan Timur dan hasil analisisnya menunjukkan sebagai berikut:
1. Upah mempunyai hubungan positif dengan produktifitas pekerja di Kalimatan
Timur. Karena semakin tinggi upah, pada taraf tertentu dapat memotifasi
seseorang untuk lebih giat bekerja yang akhirnya akan meningkatkan
produktifitas pekerja.
2. Pendapatan perkapita berpengaruh positif terhadap produktifitas pekerja,
karena pendapatan perkapita dapat mencerminkan pendapatan penduduk
makro.
3. Tenaga kerja tidak sekolah, tidak tamat SD dan tamat SD mempunyai
hubungan negatif dengan produktifitas pekerja di Kalimatan Timur dan baru
mempunyai hubungan yang positif setelah menamatkan tingkat pendidikan
SMP, SMA dan Perguruan Tinggi.
Pasay dan Salman (1990), dalam penelitiannya mengenai produktifitas di
dengan produktifitas pekerja, dimana kenaikan upah sebesar satu persen akan
meningkatkan produktifitas pekerja sebesar 21 persen.
Upah sektor industri memberikan pengaruh terbesar bagi peningkatan
produktifitas pekerja dibandingkan dengan sektor lainya. Penerapan program
Jaring Pengaman Sosial (JPS) bidang kesehatan menunjukkan hasil yang positif
bagi peningkatan produktifitas pekerja. Untuk tingkat migrasi desa–kota juga
lebih responsif terhadap perubahan tingkat pengangguran diperkotaan daripada
di daerah pedesaan. Apalagi faktor upah relatif sektor industri dan tingkat
pengangguran di perkotaan dikatagorikan sebagai penarik untuk bermigrasi dan
faktor upah sektor pertanian serta tingkat pengangguran di pedesaan sebagai
faktor pendorong. Hal ini menunjukkan bahwa migrasi dari desa-kota lebih
disebabkan oleh adanya faktor penarik dari perkotaan daripada faktor pendorong
yang ada dipedesaan.
Wulandari (2002), menganalisis bagaimana peranan tenaga kerja sektor
tersier di Jawa Barat, menghasilkan bahwa sektor tersier merupakan sektor
tenaga kerja yang menyerap tenaga kerja yang paling besar dibanding dengan
sektor lainnya. Hal ini terlihat dari hasil PDRB Jawa Barat yang sebahagian besar
berasal dari sektor tersier dan memberikan kontribusi yang besar dalam
perekonomian Jawa Barat secara umum didalam penelitian tersebut membahas
masalah peranan sektor tersier dalam pembangunan di kota Jawa Barat
sedangkan yang ditelitih adalah mengenai bagaimana peranan sektor
perdagangan, sektor pengangkutan dan komunikasi, keuangan serta jasa.
Wirakartakusumah (1999), yaitu krisis moneter di Indonesia, dampak sosial
yang ditimbulkan dan strategi penanggulanggannya. dalam penelitian itu
diharapkan semakin beratnya tantangan bagi perekonomian Indonesia, maka
yang sangat diperlukan adalah reformasi total dari lembaga-lembaga utama yang
perekonomian Indonesia dalam jangka panjang. Swasono (1999), menganalisis
mengenai masalah ketenagakerjaan pada masa krisis dan eraglobalisasi. Kondisi
ketenagakerjaan di Indonesia pada saat ini membutuhkan strategi yang tepat
dalam menghadapi dampak globalisasi, juga membutuhkan strategi dan
reformasi kebijakan sebagai akibat dari krisis ekonomi, sehingga strategi yang
dibutuhkan dapat meminimalisasi mobilitas global sumber daya manusia serta
menurunnya kesempatan kerja.
Dari tinjauan pustaka dari berbagai hasil penelitian mengenai pasar kerja
sektor tersier dapat dihimpun berbagai pendapat, dan mengenai peubah yang
mempunyai pengaruh terhadap persamaan angkatan kerja, penyerapan kerja,
tingkat upah, investasi serta pendapatan dari sektor tersier, dan dijumpai
perbedaan dalam model yang dipakai, metode pendugaan dan perbedaan waktu
yang dianalisis serta daerah penelitian. Dari studi tenaga kerja sektor tersier yang
terdahulu belum ada menganalisis Dampak Kebijakan Ekonomi terhadap Pasar
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Dasar Pemikiran
Kontribusi sektor primer dan sekunder terhadap penerimaan pendapatan
Provinsi DKI Jakarta mengalami penurunan. Ini terlihat dari kontribusi sektor
tersier yang memiliki kontribusi pendapatan diatas 60 persen, sedangkan sektor
primer dan sekunder dibawah 30 persen. Krisis ekonomi yang menimpah
Indonesia mengakibatkan sektor primer dan sekunder mengalami penurunan
yang sangat berarti. Sehingga perlu dicari sala satu alternatif, sala satu alternatif
yang menjanjikan adalah sektor tersier. Diketahui bahwa sektor tersier
memberikan kontribusi yang besar terhadap Produk Domestik Regional Bruto
Provinsi DKI Jakarta. Ini terlihat dari kontribusi sektor tersier pada tahun 1985
sebesar 53.76 persen dari total produk domestik regional bruto Jakarta.
Kemudian mengalami peningkatan pada tahun 2004 sebesar 65.23 persen. Dari
sektor tersier ini sub sektor perbankan yang menyumbang terbesar yaitu sekitar
21.97 persen, sedangkan penyumbang paling rendah sebesar 7.79 persen terjadi
pada sub sektor pengangkutan. Akan tetapi krisis ekonomi yang menimpa
Indonesia tidak mempengaruhi sub sektor pengangkutan, ini terlihat dari
sumbangan sub sektor pengangkutan yang mengalami peningkatan sebasar
9.10 persen dibanding dengan sub sektor lainya.
Oleh karena sektor tersier merupakan penyumbang terbesar terhadap
produk domestik regional bruto Provinsi DKI Jakarta, maka perlu dikaji
bagaimana dampak kebijakan ekonomi terhadap pasar kerja, investasi dan
pendapatan sektor tersier di Provinsi DKI Jakarta sehinga kerangka model pasar
kerja, investasi dan pendapatan sektor tersier di Provinsi DKI Jakarta dapat
Migrasi Jumlah Penduduk Jumlah tidak produktif Penduduk
Produktif
Angkatan Kerja Jakarta
Inflasi Pengeluaran Pembangunan
Upah Minimum Regional Jakarta
Upah Sektor Tersier
Penyerapan Tenaga Kerja Sektor tersier
Suku Bunga Pajak Daerah
Investasi Sektor
Tersier
Produk Domestik Regional Bruto Sektor Tersier DKI Jakarta
= Variabel endogen
[image:33.612.193.518.77.609.2]= Variabel eksogen
3.2. Kerangka Teori
3.2.1. Penawaran Tenaga Kerja
Penawaran tenaga kerja adalah suatu hubungan antara tingkat upah
dengan jumlah tenaga kerja yang siap disediakan oleh para pemilik tenaga kerja.
Seorang pekerja dalam menawarkan tenaganya akan bertindak rasional dengan
membuat pilihan diantara bekerja dan menikmati masa istirahatnya. Pekerja
mempunyai 2 pilihan dalam membagi waktu untuk memaksimumkan
kepuasanya, yaitu (1) kepuasan dari pekerja dan memperoleh upah, dan (2)
kepuasan dari menikmati masa istirahat. Kurva penawaran tenaga kerja dapat
menjelaskan; (1) jumlah tenaga kerja maksimum yang dapat disediakan oleh
pemilik tenaga kerja pada berbagai kemungkinan tingkat upah untuk tiap periode
waktu, dan (2) tingkat upah minimum yang bersediah diterima para pemilik
tenaga kerja pada setiap kemungkinan jumlah tenaga kerja (Sukirno,2006).
Tenaga kerja dapat memutuskan apakah dia akan masuk ke pasar kerja
atau mengunakan waktunya untuk istirahat. Individu akan mendapatakan
kepuasan dengan menkonsumsi barang dan mengunakan waktu luang. Yang
dapat dirumuskan sebagai berikut:
U = f ( C,L)... (1)
dimana:
U = tingkat kepuasan
C = konsumsi atas barang dan jasa
L = menggunakan waktu luang (leisure)
Dalam mengkonsumsi barang dan jasa serta menggunakan waktu luangnya,
tenaga kerja dibatasai oleh waktu dan pendapatan.
Misalkan H adalah jumlah waktu yang digunakan untuk bekerja. Maka kendala
waktu dapat dinyatakan dalam persamaan berikut:
dimana:
T = total jam kerja
Pekerja juga dihadapkan kepada kendala pendapatan (budget constraint).
Bagian dari pendapatan tenaga kerja seperti pendapatan rumah tanga, bagi hasil
dan lotere. Pendapatan yang tidak tergantung pada berapa jam kerja dia bekerja
atau dapat dikatakan sebagai non labor income (V). Pekerja dapat menambah
pendapatan dengan bekerja.
Misalkan w adalah upah rata-rata per jam, sehingga budget constraint dapat
dinyatakan sebagai berikut:
C = w×H + V... (3)
Nilai dari barang dan jasa harus sama dengan jumlah penghasilan tenaga kerja
dan jumlah non labor income. Maka persamaan (3) dapat dinyatakan bahwa
penawaran tenaga kerja dipengaruhi oleh tingkat upah. Bagaimana tenaga kerja
memanfaatka waktu luang, maka persamaan (3) di kombinasikan dengan time
constraint. Sehingga persamaan penggunaan waktu luang dapat dituliskan
sebagai berikut:
w
×
T + V = C + w×
L... (4)sisi kiri disebut sebagai full income, yang didapatkan dari penggunaan waktu
tenaga kerja yang digunakan secara keseluruhan untuk bekerja.
Jumlah tenaga kerja keseluruhan yang disediakan bagi suatu
perekonomian tergantung pada jumlah penduduk, persentase jumlah penduduk
yang memiliki masuk dalam angkatan kerja dan jumlah jam kerja yang
ditawarkan oleh angkatan kerja.
Ahli ekonomi klasik melihat pekerja sebagai seseorang yang rasional yang
membuat pilihan diantara bekerja dan menikmati masa istirahatnya (leisure).
Utilitas yang diterima pekerja dapat diterangkan dengan mengunakan
sumbu datar pada menunjukan jam bekerja dan beristirahat yang dapat dinikmati
seseorang dalam satu hari, yang mempunyai jumlah waktu sebanyak 24 jam.
Garis lurus W0, W1 ,W2 menunjukan tiga alternatif tingkat upah pekerja, yaitu nilai
upah yang dibayarkan untuk setiap jam kerja. Garis upah yang semakin tinggi
mengambarkan tingkat upah yang semakin tinggi pula (W2 > W1> W0). Kurva U0,
U1, U2 menggambarkan tingkat kepuasan yang dinikmati seorang pekerja dan
memilih berbagai kombinasi masa bekerja dan istiraha, terlihat bahwa tingkat
kepuasan yang paling tinggi pada U2 > U1 > U0.
Tingkat Upah Tingkat Upah
W2
W2 W2 C y C U2
W1
W1 y B W1 B
W0 U1
y A U0 A W0 W0
0 12 14 18 24 T 0 6 10 12 24 T Jam istirahat dan bekerja Jam bekerja
(a) Pilihat seorang pekerja (b) Penawaran Tenaga Kerja
Gambar 2. Menentukan Kurva Penawaran Tenaga Kerja
Sumber : Sukirno (2006)
Kurva U yang tinggi menggambarkan bahwa pekerja menikmati kepuasan
yang lebih tinggi (U2> U1 > U0 ). Kepuasan maksimum dari mengkonsumsi dua
barang (dalam hal ini kedua barang tersebut adalah masa istirahat dan uang
yang diperoleh dari bekerja), akan dicapai apabila kurva kepuasan menyinggung
garis pendapatan (garis upah W0,W1,W2). Gambar 2a menunjukan pekerja
dan bekerja pada titk A yang mengambarkan bahwa ia bekerja selama 6 jam
dan beristirahat selama 18 jam. Jumlah upah yang diterima pekerja tersebut
dalam sehari adalah 6 W0. kenaikan upah menjadi W1 menyebabkan kepuasan
pekerja bergerak ke titik B yang mengambarkan ia akan bekerja selama 10 jam
dan 14 jam lainya adalah waktu istirahat. Jumlah upah yang diterimanya adalah
10 W1. Dan apabila tingkat upah meningkat lagi menjadi W2, pekerja tersebut
akan bekerja lebih giat yaitu bekerja selama 12 jam dan menikmati waktu
istirahat selama 12 jam. Upah yang diterima per hari meningkat menjadi 12 W2.
Keseimbangan baru ini ditunjukkan oleh titik C. Dalam analisis tersebut terlihat
hubungan yang erat diantara tingkat upah yang akan diperoleh dan jumlah
tenaga kerja yang akan ditawarkan seorang pekerja.
Pada Gambar 2b dimana titik A, B dan C masing-masing menunjukkan
hubungan diatara tingkat upah tertentu (W0 atau W1 atau W2) dengan jumlah jam
kerja yang ditawarkan seorang pekerja. Apabila dibuat suatu kurva melalui
titik-titik tersebut akan diperoleh kurva penawaran tenaga kerja yang akan diberikan
oleh seorang pekerja (Sukirno,2000).
Besarnya waktu yang disediakan atau dialokasikan untuk bekerja
merupakan fungsi dari tingkat upah tertentu, penyediaan waktu kerja akan
bertambah bila tingkat upah bertambah. Setelah mencapai tingkat upah tertentu,
pertambahan upah justru akan mengakibatkan berkurangnya waktu yang
disediakan untuk bekerja. Hal ini disebut backward bending supply curve, atau
kurva penawaran yang berbelok.
Hubungan antara tingkat upah dengan utilitas dapat dicerminkan oleh dua
keadaan. Keadaan yang pertama adalah kenaikan tingkat upah berarti
pertambahan pendapatan, dengan status ekonomi yang lebih tinggi, seorang
cenderung untuk meningkatkan konsumsi dan menikmati waktu senggang lebih
kenaikan tingkat upah juga berarti harga waktu menjadi lebih mahal. Nilai waktu
yang lebih tinggi mendorong keluarga mensubstitusikan waktu senggangnya
untuk lebih banyak bekerja menambah konsumsi barang. Penambahan waktu
bekerja tersebut dinamakan substitution effect dari kenaikan tingkat upah
(Simanjuntak,1998).
3.2.2. Permintaan Tenaga Kerja
Permintaan tenaga kerja juga merupakan suatu hubungan antara harga
dan kuantitas. Akan tetapi permintaan pengusahan atas tenaga kerja berlainan
dengan permintaan konsumen terhadap barang dan jasa. Konsumen membeli
barang karena barang itu akan memberikan kegunaan baginya. Akan tetapi bagi
pengusaha, memperkerjakan seseorang karena membantu produksi barang dan
jasa untuk dijual kepada konsumen.
Borjas (1996), teori permintaan tenaga kerja dapat dipelajari melalui fungsi
produksi dari suatu perusahaan. Fungsi produksi menggambarkan jumlah
teknologi yang digunakan oleh perusahaan untuk menjalankan proses
produksinya. Misalnya, perusahaan mempergunakan dua input untuk proses
produksi yaitu: (L) jumlah jam kerja (jumlah tenaga kerja) dan (K) adalah jumlah
tanah, mesin dan input fisik lainya. Maka fungsi produksinya dapat ditulis sebagai
berikut:
q = f(L,K)... (5)
dimana:
q = jumlah unit yang diproduksi (output perusahaan)
fungsi produksi menggambarkan berapa banyak produksi yang dihasilkan
dengan kombinasi tenaga kerja dan modal.
Permintaan pengusaha atas tenaga kerja berlainan dengan permintaan
memberikan utility kepada pembeli. Akan tetapi pengusaha memperkerjakan
seseorang karena seseorang itu membantu memperoduksi barang dan jasa
untuk dijual kepada konsumen. Pertambahan permintaan terhadap tenaga kerja
tergantung dari pertambahan permintaan masyarakat terhadap barang yang
diproduksinya. Permintaan akan tenaga kerja yang seperti itu disebut derived
demand.
Adapun hubungan yang penting dengan fungsi produksi perusahaan
adalah marginal product of labor (MPL) yang didefinisikan sebagai jumlah output
tambahan yang didapatkan dari satu unit tenaga kerja tambahan, dengan
mepertahankan jumlah modal tetap maka dapat dituliskan sebagai berikut:
MPL =
k L q Δ Δ
... (6)
Marginal product of capital dapat didefinisikan sebagai perubahan output dari
tambahan 1 unit modal, input lain dianggap konstan maka:
MPK=
L K
q Δ
Δ
…...(7)
diasumsikan bahwa marginal productof labor kerja dan modal adalah positif, jadi
penambahan input akan meningkatkan output.
Selanjutnya untuk menganalisis jumlah permintaan tenaga kerja,
diasumsikan bahwa perusahaan akan memaksimumkan keuntungan, yang dapat
dirumuskan sebagai berikut :
p q w L r K
π
= × − × − × ... (8)di mana:
p = harga output
w = tingkat upah
diasumsikan bahwa perusahaan adalah kompetitif sempurna didalam pasar
output dan pasar input. Harga output p dipengaruhi oleh berapa banyak output
yang diproduksi dan dijual oleh perusahaan. Sedangkan harga input dipengaruhi
oleh berapa banyak tenaga kerja dan kapital yang dimiliki. Jadi harga input w dan
r adalah konstan. Jika fungsi produksi disubsitusikan kedalam persamaan
maksimisasi keuntungan, maka akan diperoleh sebagai berikut:
( ,
)
p
f L K
w L r K
π = ×
− × − ×
……… (9)Karena harga output dan harga input konstan, maka persamaan diatas dapat
menggambarkan bagaimana perusahaan memutuskan untuk menambah satu
satuan tenaga kerja dengan memperhitungkan berapa banyak tenaga kerja yang
dapat digunakan.
Dalam jangka pendek, bila kapital adalah konstan maka keuntungan
perusahaan dapat diukur yaitu dengan menentukan berapa banyak output yang
ditambahkan oleh pekerja dengan melihat kurva marginal produtc. Untuk
menghitung berapa banyak output yang dihasilkan oleh pekerja maka marginal
product tenaga kerja dikalikan dengan unit harga p ini yang disebut dengan value
marginal product of labor (VMPL) sebagai brikut:
VMPL = p x MPL……… (10)
Perusahaan akan menghitung jumlah uang yang diterima dengan
tambahan hasil tersebut maka jumlah uang yang diterima ini disebut marginal
revenue (MR). Jadi nilai MR sama dengan nilai dari MPL, yaitu besarnya MPL
dikalikan dengan unit harga p , sehinga dapat diperoleh:
MR = VMPL = MPL x p……… (11)
Kemudian pengusaha akan membandingkan MR tersebut dengan biaya
memperkerjakan tambahan seorang pekerja. Maka jumlah biaya yang
pekerja adalah upahnya sendiri (w) dan dinamakan biaya marjinal atau marginal
cost (MC). Bila tambahan penerimaan marjinal revenue (MR) lebih besar dari
pada biaya memperkerjakan orang yang menghasilkannya (W), maka
memperkerjakan tambahan orang tersebut akan menambah keuntungan
pengusaha. Dengan kata lain dalam rangka menambah keuntungan, pengusaha
akan terus menambah jumlah karyawan selama MR lebih besar dari W.
Penentuan permintaan tenaga kerja dapat diturunkan dari fungsi produksi
yang merupakan fungsi tenaga kerja (L) dan modal (K). Bila diasumsikan bahwa
pengusaha memiliki dana tidak terbatas, menghadapi pasar persaingan
sempurna, dan harga bersifat positif, maka faktor produksi akan mengalami
deliminiting tahap produksi seperti pada (Gambar 3).
TP,AP dan MP
TP=f(L/K) I II III
e > 1 Max MPL 0 < e < 1 e < 0
Max APL
APL
MPL
[image:41.612.155.504.344.556.2]L/K
Gambar 3: Hubungan antara Produksi Total, Produksi Rata-rata dan Produksi Marginal dari Penggunaan Tenaga Kerja.
Sumber: Debertin (1986)
Keterangan:
MPL = produksi marjinal dari penggunaan tenaga kerja
APL = produksi rata-rata dari penggunaan tenaga kerja
TP = produksi total
Gambar 3 tersebut dapat dijelaskan bahwa daerah produksi dibagi tiga tahap
yaitu:
1. Tahap I adalah daerah APL menaik (e>1).
2. Tahap II adalah daerah PL mulai menurun dan MPL masih positif (0<e<1).
3. Tahap III adalah daerah MPL negatif (e>0).
Tahap II disebut dengan tahap produksi ekonomis atau daerah rasional
karena pada wilayah tersebut keuntungan yang diperoleh perusahaan maksimal
dan produk meningkat untuk setiap penambahan input tenaga kerja. Meskipun
pada tahap I ini berlaku hukum hasil produksi yang semakin menurun (the law of
diminishing returns). Hal tersebut terjadi karena satu unit modal tetap, harus
dilayani oleh jumlah tenaga kerja yang semakin besar, sehingga produktifitas
pertenaga kerja menurun. Tahap I dan III juga disebut sebagai daerah irrasional.
Pada tahap I, disebut daerah irrasional, karena setiap penambahan input akan
mengakibatkan keuntungan produk yang dihasilkan terus menurun. Bila
diasumsikan pengusaha adalah seorang yang rasional maka dia akan
berproduksi pada wilayah APL mulai menurun dan MPL masih positif, sehingga
kurva produksi marjinal sering digambarkan seperti Gambar 4.
Gambar 4 menunjukan bahwa semakin banyak tenaga kerja yang
digunakan, semakin sedikit produksi marginal yang diciptakan oleh setiap
tambahan pekerja, dengan asumsi bahwa faktor produksi lain jumlahnya tetap.
Pekerja ke L0 dapat menghasilkan produksi tambahan sebanyak MP0 sedangkan
pekerja ke-L1 hanya dapat menghasilkan produksi tambahan sebanyak MP1.
Terlihat bahwa MP0 > MP1, ini disebabkan karena L1 > L0, sehingga
perbandingan alat-alat produksi untuk setiap pekerja menjadi lebih kecil dan
tambahan hasil marjinal juga menjadi lebih kecil pula. Inilah yang dinamakan
Produksi tambahan pekerja Tingkat Upah
DL = VMPL MP0 W0 B
MPA WA A
MP1 MPL W1 C
L0 LA L1 Tenaga Kerja L0 LA L1
[image:43.612.132.514.80.281.2](a) Produksi Marginal Pekerja (b) Permintaan Tenaga Kerja
Gambar 4. Menentukan Kurva Permintaan Tenaga Kerja
Sumber : Modifikasi Sadono (2004)
Kurva DL pada Gambar 4b melukiskan besarnya nilai hasil marjinal tenaga
kerja (value marginal product of labor /VMPL) untuk setiap penggunaan tenaga
kerja. Dengan kata lain menggambarkan hubunggan antara tingkat upah (W) dan
penggunaan tenaga kerja yang ditunjukan oleh titik-titik A, B, dan C. Dengan
menarik garis melalui titik-titik tersebut diperoleh kurva permintaan tenaga kerja.
Misalkan jumlah karyawan yang dipekerjakan sebanyak L0 , maka nilai hasil kerja
orang ke-L0 sama dengan MPL0. P = W0 pada titik B. Apabilah WA adalah tingkat
upah yang sedang berlaku maka nilai Wo lebih besar dari pada WA, sehingga
laba pengusaha dapat terus menambah dengan penambahan tenaga kerja baru.
Pengusaha dapat terus menambah laba dengan mempekerjakan orang hingga
sejumlah LA, karena pada saat ini pengusaha akan mencapai laba maksimum,
dimana MPLA. P = WA yakni pada titik A. Penambahan tenaga kerja yang lebih
besar dari LA, misalnya sebesar L1 akan mengurangi keuntungan pengusaha,
karena nilai marjinal yang diperoleh hanya sebesar