EFEKTIFITAS REHABILITASI MANGROVE
DI PULAU PRAMUKA, KEPULUAN SERIBU
AGUS HARYANTO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Efektifitas Rehabilitasi Mangrove di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, September 2013
Agus Haryanto
RINGKASAN
AGUS HARYANTO. Efektifitas Rehabilitasi Mangrove Di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Dibimbing oleh FREDINAN YULIANDA dan YONVITNER.
Kerusakan ekosistem mangrove umumnya disebabkan oleh aktivitas manusia, walaupun tak bisa dipungkiri alam juga memiliki peran yang cukup besar dalam hal ini. Kerusakan tersebut akan menyebabkan berkurangnya atau bahkan menghilangnya fungsi sistem dan manfaat mangrove bagi masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Untuk mengembalikan kondisi mangrove yang rusak, maka diperlukan upaya pengelolaan melalui rehabilitasi mangrove di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu.
Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) mengkaji faktor yang menentukan keberhasilan rehabilitasi ekosistem mangrove di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu; (2) mengkaji efektifitas rehabilitasi ekosistem mangrove dan faktor-faktor penunjang keberhasilan dan kegagalannya di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu; dan (3) Menyusun rekomendasi untuk meningkatkan efektifitas rehabilitasi ekositem mangrove di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu.
Penilaian tingkat keberhasilan rehabilitasi mangrove di Pulau Pramuka dilakukan dengan menganalisis beberapa indikator menggunakan indeks efektifitas dengan mempertimbangkan juga parameter lingkungan dari kualitas air seperti suhu, kecepatan arus, salinitas, pH, DO, TSS, Nitrat, kalium, BOD5.
Indikator-indikator efektifitas rehabilitasi mencakup Indikator-indikator ekobiologi mangrove yang meliputi sintasan, pertumbuhan dan tutupan relatif; dan indikator sosial yang meliputi partisipasi masyarakat dan persepsi masyarakat.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mangrove di Pulau Pramuka mayoritas adalah anakan, sedangkan untuk pohon dan semai hanya sebagian kecil saja. Semua mangrove yang ada merupakan hasil rehabilitasi dengan tahun tanam yang berbeda, hanya dua pohon saja yang dianggap sebagai mangrove alami yang sudah ada sejak dahulu. Berdasarkan hasil pengukuran, mangrove rehabilitasi di Pulau Pramuka memiliki tutupan relatif antara 0,03-2,82%; pertumbuhan 13,33-32,50 cm/th; dan sintasan 3,02-67,36%.
Kondisi lingkungan perairan di kawasan rehabilitasi mangrove merupakan perairan dangkal dengan rataan terumbu membentang di sekeliling pulau sampai dengan jarak sekitar 500 m dari garis pantai dan memiliki kualitas perairan yang masih sesuai untuk mangrove. Nilai-nilai pengukuran kualitas air meliputi suhu 31,7-35 oC; kecepatan arus 0,1-0,3 m/s; TSS 4-16 mg/l; pH 7,54-8,20; salinitas 25-28 psu; DO 7,6-9,4 mg/l; nitrat 0,039-0,156 mg/l; ortofosfat 0,002-0,25-283 mg/l; kalium 0,272-0,698; dan BOD5 2,00-4,60 mg/l.
menyebutkan bahwa adanya mangrove dianggap dapat mengurangi hantaman gelombang, abrasi dan menambah kesejukan di pantai. Keterlibatan masyarakat dalam upaya pengelolaan dapat lebih ditingkatkan jika masyarakat mengetahui dan bisa memanfaatkan langsung mangrove seperti pemanfaatan buah untuk manisan, pemanfaatan kayu, dll. Selama ini tidak ada pemanfaatan langsung terhadap mangrove oleh masyarakat, 100% responden menyebutkan tidak ada pemanfaatan langsung.
Terkait dengan rehabilitasi mangrove, 100% responden mengetahui tentang arti rehabilitasi dan adanya program rehabilitasi yang dilakukan di Pulau Pramuka. Tetapi hanya 80% responden yang menyebutkan pernah terlibat dalam kegiatan rehabilitasi, dan dari keterlibatan tersebut hanya 20% responden yang melakukannya dengan sukarela, 80% lainnya ikut terlibat karena kegiatan tersebut dianggap hanya sebagai proyek dan hanya untuk mendapatkan uang baik dari bibit yang mereka tanam dan tenaga yang mereka keluarkan untuk proses penanaman di pantai. Hal ini juga diperkuat dengan hanya 60% responden yang melakukan swadaya dalam setiap kegiatan rehabilitasi padahal rehabilitasi rutin dilakukan.
Metode dan teknik penanaman oleh 80% responden dianggap sudah dilakukan sudah benar, yaitu rumpun berjarak (bergerombol). Metode tersebut dianggap benar karena mangrove mayoritas dapat tumbuh, tidak seperti metode dan teknik sebelumnya. Sehingga 80% responden menganggap rehabilitasi sudah efektif dan 100% menganggap sudah berhasil. Masyarakat berharap kegiatan rehabilitasi tersebut ada tindak lanjut, tidak hanya saat program saja. 80% responden menyebutkan tidak ada tindak lanjut yang dilakukan setelah kegiatan rehabilitasi dilakukan. Kegiatan tindak lanjut ini bisa dilakukan seperti perawatan, penjarangan, penataan, dll, sehingga mangrove dapat lebih banyak hidup dan tumbuh lebih optimal.
Hasil analisis PCA didapatkan bahwa variabel lingkungan yang mempengaruhi sintasan mangrove adalah nitrat yaitu 99,25%, kecepatan arus yaitu 88,85%, dan kalium yaitu 63,26%. Variabel-variabel tersebut cukup mewakili efektifitas rehabilitasi dimana faktor oseanografi fisika diwakili oleh kecepatan arus dan kimia diwakili oleh nitrat dan kalium.
Setelah dilakukan penilaian efektifitas rahabilitasi, menunjukkan bahwa pada stasiun 1, 2 dan 3 rehabilitasi tergolong efektif dengan nilai 57,58%; 66,77%; dan 66,67%, sedangkan pada stasiun 4 tergolong tidak efektif dengan nilai 48,48%. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa rehabilitasi mangrove di Pulau Pramuka secara umum efektif.
Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa pada parameter pertumbuhan dan sintasan, hanya ada satu lokasi yang mencapai nilai optimal, diantaranya di lokasi stasiun 2 untuk pertumbuhan dan di stasiun 3 untuk sintasan. Optimalnya pertumbuhan dan sintasan dilokasi tersebut banyak dipengaruhi oleh parameter oseanografi dan sudah terbentuknya kondisi ekosistem mangrove yang mendukung terutama untuk bahan organik yang dibutuhkan mangrove yang berasal dari serasah mangrove tersebut.
SUMMARY
AGUS HARYANTO. Effectiveness of Mangrove Rehabilitation On Pramuka Island, Seribu Archipelago. Supervised by FREDINAN YULIANDA and YONVITNER.
Mangrove ecosystem damage is generally caused by human activities, although it is undeniable, nature also has a considerable role. The damage will cause a reduction or even disappearance of system functions and benefits of mangrove for the community and the surrounding environment. To restore the damaged mangrove, it is necessary to attempt rehabilitation through mangrove management on Pramuka Island, Seribu Archipelago.
The purpose of this study was (1) to examine the factors that determine the success of the rehabilitation of mangrove ecosystems on Pramuka Island, Seribu Archipelago, (2) to assess the effectiveness of the rehabilitation of mangrove ecosystems and the factors supporting the success and failure on Pamuka Island, Seribu Archipelago, and (3) to arrange the recommendations to improve the effectiveness of the rehabilitation of mangrove ecosystems on Pramuka Island, Seribu Archipelago.
Assessment of mangrove rehabilitation success rate on Pramuka Island was done by analyzing several indicators of using an effectiveness index with taking into account also the environmental parameters of water quality such as temperature, flow velocity, salinity, pH, DO, TSS, nitrate, potassium, BOD5.
Indicators of effectiveness of mangrove include eco-biologi indicators of mangrove rehabilitation that includes survival, growth and percent cover; and social indicators that include public participation and public perception.
Results of this study showed that the majority of mangroves on Pramuka Island are the saplings, while for trees and seedlings only a small fraction. All existing mangrove rehabilitation was the result of the different planting years, only two trees ware considered a pre-existing natural mangrove long ago. Based on the measurement results, mangrove rehabilitation on Pramuka Island had a relative cover between 0.03 to 2.82%; growth of 13.33 to 32.50 cm/yr; and survival rate of 3.02 to 67.36%.
Environmental conditions in the area of rehabilitation of mangrove waters are shallow water reef around the island stretches to a distance of about 500 m from the shoreline and the water quality is suitable for mangroves. Values of water quality measurements include temperature from 31.7 to 35 °C; flow velocity 0.1-0.3 m/s; TSS 4-16 mg/l; pH 7.54 to 8.20; salinity 25-28 psu; DO from 7.6 to 9.4 mg/l; nitrate from 0.039 to 0.156 mg/l; orthophosphate 0.002 to 0.283 mg/l; potassium 0.272 to 0.698; and BOD5 from 2.00 to 4.60 mg/l.
respondents said that the mangroves are considered to lessen the blow of the waves, erosion and add coolness on the beach. Community involvement in management efforts can be improved if people know and can take advantage of direct utilization of mangrove like to candied fruit, wood utilization, etc.. So far there is no direct use of the mangrove by the community, 100% of respondents said there was no direct use.
Associated with mangrove rehabilitation, 100% of respondents knew about the meaning of rehabilitation and the rehabilitation program conducted on Pramuka Island. But only 80% of respondents who mentioned have been involved in the rehabilitation, and from that involvement was only 20% of respondents who do so voluntarily, the other 80% are involved because these activities are considered only as a project and just to earn money both from the seeds that they planted and energy that they spend on the process of planting on the beach. It is also reinforced with only 60% of respondents who self in any rehabilitation while rehabilitation routine. Methods and techniques of cultivation by 80% of respondents considered already done it right, is the clump (clustered). The method is considered true because the majority of the mangroves can grow, unlike previous methods and techniques. So that 80% of respondents consider rehabilitation was effective and 100% was considered successful. Society hopes that rehabilitation, there is up, not just when the program alone. 80% of respondents said there was no follow-up was performed after the rehabilitation was done. Follow-follow-up activities can be done as treatment, thinning, arrangement, etc., so that mangroves can grow more and more optimal life.
The results of PCA analysis showed that the environment variables that affect mangrove survival rate was nitrate (99.25%), flow velocity (88.85%), and potassium 63.26% ie. These variables adequately represent the effectiveness of rehabilitation in which the factor is represented by the physical oceanography and chemical flow velocity was represented by nitrate and potassium.
Whereas the results of index of rehabilitation effectivity showed that rehabilitation at the stations 1, 2 and 3 is effective with a value of 57.58%, 66.77% and 66.67%, and at station 4 is not effective by the value of 48.48%. From these results, it can be concluded that the rehabilitation of mangroves on Pramuka Island generally effective.
The study also concluded that the parameters of growth and survival, there is only one location that achieve optimal value, including on-site station 2 for growth and at station 3 for survival. Optimal growth and survival at the that location are heavily influenced by oceanographic parameters and the established conditions of mangrove ecosystem that supports especially for organic materials needed mangrove derived from the mangrove litter.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
EFEKTIFITAS REHABILITASI MANGROVE
DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU
AGUS HARYANTO
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Efektifitas Rehabilitasi Mangrove di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu
Nama : Agus Haryanto NIM : C252100144
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Fredinan Yulianda, MSc Ketua
Dr Yonvitner, SPi, MSi Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Prof Dr Ir Mennofatria Boer, DEA
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini. Penelitian ini yang mengambil judul Efektifitas Rehabilitasi Mangrove di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu dilakasanakan pada bulan Meret sampai Agustus 2013.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof Dr Ir Mennofatia Boer, DEA sebagai Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Bapak Dr Ir Fredinan Yulianda, MSc dan Dr Yonvitner, SPi, MSi sebagai Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing yang telah mencurahkan perhatiannya dalam penelitian dan penyelesaian Tesis ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Kepala Biro Perencanaan Kementerian Kelautan dan Perikanan beserta jajarannya yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melanjutkan studi Magister Sains di IPB. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Istri tercinta dan Anakku tersayang atas pengertian dan doanya, Almh. Ibu dan Alm. Bapak kandung dan mertua, serta saudara-saudara yang lain atas dukungan dan doanya. Tak lupa juga kepada rekan-rekan SPL IPB atas dorongan semangatnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2013
DAFTAR ISI
Kegunaan Penelitian 3
Kerangka Alur Pikir Penelitian 3
2 TINJAUAN PUSTAKA 5
Definisi Mangrove 5
Jenis-jenis Mangrove 5
Fungsi Mangrove 7
Permasalahan Terkait Ekosistem Mangrove 8
Pengelolaan Mangrove 8
Efektifitas Pengelolaan (Rehabilitasi) Mangrove 9 Indikator Efektifitas Pengelolaan (Rehabilitasi) Mangrove 10 Kerusakan Mangrove yang Mengarah pada Perubahan Luasan dan
Kerapatan Mangrove 14
3 METODOLOGI PENELITIAN 15
Waktu dan Tempat Penelitian 15
Alat dan Bahan 16
Jenis dan Metode Pengumpulan Data 16
Analisis Data 18
Struktur komunitas Mangrove 18
Analisis Lingkungan Ekosistem Rehabilitasi Mangrove 18
Analisis Efektifitas Rehabilitasi 19
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 21
Kondisi Umum Lokasi Penilitian 21
Keadaan Umum Loksi Penelitian 21
Rehabilitasi Mangrove di Pulau Pramuka 21 Kondisi Lingkungan Perairan di Lokasi Penanaman Mangrove 25
Kondisi Mangrove di Pulau Pramuka 32
Tutupan Relatif Mangrove di Pulau Pramuka 33 Pertumbuhan Mangrove di Pulau Pramuka 35
Sintasan Mangrove di Pulau Pramuka 36
Faktor-faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Efektifitas Rehabilitasi
Ekosistem Mangrove 38
Kondisi Sosial Masyarakat Dalam Rehabilitasi Mangrove 43
Efektifitas Rehabilitasi Mangrove 46
Rekomendasi 48
5 KESIMPULAN DAN SARAN 51
Kesimpulan 51
Saran 51
DAFTAR PUSTAKA 52
DAFTAR TABEL
1 Jenis-jenis vegetasi hutan mangrove penting 6
2 Hubungan faktor salinitas dengan kesesuaian jenis tanaman mangrove 13
3 Letak stasiun pengamatan mangrove 16
4 Parameter fisika dan kimia perairan 17
5 Matriks tingkat efektifitas rehabilitasi mangrove Pulau Pramuka 20
6 Sejarah rehabilitasi mangrove di Pulau Pramuka 23
7 Beberapa permasalah dan tindak lanjut yang dilakukan 25
8 Nilai parameter fisika-kimia di perairan Pulau Pramuka 26
9 Tingkat kesuburan perairan nilai pH 28
10 Tingkat kesuburan perairan nitrat 30
11 Data penanaman mangrove di Pulau Pramuka 35
12 Korelasi antara variabel-variabel pertama dan faktor-faktor utama 39
13 Koordinat pengamatan pada axis utama 40
14 Nilai indeks untuk pertimbangan pembagian kelompok berdasarkan
kondisi lingkungan 42
15 Nilai indeks untuk pertimbangan pembagian kelompok berdasarkan
kondisi mangrove 43
16 Tingkat efektifitas rehabilitasi mangrove di Pulau Pramuka 46
17 Kegiatan pemantauan dan perawatan yang dapat dilakukan pasca
penanaman mangrove 50
18 Data parameter fisika, kimia, biologi, sosial ekonomi, budaya dan
kelembagaan 59
DATAR GAMBAR
1 Kerangka pendekatan alur penelitian 4
2 Hubungan asosiasi komponen biotik dan abiotik pada mangrove 5
3 Lokasi stasiun pengambilan data di sekitar perairan Pulau Pramuka
kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu 15
4 Metode penanaman mangrove dengan metode ajir yang dilakukan pada tahun 2003-2004 (Sumber: TNKpS 2009) 24
5 Penanaman mangrove pada bulan September 2005 yang dilakukan dengan menancapkan propagul bakau pada lubang tanam di lokasi penanaan
dengan sistem rumpun berjarak (Sumber: TNKpS 2009) 24
6 Hasil penanaman program GERHAN tahun 2005/2006 (Sumber: TNKpS
2009) 24
7 Hasil penanaman mangrove tahun 2007 (Sumber: TNKpS 2009) 25
8 Nilai tutupan mangrove di Pulau Pramuka 33
9 Tutupan mangrove di seluruh stasiun pengamatan di Pulau Pramuka 34
10 Nilai sintasan mangrove di Pulau Pramuka 37
11 Biplot korelasi variabel-variabel lingkungan dan lokasi penanaman
mangrove 40
12 Dendogram pengelompokan karakteristik lokasi penelitian berdasarkan
kondisi lingkungan 42
13 Dendogram pengelompokan karakteristik lokasi penelitian berdasarkan
kondisi mangrove 43
14 Tingkat persepsi masyarakat terhadap mangrove dan pengelolaan
mangrove 44
15 Tingkat persepsi masyarakat terhadap rehabilitasi mangrove 45
16 Skoring parameter efektifitas rehabilitasi mangrove di Pulau Pramuka 48
17 Lingkaran korelasi dari variabel lingkungan 65
DAFTAR LAMPIRAN
1 Jenis dan metode pengambilan data 59
2 Pembibitan dan ukuran tanam semai mangrove 61
3 Pengukuran stasiun pengamatan (plot) dengan metode transek kuadrat 62
4 Pengukuran kualitas perairan lingkungan 63
5 Diskusi dan wawancara 64
6 Hasil analisis PCA 65
7 Peta kondisi keberadaan mangrove dan potensi di Pulau Pramuka 67
8 Peta site plan penanaman mangrove, lamun dan terumbu karang
mangrove di Pulau Pramuka 68
9 Kuesioner sosial ekonomi masyarakat di Pulau Pramuka 69
10 Tahapan-tahapan rehabilitasi mangrove 73
11 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 (Lampiran 3: Baku mutu air laut untuk biota laut) 75
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ekosistem mangrove mempunyai fungsi yang sangat kompleks baik secara ekologi maupun sosial ekonomi, dalam memainkan peranannya sebagai penyangga antara ekosistem darat dan laut yang saling berinteraksi dengan ekosistem pesisir lainnya, seperti estuaria, tambak, padang lamun dan terumbu karang (Quoc et al. 2012). Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir yang mempunyai peran sangat penting dalam mendukung produktivitas perikanan, sebagai nursery ground (tempat pembesaran) dan spawning ground (tempat pemijahan) bagi beragam jenis biota air.
Selain itu ekosistem mangrove berperan sebagai pensuplai bahan makanan
(food supply) bagi berbagai jenis biota air di wilayah pesisir dan dapat menyediakan
berbagai jenis produk dan jasa lingkungan untuk kesejahteraan hidup masyarakat dan kualitas lingkungan pantai dimana mangrove tersebut tumbuh (Kusmana 2007). Beberapa diantaranya meliputi fungsi sebagai penahan erosi pantai, pencegah intrusi air laut ke daratan, pengendali banjir, merupakan perlindungan pantai secara alami mengurangi resiko dari bahaya tsunami dan juga merupakan habitat dari beberapa jenis satwa liar (burung, mamalia, reptilia dan amphibia) (Othman 1994). Kekhasan ekosistem mangrove Indonesia adalah keragaman jenis yang tertinggi di dunia. Dari 15,9 juta ha mangrove dunia, sekitar 4,25 juta ha (27%) berada di Indonesia (FAO 1982). Tetapi selama beberapa dekade, ekosistem mangrove telah mengalami kerusakan yang serius dan pada kondisi yang membahayakan, serta peranannya banyak diabaikan dengan banyaknya konversi ekosistem mangrove menjadi peruntukan lain seperti pemukiman, infrastruktur transportasi, budidaya pertanian dan perikanan (khususnya pengembangan tambak udang), dan untuk pemanfaatan arang dan konstruksi (Komiyama et al. 1996; Kairo
et al. 2001; Alonzo-Perez et al. 2003; Thampanya et al. 2006; Walton et al. 2007;
Bashan et al. 2013).
Di Indonesia, luas ekosistem mangrove setiap tahun terus mengalami penurunan. Luas ekosistem mangrove tahun 1982 adalah 5.209.543 ha, tahun 1987 seluas 3.235.700 ha, tahun 1993 seluas 2.496.185 ha, dan tahun 1999 seluas 2.346.414 ha. Berdasarkan data tersebut dapat dijelaskan bahwa selama 17 tahun (1982-1999) luas ekosistem mangrove di Indonesia mengalami penurunan sekitar 54% atau 3,2% pertahun (Sofyan 2001). Berkurangnya kawasan mangrove tersebut akan menyebabkan peningkatan tekanan terhadap keamanan manusia dan pembangunan kawasan pesisir dari bahaya bencana pesisir seperti erosi, banjir, gelombang badai dan tinggi (Gilman et al. 2008), sehingga dianggap perlu untuk melakukan rehabilitasi.
Field (1998) menyatakan terdapat tiga alasan untuk melakukan rehabilitasi mangrove, yaitu (1) konservasi dan landscaping; (2) sistem-sistem multi pemanfaatan untuk produksi yang berkelanjutan; dan (3) perlindungan area-area pesisir. Alasan yang ketiga tersebut merupakan salah satu alasan rehabilitasi yang dilakukan di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu.
kecil pulau-pulau yang mempunyai tegakan mangrove dan dikhususkan untuk rehabilitasi mangrove terutama pulau-pulau pemukiman yang relatif sudah tidak ditumbuhi oleh mangrove (Pulau Pramuka, Pulau Kelapa dan Pulau Harapan). Upaya rehabilitasi ekosistem dan proses pemulihannya sangat sulit dilakukan dikarenakan media tumbuhnya sangat miskin hara dan gelombang laut di musim barat atau timur seringkali menghanyutkan tanaman yang sudah mulai tumbuh namun sistem perakaran kurang kompak.
Upaya rehabilitasi dilakukan dengan membuat persemaian mangrove semi alami, penanaman mangrove (bakau) dan kegiatan GNRHL Mangrove pada tahun 2005/2006 dan Tahun 2007 ini sampai dengan saat ini. Perbedaan kondisi habitat, sifat dan tipe substrat/sedimen serta bentuk pantai yang khas dan sangat berbeda dengan di daratan menuntut suatu metode tersendiri dalam rehabilitasi ekosistem mangrove di TNKpS. Metode rumpun berjarak yang dikembangkan oleh BTNKpS merupakan metode yang dinilai paling cocok untuk kegiatan rehabilitasi ekosistem mangrove di TNKpS. Upaya rehabilitasi ekosistem mangrove yang pernah dilakukan di Pulau Pramuka, TNKpS yaitu: 1) mengalami kegagalan/kurang efektif pada tahun 2003 dan 2004 dengan menggunakan metode ajir; 2) memiliki persentase tumbuh bagus pada tahun 2002 dan 2004 dengan menggunakan metode tanam rapat dan metode penanaman bibit bakau dengan polybag dan 3) mengalami keberhasilan/persentase tumbuh tinggi pada tahun 2005, 2006 dan 2007.
Menyadari akan pentingnya ekosistem mangrove bagi kehidupan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung maka diperlukan suatu pengelolaan ekosistem yang ditekankan pada aspek ekologi dan sosial ekonomi masyarakat setempat. Pengembangan pengelolaan dan rehabilitasi juga sangat penting dilakukan agar dapat menciptakan suatu kondisi yang dapat mendukung terjadinya proses regenerasi secara alami. Untuk itu diperlukan kajian terkait efektifitas rehabilitasi agar dapat menciptakan suatu kondisi yang dapat mendukung terjadinya proses regenerasi secara alami.
Disamping itu, strategi pelibatan masyarakat lokal dipandang lebih efektif dibandingkan dengan pelestarian satu arah yang hanya dilakukan oleh pemerintah. Dengan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya fungsi pelestarian dalam suatu kawasan, maka akan dapat memelihara fungsi keseimbangan ekosistem dan fungsi ekonomi kawasan tersebut bagi masyarakat setempat.
Rumusan Masalah
Kerusakan ekosistem mangrove umumnya disebabkan oleh aktivitas manusia, walaupun tak bisa dipungkiri alam juga memiliki peran yang cukup besar dalam hal ini. Kerusakan tersebut akan menyebabkan berkurangnya atau bahkan menghilangnya fungsi sistem dan manfaat mangrove bagi masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Untuk mengembalikan kondisi mangrove yang rusak, maka diperlukan upaya pengelolaan melalui rehabilitasi mangrove di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu.
kuantitatif ditentukan oleh kondisi sosial ekonomi masyarakat dan jumlah penduduk. Partisipasi dan peran aktif masyarakat setempat menjadi salah satu faktor utamanya. Pengelolaan yang melibatkan masyarakat diharapkan akan lebih efektif karena masyarakat lokal lebih dapat diberdayakan dan merasa terlibat, sehingga pada saatnya nanti akan tumbuh rasa tanggung jawab untuk mengelola lingkungan mereka sendiri.
Berdasarkan uraian di atas, maka efektifitas program rehabilitasi mangrove di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu mencakup:
1. Tingkat keberhasilan rehabilitasi ekosistem mangrove di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu;
2. Meramalkan faktor yang mempengaruhi keberhasilan/kegagalan rehabilitasi mangrove di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah:
1. Mengkaji faktor yang menentukan keberhasilan rehabilitasi ekosistem mangrove di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu;
2. Mengkaji efektifitas rehabilitasi ekosistem mangrove dan faktor-faktor penunjang keberhasilan dan kegagalannya di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu;
3. Menyusun rekomendasi untuk meningkatkan efektifitas rehabilitasi ekosistem mangrove di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu.
Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini adalah sebagai dasar untuk menetapkan rencana rehabilitasi yang tepat dan terukur sehingga bisa dijadikan sebagai dasar pengelolaan.
Kerangka Alur Pikir Penelitian
Untuk mengetahui tingkat keberhasilan usaha rehabilitasi mangrove pada setiap satuan lahan pengamatan, maka perlu dikumpulkan data lahan (jenis subsrat dan kandungan hara), bibit (jenis, ukuran dan kualitas), teknologi yang digunakan, sumberdaya manusia yang ada, data sosial hukum serta kelembagaan.
Kajian keberhasilan usaha rehabilitasi mangrove dalam penelitian ini akan ditinjau dari aspek:
1. Tingkat hidup dari mangrove rehabilitasi.
2. Peningkatan pertumbuhan/laju tumbuh dan persen tutupan mangrove. 3. Tingkat kepedulian masyarakat terhadap rehabilitasi mangrove.
tanam antar mangrove, aturan dalam menentukan jumlah dan besaran lubang yang digunakan serta seberapa besar efektifitas teknologi yang digunakan dalam rangka fungsi mangrove sebagai pelindung dari ombak, arus, dan pasang surut. Sedangkan tingkat keberhasilan untuk sosial dilihat dari prosentase masyarakat sekitar yang peduli, melakukan swadaya dan menerapkan teknologi yang ada. Adapun kerangka alur penelitian ini adalah sebagai berikut:
Gambar 1 Kerangka pendekatan alur penelitian Ekosistem dan
SDA
Metode Rehabilitasi
Sosial Masyarakat
Kondisi Lingkungan
Bibit Mangrove
Teknik Penanaman
Tingkat Kepedulian Sintasan
Mangrove
Tingkat Pertumbuhan
Persen Tutupan
Efektifitas Rehabilitasi
Rehabilitasi Gagal
Rehabilitasi Berhasil Ya
2
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi Mangrove
Mangrove merupakan perpaduan kombinasi antara bahasa Portugis mangue
dan bahasa Inggris grove (Macnae 1968). Kata mangrove dalam bahasa Portugis digunakan untuk menyatakan individu jenis tumbuhan, sedangkan mangal digunakan untuk menyatakan komunitas tumbuhan. Sedangkan dalam bahasa Inggris mangrove digunakan untuk menyatakan suatu komunitas pepohonan, rumput dan semak belukar yang tumbuh di daerah pesisir maupun individu jenis tumbuhan lainnya yang berasosiasi satu sama lain.
Gambar 2 Hubungan asosiasi komponen biotik dan abiotik pada mangrove
Hutan Mangrove merupakan suatu komunitas vegetasi pantai hutan tropis yang didominasi oleh beberapa pohon yang khas dan semak belukar yang memiliki kemampuan untuk tumbuh di lingkungan laut (Nybakken 1988). Mangrove selalu berada pada lingkungan perairan dangkal dan terlindung seperti: laguna, estuaria dan teluk yang menjadi habitat penting bagi ikan dan biota lainnya (Nagelkerken dan Faunce 2008) seperti: kepiting (Simith dan Diele 2008), serta serangga (semut) yang memberikan pengaruh yang positif terhadap penampilan mangrove (Cannici
et al. 2008) dan gastropoda (Fratini et al. 2004).
Jenis-jenis Mangrove
Wilayah mangrove dicirikan oleh tumbuhan yang khas dari jenis-jenis
Rhizopora, Bruguera, Ceriops, Avicenia, Xylocarpus dan Acrostichum
(Soerianegara 1987). Bengen (2000a) menambahkan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas genus:
Avicennia, Sonneratia, Rhizopora, Bruguirea, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera,
Laguncularia, Aegiceras Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus.
Mangrove terdiri dari berbagai famili tumbuhan yang beradaptasi pada lingkungan tertentu. Tomlinson (1986) membagi spesies mangrove kedalam 3 komponen:
1. Komponen utama (major component): tumbuhan yang membentuk spesialisasi morfologis seperti akar udara dan mekanisme fisiologi khusus lainnya untuk
Asosiasi mangrove Mangal
Eko-sistem
Mikrohabitat mangrove Mikrohabitat biologi Mangrove
mengeluarkan garam agar dapat beradaptasi terhadap lingkungan mangrove. Secara taksonomi tumbuhan ini berbeda dengan tumbuhan darat.
2. Komponen tambahan/tumbuhan pantai (minor componenet): kelompok ini bukan merupakan bagian yang penting dari mangrove, biasanya terdapat pada daerah tepi dan jarang sekali membentuk tegakan murni.
3. Asosiasi mangrove (mangrove associates): kelompok ini tidak pernah tumbuh di dalam komunitas mangrove sejati dan biasanya tumbuh bersama tumbuhan darat.
Menurut Tomlinson (1986), komponen utama terdiri dari 34 jenis dalam 9 genera dan 5 famili. Komponen tambahan terdiri dari 20 jenis dalam 11 genera dan 11 famili, sehingga totalnya ada 54 jenis mangrove dalam 20 genera dan 16 famili serta 60 jenis asosiasi mangrove dalam 46 genera. Sedangkan menurut Duke (1992) ada 69 jenis mangrove dalam 26 genera dan 20 famili ditambah 7 jenis hibrid. Berdasarkan hal tersebut, Kathiresan dan Bingham (2001) sepakat menggabungkannya menjadi 65 jenis mangrove dalam 22 genera dan 16 famili.
Ekosistem mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang termasuk tertinggi di dunia, tercatat 89 jenis yang terdiri dari 35 jenis berupa pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit, dan 2 jenis (Nontji 1987). Beberapa jenis pohon mangrove yang dijumpai di wilayah pesisir Indonesia adalah Bakau (Rhizophora spp.), Api-api (Avicennia spp.), Pedada (Sonneratia spp.), Tancang (Bruguiera spp.), Tengar (Ceriops spp.), Nyirih (Xylocarpus spp.) dan Buta-buta (Excoecaria spp.).
Tabel 1 Jenis-jenis vegetasi hutan mangrove penting
No. Famili Genus Jumlah Spesies Bentuk Tumbuhan
A. Komponen Utama
1. Avicenniaceae Avicennia 8 Pohon/semak
2. Combretaceae Laguncularia 1 Pohon/semak
Lumnitzera 2 Pohon/semak
3. Palmae Nypa 1 Palem
4. Rhizophoraceae Rhizophora 8 Pohon
Bruguiera 6 Pohon
Ceriops 2 Pohon/semak
Kandelia 1 Pohon/semak
5. Sonneratiaceae Sonneratia 5 Pohon/semak
B. Komponen Tambahan
6. Bombacaceae Camptostemon 2 Pohon
7. Euphorbiaceae Excoecaria 2 Pohon/semak
8. Lythraceae Pemphis 1 Semak/pohon
9. Meliaceae Xylocarpus 2 Pohon
10. Myrsinaceae Aegiceras 2 Semak/Pohon
11. Myrtaceae Osbornia 1 Pohon/semak
12. Pellicieraceae Pelliciera 1 Pohon
13. Plumbaginaceae Aegialitis 2 Semak
14. Pteridaceae Acrostichum 3 Herba
15. Rubiaceae Scyphiphora 1 Pohon/semak
16. Sterculiaceae Heritiera 3 Pohon
Fungsi Mangrove
Ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang unik dengan berbagai macam fungsi, yaitu fungsi fisik, fungsi biologi dan fungsi ekonomi (Sneadaker 1984). Musibah gempa dan ombak besar tsunami yang melanda Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Pulau Nias akhir tahun 2004 yang lalu telah mengingatkan kembali betapa pentingnya mangrove dan hutan pantai bagi perlindungan pantai (Anwar 2006).
Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekositem wilayah pesisir yang mempunyai manfaat ganda meliputi: ekologi, sosial ekonomi, dan jasa lingkungan (Sobari et al. 2006; Stone et al. 2008). Secara fisik, hutan mangrove berfungsi menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai, mencegah intrusi air laut ke daratan, sebgai perangkap zat-zat pencemar dan limbah serta kawasan penahan air (Ecoton 1998). Bengen (2002) menambahkan hutan mangrove berfungsi sebagai peredam gelombang dan angin, pelindung abrasi, penahan lumpur, perangkap sedimen, intrusi air laut dan penyaring logam berat. Hutan mangrove yang banyak tumbuh di estuari juga dapat berfungsi untuk mengurangi banjir.
Mangrove banyak memberikan fungsi ekologi sehingga dijadikan salah satu produsen utama perikanan laut. Kunci utama yang menggerakkan fungsi ekosistem mangrove tersebut adalah komponen vegetasi mangrove sebagai produsen yang menghasilkan bahan organik sebagai sumber makanan konsumen primer, sekunder dan top konsumen dalam jaring-jaring pangan (food web) di ekosistem mangrove yang bersangkutan. Vegetasi mangrove juga dapat berperan dalam amaliorasi iklim mikro dan perbaikan kualitas lingkungan (tanah, air, udara) di ekosistem mangrove 3 tersebut (Kusmana 2007).
Hutan mangrove dari segi biologi sebagai penghasil sejumlah besar detritus dari daun dan ranting mangrove. Daun mangrove yang gugur melalui proses penguraian oleh mikroorganisme diuraikan menjadi partikel serasah yang selanjutnya diolah menjadi bahan makanan bagi hewan pemakan detritus seperti cacing. Bengen (2002) dan MacDanald et al. (2009) menambahkan mangrove berfungsi sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerah mencari makanan
(feeding ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) berbagai jenis ikan,
udang dan biota lainnya. Macnae (1974) in Aksornkoae (1993) mengatakan kepiting bakau Penaeus indicus, P.merguinensis dan P.monodon memanfaatkan hutan mangrove untuk berlindung selama masa juvenile. Ikan laut seperti bandeng
(Channos channos) memanfaatkan hutan mangrove sebagai tempat untuk mencari
makanan. Hutan mangrove juga merupakan habitat bagi berbagai jenis burung, reptil dan mamalia sehingga hutan mangrove menyediakan keanekaragaman hayati dan plasma nutfah yang tinggi sebagai sistem penunjang kehidupan.
Permasalahan Terkait Ekosistem Mangrove
Penyebab kerusakan ekosistem mangrove dapat dikategorikan ke dalam tiga jenis gangguan (Kusmana dan Onrizal 1998):
1. Gangguan fisik-mekanis
Abrasi pantai atau pinggir sungai
Sedimentasi dengan laju yang tidak terkendali
Banjir yang menyebabkan melimpah air tawar
Gempa bumi (tsunami) 2. Gangguan kimia
Pencemaran air, tanah dan udara
Hujan asam 3. Gangguan Biologi
Konversi mangrove untuk pemukiman, industri, pertambakan, pertanian, pertambangan, sarana angkutan dan penggunaan lahan non kehutanan.
Penebangan pohon yang tidak memperhatikan asas kelestarian hutan.
Invasi Acrostichum aureum (piay) dan jenis semak belukar lainnya.
Menurut Annisa (2004), terdapat beberapa aktivitas yang menyebabkan kerusakan dan tekanan pada mangrove:
Tersedianya kandungan unsur hara dan mineral
Tersedianya air tawar
Eksploitasi hutan mangrove secara liar
Perubahan fungsi menjadi lahan pertanian dan budidaya perikanan
Limbah minyak dan bahan-bahan kimia lainnya yang berbahaya
Pembuangan limbah keluarga
Pengelolaan Mangrove
Hutchings dan Saenger (1987) menyatakan bahwa pengelolaan hutan mangrove harus berdasarkan pada filosofi konservasi, dalam hal ini pengelolaan hutan mangrove harus mencakup rencana pengelolaan yang mengoptimumkan konservasi sumberdaya mangrove untuk memenuhi kebutuhan manusia dengan tetap mempertahankan cadangan yang cukup untuk melindungi keanekaragaman flora dan fauna yang hidup di dalamnya.
Alikodra et al. (1993) mengemukakan strategi pengelolaan hutan mangrove pada skala nasional dapat digunakan sebagai arahan dan landasan kebijakan untuk melindungi potensi sumberdaya hutan mangrove, meliputi:
1. Save it, yaitu mengamankan ekosistem hutan mangrove dengan melindungi
genetika, spesies dan ekosistemnya,
2. Study it, yaitu mempelajari ekosistem hutan mangrove yang meliputi biologi,
komposisi, struktur, fungsi ekologis, distribusi dan kegunaannya; dan
3. Use it, yaitu memanfaatkan ekosistem hutan mangrove secara lestari dan
seimbang secara adil untuk kesejahteraan masyarakat.
masalah ekonomi masyarakat selain tujuan konservasi hutan mangrove tercapai. Aksornkoae (1989) menyatakan bahwa aspek sosiologi dan ekonomi diwujudkan dalam bentuk pengelolaan yang bersifat multiguna. Menurut Dahuri et al. (1996) pengelolaan multiguna mengharuskan sumberdaya dimanfaatkan untuk kepentingan banyak pihak secara seimbang sehingga terhindar dari orientasi tunggal yang sempit dan berjangka pendek. Melalui pengelolaan multiguna, jangkauan kegiatan lebih beragam sehingga pilihan yang lebih luas bagi masyarakat lokal untuk terlibat dalam pengelolaan hutan mangrove.
Selanjutnya disebutkan terdapat dua strategi pelibatan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam, termasuk ekosistem hutan mangrove, yaitu pengelolaan berbasiskan masyarakat dan pengelolaan berdasarkan sistem intensif. Rahardjo (1985) mengemukakan pengelolaan berbasis masyarakat mengandung arti keterlibatan masyarakat secara langsung dalam mengelola hutan mangrove di suatu kawasan. Mengelola berarti masyarakat ikut memikirkan, memformulasikan, merencanakan, mengimplementasikan, mengevaluasi maupun memonitor sesuatu yang menjadi kebutuhannya. Sedangkan pengelolaan dengan menerapkan sistem insentif diharapkan dapat merangsang dan memacu usaha masyarakat dalam kegiatan pengelolaan hutan mangrove. Sistem insentif dapat dilakukan melalui peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan peran serta masyarakat.
Kedua konsep tersebut pada dasarnya memberikan legitimasi dan pengertian bahwa mangrove sangat memerlukan pengelolaan dan perlindungan agar dapat tetap lestari (Bengen 2001). Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam rangka perlindungan terhadap keberadaan hutan adalah dengan menunjuk suatu kawasan konservasi, dan sebagai bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai. Dalam konteks tersebut, berdasarkan karakteristik lingkungan, manfaat dan fungsinya, status pengelolaan ekosistem mangrove dengan didasarkan data Tataguna Hutan Kesepakatan (Santoso 2000) terdiri atas:
1. Kawasan Lindung (hutan, cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman hutan raya, cagar biosfer).
2. Kawasan Budidaya (hutan produksi, areal penggunaan lain).
Saat ini dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove partisipatif yang melibatkan masyarakat. Ide ini dikembangkan atas dasar pemikiran bahwa masyarakat pesisir yang relatif miskin harus dilibatkan dalam pengelolaan mangrove dengan cara diberdayakan, baik kemampuannya (ilmu) maupun ekonominya. Pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove yang dikembangkan adalah pola partisipatif meliputi: komponen yang diawasi, sosialisasi dan transparansi kebijakan, institusi formal yang mengawasi, para pihak yang terlibat dalam pengawasan,mekanisme pengawasan, serta insentif dan sanksi (Santoso 2000).
Efektifitas Pengelolaan (Rehabilitasi) Mangrove
rencana, dan harus dievaluasi dalam konteks bahwa perlu proses pembelajaran dari kesuksesan maupun kegagalan dari sistem yang sudah berjalan. Untuk itu, proses monitoring dan evaluasi dalam pengelolaan ini perlu dilakukan.
Seperti yang dijelaskan oleh Pomeroy dan Rivera-Guieb (2006), rencana monitoring dilakukan untuk menjamin bahwa program yang dijalankan sesuai dengan rencana. Ada dua alasan mengapa perlu rencana monitoring yaitu pertama, untuk meyakinkan kepada stakeholders bahwa apa yang direncanakan memang diimplementasikan dan diukur secara sistematik. Kedua, untuk mempelajari apakah aksi yang telah diambil sesuai dengan tujuan dilakukan oleh aksi tersebut. Dengan demikian, tindakan korektif dapat diambil apabila aksi yang telah ditetapkan tidak sesuai dengan rencana.
Indikator Efektifitas Pengelolaan (Rehabilitasi) Mangrove
Sebagai langkah awal mencegah semakin rusaknya mangrove yang ada, salah satu cara untuk pengelolaan ekosistem mangrove adalah berdasarkan filosofi konservasi. Menurut Dahuri et al. (2004) bahwa ekosistem mangrove sangat sensitif terhadap faktor-faktor seperti sirkulasi air, salinitas, dan aspek fisika-kimia dan subsrat hidupnya. Konservasi ekosistem dan sumberdaya di dalamnya dapat dicapai dengan mencegah terjadinya perubahan-perubahan nyata dari faktor-faktor tersebut di atas. Namun yang lebih penting adalah pengelolaan yang mengoptimumkan konservasi sumberdaya mangrove untuk memenuhi kebutuhan manusia baik tradisional dan masa kini dengan tetap mempertahankan cadangan yang cukup untuk melindungi keanekaragaman flora dan fauna yang hidup.
a. Indikator Ekosistem
Untuk melihat dampak kegiatan rehabilitasi terhadap kualitas mangrove, maka informasi yang perlu dilakukan analisis mengenai kualitas mangrove. Informasi lainnya yang perlu dianalisis adalah kecenderungan tekanan terhadap ekosistem mangrove. Apakah pola-pola pemanfaatan sumberdaya mangrove selama ini khususnya yang merusak mangrove masih berlangsung atau sudah tidak ada. Demikian juga faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi seperti pencemaran, sedimentasi dan sebagainya dari daratan apakah masih ada atau sudah dikelola dengan baik.
b. Indikator Habitat
Ekosistem mangrove bersifat dinamis, setiap tempat memiliki komposisi spesies tersendiri. Ekosistem ini memiliki kemampuan tinggi untuk kembali terbentuk setelah terjadi kerusakan hebat selama pola hidrologi kembali stabil dan tersedia sumber propagul (Manssrisuksi et al. 2001). Perubahan fisik seperti pengeringan, pembangunan kanal, dan pemakaian pupuk dapat mempengaruhi habitat mangrove, sehingga struktur dan komposisinya dapat berubah-ubah (Tanaka 1992).
c. Indikator Lingkungan
Adapun faktor lingkungan yang berpengaruh bagi pertumbuhan mangrove dipengaruhi oleh fisiologi pantai, iklim, pasang surut, gelombang dan arus, salinitas, oksigen terlarut, dan tanah (Kusmana et al. 2005).
Fisiografi Pantai
karakteristik struktur mangrove, khususnya komposisi jenis, distribusi jenis dan ukuran serta luas ekosistem mangrove. Semakin datar pantai dan semakin besar pasang surut, maka semakin lebar ekosistem mangrove yang akan tumbuh.
Iklim
Faktor iklim yang berpengaruh bagi pertumbuhan mangrove meliputi cahaya matahari, curah hujan, suhu udara, dan angin, adalah sebagai berikut:
a. Cahaya matahari
Intensitas cahaya merupakan faktor yang menyebabkan terjadinya peningkatan suhu yang pada akhirnya berdampak kepada meningkatnya kebutuhan air. Untuk itu perlu adanya adaptasi untuk menjaga keseimbangan fotosintesis dan kebutuhan air akibat adanya faktor cahaya. Ada beberapa pola tanaman mangrove dalam mensiasati kebutuhan cahaya yaitu: (1) tanaman yang toleran terhadap naungan
(shade tolerance) seperti Aegiceras, Ceriops, Bruguiera, Osbronia,
Xylocarpus Excoecaria, (2) species yang tidak toleran terhadap naungan
(shade intolerance) yaitu: Acrosticum, Achantus, Aegialitis, Rhizopora,
Lumnitzera, Scyphiphora dan Sonneratia, (3) semi intoleran, yaitu pada
saat anakan tidak toleran terhadap naungan tetapi pada saat toleran, yaitu: Avicennia (Hilmi 2009).
b. Curah Hujan
Kondisi curah hujan dapat memberikan pengaruh bagi lingkungan pertumbuhan mangrove. Hal ini terutama disebabkan oleh suhu air dan udara serta salinitas air permukaan tanah yang berpengaruh pada daya tahan jenis mangrove. Mangrove akan tumbuh dengan subur pada daerah dengan kisaran curah hujan rata-rata 1500-3000 mm/tahun c. Suhu Udara
Suhu mempengaruhi proses fisiologis mangrove seperti fotosintesis dan respirasi. Hutcing dan Saenger (1987) mengatakan kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan beberapa jenis mangrove, yaitu: Avicennia
marina tumbuh baik pada suhu 18-20 ºC, Rhizopora stylosa, Ceriops
spp, Exoecaria agallocha dan Lumnitzera racemosa pertumbuhan daun segar tertinggi dicapai pada suhu 26-28 ºC, suhu optimum Bruguiera
spp 27 ºC, Xylocarpus spp berkisar antara 21-26 ºC dan Xylocarpus
granatum 28ºC. Pertumbuhan mangrove yang baik memerlukan suhu
rata-rata minimal 20 ºC. d. Angin
Angin juga berpengaruh terhadap gelombang dan arus pantai yang dapat menyebabkan abrasi dan mengubah struktur mangrove, meningkatkan evatransportasi dan angin kuat dapat menghalangi pertumbuhan serta menyebabkan karakteristik fisiologis abnormal.
Pasang Surut
Mangrove diklasifikasikan menjadi 5 kelas penggenangan. Dasar pembagian ini adalah frekuensi penggenangan di suatu tempat per bulan. Adapun pengklasifikasian hutan mangrove adalah sebagai berikut:
yang dapat hidup. Ini pun terbatas pada tepi-tepi sungai, di atas tanah tenggelam dengan arus yang selalu ada. Tajuknya di atas air. Di daerah pantai terbuka kelas penggenangan ini tidak dijumpai oleh vegetasi mangrove (steril).
Kelas 2, digenangi oleh pasang setengah tinggi dengan frekuensi 45-59 per bulan. Di daerah ini tumbuh Avicennia spp dan Sonneratia spp (umumnya Avicennia alba dan Avicennia grifitii). Di ujung tepi sungai umumnya didominasi oleh Rhizopora mucronata.
Kelas 3, digenangi pasang normal dengan frekuensi 20-45 per bulan. Sebagian besar jenis mangrove dapat hidup di kelas penggenangan ini, tetapi Rhizopora spp predominan dan umumya dijumpai dekat daerah berarus. Di tanah yang teguh seringkali berasosiasi dengan Ceriops
candolleaans. Rhizopora conyugata mencapai pertumbuhan
optimalnya dan akan membentuk tegakan murni. Bruguiera parviflora
tumbuh baik dan sering bercampur dengan Rhizopora spp.
Kelas 4, digenangi pasang lewat dengan frekuensi 2-20 per bulan. Di kelas penggenangan ini Rhizopora spp mulai terdesak oleh Bruguiera gymnorrhiza karena tanahnya mulai sedikit kering. Di substrat yang keras akan dijumpai Bruguiera parviflora namun kadang dijumpai dengan Bruguiera evioptala tetapi umumnya tumbuh tidak merata.
Kelas 5, zonasi yang digenangi oleh pasang dengan frekuensi 0-2 per bulan. Bruguiera gymnorrhizadapat dijumpai di zona ini. Selain itu, nipah tumbuh dengan baik di kelas penggenangan pada substrat yang keras.
Gelombang dan Arus
Terjadinya gelombang dan arus dipengaruhi oleh gerakan angin. Pada pantai berpasir dan berlumpur, gelombang dapat membawa partikel pasir dan sedimen laut. Partikel besar atau kasar akan mengendap kemudian terakumulasi membentuk pantai pasir. Umumnya mangrove akan tumbuh pada lokasi yang arusnya tenang.
Salinitas
Salinitas dan kadar garam air merupakan faktor yang penting bagi pertumbuhan, laju daya tahan hidup, dan zonasi dari jenis-jenis mangrove. Mangrove dapat hidup dan tumbuh subur di pesisir dengan kadar salinitas antara 10-30 ppt, namun ada jenis mangrove yang dapat tumbuh pada kondisi garam yang lebih tinggi, misalnya Avicennia marina dan
Excoecaria agallocha dapat tumbuh pada kondisi salinitas tinggi yaitu
sekitar 85 ppt. Avicennia officinales pada salinitas tertinggi sekitar 63 ppt. Batas maksimum kadar garam untuk Ceriops spp sekitar 72 ppt, Sonneratia
spp. 44 ppt, Rhizopora apiculata 65 ppt, Rhyzopora stylosa 74 ppt,
Xylocarpus granatum pada kadar garam 34 ppt, Bruguiera spp pada garam
37 ppt. Berdasarkan penelitian Macnae (1968) Avicennia marina dan
Lumnitzera racemosa dapat hidup pada salinitas sampai 900/00, Rhizopora
dapat hidup dengan salinitas lebih dari 650/00, Avicennia germinans dapat
tumbuh pada salinitas 60-800/00. Untuk melihat pola dan kemampuan
Tabel 2 Hubungan faktor salinitas dengan kesesuaian jenis tanaman mangrove
Tingkat salinitas (ppt) Kelas penggenangan Jenis Mangrove
10-30 tergenang 1-2 kali per hari,
sekurang-kurangnya 20 hari per bulan
Avicennia spp. Sonneratia spp. Rhizopora spp.
10-30 tergenang 10-19 kali per bulan Bruguiera gymnorrhiza
10-30 tergenang sekali setiap 9 hari
atau 4 kali sebulan
Xylocarpus spp. Heritera spp.
10-30 tergenang hanya beberapa hari
per tahun
Bruguiera spp. Seyphiphora spp. Lumnitzera spp.
0 tanah sedikit sekali terpengaruh
pasang surut
0 tanah dipengaruhi oleh air tawar
(air tanah) di musin hujan
Oncosperma spp. Carbera spp.
Oksigen Terlarut
Keadaan oksigen terlarut sangat penting bagi eksistensi flora dan fauna mangrove terutama dalam proses fotosintesis dan respirasi serta percepatan dekomposisi serasah sehingga konsentrasi oksigen terlarut berperan mengontrol distribusi dan pertumbuhan mangrove.
Tanah
Substrat ekosistem mangrove di Indonesia umumnya terdiri atas substrat yang bertekstur halus, mempunyai tingkat kematangan yang rendah, memiliki kadar garam dan alkalinitas tinggi dan sering mengandung lapisan sulfat masam atau bahan sulfidik (cat clay). Kandungan liat dan debu umumnya tinggi, kecuali substrat mangrove di pulau karang yang banyak mengandung pasir atau pecahan batu karang. Semakin jauh dari pantai kadar garam dan alkilinitas tanah menurun dan susunan kation berubah dari Na>Mg>Ca menjadi Mg>Ca>Na dan Ca>Mg>Na. Tingginya kadar Na di daerah mangrove tidak diikuti kenaikan pH yang sebanding akibat banyaknya sumber keasaman substrat di daerah tersebut. Karena tingginya kadar garam dan dalam beberapa hal adanya lapisan cat clay di permukaan, maka substrat mangrove umumnya tidak cocok untuk pertanian atau harkat pertaniannya sangat rendah.
d. Indikator Masyarakat
Indikator karakteristik sosial dan ekonomi masyarakat yang perlu dievaluasi pada pengelolaan kawasan konservasi laut seperti: pendidikan, pendapatan, persepsi atau pemahaman untuk ikut berpartisipasi dalam pengelolaan kawasan.
utama yaitu masyarakat dan harus menjadi aktor pengelola sumberdaya tersebut.
Pengembangan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan mangrove pada dasarnya adalah upaya melibatkan masyarakat agar secara sadar dan aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan pengelolaan mangrove. Keterlibatan dapat terwujud apabila seseorang merasa bahwa keikutsertanya dapat memberikan manfaat bagi dirinya, dimana manfaat tersebut tidak hanya dalam bentuk fungsi hutan mangrove yang sifatnya dirasakan dalam jangka pendek.
Kerusakan Mangrove yang Mengarah pada Perubahan Luasan dan Kerapatan Mangrove
Setiap tipe mangrove yang terbentuk berkaitan erat dengan faktor-faktor tanah, genangan pasang, salinitas, erosi, pertambahan lahan pesisir, fisiografis, kondisi sungai, dan aktivitas. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi luasan dan kerapatan areal mangrove antara lain (Annisa 2004):
1. Pengikisan air laut (abrasi), yang berkaitan dengan fungsi mangrove sebagai penahan ombak
2. Tanah timbul (sedimentasi), diartikan sebagai akumulasi tanah dan pelebaran pantai yang mempengaruhi ekosistem mangrove. Hal ini terjadi karena proses pengendapan lumpur yang terus-menerus secara hidrologi yang terbawa oleh air ke daerah hulu sungai.
3. Pasang surut, mempengaruhi penyebaran dan perkembangan mangrove di suatu daerah. Pasang surut dan kisaran vertikalnya dapat membedakan kumpulan mangrove yang dapat tumbuh pada suatu daerah dan berpengaruh dalam perbedaan tipe-tipe zonasi. Fenomena pasang surut penting pada lamanya hari ketika suatu daerah mangrove tidak tergenangi pasang surut, atau dengan kata lain dalam keadaan tanah terbuka. Tanaman dewasa dapat mentolerir tergantung pada musim, dimana air meresap melalui akar-akar tanaman. Keterbukaan yang lama dapat membentuk lapisan tanah bagian atas yang mempunyai konsentrasi garam yang tinggi dan mengakibatkan kematian mangrove dan mangrove tergeser oleh tumbuhan semak Halophyta.
Proses berkurangnya lahan mangrove di beberapa propinsi bisa disebabkan oleh faktor-faktor berikut ini (Kusmana 1998):
1. Konversi ekosistem mangrove menjadi bentuk lahan penggunaan lain seperti pemukiman, pertanian, industri, pertambangan dan lain-lain.
2. Kegiatan eksploitasi hutan yang tidak terkendali oleh perusahaan-perusahaan HPH serta penebangan liar dan bentuk perambahan hutan lainnya.
3. Polusi di perairan estuari, pantai, dan lokasi-lokasi perairan lainnya dimana tumbuhnya mangrove.
3
METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan selama bulan Maret-April 2013. Lokasi penelitian berada di ekosistem mangrove Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta (Gambar 3). Penentuan lokasi dari setiap stasiun penelitian ditentukan dengan melakukan survei awal berupa pengamatan kondisi mangrove, sumber dan buangan pencemar dan posisi geografis dari Pulau Pramuka serta pengaruh musim timur dan musim barat.
Tabel 3 Letak stasiun pengamatan mangrove
No. Lokasi Pengamatan Koordinat
Lintang Bujur
1. Stasiun 1 -5,74901 106,61141
2. Stasiun 2 -5,74553 106,61554
3. Stasiun 3 -5,74365 106,61609
4. Stasiun 4 -5,74239 106,61606
Secara geografis Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu terletak di Teluk Jakarta pada posisi geografis 5°24'- 5°45'LS dan 106°25'-106° 40' BT, terbentang seluas 107.489 ha (Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 6310/Kpts-II/2002). Terdapat 4 (empat) ekosistem utama pembentuk sistem ekologis kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, yaitu hutan pantai, padang lamun, hutan mangrove dan terumbu karang. Secara ekologis keempat ekosistem utama tersebut merupakan penyangga alami bagi daratan pulau yang memberikan sumbangan manfaat bagi manusia baik secara langsung maupun tidak langsung.
Lokasi penelitian dilakukan pada keterwakilan tempat penanaman Mangrove di Pulau Pramuka, dimana lokasi tersebut dibagi menjadi 4 stasiun pengamatan. Stasiun pengamatan didasarkan pada tinggi, umur penanaman, ukurunan tanaman, karakteristik substrat, dan kondisi fisika perairan. Berikut adalah letak stasiun pengamatan mangrove yang diambil di Pulau Pramuka (Tabel 3).
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam pengumpulan data primer pada penelitin ini antara lain: GPS (Geographic Position System), kertas waterproof, rollmeter, transek kuadrat berskala 1 x 1 m dan 5 x 5 m, dan kamera digital. Selanjutnya alat yang digunakan untuk menghitung parameter fisika dan kimia perairan antara lain: termometer, refraktometer, pH stick, stopwatch, papan berskala, alat pengukur DO dan botol sampel (Tabel 4). Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta lokasi kawasan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu serta buku identifikasi jenis mangrove.
Jenis dan Metode Pengumpulan Data
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data sekunder dikumpulkan dari berbagai institusi terkait dan penelusuran berbagai pustaka yang ada. Data primer dikumpulkan dari kegiatan observasi, wawancara, diskusi, dan pengukuran di lapang. Kedua jenis data ini meliputi data biofisik dan data sosial, ekonomi dan budaya masyarakat setempat.
Tabel 4 Parameter fisika dan kimia perairan kuadrat berskala 1x1 m, mangrove boot
Pengamatan langsung
3. Kedalaman Tongkat berskala Pengamatan
langsung
4. Suhu Termometer Pengamatan
langsung
5. Salinitas Refraktometer Pengamatan
langsung
8. TSS Botol sampel, kertas saring, labu
erlenmeyer, gelas ukur, pinset, oven, desikator, timbangan digital, vacuum pump, akuades
Pengamatan di laboratorium
9. Kecepatan arus Current meter Pengamatan
langsung
10. Substrat Plastik, sekop Pengamatan di
laboratorium
Data sosial ekonomi meliputi jumlah penduduk, mata pencaharian, pendidikan, persepsi, partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kegiatan rehabilitasi ekosistem mangrove, kecenderungan masyarakat memanfaatkan ekosistem mangrove dan sebagainya, serta keinginan masyarakat dalam menindaklanjuti kegiatan rehabilitasi mangrove. Data kelembagaan meliputi lembaga-lembaga yang ada di tingkat desa (formal dan non formal), kapasitas lembaga (dilihat dari kemampuan menjabarkan program), program yang dibuat oleh lembaga yang ada dan sebagainya. Peraturan dan perundangan meliputi seluruh peraturan dan perundangan baik pada level desa, kecamatan, kabupaten maupun provinsi, baik secara langsung maupun tidak langsung mendukung kegiatan rehabilitasi mengrove (Lampiran 1).
Analisis Data
Struktur komunitas Mangrove
Struktur komunitas mangrove yang dihitung untuk mengetahui kondisi mangrove rehabilitasi meliputi variabel penutupan mangrove, pertumbuhan mangrove dan sintasan mangrove. Analisis variabel-variabel tersebut adalah sebagai berikut:
a. Penutupan (Ci) mangrove adalah luas penutupan jenis i dalam suatu unit area. Penutupan dihitung menggunakan persaman berikut (Bengen 2000c):
�� = ��
Keterangan:
Ci = Luas area yang tertutupi spesies ke-i
ai = Luas total penutupan spesies ke-i
A = Luas total pengambilan contoh
b. Pertumbuhan tinggi mangrove (X) bertujuan untuk menghitung penambahan tinggi mangrove dalam jangka waktu tertentu. Pertumbuhan mangrove dihitung menggunakan persamaan berikut (modifikasi dari Zhu et al. 2002):
� = −
Keterangan:
X = laju pertumbuhan (cm/th)
Ta = Tinggi awal mangrove ketika awal penanaman
Tb = Tinggi mangrove pada waktu ke-t (waktu pengamatan/penelitian)
t = Lama masa penanaman (selang waktu ke-t dengan waktu penanaman) c. Sintasan (S) bertujuan untuk mengetahui berapa persen jumlah mangrove yang
tumbuh dibandingkan dengan jumlah mangrove ketika ditanam. Sintasan dihitung menggunakan persamaan berikut (Effendi 1978):
= �� � %
Keterangan:
S = Tingkat sintasan (%)
Nt = Jumlah mangrove pada waktu ke-t (waktu pengamatan/penelitian)
No = Jumlah mangrove ketika awal penanaman
Analisis Lingkungan Ekosistem Rehabilitasi Mangrove
Analisis lingkungan ekosistem rehabilitasi mangrove digambarkan menggunakan analisis secara statistik. Alat uji yang digunakan adalah principal
component analysis (PCA) atau analisis komponen utama yang bertujuan untuk
mengetahui efektifitas faktor lingkungan terhadap ekosistem mangrove dan variabel-variabel apa saja yang diduga menentukan efektifitas rehabilitasi ekosistem mangrove.
kolom dan observasi/responden sebagai baris. Analisis ini juga digunakan mereduksi gugus variable yang berukuran besar dan saling berkorelasi (Bengen 2000c).
Pada prinsipnya PCA menggunakan jarak Euclidean (jumlah kuadrat perbedaan antara individu/baris dan variable/kolom yang berkoresponden) pada data. Dimana semakin kecil jarak Euclidean antara variable, maka semakin mirip karakteristiknya. Demikian pula sebaliknya semakin besar jarak Euclidean antara variabel, maka semakin berbeda karakteristiknya/keterdekatannya.
Tujuan analisis ini adalah:
1. Untuk mengekstraksi informasi apa yang terdapat dalam matriks data yang berukuran besar.
2. Untuk menghasilkan suatu representasi grafik yang memudahkan interpretasi. 3. Mempelajari suatu matriks data dari sudut pandang kemiripan hubungan antar
variabel.
Selain itu, untuk mendukung pembuktian hasil dari PCA dilakukan juga
cluster analysis (CA) atau analisis kelompok untuk mengetahui lokasi mana saja
yang relatif sama dan lebih efektif dalam upaya rehabilitasi ekosistem mangrove. Pengolahan data PCA dan CA menggunakan program Microsoft Office Exel.
Analisis Efektifitas Rehabilitasi
Pengelolaan (rehabilitasi) adalah sebuah proses yang berlanjut, interaktif, adaptif dan partisipatif yang terdiri dari sebuah set tugas yang saling terkait satu sama lain dan harus dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Adrianto 2007). Dalam konteks ini, proses perencanaan harus dimonitor agar sistem yang sudah direncanakan dapat berjalan sesuai dengan rencana, dan harus dievaluasi dalam konteks bahwa perlu proses pembelajaran dari kesuksesan maupun kegagalan dari sistem yang sudah ditetapkan. Untuk itu, evaluasi dalam pengelolaan rehabilitasi mangrove di Pulau Pramuka perlu dilakukan untuk mengetahui apakah pengelolaan tersebut dapat memberikan hasil positif atau tidak. Tingkat keberhasilan pengelolaan rehabilitasi mangrove di Pulau Pramuka didapatkan dengan menganalisis beberapa indikator dengan menggunakan indeks efektifitas dan teknik perbandingan antar parameter efektifitas berdasarkan nilai skoring. Indikator-indikator yang dianalisis didasarkan pada beberapa indikator biologi yang meliputi sintasan, pertumbuhan dan tutupan relatif, dan indikator sosial partisipasi masyarakat dan persepsi masyarakat.
Indikator-indikator ini dipilih berdasarkan tujuan rehabilitasi yang dilakukan. Dapat tumbuh dan berkembangnya mangrove merupakan tujuan utama dari rehabilitasi dan tujuan ikutannya adalah meningkatnya pemahaman masyarakat terhadap mangrove dan meningkatnya tingkat partisipasi masyarakat terhadap rehabilitasi.
Tabel 5 Matriks tingkat efektifitas rehabilitasi mangrove Pulau Pramuka
No. Parameter Bobot Skor
1 2 3
1. Sintasan (%) 3 ≤ 33,33 > 33,33 - < 66,67 ≥ 66,67
2. Pertumbuhan (cm/th)1 3 ≤ 14,17 > 14,17 - < 28,33 ≥
42,50
3. Tutupan Relatif (%)2 2 ≤ 50 > 50 - < 70 ≥
70 4. Partisipasi Masyarakat (%) 2 ≤ 33,33 > 33,33 - < 66,67 ≥ 66,67
5 Persepsi Masyarakat (%) 1 ≤ 33,33 > 33,33 - < 66,67 ≥ 66,67 Keterangan:
1 = berdasarkan kondisi pertumbuhan mangrove di Pulau Pramuka
2 = mengacu pada Kepmen LH No. 201 Th. 2004 tentang Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove (Lampiran 11)
Nilai maksimal indeks = 33 Tingkat Efektifitas Rehabilitasi: <50 = Tidak Efektif (TE) 50-75 = Efektif (E)
> 75 = Sangat Efektif (SE)
Tingkat efektifitas rehabilitasi mangrove pada penelitian ini dianalisis menggunakan rumus berikut (Carter et al. 2011):
� = ∑ (�� � ) ×�� %
�
�=1
Keterangan:
TER = Tingkat Efektifitas Rehabilitasi
Ni = Nilai indeks
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Penilitian
Keadaan Umum Loksi Penelitian
Secara administratif Pulau Pramuka merupakan salah satu pulau yang berada di Kepulauan Seribu dan termasuk ke dalam Wilayah Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. Pulau Pramuka merupakan Pusat Pemerintahan dari Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, selain itu Pulau Pramuka termasuk kedalam Kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKpS). Secara geografis Pulau Pramuka berada pada posisi 05o44’19’’LS - 05o45’05’’ dan 106o36’35” BT -106o37’07” BT.
Batas-batas wilayah Pulau Pramuka adalah:
- Sebelah utara : Wilayah Perairan Kelurahan Pulau Kelapa. - Sebelah selatan : Wilayah Perairan Kelurahan Pulau Untung Jawa. - Sebelah barat : Pulau Panggang.
- Sebelah timur : Wilayah Perairan Propinsi Jawa Barat.
Pulau Pramuka tergolong pulau dataran rendah dengan ketinggian 1-2 m dpl. Pulau dengan luas sekitar 30,08 ha memiliki kepadatan penduduk mencapai 80 orang/ha yang terdiri dari 1.625 jiwa dengan 457 KK. Sekitar 85% penduduk Pulau Pramuka berprofesi sebagai nelayan, selebihnya sebagai PNS. Penduduk Pulau Pramuka merupakan pendatang dari Jawa Barat, Jakarta, Sumatera dan Makasar, sehingga penduduk di Pulau Pramuka bersifat multikultural.
Akhir-akhir ini, Pulau Pramuka ramai dikunjungi wisatawan yang tertarik pada keindahan ekosistem laut yang ada di kawasan Pulau Pramuka, dimana Pulau Pramuka memiliki ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang yang dapat dinikmati melalui kegiatan tracking, snorkeling dan diving. Selain itu, terdapat juga tempat penangkaran penyu sisik sebagai objek wisata yang dapat dikunjungi.
Rehabilitasi Mangrove di Pulau Pramuka
1 Sejarah Rehabilitasi Mangrove di Pulau Pramuka
Rehabilitasi mangrove di Pulau Pramuka dilakukan berdasarkan permasalahan lingkungan, khususnya adalah abrasi pantai. Hal ini menjadi perhatian penting mengingat Pulau Pramuka masuk dalam kategori pulau sangat kecil. Melihat permasalahan tersebut, muncullah upaya rehabilitasi mangrove di Kepulauan Seribu.
Pantai Pulau Pramuka pada dasarnya bukan merupakan ekosistem mangrove. Hanya terdapat dua pohon mangrove yang sejak lama ada dengan ukuran yang dianggap tetap dan selama ini dijadikan navigasi untuk masyarakat sekitar pulau. Di Kepulauan Seribu, yang memang menjadi habitat mangrove adalah Pulau Penjaliran Barat, Penjaliran Timur dan Puteri Barat.