Challenge of University Graduate on Tight Competition
of Labor Market
by
Pheni Chalid
Economics and Development Studies, Faculty of Economics and Business, UIN Jakarta
Paper Presented
at the International Research Conference on Management and Business,
Millenium Hotel, Jakarta
Challenge of University Graduate on Tight Competition
of Labor Market
Abstract
Competition steadily increases in labor market. This paper explores mismatch in education and try to look at remedial programs for mitigation the weaknesses.
Skill and experienced labors can yield significant net returns. Therefore, remedial programs are immediate need to overcome weaknesses. Weel understood that recruiting staff is purely based on cost-benefit consideration.
Existing education is neither for creativity nor skill which does not fit to the market need. So, education is should be re-directed for skill and innovation. So, student centered learning and internship must be impossed for up-scaling skill and experiences.
There is wider gap between supply and demand of labor market which is not fit for tight competition among well trained and experienced job seekers booming after Asians free trade zones are implemented since skill and innovation become determinant factor to be the looser or the winner.
Pendahuluan
Perlahan tapi pasti Ekonomi Indonesia bergerak maju tahun tahun terakhir ini. Jika
dibandingkan PDB perkapita dari 10 negara anggota ASEAN maka Indonesia menempati urutan
ke lima setelah Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand. Terjadi persaingan dalam menempati
urutan pertama yang paling tinggi PDB perkapitanya. Hingga tahun 2006, Negara pendapatan
tertinggi adalah Brunei Darussalam namun kemudian disalip oleh Singapura pada tahun 2007.
Setelah Indonsia, urutan berikutnya ditempati Philipina, Vietnam, Laos, Kamboja dan Myanmar.
Lebih dari satu dekade terakhir yaitu setelah krisis ekonomi 1988 berlalu, kondisi makro
ekonomi Indonesia meningkat secara bertahap. Hal itu berarti terjadi pertumbuhan ekonomi yang
biasanya disertai dengan peningkatan lapangan kerja dan penyerapan tenaga kerja. Anehnya, laju
inflasi sangat fluktuatif (dan menurun), pengangguran meningkat, sedangkan peningkatan status
grup kependudukan bersifat stagnan dari satu kelompok ke kelompok berikutnya. Hampir tidak
ada perubahan dalam peningkatan kelas sosial dalam masyarakat. Kelas menengah pada tahun
2000 adalah 37 % dan angka itu bertahan hingga tahun 2010. Itu artinya terjadi stagnansi dalam
‘kenaikan kelas sosial’. Angkanya sedikit berfluktuasi (turun) pada tahun 2002-2004 dan kemudian meningkat lagi ke angka 37% di tahun 2006.
Tabel 1: Status Ekonomi Sosial Indonesia 2000-2010
Indikator 2000 2002 2004 2006 2008 2010 1 Pertumbuhan Ekonomi 0,80 4,4 5,10 5,30 4,50 6,1
2 Tkt Pengangguran %) 6,40 6,10 9,90 11,20 10,30 7,90
3 PDB Per kapita 807,15 791,22 943,96 1.186,24 1.320,60 1,527
4 Penduduk 208,80 211,60 217,40 219,10 221,90 227,40
5 Penduduk Miskin (%) 18,40 18,20 16,70 16,00 17,80 14,10
6 40% Gol. Menengah 37,50 38,20 36,90 37,70 37,70 37,54
Sumber: World Bank 2007, 2011
Rata rata tingkat pengangguran 10 tahun (2000-2010) terakhir adalah 8,63 %. Tingkat
pengangguran pada tahun 2000 adalah 6,4 % (di bawah rata rata). Angka beranjak naik dan
mencapai puncaknya tahun 2006 dan kemudian membaik hingga mencapai 7,9 % di tahun 2010.
Hal ini mengimplikasikan ketidak stabilan pasar tenaga kerja. Artinya, ada discrepancy antara
Pendapatan kotor perkapita meningkat dua kali lipat dalam waktu 10 tahun terakhir dan
itu sangat menggembirakan namun anehnya angka yang menggembirakan itu tidak diikuti
dengan pengurangan yang simetris angka pengangguran dan pertumbuhan ekonomi.
Tampaknya, pendapatan perkapita naik tapi tidak diikuti dengan pemerataan dan penyebaran
pendapatan di kalangan rakyat. Hal ini terlihat bahwa 20% golongan tertinggi menguasai dan
menikmati asset 41%. Sedangkan 40% golongan terendah dalam masyarakat hanya menikmati
separuhnya saja, 21%. Karena itu persoalan keadilan dan akses yang sama pada sumber ekonomi
masih sangat krusial dalam hubungan kaya miskin. Hal ini seharusnya dipahami bahwa
peningkatan jurang pendapatan antara kelompok dalam masyarakat berbanding sejajar dengan
peningkatan kriminalitas, trafficking, riot, dan keresahan sosial.
I.
Selintas Kondisi Tenaga Kerja Indonesia
Mayoritas tenaga kerja Indonesia beklerja di sektor informal rata rata 62%. Karena itu
sangat sah untuk menyatakan bahwa sektor informal menjadi bumper (penyelamat) ekonomi di
Indonesia, karena sangat banyak warga Negara yang diselamatkan oleh sektor ini. Jika tidak
diselamatkan oleh sektor informal berarti 62% muncul pengangguran baru. Maka tingkat
pengangguran akan melenjit sangat tinggi dan dapat dipastikan berbagai penyakit sosial akan
bermunculan dan Negara akan chaos.
Penuruan pengangguran terbuka pada thaun 2008-2009 tidak banyak berubah, namun
sebaliknya pengangguran tingkat perguruan tinggi meningkat 7,2 juta di tahun 2007 dan
meningkat tajam dalam dua tahun kemudian menjadi 12 juta di tahun 2009. Hal ini berarti
tingkat supply tenaga kerkja asal perguruan tinggi sangat tidak sebanding dengan tingkat
penyerapan pasar tenaga kerja untuk mereka.
Peningkatan investasi padat karya dan relokasi industri dari Negara lain ke Indonesia
terjadi terutama garmen, tas, payung, dan cashing komputer dan sejenisnya yang biasanya
merekrut tenaga kerja wanita, cukup berpengaruh dalam meningkatkan rasio perempuan dalam
bekerja. Perempuan bekerja pada Februari 2007; 36 juta, 2008;37 juta dan 2009;38 juta orang.
Sedangkan laki laki pada bulan dan tahun yang sama adalah 63, 62, dan 61 juta orang. Terjadi
peningkatan dua juta perempuan bekerja dalam waktu tiga tahun. Sebaliknya, terjadi penuruan
dalam jumlah yang sama (2 juta) untuk laki laki bekerja pada jangka waktu yang sama. Hal ini
berlangsung sebagai pengalihan berdasarkan kebutuhan pasar tenaga kerja sesuai gender atau
satu perebutan antar gender terhadap pekerjaan yang sama di pasar terbuka.
Tabel 2: Kondisi Ketenagakerjaan Indonesia (2007-2009) Pekerja Informal Masih Mendominasi
2007 2008 2009
Feb Agst Feb Agst Feb
Angkatan Kerja 108.131.058 109.941.359 111.477.447 111.947.256 113.744.408
Bekerja 97.583.141 99.930.217 102.049.857 102.552.750 104.485.444
Laki-laki Bekerja (%) 63,69 63,19 62,09 62,31 61,77 Perempuan bekerja
Sumber: Harian Kompas, diolah dari Sakernas 2007-2009
II-
Pendidikan Kompetensi
Pendidikan bukanlah semata dimaksudkan untuk menciptakan tukang dan bukan pula
untuk melahirkan kelompok akademisi elitis yang mahir mengekploitasi sumber daya dan
kebodohan masyarakat untuk kemakmuran pribadi, tapi ditujukan untuk meningkatkan
kesejahteraan bersama semua pemilik Negara ini. Begitu pula, institusi dan sistim pendidikan
bukanlah tujuan akhir tetapi hanya media untuk menghantarkan manusia yang bertanggung
jawab dan berkarya untuk kesejahteraan dan kemudahan hidup dirinya dan ummat manusia.
Meskipun beberapa upaya telah dilakukan untuk merombak praktek pendidikan di
Indonesia seperti Sistim Siswa Belajar Aktif untuk sekolah dan sistim SKS (sistim kredit
semester) di perguruan tinggi namun secara umum sistim pendidikan masih teacher centered
learning belum bergeser ke student center learning, yang memberikan porsi besar pada
partisipasi dan keaktifan pada peserta didik. Pendidikan yang berpusat pada guru atau dosen akan
mendorong peserta didik hanya reseptif dan pasif. Sistim semacam ini hampir tidak memberikan
porsi waktu dan kegiatan belajar pada dinamika peserta didik. Karena itu penggalian potensi
yang dimiliki peserta didik tidak tersentuh maka tidaklah heran jika talenta dan kreatifitas yang
dimiliki peserta didik tidak tersalur dengan baik.
Kelemahan sistim pendidikan semacam ini telah disadari lama di kalangan masyarakat
yang paham arti dan misi pendidikan, sebagai upaya untuk menuntun perkembangan anak sesuai
telah dimulai menutupi kelemahan sistim yang ada dengan memperkecil jumlah murid dalam
kelas, mengatur tempat duduk yang interaktif (anak melingkar berkelompok), menambah alat
peraga dan memberikan tugas tugas untuk belajar aktif.
Ketidakpercayaan terhadap sistim pendidikan klasikal nasional telah melahirkan
sekelompok masyarakat yang bersemangat untuk melaksanakan pendidikan di rumah dan oleh
mereka sendiri, Home Schooling yaitu anak dididik langsung dibimbing oleh orang tua di rumah
(pernah dipraktekkan oleh H. Agus Salim di masa lalu). Mereka menilai sistim pendidikan
formal tidak hanya kurang menggali talenta dan bakat peserta didik tetapi juga gagal
menanamkan kepribadian, dan juga menghabiskan umur (waktu) dan biaya.
Home schooling muncul sebagai reaksi kritis terhadap sistim pendidikan paket yang
mendorong peserta didik lebih sebagai ‘robot’ untuk mencapai target target pengajaran yang ditentukan oleh guru dan sekolah atau perguruan tinggi. Materi pendidikan dalam Home
Schooling lebih ditujukan pada pembentukan kepribadian dan penguasaan ilmu, serta
ketrampilan yang memang terpakai langsung dalam hidup (tidak dicekoki dengan kurikulum
yang berisi berbagai mata pelajaran). Peserta didik lebih santai, akrab, di lingkungan sendiri
namun waktu selalu diisi dengan kegiatan belajar untuk pengembangan intelektual dan
kepribadian. Pada saat bersamaan melakukan langsung berbagai kecakapan harian seperti tugas
tugas “rumahan” dan kemasyarakatan.
Kedua sistim pendidikan di atas sama sama memiliki kelemahan yang sama yaitu sistim
dan materi pendidikan tidak dipersiapkan untuk memasuki dunia kerja. Pendidikan dapat
diselesaikan namun terkendala dalam memasuki pasa tenaga kerja formal, karena tidak diminati
oleh perusahaan.
Kesulitan dan persoalan yang sama bagi dua sistim pendidikan itu juga akan ditemui bila
terjun dalam usaha mandiri yang membutuhkan tidak hanya modal, keuletan dan juga cermat
dalam membaca dan mengsi peluang yang ada (muncul). Ketrampilan itu sangat terbatas atau
malah tidak dilatihkan semasa di sekolah formal maupun home schooling. Karena itu pelatihan
dan pendidikan remedial sangat dibutuhkan untuk mengisi ketimpangan antara pengetahuan dan
kecakapan yang dimiliki dengan permintaan pasar.
Pendidikan remedial dan training dirancang untuk mengisi ketimpangan (yang tidak
didapatkan pada pendidikan formal dan home schooling) antara ketrampilan yang dimiliki
remedial ditawarkan oleh pemerintah, LSM, ataupun perusahaan ke publik. Training atau
pendidikan remedial didesain untuk memenuhi kebutuhan spesifik yang langsung berhubungan
dengan kebutuhan tenaga di pasar tenaga kerja. Namun, usaha ini tidak selalu berhasil karena
perusahaan lebih cendrung in-house training dibanding dengan pelatihan di luar perusahaan.
Biasanya, di akhir pelatihan para peserta dianugerahi sertifikat sebagai bukti bahwa yang
bersangkutan telah sukses mengikuti satuan pelatihan. Namun itu belumlah menjamin akan dapat
bekerja setelah pelatihan karena pelatihan juga didesain dan dpraktekkan secara klasikal dalam
jumlah yang banyak.
Masalah berikutnya adalah keterbatasan ketersediaan lapangan kerja dan kesesuaian
antara keahlian yang dimiliki dengan jenis lapangan kerja. Lapangan kerja berkaitan lansung
dengan dinamika dan fluktuasi ekonomi dari tahun ke tahun. Sedangkan ketrampilan dan
pelatihan sering didesain setelah kebutuhan itu muncul. Terjadi time discrepancies dalam hal
pelatihan dan kebutuhan tenaga kerja.
III. Pasar Tenaga Kerja Pemula
Pendidikan dan Pelatihan
Peningkatan untuk siap memasuki dunia kerja menjadi isu pokok untuk menjamin mulusnya proses peralihan dari dunia pendidikan ke dunia kerja bagi tenaga tenaga muda Indonesia. Pencari kerja pemula harus dibekali dengan ketrampilan, ilmu pengetahuan, dan kesiapan mental yang memungkinkan mereka dapat pekerjaan dan siap untuk menghadapi tantangn dalam dunia kerja yang sering tantangannya di luat perkiraan. Pendidikan memainkan peran penting untuk mempersiapkan tenaga muda untuk siap memasuki dunia kerja.
Tantangtan utama para pencari kerja pemula adalah kurang pendidikan dan ketrampilan. Hal ini dikuatkan hasil studi Sziraczki, G and Reerink, bahwa 61% hambatan pencari kerja pemula karena kurang pendidikan dan ketrampilan.
Pelatihan yang tidak terorganisir
Begitu pula, sangat jarang terjadi kordinasi antara sektor publik dengan pihak swasta, dan langkanya standar pelatihan secara nasional. Mayoritas pelatihan pelatihan lebih ditujukan untuk memasuki dunia kerja sektor formal. Di sisi lain terjadi pengabaian terhadap ekonomi sektor informal.
Mengantisipasi market lop yang terbuka, maka akhir akhir ini, berbagai pelatihan justru dipersiapkan oleh lembaga lembaga swasta yang bergerak dalam pengembangan sumber daya manusia. Beberapa pelatihan vokasional dimaksudkan untuk mengisi peluang yang terbuka di sektor swasta.
Hal ironi lainnya dalam pengelolaan yang sistematik pelatihan dan penyiapan tenaga kerja adalah belum adanya studi sistematis yang menggambarkan tentang status kerja para tamatan studi dan pelatihan tertentu dan bagaimana mereka diserap oleh pasar tenaga kerja. Apakah pendidikan yang mereka terima dan lalui relevan dengan ketersediaan lapangan tenaga kerja atau tidak.
Kesiapan Masuk Dunia Kerja
Sangat banyak, untuk tidak mengatakan semuanya, tamatan universitas tidak siap masuk ke dunia kerja. Harapan yang tersembul saat menggondol ijazah berbeda sekali dengan kenyataan pasar tenaga kerja yang selalu meminta tenaga yang trampil dan berpengalaman. Maka tidaklah heran masa penantian untuk dapat kerja di sector formal dilalui ber tahun tahun hingga mendapatkan pekerjaan. Akhirnya, karena berbagai usaha telah dilakukan untuk masuk kerja namun selalu gagal, maka banyak diantara mereka ‘terpaksa’ berkecimpung di sektor informal.
Diantara yang berhasil masuk di dunia kerja sektor formal biasanya mengandalkan
hubungan hubungan dan kontak personal. Sedangkan peran pemerintah, lembaga pendidikan asal pencari kerja dan lembaga lembaga pelatihan kurang berperan dalam membeantu pencari kerja pemula.
mendapatkan kerja di sektor formal kemudian terjun di usaha informal, atau kembali ke asal daerah.
Akumulasi Pengangguran Pemula
Investasi yang kurang bergairah (juga efek krisis ekonomi global) dan suasana usaha
yang tidak kondusif menajdi faktor utama tersendatnya usaha usaha pembukaan lapangan kerja
baru dari tahun ke tahun. Para pencari kerja terdidik tamatan berbagai pendidikan akan
meningkat jumlahnya dari tahun ke tahun. Dengan menggunakan asumsi pertumbuhan
penduduk, maka besaran pencari kerja tiap tahun dapat diperkirakan sekitar 2,5 juta. Sedangkan
daya serap sektor formal hanya sekitar 600- 700 ribu orang per tahun. Sisanya akan mencari
kerja ke berbagai sektor yang memungkinkan untuk bertahan hidup.
Mencermati angka dalam Donat chart penyerapan lapangan tenaga kerja di bawah ini dapat untuk menggambarkan distribusi tenaga kerja yang masih didominasi oleh jasa
kemasyarakatan (41%) yaitu kelompok masyarakat yang menjual jasa kecil kecilan kepada publik. Hal ini berarti mendekati separuh tenaga kerja sekedar bekerja dengan pendapatan rendah di sektor informal, dengan pendapatan yang hanya untuk mencukupi kebutuhan yang paling dasar. Jika dilihat secara keseluruhan perbandingan tenga kerja informal dan formal, maka tenaga kerja yang dominan adalah di sektor informal yaitu 68% (BPS 2010). Dua data di atas mengindikasikan betapa pentingnya peran sektor informal dalam dunia kerja dan 27%
diantaranya juga bergerak di sektor informal, selain dari jasa kecil kecilan.
III- Perbandingan Distribusi Tenaga Kerja dan Lapangan Kerja Sektoral 2010
Jasa Kem asyarakat an (1 5 %)
Ja s a kemasyarakatan (41%) s eperti reparasi kecil-kecilan
Da ta BPS 2010 memperlihatkan 68% tenaga kerja berada d i sektor i nformal seperti berusaha s en diri, p ekerja d i sektor p ertanian -non p ertanian d an buruh s erabutan. Sumber: Econit, 2010
IV.
Pembangunan Berkeadilan: Lingkaran Tak Berujung
Keluaraga kaya memiliki kemampuan berlebih untuk memasukkan anaknya pada sekolah
dan universitas favorit dan melengkapi segala kebutuhan serta fasilitas pendidikan bagi anak
mencari kesempatan kerja dan membangun koneksi di kalangan keluarga dan rekan bisnis
keluarga mereka. Akhirnya terciptalah rantai elitism dalam kerja dan jaringan yang terjalin
sesama mereka. Karena hubungan dekat dan dalam strata yang sama, maka tidaklah heran jika
posisi posisi strategis dan promosi secara cepat dapat diraih oleh anak anak dari keluarga kaya
ini.
Di lain pihak, semakin miskin keluarga maka semakin sedikit kesempatan untuk
melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Meskipun beberapa diantara mereka
memiliki kesempatan untuk melanjutkan tapi hanyalah segelintir mereka yang antara lain karena
tekadnya sangat kuat, atau pintar dan mendapatkan beasiswa (pemerintah, swasta, atau dukungan
keluarga besar). Setelah selesai studipun mereka harus berjuang keras untuk mencari kesempatan
kerja dan menjalin jaringan. Hal ini tentu tidak mudah dilakukan karena siklus pergaulan dan
level jaringan yang juga terbatas mereka miliki. Berbagai keterbatasan akses dan jaringan
menggiring mereka untuk bekerja pada area peripheral, yang terbatas dari segi pendapatan dan
kesempatan.
Disparitas antara mahasiswa dari keluarga sangat kaya dan miskin sangat kentara di
universitas tanah air (bandingkan K5 dengan K lainnya pada grafik di bawah ini). Keluarga
miskin sangat kesulitan untuk percepatan peningkatan kesejahteraan karena berbagai
keterbatasan yang melingkupi mereka. Mereka berharap banyak dari kebijakan dan dukungan
langsung dari pemerintah. Namun ironinya, jika dilihat secara makro bahwa peningkatan alokasi
anggaran dan pengaruhnya terhadap penurunan tingkat kemiskinan sangat tidak signifikan.
Malahan sebaliknya, anggaran untuk penguranagan kemiskian melonjak tajam tapi angka
kemiskinan menurun pelan dari tahun 2004-2010. Tentu ada sesuatu yang salah jika melihat
keanehan dalam gambaran semacam ini.
IV- Kondisi Sosial yang Membutuhkan Pembangunan Berkeadilan dan Berkesinambungan
Disparitas antara Siswa Kaya dan Miskin di Perguruan Tinggi
Anggaran Kemiskinan
Tidak Efektif Menurunkan Angka Kemiskinan
1 8 23 42
Dominasi keluarga kaya akan semakin meningkat tidak akan terbendung jika tidak ada
intervensi politik yang pro-rakyat banyak. Dominasi keluarga kaya dalam pendidikan telah
dirasakan beberapa tahun terakhir dengan pelaksanaan BHMN ( Badan Hukum Milik Negara) di
universitas universitas negeri terbaik di negeri. Penerapan BHMN sebagai ‘pola ekonomi
kapitalis’ dalam pengelolaan pendidikan di beberapa universitas negeri hamper tanpa hambatan ( sehingga keluar fata MK (Mahkamah Konstitusi) yang meletakkan pendidikan sebagai asset dan
akses terbuka bagi tiap waraga negara.
Keleluasaan dan pemnfaaatan kesempatan yang strategis hanya mungkin bagi anak anak
keluarga kaya. Sedangkan keluarga miskin namun pintar hanya mungkin mendapatkan
kesempatan dengan subsidi atau beasiswa. Praktek komersialisasi ini sangat tidak fair dan
diskriminatif, karena segala fasilitas universitas dengan kualitas tinggi termasuk biaya
peningkatan SDM bagi tenaga pengajarnya dibayarkan Negara dari hasil pajak rakyat. Meskipun
ada sanggahan bahwa itu diperdapat dengan skema soft loan dan dengan prestasi pribadi. Namun
harus diingat bahwa pelunasannya juga diambilkan dari APBN, yang juga uangnya digali dari
pembayar pajak.
Untuk kasus universitas negeri yang berniat menjadi komersial, yang fair menurut
penulis adalah dengan cara menghitung nilai segala asset dan fasilitas yang ada termasuk biaya
yang telah dikeluarkan negara untuk peningkatan pendidikan tenaga pengajar (termasuk SDM
lainnya). Kemudian, akumulasi nilai dihitung sebagai modal. Selanjutnya universitas beroperasi
dengan biaya yang didapatkan dari pengelolaan itu dengan keuntungannya dibagi dua antara
pemerintah sebagai pemilik dengan pengusaha universitas sebagai pengelola. Bukan seperti
praketk BHMN sebelumnya, gaji dibayar Negara sedangkan tunjangan diambilkan dari
komersialisasi pendididkan. Hal ini jelas tidak fair!
V- Tantangan
Globalissi ekonomi tidak dapat dihindari. Tidak ada Negara yang dapat mengsiolasikan
diri dari arus globalisasi itu karena produksi komoditi yang massal akan selalu mencari area
pemasaran dan selalu merayu konsumen dengan berbagai trick dan strategi untuk menjadi
kosumennya, termasuk ke negara yang memproklaimirkan diri sebagai Negara komunis atau
Berbagai fakta perdagangan yang telah disepakati antara pemerintah Indonesia dengan
beberapa Negara: CHAFTA (China Asean Free Trade Area) dan NAFTA (New Zealand
Australia Free Trade Area) serta ASEAN Economy yang telah disepakati untuk dilaksanakan
pada tahun 2015 merupakan tantangan yang harus diantisipasi dan sekaligus kesempatan untuk
ambil bagian dari percaturan ekonomi regional Asia dan Australia itu.
Globalisasi ekonomi dan pakta perdagangan bebas menuntut kesiapan Indonesia untuk
menyiapakan tenaga kerja yang siap untuk berkompetisi tidak hanya dalam negeri tetapi yang
lebih berat saat bersaing dengan tenaga kerja dari luar negeri yang umumnya memiliki
ketrampilan, pengetahuan dan pengalaman yang lebih dibanding tenaga kerja lokal.
Berdasarkan data dari Dirjen Imigrasi, jelas sekali terlihat peningkatan jumlah orang
asing yang bekerja di Indonesia dalam tiga (3) tahun terakhir ini, dari 38 ribu tahun 2009 ribu
menjadi 55 ribu di tahun 2011. Naik hampir 46%. Ini bukanlah angka yang kecil (46%) karena
peningkatan yang cepat ini terjadi sebelum munculnya ASEAN Economy, di tahun 2015. Jumlah
ini akan meningkat sangat cepat karena dimulainya ekonomi ASEAN yang akan membuka lebar
pasar tenaga kerja Indonesia bagi pencari kerja dari Negara Negara anggota ASEAN, terutama
Singapur, Malaysia, Philipina yang rata rata lebih siap dari segi mental maupun ketrampilan
untuk bersaing dalam kompetisi bebas di pasar tenaga kerja dibandingkan tenaga kerja kita.
Keseriusan pemerintah untuk mempersiapkan diri dalam membina tenaga kerja potensial
yang siap untuk bersaing bebas dalam bursa tenaga kerja regional dan domestik harus menjadi
Daftar Pustaka
- Arsyad, Lincolin. 2010.”Ekonomi Pembangunan”, Edisi Kelima, STIM YKPN, Yogyakarta.
- Chalid, Pheni .1997. Industrialization and Labor Movement : A Study on Labor Unrest in the Export Processig Zone, Jakarta.
---, Pheni. 2006. Teori dan Isu Pembangunan. Module Pasca MAP UT, MAPU 5102
---, Pheni.2010. Economic Sociology: Some Themes. Central for Social and Economic Studies (CSES) Jakarta.
-Firdausy, C.M. “Urban poverty in Indonesia: trends, issues and policies”, Asian
Development Review, Vol 12 No 1.1994
-Jhingan, M.L. ”Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan”, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
- Richard H. Adams, Jr.”Economic Growth, Inequality and Poverty” World Bank Policy Research Working Paper 2972, February 2006.
-Sziraczki, G and Reerink, A. 2006. “Report of the Survey of School-to-Work in Indonesia”, Series on Gender in the Life Cycle, no. 14, Geneva, ILO.
-BPS. “Data Kemiskinan Tahun 1990-2010”, 2011.
---. “Data pendidikan Tahun 1990-2010”, 2011.
---. “Data Pengangguran Tahun 1990-2010”, 2011.
---. Data dan Informasi Kemiskinan. Tahun 2000.
---. BPS, Susenas 2007.
-Diretorate General Immigration, Report, 2009-2011.
-World Bank report, 2007, 2011.