di PT. Tanjng Karang)
Oleh
Arahmat Panca P.U.
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
Dengan segala puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas rahmat hidayah-Nya dan dengan segala kerendahan hati,
Kupersembahkan Karya Kecil kuini kepada :
Kedua Orang TuaTercinta, Bapak (M. Djuned)
Ibu (Mu’awanah),
Yang senantiasa berdoa, berkorban dan mendukungku, terima kasih untuk semua kasih sayang dan cinta luar biasa sehingga aku bisa menjadi seseorang yang kuat
dan konsisten kepada cita-cita
kakak (Dr. Mailinda Eka Y. SH. LLM, Devi Y. Spd, Tri N. Spd, dan Meri K.SE.I) tercinta yang selalu mendampingi dan membantuku dalam segala hal, Tumbuh besar dalam suatu keluarga membuatku kuat dan mengerti akan arti
hidup sesungguhnya
Seluruh keluarga besar yang memotivasi dan memberikan doa untuk keberhasilanku
Almamater tercinta Universitas Lampung
rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat penulis dapat
menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul“ANALISIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA PEMILU (Studi Kasus Perkara No.70/PID/2014/PT.TJK. di PT. Tanjng Karang)” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas
Lampung dibawah bimbingan dari dosen pembimbing serta atas bantuan dari
berbagai pihak lain. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada
baginda Nabi Besar Muhammad SAW beserta seluruh keluarga dan sahabatnya.
Penyelesaian penelitian ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, dan saran dari
berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih
kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Sugeng P Harianto, M.S., sebagai Rektor Universitas
Lampung;
2. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S., sebagai Dekan Fakultas Hukum
Universitas Lampung;
3. Bapak Dr. Yuswanto, S.H., M.H., selaku PD 1 Fakultas Hukum Universitas
Lampung
4. Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung;
5. Bapak Eko Raharjo, S.H, M.H., sebagai Pembimbing I atas kesabaran dan
6. Bapak A. Irzal Fardiansyah, S.H., M.H., sebagai Pembimbing II yang telah
bersedia untuk meluangkan waktunya, mencurahkan segenap pemikirannya,
memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi
ini;
7. Bapak Gunawan Jatmiko, S.H., M.H., sebagai Pembahas I yang telah
memberikan kritik, saran, dan masukan yang membangun terhadap skripsi ini;
8. Ibu Rini Fathonah, S.H., M.H., sebagai Pembahas II yang telah memberikan
kritik, saran, dan masukan yang membangun terhadap skripsi ini.
9. Prof. Dr. M. Akib S.H,. M.Hum., Pembimbing Akademik atas bimbingan dan
pengarahan kepada penulis selama menjalankan masa studi di Fakultas
Hukum Universitas Lampung;
10. Seluruh dosen dan karyawan/i Fakultas Hukum Universitas Lampung yang
penuh dedikasi dalam memberikan ilmu yang bermanfaat bagi penulis, serta
segala bantuan yang diberikan kepada penulis selama menyelesaikan studi;
11. Secara khusus penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Ayah M.
Djuned yang penulis banggakan dan Ibu Mu’awanah tercinta yang telah banyak memberikan dukungan dan pengorbanan baik secara moril maupun
materil sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dengan baik. Terimakasih
atas segalanya semoga kelak dapat membahagiakan, membanggakan, dan
selalu bisa membuat kalian tersenyum dalam kebahagiaan;
12. Kakak-kakak ku, Mailinda Eka Y., Devi Yuliana, Tri Novita, dan Meri
Kartika atas semua dukungan moril, motivasi, kegembiraan, dan
semangatnya.
13. Teman-teman seperjuangan Fakultas Hukum 2011: Akautsar Firdaus, Fungky
Agustiawan, Asep Eli Nudin, Asep Rian Bintang, M. Yusuf, Abi Zuliansyah,
Agus Hermawan, Aisyah Muda, Anisa Apriyani, Annisa Toriqi, Agus Sutejo,
Beri Hermawan, Arviando Josua serta teman-teman angkatan 2011 lainnya
yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.
14. Semua teman-teman Himpunan Mahasiswa Pidana angkatan 2011 :Fani
Semoga kita semua sukses;
15. Untuk teman sekaligus saudara seperjuangan Himpunan Mahasiwa Islam
Komisariat Hukum Unila, Imam Mukhlasin, Rendi Andika, Abung Pratama,
Beni Prawira, Maryanto, Agung, Rido, Mamad, Shintia Sardi, Rantika, Feri,
Prabu Natagama, Fima Agatha, Hindiana Sava H, serta seluruh kanda, adinda
kader-kader terbaik Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat HukumUnila
yang telah memberika dukungan dan semangat dalam penyelesaian skripsi ini,
terimakasih atas semua bantuan dan dukungannya.
16. Keluarga KKN, Desa Tanjung Qencono, Lampung Timur, Agus Hermwan,
Windu, Agus Pariyanto, Jamet, Ijal, Ara, Diasti, Ageta, Alamanda, Pak
Syamsul Arifin, Elisa, Ellen, Adit, terima kasih telah menjadi bagian dalam
suka dan duka selama 40 hari masa KKN.
17. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu telah membantu penulis
menyelesaikan skripsi ini, terima kasih atas semua doa, bantuan dan
dukungannya.
18. Almamater Tercinta.
Semoga Allah SWT memberikan balasan atas jasa dan budi baik yang telah
diberikan kepada penulis. Akhir kata, penulis menyadari masih terdapat
kekurangan dalam penulisan skripsi ini dan masih jauh dari kesempurnaan, akan
tetapi sedikit harapan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang
membacanya, khususnya bagi penulis dalam mengembangkan dan mengamalkan
ilmu pengetahuan.
Bandar Lampung, Oktober 2015
Penulis,
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemilu adalah wahana untuk menentukan arah perjalanan bangsa sekaligus
menentukan siapa yang paling layak untuk menjalankan kekuasaan pemerintahan
Negara tersebut.1Pemilu merupakan proses pemilihan pemimpin bangsa dan
merupakan wujud dari kedaulatan rakyat. Pemilu dilakukan dalam kurun waktu
lima tahun sekali dengan asas Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil.
Pemilu diselenggarakan tidak hanya untuk memilih Presiden atau Wakil Presiden
sebagai pemimpin Lembaga Eksekutif, tetapi juga untuk memilih anggota
DPR,DPRD, dan DPD dan juga pemilihan terhadap Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah. Pemilu tersebut dilaksanakan dengan menjunjung tinggi semangat
demokrasi untuk menghasilkan pemimpin yang lebih baik, berkualitas, dan
mendapatkan legitimasi dari Rakyat Indonesia2.
Dalam Undang–Undang Nomor 8 Tahun 2012 Pasal 1 ayat (1) menegaskan
bahwa Pemilihan Umum , selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaan
kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945. Arbi
Sanit berpendapat bahwa pemilihan umum merupakan proses politik yang
1
Nur Hidayat Sardini, 2011,Restorasi Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia, Fajar Media Press, Yogyakarta hlm. 298
2
menggunakan hak politik sebagai bahan baku untuk ditransformasikan menjadi
kedaulatan negara, maka rakyat berpeluang untuk memperjuangkan nilai dan
kepentingannya dengan menggunakan hak politik dan hak lain yang tak
diserahkan sebagai kekuatan bargain (menawar) dalam menghadapi penguasa
atau pihak yang sedang berusaha menjadi penguasa.3
Dalam negara yang menerapkan demokrasi sebagai prinsip penyelenggaraan
pemerintahan, pemilihan umum merupakan media bagi rakyat untuk menyatakan
kedaulatannya. Secara ideal, pemilihan umum atau general election bertujuan
agar terselenggara perubahan kekuasaan pemerintahan secara teratur dan damai
sesuai dengan mekanisme yang dijamin oleh konstitusi.4 Dengan demikian, pemilihan umum menjadi prasyarat dalam kehidupan bernegara dan
bermasyarakat secara demokratis sehingga melalui pemilu sebenarnya rakyat
sebagai pemegang kedaulatan akanpertama, memperbaharui kontrak sosial;
kedua, memilih pemerintahan baru; ketiga menaruh harapan baru dengan adanya
pemerintahan baru. Maka dari itu pemilihan umum juga ada yang menyebut
sebagai alat untuk menyehatkan kehidupan yang demokratis. Dengan pemilihan
umum, rakyat dapat memilih secara langsung para wakilnya.5
Mengingat pentingnya pemilu dalam negara demokrasi, pengaturan tentang
pemilu sudah ada bahkan sejak awal berdirinya Indonesia. Ini menunjukkan
bahwa Pemilihan Umum merupakan suatu proses yang menjadi perhatian
3
Arbi Sanit, 1998,Reformasi Politik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta Hlm 191.
4
Dede Mariana dan Caroline Paskarina, 2007,Demokrasi dan Politik Desentralisasi, Graha Ilmu, Bandung, Hlm. 5.
5
khususnya untuk mepertanggung jawabkan kedaulatan rakyat. Tentu saja yang
diharapkan adalah pemilu yang free dan fair. Untuk menjamin pemilihan umum yang free and fair yang sangat penting bagi negara demokrasi diperlukan
perlindungan bagi para pemilih, bagi setiap pihak yang mengikuti pemilu maupun
bagi rakyat umumnya dari segala ketakutan, intimidasi, penyuapan, penipuan, dan
berbagai praktik curang lainnya, yang akan mempengaruhi kemurnian hasil
pemilihan umum.6 Jika pemilihan dimenangkan melalui cara-cara curang (malpractices), sulit dikatakan bahwa para pemimpin atau legislator yang terpilih
di parlemen merupakan wakil-wakil rakyat.7
Kondisi ideal tersebut tampaknya tidak senantiasa berjalan mulus tanpa adanya
anomali atau fenomena-fenomena yang mencederai nilai-nilai idealistik dari
Pemilu tersebut, sejak awal sampai dengan pelaksanaan Pemilu terakhir pun
selalu terjadi pelanggaran terhadap norma-norma Pemilu. Sejumlah kecurangan
ditemukan dalam penyelenggaraan Pemilu baik pada Pemilu yang berskala
nasional maupun pada Pemilu yang berskala lokal8 sehingga mencederai proses demokrasi itu sendiri. Berikut data rekapitulasi pelanggaran pidana pada Pemilu
legislatif tahun 2014:
6
Topo Santoso, 2006,Tindak Pidana Pemilu, Sinar Grafika, Jakarta Hlm v.
7Ibid
. Hlm v.
8
Rekapitulasi Dugaan Pelanggaran Pemilu Dalam Setiap Tahapan Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD Provinsi Lampung
Tahun 20149
No. Tahapan Pemilu Jumlah
1. Masa Kampanye 8
2. Masa Tenang 1
3. Pemungutan dan Penghitungan Suara 51
Jumlah 60
Sumber : Data Laporan Badan Pengawas Pemilihan Umum Provinsi Lampung Tahun 2014
Berdasarkan dari data laporan Badan Pengawas Pemilihan Umum Tahun 2014
tersebut diatas menunjukkan bahwa tingkat pelanggaran Pemilu masih cukup
tinggi. UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah sebenarnya telah dilakukan pengaturan mengenai ketentuan pelanggaran
administrasi pemilu maupun pelanggaran pidana Pemilu. Namun berdasarkan data
di atas pelanggaran Pemilu tetap terjadi.
9
Pengaturan tentang sanksi pidana di dalam UU Pemilu bertujuan untuk
melindungi kemurnian pemilihan umum yang sangat penting bagi demokrasi
itulah para pembuat undang-undang telah menjadikan sejumlah perbuatan curang
dalam pemilihan umum sebagai tindak pidana. Dengandemikian, UU tentang
pemilu di samping mengatur tentang bagaimana pemilu dilaksanakan juga
melarang sejumlah perbuatan yang dapat menghancurkan hakikat free and
fairelectionitu serta mengancam pelakunya dengan hukuman.10
Upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana pemilu adalah sebagai cara
untuk mencapai Pemilu yang jujur, dan adil dilaksanakan dengan menggunakan
hukum pidana, berupa pidana penjara dan kurungan/denda.11 Penggunaan sanksi pidana sebagai instrumen penegakan hukum merupakan penerapan hukum pidana
dalam upaya menanggulangi kejahatan sebagai bagian dari politik hukum.
Kebijakan hukum pidana mengandung arti bagaimana merumuskan suatu
perundang-undangan yang baik.
International Institute for Democracy and Electoral Assistancemenyebutkan
bahwa kerangka hukum pemilu harus disusun sedemikian rupa sehingga tidak
bermakna ganda, dapat dipahami dan terbuka, dan harus dapat menyoroti semua
unsur sistem pemilu yang diperlukan untuk memastikan pemilu yang
demokratis.12 Mestinya kriteria tersebutlah yang menjadi panduan bagi pembuat undang-undang di Indonesia dalam membuat aturan yang akan menjadi dasar
10
Topo Santoso, 2006,Tindak Pidana Pemilu,Loc.Cit
11
Aras Firdaus, “Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Pemilihan Umum Menurut UU No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah
Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah” Jurnal Ilmiah FH USU, 2013
12
hukum penyelenggaraan pemilu di Indonesia.
Undang-undang Pemilu telah mengalami kebijakan perubahan atau pembaharuan
undang-undang dalam rangka menyesuaikan dengan asas dan tujuan pembentukan
hukum.Hukum sebagaimana yang diungkapkan oleh Rosque Pound adalah a tool
of social engineering, bahkan hukum sebagai perwujudan regulasi pantas
mengalami pembaharuan berkali-kali. Hal demikian pula sehingga Muchtar
Kusumaatmadja dalam mazhab hukum mengemukakan pembahasan defenisi
hukum tidak hanya menyangkut aturan dan para institusi hukum melainkan juga
proses yang mengikat daya keberlakuannya sehingga diperlukan penyesuaian
hukum dengan “perilaku masyarakat” untuk menyesuaiakan dengan sikap reaktif
partsipan hukum ketika aturan tersebut hendak diterapkan.
Menurut Barda Nawawi Arief, bahwa penuangan kebijakan penanggulangan
kejahatan dengan sanksi pidana dalam peraturan perundang-undangan, secara
garis besar meliputi:
a. Perencanaan atau kebijakan tentang perbuatan terlarang apa yang akan ditanggulangi karena dipandang membahayakan atau merugikan;
b. Perencanaan atau kebijakan tentang sanksi apa yang dapat dikenakan terhadap pelakuperbuatan terlarang itu (baik berupa pidana atau tindakan) dan sistem penerapannya;
c. Perencanaan dan kebijakan tentang prosedur atau mekanisme peradilan pidana dalam rangka proses penegakan hukum pidana).13
Dari uraian di atas, secara singkat dapat dikatakan bahwa tindak pidana pemilu
dipandang sebagai sesuatu tindakan terlarang yang serius sifatnya dan harus
diselesaikan dalam waktu singkat, agar dapat tercapai tujuan mengadakan
13
ketentuan pidana untuk melindungi proses demokrasi melalui Pemilu. Masyarakat
menginginkan demokrasi yang menjamin pelaksanaan etika politik dan
subtansinya. Karena demokrasi sesungguhnya hanyalah alat, bukan tujuan. Jika
tujuan demokrasi tak bisa dicapai, maka pasti ada masalah dalam praktik
demokrasi. Tujuan-tujuan demokrasi adalah terwujudnya masyarakat yang
sejahtera dan keadilan hukum serta keadilan sosial. Dan sesuai juga dengan
amanat reformasi, bahwa penyelenggaraan Pemilu untuk kedepannya harus
dilakukan dan dilaksanakan secara lebih berkualitas.
Sebagai negara hukum di Indonesia, pengadilan adalah suatu badan atau lembaga
peradilan yang menjadi tumpuan harapan untuk mencari keadilan, oleh karena itu
jalan terbaik untuk mencegah dan memberantas kejahatan dalam negara hukum
adalah melalui badan peradilan tersebut. Sebagai salah satu dari pelaksana hukum
yaitu hakim diberi wewenang oleh undang-undang untuk menerima,memeriksa
serta memutus suatu perkara pidana oleh karena itu hakim dalam menangani suatu
perkara harus dapat berbuat adil, sebagai seorang hakim dalam memberikan
putusan kemungkinan dipengaruhi oleh hal yang ada pada dirinya dan sekitarnya
karena pengaruh dari faktor agama, kebudayaan, pendidikan, nilai, norma dan
sebagainya sehingga dapat dimungkinkan adanya perbedaan cara pandang
sehingga mempengaruhi pertimbangan dalam memberikan putusan14.
Menjatuhkan putusan, kecuali putusan sela adalah suatu proses mengakhiri
perkara/sengketa dengan menggunakan konsep-konsep mengadili, seorang hakim
14
diberikan kebebasan untuk menjatuhkan putusan sesuai dengan apa yang
diyakininya berdasarkan serangkaian proses pembuktian yang telah mendahului
sebelumnya, kebebasan tersebut dijamin oleh undang-undang sebagai
kewenangan yang bebas dan merdeka dari segala pengaruh apapun, baik dari
lingkup intervensi internal maupun eksternal.15
Pengimplementasian kewenangan yang bebas dan merdeka tersebut, hakim harus
berpegang teguh pada aturan-aturan yang berlaku, walaupun dalam menentukan
suatu kesimpulan hakim diberikan kebebasan yang luas, namun bukan berarti
bahwa kebebasan itu bisa digunakan tanpa batas, karena sesungguhnya
pembatasan itu hakim juga dibatasi oleh nilai-nilai keadilan yang ada dilubuk
hatinya, artinya seorang hakim tidak bisa lepas dari keyakinan dalam hati
nuraninya yang pada satu sisi merupakan bentuk kemerdekaan dalam berfikir dan
menentukan pendapat tapi disisi lain juga sebagai pembatas dari segala
kemunafikan dalam menjatuhkan putusan, karena sesungguhnya hati nurani selalu
akan tahu mana yang baik dan mana yang buruk.
Menurut dakwaan kasus Nomor 70/Pid./2014/PT TJK yang diajukan Jaksa
Penuntut Umum terhadap tindak pidana pemilu menyatakan terdakwa diduga
bersalah melakukan tindak pidana pemilu sebagaimana diatur dan diancam pidana
dalam Pasal 309 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012
(Dakwaan Pertama Penuntut Umum) dan Pasal 312Undang- Undang Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun (Dakwaan Kedua Penuntut Umum) serta pasal 287
15
Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012.
Di dalam UU No 8 Tahun 2012 Pasal 309 sebagaimana dakwaan pertama
penuntut umum diatur sebagai berikut :
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan suara seseorang pemilih menjadi tidak bernilai atau menyebabkan Peserta Pemilu
tertentu mendapat tambahan suara atau perolehan suara Peserta Pemilu menjadi
berkurang dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda
paling banyak Rp. 48.000.000,00”.
Di dalam amar putusannya hakim menyatakan bahwa para terdakwa terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja melakukan penambahan suara Peserta Pemilu tertentu”. Hakim juga didalam putusannya menjatuhkan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan, dan denda sebesar
Rp 500.000,- serta juga menetapkan bahwa hukuman tersebut tidak usah dijalan
kecuali jika dikemudian hari ada putusan hakim karena para terpidana melakukan
perbuatan yang dapat di hukum, sebelum lewat masa percobaan selama 6 (enam)
bulan.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka penulis tertarik untuk
mengangkat masalah ini dalam bentuk skripsi dengan judul “Analisis Putusan
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan
a) Mengapa hakim menjatuhkan putusan hukuman percobaan kepada
pelaku tindak pidana pemilu?
b) Apakah putusan tersebut telah memenuhi tujuan pemidanaan, rasa
keadilan, serta efek jera bagi para pelaku?
2. Ruang Lingkup
Berdasarkan uraian permasalahan di atas, agar tidak terjadi penyimpangan dalam
pembahasan, maka yang menjadi ruang lingkup skripsi ini dibatasi pada kajian
hukum pidana dan penelitian ini juga mengkaji UU No 8 Tahun 2012, serta
yurisprudensi dan teori-teori yang berhubungan dengan penegakan hukum pidana,
terutama pada penegakan hukum terhadap tindak pidana Pemilihan Umum calon
legislatif tahun 2014 di Provinsi Lampung Kabupaten Lampung Tulang Bawang
Barat. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2015. Ruang lingkup lokasi penelitian
terbatas pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang, dan Pengadilan Tinggi Tanjung
Karang.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di dalam penelitian ini, maka tujuan penelitian skripsi
antara lain:
a) Untuk mengetahui dasar pemidanaan tindak pidana pemilu dalam perkara
pidana No. 70/Pid/2014/PT TJK
telah sesuai dengan tujuan pemidanaan, rasa keadilan serta efek jera bagi
para pelaku.
2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini adalah mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan
praktis :
a) Kegunaan teoritis
(1) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sekedar sumbangan
pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu hukum pada umumnya,
perkembangan hukum pidana khususnya.
(2) Untuk mendalami teori-teori yang telah diperoleh selama menjalani
kuliah serta memberikan landasan untuk penelitian lebih lanjut
mengenai upaya mengantisipasi terjadinya tindak pidana pemilu di
Indonesia.
b) Kegunaan Praktis
(1) Dengan penulisan skripsi ini diharapkan dapat meningkatkan dan
mengembangkan kemampuan mahasiswa dalam bidang hukum
sebagai bekal untuk masuk ke dalam instansi atau instansi penegak
hukum maupun untuk praktisi hukum yang senantiasa
memperjuangkan hukum di negeri ini agar dapat ditegakkan.
) Bagi peneliti, sebagai bahan latihan dalam penulisan karya ilmiah sekaligus
sebagai tambahan informasi mengenai pelaksanaan penegak hukum di lapangan
dan untuk melengkapi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum pada
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoristis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi
dari hasil penelitian yang pada dasarnya bertujuan untuk menidentifikasi terhadap
dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti16
. Kerangka teori yang
digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah teori pemidanaan dan tujuan
kepastian hukum, kemanfaatan, keadilan.
A. Teori Pemidanaan
Ada berbagai macam pendapat mengenai teori pemidanaan ini, namun secara
umum dapat dikelompokkan didalam tiga golongan, yaitu:
1. Teori absolut atau teori pembalasanvergeldings theorien.
Dasar pijakan teori ini adalah pembalsan. Menurut dasar pembenar
dari penjatuhan penderitaan berupa pidana itu pada penjahat. Setiap
kejahatan tidak boleh tidak harus diikuti oleh pidana bagi
pembuatnya, tidak dilihat akibat-akibat yang timbul dari penjatuhan
pidana itu, tidak memperhatikan masa depan, baik terhadap penjahat
maupun masyarakat menjatuhkan pidana tidak dimaksudkan untuk
mencapai sesuatu yang praktis, tetapi bermaksud satu-satunya
penderitaan bagi penjahat. Tindakan pembalasan didalam penjatuhan
pidana mempunyai dua arah, yaitu:
a. Ditujukan pada penjahatnya, sudut subjektif dari pembalasan.
b. Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendamm
16
dikalangan masyarakat, sudut objektif dari pembalasan.
2. Teori relative
Teori ini berpangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk
menegakkan tata tertib hukum dalam masyarakat. Untuk mencapai
tujuan ketertiban masyarakat tadi, maka pidana itu mempunyai tiga
macam sifat yaitu:
a. Bersifat menakut-nakutiafschrikking.
b. Bersifat memperbaikiverbetering/reclasering.
c. Bersifat membinasakanonschadelijk maken
.
3. Teori gabungan
Teori ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas
pertahanan tata tertib masyaraka. Dengan kata lain dua alasan itu
menjadi dasar dari penjatuhan pidana teori gabungan ini dapat
dibedakan menjadi dua golongan besar yaitu:
a. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan
Menurut Pompe, yang berpandangan bahwa pidana tiada lain
adalah pembalasan pada penjahat, tetapi juga bertujuan untuk
mempertahankan tata tertib hukum agar kepentingan umum
dapat diselamatkan dan terjamin dari kejahatan pidana yang
bersifat pembalasan itu dapat dibenarkan apabila bermanfaat
bagi pertahanan tata tertib hukum masyarakat.
b. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib
Menurut Simons, dasar primer pidana adalah pencegahan umum
dasar sekundernya adalah pencegahan khusus. Pidana terutama
ditujukan pada pencegahan umum yang terletak pada ancaman
pidananya dalam undang-undang. Apabila hal ini tidak cukup
kuat dan tidak efektif dalam hal pencegahan umum itu, maka
barulah diadakan pencegahan khusus yang terletak dalam hal
menakut-nakuti, memperbaiki, dan membuat tidak berdayanya
penjahat dalam hal ini perlu diingat bahwa pidana yang
dijatuhkan harus sesuai dengan hukum dari masyarakat17.
B. Tujuan Hukum, Kemanfaatan, Keadilan
Menurut Sudikno Mertokusumomenegakkan hukum ada tiga unsur yang harus
selalu diperhatikan yaitu:kepastian hukum menekankan agar hukum atau
peraturan itu ditegakkan sebagaimana yang diinginkan oleh bunyi hukum atau
peraturannya, kemanfaatan menekankan kepada kemanfaatan bagi masyarakat,
keadilan menekankan pengambilan putusan oleh majelis hakim dilakukan setelah
masing-masing hakim anggota majelis mengemukakan pendapat atau
pertimbangan serta keyakinan atas suatu perkara lalu dilakukan musyawarah atau
mufakat18 .
2. Kerangka Konseptual
Konseptual menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang
merupakan sekumpulan pengertian yang berkaitan dengan istilah yang ingin
17
Teori-Pemidanaan.https://apbisma.blogspot.com/2013/11/teori-pemidanaan.html?m=1 diakses pada tanggal 20 April 2015, pada pukul 15.30 Wib.
18
diteliti atau diketahui. Beberapa istilah yang memiiki arti luas dipersempit
sehingga dapat memfokuskan permasalahan. Sebaliknya, beberapa istilah
mengalami proses perluasan makna dengan tujuan mencari titik temu antara
konsep tertentu antara konsep dengan penerapannya dalam praktek. Demikian
pula dengan generalisasi esensi dari konsep-konsep tertentu yang memiliki
kesamaan-kesamaan pada intinya, dijadikan suatu pengertian khusus, yang akan
memudahkan menulusuri maksud penulis. Pengertian-pengertian khusus tersebut
antara lain:
1. Tindak Pidana Pemilu adalah tindak pidana tertentu yang disebut dalam
ketentuan pidana dalam Peraturan Pemilu berupa perbuatan melawan hukum
atau perbuatan yang bertentangan dengan Peraturan Pemilu.
2. Tuajuan pemidanaan di dalam konsep KUHP telah menetapkan tujuan
pemidanaan pada pasal 54, yaitu :
1. Pemidanaan bertujuan
a. Mencegah dilakukannya yindak pidana dengan menegakan norma
hukum demi pengayoman masyarakat;
b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan
sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat; dan
2. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan
martabat manusia.19
3. Pidana dengan bersyarat adalah suatau symbol atau/ model penjatuhan
pidana oleh hakim yang pelaksanaannya digantungkan pada syarat-syarat
tertentu, pidana yang dijatuhkan oleh hakim itu ditetapkan tidak perlu
dijalankan pada terpidana selama syarat-syarat yang ditentukannya tidak
dilanggar dan pidana dapat dijalankan apabila syarat-syarat yang
ditetapkan itu tidak ditaatinya atau dilanggarnya.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penelitian ini memuat uraian keseluruhan yang akan disajikan dengan
tujuan guna mempermudah pemahaman terhadap skripsi ini secara keseluruhan
maka disajikan sistematika sebagai berikut:
I. PENDAHULUAN
Merupakan bab yang meliputi latar belakang dari permasalahan, permasalahan
penelitian dan ruang lingkup permasalahan, tujuan dan kegunaan penelitian,
kerangka teoritis dan konseptual yang dipergunakan, serta sistematika penulisan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Merupakan bab pengantar yang menguraikan pengertian-pengertian umum dari pokok
bahasan yang memuat tinjauan mengenai pengertian pemilu, tindak pidana pemilu,
pengertian putusan hakim, pengertian kewajiban dan tanggung jawab hakim, teori
serta tujuan pemidanaan.
19
III. METODE PENELITIAN
Merupakan bab yang membahas tentang metode yang digunakan dalam penulisan
skripsi ini yang meliputi pendekatan masalah, sumber dan jenis data, ketentuan
populasi dan sampel, prosedur pengumpulan dan pengelolaan data serta analisis
data yang diperoleh.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini menguraikan hasil penelitian yang telah dilakukan dan bab ini juga
memberikan jawaban mengenai permasalahan yang penulis teliti yaitu apa yang
menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana percobaan
terhadap pelaku tindak pidana pemilu dan apakah putusan terhadap pelaku tindak
pidana pemilu tersebut telah sesuai dengan tujuan pemidanaan dan rasa keadilan
maupun pemberian efek jera bagi para pelaku..
V. PENUTUP
A. Pengertian Putusan Hakim
Putusan hakim atau lazim disebut dengan istilah putusan pengadilan merupakan
sesuatu yang sangat diinginkan atau dinanti-nantikan oleh pihak-pihak yang
berperkara guna menyelesaikan sengketa diantara mereka dengan
sebaik-baiknya. Sebab dengan putusan hakim tersebut pihak-pihak yang bersengketa
mengharapkan adanya kepastian hukum dan keadilan dalam perkara yang mereka
hadapi.1
Putusan bukan saja akan mewakili nilai intelektual dan kearifan dari hakim yang
memutusnya, namun akan menjadi bagian dari sumber hukum yang mengandung
kaidah-kaidah konsumtif bagi perkembangan hukum yang akan datang. Putusan
bukan hanya media untuk menyatakan seseorang bersalah atau sebagai sarana
bagi seseorang untuk bisa mengambil kembali haknya yang dikuasai orang lain,
namun serta substansial putusan adalah kolaborasi dari olah pikir dan pendalaman
nurani yang dikemas dengan sentuhan-sentuhan teori dan pengetahuan hukum
sehingga sebuah putusan akan mengandung nilai-nilai akademik, logis dan
yuridis.
1
Seorang hakim setidaknya memiliki bentuk pertanggungjawaban dalam mengadili
suatu perkara yaitu: tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, tanggung
jawab pada bangsa dan negara, tanggung jawab kepada diri sendiri, tanggung
jawab kepada hukum, tanggung jawab kepada para pencari keadilan(yang
berpekara) dan tanggung jawab kepada masyarakat.Putusan harus dapat
menimbulkan efek yang postif bagi kehidupan masyarakat pada saat ini dan masa
yang akan datang. Putusan merupakan sumber hukum formil atau bisa disebut
yurisprudensi yang dikemudian hari dapat menjadi dasar dan alasan bagi para
hakim yang lain dalam memutuskan suatu perkara yang memiliki kemiripan sifat
maupun karakter perkaranya maupun kekuatan yurisprudensi itu tidak memikat
seacarapredentseperti pada sistem hukum dinegara-negaraanglo saxon.
Putusan pengadilan setelah diucapkan akan mengikat secara yuridis kepada para
pihak-pihak yang berperkara dan setiap orang yang disebutkan secara tegas dalam
isi putusan dengan tanpa mengurangi hak-hak bagi para pihak untuk mengajukan
upaya hukum kepada badan peradilan yang lebih tinggi jika iya merasa tidak puas
terhadap isi putusan yang dijatuhkan, sedangkan secara sosiologis putusan juga
mengikat setiap orang, baik secara langsung maupun secara tidak langsung,
karena pada hakikatnya dalam setiap putusan yang dijatuhkan tersirat kewajiban
bagi setiap orang untuk menghormati isi putusan itu sebagaimana setiap orang
diwajibkan untuk menghormati hukum yang berlaku.2
2
Setelah putusan hakim mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde)
karena tidak dilakukan upaya hukum oleh para pihak atau upaya hukum biasa
yang tersedia telah semua digunakan, maka putusan menjadi dokumen negara
yang mengandung kekuatan eksekutorial. Title eksekutorial terletak pada irah-irah
yang tercantum dibagian kepala putusan yang berbunyi “ DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” . Setiap putusan yang
telah berkekuatan hukum tetap pelaksanaannya selalu dapat dipaksakan kepada
siapa saja penghukuman itu ditunjukkan bila perlu dengan bantuan alat negara.
Putusan pengadilan merupakan seluruh rangkaian proses pemeriksaan persidangan
sampai pada sikap hakim untuk mengakhiri perkara yang disidangkan. Putusan
pengadilan tidak dapat dipahami hanya membaca amar putusan, melainkan secara
keseluruhan. Semua yang terurai dalam putusan merupakan satu kesatuan dan
saling terkait serta tidak dapat dipisahkan. Formalitas putusan terdiri dari 4 bagian
Kepala putusan , identitas para pihak, pertimbangan ( considerans) dan amar.
Putusan pengadilan yaitu hasil akhir proses peradilan.3Asas kebebasan kehakiman
dalam kekuasaan kehakiman, tidak dapat diartikan sebagai kebebasan yang serasi
dengan falsafah Pancasila, UUD 1945 dan dalam memutus perkara selalu
mempertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Abdullah mengatakan
bahwa putusan pengadilan merupkan mahkota bagi hakim dan inti mahkotanya
terletak pada pertimbangan hukumnya, sedangkan bagi para pencarikeadilan
pertimbangan hukum yang baik akan menjadi mutiara yang berharga.
Pertimbangan hukum putusan merupakan bagian paling penting dalam sistematika
3
putusan karena itu akan mencerminkan bentuk tanggung jawab hakim kepada
hukum yang berlaku.
B. Pengertian Tindak Pidana Pemilu
Ketentuan mengenai Tindak Pidana Pemilu sebenarnya sudah dimuat dalam
beberapa peraturan perundang-undangan, baik dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana maupun dalam Peraturan Pemilu.Namun, dalam berbagai
undang-undang tersebut belum diatur secara khusus definisi dari Tindak Pidana
Pemilu.Bahkan, hingga saat ini tidak ada definisi yang tegas diberikan oleh suatu
aturan perundang-undangan. Karena itu untuk memberikan batasan tentang
definisi Tindak Pidana Pemilu, dalam tulisan ini definisi yang digunakan akan
mengacu pada ketentuan sebagaimana disebut dalam Pasal 252 Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2008. Ketentuan tersebut secara garis besar menyatakan bahwa
Tindak Pidana Pemilu merupakan pelanggaran terhadap ketentuan pidana Pemilu
yang diatur dalam Undang-Undang tersebut.4
Berdasarkan rumusan tersebut, diketahui bahwa tidak semua tindak pidana yang
terjadi pada masa Pemilu atau yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu
digolongkan sebagai Tindak Pidana Pemilu.Misalnya, pembunuhan yang
dilakukan oleh seorang Juru Kampanye Peserta Pemilu Tertentu terhadap Lawan
Politik pada masa kampanye, atau Seorang Calon Anggota DPR yang diduga
melakukan penipuan.Meskipun peristiwanya terjadi pada saat tahapan Pemilu
berlangsung atau berkaitan dengan kontestan Pemilu tertentu tetapi karena tidak
digolongkan sebagai Tindak Pidana Pemilu, perbuatan itu masuk dalam klasifikasi
4
tindak pidana umum.Begitu juga tindak pidana lainnya yang bisa jadi berkaitan
dengan Pemilu tetapi tidak diatur dalam Peraturan Pemilu. Misalnya
penyimpangan keuangan dalam pengadaan surat suara bukanlah Tindak Pidana
Pemilu, melainkan Tindak Pidana Korupsi.5
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
Tindak Pidana Pemilu adalah tindak pidana tertentu yang disebut dalam ketentuan
pidana dalam Peraturan Pemilu berupa perbuatan melawan hukum atau perbuatan
yang bertentangan dengan Peraturan Pemilu, meliputi tindakan atau kelalaian,
yang dapat dikenai sanksi pidana dan/atau sanksi administrasi yang
penyelesaiannya melalui pengadilan pada peradilan umum.6
C. Klasifikasi Tindak Pidana Pemilu
Secara umum, Tindak Pidana Pemilu yang diatur dalam Peraturan Pemilu
meliputi setiap perbuatan yang menghilangkan hak pilih orang lain, mengganggu
tahapan Pemilu, dan merusak integritas Pemilu, serta berbagai praktik curang
untuk memenangkan salah satu kandidat peserta Pemilu seperti politik uang,
kampanye hitam, dan sebagainya.
Pelanggaran Pemilu yang dikenal dalam Peraturan Pemilu terdiri dari dua jenis
yaitu pelanggaran pidana (Tindak Pidana Pemilu) dan pelanggaran administratif.
Akan tetapi, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 menyebut dengan tegas tiga
jenis macam masalah hukum yang berkaitan dengan Pemilu yaitu: pelanggaran
administrasi Pemilu, pelanggaran pidana Pemilu, dan perselisihan hasil Pemilu.
5Ibid
6 Abdul Fickar Hadjar, “Perspektif Penegakkan Hukum Tindak Pidana Pemilu”, Jurna
Perselisihan hasil Pemilu diperiksa dan diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi
yang diatur secara tegas oleh Peraturan Pemilu.dalam hal ini, jika ditelaah lebih
jauh, perselisihan hasil Pemilu pada dasarnya merupakan ruang lingkup sengketa
administrasi atau dapat disebut dengan keberatan atas hasil Pemilu. Jadi,
keberatan hasil Pemilu bukanlah suatu pelanggaran Pemilu tetapi bentuk
ketidakpuasan dari pihak yang merasa dirugikan untuk meninjau ulang hasil
Pemilu yang telah diselenggarakan.
Berbeda dengan pendapat dari Topo Santoso yang menyatakan bahwa Sengketa
hukum dan Pelanggaran Pemilu dapat dibagi menjadi enam: (1) Pelanggaran
Pidana Pemilu (Tindak Pidana Pemilu); (2) Sengketa dalam Proses Pemilu; (3)
Pelanggaran Administrasi Pemilu; (4) Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara
Pemilu; (5) Perselisihan (sengketa) Hasil Pemilu; dan (6) Sengketa hukum
lainnya.7
Pendapat Topo Santoso tersebut didasari pada ketentuan Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2008 yang hanya menyebut dengan tegas tiga macam masalah hukum
yaitu: pelanggaran administrasi Pemilu, pelanggaran pidana Pemilu, dan
perselisihan hasil Pemilu. Dua macam jenis masalah hukum lainnya, meskipun
tidak disebut secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tetapi
secara materi diatur, yaitu pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu dan
sengketa dalam proses/tahapan Pemilu. Sementara sengketa hukum lainnya tidak
diatur diatur secara eksplisit baik nama maupun materinya, tetapi praktik
mengakui keberadaanya, yaitu masalah hukum lainnya.8
7
Topo Santoso, 2009,Penanganan Pelanggaran Pemilu,Kemitraan, Jakarta, Hlm. 3.
Ketentuan yang mengatur Tindak Pidana Pemilu, tidak saja ditemukan dalam
Peraturan Pemilu, tetapi juga tercantum dalam KUHP. Terdapat lima Pasal dalam
KUHP yang mengatur tentang tindak pidana yang berkaitan dengan
penyelenggaraan Pemilu. yaitu:
a) Merintangi orang menjalankan haknya dalam memilih (Pasal 148 KUHP)
b) Penyuapan (Pasal 149 KUHP)
c) Perbuatan Tipu Muslihat (Pasal 150 KUHP)
d) Mengaku sebagai orang lain (Pasal 151 KUHP)
e) Menggagalkan pemungutan suara yang telah dilakukan atau melakukan
f) tipu muslihat (Pasal 152 KUHP)
Dalam Rancangan KUHP juga terdapat pengaturan tentang Tindak Pidana Pemilu
yang diatur dalam BAB IV tentang tindak pidana terhadap ketertiban umum yang
terdiri dari 5 Pasal, yakni Pasal 278 sampai dengan Pasal 282. Kelima ketentuan
yang dicantumkan dalam Rancangan KUHP tersebut mengatur hal yang sama
sehingga tidak ada perbedaan yang signifikan antara Tindak Pidana Pemilu yang
diatur oleh KUHP dengan Tindak Pidana Pemilu dalam Rancangan KUHP karena
perbedaan yang ada hanya mengenai jumlah denda yang diberikan saja.
B. Penegakan Hukum Tindak Pidana Pemilu
Acuan penyelenggaraan Pemilu yang demokratis dapat merujuk pada standar
minimal penyelenggaraan Pemilu yang ditetapkan oleh International Institute for
Democracy and Electoral Assistance(IDEA), yang terdiri dari:9
a) Penyusunan kerangka hukum Pemilu;
9
b) Pemilihan sistem Pemilu;
c) Penetapan daerah pemilihan;
d) Hak untuk memilih dan dipilih;
e) Badan penyelenggara Pemilu;
f) Pendaftaran pemilih dan daftar pemilih;
g) Akses kertas suara bagi partai politik dan kandidat;
h) Kampanye Pemilu yang demokratis;
i) Akses media dan kebebasan berekspresi;
j) Pembiayaan dan pengeluaran;
k) Pemungutan suara;
l) Penghitungan dan rekapitulasi suara;
m) Peranan wakil partai dan kandidat;
n) Pemantau Pemilu;
o) Kepatuhan terhadap hukum dan penegakkan Peraturan Pemilu.
Mengacu pada standar minimal penyelenggaraan Pemilu yang ditetapkan oleh
IDEA di atas, penegakkan hukum Pemilu merupakan implementasi dari ketentuan
point ke-15.10 Dengan kata lain, Penegakkan hukum Tindak Pidana Pemilu
merupakan salah satu indikator yang penting untuk menentukan demokratis
tidaknya penyelenggaraan Pemilu.
Penegakan hukum merupakan faktor pencegahan terhadap kecurangan dan
bertujuan untuk melindungi integritas Pemilu.11Secara teoritis, Penegakan hukum
10
Topo Santoso, 2009,Penanganan Pelanggaran Pemilu, Kemitraan,Jakarta, Hlm. 2.
11 Topo Santoso, “Penguatan Penegakkan Hukum Pemilu”, Makalah Disampaikan Pada
adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya
norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu-lintas atau
hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.12
Menurut Jimly Asshiddiqie13, penegakkan hukum (law enforcement) dalam arti
luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta
melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan
hukum yang dilakukan oleh subjek hukum. Bahkan, dalam pengertian yang lebih
luas lagi, kegiatan penegakkan hukum mencakup pula segala aktivitas yang
dimaksudkan agar hukum sebagai perangkat kaedah normatif yang mengatur dan
mengikat para subjek hukum dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat dan
bernegara benar-benar ditaati dan sungguh-sungguh dijalankan sebagaimana
mestinya. Dalam arti sempit, penegakkan hukum itu menyangkut kegiatan
penindakan terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan terhadap peraturan
perundang-undangan, khususnya, yang lebih sempit lagi melalui proses peradilan
pidana yang melibatkan peran Aparat Kepolisian, Kejaksaan, Advokat atau
Pengacara, dan Badan-Badan Peradilan.
Tindak Pidana Pemilu harus diproses melalui Sistem Peradilan Pidana.14Sistem peradilan pidana yang digariskan oleh KUHAP merupakan sistem terpadu
(Integrated Criminal Justice System).15Sistem terpadu tersebut diletakkan di atas
12
Topo Santoso, 2009,Penanganan Pelanggaran Pemilu,Loc.Cit
13
Jimly Asshiddiqie, "Pembangunan Hukum dan Penegakkan Hukum di Indonesia ", Makalah Disampaikan pada Acara Seminar Menyoal Moral Penegak Hukum dalam Rangka Lustrum XI Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 17 Februari 2006.
14
Topo Santoso, “Penguatan Penegakkan Hukum Pemilu”, Makalah Disampaikan Pada
Konferensi Memperbarui Penegakkan Hukum Pemilu Di Indonesia dan Pengalaman Internasional Dalam Hal Penyelesaian Sengketa Pemilu, Jakarta, 6 Oktober 2011, Hlm. 5.
15
landasan prinsip diferensiasi fungsional di antara aparat penegak hukum sesuai
dengan tahap proses kewenangan yang diberikan undang-undang kepada
masing-masing. Berdasarkan kerangka landasan yang dimaksud aktivitas pelaksanaan
criminal justice system, merupakan fungsi gabungan (collection of function)
dari:16
a) Legislator
b) Polisi
c) Jaksa
d) Pengadilan
e) Penjara, serta badan peradilan yang berkaitan baik yang ada di lingkungan
pemerintahan atau di luarnya.
Tujuan pokok “gabungan fungsi” dalam kerangka criminal justice system adalah untuk menegakkan, melaksanakan (menjalankan), dan memutuskan hukumpidana.
Dengan demikian, kegiatan sistem peradilan pidana didukung dan dilaksanakan
empat fungsi utama, yaitu:17
a) Fungsi pembuatan Undang-Undang (Law Making Function). Fungsi ini
dilaksanakan oleh DPR dan Pemerintah atau badan lain berdasardelegated
legislation.
b) Fungsi Penegakkan Hukum (Law Enforcement Function). Tujuanobjektif
fungsi ini ditinjau dari pendekatan tata tertib sosial (socialorder):
1) Penegakkan hukum secara actual (the actual enforcement law)
meliputi tindakan:
(a) Penyelidikan-penyidikan (investigation)
16Ibid,
Hlm 90
(b) Penangkapan (arrest) penahanan (detention)
(c) Persidangan Pengadilan (Trial), dan
(d) Pemidanaan (punishment) pemenjaraan guna memperbaiki tingkah
laku individu terpidana (correcting the behavior of individual
offender)
2) Efek preventif (preventive effect). Fungsi penegakkan hukum
diharapkan mencegah orang (anggota masyarakat) melakukan tindak
pidana. Bahkan, kehadiran dan eksistensi polisi di tengah-tengah
kehidupan masyarakat dimaksudkan sebagai upaya prevensi. Jadi,
kehadiran dan keberadaan polisi dianggap mengandung preventive
effect yang memiliki daya cegah (detterent effort) anggota masyarakat
melakukan tindak kriminal.
c) Fungsi Pemeriksaan Persidangan Pengadilan (Function of Adjudication).
Fungsi ini merupakan subfungsi dari kerangka penegakkan hukum yang
dilaksanakan oleh Jaksa PU dan Hakim serta pejabat pengadilan yang
terkait. Melalui fungsi inilah ditentukan:
1) Kesalahan terdakwa (The Determination Of Guilty)
2) Penjatuhan hukuman (The Imposition Of Punishment)
d) Fungsi memperbaiki terpidana (the function of correction)
Fungsi ini meliputi aktifitas lembaga pemasyarakatan, pelayanan sosial
terkait, dan lembaga kesehatan mental. Tujuan umum semua
lembaga-lembaga yang berhubungan dengan penghukuman dan pemenjaraan
Offender) agar dapat kembali menjalani kehidupan normal dan produktif
(Return To A Normal And Productive Life).
Penegakkan hukum Pemilu pada dasarnya merupakan mekanisme untuk menjaga
hak pilih rakyat. Tujuannya memastikan bahwa hak atas proses konversi suara
yang adil dan tidak terlanggar dengan maraknya kecurangan dan tindakan
manipulatif oleh peserta Pemilu. Jauh lebih penting, bagaimana mekanisme
hukum Pemilu mampu mengembalikan suara rakyat yang telah terkonversi kepada
yang berhak sesuai dengan kehendak rakyat yang sesungguhnya. Perolehan suara
dan keterpilihan calon tertentu, dapat dianulir oleh mekanisme hukum Pemilu,
jika terbukti bahwa suara itu diperoleh dengan cara yang tidak dibenarkan
menurut hukum. Seperti dikutip berikut ini:18
“Salah satu dari standar untuk adanya Pemilu demokratis adalah “kepatuhan
dan penegakkan hukum Pemilu.19Standar ini menjadi penting dicatat karena kerangka hukum harus menyediakan mekanisme efektif dan baik bagi
kepatuhan hukum dan penegak hak-hak Pemilu, memberikan hukuman bagi
pelaku-pelaku Tindak Pidana Pemilu.Kerangka hukum Pemilu harus diatur
sedetil mungkin untuk melindungi hak-hak sipil.”
Penegakkan hukum Pemilu, dapat ditempuh melalui 2 cara, yaitu Civil Process
dan Crime Process.20Civil Process merupakan mekanisme koreksi terhadap hasil
Pemilu, yang diajukan oleh peserta Pemilu kepada lembaga peradilan yang
18
International IDEA, 2004,Kerangka Hukum Pemilu Indonesia Tahun 2004 Legal Framework of the Indonesian 2004 General Election, IDEA, Jakarta, Hlm. 93.
19
Lihat International IDEA, (2002) and International IDEA, 2004, Kerangka Hukum Pemilu Indonesia Tahun 2004, Legal Framework of the Indonesian 2004 General Election, IDEA,
Jakarta. Dalam Topo Santoso, “Penguatan Penegakkan Hukum Pemilu”, Makalah Disampaikan Pada Konferensi Memperbarui Penegakkan Hukum Pemilu Di Indonesia Dan Pengalaman Internasional Dalam Hal Penyelesaian Sengketa Pemilu, Jakarta, 6 Oktober 2011, Hlm. 2.
20Topo Santoso, “Menggagas Desain Pengawasan Pemilu” Focus Group Discussion, Koalisi
berwenang.Mekanisme ini banyak ditempuh oleh peserta Pemilu karena prosesnya
yang cepat.Civil Process cenderung lebih menarik dan membuka peluang yang
besar untuk tercapainya tujuan penegakkan hukum Pemilu, karena dapat
menganulir keputusan hasil Pemilu.Beberapa Negara menggunakan mekanisme
ini sebagai bentuk penyelesaian hasil Pemilu.Negara yang menggunakan
mekanisme penyelesaian ini, misalnya, Filipina dan Indonesia.21Perselisihan hasil
di Filipina hanya berlaku untuk Pemilu Presiden.Mekanisme penyelesaian
sengketa dimaksud dilakukan melalui pengadilan tinggi. Berbeda dengan Filipina,
Indonesia justru menggunakan mekanisme ini untuk menyelesaian perselisihan
hasil Pemilu, baik Pemilu legislatif, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dan
tentunya Pemilu Kepala Daerah. Perbedaannya, mekanisme penyelesaian
perselisihan hasil Pemilu di Indonesia dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.
Bentuk kedua mekanisme penegakkan hukum adalahCrime Process, yaitu proses
penyelesaian permasalahan hukum Pemilu.22Mekanime Crime Process seperti
yang dikenal dengan penyelesaian pelanggaran atau sengketa Pemilu melalui
mekanisme hukum yang berlaku, baik pidana, administrasi maupun kodeetik,
sesuai dengan hukum acara yang berlaku. Crime Process cenderung lebih
lambat,karena harus mengikuti mekanisme hukum yang berlaku secara
bertingkatsebagai mana ditentukan oleh Peraturan Pemilu.23
Penegakkan hukum (Law Enforcement) yang dapat dilakukan dengan baik dan
efektif merupakan salah satu tolak ukur keberhasilan suatu Negara dalam upaya
21
Topo Santoso dkk, 2006,Penegakkan Hukum Pemilu, Praktik Pemilu 2004, Kajian Pemilu 2009-2014, Perludem, Jakarta, Hlm. 28–30.
22Topo Santoso, “Menggagas Desain Pengawasan Pemilu” Focus
Group Discussion,Koalisi Masyarakat Pemantau Pemilu (KMPP), Jakarta; 27 Maret 2009, Hlm. 21.
mengangkat harkat dan martabat bangsanya di bidang hukum terutama dalam
memberikan perlindungan hukum terhadap warganya. Hal ini berarti pula adanya
jaminan kepastian hukum bagi rakyat sehingga rakyat merasa aman dan
terlindungi hak-haknya dalam menjalani kehidupannya.
Sebaliknya, penegakkan hukum yang tidak berjalan sebagaimana mestinya
merupakan indikator bahwa negara yang bersangkutan belum sepenuhnya mampu
memberikan perlindungan hukum kepada warganya. Dengan demikian, jika
penegakkan hukum tindak pidana Pemilu tidak dilaksanakan dengan baik dan
efektif, tidak ada kepastian hukum bagi warga negara yang memiliki hak pilih
A. Pendekatan Masalah
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan dua macam
pendekatan, yaitu pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris.
1. Pendekatan Yuridis Normatif
yuridis normatif (library reseach) adalah pendekatan yang dilakukan berdasarkan
bahan hukum utama, menelaah beberapa hal yang bersifat teoritis yang
menyangkut asas-asas hukum, konsepsi hukum, pandangan, dan doktrin-doktrin
hukum, peraturan dan sistem hukum yang berkenan dengan skripsi yang sedang
dibahas atau menggunakan data skunder diantaranya ialah asas, kaidah, norma,
dan aturan hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan
peraturan lainnya.1
2. Pendekatan Yuridis Empiris
Pendekatan yuridis empiris yaitu pendekatan penelitian dengan cara meneliti
danmengumpulkan data primer yang diperoleh secara langsung melalui penelitian
dengan cara observasi terhadap permasalahan yang dibahas.
Penelitian ini dilakukan dengan cara studi pustaka untuk memperoleh data
sekunder di bidang hukum. Cara penelitian kepustakaan ialah melakukan studi
terhadap alat penelitian berupa studi dokumen.Studi dokumen yang dilakukan
adalah mengkaji dan menganalisis bahan hukum yang meliputi bahan hukum
primer, sekunder, dan tersier. Bahan kepustakaan dapat dikelompokkan menjadi 3
(tiga), yaitu:
a) Bahan Hukum Primer,yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan
mengatur.
b) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer yang berupa buku-buku Hukum yang
membahas mengenai tindak pidana pemilu, tujuan pemidanaan,
penegakkan hukum, serta artikel-artikel, makalah-makalah, seminar,
laporan atau hasil penelitian yang berhubungan dengan objek yang
diteliti;
c) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberikan penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang berupa
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Inggris, dan Kamus
Hukum.
2. Penelitian Lapangan
Penelitian lapangan dilakukan karena penelitian ini bertipe gabungan
lapangan ditentukan dengan metode purposive, yaitu di: Pengadilan Tinggi
Tanjung Karang, Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Perolehan data dilakukan melalui wawancara (interview), yang berfungsi untuk
membuat deskripsi atau eksplorasi.2 Hasil dari wawancara berupa data primer. Wawancara dilakukan pada narasumber sebagai pihak yang dianggap memiliki
kompetensi di bidang masalah yang diteliti. Wawancara terutama ditujukan untuk
membantu mengelaborasi hasil studi pustaka untuk menjawab rumusan masalah.
Wawancara dilakukan menggunakan pedoman wawancara yang memuat
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada narasumber, yang dikembangkan
sejalan dengan perkembangan teori-teori yang didapat peneliti dari studi pustaka
yang relevan dengan penelitian ini.
C. Penentuan Narasumber
Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data primer dalam penelitian ini
adalah wawancara terhadap para nara sumber/informan. Wawancara ini dipandu
dan disusun secara terbuka.
Adapun narasumber/responden/informan yang diwawancarai adalah:
1. Hakim Pengadilan Tinggi Tanjung Karang = 1 orang
2. Jaksa Kejaksaan Negeri Bandar Lampung = 1 orang
Jumlah 2 orang
2
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
1. Prosedur Pengumpulan data
Untuk melengkapi data guna pengujian hasil peneletian ini digunakan prosedur
pengumpulan data yang terdiri dari data sekunder, yaitu pengumpulan data
sekunder dilakukan dengan cara mengadakan studi kepustakaan library research.
Studi kepustakaan dimaksudkan untuk memperoleh arah pemikikiran dan tujuan
penelitian yang dilakukan dengan cara membaca, mengutip, dan menelaah
literatur-literatur yang menunjang, serta bahan-bahan ilmiah lainya yang
mempunyai hubungan dengan permasalahan yang akan dibahas.
2. Prosedur Pengolahan Data
Setelah data terkumpul dilakukan kegiatan merapihkan dan menganalisis data.
Kegiatan ini meliputi seleksi data dengan cara memeriksa data yang diperoleh
melalui kelengkapannya dan pengelompokan data secara sistematis. Kegiatan
pengolahan data dilakukan sebagai berikut:
a. Editing data, yaitu meneliti data yang keliru, menambah dah melengkapi data
yang kurang lengkap.
b. Klasifikasi data, yaitu pengelompokan data menurut bahas yang ditentukan.
c. Sistematisasi data, yaitu penempatan data pada tiap pokok bahasan secara
E. Analisis Data
Data-data yang sudah terkumpul akan dianalisa dengan metode kualitatif.
Menurut Bogdan dan Biklen, analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan
dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya
menjadi satuan yang dapat dikelola, mensitesiskannya, mencari dan menemukan
pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari dan memutuskan apa
yang dapat diceritakan kepada orang lain.3 Metode kualitatif akan menghasilkan data diskriptif analitik. Data deskritif analitik yaitu hal-hal yang dinyatakan oleh
responden secara tertulis atau lisan dan juga perilakunya yang nyata, diteliti
sebagai yang utuh.4
3
Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian,Op.cit., hlm 250
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai proses penegakan hukum
tindak pidana pemilu sebagaiamana putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang
Perkara Nomor 70/Pid./2014/PT TJK maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Dasar Pertimbangan Hakim, hakim dalam menjatuhkan putusan percobaan
terhadap pelaku tindak pidana pemilu karena berdasarkan pertimbangan hakim
bahwa perbuatan tersebut terbukti dilakukan secara sah dan menyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja melakukan penambahan suara kepada peserta pemilu tertentu. Hakim dalam persidangan tersebut
mempunyai pendapat pelaku tindak pidana pemilu ini dijatuhkan hukuman
percobaan agar menciptakan rasa keadilan bagi pelaku maupun masyarakat
dan akan menimbulkan efek jerah terhadap pelaku yang melakukan tindak
pidana pemilu.
2. A. Hakim menjatuhkan putusan percobaan terhadap pelaku tindak pidana
pemilu telah sesuai dengan tujuan pemidanaan dan dikaitkan dengan teori
pemidanaan dapat diambil kesimpulan dalam putusan ini dapat memakai teori
B. Putusan pidana percobaan terhadap pelaku tindak pidana pemilu sudah
memenuhi rasa keadilan dan memberikan efek jera bagi pelaku dapat
disimpulkan dari hasil wawancara penulis terhadap responden. Bahwa
berdasarkan fakta persidangan para pelaku hanya menjalankan perintah dan
tidak mendapatkan keuntungan apapun dari perbuatannya.
B. Saran
1. Didalam perekrutan Panita Pemilahan Kecamatan (PPK) sebaiknya diberikan
pengetahuan ataupun pelatihan dalam menjalankan tugasnya baik itu menurut
tugas dan fungsinya ataupun aturan hukum dalam menjalankan tugas tersebut,
sehingga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya pelanggaran.
2. Sebaiknya didalam peraturan yang mengatur terkait pelanggaran pemilu lebih
diprinci lagi terkait kategori pelanggaran terutama, mengenai penggelembungan
suara yang dapat dikatakan merupakan pelanggaran yang termasuk berat atau
ringan. Sehingga dapat memudahkan dalam pemberiaan berat ringannya sanksi
Buku :
Ali, Mahrus, 2011, Dasar-Dasar Hukum Pidana,Sinar Grafika, Jakarta.
Arief, Barda Nawawi, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Abadi, bandung
Arto, Muktu, 2004, Praktek Perkara pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Centre for Electoral Reform, 2010,Keadilan Pemilu, International IDEA, Swedia.
Chazawi, Adami, 2011, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, Raja Grapindo Persada, Jakarta.
Dewantoro, Nanda Agung, 1987, Masalah Kebebasan Hakim Dalam MenanganI Suatu Perkara Pidana, Aksara Persada, Jakarta.
Hamzah, Andi, 1996, KUHP dan KUHAP, Rineka Cipta, Jakarta
Harahap, M. Yahya, 2005, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta.
Huda, Chairul, 2008, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Pertanggung Jawaban Pidana Tanpa Kesalahan,Prenada Media, Jakarta.
International IDEA, 2004, Kerangka Hukum Pemilu Indonesia Tahun 2004 Legal Framework of the Indonesian 2004 General Election, IDEA, Jakarta.
Makarao, Moh. Taufik, 2004 , Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, cet. I, PT.Rineka Cipta, Jakarta.
Mariana, Dede dan Caroline Paskarina, 2007, Demokrasi dan Politik Desentralisasi, Graha Ilmu, Bandung.
Rahardjo, Satjipto, 1991,Ilmu Hukum, Citra Adhitya Bhakti, Bandung.
Sanit, Arbi, 1998,Reformasi Politik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Santoso, Topo dan Eva Achjani Zulfa, 2011, Kriminologi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Sudarto, 1986,Hukum dan Hukum Pidana,Alumni, Bandung, hlm. 74.
Witanto, Darmoko Yuti Witanto&Arya Putra Negara Kutawaringi, 2013,
Diskresi Hakim Sebuah Instrumen Menegakkan Keadilan Substantif dan Perkara Pidana, Alfabeta ,Bandung.
Sardini, Nur Hidayat 2011,Restorasi Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia, Fajar Media Press, Yogyakarta.
Soekanto, Soerjono, 2007,Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta.
Surbakti, Ramlan Didik Supriyanto, dan Topo Santoso, 2008, Perekayasaan Sistem Pemilu Untuk Pembangunan Tata Politik Demokratis, Kemitraan, Jakarta.
Thalib, Dahlan, 1994, DPR dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Liberty, Yogyakarta.
Tim Penyusun Kamus,1997, Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Balai Pustaka, Jakarta.
Waluyo, Bambang, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Cetakan Ketiga, Sinar Grafika, Jakarta
Witanto, Darmoko Yuti, dan Arya Putra Negara Kutawaringin, 2013, Diskresi Hakim Sebuah Instrumen Menegakkan Keadilan Substantif dalam Perkara-perkara Pidana.Alfabeta, bandung.
Makalah dan Jurnal:
1. Asshiddiqie, Jimly, "Pembangunan Hukum dan Penegakkan Hukum di Indonesia "Makalah Disampaikan pada Acara Seminar Menyoal Moral Penegak Hukum dalam Rangka Lustrum XI Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 17 Februari 2006.
2. Firdaus, Aras, “Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Pemilihan Umum Menurut
UU No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”
Jurnal Ilmiah FH USU, 2013.
2011.
4. Laporan Badan Pengawas Pemilihan Umum Tahun 2009.
5. Santoso, Topo, “Menggagas Desain Pengawasan Pemilu” Focus Group
Discussion, Koalisi Masyarakat Pemantau Pemilu (KMPP), Jakarta; 27 Maret 2009.
6. Santoso, Topo, “Penguatan Penegakkan Hukum Pemilu”, Makalah
Disampaikan Pada Konferensi Memperbarui Penegakkan Hukum Pemilu Di Indonesia Dan Pengalaman Internasional Dalam Hal Penyelesaian Sengketa Pemilu, Jakarta, 6 Oktober 2011)
7. Santoso, Topo, Sistem Penegakkan Hukum Pemilu, Jurnal Hukum Pantarei, November 2008.
Internet :