• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

2) Konstribusi antar variabel

Berdasarkan hasil analisis PCA didapatkan bahwa parameter lingkungan yang memberikan pengaruh kuat terhadap sintasan mangrove adalah TSS, salinitas dan suhu (Tabel 12). Parameter yang paling kuat memberikan pengaruh adalah variabel TSS. TSS terkait erat dengan fungsi mangrove dimana mangrove mempunyai kapasitas yang secara efisien dapat memerangkap suspensi dari kolom air (Kristensen 2009). Dari hasil analisis, selain dapat dilihat dari nilai tabel, konstribusi ini dapat dilihat dengan gambar lingkaran korelasi, dimana semakin mendekati lingkaran maka semakin besar konstribusi yang diberikan (Lampiran 6). Pada variabel lokasi dapat dilihat bahwa terdapat nilai yang hampir sama antara lokasi di stasiun 2 dan 3, serta 1 dan 4 (Tabel 13). Titik berlawanan menunjukan hubungan yang kuat dari variabel-variabel lingkungan yang dimiliki antar lokasi tersebut (Gambar 11).

Tabel 12 Korelasi antara variabel-variabel pertama dan faktor-faktor utama

No. Variabel Faktor 1 Faktor 2

1. S -0,5994 -0,6608 2. Suhu -0,8831 0,4556 3. Sal -0,1861 0,9143 4. pH 0,1378 -0,5630 5. DO 0,8303 0,2636 6. KA 0,3017 0,5283 7. TSS 0,9896 -0,1439 8. N -0,5606 -0,6126 9. OrtoF 0,7828 -0,2894 10. K -0,5311 -0,7478 11. BOD5 0,7339 -0,6756

Tabel 13 Koordinat pengamatan pada axis utama

No. Stasiun Pengamatan Mangrove Faktor 1 Faktor 2

1. MSt. 1 -0,2945 -1,7560

2. MSt. 2 2,9187 -1,1037

3. MSt. 3 -3,1495 -0,3272

4. MSt. 4 0,5252 3,1869

Pada sumbu F 1, nilai stasiun 1 dan 4 menunjukkan kemiripan yang ditunjukkan dengan nilai yang mendekati nilai 0 yaitu -0,2945 dan 0,5252, sedangkan stasiun 2 dan 3 kemiripan ditunjukkan dengan nilai yang mendekati nilai 3 yaitu 2,9187 dan -3,1495. Bisa dikatakan bahwa karakteristik lingkungan setiap stasiun tersebut diatas yang dimiliki cenderung sama atau sesuai untuk mangrove dari jenis yang sama dan metode penanaman yang sama.

Jika menghubungkan korelasi antara variabel lingkungan dan mangrove di tiap lokasi dengan menggunakan biplot terhadap F 1 dan 2 (Gambar 11) dapat disimpulkan bahwa pola ordinasi yang diperoleh dari PCA antara lokasi dengan katakteristik lingkungan menunjukkan tingginya varibilitas intra- dan inter- variabel. Disini dapat dilihat kontribusi sumbu 1 dan 2 cukup besar yaitu 76% (sumbu 1 yaitu 43% dan sumbu 2 yaitu 33%), sehingga kontribusi diluar sumbu utama sangat kecil.

Gambar 11 Biplot korelasi variabel-variabel lingkungan dan lokasi penanaman mangrove

Bedasarkan hasil biplot, pada stasiun 1 faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan Rhizopora stylosa adalah kalium dan derajat keasaman (pH). Hal ini disebabkan subtrat pada stasiun 1 didominasi oleh ruble

MSt.1 MSt.2 MSt.3 MSt.4 S Suhu Sal pH DO KA TSS N OrtoF K BOD5 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 -4 -2 0 2 4 -- F 2 ( 3 3 % ) -- > -- F 1 (43% ) --> Biplot on F 1 and 2 (76% )

(pecahan batuan karang), dimana pecahan karang tersebut sumber dari unsur mayor

(mayor element) seperti kalium dan karbonat. Kalium yang terdapat pada ruble

pecahan batuan karang teroksidasi membentuk ion ke permukaan air sehingga membuat kadarnya lebih tinggi dibandingkan ketiga stasiun lainnya dan efektif mempengaruhi pertumbuhan R. stylosa. Selain itu, kandungan dominasi subtrat

ruble (batuan pecahan karang) juga mempengaruhi nilai pH. Salah satu faktor yang

mempengaruhi nilai pH adalah ion karbonat (Effendi 2003). Substrat berupa pecahan karang yang menyumbangkan ion karbonat lebih banyak sehingga pH pada stasiun 1 lebih tinggi dibandingkan ketiga stasiun lainnya yang akhirnya efektif mempengaruhi dan mendominasi faktor pertumbuhan R. stylosa.

Pada stasiun 2, hasil biplot menggambarkan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan R. stylosa adalah TSS (Total Suspended Solid), ortofosfat, BOD5 dan oksigen terlarut (DO). Hal ini disebabkan pada lokasi stasiun

2 berhadapan langsung dengan pemukiman setiap saat menyumbangkan limbah organik dari kegiatan antopogenik masyarakat dan pelapukan batuan dari darat secara alami sehingga mengakibatkan nilai konsentrasi TSS lebih tinggi dibandingkan ketiga stasiun lainya.

Selain TSS, akibat lokasi stasiun yang dekat dengan pemukiman nilai fosfat dalam bentuk ortofosfat juga tinggi. Hal ini juga didukung nilai konsentrasi DO dan BOD5 yang tinggi pada stasiun 2. Kondisi suhu yang rendah pada stasiun 2

mengakibatkan kelarutan oksigen pada stasiun 2 lebih tinggi dibandingkan ketiga stasiun lainnya. Tingginya limbah organik kegiatan manusia (antropogenik), limbah domestik dan detergen sehingga mengakibatkan nilai konsentrasi fosfat pada stasiun 2 lebih tinggi dibandingkan ke tiga stasiun lainnya dan efektif mempengaruhi pertumbuhan R. stylosa.

Pada stasiun 3, hasil biplot menggambarkan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan R. stylosa adalah suhu dan nitrat. Secara teknis, hal ini disebabkan pengambilan data pada stasiun 3 pada siang hari sedangkan pengambilan data pada stasiun 1 dan 2 pada pagi hari di hari yang sama. Pengambilan data suhu pada siang hari mengakibatkan nilai suhu pada stasiun 3 lebih tinggi dibandingkan ke tiga stasiun lainnya dan efektif mempengaruhi pertumbuhan R. stylosa. Tetapi, diperkirakan juga tingginya suhu di stasiun 3 karena lokasinya lebih banyak terpapar matahari, dimana posisi stasiun 3 berada disisi sebelah timur pulau. Selain itu juga, di stasiun 3 tidak adanya vegetasi besar dan pemukiman penduduk serta substat yang dominan pasir.

Sanusi (2006) menambahkan faktor yang mempengaruhi nitrogen di laut adalah fotosintesis, gerakan masa air dan gerakan gravitasi residu dalam organisme air. Selain menghasilkan oksigen, kondisi aktifitas fotosintesis oleh organisme autotrof yang optimal juga mampu mengoksidasi senyawa ammonia dan nitrit menjadi nitrat sehingga kadar nitrat pada stasiun 3 lebih tinggi dibandingkan stasiun lainnya dan efektif mempengaruhi pertumbuhan R. stylosa.

Pada stasiun 4, hasil biplot menggambarkan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan R. stylosa adalah salinitas dan kecepatan arus. Hal ini disebabkan pada lokasi stasiun 4 berhadapan langsung dengan laut tanpa adanya pulau penghalang. Lokasi stasiun 4 yang berhadapan langsung dengan laut mengakibatkan nilai salinitas dan arus lebih tinggi dibandingkan ketiga stasiun lainnya dan efektif mempengaruhi pertumbuhan R. stylosa.

Analisis Kelompok (Cluster Analysis / (CA)

Analisis kelompok (CA) dilakukan untuk mendukung pembuktian hasil dari analisis komponen utama. Hasil CA menunjukkan bahwa dari 4 lokasi penanaman mangrove berdasarkan kondisi lingkungan dapat dikelompokan menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok 1 yang digambarkan pada stasiun 1 dan 4 dengan nilai indeks 1,8034, kelompok 2 yang digambarkan dengan stasiun 3 dengan nilai indeks 6,5889, dan kelompok 3 yang digambarkan dengan stasiun 4 dengan nilai indeks 14,1892 (Tabel 14 dan Gambar 12).

Jika dibandingkan dangan hasil PCA, maka hasilnya sesuai (terbukti). Dengan pertimbangan kelompok nilai, maka stasiun 2 dan 3 bisa dikelompokkan menjadi satu kelompok berdasarkan karakteristik lingkungan yang serupa karena sama-sama memiliki nilai yang tinggi, sehingga karakteristik dari lokasi penelitian dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu kelompok stasiun 1 dan 4 dan kelompok stasiun 2 dan 3.

Tabel 14 Nilai indeks untuk pertimbangan pembagian kelompok berdasarkan kondisi lingkungan

No. Kelompok Anggota Kelompok Bobot Indeks

1. 1 MSt.1 ~ MSt.4 2 1,8034

2. 2 MSt.1 ~ MSt.4 ~ MSt.3 3 6,5889

3. 3 MSt.1 ~ MSt.4 ~ MSt.3 ~ MSt.2 4 14,1892

Gambar 12 Dendogram pengelompokan karakteristik lokasi penelitian berdasarkan kondisi lingkungan

Pengelompokan berdasarkan kondisi lingkungan kemudian dibandingkan dengan pengelompokan berdasarkan kondisi mangrove. Hasilnya menunjukkan adanya perbedaan pengelompokan (Tabel 15 dan Gambar 13). Hasil pengelompokkan berdasarkan kondisi mangrove menunjukkan bahwa mangrove di

MSt.1 MSt.2 MSt.3 MSt.4 0 5 10 15 Indeks

stasiun 1 dan 2 kondisinya relatif sama dan dianggap masuk dalam satu kelompok, sedangkan mangrove di stasiun 3 dan 4 berdiri sendiri (tidak mengelompok). Berdasarkan hasil tersebut diperkirakan bahwa tidak adanya hubungan yang erat antara faktor lingkungan terhadap efektifitas rehabilitasi mangrove di Pulau Pramuka.

Hal ini terkait dengan karakterisitk Pulau Pramuka yang terbentuk dari karang laut dan bukan merupakan ekosistem mangrove alami. Dimana kondisi awal sebelum adanya rehabilitasi mangrove di Pulau Pramuka memang bukan area ekosistem mangrove. Selain itu, perlu dilakukan pembuktian lebih lanjut yang lebih detail. Pembuktian lebih lanjut tersebut dikarenakan alasan adanya perbedaan umur mangrove atau tahun penanaman.

Tabel 15 Nilai indeks untuk pertimbangan pembagian kelompok berdasarkan kondisi mangrove

No. Kelompok Anggota Kelompok Bobot Indeks

1. 1 MSt.1 ~ MSt.2 2 84,2933

2. 2 MSt.1 ~ MSt.2 ~ MSt.3 3 172,5403

3. 3 MSt.1 ~ MSt.2 ~ MSt.3 ~ MSt.4 4 389,4580

Gambar 13 Dendogram pengelompokan karakteristik lokasi penelitian berdasarkan kondisi mangrove

Kondisi Sosial Masyarakat Dalam Rehabilitasi Mangrove

Persepsi atau pemahaman seseorang merupakan proses dalam memahami sesuatu dan atau menafsirkan suatu objek dari suatu rangsangan dalam suatu dana atau menafsirkan suatu objek dari suatu rangsangan dalam suatu pengalaman psikologis. Persepsi atau pemahaman bereran dalam memperoleh pengetahuan

MSt.1 MSt.2 MSt.3 MSt.4 0 100 200 300 400 500 Indeks

khusus tentang objek atau suatu kejadian, karena persepsi melibatkan kognisi (pengetahuan) termasuk interpretasi objek. Berkes (2004) mengatakan bahwa usaha konservasi membutuhkan banyak nuansa pemahaman alam dari banyak orang, masyarakat, kelembagaan, dan interaksi antar semuanya pada berbagai level.

Persepsi berhubungan dengan kecerdasan emosial yaitu bagaimana individu menggunakan emosinya atas dasar pilihan informasi yang bersedia untuk mendapatkan pemahaman yang utuh terhadap suatu objek. Dengan demikian persepsi individu merupakan dasar bagaimana individu tersebut bersikap dan berperilaku, sehingga untuk memahami sikap dan perilaku terhadap lingkungannya sangat perlu untuk mengetahui persepsi individu terhadap lingkungannya.

Gambar 14 Tingkat persepsi masyarakat terhadap mangrove dan pengelolaan mangrove

Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 14 menunjukkan bahwa semua masyarakat (100%) mengetahui tentang mangrove, baik fungsi dan keberadaannya. Masyarakat sebagian besar (60%) juga mengetahui bahwa mangrove di Pulau Pramuka terdapat upaya pengelolaan yang selama ini banyak dilakukan oleh TNKpS. Selain itu, masyarakat juga mengambil peran dan berpartisipasi didalam pengelolaan mangrove. Sekitar 80% responden menyebutkan pernah terlibat dalam upaya pengelolaan, diantaranya dengan ikut menjaga, tidak merusak keberadaan mangrove dan sesekali membersihkan mangrove dari sampah yang mengganggu.

Ini adalah bentuk kerjasama yang baik antara pihak pengelola dalam hal ini pemerintah dan masyarakat. Suksesnya kerjasama antara masyarakat lokal dan pemerintah bergantung pada kepercayaan antara keduanya (Mshale 2008; Rechlin dan Taylor 2008). Oleh karena itu, pemerintah dan pemangku kepentingan lain dibutuhkan untuk merealisasikan potensi dan meningkatkan sikap positif dan praktis diantara masyarakat lokal (Mshale 2008), walaupun pengetahuan masyarakat belum kuat terkait bagaimana melakukannya, tetapi hal ini penting

dalam membangun kerjasama dengan orang-orang yang bekerja didalamnya (Rechlin dan Taylor 2008).

Keterlibatan masyarakat tersebut sejalan dengan manfaat yang dirasakan. Biasanya apabila dapat memberikan keuntungan atau manfaat ekonomi maka manfaat sosial juga akan mengikutinya (Alder et al. 2002), didasarkan pada pemahaman “tidak langsung” dan “langsung” dari hubungan konservasi dan penghidupan yang kompleks (Brown 2002; Damian 2005; Berkes 2006). 80% responden menyebutkan bahwa adanya mangrove dianggap dapat mengurangi hantaman gelombang, abrasi dan menambah kesejukan di pantai. Sebenarnya keterlibatan masyarakat dalam upaya pengelolaan dapat ditingkatkan jika masyarakat mengetahui dan bisa memanfaatkan langsung mangrove seperti pemanfaatan buah untuk manisan, pemanfaatan kayu dan lain-lain. Selama ini tidak ada pemanfaatan langsung terhadap mangrove oleh masyarakat, 100% responden menyebutkan tidak ada pemanfaatan langsung. Manfaat yang dapat dirasakan oleh masyarakat lokal dapat membangun partisipasi masyarakat dalam pengelolaan (Haryani 2010).

Gambar 15 Tingkat persepsi masyarakat terhadap rehabilitasi mangrove Ekosistem mangrove menyediakan berbagai barang dan jasa jasa lingkungan (Gilbert dan Janssen 1998). Penelitian Walton et al. (2007) di Pulau Panay, Filipina Tengah menunjukkan bahwa adanya rehabilitasi mangrove Rhizophora spp. dan

Sonneratia spp. meningkatkan hasil tangkapan nelayan, terutama untuk kepiting.

Penelitian tersebut dilakukan dengan menghitung kelimpahan menggunakan Catch

Per Unit effort (CPUE). Ellison (2008) menambahkan bahwa ekosistem mangrove

dikatakan lestari, jika fungsi ekologi dan ekonomi dapat berjalan bersinergi antara keduanya, sehingga berkelanjutan dan akan mempengaruhi kondisi sosial masyarakat setempat.

Terkait dengan rehabilitasi mangrove, Gambar 15 menunjukkan bahwa 100% responden mengetahui tentang arti rehabilitasi dan adanya program rehabilitasi yang dilakukan di Pulau Pramuka. Tetapi hanya 80% responden yang menyebutkan pernah terlibat dalam kegiatan rehabilitasi, dan dari terkait keterlibatan tersebut hanya 20% responden yang melakukannya dengan sukarela, 80% lainnya ikut

terlibat karena kegiatan tersebut dianggap hanya sebagai proyek dan hanya untuk mendapatkan uang baik dari bibit yang mereka tanam dan tenaga yang mereka keluarkan untuk proses penanaman di pantai. Hal ini juga diperkuat dengan hanya 60% responden yang melakukan swadaya dalam setiap kegiatan rehabilitasi padahal rehabilitasi rutin dilakukan.

Terkait dengan metode dan teknik penanaman, 80% responden menganggap yang sudah dilakukan sudah benar, yaitu rumpun berjarak (bergerombol). Metode tersebut dianggap benar karena mangrove mayoritas dapat tumbuh, tidak seperti metode dan teknik sebelumnya yang bahkan dianggap hanya menghabiskan uang dengan sia-sia, karena pagi ditanam sore sudah hilang. Sehingga 80% responden menganggap rehabilitasi sudah efektif dan 100% menganggap sudah berhasil.

Tetapi masyarakat berharap kegiatan rehabilitasi tersebut ada tindak lanjut, tidak hanya saat program saja. 80% responden menyebutkan tidak ada tindak lanjut yang dilakukan setelah kegiatan rehabilitasi dilakukan. Kegiatan tindak lanjut ini bisa dilakukan seperti perawatan, penjarangan, penataan dan lain-lain, sehingga mangrove dapat lebih banyak hidup dan tumbuh lebih optimal (Field 1998).

Efektifitas Rehabilitasi Mangrove

Mengukur efektifitas sulit, diperlukan pendekatan yang bisa mewakili dari kondisi sumberdaya dan sosial-ekonomi sebagai manfaat adanya pengelolaan (Rechlin dan Taylor 2008). Berdasarkan hasil penilaian tingkat efektifitas rehabilitasi didapatkan bahwa pada stasiun 1 rehabilitasi tergolong efektif dengan nilai 57,58%, stasiun 2 tergolong efektif dengan nilai 66,77%, stasiun 3 tergolong efektif dengan nilai 66,67%, dan pada stasiun 4 tergolong tidak efektif dengan nilai 48,48% (Tabel 16).

Berdasarkan hasil perhitungan indeks pada Tabel 16 tersebut dapat disimpulkan bahwa rehabilitasi mangrove di Pulau Seribu secara umum efektif yang diwakili oleh 3 lokasi rehabilitasi. Meskipun untuk 1 lokasi rehabilitasi ada yang tergolong tidak efektif, tetapi nilai indeksnya hampir mendekati kelas efektif. Sehingga bisa disimpulkan secara umum rehabilitasi mangrove di Pulau Pramuka terbilang efektif.

Tabel 16 Tingkat efektifitas rehabilitasi mangrove di Pulau Pramuka No. Parameter B St.1 St.2 St.3 St.4 S BS S BS S BS S BS 1. Sintasan 3 2 6 2 6 3 9 1 3 2. Pertumbuhan 3 2 6 3 9 2 6 2 6 3. Tutupan Relatif 2 1 2 1 2 1 2 1 2 4. Partisipasi Masyarakat 2 1 2 1 2 1 2 1 2 5. Persepsi Masyarakat 1 3 3 3 3 3 3 3 3

Jumlah Bobot x Skor 19 22 22 16

TER (%) E 57,58 E 66,67 E 66,67 TE 48,48

Keterangan:

B = bobot

S = skor

Jika dilakukan analisis perbandingan antar nilai parameter (Gambar 16), maka dapat dilihat bahwa parameter tutupan relative, partisipasi masyarakat dan persepsi masyarakat belum mencapai nilai optimal atau belum efektif, ditambah lagi sintasan pada stasiun 3. Parameter-parameter yang belum efektif tersebut dapat ditingkatkan nilainya menjadi efektif dengan beberapa upaya. Untuk tutupan relatif dan sintasan, dapat dilakukan upaya peningkatan dengan melakukan penyulaman untuk mangrove-mangrove yang mati dan meningkatkan kegiatan perawatan, sedangkan untuk partisipasi masyarakat dapat ditingkatkan dengan meningkatkan nilai manfaat mangrove di masyarakat dan lingkungan yang bisa dirasakan oleh masyarakat serta membuat kelembagaan terkait pengelolaan mangrove yang juga melibatkan masyarakat didalamnya.

Rehabilitasi sebagai salah satu pendekatan konservasi dikatakan efektif, ketika mampu mendasari masyarakat dan meningkatkan perhatian untuk berpartisipasi, harus menciptakan pemahaman proses yang lebih luas dan terstruktur, dan khususnya bagaimana status dan struktur pasar mulai “melekat” dalam kelembagaan dan pola budaya dari masyarakat lokal dalam kebiasaan baru (Hoom 2008). Partisipasi masyarakat penting guna mendukung kesuksesan rehabilitasi karena berdasarkan permasalahan yang ada, faktor sosial sangat menjadi masalah dalam tingginya sintasan, seperti sampah dan aktivitas perlintasan kapal masyarakat. Dengan adanya dukungan dari masyarakat diharapkan kesadaran dan fungsi pengawasan dapat berjalan dengan baik agar mangrove rehabilitasi dapat terawat dengan baik.

Peningkatan partisipasi masyarakat untuk kedepannya akan sangat mudah jika melihat persepsi masyarakat terhadap mangrove. Persepsi masyarakat sudah mencapai nilai optimal, ini juga dapat dibuktikan dengan 100% responden yang ditemui mengetahui dan paham tentang mangrove dan manfaatnya.

Pada parameter pertumbuhan dan sintasan, hanya ada satu lokasi yang mencapai nilai optimal, diantaranya di lokasi stasiun 2 untuk pertumbuhan dan di stasiun 3 untuk sintasan. Optimalnya pertumbuhan dan sintasan di lokasi tersebut banyak dipengaruhi oleh parameter oseanografi dan sudah terbentuknya kondisi ekosistem mangrove yang mendukung terutama untuk bahan organik yang dibutuhkan mangrove. Setyawan (2002) mencatat bahwa kegagalan penanaman mangrove dapat disebabkan oleh kesalahan pemahaman pola hidrologi, perubahan arus laut, tipe tanah, pemilihan spesies, penggembalaan hewan ternah, sampah, kelemahan manajemen, dan ketiadaan partisipasi masyarakat.

Sebenarnya mangrove memiliki kemampuan memperbaiki habitatnya sendiri dengan mengembangkan strategi establisment, pertumbuhan dan perkembangan, serta regenerasi. Namun, pada kondisi tertentu regenerasi alami pada mangrove akan terhambat terutama bila terjadi perubahan kondisi fisik habitat kearah tidak normal seperti perubahan pada sistem hidrologi. Bila kondisi ini yang terbentuk maka tindakan perbaikan habitat secara konvensional (penanaman) sering tidak berhasil meskipun dilakukan secara berulang-ulang (Djamaludddin 2004).

Gambar 16 Skoring parameter efektifitas rehabilitasi mangrove di Pulau Pramuka

Rekomendasi

Berdasarkan kondisi, potensi dan permasalahan yang ada, maka dapat disusun rekomendasi yang bisa dipertimbangkan untuk dilaksanakan di Pulau Seribu sebagai upaya meningkatkan efektifitas rehabilitasi mangrove. Rekomendasi- rekomendasi yang telah disusun adalah sebagai berikut:

1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lokasi yang efektif untuk dilakukan rehabilitasi adalah di stasiun 1, 2 dan 3, dengan nilai tertinggi pada stasiun 2 dan 3 yang juga berkelompok berdasarkan hasil CA. Selain itu, di stasiun 2 dan 3 mangrove sudah terbentuk ekosistem yang baik dan ada yang sudah terkategorikan sebagai pohon dan memiliki buah. Dengan pertimbangan tersebut maka sebaiknya rehabilitasi mangrove dilakukan di sekitaran stasiun 2 dan 3 sampai benar pada kondisi optimum, dan terus bergeser ke sisi kanan dan kirinya (secara bertahap/merambat). Pertimbangan ini diambil untuk meningkat jaminan keberhasilan rehabilitasi dan mengurangi perlakuan fisik seperti pembuatan pemecah gelombang karena mangrove yang sudah ada dianggap cukup untuk melindungi dari hantaman gelombang dan menjadi suplai nutrien bagi mangrove yang lain dari serasah yang dihasilkan yang mengandung berbagai unsur hara yang diperlukan seperti N, P, K dan sebagainya (Baliao dan Tookwinas 2002; Brian et al. 2004). Sehingga kegagalan pada stasiun 4 dan kondisi mangrove yang buruk pada stasiun 1 dapat dihindari. Hal yang tidak kalah penting adalah bahwa pada stasiun 1, 2 dan 3 merupakan lokasi yang dekat dengan kantor taman nasional dan pemukiman padat penduduk, sehingga fungsi pengawasan sacara tidak langsung dapat berjalan dan sumber nutrien

untuk mangrove di pulau kecil yang sebagian besar berasal dari limbah rumah tangga dapat terpenuhi.

2. Sebagai pulau kecil, Pulau Pramuka sangat terpapar dengan gelombang, untuk itu perlu dibuat perlindungan terhadap mangrove dengan membangun pemecah gelombang setidaknya sampai mangrove sudah tumbuh dengan baik dan dianggap kuat menahan gelombang. Hashim et al. (2010) menyebutkan bahwa penanaman mangrove di pantai mangrove yang tererosi dapat dilakukan dengan mengkombinasikan dengan pembangunan pemecah gelombang (breakwater) dan mangrove ditanam di bagian yang terlindungi oleh pemecah gelombang tersebut. Pemecah gelombang diharapkan juga meningkatkan sedimentasi di area penanaman mangrove sebagai pemenuhan kebutuan substrat dan nutrien. 3. Belum optimalnya tingkat kepedulian masyarakat terhadap rehabilitasi

mangrove karena belum terasanya manfaat langsung di masyarakat, maka perlu dilakukan kajian penilaian yang mempertimbangkan manfaat langsung dari adanya ekosistem mangrove, seperti disektor perikanan dan pangan. Walton et al. (2007) menyebutkan bahwa penting untuk mempertimbangkan hasil tangkapan ikan sebagai indikator keberhasilan rehabilitasi mangrove. Sebagai contoh, penurunan populasi kepiting lumpur berhubungan dengan degradasi mangrove terutama dari efektifitas pengelolaan habitat dan rehabilitasi dalam konservasi di Pulau Panay, Filipina Tengah. Indikator fungsi ekologi habitat mangrove tersebut yaitu kepiting lumpur Scylla olivacea, sebagai predator bentik tertinggi dan jenis komersial, dan menggunakan Baptozius vinosus dan

Thalamita crenata. Selain itu, Bashan et al. (2013) menyarankan agar

rehabilitasi juga bisa menggunakan spesies yang komersial seperti dari

Rhizophora atau Bruguiera.

4. Selama ini belum dilakukan pemantauan mangrove secara baik, sehingga mangrove rehabilitasi cenderung tidak terawat dan belum mencapai fase regenerasi alami. Pemantauan tumbuhan mangrove yang telah ditanam perlu dilakukan untuk menjamin keberhasilan program rehabilitasi. Kegiatan- kegiatan upaya pemantauan dapat mengacu pada Field (1998) (Tabel 17). 5. Kualitas air dapat dipertimbangkan sebagai parameter pengujian efektifitas

rehabilitasi mangrove. Hal ini karena adanya hubungan yang erat antara kualitas air dan keberhasilan rehabilitasi mangrove yang dicirikan oleh parameter nitrat, kecepatan arus dan kalium. Dimana parameter-paramater tersebut secara fisik (kecepatan arus) dapat merusak dan menghanyutkan bibit mangrove yang ditanam dan secara kimia (nitrat dan kalium) merupakan nutrien yang dibutuhkan untuk pertumbuhan akar dan batang mangrove. Selain itu, melihat fungsi mangrove sebagai penyerap bahan organik, direkomendasikan juga agar mangrove ditanam di sekitar area pemukiman, dimana sebagai salah satu pensuplai bahan organik terutama untuk nitrat.

6. Penanaman mangrove diluar program resmi dari balai TNKpS cenderung tidak terencana (kegiatan Corporate Social Responsibility/CSR dan wisata). Umumnya, penanaman dilakukan pada posisi yang dianggap terjangkau dan secara simbolik dapat terekspos. Untuk itu, sebaiknya penanaman tetap terkoordinir oleh pihak pengelola dan sesuai site plan yang sudah dibuat (Lampiran 8). Hal ini penting karena site plan yang sudah dibuat didasarkan pada kesesuaian lahan untuk mangrove dan aktivitas masyarakat di Pulau

Pramuka, sehingga rehabilitasi dapat efektif dan tidak mengganggu aktivitas masyarakat seperti pelayaran, penangkapan dan lain-lain.

Tabel 17 Kegiatan pemantauan dan perawatan yang dapat dilakukan pasca penanaman mangrove

No. Aktifitas Keterangan

1. Mengambil gambar foto secara regular di lokasi rehabilitasi

Cara yang efektif mendapatkan sebuah gambaran kondisi

2. Memantau spesies mangrove yang dikembangkan

Mengecek kebenaran asal usul propagul dan biji

3. Memantau pertumbuhan

sebagai fungsi waktu

Mengukur secara umum: kerapatan persemaian dan pohon (jumlah pohon per ha), diameter batang (DBH) (cm), tinggi (m) dan volume (m3 per ha). Pertambahan tahunan dari parameter- parameter tersebut harus ditekuni

4. Memantau karakteristik- karakteristik pertumbuhan

Determinasi dapat termasuk: struktur batang, produksi tangkai pohon, fenologi, pembuahan dan resistensi terhadap hama dan penyakit 5. Mencatat tingkat kegagalan

persemaian

Menyediakan penjelasan ilmiah untuk ketidak suksesan

6. Mencatat dampak hama dan

penyakit

Mencatat hama dan penyakit alami dan mengambil langkah untuk membasmi masalah yang ada

7. Mencatat tingkat akumulasi sampah

Mencatat sumber sampah dan mengambil langkah untuk meminimalisasi masalah 8. Mencatat dampak grazing,

pemotongan, fish ponds dan penangkapan ikan

Mencatat sumber tekanan eksternal dan mengambil langkah untuk meminimalisasi masalah, seperti: memagari; pelaksaan hukum 9. Mengatur kerapatan

persemaian dan anakan pada tingkat optimum

Tingkat penjarangan, penanaman atau regenerasi

Dokumen terkait