• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Competitiveness Improvement Strategy Of Aloe Vera Agroindustry In Pontianak Municipality

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The Competitiveness Improvement Strategy Of Aloe Vera Agroindustry In Pontianak Municipality"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI PENINGKATAN DAYASAING AGROINDUSTRI

LIDAH BUAYA DI KOTA PONTIANAK

ALFATH DESITA JUMIAR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Strategi Peningkatan Dayasaing Agroindustri Lidah Buaya di Kota Pontianak adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)
(5)

RINGKASAN

ALFATH DESITA JUMIAR. Strategi Peningkatan Dayasaing Agroindustri Lidah Buaya di Kota Pontianak. Dibimbing oleh HENY KUSWANTI DARYANTO dan LUKMAN MOHAMMAD BAGA.

Kota Pontianak merupakan salah satu sentra agroindustri lidah buaya di Indonesia yang banyak berkembang pada skala industri kecil dan rumah tangga. Namun agroindustri ini masih menghadapi berbagai permasalahan, seperti sulitnya memasarkan produk, rendahnya teknologi produksi, rendahnya teknik pengolahan dan kualitas produk, terbatasnya modal dan akses pasar, serta penjualan yang masih berdasarkan pesanan, sehingga akan mempengaruhi dayasaing dan menyebabkan agroindustri lidah buaya belum berkembang. Penelitian ini bertujuan (1) menganalisis kondisi dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak, (2) menganalisis faktor-faktor penentu dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak, (3) merumuskan prioritas strategi peningkatan dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak.

Untuk menganalisis kondisi dayasaing agroindustri lidah buaya digunakan pendekatan teori Diamond Porter. Sedangkan untuk menganalisis faktor-faktor penentu dayasaing dan perumusan strategi peningkatan dayasaing agroindustri lidah buaya digunakan Analytical Hierarchy Process (AHP), dengan struktur hirarki pada AHP berdasarkan pada teori Diamond Porter. Data AHP diperoleh dari para pakar yang mengisi kuesioner dengan memberikan skala banding berpasangan, selanjutnya data diolah dengan Expert Choice 2000.

Hasil pembahasan menunjukkan bahwa agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak belum memiliki dayasaing, karena hanya satu pasang komponen utama yang memiliki keterkaitan yang saling mendukung diantara enam pasang komponen utama pada sistem dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak. Sedangkan faktor penentu dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak adalah kondisi permintaan domestik dengan sub faktor komposisi permintaan domestik, dan kondisi sumberdaya dengan sub faktor sumberdaya manusia. strategi yang diprioritaskan untuk peningkatan dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak adalah (1) memproduksi produk dengan kualitas yang sesuai dengan permintaan pasar lokal dan ekspor, (2) menciptakan inovasi produk untuk semua segmen permintaan pasar.

Kebijakan yang sebaiknya perlu dilakukan oleh pemerintah dalam upaya pengembangan agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak adalah (1) menyusun program kebijakan mengenai penetapan standarisasi produk skala nasional, (2) melakukan penyuluhan dan pembinaan secara intensif terhadap penerapan standar operasional produksi (SOP), dan (3) pemerintah kerjasama dengan pelaku usaha dalam melakukan pelatihan atau seminar mengenai kewirausahaan agar wawasan pengusaha menjadi terbuka untuk menerima dan melakukan hal-hal baru serta mampu berinovasi menciptakant produk yang dibutuhkan pasar.

(6)

SUMMARY

ALFATH DESITA JUMIAR. The Competitiveness Improvement Strategy Of Aloe Vera Agroindustry In Pontianak Municipality. Supervised by HENY KUSWANTI DARYANTO and LUKMAN MOHAMMAD BAGA.

Pontianak is one of the central productions of aloe vera in Indonesia which is mostly grown on a small and home scale industries. However, these agro-industry still face various problems, such as the difficulty of marketing product, lack of production technology, low of product quality and limited production capital, thereby affecting competitiveness and lead to the agro-industry has not developed. The purpose of this study were to (1) analyze the competitiveness condition of aloe vera agroindustry in Pontianak, (2) identify the factors that affect competitiveness of aloe vera agro-industry in Pontianak, (3) formulate a strategy to improve the competitiveness of aloe vera agro-industry for development of aloe vera agro-industry in Pontianak.

Competitiveness analysis of the aloe vera agroindustrial conditions use Porter's Diamond theory approach. While to analysis of competitiveness determinats and the strategies formulation for improving competitiveness of aloe vera agroindustry uses Analytical Hierarchy Process (AHP), the hierarchical structure of the AHP is based on Porter‟s Diamond theory. AHP data obtained from experts who fill out a questionnaire in the form of pairwise comparisons assessment, then the data is processed using Expert Choice 2000

The result descriptive analysis showed that agroindustry aloe vera in Pontianak does not have competitiveness, because only one pair of main components which has a mutually supportive relationship among the six pairs of the main components in the system competitiveness of aloe vera agroindustry in Pontianak. Whereas the determinants factor in the competitiveness of aloe vera agroindustry in Pontianak are domestic demand conditions with subfactor home demand composition, and condition of the resource with the subfactor of human resource. Strategy priorities to improve competitiveness of aloe vera agroindustry in Pontianak are (1) to produce high products in accordance with the local and export market demand, (2) to create innovative products for all segments of the market demand.

Polices which can be conducted by government in developing aloe vera agroindustry in Pontianak are (1) to design policy program of product standardization in national scale, (2) to conduct intensive counseling and guidance on the implementation of the operational standards of production (SOP), and (3) government cooperation with businesses in conducting trainings or seminars on entrepreneurship, in order to be open to entrepreneurs insight receiving and doing new things and be able to innovate to create the required product market

(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(8)
(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Agribisnis

STRATEGI PENINGKATAN DAYASAING AGROINDUSTRI

LIDAH BUAYA DI KOTA PONTIANAK

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

(10)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Suharno, M.Adev

(11)
(12)

Judul Tesis : Strategi Peningkatan Dayasaing Agroindustri LIdah Buaya di Kota Pontianak

Nama : Alfath Desita Jumiar NIM : H451100411

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Heny Kuswanti Daryanto, MEc Ketua

Ir Lukman Mohammad Baga, MAEc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Agribisnis

Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(13)

PRAKATA

Puji dan Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena rahmat dan hidayah-Nya, tesis yang berjudul “Strategi Peningkatan Dayasaing Agroindustri Lidah Buaya di Kota Pontianak” dapat diselesaikan. Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik atas dukungan dan bantuan dari banyak pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, khususnya kepada:

1. Dr Ir Heny Kuswanti Daryanto, MEc selaku Ketua Komisi Pembimbing, dan Ir Lukman Mohammad Baga, MAEc selaku Anggota Komisi Pembimbing atas segala bimbingan, arahan, motivasi dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis.

2. Dr Ir Netti Tinaprilla, MM selaku Dosen Evaluator pada pelaksanaan kolokium proposal penelitian yang telah memberikan banyak arahan dan masukan sehingga penelitian ini dapat dilaksanakan dengan baik. 3. Dr Ir Suharno, M.Adev selaku dosen penguji luar komisi dan Prof Dr Ir

Rita Nurmalina, MS selaku dosen penguji perwakilan program studi pada ujian tesis yang telah memberikan masukan dan arahan kepada penulis untuk penyempurnaan tesis.

4. Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku Ketua Program Studi Agribisnis dan Dr Ir Suharno, M.Adev selaku Sekretaris Program Studi Agribisnis, serta seluruh staf Program Studi Agribisnis atas bantuan dan kemudahan yang diberikan selama penulis menjalani pendidikan. 5. Dr Radian selaku Dosen Fakultas Pertanian Universitas Tanjung Pura,

Ika Windriatmo, SP selaku Kasi P2HP, dan ibu Utari, SP serta rekan-rekan di Aloe Vera Center atas bantuan, kesediaan dan kerjasamanya dalam memberikan data dan informasi yang diperlukan selama penelitian.

6. Bapak/Ibu pengusaha olahan lidah buaya di Kota Pontianak atas kesediaan dan kerjasamanya dalam memberikan informasi yang diperlukan selama penelitian.

7. Teman-teman seperjuangan pada Program Studi Agribisnis atas diskusi, masukan dan bantuan selama mengikuti pendidikan.

8. Penghormatan yang tinggi dan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada kedua orang tua tercinta Bustami M. Noor dan Winarti, suami tercinta Erwin Polma Panggabean, SP, serta Kakak dan Adik tercinta, yang telah memberikan dukungan selama mengikuti pendidikan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2013

(14)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR LAMPIRAN xii

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 7

Manfaat Penelitian 7

Ruang Lingkup Penelitian dan Batasan Penelitian 8 2 TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian dan Peranan Agroindustri 8

Karakteristik dan Perkembangan Agroindustri Lidah Buaya di Indonesia 9 Faktor yang Mempengaruhi Dayasaing Agroindustri 10 3 KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teoritis 14

Konsep Agroindustri 14

Konsep Dayasaing Kompetitif 14

Konsep Diamond Porter 16

Konsep Strategi 20

Kerangka Pemikiran Operasional 22

4 METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian 25

Jenis dan Sumber Data 25

Metode Pengambilan Sampel 26

Metode Pengolahan dan Analisis Data 26

Pendekatan Teori Diamond Porter (Porter’s Diamond Theory) 27

Analytical Hierarchy Process (AHP) 30

5 GAMBARAN UMUM WILAYAH KOTA PONTIANAK

Kondisi Geografi Kota Pontianak 36

Kondisi Demografi Kota Pontianak 38

Kondisi Sosial Ekonomi Kota Pontianak 39

6 PROFIL AGROINDUSTRI LIDAH BUAYA DI KOTA PONTIANAK

Sejarah dan Perkembangan Agroindustri Lidah Buaya di Kota Pontianak 41 Karakteristik Pengusaha Agroindustri Lidah Buaya di Kota Pontianak 42 Kendala Agroindustri Lidah Buaya di Kota Pontianak 47 7 DAYASAING AGROINDUSTRI LIDAH BUAYA DI KOTA PONTIANAK

Kondisi Faktor Sumberdaya 49

Sumberdaya Alam atau Fisik 49

Sumberdaya Manusia 52

Sumberdaya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 53

Sumberdaya Modal 55

(15)

Kondisi Permintaan Domestik 56

Komposisi Permintaan Domestik 56

Jumlah Permintaan dan Pola Pertumbuhan 57

Internasionalisasi Permintaan Domestik 58

Industri Terkait dan Industri Pendukung 58

Industri Terkait 59

Industri Pendukung 60

Persaingan, Struktur dan Strategi Perusahaan 61

Peran Pemerintah 61

Peran Kesempatan 62

Keterkaitan Komponen Utama Penentu Dayasaing Agroindustri

Lidah Buaya di Kota Pontianak 63

Keterkaitan Antara Komponen Kondisi Faktor Sumberdaya

dengan Kondisi Permintaan Domestik 63

Keterkaitan Antara Komponen Kondisi Permintaan Domestik

dengan Industri Terkait dan Pendukung 64

Keterkaitan Antara Komponen Industri Terkait dan Pendukung dengan Persaingan, Struktur dan Strategi Perusahaan 65 Keterkaitan Antara Komponen Persaingan, Struktur dan Strategi Perusahaan dengan Kondisi Faktor Sumberdaya 65 Keterkaitan Antara Komponen Kondisi Faktor Sumberdaya

dengan Industri Terkait dan Pendukung 66

Keterkaitan Antara Komponen Persaingan, Struktur dan Strategi Perusahaan dengan Kondisi Permintaan Domestik 66 Keterkaitan Komponen Pendukung Penentu Dayasaing Agroindustri

Lidah Buaya di Kota Pontianak 67

Peran Pemerintah Terhadap Kondisi Faktor Sumberdaya 67 Peran Pemerintah Terhadap Kondisi Permintaan Domestik 68 Peran Pemerintah Terhadap Persaingan, Struktur dan Strategi

Perusahaan 68

Peran Pemerintah Terhadap Industri Terkait dan Pendukung 68 Peran Kesempatan Terhadap Komponen Utama 69 8 STRATEGI PENINGKATAN DAYASAING AGROINDUSTRI

LIDAH BUAYA DI KOTA PONTIANAK

Prioritas Faktor Penentu Dayasaing Agroindustri Lidah Buaya

di Kota Pontianak 71

Kondisi Permintaan Domestik dengan Sub Faktor

Komposisi Permintaan Domestik 71

Kondisi Faktor Sumberdaya dengan Sub Faktor Sumberdaya

Manusia 74

Prioritas Strategi Peningkatan Dayasaing Agroindustri Lidah Buaya

di Kota Pontianak 75

Kebijakan Peningkatan Dayasaing Agroindustri Lidah Buaya

di Kota Pontianak 78

9 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan 80

(16)

DAFTAR PUSTAKA 81

LAMPIRAN 85

RIWAYAT HIDUP 97

DAFTAR TABEL

1 Perusahaan pengolah lidah buaya di Indonesia 3

2 Luas tanam dan produksi lidah buaya di Kota Pontianak 3

3 Produk turunan lidah buaya di Kota Pontianak 4

4 Responden pengusaha agroindustri lidah buaya 26

5 Nilai skala banding berpasangan 32

6 Matrik pendapat individu (MPI) 33

7 Matrik pendapat gabungan (MPG) 33

8 Nilai indeks random (RI) 35

9 Luas wilayah Kota Pontianak menurut kecamatan 37

10 Jumlah penduduk Kota Pontianak menurut kecamatan 38

11 Jumlah penduduk Kota Pontianak menurut umur 39

12 Jumlah penduduk Kota Pontianak menurut lapangan kerja 40 13 Jumlah petani menurut kecamatan di Kota Pontianak 40 14 Kelompok umur pengusaha agroindustri lidah buaya 43 15 Pengusaha agroindustri lidah buaya menurut umur 43 16 Pengusaha agroindustri lidah buaya menurut jenis kelamin 44 17 Pengusaha agroindustri lidah buaya menurut tingkat pendidikan 45 18 Pengusaha agroindustri lidah buaya menurut lama usaha 46 19 Pengusaha agroindustri lidah buaya menurut status pekerjaan 46 20 Jumlah petani dengan luas lahan lidah buaya di Kota Pontianak 50 21 Lembaga pengembangan agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak 54

DAFTAR GAMBAR

1 Kaitan agroindustri dan produksi primer dan pemasaran 1

2 Pohon industri lidah buaya 2

3 Faktor penghambat dayasaing industri 12

4 Keterkaitan pelaku kegiatan agroindustri di Indonesia 14

5 Sistem lengkap keunggulan kompetitif nasional 20

6 Manfaat strategi 22

7 Kerangka pemikiran operasional 24

8 Abstraksi sistem keputusan 35

9 Keterkaitan antar komponen penentu dayasaing pada sistem

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Nilai pangsa pasar sektoral terhadap PDB Indonesia tahun 2004-2010 85 2 Nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja subsektor agroindustri 85 3 Struktur hirarki strategi peningkatan dayasaing agroindustri lidah buaya

di Kota Pontianak 86

4 Hasil analisis AHP pada strategi peningkatan dayasaing agroindustri

lidah buaya di Kota Pontianak 90

5 Struktur hirarki hasil analisis AHP pada strategi peningkatan dayasaing

(18)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Agroindustri merupakan salah satu bagian dari subsistem agribisnis yang berperan sebagai penggerak pembangunan sektor pertanian dalam menciptakan pasar bagi hasil-hasil pertanian melalui berbagai produk olahannya. Agroindustri berperan penting dalam kegiatan pembangunan daerah, baik dalam sasaran pemerataan pembangunan, pertumbuhan ekonomi, maupun stabilitas nasional (Soekartawi 2000). Agroindustri telah memberikan kontribusi yang cukup berarti dalam perekonomian nasional, diantaranya berperan dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB). Nilai pangsa pasar subsektor agroindustri selalu memberikan kontribusi yang lebih besar dibandingkan subsektor non agroindustri yaitu sebesar 12.59 persen (Lampiran 1). Di samping itu, agroindustri juga berkontribusi dalam menciptakan nilai tambah bagi produk pertanian dan menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang cukup besar (Lampiran 2).

Agroindustri dianggap sebagai subsektor yang mampu menjadi penyangga ekonomi nasional. Namun, selama ini agroindustri belum dapat dijadikan sebagai penarik pembangunan sektor pertanian, dikarenakan masih menghadapi beberapa permasalahan yang dapat menghambat peningkatan dayasaing nasional seperti adanya hambatan dalam logistik dan infrastruktur, lambannya perkembangan teknologi, ekonomi biaya tinggi yang menyebabkan inefisiensi, hambatan pembiayaan (modal), dan hambatan regulasi (Kementerian Perindustrian 2011). Maka dari itu, penguatan subsektor agroindustri harus terus dilakukan, diantaranya dengan meningkatkan dan memperluas sarana dan prasarana fisik dan ekonomi, serta meningkatkan keterpaduan antara penyedia bahan baku, agroindustri dan lembaga pemasaran.

Gambar 1 Kaitan agroindustri dengan produksi primer dan pemasaran

Sumber: Soeharjo (1991) dalam Fajri (2000)

Agroindustri mengandalkan produk pertanian yang memiliki karakteristik mudah rusak (perishable), bulky/volumineous, tergantung kondisi alam, bersifat musiman, serta teknologi dan manajemennya akomodatif terhadap heterogenitas sumberdaya manusia (dari tingkat sederhana sampai teknologi maju). Keberlangsungan agroindustri bergantung pada produk pertanian yang terdapat di suatu daerah, salah satunya adalah agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak. Lidah buaya merupakan salah satu tanaman obat (biofarmaka) yang banyak dimanfaatkan oleh industri farmasi dan kosmetik, bahkan telah meluas pada industri makanan dan minuman, serta industri pertanian. Nilai tambah produk (added value) yang dihasilkan dari lidah buaya memiliki nilai ekonomis tinggi. Adapun potensi lidah buaya dapat dilihat pada pohon industri lidah buaya yang ditunjukkan Gambar 2.

Produksi primer oleh petani

sebagai penyedia bahan baku Agroindustri

(19)

2

Gambar 2 Pohon industri lidah buaya

Sumber: Aloe Vera Center (2004)

Secara umum, lidah buaya termasuk salah satu dari 10 jenis tanaman terlaris di dunia, pemanfaatannya telah banyak dikembangkan oleh negara-negara maju seperti Amerika, Australia, dan negara di benua Eropa sebagai bahan baku industri farmasi, kosmetik, dan pangan (Sulaeman 2004). Menurut data statistik penjualan dari Nutrition Business Journal (NBJ) bahwa produk lidah buaya mengalami peningkatan sebesar 17.13 persen, dan masuk dalam lima besar produk herbal terlaris di Amerika (Blumenthal 2012). World Health Organization (WHO) juga mencatat bahwa terdapat lebih dari 23 negara yang menggunakan lidah buaya sebagai bahan baku obat (Furnawanthi 2003). Secara komersil, lidah buaya telah dibudidayakan oleh Amerika Serikat, Meksiko, Karibia, Israel, Australia dan Thailand (Aloe Vera Center, 2004). Pasar untuk produk lidah buaya pun begitu menjanjikan, salah satunya adalah Jepang yang menjadi pengguna lidah buaya terbesar di dunia dengan kebutuhan lidah buaya segar mencapai 20 kontainer atau 300 ton per bulan yang dipasok dari Brazil dan Thailand (Hendrawati 2007). Permintaan lidah buaya segar pun datang dari negara Malaysia, Singapura, Hongkong, dan Taiwan (Aloe Vera Center 2004).

(20)

3

Lidah buaya dari Kota Pontianak merupakan varietas unggul di Indonesia dengan ukuran panjang pelepah mencapai 60 sampai 70 cm, lebar pelepah mencapai 8 sampai 13 cm, berat pelepah mencapai 0.8 sampai 1.2 kg, dan ketebalan daging atau gel lidah buaya mencapai 2 sampai 3 cm (SK Menteri Pertanian 2003). Ukuran lidah buaya ini lebih besar bila dibandingkan dengan daerah lain atau di negara lain seperti Amerika dan Cina. Ukuran lidah buaya yang dibudidayakan di Amerika dan Cina, hanya memiliki panjang pelepah mencapai 50 cm dengan berat 0.5 sampai 0.6 kilogram per pelepah, dan dipanen hanya satu kali dalam setahun karena kendala musim dingin (Sulaeman 2004). Ukuran tersebut menjadikan lidah buaya Pontianak termasuk dalam kualitas ekspor yang sesuai dengan kualifikasi permintaan pasar luar negeri.

Lidah buaya menjadi salah satu komoditas tanaman pertanian unggulan di Kota Pontianak selain jeruk siam, nenas, pepaya, pisang, dan durian (Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kota Pontianak, 2012). Produksi lidah buaya di Kota Pontianak mencapai 6 359 ton pada tahun 2012, dan diperkirakan akan meningkat di tahun berikutnya dikarenakan pemerintah daerah setempat sedang merencanakan

program “One Village One Product” untuk mengembangkan potensi daerah. Tidak hanya pengembangan dari aspek budidaya, namun juga pada tahap pengolahannya, sehingga diperkirakan akan terjadi peningkatan luas tanam lidah buaya. Adapun luas tanam dan produksi lidah buaya di Kota Pontianak dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Luas tanam dan produksi lidah buaya di Kota Pontianak Tahun Luas Tanam

(Ha)

Luas Panen (Ha)

Produktivitas (Ton/Ha)

Produksi (ton)

2004 161 137 122.88 16 835

2005 121 121 122.88 14 868

2006 100 65 122.88 7 987

2007 70 20 122.90 2 458

2008 67 45 122.89 5 530

2009 44 43 122.88 5 284

2010 37 37 122.86 4 546

2011 46 46 122.87 5 652

2012 79 46 138.24 6 359

Sumber: Aloe Vera Center Kota Pontianak (2012)

Tabel 1 Perusahaan pengolah lidah buaya di Indonesia

Perusahaan Produk Merk

PT. Libe Bumi Abadi Minuman, tea, juice Libe

PT. Niramas Utama Minuman Inaco

PT. Aloe Vera Indonesia Minuman Aloemax

PT. Aloe Nusantara Utama Jakarta Tepung -

PT. Keong Nusantara Abadi Minuman Wong coco

PT. Kavera Biotech Minuman Kavera

(21)

4

Di Indonesia, lidah buaya telah menjadi komoditi ekspor dengan negara tujuan yaitu Hongkong, Malaysia, Singapura, dan Taiwan. Lidah buaya yang diekspor berupa lidah buaya segar sebagai raw material. Selain sebagai pengekspor lidah buaya segar, Indonesia juga mengimpor tepung lidah buaya (aloe powder) dari Amerika dan Australia untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri farmasi dan kosmetik dalam negeri. Harga aloe powder yang di impor tersebut relatif mahal yakni mencapai US$ 100 sampai 150 per kilogram (Hendrawati 2007). Situasi ini sangat disayangkan mengingat besarnya potensi dan produksi lidah buaya yang ada di Indonesia khususnya yang terdapat di Kota Pontianak, belum diikuti dengan besarnya minat dalam upaya pengembangan agroindustri lidah buaya.

Perumusan Masalah

Di Kota Pontianak terdapat industri pengolahan lidah buaya yang telah ada sejak tahun 1990. Agroindustri ini berdiri pada skala usaha kecil dan rumah tangga, yang pada saat itu baru mengolah lidah buaya menjadi minuman siap saji. Kemudian pada tahun 1995 mengalami perkembangan menjadi minuman lidah buaya dalam kemasan. Hingga saat ini, agroindustri lidah buaya mengalami perkembangan dalam diversifikasi produknya, dan telah memproduksi berbagai produk lidah buaya dalam kemasan seperti teh, dodol, manisan, kerupuk, selai, stick, cokelat lidah buaya, kue lapis, kue kering, larutan penyegar panas dalam (instan), juice, bahkan telah ada pengusaha yang memproduksi sabun lidah buaya. Kegiatan pengolahan pada agroindustri lidah buaya masih menggunakan teknik pengolahan dan teknologi produksi yang sederhana. Adapun jenis produk turunan lidah buaya di Kota Pontianak dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Produk turunan lidah buaya di Kota Pontianak

Makanan Minuman Produk lainnya

Dodol Nata de aloe Sabun

Kerupuk Teh

Jelly dan manisan Juice

Kue kering dan kue lapis Larutan penyegar/Instan Selai

Coklat lidah buaya

Sumber: Aloe Vera Center (2012)

(22)

5 bahwa kualitas produk yang dihasilkan belum sesuai dengan apa yang diinginkan pasar, padahal kualitas produk yang dihasilkan merupakan faktor utama penentu harga dan permintaan produk di pasar domestik maupun ekspor. Kemampuan untuk menjamin kualitas sesuai dengan permintaan konsumen merupakan kunci keunggulan kompetitif. Namun, untuk meningkatkan kualitas produk lidah buaya, pengusaha masih terkendala dengan modal produksi.

Kualitas produk yang dimaksud terkait dengan tidak adanya informasi nilai gizi dan ingredient dalam kemasan, belum adanya izin resmi dari BP-POM. Izin yang dimiliki hanya sebatas izin dari Dinas Kesehatan berupa P-IRT, bahan kemasan yang masih sederhana dimana pengolah hanya menggunakan kotak mika, untuk minuman lidah buaya hanya dikemas dalam plastik yang dipress. Jikapun ada pengusaha yang menggunakan bahan kemasan yang berkualitas, pengusaha tersebut harus memesan atau membelinya dari luar Kota Pontianak seperti dari Bandung, Jakarta, hingga ke Kuching (Malaysia). Tidak adanya perusahaan atau agen yang menjual kemasan di Kota Pontianak, menjadikan pengusaha agroindustri lidah buaya harus mengeluarkan biaya ekstra untuk memperoleh kemasan yang baik bagi produknya. Belum tersedianya industri kemasan di wilayah Kota Pontianak, menyebabkan agroindustri lidah buaya mengalami kesulitan dalam memenuhi input untuk proses pengemasan.

Di sisi lain, penggunaan air untuk pencucian, perendaman, dan konsumsi juga mempengaruhi kualitas produk yang dihasilkan, khususnya untuk memproduksi minuman lidah buaya. Hal ini karena kualitas air yang digunakan sangat mempengaruhi rasa dan masa simpan produk. Untuk mendapatkan air yang berkualitas, pengusaha harus memesannya melalui distributor air yang berada di luar Kota Pontianak, sehingga biaya produksi yang dikeluarkan menjadi bertambah. Tingginya biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi akan mempengaruhi harga jual produk yang relatif mahal, sehingga menjadikan agroindustri tidak berdayasaing. Menurut Salvatore (1997) bahwa dayasaing tercermin dari harga jual yang bersaing dan mutu yang baik, sehingga perusahaan atau industri memiliki keunggulan di pasar domestik atau internasional dibandingkan pesaingnya.

(23)

6

Dari teknologi pengolahan, agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak masih sederhana dan hampir semua pengusaha yang ada memproduksi lidah buaya menjadi produk yang hampir sama seperti dodol, manisan, dan minuman (nata de aloe). Belum adanya inovasi produk yang berbeda baik dari segi bentuk maupun manfaat, menyebabkan produk lidah buaya yang dihasilkan belum memiliki keunggulan yang dapat dimanfaatkan secara luas. Menurut Porter (1990), persoalan dayasaing industri senantiasa terkait dengan strategi bersaing yang berorientasi pada harga rendah dan pembedaan produk.Seperti diketahui lidah buaya memiliki diversifikasi produk yang luas, tidak hanya dapat diolah menjadi makanan dan minuman, namun dapat juga diolah menjadi tepung lidah buaya yang bermanfaat untuk industri farmasi, kosmetik, makanan, minuman, dan pakan. Dengan mengolah lidah buaya menjadi tepung, maka kandungan nutrisi lidah buaya dapat terjaga dengan baik sesuai dengan kandungan nutrisi pada tanaman segarnya.

Pengolahan lidah buaya menjadi tepung akan memberikan nilai tambah yang besar bagi agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak, tidak hanya memiliki nilai ekonomi yang tinggi, namun pasar untuk tepung lidah buaya juga cukup menjanjikan khususnya untuk pasar dalam negeri, karena selama ini industri farmasi dan kosmetik di Indonesia masih mengimpor tepung lidah buaya dari Amerika dan Australia. Sedangkan industri tepung lidah buaya yang ada di Indonesia belum mampu mengsuplai kebutuhan pasar tersebut. Menurut Sulaeman (2004), hasil olahan yang terbatas hanya akan memberikan sedikit nilai tambah. Nilai tambah yang besar akan diperoleh jika lidah buaya dapat diolah menjadi produk yang dibutuhkan industri sebagai bahan baku industri lanjutan, seperti industri farmasi dan kosmetik. Di samping itu, dengan adanya inovasi produk yang berbeda dari yang lain, akan memberikan keunggulan tersendiri pada agroindustri lidah buaya tersebut, sehingga mampu bersaing di pasar domestik maupun internasional.

Porter (1990) mengungkapkan bahwa dayasaing industri adalah kemampuan industri untuk memperoleh keunggulan kompetitif dengan berdasarkan pada empat komponen utama yaitu kondisi sumberdaya, kondisi permintaan, strategi perusahaan dan struktur persaingan, industri pendukung dan industri terkait, dan dua komponen pendukung yaitu peran pemerintah, dan peran kesempatan. Peranan masing-masing komponen tersebut sangat diperlukan bagi terbentuknya dayasaing industri di suatu wilayah atau daerah yang memiliki potensi sumberdaya pertanian unggulan. Semua komponen tersebut saling mempengaruhi dan memiliki keterkaitan antar satu dengan lainnya, serta akan membentuk sebuah sistem dayasaing industri yang saling terintegrasi di suatu wilayah atau daerah. Sistem dayasaing industri tersebut dikenal dengan model Diamond Porter. Menurut Wiyadi (2009) bahwa model Diamond Porter bersifat dinamis dan komprehensif, karena tidak hanya mencakup kondisi faktor tetapi juga dimensi penting lainnya secara simultan.

(24)

7 pengolahan lidah buaya di Kota Pontianak perlu mendapat perhatian berupa pembinaan dan pengembangan industri yang mengarah pada upaya peningkatan dayasaing, hal ini dikarenakan industri pengolahan lidah buaya yang ada masih terbatas pada industri rumah tangga dengan peralatan teknologi yang sederhana, keterbatasan modal dan sumberdaya yang dimiliki.

Dengan demikian, diperlukan kerjasama dari semua pihak, baik itu pelaku usaha maupun pemerintah untuk membangun agroindustri lidah buaya yang berdayasaing di Kota Pontianak, agar pengembangan agroindustri lidah buaya dapat terwujud. Salah satu caranya adalah dengan mengetahui kondisi dayasaing dan faktor-faktor yang menjadi penentu dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak dengan berdasarkan komponen yang terdapat pada Diamond Porter, serta merumuskan prioritas strategi yang dapat meningkatkan dayasaing agroindustri tersebut. Oleh karena itu, perumusan masalah dari penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak ?

2. Faktor-faktor apa saja yang menentukan dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak ?

3. Bagaimana merumuskan prioritas strategi peningkatan dayasaing untuk pengembangan agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak ?

Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menganalisis kondisi dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak.

2. Menganalisis faktor-faktor penentu dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak.

3. Merumuskan prioritas strategi peningkatan dayasaing agroindustri lidah buaya untuk pengembangan agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak.

Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Memberikan sumbangan pemikiran kepada pemerintah daerah atau instansi terkait dalam membangun sektor pertanian khususnya komoditas lidah buaya di Kota Pontianak.

2. Sebagai referensi untuk menentukan kebijakan dan strategi dalam usaha pengembangan agroindustri lidah buaya yang berdayasaing.

3. Dapat menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya yang tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang agribisnis lidah buaya.

(25)

8

Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian

Adapun ruang lingkup dan batasan dalam penelitian ini antara lain :

1. Penelitian ini dilakukan di Kota Pontianak sebagai sentra produksi dan agroindustri lidah buaya yang ada di Kalimantan Barat.

2. Penelitian ini difokuskan pada agroindustri lidah buaya yang ada di Kota Pontianak, yang memproduksi produk makanan dan minuman lidah buaya dalam kemasan pada skala industri kecil dan rumah tangga.

3. Penelitian ini difokuskan pada faktor-faktor penentu dayasaing yang mempengaruhi keunggulan kompetitif agroindustri lidah buaya yang ada di Kota Pontianak.

4. Penelitian ini menitikberatkan pada prioritas strategi yang dilakukan dalam upaya peningkatan dayasaing agroindustri lidah buaya yang ada di Kota Pontianak.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian dan Peranan Agroindustri

Sektor agroindustri dianggap sebagai bagian dari sektor manufaktur yang memproses bahan baku dan produk antara yang berasal dari pertanian, perikanan dan kehutanan. Dengan demikian, sektor agroindustri merupakan bagian dari konsep agribisnis yang luas yakni mencakup suppliers input pertanian, perikanan dan sektor kehutanan, serta distributor makanan dan non-makanan dari agroindustri (FAO 2009). Menurut Soekartawi (2000), agroindustri merupakan bagian dari enam subsistem agribisnis yaitu subsistem penyediaan sarana produksi dan peralatan, usahatani, pengolahan hasil (agroindustri), pemasaran, sarana dan pembinaan. Keenam subsistem tersebut saling terkait dan tergantung satu sama lain, hambatan dalam satu subsistem akan mengakibatkan hambatan pada subsistem yang lain. Kegiatan agroindustri tidak mungkin berkembang tanpa dukungan pengadaan bahan baku dari kegiatan produksi pertanian maupun dukungan sarana perdagangan dan pemasaran.

Berdasarkan pengertian agroindustri diatas, maka agroindustri dapat diartikan dalam dua hal. Pertama, agroindustri adalah industri yang berbahan baku utama dari produk pertanian. Suatu industri yang menggunakan bahan baku dari pertanian dengan jumlah minimal 20 persen dari jumlah bahan baku yang digunakan disebut agroindustri (FAO 2011). Kedua, agroindustri adalah suatu tahapan pembangunan sebagai kelanjutan dari pembangunan pertanian, tetapi sebelum tahapan pertanian tersebut mencapai tahapan pembangunan industri (Soekartawi 2000). Kaitan agroindustri dalam pertanian ada yang berlangsung kebelakang (backward linkage) dan kedepan (forward linkage). Agroindustri yang melakukan kegiatan pengadaan dan penyaluran sarana produksi pertanian disebut agroindustri hulu (upstream), sedangkan agroindustri yang melakukan kegiatan penanganan dan pengolahan produk pertanian disebut agroindustri hilir (downstream). Dalam agroindustri hilir terdapat tiga komponen penting yang merupakan satu kesatuan, yaitu pengadaan bahan baku (procurement), pengolahan (processing), dan pemasaran (marketing).

(26)

9 sektor lain, dan adanya unsur keragaman dalam kegiatan, sehingga agroindustri dianggap sebagai suatu sektor yang memimpin (leading sector) dimasa yang akan datang (Saragih 2010). Selain menciptakan nilai tambah, agroindustri juga ikut berperan dalam membuka peluang kerja khususnya dapat menarik tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri hasil pertanian (agroindustri), meningkatkan penerimaan devisa melalui peningkatan ekspor hasil agroindustri, memperbaiki pembagian pendapatan, menarik pembangunan sektor pertanian, dan mendorong berkembangnya industri hulu dan hilir pertanian (Supriyati dan Suryani 2006).

Karakteristik dan Perkembangan Agroindustri Lidah Buaya di Indonesia Supriyati dan Suryani (2006) mengatakan bahwa peluang pengembangan agroindustri berdasarkan pada karakteristik pelakunya, dimana sifat karakteristik sumberdaya manusia, manajemen, usaha produksi (usahatani), sebaran produksi, karakteristik produksi (produksi, kualitas dan kuantitas produk, pola musiman), kelembagaan pemasaran dan permodalan sektor pertanian, merupakan faktor-faktor yang menyebabkan usaha agribisnis dan agroindustri berbeda dengan sektor lainnya (industri, perdagangan dan jasa). Namun, karakteristik agroindustri yang menonjol adalah adanya ketergantungan antar elemen-elemen agroindustri, yaitu pengadaan bahan baku, pengolahan, dan pemasaran produk (Suprapto 2011).

Berdasarkan skala usahanya, agroindustri dikategorikan menjadi skala kecil atau rumah tangga, skala menengah, dan skala besar. Umumnya, usaha skala menengah dan besar sudah terintegrasi dengan pengolahan hasil pertanian (agroindustri) dan pemasaran (ekspor), yang merupakan produsen sarana dan prasarana produksi, pedagang, industriawan, eksportir, serta penyedia jasa-jasa seperti konsultan, lembaga keuangan serta lembaga pendidikan dan pelatihan agribisnis. Sementara itu, usaha skala kecil atau rumah tangga adalah kelompok yang dari segi ekonomi sangat lemah, akses ke sumber permodalan terbatas, memperoleh margin yang paling rendah, dan menghadapi resiko usaha yang paling besar (Supriyati dan Suryani 2006).

Industri pengolahan lidah buaya di Indonesia, khususnya di Kota Pontianak sebagai sentra produksi lidah buaya, merupakan industri rumah tangga dengan peralatan teknologi yang sederhana (manual dan semi manual). Sederhananya teknologi pengolahan lidah buaya yang digunakan oleh home industry tidak lepas dari kemampuan modal dan sumberdaya yang dimiliki (Idawati 2002). Hal senada diungkapkan oleh Jumiar (2005) bahwa kondisi agroindustri lidah buaya yang terdapat di Kota Pontianak banyak berkembang pada skala industri rumah tangga (home industry) yang pada umumnya memproduksi minuman lidah buaya, dimana proses produksi dan peralatan yang digunakan masih konvensional. Hal ini sangat bertolak belakang dengan agroindustri lidah buaya yang ada di Amerika, dimana lidah buaya telah banyak diolah dalam bentuk powder menjadi produk “Royal Body Care” yang digunakan oleh Food and Drug Administrastion untuk merawat pasien penderita kanker (Sumarno 2002).

(27)

10

farmasi, makanan dan minuman kesehatan, serta lokasi terbaik berada di kecamatan Pontianak Utara. Dilihat dari batas harga jual tepung lidah buaya tersebut lebih murah jika dibandingkan dengan impor tepung lidah buaya dari Amerika atau Australia yang mencapai harga US$ 100 sampai 150 per kilogram.

Sedangkan jika dilihat dari perkembangan kelembagaan yang ada pada komoditi lidah buaya (aloe vera) di Kalimantan Barat, Tjitroresmi (2003) mengungkapkan bahwa berbagai faktor di off-farm perlu dibenahi mulai dari identifikasi potensi pasar domestik dan ekspor, sarana prasarana penunjang pemasaran ke luar daerah, seperti cold storage dan armada kapal, industri pengolah lidah buaya menjadi bahan setengah jadi bagi industri farmasi, kosmetika, dan lainnya, sumber daya manusia yang kreatif dan mampu mencari informasi dan potensi pasar sekaligus mengembangkan inovasi baru dan perlakukan pasca panen lainnya. Kelembagaan ditingkat petani dan kelembagaan yang menyangkut aspek penyediaan sarana produksi, penyuluhan, permodalan, penelitian dan pasar perlu dikembangkan untuk meningkatkan kemampuan manajerial petani dan keberhasilan bisnis aloe vera, serta kurang efektif dan efisiennya kelembagaan sarana produksi pemerintah yakni Aloe Vera Center.

Faktor yang Mempengaruhi Dayasaing Agroindustri

Haryadi (1998) mengungkapkan bahwa ada lima aspek yang berkaitan erat dengan keberhasilan usaha, yaitu aspek pemasaran, produksi, ketenagakerjaan, kewirausahaan dan akses kepada pelayanan. Keberhasilan dan pengembangan usaha kecil atau rumah tangga juga ditentukan oleh sumberdaya manusia berupa pendidikan dan skill yang dimiliki, ketersediaan modal baik investasi maupun modal kerja, perbaikan teknologi dan mencoba teknologi yang baru melalui pendidikan dan pelatihan untuk pengembangan teknologi, pemasaran yakni dengan memberi kesempatan bagi masyarakat untuk memperoleh informasi pasar, baku mutu produk, mempelajari teknologi pengembangan produk untuk memenuhi permintaan pasar serta menambah pengetahuan mengenai akses informasi, pengelolahan manajemen, dengan meningkatkan pengetahuan tentang pelayanan yang dapat diperoleh untuk mengembangkan usaha serta memberi pengetahuan tentang penerapan azas ekonomi (Sumodiningrat 1998; Hubeis 1997; Sjaifudian et al. 1997). Disamping faktor tersebut Hubeis (1997) juga menambahkan bahwa ada beberapa faktor lain yang ikut mempengaruhi keberhasilan suatu usaha, yaitu:

a) Kebijakan pemerintah, berkaitan dengan upaya pemerintah untuk mengatur semua dimensi kegiatan manusia dalam suatu wilayah. Kebijakan pemerintah terhadap suatu usaha atau aktor ekonomi lainnya seperti perkreditan, perpajakan, perijinan, kemitraan, perundang-undangan, kebijakan mengenai perkembangan teknologi serta kebijakan mengenai perdagangan.

b) Akses ke lembaga keuangan, berkaitan dengan sumber modal dari perbankan dalam menyediakan fasilitas kredit.

c) Sistem informasi, berkaitan dengan penyediaan sumber informasi yang aktual tentang pasar, pasokan, produksi, teknologi, dan tentang pasar produk yang ditawarkan.

(28)

11 e) Gender. Pria umumnya lebih berani dalam mengambil resiko yang merupakan faktor penting dalam pengelolaan usaha, namun dari segi sosial budaya, kesempatan berusaha bagi pria lebih besar. Sehingga mengembangkan usaha kecil menjadi sangat relevan dengan isu perempuan, mengingat usaha kecil merupakan sumber pendapatan dan peluang berusaha utama bagi kebanyakan perempuan dan masyarakat pada umumnya.

f) Umur pengusaha. Usia produktif yaitu 15 sampai 55 tahun merupakan salah satu faktor penting dalam mengembangkan usaha menjadi lebih baik. Dari perspektif perluasan kesempatan kerja, adanya kelompok usia produktif di dalam struktur demografis pengusaha menggambarkan bahwa usaha kecil dan menengah dapat menjadi sektor alternatif untuk mengurangi jumlah pengangguran.

Indikator penting untuk mencapai kesuksesan jangka panjang dalam usaha kecil dan menengah adalah jiwa kewirausahaan atau entrepreneurship dan keberuntungan atau luck (Jay Barney 1986 dalam Ong WJ 2010). Industri kecil dan menengah di Poerto Rico dapat meraih kesuksesan di pasar global karena adanya kemampuan finansial, kemampuan sumberdaya manusia, teknologi yang canggih dan lengkap, inovasi produksi, dan strategi (Rodríguez 2011). Faktor yang dapat menghambat dayasaing suatu industri yaitu disebabkan terbatasnya sumberdaya permodalan, hambatan teknologi dan rendahnya efektivitas kelembagaan yang mampu melaksanakan fungsi-fungsi strategis. Sehingga menyebabkan rendahnya produktivitas dan dayasaing agroindustri, keterbatasan kapasitas dan kemampuan pelaku agroindustri untuk menghimpun sumberdaya dalam meningkatkan posisi tawar, lemahnya keterkaitan struktural agroindustri, baik secara internal maupun dalam hubungannya dengan sektor lain, kebijaksanaan makro dan mikro ekonomi yang kurang berpihak pada agroindustri (Djamhari 2004).

(29)

12

Gambar 3 Faktor penghambat dayasaing industri

Sumber: Lestari (2007)

Tiap-tiap agroindustri memiliki karakteristik yang berbeda-beda tergantung dimana lokasi agroindustri tersebut berada, sehingga faktor yang mempengaruhi dayasaingnya juga tidak sama. Seperti yang diungkapkan oleh Adi Bronto (2011) dalam penelitiannya mengenai pengembangan agroindustri gambir di Kabupaten lima Puluh Kota di Sumatera Barat bahwa lemahnya sistem kelembagaan pada agroindustri gambir di daerah tersebut akan mempengaruhi dayasaing agroindustri gambir, sehingga perlu dilakukan langkah-langkah strategis seperti pendirian industri katekin dan tannin, melakukan perbaikan kelembagaan melalui pembentukan klaster agroindustri gambir untuk melaksanakan pengembangan pemasaran (domestik maupun ekspor), perbaikan teknologi, pengembangan produk, peningkatan kualitas sumberdaya manusia maupun penanganan masalah permodalan. Pada tahap selanjutnya, perlu dilakukan penelitian dan pengembangan berbagai produk akhir serta pendirian industri secara bertahap untuk mendapatkan produk-produk hilir bernilai tambah tinggi yang diharapkan akan meningkatkan manfaat ekonomi bagi masyarakat dan pada akhirnya mampu menjamin keberlanjutan agroindustri gambir Indonesia.

Sedangkan menurut Setyawan dan Wijana (2011) dalam penelitiannya tentang analisa kompetitif agroindustri kelapa di Indonesia dengan pendekatan Diamond Porter menunjukkan bahwa faktor utama yang mendukung dayasaing agroindustri kelapa adalah tingkat pasokan bahan baku, namun perlu dilakukan pengembangan tingkat produk yang lebih tinggi untuk meningkatkan kemampuan bersaing dengan produk impor berbasis kelapa. Hal berbeda diuraikan oleh Manasis (2010) dalam penelitiannya tentang analisis kompetitif sektor minyak zaitun di Yunani bahwa posisi pasar sektor minyak zaitun Yunani lemah dibandingkan pesaingnya Italia dan Spanyol.

(30)

13 Lemahnya dayasaing tersebut disebabkan belum terbentuknya rantai distribusi yang efektif dan memadai, belum efektifnya penyediaan pengemasan dan pelabelan sehingga terjadi perang harga antar industri pesaing. Sehingga memerlukan efektifitas pemasaran dan strategi positioning, mencantumkan merk nasional, menerapkan metode inovasi dan menerapkan skema integrasi vertikal sebagai pembeda produk dan menambah nilai produk yang ditawarkan serta mendukung pertumbuhan seluruh sektor.

Sedangkan Darmayanti (2007) mengungkapkan hasil penelitiannya tentang strategi peningkatan dayasaing minyak pala Indonesia bahwa faktor dan sub faktor yang berperan dalam peningkatan dayasaing minyak pala Indonesia terdiri dari (1) faktor sumberdaya dengan sub faktor ketersediaan lahan untuk pengembangan perkebunan pala, iklim dan kondisi geografis yang mendukung budidaya tanaman pala, ketersediaan bahan baku yang kontinyu, kualitas bahan baku yang seragam, ketersediaan dan kemudahan akses terhadap sumberdaya permodalan, dan ketersediaan kelembagaan atau asosiasi, (2) faktor permintaan dengan sub faktor adanya kecenderungan aromaterapi sebagai bagian dari gaya hidup, promosi ekspor, dan meningkatnya kesadaran konsumen untuk menggunakan senyawa alami dibanding sintesis, (3) faktor industri pendukung dan terkait dengan sub faktor dukungan lembaga penelitian, ketersediaan perusahaan atau perkebunan pala rakyat yang menerapkan teknik budidaya tanaman pala penanganan pasca panen yang baik, dan ketersediaan perusahaan pembuat alat penyulingan yang efisien, (4) strategi perusahaan dan persaingan dengan sub faktor kemauan dan kemampuan perusahaan/pelaku usaha bersaing secara global dan membangun sistem agribisnis minyak pala, (5) peran kesempatan dengan 2 sub faktor penemuan inovasi teknologi penyulingan minyak pala dan meningkatnya diversifikasi kegunaan minyak pala, dan (6) peran pemerintah dengan sub faktor kebijakan pemerintah dalam mendorong pengembangan industri hulu, antara dan hilir, kebijakan pemerintah dalam investasi, kebijakan pemerintah untuk menetapkan standar bahan baku pala dan produk antara, dan fasilitas pemerintah untuk pengadaan bibit tanaman pala, alat dan teknologi penyulingan. Kemudian dari faktor dan sub faktor yang mempengaruhi tersebut terpilih dua strategi prioritas untuk peningkatan dayasaing minyak pala yakni penciptaan iklim usaha yang kondusif dan pengembangan sarana dan prasarana pendukung usaha agroindustri minyak pala di Indonesia.

(31)

14

3

KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teoritis Konsep Agroindustri

Agroindustri merupakan pengolahan hasil pertanian dan karena itu agroindustri termasuk bagian dari enam subsistem agribisnis, yaitu subsistem penyediaan sarana produksi dan peralatan, usahatani, pengolahan hasil (agroindustri), pemasaran, sarana dan pembinaan (Soekartawi 2000). Keberadaan agroindustri harus tetap ada, mengingat besarnya peranan yang diciptakan subsektor tersebut bagi perkembangan perekonomian masyarakat. Untuk itu, Soekartawi mengkriteriakan agroindustri yang berkelanjutan antara lain yang pertama, produktivitas dan keuntungan dapat dipertahankan atau ditingkatkan dalam waktu relatif lama, sehingga memenuhi kebutuhan manusia pada masa sekarang atau masa mendatang. Kedua, sumberdaya alam khususnya sumberdaya pertanian yang menghasilkan bahan baku agroindustri dapat dipelihara dengan baik dan bahkan terus ditingkatkan, karena keberlanjutan agroindustri sangat tergantung dari tersedianya bahan baku. Ketiga, dampak negatif dari adanya pemanfaatan sumberdaya alam dan adanya agroindustri dapat diminimalkan.

Pengembangan agroindustri tidak terlepas dari ketiga pelaku ekonomi yang ada di Indonesia yaitu Swasta, BUMN dan Koperasi. Pola pengembangan agroindustri dituntut perlu adanya kemitraan antara pelaku ekonomi dengan masyarakat yang terbentuk dalam pola pembinaan diantara mereka. Pola pembinaan tersebut perlu adanya peran Perguruan Tinggi yang dapat menjembatani dan juga merupakan pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Ismayana dkk. 1992). Keterkaitan pelaku ekonomi dalam usaha pengembangan agroindustri dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Keterkaitan pelaku kegiatan agroindustri di Indonesia

Sumber: Ismayana dkk (1992)

Konsep Dayasaing Kompetitif

Dayasaing merupakan kemampuan produsen untuk memproduksi suatu komoditas dengan mutu yang cukup baik dan biaya produksi yang cukup rendah dibandingkan produsen lain, sehingga produsen memperoleh laba yang mencukupi dan dapat mempertahankan kelanjutan biaya produksinya (Simanjuntak 1992). Salvatore (1997) menyatakan bahwa dayasaing komoditas tercermin dari harga jual yang

Petani/KUD

Swasta BUMN

(32)

15 bersaing dan mutu yang baik. Dayasaing adalah keunggulan dari suatu perusahaan atau industri dalam menghadapi pesaingnya di pasar domestik atau internasional. Dayasaing diidentikkan dengan produktivitas, yaitu tingkat output yang dihasilkan untuk setiap input yang digunakan. Peningkatan produktivitas ini dapat disebabkan oleh peningkatan jumlah input fisik modal ataupun tenaga kerja, peningkatan kualitas input yang digunakan, dan peningkatan teknologi (Porter 1990). Menurut Porter dalam Cho dan Moon (2003) suatu industri akan berhasil dan berdayasaing jika mereka mempunyai visi atau pandangan yang jelas, dinamis dan sesuai dengan kondisi faktor, kondisi permintaan, strategi perusahaan dan struktur persaingan, serta industri pendukung dan industri terkait.

Dayasaing (competitiveness) seringkali dinyatakan dalam bentuk keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif. Suatu komoditi dianggap menguntungkan untuk diproduksi atau diusahakan dan dapat bersaing di pasar internasional apabila komoditi tersebut mempunyai keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif. Keunggulan komparatif maupun kompetitif suatu aktivitas ekonomi dari suatu negara atau daerah menunjukkan keunggulan baik dalam potensi sumberdaya alam, penggunaan teknologi maupun kemampuan manajerial dalam aktivitas yang bersangkutan (Sudaryanto et al. 1993). Sudaryanto dan Simatupang (1993) dalam Feryanto (2010) menyebutkan secara operasional keunggulan kompetitif dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk memasok barang dan jasa pada waktu, tempat dan bentuk yang diinginkan konsumen baik di pasar domestik maupun di pasar internasional, pada harga yang sama atau lebih baik dari yang ditawarkan pesaing, seraya memperoleh laba paling tidak sebesar ongkos penggunaan (opportunity cost) sumberdaya. Menurut Dinas Koperasi dan UKM, Bappeda dan FGD dalam penelitian yang dilaksanakan oleh Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK (2005) bahwa suatu komoditas atau produk memiliki keunggulan apabila memiliki kriteria, antara lain menggunakan bahan baku lokal, sesuai dengan potensi dan kondisi daerah, memiliki pasar yang luas, mampu menyerap tenaga kerja relatif banyak, merupakan sumber pendapatan masyarakat, volume produksi relatif besar dan kontinyu, merupakan ciri khas daerah, memiliki dayasaing yang relatif tinggi, memiliki nilai tambah relatif tinggi, dan dapat memacu perkembangan komoditas lainnya.

Konsep dayasaing kompetitif dikembangkan pertama kali oleh Porter pada tahun 1980 bertitik tolak dari kenyataan-kenyataan perdagangan internasional yang ada. Dayasaing kompetitif menurut Porter merupakan alat untuk mengukur dayasaing suatu aktivitas berdasarkan pada kondisi perekonomian aktual. Porter menyatakan bahwa keunggulan perdagangan antar negara dengan negara lain di dalam perdagangan internasional secara spesifik untuk produk-produk tertentu sebenarnya tidak ada. Fakta yang ada adalah persaingan untuk kelompok-kelompok kecil industri yang ada dalam suatu negara. Oleh karena itu, keunggulan kompetitif dapat dicapai dan dipertahankan dalam suatu subsektor tertentu di suatu negara dengan meningkatkan produktivitas penggunaan sumberdaya-sumberdaya yang ada (Suryana 1995 dalam Gumilar 2007).

Keunggulan kompetitif diciptakan dan dipertahankan melalui proses yang sangat terlokalisir. Perbedaan dalam hal nilai-nilai, kebudayaan, struktur perekonomian, lembaga dan sejarah nasional semuanya memberikan kontribusi terhadap keunggulan kompetitif (Porter 1990). Salah satu faktor penentu dayasaing diukur dari kemampuan berinovasi baik secara regional maupun global. Inovasi merupakan hal yang penting

(33)

16

destruction‟ (Schumpeter 1934 dalam Grennes 2003). Inovasi yang terjadi secara bersamaan dan komunal akan membentuk interaksi lingkungan baru (Sange & Carstedt 2001), namun juga bisa terjadi sebaliknya, dimana tekanan lingkungan (persaingan misalnya) akan memberikan dorongan bagi perusahaan untuk melakukan inovasi. Intal (1996) dalam Munandar (2001) mengatakan bahwa faktor yang mempengaruhi dayasaing internasional dalam hubungannya dengan interdependensi makroekonomik yaitu nilai tukar, produktivitas industri dan produktivitas pertanian (bahan baku untuk agroindustri), sedangkan faktor utama yang mempengaruhi dayasaing komparatif yaitu sumberdaya (manusia dan fisik) dan tingkat perubahan teknologi.

Konsep Diamond Porter

Model diamond Porter telah banyak digunakan oleh para peneliti dalam menentukan dayasaing industri suatu negara dibanding dengan negara lainnya. Menurut Wiyadi (2009) bahwa model ini bersifat dinamis dan komprehensif, berkaitan dengan konsep dayasaing komparatif dan kompetitif, berdasarkan pada asumsi bahwa peranan pemerintah sangat kecil bahkan tidak diperhitungkan karena dalam era globalisasi setiap perusahaan harus mempunyai dayasaing kompetitif tanpa bergantung kepada pemerintah. Dalam teori ini Porter (1990) mengungkapkan bahwa terdapat empat komponen utama yang menjadi atribut dayasaing kompetitif nasional, yaitu kondisi faktor sumberdaya, kondisi permintaan, industri pendukung dan industri terkait, struktur, persaingan, dan strategi perusahaan. Kemudian, ditambah dengan dua komponen pendukung, yaitu peran pemerintah, dan peran kesempatan. Komponen-komponen tersebut terintegrasi menjadi sistem dayasaing industri dalam bentuk model

“Diamond Porter”. Komponen utama dalam Diamond Porter terdiri dari empat faktor

yang saling berinteraksi, antara lain: 1. Kondisi faktor sumberdaya

Sumberdaya merupakan faktor utama dalam memproduksi suatu produk dan merupakan faktor produksi yang diperlukan untuk bersaing dalam industri tertentu. Faktor kondisi sumberdaya akan menentukan posisi industri yang terdapat di suatu daerah. Faktor ini digolongkan ke dalam lima kelompok.

a) Sumberdaya alam atau fisik

Sumberdaya alam atau sumberdaya fisik yang mempengaruhi dayasaing industri mencakup biaya aksesibilitas, kualitas/mutu, lokasi, ketersediaan air, mineral dan energi serta sumberdaya pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan (termasuk sumberdaya pertanian laut lainnya), peternakan, serta sumberdaya alam lainnya baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak dapat diperbaharui. Begitu juga kondisi cuaca dan iklim, luas wilayah geografis, kondisi topografi dan lain-lain.

b) Sumberdaya manusia

Sumberdaya manusia yang mempengaruhi dayasaing industri terdiri dari jumlah tenaga kerja yang tersedia, kemampuan manajerial dan keterampilan yang dimiliki, biaya tenaga kerja yang berlaku (tingkat upah), dan etika kerja (termasuk moral). c) Sumberdaya ilmu pengetahuan dan teknologi

(34)

17 pengembangan, lembaga statistik, literatur bisnis dan ilmiah, basis data, laporan penelitian, dan asosiasi pengusaha pengusaha.

d) Sumber modal

Sumberdaya modal yang mempengaruhi dayasaing terdiri dari jumlah dan biaya (suku bunga) yang tersedia, jenis pembiayaan (sumber modal), aksesibilitas terhadap pembiayaan, kondisi lembaga pembiayaan dan perbankan, peraturan keuangan, peraturan moneter dan fiskal, serta kondisi moneter dan kondisi fiskal untuk mengetahui tingkat tabungan masyarakat.

e) Sumberdaya infrastruktur

Sumberdaya infrastruktur yang mempengaruhi dayasaing terdiri dari ketersediaan jenis, mutu, dan biaya penggunaan infrastruktur yang mempengaruhi daya saing, seperti sistem transportasi, komunikasi, pos dan giro, sistem pembayaran dan transfer dana, air bersih, energi listrik dan lain-lain.

2. Faktor permintaan

Kondisi permintaan dalam negeri merupakan faktor penentu dayasaing industri, terutama mutu permintaan domestik. Mutu permintaan domestik merupakan sasaran pembelajaran perusahaan dalam negeri untuk bersaing secara nasional. Persaingan yang ketat memberikan tanggapan terhadap persaingan yang ada. Terdapat tiga faktor kondisi permintaan yang mempengaruhi dayasaing nasional, yaitu:

a) Komposisi permintaan domestik

Karakteristik permintaan dometik sangat mempengaruhi dayasaing industri nasional yang terdiri dari:

i) Struktur segmen permintaan domestik. Pada umumnya perusahaan-perusahaan akan lebih mudah memperoleh dayasaing pada struktur segmen permintaan yang lebih luas dibandingkan dengan struktur segmen sempit.

ii)Pengalaman dan selera pembeli yang tinggi. Adanya tekanan kepada produsen untuk menghasilkan produk yang bermutu dan memenuhi standar yang tinggi, seperti mencakup standar mutu produk, product feature, dan pelayanan.

iii)Antisipasi kebutuhan pembeli yang baik dari perusahaan dalam negeri merupakan suatu poin dalam memperoleh keunggulan bersaing.

b) Jumlah permintaan dan pola pertumbuhan

Jumlah atau besarnya permintaan domestik mempengaruhi tingkat persaingan dalam negeri, terutama disebabkan oleh jumlah pembeli bebas, tingkat pertumbuhan permintaan domestik, timbulnya permintaan baru dan kejenuhan permintaan lebih awal sebagai akibat perusahaan melakukan penetrasi lebih awal. Pasar domestik yang luas dapat diarahkan untuk mendapatkan keunggulan kompetitif dalam suatu industri. Hal ini dapat dilakukan jika industri dilakukan dalam skala ekonomis melalui adanya penanaman modal dengan membangun fasilitas skala besar, pengembangan teknologi dan peningkatan produktivitas.

c) Internasionalisasi permintaan domestik

Pembeli lokal yang merupakan pembeli dari luar negeri akan mendorong dayasaing industri nasional, karena dapat membawa produk tersebut ke luar negeri. Konsumen yang memiliki mobilitas internasional tinggi dan sering mengunjungi suatu negara juga dapat mendorong meningkatkan dayasaing produk negara yang dikunjungi tersebut.

3. Faktor industri terkait dan industri pendukung

(35)

18

Industri hulu yang memiliki dayasaing akan memasok input bagi industri utama dengan harga yang relatif murah, mutu lebih baik, pelayanan yang cepat, pengiriman tepat waktu dan jumlah sesuai dengan kebutuhan industri utama, sehingga industri tersebut bersaing secara global di suatu wilayah. Begitu juga industri hilir yang menggunakan produk industri utama sebagai bahan bakunya. Apabila industri hilir memiliki dayasaing global maka industri hilir tersebut dapat menarik industri hulunya untuk memperoleh dayasaing global.

4. Persaingan, struktur dan strategi perusahaan

Struktur industri dan perusahaan juga menentukan dayasaing yang dimiliki persahaan-perusahaan yang tercakup dalam industri tersebut. Struktur industri yang monopolistik kurang memiliki daya dorong untuk melakukan perubahan-perubahan serta inovasi baru dibandingkan dengan struktur industri bersaing. Struktur persaingan yang berada pada suatu industri sangat berpengaruh terhadap bagaimana perusahaan tersebut dikelola dan dikembangkan dalam suasana tekanan persaingan, baik domestik maupun internasional. Dengan demikian secara tidak langsung akan meningkatkan dayasaing global industri yang bersangkutan. Faktor ini dipengaruhi oleh:

a) Struktur pasar

Struktur pasar digunakan untuk menunjukkan tipe pasar. Derajat persaingan struktur pasar dipakai untuk menentukan sejauh mana perusahaan-perusahaan individual mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi harga atau ketentuan-ketentuan lain dari produk yang dijual di pasar. Struktur pasar didefinisikan sebagai sifat-sifat organisasi pasar yang mempengaruhi perilaku dan keragaan perusahaan, jumlah penjual dan keragaan produk adalah dimensi-dimensi yang penting dari struktur pasar. Adapun dimensi lainnya adalah mudah atau sulitnya memasuki industri (hambatan masuk pasar), kemampuan perusahaan mempengaruhi permintaan melalui iklan, dan lain-lain. Beberapa struktur pasar yang ada antara lain pasar persaingan sempurna, pasar monopoli, pasar oligopoli, pasar monopsoni dan pasar oligopoli. Biasanya struktur pasar yang dihadapi industri seperti monopoli dan oligopoli lebih ditentukan oleh kekuatan perusahaan dalam menguasai pangsa pasar yang ada dibandingkan dengan jumlah perusahaan yang bergerak dalam suatu industri.

b) Persaingan

Tingkat persaingan dalam suatu industri merupakan salah satu faktor pendorong bagi perusahaan-perusahaan yang berkompetisi untuk terus melakukan inovasi. Keberadaan pesaing lokal yang handal dan kuat menjdai faktor penentu dan sebagai motor penggerak untuk memberikan tekanan pada perusahaan lain dalam meningkatkan dayasaingnya. Perusahaan-perusahaan yang telah teruji pada persaingan ketat dalam industri nasional akan lebih mudah memenangkan persaingan internasional dibandingkan perusahaan-perusahaan yang belum memiliki dayasaing yang tingkat persaingannya rendah.

c) Strategi perusahaan

(36)

19 Sedangkan komponen pendukung dalam Diamond Porter terdiri atas dua komponen yang saling berkaitan dengan komponen utama, antara lain:

1. Peran pemerintah

Peran pemerintah sebenarnya tidak berpengaruh langsung terhadap upaya peningkatan dayasaing global, tetapi berpengaruh pada faktor-faktor penentu dayasaing global. Dayasaing global akan dipengaruhi secara langsung oleh perusahaan-perusahaan yang berada dalam industri tersebut. Peran pemerintah merupakan fasilitator bagi upaya untuk mendorong perusahaan-perusahaan dalam industri agar senantiasa melakukan perbaikan dan peningkatan dayasaingnya. Pemerintah dapat mempengaruhi aksesibilitas pelaku industri terhadap berbagai sumberdaya melalui kebijakan-kebijakannya, seperti sumberdaya alam, tenaga kerja, pembentukan modal, sumberdaya ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) serta informasi.

Pemerintah juga dapat mendorong peningkatan dayasaing melalui penetapan standar mutu produk nasional, standar upah tenaga kerja minimum dan berbagai kebijakan terkait lainnya. Pemerintah dapat mempengaruhi kondisi permintaan domestik baik secara langsung melalui kebijakan moneter dan fiskal yang dikeluarkan, maupun secara langsung melalui perannya sebagai pembeli barang dan jasa. Kebijakan penetapan bea keluar dan bea masuk, tarif pajak, dan lain-lainnya yang juga menunjukkan peran tidak langsung dari pemerintah dalam meningkatkan dayasaing global. Selain itu, pemerintah juga dapat mempengaruhi tingkat dayasaing melalui kebijakan yang melemahkan faktor penentu dayasaing industri, tetapi pemerintah tidak dapat secara langsung menciptakan dayasaing global. Peran pemerintah adalah memfasilitasi lingkungan industri yang mampu memperbaiki kondisi faktor penentu dayasaing, sehingga perusahaan-perusahaan yang berada dalam industri mampu mendayagunakan faktor-faktor penentu tersebut secara efektif dan efisien.

2. Peran kesempatan

(37)

20

Keterangan: Garis ( ) menunjukkan keterkaitan antara komponen utama yang saling mendukung Garis ( ) menunjukkan keterkaitan antara komponen penunjang yang mendukung komponen utama

Gambar 5 Sistem lengkap keunggulan kompetitif nasional

Sumber: Porter (1990)

Model Diamond Porter ini dapat digunakan untuk menganalisis pengaruh terhadap model yang lain seperti analisis SWOT, PEST atau ISM. Model ini juga dapat dikembangkan untuk analisis dayasaing yang rumit yang digunakan pada saat menyusun strategi, rencana dan keputusan membuat investasi tentang bisnis dan organisasi (Darmayanti 2007). Intal (1995) dalam Munandar (2001) menyusun formulasi strategi dayasaing Philipina untuk komoditas agroindustri didasarkan pada

konsep “Dayasaing Berlian Porter”. “Berlian” terdiri dari dua bagian yaitu bagian

dalam dan luar. Berlian bagian dalam terdiri atas produktivitas (alokasi sumberdaya yang efisien), efikasi (rendahnya biaya transaksi untuk melakukan usaha), inovasi dan nilai (akses teknologi dan etos kerja). Sedangkan berlian bagian luar terdiri atas faktor kondisi (misalnya kuantitas, kualitas, pertumbuhan), teknologi (tingkat alih teknologi, adaptasi, penyerapan teknologi), kebijakan (makroekonomi dan sektoral), dan lembaga atau industri pendukung (industri terkait dan infrastruktur).

Konsep Strategi

Strategi sebagai suatu kebijakan yang telah diatur dalam internal organisasi yang memerlukan praktek diluar perusahaan (eksternal) yakni market place untuk mencapai kesuksesan (Drucker 1985). Dirgantoro (2001) mendefinisikan strategi sebagai suatu cara menetapkan arah manajemen sumberdaya di dalam bisnis dan bagaimana mengidentifikasikan kondisi yang memberikan keuntungan terbaik untuk membantu memenangkan persaingan di dalam pasar. Dengan kata lain, definisi strategi mengandung dua komponen yaitu future intentions atau tujuan jangka panjang dan competitive advantage atau keunggulan bersaing. Secara umum, strategi dapat didefinisikan sebagai sekumpulan pilihan kritis, perencanaan dan penerapan serangkaian rencana tindakan dan alokasi sumberdaya yang penting dalam mencapai tujuan dasar dan sasaran. Dengan memperhatikan keunggulan kompetitif, komparatif, dan sinergis yang ideal berkelanjutan, sebagai arah, cakupan, dan perspektif jangka

Persaingan, Struktur, Strategi Perusahaan

Peran Kesempatan Kondisi Faktor

Sumberdaya

Kondisi Permintaan Domestik Peran

Pemerintah

Gambar

Gambar 2 Pohon industri lidah buaya
Tabel 2 Luas tanam dan produksi lidah buaya di Kota Pontianak
Gambar 3 Faktor penghambat dayasaing industri
Gambar 5 Sistem lengkap keunggulan kompetitif nasional
+7

Referensi

Dokumen terkait

Beberapa jenis tanaman buah, tanaman perkebunan maupun tanaman kehutanan tidak mengalami dormansi sehingga benih tanaman tersebut dapat langsung disemai.. Contohnya adalah durian,

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang bagaimana peran sekolah yang telah menerapkan full day school dalam pembentukan karakter gemar membaca

Hasil akhir dari penelitian ini adalah t erbentuknya aplikasi informasi jalur menuju gunung di Jawa Tengah berbasis android yang dapat memberikan kemudahan kepada para

Pandawa Lima adalah game pengenalan budaya Indonesia yaitu wayang yang bersudut pada legenda Mahabharata dan berjalan pada platform Android, dibuat untuk

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan (1) hasil belajar IPA antara siswa yang mengikuti pelajaran dengan model pembelajaran kooperatif teknik peta konsep

Program 100 hari keliling Indonesia memiliki soundtrack tersendiri yang digunakan untuk opening bumper dan sisipan dalam tayangan sedangkan musik dalam program “

Luaran pengabdian ini ialah keterampilan melakukan praktikum IPA kontekstual oleh guru, dan panduan praktikum IPA untuk siswa SD materi air, fotosintesis, makanan,