• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengoptimuman Fase Gerak Kromatografi Cair Kinerja Tinggi untuk Analisis Sidik Jari Ekstrak Temu Putih (Curcuma zedoaria)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengoptimuman Fase Gerak Kromatografi Cair Kinerja Tinggi untuk Analisis Sidik Jari Ekstrak Temu Putih (Curcuma zedoaria)"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

PENGOPTIMUMAN FASE GERAK KROMATOGRAFI CAIR

KINERJA TINGGI UNTUK ANALISIS SIDIK JARI EKSTRAK

TEMU PUTIH (

Curcuma zedoaria

)

BADRUNANTO

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRAK

BADRUNANTO. Pengoptimuman Fase Gerak Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

untuk Analisis Sidik Jari Ekstrak Temu Putih (

Curcuma zedoaria

). Dibimbing

oleh ETI ROHAETI dan IRMANIDA BATUBARA.

Curcuma zedoaria

atau temu putih merupakan tanaman obat yang telah

digunakan untuk mengobati beberapa penyakit serta dilaporkan memiliki aktivitas

antimikrob dan antioksidan. Untuk menjamin kualitas temu putih, perlu

dikembangkan metode analisis sidik jari. Penelitian ini bertujuan menentukan fase

gerak kromatografi cair kinerja tinggi yang optimum untuk analisis sidik jari temu

putih yang berasal dari 3 lokasi berbeda, yaitu Cipaku, Cimanggu, dan Dramaga

serta menentukan aktivitas antioksidannya. Komposisi eluen terbaik yang

diperoleh ialah asam trifluoroasetat (TFA) 0.10% dalam air (A) dan asetonitril (B)

dengan metode elusi gradien. Program gradien dimulai dengan komposisi 90%

A:10% B, kemudian diubah menjadi 80% A:20% B dalam 12 menit, lalu menjadi

40% A:60% B dalam 38 menit, sebelum kembali ke kondisi awal dalam 10 menit

dan ditahan selama 5 menit. Laju alir fase gerak yang digunakan adalah 1

mL·menit

-1

. Aktivitas penghambatan radikal stabil 2,2-difenil-1-pikrilhidrazil

tertinggi ditunjukkan oleh ekstrak temu putih dari Dramaga dengan nilai

konsentrasi penghambatan 50% 182.01 µg·mL

-1

.

Kata kunci: antioksidan, IC

50

, sidik jari, temu putih

ABSTRACT

BADRUNANTO. Optimization of High Performance Liquid Chromatography

Mobile Phase for Fingerprint Analysis of

Curcuma zedoaria

Extract. Supervised

by ETI ROHAETI and IRMANIDA BATUBARA.

Curcuma zedoaria,

known as

temu putih

in Indonesia is widely used as

medicinal plant to treat some diseases and has been reported to have antimicrobial

and antioxidant activities. For quality control of

C. zedoaria

, an attempt on

fingerprint study was developed in this work. This study was aimed to determine

the optimum condition of high performance liquid chromatography mobile phase

for the fingerprint analysis of

C. zedoaria

collected from 3 different places,

namely Cipaku, Cimanggu, and Dramaga and determine the antioxidant activities.

The best eluent composition obtained was trifluoroacetic acid (TFA) 0.10% (A)

and acetonitrile (B) by gradient elution method. The gradient program was started

at 90% A:10% B, changed to 80% A:20% B in 12 minutes, and then to 40%

A:60% B in 38 minutes, before finally brought back to the initial conditions in 10

minutes and held constant for 5 minutes. The mobile phase flow rate used was 1

mL·min

-1

. The highest inhibitory activity of 2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl stable

radical was shown by the

C. zedoaria

extract collected from Dramaga with 50%

inhibition concentration value of 182.01 µg·mL

-1

.

(3)
(4)

PENGOPTIMUMAN FASE GERAK KROMATOGRAFI CAIR

KINERJA TINGGI UNTUK ANALISIS SIDIK JARI EKSTRAK

TEMU PUTIH (

Curcuma zedoaria

)

BADRUNANTO

Skripsi

sebagai salah satu syarat memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Departemen Kimia

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Judul Skripsi : Pengoptimuman Fase Gerak Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

untuk Analisis Sidik Jari Ekstrak Temu Putih (

Curcuma

zedoaria

)

Nama

: Badrunanto

NIM

: G44104004

Disetujui oleh

Tanggal lulus:

Pembimbing I

Dr. Eti Rohaeti, MS

NIP 19600807 198703 2 001

Pembimbing II

Dr. Irmanida Batubara, S.Si, M.Si

NIP 19750807 200501 2 001

Diketahui oleh

Ketua Departemen

(6)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah

subhanahu wa ta’ala

atas

segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Karya ilmiah

ini disusun berdasarkan kegiatan penelitian dengan judul

Pengoptimuman Fase

Gerak Kromatografi Cair Kinerja Tinggi untuk Analisis Sidik Jari Ekstrak Temu

Putih (

Curcuma zedoaria

)

yang dilaksanakan pada bulan Juli sampai Desember

2012 di Laboratorium Kimia Analitik, Departemen Kimia, FMIPA, IPB, Bogor

dan Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka, LPPM, IPB, Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Eti Rohaeti, MS dan Dr.

Irmanida Batubara, S.Si, M.Si, selaku pembimbing yang telah memberikan

bimbingan dan waktu selama penelitian hingga penyusunan karya ilmiah. Karya

ilmiah ini merupakan bentuk penghargaan kepada kedua orang tua, kakak, dan

adik penulis yang selalu memberikan motivasi, doa, dukungan, dan kasih sayang

selama menempuh studi di Institut Pertanian Bogor sampai menyelesaikan karya

ilmiah ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Eman, Bapak

Endi, Sri Iswani, Marina, serta seluruh staf dan rekan-rekan peneliti di

Laboratorium Kimia Analitik dan Pusat Studi Biofarmaka yang telah banyak

membantu selama penelitian dan penyusunan karya tulis ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2013

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Tegalgirang, Kabupaten Indramayu pada tanggal

3 Januari 1989 dari seorang ayah bernama Nadi dan ibu Saminih. Penulis

merupakan putra kedua dari 3 bersaudara. Tahun 2007, penulis lulus dari SMA

Negeri 1 Indramayu dan pada tahun yang sama lulus seleksi pada Direktorat

Program Diploma, Institut Pertanian Bogor (IPB) pada Program Keahlian Analisis

Kimia melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Setelah

menyelesaikan studi di Program Diploma pada tahun 2010, penulis melanjutkan

ke Program Alih Jenis Kimia IPB pada tahun yang sama.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis telah melaksanakan praktik kerja

lapangam pada tahun 2010 di Puslitbang Gizi dan Makanan, Bogor, dengan judul

laporan “Penentuan Tiamin dalam Produk Sari Ubi Jalar Merah Hasil Fermentasi

Bifidobacterium bifidum

”.

Penulis juga pernah mengikuti Program Kreativitas

Mahasiswa bidang Penelitian (PKM-P

) dengan judul “

Uji Aktivitas Antidiabetes

dalam Ekstrak Daun Wungu (

Graptophylum pictum

(L) Griff) secara

in vitro

(8)

vi

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ...vii

DAFTAR GAMBAR ...vii

DAFTAR LAMPIRAN ...vii

PENDAHULUAN ... 1

BAHAN DAN METODE ... 2

Bahan dan Alat

... 2

Lingkup Penelitian

... 2

Preparasi Sampel

... 2

Penentuan Kadar Air

... 2

Ekstraksi Sampel

... 2

Penentuan Fase Gerak Optimum

... 2

Uji Aktivitas Antioksidan

... 3

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 3

Hasil Determinasi dan Ekstraksi

... 3

Temu Putih

... 3

Fase Gerak Optimum

... 4

Aktivitas Antioksidan

... 7

SIMPULAN DAN SARAN ... 8

Simpulan

... 8

Saran

... 8

(9)

vii

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Rendemen ekstrak temu putih basah hasil maserasi dalam metanol ... 4

2 Jumlah puncak sidik jari pada setiap kromatogram KCKT ... 6

3 Hubungan % area puncak terhadap nilai IC50 ... 7

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Tanaman temu putih. ... 1

2 Rimpang temu putih. ... 3

3 Simplisia rimpang temu putih sebelum (a) dan setelah dihaluskan (b). ... 3

4 Kromatogram hasil elusi isokratik.. ... 4

5 Kromatogram hasil elusi dengan program gradien.. ... 5

6 Sidik jari KCKT temu putih Cipaku (a), Cimanggu (b), dan Dramaga (c)

menggunakan kondisi fase gerak optimum ... 6

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Bagan alir penelitian ... 101

2 Kromatogram hasil elusi isokratik ... 12

3 Kromatogram hasil elusi gradien ... 13

4 % area puncak kromatogram yang memiliki intensitas tinggi dari 3 sampel

temu putih ... 14

(10)
(11)

PENDAHULUAN

Saat ini, obat herbal semakin menjadi pilihan masyarakat seiring dengan tren kembali ke alam. Sebagian masyarakat beranggapan bahwa bahan alami lebih baik karena tidak menimbulkan efek samping (WHO 2000). Sekitar 80% tanaman herbal dunia tumbuh di Indonesia (Trubus 2010), angka tersebut merupakan kekayaan alam yang sangat besar dan harus dikembangkan. Menurut WHO (2008), 80% penduduk beberapa negara di Asia dan Afrika memanfaatkan obat tradisional untuk menjaga kesehatan mereka. Tahun 2008, persentase penduduk Indonesia yang menggunakan obat tradisional, termasuk obat herbal, mencapai 22.26% (BPS 2009). Tahun 2010, menurut data Riskesdas, sekitar 59.12% penduduk pernah mengonsumsi jamu dan 95.60% di antaranya merasakan khasiat jamu untuk meningkatkan kesehatan (Kemenkes RI 2011).

Saat ini ada 3 jenis obat herbal, yaitu 6 fitofarmaka, 31 obat herbal terstandar, dan sekitar 1400 jamu (Kemenkes RI 2011). Telah banyak tanaman yang dikembangkan sebagai obat herbal yang aman dikonsumsi dan diduga dapat menyembuhkan berbagai penyakit seperti kanker dan diabetes. Salah satu bahan alam yang termasuk kelompok jamu dan berpotensi untuk dikembangkan ialah temu putih (Gambar 1).

Gambar 1 Tanaman temu putih.

Temu putih merupakan tanaman dari famili Zingiberaceae dan memiliki nama latin Curcuma zedoaria. Tanaman ini diketahui memiliki berbagai khasiat, antara lain sebagai antimikrob (Rita 2010; Wilson et al. 2005). Kandungan senyawa 5-isopropilidena-3,8-dimetil-1(5H)-azulenon (Mau et al. 2003) dan kurkuminoid (Paramapojn & Gritsanapan 2009) dalam tanaman ini diduga memberikan aktivitas antioksidan. Kandungan senyawa kurkumin dan turunan fenol dalam temu putih memiliki daya reduksi yang luar biasa sebagai

antioksidan alami. Aktivitasnya lebih besar dibandingkan dengan C. angusifola, C. aromatic, dan C. amanda. Efek herbal yang telah dilaporkan di antaranya sebagai antitumor, analgesik, hepatoprotektor, dan antimikrob. Selain itu, rimpang temu putih bersifat pedas, menghangatkan tubuh, dan mengatasi gangguan pencernaan seperti mual (Trubus 2010).

Peningkatan jumlah pengguna obat herbal harus didukung dengan upaya menjamin konsistensi kualitas dan khasiatnya. Khasiat dari suatu tanaman herbal ditentukan oleh kandungan senyawa tertentu. Sampai saat ini, kualitas rimpang temu putih sebagai bahan herbal ditentukan oleh kandungan senyawa aktif kurkumenol (Navarro et al. 2002), kurkuminoid dan triterpenoid (Rita 2010). Penentuan kualitas bahan herbal yang saat ini digunakan ialah dengan cara menganalisis satu per satu komponen tertentu yang terkandung di dalamnya. Komponen berbeda dianalisis dengan metode yang berbeda pula. Hal ini kurang efisien dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit.

Bahan alam mengandung berbagai komponen yang kompleks sehingga analisis kualitasnya cukup lama jika dilakukan secara konvensional. Metode konvensional tidak dapat mengidentifikasi kandungan komponen-komponen penyusun dalam sekali pengukuran dengan 1 metode. Oleh karena itu, perlu dikembangkan metode analisis yang dapat mengidentifikasi komponen penyusun bahan alam dalam sekali analisis dengan 1 metode sehingga lebih efisien. Saat ini, metode sidik jari kromatografi mulai dikembangkan sebagai metode kontrol kualitas dan telah direkomendasikan oleh World Health Organization (WHO 2000) serta oleh Food and Drugs Administration (FDA) untuk menganalisis kualitas tanaman herbal (FDA 2004). Metode ini juga direkomendasikan oleh European Medicines Agency (EMA). Sementara itu, Chinese State Food and Drug Administration (CSFDA) telah menyetujui penerapan metode ini sebagai metode standar dalam menentukan kualitas tanaman obat tradisional Cina (Jiang et al. 2009). Metode ini telah digunakan untuk kontrol kualitas tanaman obat meniran (Phyllanthus niruri L.) dengan hasil yang cukup memuaskan (Wahyuni 2010).

(12)

2

Hal ini diharapkan dapat meningkatkan dan mempermudah kontrol kualitas dari bahan baku tanaman obat herbal termasuk temu putih. Metode sidik jari KCKT juga telah terbukti dapat digunakan untuk menghubungkan komposisi kimia dengan distribusi geografis (Zhang et al. 2006).

Penelitian bertujuan menentukan kondisi optimum fase gerak KCKT untuk mendapatkan sidik jari kromatografi ekstrak temu putih yang informatif dan dapat digunakan untuk menentukan kualitas temu putih dari berbagai daerah. Kondisi parameter KCKT yang lain dibuat tetap.

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan ialah metanol, asam trifluoroasetat (TFA) 0.10% (v/v) dalam air, asetonitril (HPLC grade), etanol, 2,2-difenil-1-pikrilhidrazil (DPPH), dan asam askorbat. Sampel temu putih (C. zedoaria (Christm.) Roscoe) diambil dari 3 lokasi di daerah Bogor, yaitu dari kebun Biofarmaka IPB (Dramaga-Bogor Barat), kebun Balittro (Cimanggu-Bogor Tengah), dan kebun Sringganis (Cipaku-Bogor Selatan).

Peralatan yang digunakan ialah alat-alat kaca, penguap putar, instrumen KCKT Shimadzu LC-20AD, kolom C18 150 mm ×

4.6 mm, membran filter 0.45 µm, oven, well plate, BioTek Epoch microplate reader, dan penghomogen ultrasonik.

Lingkup Penelitian

Penentuan kondisi optimum fase gerak (Lampiran 1) diawali dengan ekstraksi simplisia temu putih dari 1 lokasi. Sampel rimpang temu putih yang telah dikurangi kadar airnya sampai di bawah 10% diekstraksi secara maserasi hingga diperoleh ekstrak pekatnya. Ekstrak tersebut digunakan untuk menentukan kondisi optimum fase gerak KCKT, yang selanjutnya digunakan untuk penentuan sidik jari KCKT ekstrak temu putih dari 3 lokasi berbeda. Setiap ekstrak juga diuji aktivitas antioksidannya dan dibuat hubungan antara pola sidik jari KCKT dan aktivitas antioksidan untuk melihat apakah ada pengaruh intensitas salah satu puncak kromatogram terhadap aktivitas antioksidan.

Preparasi Sampel

Simplisia temu putih dihaluskan, kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu 40 °C sampai kadar airnya kurang dari 10%. Rimpang yang telah dikeringkan dapat disimpan dan diekstraksi.

Penentuan Kadar Air (AOAC 2006)

Sebanyak 3 g sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam wadah yang bersih dan telah dikeringkan dalam oven bersuhu 105 °C selama 30 menit. Kemudian wadah berisi sampel dikeringkan dalam oven bersuhu 105 °C sampai diperoleh bobot relatif konstan. Kadar air sampel ditentukan 3 kali ulangan, masing-masing dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Ekstraksi Sampel (BPOM 2004)

Sebanyak 30 g sampel temu putih yang telah dikeringkan dan dihaluskan dicampurkan dengan 100 mL metanol. Campuran diaduk, lalu dibiarkan selama 6 jam dengan sesekali diaduk. Selanjutnya campuran dibiarkan selama 24 jam dan disaring. Filtrat yang dihasilkan disimpan dalam wadah yang bersih dan tertutup, sedangkan ampasnya diekstraksi kembali seperti prosedur sebelumnya sampai filtrat tidak berwarna. Filtrat hasil ekstraksi 3 ulangan digabungkan dan dipekatkan dengan penguap putar.

Penentuan Fase Gerak Optimum

Sebanyak 50 mg ekstrak pekat temu putih dilarutkan dalam 10 mL pelarut ekstraksi (metanol) kemudian disaring dengan membran penyaring 0.45 µm. Selanjutnya sidik jari temu putih dibuat dengan menggunakan KCKT. Kondisi alat yang digunakan ialah kolom C18; suhu kolom 30

(13)

3

teratur, awalnya 100% A, kemudian diubah menjadi 75% A:25% B, 50% A:50% B, 25% A:75% B, dan 0% A:100% B.

Pada elusi gradien, komposisi eluen A dan B diubah dari jumlah minimum 10% sampai maksimum 90%. Komposisi eluen diubah berdasarkan kromatogram yang dihasilkan. Apabila puncak kromatogram menumpuk di awal, maka komposisi eluen yang berinteraksi kuat dengan komponen ekstrak dikurangi. Sebaliknya, jika puncak menumpuk di akhir, maka komposisi eluen A dan B diubah secara perlahan. Apabila resolusi kurang baik, maka digunakan eluen yang mengandung TFA 0.10%. Kromatogram terbaik adalah yang menunjukkan jumlah puncak terbanyak dan resolusi yang cukup baik.

Uji Aktivitas Antioksidan (Batubara et al. 2009)

Aktivitas antioksidan temu putih ditentukan dengan metode penangkapan radikal bebas stabil DPPH. Ekstrak temu putih dilarutkan dalam etanol sehingga diperoleh konsentrasi 1.67, 3.34, 5.00, 6.67, 16.67, 33.33, 66.67, 100.00, dan 133.33 µg/mL. Kemudian masing-masing 100 µL larutan ekstrak sampel dimasukkan ke dalam well plate dan ditambahkan 100 µL DPPH (2.0 mg DPPH dalam 25 mL etanol), diinkubasi selama 30 menit. Setiap campuran diukur serapannya dengan plate reader pada panjang gelombang 514 nm. Aktivitas inhibisi dihitung dengan persamaan berikut:

Abs. sampel adalah serapan sampel temu putih dan DPPH, Abs. kontrol adalah serapan kontrol positif (asam askorbat) dan DPPH, dan Abs. blangko adalah serapan blangko (DPPH dalam etanol).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Determinasi dan Ekstraksi Temu Putih

Tanaman temu putih dari 3 lokasi berbeda di daerah Kota dan Kabupaten Bogor dideterminasi di Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong, Bogor untuk menentukan jenis spesiesnya. Hasil determinasi memastikan identitas tanaman sebagai temu putih (C.

zedoaria (Christm.) Roscoe) dan termasuk suku Zingiberaceae.

Bagian tanaman yang digunakan untuk penelitian adalah rimpangnya (Gambar 2). Rimpang temu putih dipanen pada usia 8 sampai 11 bulan, kemudian dipotong-potong kecil dengan alat pemotong baja nirkarat dan dikeringkan dengan bantuan sinar matahari pagi dan sore sampai kadar air kurang dari 10.00%. Pengurangan kadar air bertujuan mengurangi risiko kerusakan sampel temu putih oleh jamur dan bakteri yang menyukai kelembapan. Setelah kadar air kurang dari 10.00%, simplisia dihaluskan menjadi serbuk (Gambar 3) untuk meningkatkan luas permukaan yang diekstraksi sehingga proses ekstraksi berlangsung lebih optimum.

Metode ekstraksi maserasi pada suhu ruang digunakan untuk menghindari kerusakan komponen kimia dalam sampel temu putih akibat suhu tinggi. Pelarut metanol dipilih karena dapat melarutkan hampir semua komponen di dalam sampel sehingga sangat baik untuk analisis sidik jari KCKT yang mengharuskan seluruh komponen sampel terekstraksi. Selain itu, pelarut ini juga telah digunakan oleh Sumarny (2006) untuk mengekstraksi komponen polar pada rimpang temu putih. Hasil percobaan menunjukkan bahwa rendemen ekstrak tertinggi dihasilkan oleh temu putih yang berasal dari Dramaga,

Gambar 2 Rimpang temu putih.

(a) (b)

(14)

4

kemudian Cimanggu, dan yang paling rendah ialah dari Cipaku (Tabel 1).

Fase Gerak Optimum

Pengoptimuman fase gerak serta pemilihan cara deteksi mengacu pada beberapa penelitian analisis sidik jari KCKT sebelumnya. Panjang gelombang deteksi 254 nm dipilih berdasarkan hasil penelitian Alaerts et al. (2007), Hoai et al. (2009), dan Garza-Juárez et al. (2011). Pertimbangan lain adalah perkiraan komponen kimia yang terkandung di dalam sampel, yaitu senyawa aromatik turunan benzena. Transisi elektronik

π  π*

pada cincin benzena akan memunculkan serapan di sekitar panjang gelombang 254 nm. Panjang gelombang ini juga cukup peka terhadap adanya substituen (Harvey 2000). Pengoptimuman hanya dilakukan terhadap kondisi fase gerak KCKT, kondisi lain seperti laju alir dan suhu kolom dibuat tetap. Fase gerak yang dipilih didasarkan pada hasil penelitian Garza-Juárez et al. (2011) yang menggunakan fase gerak TFA 0.10% dan metanol, Tao et al. (2011) yang menggunakan asetonitril dan air deionisasi, dan Jang et al. (2007) yang menggunakan asetonitril, metanol, dan air deionisasi dengan ditambahkan asam. Ketiga penelitian tersebut menghasilkan sidik jari yang baik dan informatif. Fase gerak yang digunakan pada penelitian ini ialah campuran metanol, TFA 0.10% dalam air, dan asetonitril. Selain merujuk penelitian terdahulu, pemilihan fase gerak tersebut didasarkan pada sifat polar ketiganya sehingga lazim digunakan pada KCKT fase terbalik. Fase diam yang digunakan bersifat nonpolar, yaitu C18. Ketiga pelarut memiliki

selektivitas berlainan dalam fungsinya sebagai fase gerak.

Metode elusi isokratik dan gradien digunakan untuk pengoptimuman fase gerak. Metode isokratik dilakukan terlebih dahulu untuk melihat pola awal sidik jari yang dihasilkan dari setiap eluen dengan komposisi tertentu sebagai dasar penentuan program

gradien yang akan digunakan untuk mendapatkan sidik jari KCKT yang baik. Hasil percobaan menunjukkan bahwa saat metanol 100% digunakan sebagai eluen isokratik, kromatogram yang dihasilkan kurang baik karena hanya menghasilkan sedikit puncak. Semua komponen menumpuk di 1 puncak pada waktu retensi yang rendah (Gambar 4a). Hal ini disebabkan oleh sifat metanol yang cenderung semipolar sehingga dapat berinteraksi dengan hampir semua komponen ekstrak. Akibatnya, komponen ekstrak terbawa dengan cepat bersama fase gerak metanol pada waktu retensi kurang dari 5 menit. Asetonitril memiliki kepolaran yang mirip dengan metanol sehingga pada penelitian ini tidak digunakan sampai komposisi 100%, tetapi hanya dikombinasikan dengan pelarut lainnya. Perubahan komposisi metanol-asetonitril Tabel 1 Rendemen ekstrak temu putih basah

hasil maserasi dalam metanol

Sampel temu putih

Rendemen (%) Rerata (%) U1 U2 U3

Cipaku 8.80 9.51 8.54 8.95 Cimanggu 9.90 9.95 10.33 10.06 Dramaga 17.18 18.05 19.03 18.09

Ket. U1: ulangan 1, U2: ulangan 2, U3: ulangan 3

(a)

(b)

(c)

Gambar 4

Kromatogram hasil elusi isokratik. Fase gerak metanol (a), metanol-asetonitril (50:50) (b), metanol-air (50:50) (c).
(15)

5

menjadi 50:50 (Gambar 4b) dan 25:75 (Lampiran 2a) juga hanya menghasilkan 1 puncak dengan intensitas yang tinggi.

Interaksi yang cukup rendah metanol dan asetonitril dengan fase diam disebabkan oleh sifat semipolar kedua fase gerak tersebut berdasarkan nilai indeks kepolaran, yaitu metanol 5.1 dan asetonitril 5.8 (Harvey 2000), sedangkan fase diam C18 bersifat nonpolar.

Sebaliknya, interaksi relatif lebih kuat kedua pelarut tersebut dengan komponen ekstrak menyebabkan seluruh komponen keluar bersamaan dengan pelarut dalam waktu yang relatif cepat. Oleh karena itu, asetonitril kemudian digantikan dengan air karena interaksi air cukup rendah dengan komponen organik (Dong 2006). Selain itu, pada umumnya KCKT fase terbalik menggunakan campuran air dan pelarut organik sebagai fase geraknya.

Kromatogram yang dihasilkan oleh fase gerak metanol-air (50:50) menunjukkan 3 puncak yang kurang tajam (Gambar 4c). Demikian pula saat komposisi metanol-air diubah menjadi 25:75, pemisahan masih kurang baik (Lampiran 2b). Penggunaan air sebagai fase gerak memunculkan lebih banyak puncak kromatogram dibandingkan dengan menggunakan metanol dan asetonitril. Hal ini disebabkan karena perbedaan nilai indeks kepolaran antara air dan metanol. Air memiliki indeks kepolaran 10.2 (Harvey 2000) sehingga lebih cepat keluar dari kolom dibandingkan dengan metanol dan berinteraksi lemah dengan komponen ekstrak yang bersifat nonpolar. Namun, resolusi puncak masih rendah sehingga sebagian bertumpuk. Oleh karena itu, metode gradien digunakan untuk meningkatkan jumlah puncak dan juga resolusinya.

Elusi gradien memiliki keunggulan dibandingkan dengan elusi isokratik. Sifat kepolaran fase gerak yang terus diubah secara sistematis seiring waktu menyebabkan beberapa komponen dengan sifat kepolaran yang relatif berbeda akan dapat terpisahkan satu sama lain. Elusi gradien dengan fase gerak metanol-air menunjukkan kromatogram yang lebih baik dibandingkan dengan metode isokratik, namun resolusinya masih kurang baik (Gambar 5a). Untuk lebih meningkatkan resolusi dan jumlah puncak, fase gerak air ditambahkan bahan lain. Pada KCKT fase terbalik, asam asetat, asam format, asam fosfat, atau TFA 0.10% ditambahkan. Berdasarkan Dong (2006), TFA dapat meningkatkan waktu retensi komponen lebih baik daripada asam format. Asam

trifluoroasetat dan asam format merupakan agen pasangan ion (ion pairing agent).

(a)

(b)

(c)

Gambar 5

Kromatogram hasil elusi dengan program gradien. Dimulai dengan metanol-air (75:25), diubah menjadi 55:45 dalam 5 menit, lalu 45:55 dalam 15 menit, lalu 25:75 dalam 15 menit dan ditahan 25 menit (a). Dimulai dengan TFA 0.10%-asetonitril (70:30) selama 5 menit, diubah menjadi 30:70 dalam 35 menit, ditahan 5 menit, lalu kembali ke kondisi awal dalam 20 menit, ditahan 5 menit (b). Dimulai dengan TFA 0.10%-asetonitril (90:10), diubah dalam 12 menit menjadi 80:20 lalu dalam 38 menit menjadi 40:60, sebelum kembali ke kondisi awal dalam 10 menit, ditahan 5 menit (c).
(16)

6

Peningkatan waktu retensi menyebabkan komponen-komponen ekstrak keluar dari kolom tidak secara bersamaan dan secara langsung akan meningkatkan resolusi dari puncak-puncak yang dihasilkan.

Upaya meningkatkan resolusi dan jumlah puncak juga dilakukan dengan mengganti metanol dengan asetonitril. Asetonitril lebih polar dan lebih selektif daripada metanol sehingga lebih meningkatkan jumlah puncak dan resolusi. Selain itu, asetonitril melarutkan dengan lebih baik senyawa organik. Daya larut menunjukkan kemampuan suatu pelarut untuk mengelusi zat terlarut dari kolom (Dong 2006). Dengan asetonitril, resolusi kromatogram menjadi lebih baik (Gambar 5b), namun masih belum baik untuk analisis sidik jari. Modifikasi program elusi gradien selanjutnya dilakukan dengan mengatur perubahan komposisi TFA 0.10% dan asetonitril. Dihasilkan kromatogram yang ditunjukkan pada Lampiran 3.

Berdasarkan hasil program gradien tersebut, dilakukan sedikit perubahan kembali supaya waktu retensi meningkat, yaitu dengan cara meningkatkan jumlah eluen TFA pada awal program menjadi TFA-asetonitril 90:10 (Gambar 5c). Hasil yang diperoleh dengan perubahan tersebut cukup baik untuk digunakan sebagai sidik jari KCKT sehingga dapat dikatakan bahwa sistem elusi gradien yang diawali dengan komposisi TFA 0.10% dan asetonitril 90:10 merupakan kondisi fase gerak optimum pada penentuan sidik jari.

Jumlah puncak kromatogram dihitung berdasarkan kriteria nisbah sinyal terhadap derau (S/N). Suatu puncak diakui dan dihitung jika memiliki nisbah S/N ≥ 3. Batas tersebut lazim digunakan dalam menentukan limit deteksi (Dong 2006). Jumlah puncak pada setiap kromatogram diberikan pada Tabel 2. Berdasarkan data tersebut, Gambar 5c

memiliki jumlah puncak kromatogram yang paling banyak, yaitu 27 puncak.

Kondisi optimum fase gerak KCKT yang telah ditentukan kemudian digunakan untuk membuat sidik jari ekstrak temu putih dari 3 lokasi di Kota dan Kabupaten Bogor. Pola sidik jari yang diperoleh (Gambar 6) dibandingkan kemiripanya antar lokasi. Tabel 2 Jumlah puncak sidik jari pada setiap kromatogram KCKT

Komposisi eluen Komposisi eluen

awal Metode

Jumlah

puncak Ket. MeOH-ACN 100:0 Isokratik 1 Gambar 4a MeOH-ACN 50: 50 Isokratik 1 Gambar 4b MeOH-Air 50:50 Isokratik 3 Gambar 4c MeOH-ACN 25:75 Isokratik 1 Lampiran 2a

MeOH-Air 25:75 Isokratik 1 Lampiran 2b

MeOH-Air 75:25 Gradien 6 Gambar 5a

TFA0.10%-ACN 70:30 Gradien 15 Gambar 5b TFA0.10%-ACN 90:10 Gradien 24 Lampiran 3A TFA0.10%-ACN 80:20 Gradien 24 Lampiran 3B TFA0.10%-ACN 90:10 Gradien 27 Gambar 5c

Waktu (menit)

Gambar 6 Sidik jari KCKT temu putih Cipaku (a), Cimanggu (b), dan Dramaga (c) menggunakan kondisi fase gerak optimum. Kotak bergaris merah merupakan puncak yang diduga memiliki aktivitas antioksidan.

(17)

7

Pola sidik jari yang dihasilkan relatif sama, perbedaan hanya terletak pada intensitas puncak. Setiap puncak menandakan senyawa yang berbeda, dan tinggi puncak menunjukkan jumlah senyawa tersebut dalam sampel. Senyawa yang memiliki waktu retensi paling besar bersifat nonpolar atau berinteraksi kuat dengan fase diam sehingga lebih lama keluar dari kolom. Sebaliknya, senyawa dengan waktu retensi lebih kecil bersifat polar sehingga berinteraksi dengan fase gerak yang polar dan terelusi lebih cepat. Senyawa semipolar akan terelusi di antara kedua waktu retensi tersebut.

Aktivitas Antioksidan

Ekstrak temu putih juga diuji aktivitas antioksidannya dengan metode penghambatan radikal DPPH, lalu hasilnya dihubungkan dengan sidik jari KCKT yang diperoleh. Sidik jari KCKT yang informatif dapat digunakan untuk menentukan kualitas sampel yang diuji. Salah satu ciri kualitas temu putih adalah aktivitas antioksidannya. Berdasarkan Mau et al. (2003), senyawa yang diduga berperan dalam aktivitas antioksidan temu putih adalah 5-isopropilidena-3,8-dimetil-1(5H)-azulenon, sedangkan menurut Nahak & Sahu (2011), senyawa golongan fenol dan kurkuminoid juga berpengaruh terhadap aktivitas antioksidan temu putih.

Metode penghambatan radikal DPPH telah digunakan oleh Paramapojn et al. (2009) dan Dhal et al. (2012) untuk menentukan aktivitas antioksidan ekstrak temu putih. Selain itu, Garza-Juárez et al. (2011) dan Hoai et al. 2009 juga melaporkan penggunaan metode penghambatan radikal DPPH. Radikal DPPH stabil dan berwarna ungu. Senyawa antioksidan menghambat radikal DPPH dengan cara mendonorkan atom hidrogennya sehingga terbentuk senyawa bukan-radikal dengan warna kuning, yaitu 2,2-difenil-1-pikrilhidrazina (Nahak & Sahu 2011). Penurunan intensitas serapan larutan DPPH sebanding dengan aktivitas penghambatan oleh komponen sampel, yang dinyatakan sebagai nilai IC50, yakni konsentrasi temu

putih yang dapat menghambat 50% aktivitas radikal DPPH. Semakin kecil nilai IC50,

semakin besar kemampuannya sebagai antioksidan. Aktivitas antioksidan temu putih yang berasal dari Dramaga lebih tinggi dibandingkan dengan yang dari Cimanggu dan Cipaku. Nilai IC50-nya terendah, yaitu

182.01 µg·mL-1, sementara dari Cimanggu 219.99 µg·mL-1 dan dari Cipaku 244.12 µg· mL-1.

Hubungan antara pola sidik jari KCKT dan aktivitas antioksidan dapat diperkirakan dari intensitas puncak atau % area pada sidik jari KCKT. Aktivitas penghambatan radikal DPPH dipengaruhi oleh jumlah senyawa antioksidan dalam sampel, maka intensitas (% area) puncak kromatogram berbanding lurus dengan aktivitas antioksidan atau berbanding terbalik dengan nilai IC50. Untuk menentukan

puncak yang berpengaruh terhadap aktivitas antioksidan, dilakukan analisis dengan membuat kurva hubungan antara % area puncak-puncak yang diduga berpengaruh pada aktivitas antioksidan dan nilai IC50.

Berdasarkan data % area setiap puncak sidik jari KCKT temu putih (Lampiran 4), diperoleh 3 buah puncak yang memiliki linearitas cukup baik dengan nilai R2 lebih besar daripada hasil yang diperoleh Nahak & Sahu (2011) (Tabel 3). Nahak & Sahu (2011) memperoleh nilai R2 sebesar 0.8610 pada penentuan hubungan aktivitas antioksidan ekstrak tanaman spesies Curcuma dengan kandungan fenol, dan 0.7350 dengan kandungan kurkumin. Dengan demikian diperkirakan ketiga puncak tersebutlah yang berpengaruh besar terhadap aktivitas antioksidan temu putih. Puncak tersebut memiliki waktu retensi yang kecil, maka diperkirakan merupakan senyawa yang cenderung polar dan bukan senyawa 5-isopropilidena-3,8-dimetil-1(5H)-azulenon yang bersifat nonpolar. Senyawa yang cenderung polar dan telah dilaporkan terkandung dalam temu putih serta diduga berpengaruh pada aktivitas antioksidan ialah senyawa golongan fenol dan kurkuminoid (Nahak & Sahu 2011).

Menurut Paramapojn et al. (2009),

Tabel 3 Hubungan % area puncak terhadap nilai IC50

tR (menit)

% Area

R2 Cipaku Cimanggu Dramaga

11.180-11.484 2.114 2.208 7.913 0.8614

12.039-12.337 1.349 1.485 4.517 0.8775

12.837-13.091 1.273 2.238 4.890 0.9819

(18)

8

komponen kurkuminoid yang berpengaruh pada aktivitas antioksidan temu putih adalah kurkumin, demetoksikurkumin, dan bisdemetoksikurkumin. Kurkumin merupakan komponen kurkuminoid yang memiliki aktivitas antioksidan terbesar, sedangkan bisdemetoksikurkumin terkecil. Ketiga puncak pada rentang waktu retensi 11.180 – 13.091 menit, yang ditunjukkan oleh garis merah pada Gambar 6, diduga merupakan senyawa demetoksikurkumin, bisdemetoksi kurkumin, dan kurkumin.

Kandungan lain temu putih selain kurkuminoid di antaranya ialah senyawaan fenolik. Komponen fenolik tersebut di antaranya ialah antosianin. Komponen fenolik tersebut diketahui ikut berpengaruh pada aktivitas antioksidan dalam temu putih (Cho et al. 2011).

Tabel 3 memperlihatkan nilai R2 terbesar dihasilkan oleh puncak dengan waktu retensi 12.837 – 13.091 menit, yaitu 0.9819. Dengan demikian diperkirakan senyawa yang memiliki aktivitas antioksidan terbesar dalam temu putih adalah yang memiliki waktu retensi 12.866 menit pada sidik jari temu putih dari Dramaga, 13.091 menit pada sidik jari temu putih Cimanggu, dan 12.837 menit pada sidik jari temu putih Cipaku. Berdasarkan data hubungan antara % area dan nilai IC50, dapat

dikatakan bahwa sidik jari KCKT yang dihasilkan cukup baik dan kondisi fase gerak yang digunakan untuk membuat sidik jari tersebut merupakan kondisi optimum.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Fase gerak yang menghasilkan sidik jari KCKT terbaik adalah elusi gradien dengan campuran fase gerak TFA 0.10% dalam air (A) dan asetonitril (B) dengan sistem gradien dimulai dengan 90% A:10% B, kemudian diubah menjadi 80% A:20% B dalam 12 menit, lalu menjadi 40% A:60% B dalam 38 menit, selanjutnya kembali ke kondisi awal dalam 10 menit, ditahan selama 5 menit. Temu putih dari Dramaga memiliki aktivitas penghambatan terhadap DPPH tertinggi. Berdasarkan sidik jari KCKT pada kondisi optimum, puncak kromatogram yang berpengaruh pada aktivitas antioksidan adalah yang memiliki waktu retensi 11.180 – 13.091 menit.

Saran

Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengidentifikasi puncak-puncak kromatogram yang diduga memiliki aktivitas antioksidan dan memastikan jenis senyawa tersebut sehingga dapat dijadikan senyawa penanda untuk aktivitas antioksidan temu putih. Selain itu, sebaiknya dilakukan modifikasi parameter kondisi KCKT lainnya untuk mendapatkan pola sidik jari terbaik.

DAFTAR PUSTAKA

[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2006. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemist. Ed ke-18. Washington DC: AOAC Int.

Alaerts G, Matthijs N, Smeyers-Verbeke J, Heyden YV. 2007. Chromatographic fingerprint development for herbal extracts: A screening and optimization methodology on monolithic columns. J Chromatogr A 1172:1-8.

[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2004. Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia. Jakarta: BPOM.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Indikator Kesehatan 1995-2008. [terhubung berkala]. http://www.bps.go.id. [28 Mar 2012].

Batubara I, Mitsunaga T, Ohashi H. 2009. Screening antiacne potency of Indonesian medicinal plants: antibacterial, lipase inhibition, and antioxidant activities. J Wood Sci 55:230-235.

Cho WY, Kim SJ. 2011. Anti-oxidative actions of Curcuma zedoaria extract with inhibition of inducible nitric oxide synthase (iNOS) induction and lipid peroxidation. J Med Plants Res 6:3837-3844.

Dhal Y, Deo B, Sahu RK. 2012. Comparative antioxidant activity of non-enzymatic and enzymatic extract of Curcuma zedoaria, Curcuma angustifola, and Curcuma caesia. Int J Plant, Animal and Environ Sci 2(4):232-238.

Dong MW. 2006. Modern HPLC for Practicing Scientist. New Jersey: J Wiley. [FDA] Food and Drug Administration. 2004.

Guidance for Industry-Botanical Drug Products. Rockville: US Department of Health and Human Services.

(19)

9

Torres NW. 2011. Correlation between chromatographic fingerprint and antioxidant activity of Turnera diffusa (Damiana). Planta Med 77:958-963. Harvey D. 2000. Modern Analytical

Chemistry. New York: McGraw-Hill. Hoai NN, Dejaegher B, Tistaert C, Hong

VNT, Rivière C, Chataigné G, Phan VK, Chau VM, Quetin-Lerclercq J, Heyden YV. 2009. Development of HPLC fingerprint for Mallotus species extracts and evaluation of the peaks responsible for their antioxidant activity. J Pharmaceut & Biomed Anal 50:753-763.

Jang HD, Chang KS, Huang YS, Hsu CL, Lee SH, Su MS. 2007. Principal phenolic phytochemical and antioxidant activities of three Chinese medicinal plants. Food Chem 103:749-756.

Jiang Y, David B, Tu P, Barbin Y. 2009. Recent analytical approaches in quality control of traditional Chinese medicines. [ulas balik]. Anal Chim Acta 657:9-18. [Kemenkes RI] Kementerian Kesehatan

Republik Indonesia. 2011. Indonesia Cinta Sehat, Saatnya Jamu Berkontribusi. [terhubung berkala]. http://www.depkes. go.id [28 Mar 2012].

Mau JL et al. 2003. Composition and antioxidant activity of the essential oil from Curcuma zedoaria. Food Chem 82:583-591.

Nahak G, Sahu RK. 2011. Evaluation of antioxidant activity in ethanolic extracts of five Curcuma species. Int Res J Pharm 2:243-248.

Navarro DF et al. 2002. Phytochemical analysis and analgesic properties of Curcuma zedoaria grown in Brazil. Phytomedicine 9:427-432.

Paramapojn S, Gritsanapan W. 2009. Free radical scavenging activity determination and quantitative analysis of Curcuminoids in Curcuma zedoaria rhizome extracts by HPLC method. Curr Sci 97:1069-1073. Rita WS. 2010. Isolasi, identifikasi, dan uji

aktivitas antibakteri senyawa golongan triterpenoid pada rimpang temu putih (Curcuma zedoaria (Berg) Roscoe). J Kim 4:20-26.

Sumarny R. 2006. Karakteristik kimiawi, aktivitas antiproliferasi sel lestari tumor dan aktivitas fagositosis secara in-vitro dari fraksi bioaktif rimpang temu putih (Curcuma zedoaria (Christm) Roscoe) [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Tao J, Qian C, Tang Z, Chen P, Wang Y, Han Y. 2011. Chemical fingerprint technique and its aplication in the classification and quality assessment of the Gastrodia tuber. African J Biotechnol 10:16746-16756. Trubus Info Kit. 2010. Herbal Indonesia

Berkhasiat, Bukti Ilmiah & Cara Racik. Vol 08. hlm 469-471.

[WHO] World Health Organization. 2008. Traditional Medicine. [terhubung berkala]. http://www.who.int/mediacentre/factsheets /fs134/en/ [28 Mar 2012].

[WHO] World Health Organization. 2000. Development of national policy on traditional medicine. Di dalam: Report of Workshop on Development of National Policy on Traditional Medicine; Beijing, 11-15 Okt 1999.

Wahyuni WT. 2010. Pengoptimuman dan validasi sidik jari kromatografi cair kinerja tinggi ekstrak Phyllanthus niruri L [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Wilson B et al. 2005. Antimicrobial activity of Curcuma zedoaria and Curcuma malabarica tubers. J Ethnopharmacol 99:147-151.

(20)
(21)

11

Lampiran 1 Bagan alir penelitian

Dihaluskan/diiris-iris

Pengeringan sampai

kadar air <10 %

Ekstraksi dengan

metanol (Maserasi)

Pemekatan

dengan

penguap putar

Pengoptimuman

fase gerak dan

kondisi KCKT

Serbuk temu putih

Rimpang temu putih

dari 3 lokasi

Rimpang temu

putih kering

Ekstrak temu putih

Ekstrak pekat temu putih

Kondisi optimum

KCKT

Sidik jari kromatografi

temu putih

Uji aktivitas

antioksidan

Penentuan kadar air

Analisis data

(22)

12

Lampiran 2 Kromatogram hasil elusi isokratik dengan komposisi eluen

metanol-asetonitril (25:75) (a) dan metanol-air (25:75) (b)

(b)

(a)

Waktu (menit)

In

ten

sitas

(

m

V)

Waktu (menit)

In

ten

sitas

(

m

(23)

13

Lampiran 3

Kromatogram hasil elusi gradien dimulai dengan TFA

0.10%-asetonitril (90:10), diubah menjadi 78:22 dalam 12 menit dan

ditahan selama 20 menit, lalu menjadi 70:30 dalam 20 menit,

60:40 dalam 15 menit berikutnya, dan akhirnya kembali ke

kondisi awal dalam 10 menit (A); dimulai dengan TFA

0.10%-asetonitril (80:20), kemudian menjadi 68:32 dalam 12 menit,

ditahan selama 20 menit, 60:40 dalam 8 menit, 50:50 dalam 15

menit, dan kembali ke kondisi awal dalam waktu 10 menit (B).

(A)

(B)

In

ten

sitas

(

m

V)

In

ten

sitas

(

m

V)

Waktu (menit)

(24)

14

Lampiran 4

% area puncak kromatogram yang memiliki intensitas tinggi dari 3

sampel temu putih

t

R

(menit)

% Area

Cipaku

Cimanggu

Dramaga

3.956-4.461

5.081

3.054

15.487

4.991-5.702

2.683

1.464

6.102

11.180-11.484

2.114

2.208

7.913

12.039-12.337

1.349

1.485

4.517

12.837-13.091

1.273

2.238

4.890

22.663-22.730

3.706

2.425

5.877

25.106-25.135

2.588

2.303

6.115

26.115-26.126

6.681

5.612

9.792

28.902-28.934

3.319

2.378

1.185

37.571-37.678

3.248

3.362

0.244

40.341-40.426

6.311

6.114

4.857

43.637-44.276

1.526

8.887

5.294

(25)

15

Lampiran 5 Hasil uji aktivitas antioksidan metode DPPH

Sampel

IC50 (µg·mL

-1

)

IC

50

rerata

(µg·mL

-1

)

Ulangan 1

Ulangan 2

Temu putih Cipaku

257.03

231.20

244.12

Temu putih Cimanggu

213.04

226.93

219.99

Gambar

Gambar 2  Rimpang temu putih.
Gambar 4   Kromatogram
Gambar 5   Kromatogram
Gambar 5c

Referensi

Dokumen terkait

Human amniotic fluid stem cells have a unique potential to accelerate cutaneous wound healing with reduced fibrotic scarring like a fetus.. Marie Fukutake 1  · Daigo Ochiai 1

Tabel jumlah buku pada Perpustakaan Daerah Nusa Tenggara Timur, tabel jumlah sekolah dan perguruan tinggi di Kotamadya Kupang tahun 2007, tabel jumlah toko buku di Kotamadya

Penelitian ini dilakukan pada Kantor PT. Telkom.Tbk Devisi Regional I Sumatera. Data yang dipergunakan adalah data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari

Sehubungan dengan telah selesainya keseluruhan tahapan proses Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) Kuota Tahun 2015 di LPTK IAIN Syekh Nurjati Cirebon, maka kami

1) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam menangani konflik di Darfur-Sudan menggelar dua operasi penjagaan perdamaian yaitu United Nation Mission in the Sudan (UNMIS) dan

Berdasarkan hasil analisa data dan pembahasan terhadap semua variabel pada penelitian ini maka dapat ditarik kesimpulan bahwa penggunaan tepung limbah labu kuning

Qur‟an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya, sesuai dengan

Mengakulturasi budaya olahraga yang berasal dari Amerika yang sudah menjadi olahraga global dengan pendekatan elemen visual Indonesia yang sudah ada diharapkan dapat