• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Modifikasi Ovitrap terhadap Kepadatan Nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Siopat Suhu Kota Pematang Siantar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Modifikasi Ovitrap terhadap Kepadatan Nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Siopat Suhu Kota Pematang Siantar"

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH MODIFIKASI OVITRAP TERHADAP KEPADATAN NYAMUK AEDES AEGYPTI DI KELURAHAN SIOPAT SUHU KECAMATAN

SIANTAR TIMUR KOTA PEMATANG SIANTAR TAHUN 2014

TESIS

Oleh

LASNI FITRYANI HASIBUAN 127032133/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

THE INFLUENCE OF OVITRAP MODIFICATION ON THE DENSITY OF AEDES AEGYPTI MOSQUITO AT KELURAHAN SIOPAT SUHU

SIANTAR TIMUR SUBDISTRICT, PEMATANG SIANTAR IN 2014

THESIS

By

LASNI FITRYANI HASIBUAN 127032133/IKM

MAGISTER OF PUBLIC HEALTH SCIENCE STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH

UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

PENGARUH MODIFIKASI OVITRAP TERHADAP KEPADATAN NYAMUK AEDES AEGYPTI DI KELURAHAN SIOPAT SUHU KECAMATAN

SIANTAR TIMUR KOTA PEMATANG SIANTAR TAHUN 2014

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri

pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh

LASNI FITRYANI HASIBUAN 127032133/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(4)

Judul Tesis : PENGARUH MODIFIKASI OVITRAP TERHADAP KEPADATAN NYAMUK AEDES AEGYPTI DI KELURAHAN SIOPAT SUHU KECAMATAN SIANTAR TIMUR KOTA PEMATANG SIANTAR TAHUN 2014

Nama Mahasiswa : Lasni Fitryani Hasibuan Nomor Induk Mahasiswa : 127032133

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : ManajemenKesehatan Lingkungan Industri

Menyetujui Komisi Pembimbing

Ketua

(Dr. dr. Wirsal Hasan, M.P.H)

Anggota

(Ir. Indra Chahaya, M.Si)

Dekan

(5)

Tanggal Lulus : 21 Juli 2014 Nov Telah Diuji

Pada Tanggal : 21 Juli 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. dr. Wirsal Hasan, M.P.H Anggota : 1. Ir. Indra Chahaya, M.Si

(6)

PERNYATAAN

PENGARUH MODIFIKASI OVITRAP TERHADAP KEPADATAN NYAMUK AEDES AEGYPTI DI KELURAHAN SIOPAT SUHU KECAMATAN

SIANTAR TIMUR KOTA PEMATANG SIANTAR TAHUN 2014

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, September 2014

Lasni Fitryani Hasibuan

(7)

ABSTRAK

Kejadian luar biasa (KLB) DBD masih sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Salah satu cara pengendalian nyamuk Aedes aegypti yang berhasil menurunkan densitas vektor di beberapa negara adalah penggunaan perangkap telur (Ovitrap). Ovitrap adalah alat penarik nyamuk untuk bertelur didalamnya.

Tujuan penelitian untuk menguji pengaruh modifikasi Ovitrap terhadap kepadatan jentik nyamuk Aedes aegypti dengan melihat perbedaan Container Index

(CI), House Index (HI), dan Angka Bebas Jentik (ABJ) sebelum dan sesudah perlakuan di Kelurahan Siopat Suhu Kota Pematang Siantar.

Jenis penelitian ini adalah quasi experiment. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2014-Juli 2014. Populasi adalah rumah di Lingkungan I, Lingkungan II, Lingkungan III, Lingkungan IV, dan sampel sebanyak 30 rumah untuk tiap-tiap kelompok perlakuan. Analisa data uji t berpasangan dan uji Anova.

Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh modifikasi ovitrap (air rendaman jerami, air rendaman cabai merah, dan air gula dan ragi roti) terhadap kepadatan nyamuk Aedes aegypti (penurunan Container Index (CI), penurunan House Index

(HI), dan kenaikan Angka Bebas Jentik (ABJ)). Modifkasi Ovitrap dengan air rendaman cabai merah merupakan yang paling efektif memengaruhi nilai Container Index (CI), House Index (HI), dan Angka Bebas Jentik (ABJ).

Diharapkan bagi Dinas Kesehatan Kota Pematang Siantar dapat merekomendasikan modifikasi ovitrap sebagai alat pengendalian nyamuk Aedes aegypti terhadap penurunan Container Index (CI), dan House Index (HI) dan peningkatan Angka Bebas Jentik (ABJ) secara nyata. Diharapkan masyarakat untuk dapat membuat dan menggunakan modifikasi ovitrap rendaman cabai merah di rumah masing-masing untuk pengendalian nyamuk Aedes aegypti yang cukup mudah dibuat oleh masyarakat.

(8)

ABSTRACT

The outbreak incident of dengue hemorrhagic fever (DHF) still frequently occurs in various areas in Indonesia. One of the ways of controlling theAedesAegypti mosquitos that is successful in decreasing vector density in several countries is the use of egg trap (ovitrap). Ovitrap is a device to attract mosquitos to lay their eggs in it.

The purpose of this study was to test the influence of Ovitrap modification on the density of Aedes aegypti mosquitos by looking at the difference between Container Index (CI), House Index (HI) and Larva Free Rate (LFR) before and after being given treatment in Kelurahan Siopat Suhu the City of Pematang Siantar.

The population of this quasi experimental study conducted from February to July 2014 was the houses in Lingkungan I, II, III and IV. The samples for this study were 30 houses of each Lingkungan which were used as treatment groups. The data obtained were analyzed through paired t-test and Anova test.

The result of this study showed that ovitrap modification (hay soaking, red chili soaking water and sugar water and bread yeast) had influence on the density of Aedes aegypti mosquitos (the decrease of Container Index (CI), House Index (HI) and Larvae-FreeRate (LFR) values). Ovitrap modification using red chili soaking water was the most effective way in influencing the values of Container Index (CI), House Index (HI) and Larvae-FreeRate (LFR).

Pematangsiantar Municipal Health Service is expected to be able to recommend the ovitrap modification as a tool to control Aedes aegypti mosquitos on the actual decrease of Container Index (CI), House Index (HI) and Larvae-FreeRate (LFR) values. The community is expected to be able to make and to use the modification of red chili soaking water-based ovitrap that can be easily made by the community to control Aedes aegypti mosquitos.

(9)

KATA PENGANTAR

Penulis panjatkan puji dan syukur yang tiada henti dan tak terhingga kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat serta pertolongan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan judul “Pengaruh Modifikasi Ovitrap terhadap Kepadatan Nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Siopat Suhu Kota Pematang Siantar”

Penyusunan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kesehatan (M.Kes) pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Untuk itu izinkan penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada :

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K), sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

(10)

4. Dr. dr. Wirsal Hasan, M.P.H sebagai ketua komisi pembimbing yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis sejak awal hingga terselesaikannya tesis ini. 5. Ir. Indra Chahaya, M.Si selaku anggota komisi pembimbing yang dengan penuh

perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan motivasi kepada penulis sejak awal hingga terselesaikannya tesis ini.

6. Dra. Nurmaini, M.K.M, Ph.D sebagai komisi penguji yang telah banyak memberikan arahan dan masukan demi kesempurnaan penulisan tesis ini.

7. dr. Taufik Ashar, M.K.M sebagai komisi penguji yang telah banyak meluangkan waktu dan telah dengan sabar dan tulus memberikan dukungan,arahan, masukan dan motivasi demi kesempurnaan penulisan tesis ini.

8. Dosen dan staf Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan dan Industri, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

9. Lurah Kelurahan Siopat Suhu dan Staf, Sanitarian Pusk.Ksatria, Kader dan seluruh responden yang telah banyak membantu penulis dalam pengambilan dan pengumpulan data.

(11)

perhatian dan kasih sayang serta doa yang tak bisa penulis balas dalam bentuk apapun. Buat adik adikku tersayang Sisca dan suami, Handi dan istri, Novayanti dan Suami serta Boni dan Wienna .

11. Teristimewa ucapan terima kasih ini penulis curahkan kepada suamiku tercinta Dana Fiter Keliat, S.K.M dan anak-anakku tersayang Simon Rafael Divaio, Soul Romeo Dominic, dan Elga Thambarita yang telah turut memberikan doa dan cinta serta sabar karena kehilangan banyak waktu bersama dalam masa-masa menempuh pendidikan ini dan banyak sekali memberikan motivasi serta dukungan kepada penulis dalam proses penyelesaian tesis ini.

12. Buat rekan-rekan mahasiswa S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri tahun 2012, Sabariah, Titi especially Evita Tampubolon, yang telah mengajarkan penulis arti kekeluargaan, tanggung jawab dan kepedulian. Terimakasih banyak atas segala kebersamaan dan waktu yang diberikan kepada penulis selama perkuliahan sampai tesis ini selesai.

Penulis menyadari atas segala keterbatasan, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.

Medan, Juli 2014

(12)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Lasni Fitryani Hasibuan lahir di Medan, 12 Mei 1973, anak pertama dari 5 (lima) bersaudara dari Ayahanda Halomoan Hasibuan dan Ibunda Nurmawan Br Siahaan. Penulis menikah dengan Dana Fiter Keliat, SKM, dan telah dikaruniai 2 (dua) orang anak yang bernama Simon Rafael Keliat dan Soul Romeo Keliat.

Pendidikan formal penulis dimulai dari sekolah dasar di SDN 060855 Medan tamat Tahun 1985, SMPN 10 Medan tamat Tahun 1988, SMA Swasta Josua Medan tamat Tahun 1991, Pendidikan Ahli Madya Sanitasi dan Kesehatan Lingkungan Kabanjahe tamat Tahun 1994, S-1 FKM USU Medan tamat Tahun 2008 dan penulis menempuh pendidikan lanjutan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat minat studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri (MKLI) Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 7

1.3. Tujuan Penelitian ... 8

1.4. Hipotesis ... 8

1.5. Manfaat Penelitian ... 9

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1. Tinjauan tentang Nyamuk Aedes spp ... 10

2.1.1. Klasifikasi Nyamuk Aedes spp ... 11

2.1.2. Morfologi Nyamuk Aedes aegypti ... 11

2.1.3. Tata hidup Nyamuk Aedes spp ... 14

2.1.4. Bionomik Nyamuk Aedes aegypti ... 15

2.2. Penyebaran Nyamuk Aedes aegypti ... 19

2.3. Demam Berdarah Dengue ... 20

2.3.1. Pengertian Demam Berdarah Dengue (DBD) ... 20

2.3.2. Etiologi ... 21

2.3.3. Siklus Penularan Demam Berdarah Dengue ... 21

2.4. Vektor Penular Demam Berdarah Dengue ... 22

2.5. Pengendalian Vektor Demam Berdarah Dengue ... 24

2.6. Survei Jentik ... 27

2.7. Survei Perangkap Telur ... 30

2.7.1. Pengertian Ovitrap... 30

2.7.2. Modifikasi Ovitrap dengan Atraktan... 31

2.8. Landasan Teori ... 33

(14)

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 38

3.1. Jenis Penelitian ... 38

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 39

3.2.1. Lokasi Penelitian ... 39

3.2.2. Waktu Penelitian ... 39

3.3. Populasi dan Sampel... 39

3.3.1. Populasi ... 39

3.3.2. Sampel ... 39

3.4. Metoda Pengumpulan Data ... 40

3.5. Variabel dan Defenisi Operasional ... 41

3.6. Metode pengukuran ... 42

3.7. Prosedur Penelitian ... 44

3.7.1. Alat dan Bahan ... 44

3.7.2. Cara Pembuatan Atraktan ... 44

3.7.3. Cara Pembuatan Modifikasi Ovitrap dengan Atraktan ... 45

3.7.4. Pemasangan Modifikasi Ovitrap ... 45

3.7.5. Pelaksanaan Penelitian ... 46

3.8. Analisa Data ... 47

BAB 4. HASIL ... 48

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 48

4.1.1 Geografis ... 48

4.1.2 Demografi ... 49

4.2. Gambaran Pengamatan Container Index (CI), House Index dan Angka Bebas Jentik (ABJ) Sebelum dan Setelah Perlakuan ... 4950

4.3. Gambaran Karakteristik Kepadatan Nyamuk Aedes aegypti Sebelum Perlakuan ... 50

4.4. Gambaran Karakteristik Kepadatan Nyamuk Aedes aegypti Setelah Perlakuan ... 51

4.6. Perbedaan Rerata Kepadatan Nyamuk pada Container Index (CI), House Index (HI) dan Angka Bebas Jentik (ABJ) Sebelum dan Setelah Dilakukan Ovitrap tanpa Atraktan (Kontrol) ... 53

4.7. Perbedaan Rerata Kepadatan Nyamuk Aedes aegypti pada Container Index (CI), House Index (HI) dan Angka Bebas Jentik (ABJ) Sebelum dan Setelah Dilakukan Modifikasi Ovitrap Air Rendaman Jerami ... 54

4.8. Perbedaan Rerata Kepadatan Nyamuk Aedes aegypti pada Container Index (CI), House Index (HI) dan Angka Bebas Jentik (ABJ) Sebelum dan Setelah Dilakukan Modifikasi Ovitrap Air Rendaman Cabai Merah ... 55 4.9. Perbedaan Rerata Kepadatan Nyamuk Aedes aegypti pada pada

(15)

(ABJ) Sebelum dan Setelah Dilakukan Modifikasi Ovitrap Air

Gula dan Ragi Roti ... 56

4.10. Perbedaan Rerata Container Index (CI) setelah Perlakuan Antara 4 Kelompok Perlakuan ... 57

4.11. Perbedaan Rerata House Index (HI) setelah Perlakuan Antara 4 Kelompok Perlakuan ... 58

4.12. Perbedaan Rerata Angka Bebas Jentik (ABJ) setelah Perlakuan Antara 4 Kelompok Perlakuan ... 60

BAB 5. PEMBAHASAN ... 67

5.1. Gambaran Kepadatan Nyamuk Aedes aegypti pada Container Index (CI), House Index (HI) dan Angka Bebas Jentik (ABJ) di 4 (Empat) Lingkungan Sebelum dan Setelah Diberi Modifikasi Ovitrap ... 62

5.2. Pengaruh Ovitrap tanpa Atraktan (Kontrol) terhadap Kepadatan Nyamuk Aedes aegypti pada Container Index (CI), House Index (HI) dan Angka Bebas Jentik (ABJ) ... 64

5.3. Pengaruh Modifikasi Ovitrap Air Rendaman Jerami terhadap Kepadatan Nyamuk Aedes aegypti pada Container Index (CI), House Index (HI) dan Angka Bebas Jentik (ABJ) ... 65

5.4. Pengaruh Modifikasi Ovitrap Air Rendaman Cabai Merah terhadap Container Index (CI), House Index (HI) dan Angka Bebas Jentik (ABJ) ... 68

5.5. Pengaruh Modifikasi Ovitrap Air Gula dan Ragi Roti terhadap Container Index (CI), House Index (HI) dan Angka Bebas Jentik (ABJ) ... 70

5.6. Pengaruh Empat Perlakuan Modifikasi Ovitrap (Air Rendaman Jerami, Cabai Merah, Gula dan Ragi Roti) terhadap Container Index (CI), House Index (HI) dan Angka Bebas Jentik (ABJ) ... 72

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 84

6.1 Kesimpulan ... 84

6.2 Saran ... 85

DAFTAR PUSTAKA ... 79

(16)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1. Figur Densitas Aedes aegypti dan hubungannya dengan Indeks

Aedes oleh AWA Brown ... 30 3.1. Tabel Desain Penelitian ... 38 3.2. Variabel, Defenisi Operasional, Cara Ukur Alat Ukur dan Skala

Ukur ... 43 3.3. Jadwal Pelaksanaan Penelitian ... 46 4.1. Gambaran Pengamatan Container Index (CI), House Index (HI)

dan Angka Bebas Jentik (ABJ) pada Sebelum dan Setelah

Perlakuan Ovitrap ... 50 4.2. Gambaran Karakteristik Kepadatan Nyamuk Aedes aegypti

Sebelum Perlakuan ... 50 4.3. Gambaran Karakteristik Kepadatan Nyamuk Aedes aegypti

Setelah Dilakukan Modifikasi Ovitrap ... 52 4.4. Perbedaan Rerata Kepadatan Nyamuk Aedes aegypti pada

Container Index (CI), House Index (HI) dan Angka Bebas Jentik (ABJ) Sebelum dan Setelah tanpa Ovitrap tanpa Atraktan

(Kontrol) ... 53 4.5. Perbedaan Rerata Kepadatan Nyamuk Aedes aegypti pada

Container Index (CI), House Index (HI) dan Angka Bebas Jentik (ABJ) Sebelum dan Setelah Dilakukan Modifikasi Ovitrap

Rendaman Jerami ... 54 4.6. Perbedaan Rerata Kepadatan Nyamuk Aedes aegypti pada

Container Index (CI), House Index (HI) dan Angka Bebas Jentik (ABJ) Sebelum dan Setelah Dilakukan Modifikasi Ovitrap

Rendaman Cabai Merah ... 55 4.7. Perbedaan rerata Kepadatan Nyamuk Aedes aegypti pada

(17)

(ABJ) Sebelum dan Setelah dilakukan Modifikasi Ovitrap Air

Gula dan Ragi Roti ... 56 4.8. Perbedaan Rerata Container Index (CI) setelah Perlakuan antara 4

Kelompok Perlakuan Secara Umum ... 57 4.9. Perbedaan rerata Container Index (HI) setelah Perlakuan antara 4

Kelompok Perlakuan Secara Khusus ... 57 4.10. Perbedaan Rerata House Index (HI) setelah Perlakuan antara 4

Kelompok Perlakuan Secara Umum ... 58 4.11. Perbedaan Rerata House Index (HI) setelah Perlakuan antara 4

Kelompok Perlakuan Secara Khusus ... 59 4.12. Perbedaan Rerata Angka Bebas Jentik (ABJ) setelah Perlakuan

antara 4 Kelompok Perlakuan Secara Umum ... 60 4.13. Perbedaan Rerata Angka Bebas Jentik (ABJ) setelah Perlakuan

(18)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Peta Kelurahan Siopat Suhu ... 83

2. Master data ... 84

3. Output Analisis ... 89

4. Dokumentasi Kegiatan Penelitian ... 108

5. Surat Izin Melakukan Penelitian... 112

(20)

ABSTRAK

Kejadian luar biasa (KLB) DBD masih sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Salah satu cara pengendalian nyamuk Aedes aegypti yang berhasil menurunkan densitas vektor di beberapa negara adalah penggunaan perangkap telur (Ovitrap). Ovitrap adalah alat penarik nyamuk untuk bertelur didalamnya.

Tujuan penelitian untuk menguji pengaruh modifikasi Ovitrap terhadap kepadatan jentik nyamuk Aedes aegypti dengan melihat perbedaan Container Index

(CI), House Index (HI), dan Angka Bebas Jentik (ABJ) sebelum dan sesudah perlakuan di Kelurahan Siopat Suhu Kota Pematang Siantar.

Jenis penelitian ini adalah quasi experiment. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2014-Juli 2014. Populasi adalah rumah di Lingkungan I, Lingkungan II, Lingkungan III, Lingkungan IV, dan sampel sebanyak 30 rumah untuk tiap-tiap kelompok perlakuan. Analisa data uji t berpasangan dan uji Anova.

Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh modifikasi ovitrap (air rendaman jerami, air rendaman cabai merah, dan air gula dan ragi roti) terhadap kepadatan nyamuk Aedes aegypti (penurunan Container Index (CI), penurunan House Index

(HI), dan kenaikan Angka Bebas Jentik (ABJ)). Modifkasi Ovitrap dengan air rendaman cabai merah merupakan yang paling efektif memengaruhi nilai Container Index (CI), House Index (HI), dan Angka Bebas Jentik (ABJ).

Diharapkan bagi Dinas Kesehatan Kota Pematang Siantar dapat merekomendasikan modifikasi ovitrap sebagai alat pengendalian nyamuk Aedes aegypti terhadap penurunan Container Index (CI), dan House Index (HI) dan peningkatan Angka Bebas Jentik (ABJ) secara nyata. Diharapkan masyarakat untuk dapat membuat dan menggunakan modifikasi ovitrap rendaman cabai merah di rumah masing-masing untuk pengendalian nyamuk Aedes aegypti yang cukup mudah dibuat oleh masyarakat.

(21)

ABSTRACT

The outbreak incident of dengue hemorrhagic fever (DHF) still frequently occurs in various areas in Indonesia. One of the ways of controlling theAedesAegypti mosquitos that is successful in decreasing vector density in several countries is the use of egg trap (ovitrap). Ovitrap is a device to attract mosquitos to lay their eggs in it.

The purpose of this study was to test the influence of Ovitrap modification on the density of Aedes aegypti mosquitos by looking at the difference between Container Index (CI), House Index (HI) and Larva Free Rate (LFR) before and after being given treatment in Kelurahan Siopat Suhu the City of Pematang Siantar.

The population of this quasi experimental study conducted from February to July 2014 was the houses in Lingkungan I, II, III and IV. The samples for this study were 30 houses of each Lingkungan which were used as treatment groups. The data obtained were analyzed through paired t-test and Anova test.

The result of this study showed that ovitrap modification (hay soaking, red chili soaking water and sugar water and bread yeast) had influence on the density of Aedes aegypti mosquitos (the decrease of Container Index (CI), House Index (HI) and Larvae-FreeRate (LFR) values). Ovitrap modification using red chili soaking water was the most effective way in influencing the values of Container Index (CI), House Index (HI) and Larvae-FreeRate (LFR).

Pematangsiantar Municipal Health Service is expected to be able to recommend the ovitrap modification as a tool to control Aedes aegypti mosquitos on the actual decrease of Container Index (CI), House Index (HI) and Larvae-FreeRate (LFR) values. The community is expected to be able to make and to use the modification of red chili soaking water-based ovitrap that can be easily made by the community to control Aedes aegypti mosquitos.

(22)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorhagic Fever

(DHF) merupakan satu dari beberapa penyakit menular yang menjadi masalah kesehatan di dunia terutama negara berkembang. Di Indonesia, masalah penyakit tersebut pertama kali muncul pada tahun 1968 di Surabaya. Sejak itu penyakit yang disebabkan oleh virus dengue ini telah menyebar keseluruh provinsi di Indonesia dan menjadi permasalahan kesehatan masyarakat yang berarti. Penyakit yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti ini penyebarannya cepat dan memiliki potensi menyebabkan kematian (Depkes RI,2008)

Kejadian luar biasa (KLB) DBD masih sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Pada tahun 1998 terjadi KLB dengan jumlah penderita sebanyak 72.133 orang dan merupakan wabah terbesar dengan 1.411 kematian atau Case Fatality Rate

(23)

Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa IR dan CFR telah melebihi indikator Nasional, dimana standar IR seharusnya sebesar 50 per 100.000 penduduk dan CFR < dari 1%.

Terjadinya peningkatan kasus DBD setiap tahunnya ditentukan oleh tingginya populasi nyamuk Aedes aegypti dan berkaitan dengan sanitasi lingkungan dengan tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk betina yaitu bejana yang berisi air jernih (bak mandi, kaleng bekas dan tempat penampungan air lainnya). Kondisi ini diperburuk dengan pemahaman masyarakat yang kurang tentang DBD dan juga partisipasi masyarakat yang sangat rendah, terlihat dari kondisi lingkungan yang buruk dan mempermudah pertumbuhan nyamuk DBD (Hermansyah, 2012).

Penanggulangan penyakit DBD mengalami masalah yang cukup kompleks, karena penyakit ini belum ditemukan obatnya. Tetapi cara paling baik untuk mencegah penyakit ini adalah dengan pemberantasan nyamuk penularnya atau dikenal dengan istilah Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN -DBD) (Yudhastuti, 2005).

Keberadaan jentik Aedes aegypti di suatu daerah merupakan indikator terdapatnya populasi nyamuk Aedes aegypti di daerah tersebut. Dalam rangka pemberantasan penyakit DBD diperlukan pengetahuan mengenai biologi nyamuk

(24)

Indikator-indikator tersebut antara lain adalah Container Index (CI), House Index

(HI) dan Breteau Index (BI) (Kesetyaningsih, 2006).

Kota Pematang Siantar merupakan salah satu wilayah endemis DBD di propinsi Sumatera Utara. Berdasarkan Profil Kesehatan Kota Pematang Siantar (2012), menunjukkan bahwa selama 5 (lima) tahun terakhir, terjadi peningkatan kasus dan kematian akibat DBD. Tahun 2007 IR sebesar 234 per 100.000 penduduk dengan CFR sebesar 2,23%, Tahun 2008 menurun menjadi 195 per 100.000 penduduk dengan CFR sebesar 1,44%, tahun 2009 meningkat tajam menjadi 245,8 per 100.000 penduduk dengan CFR sebesar 1,13%, Tahun 2010 meningkat kembali menjadi 254 per 100.000 penduduk dengan CFR 2,27%, dan Tahun 2011 menurun menjadi 254 per 100.000 penduduk dengan CFR 0,78%, namun tahun 2012 menurun menjadi 165,6 per 100.000 penduduk dengan CFR sebesar 1,82%. Keadaan tersebut menunjukkan ada fluktuasi kasus DBD secara permanen di Kota Pematang Siantar.

Berdasarkan uraian diatas diketahui bahwa IR dan CFR kota Pematang Siantar telah melebihi indikator yang ditetapkan secara Nasional, dimana standar IR seharusnya sebesar 50 per 100.000 penduduk dan CFR < dari 1%. Hal ini menunjukkan penyakit DBD sudah dalam taraf mengkhawatirkan, sehingga sangat perlu dilakukan berbagai upaya yang tepat sasaran dan tepat guna.

(25)

cepat sehingga jumlah kasus penyakit DBD cepat meningkat yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya KLB penyakit DBD ( Yulce, 2010)

Upaya-upaya yang telah dilakukan oleh Dinas Kesehatan Pematang Siantar dalam pengendalian penyakit DBD antara lain sosialisasi pencegahan dan penanggulangan penyakit DBD kepada masyarakat, pemberian abate kepada masyarakat melalui petugas kesehatan di Puskesmas, fogging di daerah yang memenuhi kriteria untuk dilakukan fogging, dan meningkatkan surveilans epidemiologi (Community Based Surveilance dan Hospital Based Surveilance) (Profil Kesehatan Kota Pematang Siantar, 2012).

Pengendalian nyamuk Aedes aegypti dapat dilakukan terhadap nyamuk dewasa dan pada stadium larva/jentik. Pemberantasan nyamuk dewasa yang umum dilakukan melalui pengasapan/fogging dengan menggunakan insektisida. Melakukan fogging saja tidak cukup karena dengan fogging yang mati hanya nyamuk dewasa saja, larva nyamuk tidak mati dengan melakukan pengasapan (Depkes RI, 2012). Selain itu juga pengasapan menggunakan bahan insektisida organofosfat dapat menimbulkan resistensi akibat dosis yang tidak tepat (Bento dkk, 2003)

(26)

data dari Profil Dinas Kesehatan Kota Pematang Siantar (2012) didapati angka House Index (HI) 65,7 % .

Salah satu cara pengendalian nyamuk Aedes aegypti yang berhasil menurunkan densitas vektor di beberapa negara adalah penggunaan perangkap telur (ovitrap). Ovitrap adalah alat penarik nyamuk untuk bertelur didalamnya. Alat ini dikembangkan oleh Fay dan Elianson pada tahun 1966 dan disebar luaskan oleh

Central for Diseases Control and Prevention (CDC) dalam surveilens Aedes aegypti

(Sayono dkk,2010). Sensitivitas dari Ovitrap cukup tinggi meskipun kepadatan vektor berada pada tingkat yang rendah (Santos et al ., 2003)

Untuk memaksimalkan ovitrap dalam pengendalian vektor Aedes aegypti, maka dilakukan beberapa modifikasi terhadap ovitrap. Penelitian yang dilakukan Hasyimi dkk (1998), pemasangan ovitrap yang telah dimodifikasi dengan pemberian abate (temephos) dapat menurunkan angka Container Index (CI) sebesar 5,33 % dan angka House Index (HI) sebesar 7,74%. Modifikasi ovitrap menjadi perangkap nyamuk yang mematikan (lethal/autocidal ovitrap) dilakukan Zeichner dan Perich (1999) dengan menambahkan beberapa jenis insektisida pada media bertelur (ovistrip), dengan efektifitas 45 –100 persen.Sithiprasasna et al (2003) memodifikasi

ovitrap menjadi perangkap larva-auto (auto-larval trap) dengan memasang kassa nylon tepat pada permukaan air.

(27)

murah. Atraktan tidak menimbulkan risiko terhirupnya zat-zat kimia berbahaya yang terdapat di dalam insektisida dan fogging. Aktraktan juga tidak menimbulkan kontak fisik seperti repellent sehingga tidak ada risiko iritasi kulit. (Polson, 2002)

Atraktan adalah sesuatu yang memiliki daya tarik atau dapat mengundang serangga (nyamuk) untuk menghampiri baik secara kimiawi maupun visual (fisik). Atraktan dari bahan kimia dapat berupa senyawa ammonia, CO2, asam laktat, octenol

dan asam lemak. Zat atau senyawa tersebut berasal dari bahan organik atau merupakan hasil proses metabolisme makhluk hidup termasuk manusia. Atraktan dapat digunakan untuk mempengaruhi perilaku, memonitor atau menurunkan populasi nyamuk secara langsung tanpa menyebabkan cedera bagi binatang lain dan manusia serta tidak meninggalkan residu pada makanan atau bahan pangan.(Weinzierl,2005)

Berdasarkan penelitian Sayono dkk, (2008) Untuk menarik penciuman nyamuk datang ke ovitrap yang telah dimodifikasi menjadi lethal ovitrap (LO)

digunakan atraktan yaitu air rendaman jerami 10 % yang dikemas dalam lethal ovitrap dari kaleng bekas yang diberi kasa nyamuk sebagai penutup permukaan air. Penelitian Aisyah (2013) Cabai merah dapat digunakan sebagai atraktan karena dapat menghasilkan senyawa ammonia, CO2, asam laktat, octenol dan asam lemak setelah

melalui proses perendaman selama 7 hari. Penelitian Widya (2012) reaksi fermentasi larutan gula dan ragi roti menghasilkan CO2 yang merupakan bahan penarik atraktan

(28)

Berdasarkan uraian di atas peneliti ingin mengetahui pengaruh modifikasi

ovitrap dengan atraktan terhadap kepadatan nyamuk Aedes aegypti yaitu Container Index (CI), House Index (HI), dan Angka Bebas Jentik (ABJ), di Kelurahan Siopat Suhu Kota Pematang Siantar tahun 2014.

1.2. Permasalahan

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan masalah kesehatan masyarakat Indonesia, karena angka kesakitan semakin meningkat, masih menimbulkan kematian dan sering terulangnya kejadian luar biasa (KLB). Keberadaan nyamuk yang tinggi mempunyai risiko transmisi nyamuk yang cukup tinggi untuk terjadi penularan penyakit DBD. Dengan demikian upaya mencegah terjadinya DBD yaitu dengan memberantas keberadaan nyamuk Aedes aegypti. Cara memberantas nyamuk Aedes aegypti ialah dengan melakukan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN). Tetapi Pemberantasan sarang nyamuk (PSN) bisa menimbulkan nyamuk Aedes kehilangan banyak tempat perindukan di dalam rumah dan mencari tempat lain di luar rumah.

(29)

atraktan mana yang lebih menarik bagi nyamuk Aedes diantara air rendaman jerami, air rendaman cabai merah dan larutan gula dan ragi roti.

Berdasarkan latar belakang di atas maka perumusan masalah penelitian ini adalah apakah ada pengaruh berbagai modifikasi ovitrap terhadap kepadatan nyamuk

Aedes aegypti dengan melihat Container Index (CI), House Index (HI), dan Angka Bebas Jentik (ABJ).

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian adalah untuk menganalisis pengaruh modifikasi

ovitrap terhadap kepadatan nyamuk Aedes aegypti dengan melihat perbedaan

Container Index (CI), House Index (HI), dan Angka Bebas Jentik (ABJ) sebelum perlakuan di Kelurahan Siopat Suhu Kota Pematang Siantar.

1.4. Hipotesis

Berdasarkan variabel – variabel penelitian yang dilakukan maka hipotesa pada penelitian ini yaitu :

1. Ada pengaruh modifikasi ovitrap air rendaman jerami terhadap Container Index

(CI), House Index (HI), dan Angka Bebas Jentik (ABJ)

2. Ada pengaruh modifikasi ovitrap air rendaman cabai merah terhadap Container Index (CI), House Index (HI), dan Angka Bebas Jentik (ABJ).

3. Ada pengaruh modifikasi ovitrap air gula dan ragi roti terhadap Container Index

(30)

4. Ada perbedaan rerata Container Index (CI), House Index (HI), dan Angka Bebas Jentik (ABJ) dari empat perlakuan ovitrap ( tanpa atraktan, air rendaman jerami, air rendaman cabai merah, air gula dan ragi roti).

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah :

1. Sebagai informasi bagi Dinas Kesehatan Kota Pematang Siantar dalam merencanakan program pengendalian nyamuk Aedes aegypti dalam rangka pengendalian vektor penyebab penyakit DBD.

2. Bagi Pemko Pematang Siantar agar dapat memberdayakan ibu rumah tangga sebagai potensi yang besar untuk ikut berperan dalam pengendalian DBD.

(31)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan tentang Nyamuk Aedes spp

Nyamuk Aedes spp. adalah spesies nyamuk tropis dan subtropis di seluruh dunia dalam garis lintang 35°LU dan 35°LS. Namanya diperoleh dari perkataan Yunani yaitu aedes, yang berarti "tidak menyenangkan", karena nyamuk ini menyebarkan beberapa penyakit berbahaya seperti demam berdarah dan demam kuning. Aedes albopictus merupakan spesies yang sering ditemui di Asia. Distribusi

Aedes dibatasi dengan ketinggian wilayah kurang dari 1000 meter di atas permukaan air laut.(WHO, 2001)

Di Indonesia nyamuk penular (vektor) penyakit demam berdarah dengue (DBD) yang paling penting adalah Aedes aegypti, Aedes albopictus, dan Aedes scutellaris, tetapi sampai saat ini yang menjadi vektor utama dari penyakit DBD adalah Aedes aegypti. Nyamuk Aedes aegypti dikenal dengan sebutan black white mosquito atau tiger mosquito karena tubuhnya memiliki ciri yang khas yaitu adanya garis - garis dan bercak - bercak putih keperakan diatas dasar warna hitam. Sedangkan yang menjadi ciri khas utamanya adalah ada dua garis lengkung yang berwarna putih keperakan di kedua sisi lateral dan dua buah garis putih sejajar di garis median dari punggungnya yang berwarna dasar hitam (lyre shaped marking).

Nyamuk Aedes aegypti betina menggigit dan menularkan virus dengue.

(32)

pukul (16.00 - 17.00). Nyamuk jenis itu senang berada di tempat yang gelap dan lembap. Penampilan nyamuk ini sangat khas, yaitu memiliki bintik - bintik putih dan ukurannya lebih kecil dibandingkan nyamuk biasa. Pada malam hari, nyamuk ini bersembunyi di tempat gelap atau di antara benda-benda yang tergantung, seperti baju atau tirai (Satari, 2004).

2.1.1. Klasifikasi Nyamuk Aedes spp

Nyamuk Aedes spp., secara umum mempunyai klasifikasi (Womack, 1993), sebagai berikut :

Kerajaan : Animalia

Filum : Arthropoda

Kelas : Insecta

Ordo : Diptera

Famili : Culicidae

Subfamili : Culicinae

Tribus : Culicini

Genus : Aedes

2.1.2. Morfologi Nyamuk Aedes spp

(33)

1. Telur

Telur nyamuk Aedes aegypti berbentuk ellips atau oval memanjang, warna hitam, ukuran 0,5 – 0,8 mm, rata – rata 150 butir, permukaan poligonal, tidak memiliki alat penampung, dan diletakkan satu persatu pada benda - benda yang terapung atau pada dinding bagian dalam tempat penampungan air (TPA) yang berbatasan dengan permukaan air. Dilaporkan bahwa dari telur yang dilepas, sebanyak 85% melekat di dinding TPA, sedangkan 15% lainnya jatuh ke permukaan air.

2. Larva

Larva nyamuk Aedes aegypti tubuhnya memanjang tanpa kaki dengan bulu-bulu sederhana yang tersusun bilateral simetris. Larva ini dalam pertumbuhan dan perkembangannya mengalami 4 kali pergantian kulit (ecdysis), larva yang terbentuk berturut-turut disebut larva instar I, II, III dan IV. Larva instar I, tubuhnya sangat kecil, warna transparan, panjang 1 - 2 mm, duri - duri (spinae) pada dada (thorax) belum begitu jelas, dan corong pernapasan (siphon) belum menghitam. Larva instar II bertambah besar, ukuran 2,5 - 3,9 mm, duri dada belum jelas, corong pernapasan sudah berwarna hitam. Larva instar IV telah lengkap struktur anatominya dan jelas tubuh dapat dibagi menjadi bagian kepala (chepal), dada (thorax), dan perut (abdomen).

(34)

duri-duri, berwarna hitam, dan ada seberkas bulu-bulu (tulf). Ruas ke-8 juga dilengkapi dengan seberkas bulu-bulu sikat (brush) di bagian ventral dan gigi-gigi sisir (comb) yang berjumlah 15 – 19 gigi yang tersusun dalam 1 baris. Gigi - gigi sisir dengan lekukan yang jelas membentuk gerigi. Larva ini tubuhnya langsing dan bergerak sangat lincah, bersifat fototaksis negatif, dan waktu istirahat membentuk sudut hampit tegak lurus dengan bidang permukaan air.

3. Pupa

Pupa nyamuk Aedes aegypti bentuk tubuhnya bengkok, dengan bagian kepala -dada (cephalothorax) lebih besar bila dibandingkan dengan bagian perutnya,sehingga tampak seperti tanda baca ”koma”. Pada bagian punggung (dorsal) dada terdapat alat bernapas seperti terompet. Pada ruas perut ke-8 terdapat sepasang alat pengayuh yang berguna untuk berenang. Alat pengayuh tersebut berjumbai panjang dan bulu di nomor 7 pada ruas perut ke-8 tidak bercabang. Gerakan pupa tampak lebih lincah bila dibandingkan dengan larva. Waktu istirahat posisi pupa sejajar dengan bidang permukaan air.

4. Dewasa

(35)

lebih menyukai cairan tumbuhan (phytophagus). Nyamuk betina mempunyai antena tipe-pilose sedangkan nyamuk jantan tipe plumose.

Dada nyamuk ini tersusun dari 3 rias, porothorax, mesothorax dan metathorax. Setiap ruas dada ada sepasang kaki yang terdiri dari femur (paha), tibia(betis), dan tarsus (tampak). Pada ruas-ruas kaki ada gelang-gelang putih, tetapi pada bagian tibia kaki belakang tidak ada gelang putih. Pada bagian dada juga terdapat sepasang sayap tanpa noda-noda hitam. Bagian punggung (mesontum) ada gambaran garis-garis putih yang dapat dipakai untuk membedakan dengan jenis lain. Gambaran punggung nyamuk Aedes aegypti berupa sepasang garis lengkung putih (bentuk: lyre) pada tepinya dan sepasang garis submedian di tengahnya. Perut terdiri dari 8 ruas danpada ruas-ruas tersebut terdapat bintik-bintik putih. Waktu istirahat posisi nyamuk Aedes aegypti ini tubuhnya sejajar dengan bidang permukaan yang dihinggapinya.

2.1.3. Tata Hidup Nyamuk Aedes spp

(36)

Aedes aegypti bersifat aktif pada pagi hingga siang hari. Penularan penyakit dilakukan oleh nyamuk betina karena hanya nyamuk betina yang mengisap darah. Hal itu dilakukannya untuk memperoleh asupan protein yang diperlukannya untuk memproduksi telur. Nyamuk jantan tidak membutuhkan darah, dan memperoleh energi dari nektar bunga ataupun tumbuhan. Jenis ini menyenangi area yang gelap dan benda - benda berwarna hitam atau merah (Wikipedia, 2010).

Aedes albopictus pun bersifat aktif sama dengan Aedes aegypti, yaitu di pagi dan sore hari. Bertelurnya di air tergenang, misalnya pada kaleng-kaleng bekas yang menampung air hujan di halaman rumah. Pada musim penghujan, nyamuk ini banyak terdapat di kebun atau halaman rumah karena di situ terdapat banyak tempat yang terisi air (Wikipedia, 2010).

2.1.4 Bionomik Nyamuk Aedes aegypti 1. Perilaku Makan

(37)

bahwa mereka terinfeksi nyamuk infektif yang sama. Aedes aegypti biasanya tidak menggigit di malam hari tetapi akan menggigit saat malam di kamar yang terang (WHO, 2004).

Nyamuk Aedes aegypti jantan mengisap cairan tumbuhan atau sari bunga untuk keperluan hidupnya sedangkan yang betina mengisap darah. Nyamuk betina ini lebih menyukai darah manusia daripada binatang (bersifat

antropofilik). Darah (proteinnya) diperlukan untuk mematangkan telur agar jika dibuahi oleh sperma nyamuk jantan, dapat menetas. Waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan perkembangan telur mulai dari nyamuk mengisap darah sampai telur dikeluarkan biasanya bervariasi antara 3-4 hari. Jangka waktu tersebut disebut satu siklus gonotropik (gonotropic cycle).

Biasanya nyamuk betina mencari mangsanya pada siang hari. Aktivitas menggigit biasanya mulai pagi sampai petang hari, dengan 2 puncak aktifitas antara pukul 09.00-10.00 dan 16.00-17.00. Tidak seperti nyamuk lain, Aedes aegypti mempunyai kebiasaan mengisap darah berulang kali (multiple bites) dalam satu siklus gonotropik, untuk memenuhi lambungnya dengan darah. Dengan demikian nyamuk ini sangat efektif sebagai penular penyakit (Depkes, 2008).

2. Perilaku Istirahat

(38)

tumbuhan atau di tempat terlindung lainnya. Permukaan yang nyamuk suka di dalam ruangan adalah di bawah furniture, benda yang tergantung seperti baju, gorden serta di dinding (WHO, 2004).

Setelah mengisap darah, nyamuk ini hinggap (beristirahat) di dalam atau kadang-kadang di luar rumah berdekatan dengan tempat perkembangbiakannya. Biasanya di tempat yang agak gelap dan lembab. Di tempat-tempat ini nyamuk menunggu proses pematangan telurnya (Depkes RI, 2008).

3. Tempat Perkembangbiakan

Menurut Depkes RI ( 2008), tempat perkembangbiakan utama Aedes aegypti ialah tempat-tempat penampungan air berupa genangan air yang tertampung disuatu tempat atau bejana di dalam atau sekitar rumah atau tempat-tempat umum, biasanya tidak melebihi jarak 500 meter dari rumah. Nyamuk ini biasanya tidak dapat berkembang biak di genangan air yang langsung berhubungan dengan tanah. Jenis tempat perkembangbiakan nyamuk

Aedes aegypti dapat dikelompokkan sebagai berikut:

a. Tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari, seperti: drum, tangki reservoir, tempayan, bak mandi/wc, dan ember.

(39)

c. Tempat penampungan air alamiah seperti: lobang pohon, lobang batu, pelepah daun, tempurung kelapa, pelepah pisang dan potongan bambu. Setelah beristirahat dan proses pematangan telur selesai, nyamuk betina akan meletakan telurnya di dinding tempat perkembangbiakannya, sedikit di atas permukaan air. Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik dalam waktu ± 2 hari setelah telur terendam air. Telur itu di tempat yang kering (tanpa air) dapat bertahan berbulan-bulan pada suhu -2ºC sampai 42ºC, dan bila tempat-tempat tersebut kemudian tergenang air atau kelembabannya tinggi maka telur dapat menetas lebih cepat.

4. Jarak Terbang

Penyebaran nyamuk Aedes aegypti betina dewasa dipengaruhi oleh beberapa faktor termasuk ketersediaan tempat bertelur dan darah, tetapi tampaknya terbatas sampai jarak 100 meter dari lokasi kemunculan (WHO, 2004).

Pergerakan nyamuk dari tempat perindukan ke tempat mencari mangsa dan selanjutnya ke tempat untuk beristirahat ditentukan oleh kemampuan terbang nyamuk. Pada waktu terbang nyamuk memerlukan oksigen lebih banyak, dengan demikian penguapan air dari tubuh nyamuk menjadi lebih besar. Untuk mempertahankan cadangan air di dalam tubuh dari penguapan maka jarak terbang nyamuk menjadi terbatas.

(40)

nyamuk seperti kecepatan angin,temperatur, kelembaban dan cahaya. Adapun faktor internal meliputi suhu tubuh nyamuk, keadaan energi dan perkembangan otot nyamuk. Meskipun Aedes aegypti kuat terbang tetapi tidak pergi jauh-jauh, karena tiga macam kebutuhannya yaitu tempat perindukan, tempat mendapatkan darah, dan tempat istirahat ada dalam satu rumah. Keadaan tersebut yang menyebabkan Aedes aegypti bersifat lebih menyukai aktif di dalam rumah. Apabila ditemukan nyamuk dewasa pada jarak terbang mencapai 2 km dari tempat perindukannya, hal tersebut disebabkan oleh pengaruh angin atau terbawa alat transportasi (Sitio, 2008)

2.2. Penyebaran Nyamuk Aedes aegypti

(41)

Aedes aegypti tersebar luas baik di rumah-rumah maupun di tempat-tempat umum di Indonesia. Nyamuk ini dapat hidup dan berkembang biak sampai ketinggian daerah ±1.000 m dari permukaan air laut. Di atas ketinggian 1.000 m tidak dapat berkembang biak, karena pada ketinggian tersebut suhu udara terlalu rendah, sehingga tidak memungkinkan bagi kehidupan nyamuk tersebut (Depkes RI, 2008).

Ketinggian merupakan faktor yang penting untuk membatasi penyebaran nyamuk Aedes aegypti. Di India Aedes aegypti dapat ditemukan pada ketinggian yang berkisar dari nol meter sampai 1000 meter di atas permukaan laut. Ketinggian yang rendah (kurang dari 500 meter) memiliki tingkat kepadatan populasi nyamuk sedang sampai berat. Sementara daerah pegunungan (diatas 500 meter) memiliki populasi nyamuk yang rendah. Di negara-negara Asia Tenggara, ketinggian 1000 sampai 1500 meter di atas permukaan laut tampaknya merupakan batas bagi penyebaran Aedes aegypti. Di bagian lain dunia, nyamuk spesies ini dapat ditemukan di wilayah yang jauh lebih tinggi, misalnya di Kolombia sampai mencapai 2200 meter (WHO, 2004).

2.3. Demam Berdarah Dengue

2.3.1 Pengertian Demam Berdarah Dengue (DBD)

Menurut WHO (2004), definisi Demam Berdarah Dengue adalah penyakit demam akut selama 2-7 hari dengan dua atau lebih manifestasi seperti sakit kepala, nyeri retro-orbital, mialgia, atralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan, leukopenia,

(42)

Demam berdarah dengue adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dan ditularkan melalui nyamuk. Nyamuk yang dapat menularkan penyakit demam berdarah dengue adalah nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Virus demam berdarah dengue terdiri dari 4 serotipe yaitu virus DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Penyakit ini merupakan penyakit yang timbul di negara-negara tropis, termasuk di Indonesia (Depkes RI, 2010).

2.3.2 Etiologi

Penyakit demam berdarah dengue disebabkan oleh virus Dengue dari genus

Flavivirus, famili Flaviviridae. DBD ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk

Aedes yang terinfeksi virus Dengue. Virus Dengue penyebab Demam Dengue (DD), Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Dengue Shock Syndrome (DSS) termasuk dalam kelompok B Arthropod Virus (Arbovirosis) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviride, dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu: DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. (Depkes RI, 2010).

2.3.3 Siklus Penularan Demam Berdarah Dengue

(43)

nafsu makan, dan berbagai tanda serta gejala non spesifik lain termasuk mual, muntah dan ruam kulit.

Viraemia biasanya ada pada saat atau tepat sebelum gejala awal penyakit dan akan berlangsung selama rata-rata lima hari setelah timbulnya penyakit. Ini merupakan masa yang sangat kritis karena pasien berada pada tahap yang paling infektif untuk nyamuk vektor dan akan berkontribusi dalam mempertahankan siklus penularan jika pasien tidak dilindungi dari gigitan nyamuk (WHO, 2004).

Penularan DBD antara lain dapat terjadi di semua tempat yang terdapat nyamuk penularnya, tempat yang potensial untuk penularan penyakit DBD antara lain (Sitio, 2008):

a. Wilayah yang banyak kasus DBD atau rawan endemis DBD.

b. Tempat-tempat umum yang merupakan tempat berkumpulnya orang, orang datang dari berbagai wilayah sehingga kemungkinan terjadinya pertukaran beberapa tipe virus dengue cukup besar seperti sekolah, pasar, hotel, puskesmas, rumah sakit dan sebagainya.

(44)

2.4. Vektor Penular Demam Berdarah Dengue

Virus dengue ditularkan dari satu orang ke orang lain oleh nyamuk Aedes aegypti dari subgenus Stegomyia. Aedes aegypti merupakan vektor epidemik yang paling penting, sementara spesies lain seperti Aedes albopictus, Aedes polynesiensis, anggota kelompok Aedes Scutellaris dan Aedes niveus juga diputuskan sebagai vektor sekunder. Semua spesies tersebut kecuali Aedes aegypti memiliki wilayah penyebarannya sendiri, walaupun mereka merupakan vektor yang sangat baik untuk virus dengue, epidemik yang ditimbulkannya tidak separah yang diakibatkan oleh

Aedes aegypti (WHO, 2004).

Vektor Demam Berdarah Dengue di Indonesia adalah nyamuk Aedes aegypti

(45)

disamping itu juga bersifat multiple feeding artinya untuk memenuhi kebutuhan darah sampai kenyang dalam satu periode siklus gonotropik biasanya menghisap darah beberapa kali (Depkes RI, 2010).

Menurut Anies (2006), orang awam mudah mengenali nyamuk tersebut dengan ciri-ciri umum sebagai berikut:

a. badan kecil, warna hitam dengan bintik-bintik putih b. hidup di dalam dan di sekitar rumah

c. menggigit/mengisap darah pada siang hari

d. senang hinggap pada pakaian yang bergelantungan dalam kamar

e. bersarang dan bertelur di genangan air jernih di dalam dan di sekitar rumah: bak mandi, tempayan, vas bunga, tempat minum burung, perangkap semut.

2.5. Pengendalian Vektor Demam Berdarah Dengue

Menurut Sukowati (2010), beberapa metode pengendalian vektor telah banyak diketahui dan digunakan oleh program pengendalian DBD di tingkat pusat dan di daerah yaitu:

1. Manajemen Lingkungan

(46)

keberhasilan manajemen lingkungan telah ditunjukkan oleh Kuba dan Panama serta Kota Purwokerto dalam pengendalian sumber nyamuk.

2. Pengendalian Biologis

Pengendalian secara Biologis merupakan upaya pemanfaatan agent biologi untuk pengendalian vektor DBD. Beberapa agen biologis yang sudah digunakan dan terbukti mampu mengendalikan populasi larva vektor DB/DBD adalah dari kelompok bakteri, predator seperti ikan pemakan jentik dan cyclop (Copepoda). a. Predator

Predator larva di alam cukup banyak, namun yang bisa digunakan untuk pengendalian larva vektor DBD tidak banyak jenisnya, dan yang paling mudah didapat dan dikembangkan masyarakat serta murah adalah ikan pemakan jentik. Di Indonesia ada beberapa ikan yang berkembang biak secara alami dan bisa digunakan adalah ikan kepala timah dan ikan cetul. Namun ikan pemakan jentik yang terbukti efektif dan telah digunakan di kota Palembang untuk pengendalian larva DBD adalah ikan cupang.

Jenis predator lainnya yang dalam penelitian terbukti mampu mengendalikan larva DBD adalah dari kelompok Copepoda atau cyclops, Jenis ini sebenarnya jenis Crustacea dengan ukuran mikro. Namun jenis ini mampu makan larva vektor DBD. Beberapa spesies sudah diuji coba dan efektif, antara lain

(47)

b. Bakteri

Agen biologis yang sudah dibuat secara komersial dan digunakan untuk larvasidasi dan efektif untuk pengendalian larva vektor adalah kelompok bakteri. Dua spesies bakteri yang sporanya mengandung endotoksin dan mampu membunuh larva adalah Bacillus thuringiensis serotype 14 (Bt. H-14) dan B. spaericus (BS). Endotoksin merupakan racun perut bagi larva, sehingga spora harus masuk ke dalam saluran pencernaan larva. Keunggulan agent biologis ini tidak mempunyai pengaruh negatif terhadap lingkungan dan organisme bukan sasaran. Kelemahan cara ini harus dilakukan secara berulang dan sampai sekarang masih harus disediakan oleh pemerintah melalui sektor kesehatan. Karena endotoksin berada di dalam spora bakteri, bilamana spora telah berkecambah maka agent tersebut tidak efektif lagi.

3. Pengendalian Kimiawi

(48)

4. Partisipasi Masyarakat

Partisipasi masyarakat merupakan proses panjang dan memerlukan ketekunan, kesabaran dan upaya dalam memberikan pemahaman dan motivasi kepada individu, kelompok, masyarakat, bahkan pejabat secara berkesinambungan. Program yang melibatkan masyarakat adalah mengajak masyarakat mau dan mampu melakukan 3 M plus atau PSN dilingkungan mereka. Istilah tersebut sangat populer dan mungkin sudah menjadi trade mark bagi program pengendalian DBD, namun karena masyarakat kita sangat heterogen dalam tingkat pendidikan, pemahaman dan latar belakangnya sehingga belum mampu mandiri dalam pelaksanaannya.

Mengingat kenyataan tersebut, maka penyuluhan tentang vektor dan metode pengendaliannya masih sangat dibutuhkan oleh masyarakat secara berkesinambungan. Karena vektor DBD berbasis lingkungan, maka penggerakan masyarakat tidak mungkin dapat berhasil dengan baik tanpa peran dari Pemerintah daerah dan lintas sektor terkait seperti pendidikan, agama, LSM, dll.

2.6. Survei Jentik

Menurut Depkes RI (2008), untuk mengetahui keberadaan jentik Aedes aegypti di suatu lokasi dapat dilakukan survei jentik sebagai berikut:

(49)

b. Untuk memeriksa tempat penampungan air yang berukuran besar, seperti: bak mandi, tempayan, drum dan bak penampungan air lainnya. Jika pada pandangan (penglihatan) pertama tidak menemukan jentik, tunggu kira-kira ½ -1 menit untuk memastikan bahwa benar jentik tidak ada.

c. Untuk memeriksa tempat-tempat perkembangbiakan yang kecil, seperti: vas bunga/pot tanaman air/botol yang airnya keruh, seringkali airnya perlu dipindahkan ke tempat lain.

d. Untuk memeriksa jentik di tempat yang agak gelap, atau airnya keruh, biasanya digunakan senter.

Metode survei yang paling umum menggunakan prosedur pengambilan sampel jentik bukan pengumpulan telur atau nyamuk dewasa. Unit pengambilan sampel adalah rumah atau tempat yang secara sistematik akan ditelusuri untuk mencari penampung air. Penampung kemudian diperiksa untuk menentukan keberadaan jentik. Bergantung pada tujuan survey, pencarian akan segera dihentikan begitu jentik Aedes ditemukan atau tetap diteruskan sampai semua penampung diperiksa (WHO, 2004).

Metode survei jentik dapat dilakukan dengan cara (Depkes RI, 2008):

a. Single larva : Cara ini dilakukan dengan mengambil satu jentik di setiap tempat genangan air yang ditemukan jentik untuk diidentifikasi lebih lanjut.

(50)

Ukuran-ukuran yang dipakai untuk mengetahui kepadatan nyamuk Aedes aegypti:

a. House Index (HI).

Jumlah rumah ditemukan jentik

House Index (HI) = ---x 100 % Jumlah rumah yang diperiksa

b. Container Index (CI)

Jumlah kontainer ditemukan jentik

Container Index( HI) = --- x 100 % Jumlah Kontainer yang diperiksa

c. Breteau Index (BI) adalah jumlah kontainer positif perseratus rumah yang diperiksa.

Jumlah kontainer ditemukan jentik

Breteau Index (BI) = --- x 100 % 100 rumah yang diperiksa

d. Angka Bebas Jentik (ABJ)

Jumlah rumah tidak ditemukan jentik

Angka Bebas Jentik (ABJ) = --- x 100 % Jumlah rumah yang diperiksa

Menurut Sari (2012) yang mengutip dari WHO, kepadatan nyamuk dikatakan tinggi dan berisiko tinggi untuk penularan DBD jika HI dan CI ≥5% serta nilai BI ≥ 20%. Sedangkan ABJ menurut standar nasional adalah ≥ 95% . Tingginya kepadatan populasi nyamuk akan mempengaruhi distribusi penyebaran penyakit DBD.

(51)

indikasi cepat dari penyebaran Aedes aegypti di suatu daerah. Container index

menghasilkan indikasi yang lebih detail dari jumlah populasi nyamuk yang terdapat dalam tempat penampungan air. Sedangkan Breteau index memuat hubungan antara rumah dan penampung positif dan dianggap sebagai indeks yang paling informatif, tetapi sekali lagi, produktivitas penampung tidak termuat. Breteau index digunakan untuk mengukur kepadatan nyamuk.

Tingkat kepadatan (Density Figure) jentik aedes menurut WHO 1972, yang dikutip oleh Santoso,dkk (2008) dapat dilihat dari tabel 2.1 di bawah ini :

Tabel 2.1 Figur Densitas Aedes aegypti dan Hubungannya dengan Indeks Aedes oleh AWA Brown

Figur Densitas HI CI BI

1 1 – 3 1-2 1-4

2 4 – 7 3-5 5-9

3 8 – 17 6-9 10-19

4 18 – 28 10-14 20-34

5 29 – 37 15-20 35-49

6 38 – 49 21-27 50-74

7 50 – 59 28-31 75-99

8 60 – 76 32-40 100-199

9 > 77 >41 >200

Sumber :

2.7. Survei Perangkap Telur 2.7.1. Pengertian

(52)

pada keadaan normal. Secara khusus ovitrap digunakan untuk mendeteksi infestasi nyamuk ke area baru yang sebelumnya telah dieliminasi. Alasan ini menjadi dasar pemasangan ovitrap di bandara internasional yang harus memenuhi persyaratan bebas vektor (WHO,2005). Ovitrap standar berupa gelas kecil bermulut lebar dicat hitam bagian luarnya dan dilengkapi dengan bilah kayu atau bambu (pedal) yang dijepitkan vertikal pada dinding dalam. Gelas diisi air setengahnya dan ditempatkan di dalam dan di luar rumah yang diduga menjadi habitat nyamuk Aedes.(WHO,2005)

Ovitrap dengan penambahan air rendaman jerami 10% terbukti dapat

menghasilkan telur terperangkap 8 kali lebih banyak dibanding versi aslinya (Polson,2002). Ovitrap memberikan hasil setiap minggu. Persentase ovitrap yang positif menginformasikan tingkat paparan nyamuk Aedes, sedangkan jumlah telur digunakan untuk estimasi populasi nyamuk betina dewasa (WHO,2005)

2.7.2 Modifikasi Ovitrap dengan Atraktan

Atraktan adalah sesuatu yang memiliki daya tarik terhadap serangga (nyamuk) baik secara kimiawi maupun visual (fisik). Atraktan dari bahan kimia dapat berupa senyawa ammonia, CO2, asam laktat, octenol, dan asam lemak. Zat atau

(53)

lemak yang dihasilkan dari flora normal kulit merupakan atraktan yang efektif. Aroma ini efektif sampai jarak 7 – 30 meter, tetapi dapat mencapai 60 meter untuk beberapa spesies.

Atraktan dapat digunakan untuk mempengaruhi perilaku, memonitor atau menurunkan populasi nyamuk secara langsung, tanpa menyebabkan cedera bagi binatang lain dan manusia, dan tidak meninggalkan residu pada makanan atau bahan pangan. Efektifitas penggunaannya membutuhkan pengetahuan prinsip-prinsip dasar biologi serangga. Menurut Weinzierl (2005) Serangga menggunakan petanda kimia(semiochemicals) yang berbeda untuk mengirim pesan. Hal ini analog dengan rasa atau bau yang diterima manusia.

(54)

Cabai merah juga dapat digunakan sebagai atraktan pada ovitrap. Pembuatan atraktan dengan menggunakan cabai merah dilakukan dengan cara merendam cabai merah karena air rendaman tersebut dapat menghasilkan senyawa ammonia, CO2, asam laktat, octenol dan asam lemak setelah melalui proses perendaman selama 7 hari (Aisyah, 2013). Penelitian atraktan bumbu dapur yang salah satu bahannya menggunakan cabai merah dengan konsentrasi 10% menghasilkan rata-rata 3,50 butir lebih efektif dibandingkan dengan air hujan yang rata-ratanya 2,83 butir. Amoniak, CO₂, dan asam laktat merupakan salah satu atraktan nyamuk yang mempunyai daya tarik bagi reseptor sensoris nyamuk Aedes sp. Disamping itu, adanya atraktan di dalam ovitrap mempermudah nyamuk betina menemukan tempat perindukan. Penciuman nyamuk Aedes dapat menjangkau objek sejauh 36 meter.(Sayono ,2008)

Larutan gula ditambah dengan ragi roti karena reaksi fermentasi dari penambahan ragi pada larutan gula akan menghasilkan CO2 yang merupakan salah

satu atraktan nyamuk Aedes sp. CO2 merupakan salah satu atraktan nyamuk yang

mempunyai daya tarik bagi reseptor sensoris nyamuk Aedes.(Widya, 2012)

2.8. Landasan Teori

(55)

1. Simpul 1: Sumber Penyakit

Sumber penyakit adalah titik yang menyimpan atau menggandakan agen penyakit serta mengeluarkan agen penyakit. Agent penyakit adalah komponen lingkungan yang dapat menimbulkan gangguan penyakit melalui media perantara.

Penyakit DBD disebabkan oleh virus Dengue yang termasuk kelompok B

anthropoda borne virus(Arboviruses). dikenal sebagai genus Flavivirus, famili

Flaviviridae dan mempunyai empat jenis serotype, yaitu: DEN-1, DEN–2, DEN–3 dan DEN–4.Keempat serotype virus Dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia.

2. Simpul 2: Media Transmisi Penyakit

Ada 5 komponen lingkungan yang dapat memindahkan agent penyakit yang kita kenal sebagai media transmisi penyakit yaitu udara ambient, air, tanah/pangan, binatang/serangga/vektor, dan manusia melalui kontak langsung. Media transmisi tidak akan memiliki potensi penyakit jika di dalamnya tidak mengandung agent penyakit.

Demam Berdarah Dengue ditularkan nyamuk Aedes aegypti maupun Aedes albopictus. Yang paling berperan dalam penularan penyakit ini adalah nyamuk

Aedes aegypti karena hidupnya didalam rumah, sedangkan Aedes albopictus

hidupnya di kebun-kebun sehingga lebih jarang kontak dengan manusia. Aedes aegypti adalah nyamuk yang termasuk dalam subfamili Culicinae, famili

(56)

3. Simpul 3: Perilaku Pemajanan/Biomarker

Hubungan interaktif antara komponen lingkungan dengan penduduk berikut perilakunya dapat diukur dalam konsep yang disebut sebagai perilaku pemajanan. Apabila kesulitan mengukur besaran agent penyakit, maka diukur dengan cara tidak langsung yang disebut sebagai biomarker.

Kasus demam berdarah dengue ditandai dengan demam tinggi, fenomena perdarahan, hepatomegali dan sering kali ditandai dengan hemokonsentrasi. Pemeriksaan darah pasien sangat membantu untuk menegakkan diagnosa yang akurat terhadap pasien DBD. Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan hematokrit dan nilai hematokrit yang tinggi (sekitar 50 % ataulebih) menunjukkan adanya kebocoran plasma, selain itu hitung trombosit cenderung memberikan hasil yang rendah.

4. Simpul 4: Kejadian Penyakit

Kejadian penyakit merupakan outcome hubungan interaktif antara penduduk dengan lingkungan yang memliliki potensi bahaya gangguan kesehatan. Manifestasi dampak akibat hubungan antara penduduk dengan lingkungan menghasilkan penyakit pada penduduk.

(57)
[image:57.612.116.527.195.477.2]

Berdasarkan uraian diatas maka sumber penyakit, media transmisi, proses interaksi dengan penduduk, serta outcome penyakit dapat digambarkan sebagai model kejadian penyakit atau paradigma kesehatan lingkungan sebagai berikut :

Gambar 2.1. Landasan Teori Achmadi (2011) Virus Dengue Nyamuk

Aedes aegypti

(Pemeriksaan Darah)

− Sehat

− Sakit

Simpul 1 Simpul 2 Simpul 3 Simpul 4

Variabel lain yang berpengaruh : Kepadatan Nyamuk Aedes aegypti, Pengendalian Vektor dengan Modifikasi Ovitrap

Sumber Penyakit

Media Transmisi

Perilaku Pemajanan/

Biomarker

(58)
[image:58.612.117.517.131.307.2]

2.9. Kerangka Konsep

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian Perlakuan yang

Menggunakan : 1. Ovitrap tanpa

Aktraktan 2. Ovitrap Air

Rendaman Jerami 3. Ovitrap Air

Rendaman Cabai Merah

4. Ovitrap Air Gula dan Ragi Roti

CI, HI, ABJ sesudah Perlakuan CI,HI, ABJ

(59)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

[image:59.612.113.528.376.447.2]

Jenis penelitian ini adalah eksperimen semu (quasi experiment) menggunakan rancangan desain pretest posttest control group design (Pratomo,1989). Rancangan ini digunakan dengan pertimbangan bahwa penelitian lapangan untuk memenuhi kriteria randomisasi dari true experiment design sangat sulit dan biayanya mahal. Adapun desain penelitian adalah sebagai berikut :

Tabel 3.1. Tabel Desain Penelitian

Replikasi Sebelum

Perlakuan

Jenis Perlakuan X

Sesudah perlakuan

Replikasi 1 O1

X0, X1, X2, X3

O2

Replikasi 2 O3 O4

Replikasi 3 O5 O6

Keterangan :

O1,O3,O5 : Angka kepadatan Aedes aegypti sebelum perlakuan

O2,O4,O6 : Angka kepadatan Aedes aegypti setelah perlakuan

X0 : Ovitrap tanpa atraktan

X1 : Modifikasi ovitrap dengan atraktan rendaman jerami

X2 : Modifikasi ovitrap dengan atraktan rendaman cabai merah

(60)

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Siopat Suhu Kota Pematang Siantar. Alasan pemilihan Kelurahan Siopat Suhu sebagai lokasi penelitian adalah karena Kelurahan Siopat Suhu merupakan kelurahan endemis DBD yang tiap bulannya ada kejadian DBD selama tahun 2013 dan belum pernah di lakukan penelitian tentang

ovitrap sebelumnya. 3.2.2. Waktu Penelitian

Waktu pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan Februari 2014 sampai Juli 2014.

3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah rumah di lingkungan I, lingkungan II, lingkungan III, Lingkungan IV di kelurahan Siopat Suhu Kecamatan Siantar Timur Kota Pematang Siantar

3.3.2. Sampel

(61)

Tehnik pengambilan sampel yang dilakukan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Kriteria sampel ditetapkan sebagai berikut :

1. Kriteria Inklusi :

- Rumah permanent dan mempunyai halaman - Luas bangunan ≤ 120 m 2

- Memiliki tempat penampungan air seperti bak mandi, ember - Penghuni rumah bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini 2. Kriteria Eksklusi

- Rumah bertingkat

- Tidak mempunyai halaman

3.4. Metode Pengumpulan Data

Penelitian dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu pra- intervensi dan intervensi. Pra-intervensi yaitu observasi awal (pre test) dilakukan dalam waktu 3 minggu, mencakup kegiatan pemantauan jentik pada tiap tiap kelompok untuk mendapatkan angka kepadatan nyamuk Aedes aegypty. Pemantauan jentik dilakukan pada tempat penampungan air (TPA) dan non TPA dan dilakukan 1 x seminggu selama 3 minggu

(62)

Data primer mencakup kepadatan nyamuk Aedes aegypti, untuk mendapatkan nilai Container Index (CI), House index (HI) dan Angka Bebas Jentik (ABJ). Untuk mendapatkan data yang representatif, pengumpulan data indeks Aedes diulang tiga kali, pada observasi awal (pretest), dan diulang tiga kali pada observasi akhir (posttest). Data sekunder dari Profil Dinas Kesehatan Pematang Siantar untuk mendapatkan data angka kesakitan DBD dan juga tentang program yang sudah dilakukan.

3.5. Variabel dan Definisi Operasional

Variabel adalah karakteristik yang memiliki variasi nilai yang dapat diukur, secara kuantitatif (numerik) . Variabel bebas (independent) dalam penelitian ini adalah modifikasi ovitrap. Variabel terikat (dependent) dalam penelitian ini adalah kepadatan nyamuk Aedes aegypti yaitu Container Index (CI), House Index (HI) dan Angka Bebas Jentik (ABJ). Faktor ini mencakup :

1. Kepadatan nyamuk Aedes aegypti yaitu kepadatan populasi nyamuk Aedes aegypti dengan ukuran Container Index (CI), House Index (HI) dan Angka Bebas Jentik (ABJ).

2. Container Index (CI) adalah presentase kontainer yang ditemukan jentik terhadap seluruh kontainer yang diperiksa. Keberadaan jentik adalah ada atau tidaknya jentik di setiap tempat penampungan air yang ada di dalam dan di luar rumah. 3. House Index (HI) adalah presentase rumah yang ditemukan jentik terhadap

(63)

4. Angka Bebas Jentik (ABJ) adalah persentase rumah /bangunan yang tidak ditemukan jentik terhadap seluruh rumah/bangunan yang diperiksa.

5. Modifikasi Ovitrap adalah alat untuk mendeteksi adanya telur nyamuk Aedes aegypti di wilayah penelitian. Berupa ember kecil berwarna hitam dengan ukuran 15 cm dan tinggi 12 cm, yang di dalamnya diletakkan paddle sebagai tempat peletakan telur nyamuk, dan diisi dengan air rendaman jerami, air rendaman cabai merah dan air gula dan ragi roti.

6. Pengaruh modifikasi ovitrap terhadap Container Index (CI), House Index (HI), dan Angka Bebas Jentik (ABJ), adalah penurunan nilai Container Index (CI),

House Index (HI), dan kenaikan nilai Angka Bebas Jentik (ABJ) setelah diberi perlakuan.

7. Perbedaan Container Index (CI), House Index (HI) dan Angka Bebas Jentik (ABJ) adalah perbedaan nilai Container Index (CI), House Index (HI) dan ABJ setelah perlakuan modifikasi ovitrap yang diisi dengan air rendaman jerami, air rendaman cabai merah dan air gula dan ragi roti.

3.6. Metode Pengukuran

Keberadaan jentik dilakukan dengan melakukan observasi ada tidaknya jentik pada tempat penampungan air yang terdapat di dalam maupun di luar rumah, seperti: bak mandi, tempayan, drum dan bak penampungan air lainnya. Kepadatan nyamuk

(64)
[image:64.612.114.529.157.616.2]

Tabel 3.2. Variabel, Defenisi Operasional, Cara Ukur, Alat Ukur dan Skala Ukur

Variabel Defenisi Operasional Cara

Ukur Alat Ukur

Skala Ukur Hasil Ukur Container index

Presentase kontainer yang ditemukan jentik terhadap seluruh kontainer yang diperiksa

Observasi Lembar observasi

Numerik Persen (%)

House Index

Presentase rumah yang ditemukan jentik terhadap seluruh rumah yang diperiksa

Observasi Lembar observasi

Numerik Persen (%)

Angka Bebas Jentik

Persentase rumah yang tidak ditemukan jentik terhadap seluruh rumah yang diperiksa

Observasi Lembar observasi

Numerik Persen (%)

Modifikasi

Ovitrap

alat untuk mendeteksi adanya telur nyamuk Aedes

aegypti di wil

Gambar

Gambar 2.1. Landasan Teori Achmadi (2011)
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian
Tabel 3.1. Tabel Desain Penelitian
Tabel 3.2. Variabel, Defenisi Operasional, Cara Ukur, Alat Ukur  dan Skala Ukur
+7

Referensi

Dokumen terkait

Adapun Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh suhu di dalam dan di luar rumah terhadap jumlah larva Aedes aegypti yang terperangkap pada Ovitrap