• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Eksistensi Kearifan Lokal Huyula Desa Bongoime Provinsi Gorontalo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Eksistensi Kearifan Lokal Huyula Desa Bongoime Provinsi Gorontalo"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS EKSISTENSI KEARIFAN LOKAL HUYULA

DESA BONGOIME PROVINSI GORONTALO

FARIS BUDIMAN ANNAS

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKUTLAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Kearifan Lokal Huyula Desa Bongoime Provinsi Gorontalo adalah benar karya saya denganarahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

Analisis Eksistensi Kearifan Lokal Huyula Desa Bongoime Provinsi Gorontalo

Kearifan lokal masyarakat memegang peranan penting dalam pengelolaan sumberdaya alam. Pentingnya kearifan lokal masayarakat dilihat dari proses interaksi masyarakat yang sejak beberapa generasi telah hidup dari pengelolaan sumber daya alam (Sirait 2005). Ketersediaan, kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya alam ditentukan oleh adanya faktor kearifan sebagai manifestasi akal masyarakat lokal yang tersembunyi dan diyakini sebagai sesuatu yang benar, dirasakan bersama, serta merupakan sesuatu yang baik dan berguna bagi kehidupannya..

Pentingnya mengkaji kearifan lokal terutama di bidang pertanian, merupakan isu penting di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Sejarah nusantara membuktikan bahwa negara ini kaya akan kearifan lokal bidang pertanian dan pengolahan bahan makanan. Huyula sebagai salah satu bentuk kearifan lokal di Gorontalo merupakan nilai-nilai yang terdapat dimasyarakat yang melandasi sistem gotong royong. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui eksistensi kearifan lokal Huyula di dalam masyarakat Gorontalo.

Huyula merupakan kerjasama sosial tanpa pamrih yang sejak dahulu dipraktekkan oleh para luluhur dan merupakan sistem ekonomi yang terkoordinir maupun secara sukarela. Pada masyarakat Desa Bongoime, nilai-nilai Huyula diterapkan oleh masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan. Nilai-nilai Huyula diwujudkan dalam berbagai kegiatan misalnya dalam kerja bakti pembersihan lingkungan pedesaan, pembuatan jalan, kematian, pembersihan saluran irigasi maupun kegiatan pertanian. Nilai-nilai Huyula sebagai suatu bentuk kearifan lokal di Desa Bongoime merupakan salah satu solusi yang membantu petani dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya pertanian padi sawah. Dalam pengelolaan sumber daya pertanian khususnya pertanian padi sawah di Desa Bongoime nilai-nilai Huyula terbagi menjadi dua wujud yaitu kegiatan Huyula dan Ti’ayoKearifan lokal ini pernah dialami oleh masyarakat pada periode sebelum reformasi. Namun saat ini, Huyula dalam pengolahan lahan dan penanaman telah berubah menjadi sistem upah.

Masyarakat Desa Bongoime secara umum memiliki pengetahuan, sikap dan perilaku yang tinggi terhadap Huyula, meskipun Huyula dalam pertanian saat ini hanya diterapkan dalam pembersihan saluran irigasi. Pengetahuan petani terhadap Huyula berhubungan nyata dengan sikap dan perilaku petani. Faktor usia dan intensitas penyuluhan berhubungan dengan pengetahuan, sikap dan perilaku petani terhadap Huyula. Semakin tinggi usia petani maka semakin tinggi pengetahuan, sikap dan perilaku petani terhadap Huyula. Hal ini pun sama terjadi terhadap intensitas penyuluhan petani, yaitu semakin tinggi intensitas penyuluhan petani maka semakin tinggi pengetahuan, sikap dan perilaku petani terhadap Huyula.

(5)

ABSTRAK

FARIS BUDIMAN ANNAS. Analisis Eksistensi Kearifan Lokal Huyula Desa Bongoime Provinsi Gorontalo. Dibimbing oleh EKAWATI SRI WAHYUNI.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis eksistensi kearifan lokal Huyula diukur dengan pengetahuan, sikap dan perilaku petani terhadap Huyula dan hubungannya dengan faktor internal dan eksternal petani. Sampel penelitian ini adalah warga Desa Bongoime yang berprofesi sebagai petani padi sawah. Penelitian ini menggunakan data kuantitatif dilengkapi dengan data kualitatif. Penelitian ini diuji dengan menggunakan uji korelasi Rank Spearman dengan taraf nyata 0.05. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Huyula merupakan nilai-nilai gotong royong yang terdapat di masyarakat. Petani memiliki pengetahuan, sikap dan perilaku yang tinggi terhadap Huyula meskpun dalam penerapannya Huyula hanya terdapat pada pembersihan saluran irigasi. Terdapat hubungan antara pengetahuan, sikap dan perilaku petani terhadap Huyula dengan usia dan intensitas penyuluhan petani sehingga usia dan intensitas penyuluhan petani berpengaruh terhadap eksistensi Huyula.

Kata kunci: Huyula, eksistensi, faktor internal, faktor eksternal.

ABSTRACT

FARIS BUDIMAN ANNAS. Existence Analysis of Local Wisdom Huyula in Bongoime Village Gorontalo Province. Supervised by EKAWATI SRI WAHYUNI.

This study aims to analyze the existence of local wisdom Huyula measured by knowledge, attitudes and behavior of farmers to Huyula and its relationship with the internal and external factors farmers. The sample was Bongoime villagers who work as rice farmers. This study uses quantitative data with qualitative data furnished. This study tested using Spearman rank correlation test with significance level 0.05 level. Results of this study indicate that Huyula is a values contained in the mutual aid society. Farmers have the high knowledge, attitude and behavior towards Huyula although in practice only in the cleaning of irrigation channels. There is a relationship between knowledge, attitudes and behavior of farmers toward Huyula. There are two variabel like age and extention intensity that affects the existence Huyula.

(6)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

ANALISIS EKSISTENSI KEARIFAN LOKAL HUYULA DESA

BONGOIME PROVINSI GORONTALO

FARIS BUDIMAN ANNAS

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKUTLAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(7)
(8)

Judul Skripsi : Analisis Eksistensi Kearifan Lokal Huyula Desa Bongoime Provinsi Gorontalo

Nama : Faris Budiman Annas

NIM : I34090041

Disetujui oleh

Dr Ir Ekawati Sri Wahyuni MA Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Soeryo Adiwibowo MS Ketua Departemen

(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 ini ialah kearifan lokal, dengan judul Analisis Eksistensi Kearifan Lokal Huyula Desa Bongoime Provinsi Gorontalo.

Ucapan terima kasih dan hormat penulis sampaikan kepada Dr. Ekawati Sri Wahyuni selaku dosen pembimbing, yang telah banyak memberikan arahan, masukan, saran dan sabar membimbing penulis dalam menyelesaikan laporan ini. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada, orang tua tercinta, serta Ayyub Shabir dan Farah Fatimah Zahra, adik tersayang, dan kakak tercinta Annisa Nur Aisyah Annas yang telah memberikan dukungan, doa dan semangat selama penulisan. Tak lupa juga kepada teman-teman SKPM 46 khususnya, Mona Inayah Pratiwi, Carlae J, Fadil, Gilang, Arif, Yandra, Indra, Rizka A, Tyas, Shitta, Linda, Elbie, Mono, Ikbal, Beha, Randy Ilyas, KPM Jantan. Penulis juga mengucapkan terima kasih atas bantuan, saran dan semangat yang diberikan oleh senior dan dukungan dari adek-adek KPM 47 dan KPM 48, serta pihak-pihak yang mendukung, memotivasi serta membantu penulis dalam menyelesaikan laporan ini.Semoga laporan skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1 

Latar Belakang 1 

Perumusan Masalah 2 

Tujuan Penelitian 2 

Manfaat Penelitian 2 

TINJAUAN PUSTAKA 3 

Konsep Kearifan Lokal 3 

Bentuk-bentuk Kearifan Lokal 3 

Eksistensi kearifan lokal Huyula 6 

Konsep Pengetahuan, Sikap dan Perilaku 6 

Penyuluhan Pertanian 7 

Kerangka Pemikiran 7 

Hipotesis Penelitian 8 

Definisi Operasional 9 

METODE 11 

Lokasi dan Waktu 11 

Teknik Pengumpulan Data 11 

Teknik Pengolahan data 12 

PROFIL DESA BONGOIME 17 

Sejarah Desa 17 

Kondisi Geografis 17 

Kondisi Demografi 18 

Sarana dan Prasarana 19 

Mata Pencaharian 20 

Struktur Sosial Masyarakat 20 

Gambaran Umum Responden 20 

(11)

Karakteristik Responden menurut Tingkat Pendidikan 22  Karakteristik Responden menurut Tingkat Pendapatan 22  Karakteristik Responden Menurut Luas Lahan 22  Karakteristik Responden Menurut Pekerjaan Non Pertanian dan Pertanian23 

BENTUK-BENTUK KEARIFAN LOKAL HUYULA 25 

Nilai-nilai Huyula dalam Pertanian 25 

Peran Panggoba dalam Kegiatan Pertanian Petani 28  PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU PETANI TERHADAP HUYULA

29 

Pengetahuan Petani Terhadap Huyula 29 

Sikap Petani Terhadap Huyula 30 

Perilaku Petani Terhadap Huyula 33 

Hubungan Antara Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Petani Terhadap Huyula

36 

HUBUNGAN FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP

HUYULA 38 

Hubungan Usia Terhadap Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Huyula Petani39  Hubungan Tingkat pendidikan Terhadap Pengetahuan, Sikap dan Perilaku

Huyula Petani 42 

Hubungan Luas Lahan Garapan Terhadap Pengetahuan, Sikap dan Perilaku

Huyula Petani 43 

Hubungan Pekerjaan non pertanian Terhadap Pengetahuan, Sikap dan Perilaku

Huyula Petani 45 

Hubungan Intensitas Penyuluhan Terhadap Pengetahuan, Sikap dan Perilaku

Huyula Petani 46 

SIMPULAN DAN SARAN 49 

Simpulan 49 

Saran 49 

DAFTAR PUSTAKA 51 

RIWAYAT HIDUP 52 

(12)

1 Bentuk-bentuk Kearifan Lokal 4  2 Jumlah dan presentase penduduk berdasarkan kelompok umur 18  3 Presentase penduduk berdasarkan tingkat pendidikan 19  4 Jumlah umur dan presentase penduduk berdasarkan jenis pekerjaan 20 

5 Karakteristik Petani 21 

6 Perbedaan sistem kerja Ti’ayo dan Huyula 27  7 Jumlah Responden menurut respon terhadap pertanyaan mengenai

pengetahuan Huyula 30 

8 Jumlah responden menurut respon terhadap pertanyaan mengenai

sikap tentang Huyula 31 

9 Jumlah Responden menurut respon terhadap pertanyaan mengenai

perilaku tentang Huyula. 34 

10 Hasil pengujian hubungan antara pengetahuan, sikap dan perilaku

petani terhadap Huyula. 37 

11 Hubungan antara usia terhadap pengetahuan, sikap dan perilaku

Huyula petani 39 

12 Hubungan tingkat pendapatan terhadap pengetahuan, sikap dan

perilaku Huyula petani 41 

13 Hasil pengujian hubungan antara tingkat pendidikan terhadap pengetahuan, sikap dan perilaku Huyula petani 43  14 Hasil pengujian hubungan antara luas lahan garapan terhadap

pengetahuan, sikap dan perilaku Huyula petani . 44  15 Hasil pengujian hubungan antara pekerjaan non pertanian terhadap

pengetahuan, sikap dan perilaku Huyula 45  16 Hasil pengujian hubungan antara intensitas penyuluhan terhadap

pengetahuan, sikap dan perilaku Huyula petani 46 

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka Pemikiran

2 Persentase jumlah petani berdasarkan pengetahun terhadapHuyula 29

(13)
(14)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta Desa 59

2 Kuisioner Penelitian 60

3 Kerangka Sampling 66

4 Uji Statistik 70

(15)
(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara agraris dengan masyarakatnya yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani. Sejak 1945, pertanian di Indonesia umumnya masih bersifat subsisten atau tradisional, mereka melakukan usaha pertanian dengan mengandalkan pengetahuan yang mereka miliki.Pengetahuan tersebut diperoleh secara turun-temurun melalui tradisi ataupun komunikasi verbal.

Pemerintah sebagai pihak yang juga bertanggung jawab mengembangkan masyarakat pertanian di Indonesia telah menciptakan berbagai kebijakan pertanian melalui penyuluhan oleh lembaga-lembaga pertanian, namun cukup disayangkan karena teknologi pertanian yang disampaikan oleh penyuluhan tersebut cukup sulit diterapkan oleh petani. Hal ini dikarenakan kemampuan adopsi petani yang rendah dalam menerima hal-hal baru, selain itu petani juga memiliki pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya pertanian. Pengetahuan lokal tersebut biasa juga disebut sebagai kearifan lokal yang dimiliki oleh suatu masyarakat.

Dewasa ini kesadaran akan perlunya kearifan lokal mendapat perhatian yang lebih besar dari para ilmuwan dipicu oleh wacana global tentang kegagalan pembangunan dinegara-negara dunia ketiga. Hal ini dikarenakan oleh semakin merosotnya kualitas lingkungan alam akibat semakin cepatnya kepunahan pengetahuan-pengetahuan yang menjadi basis adaptasi berbagai komunitas lokal. Selain itu, perlunya penguatan terhadap kebutuhan akan jatidiri di tengah arus globalisasi perlu ditingkatkan (Ahimsa 2008)

Terdapat dua poin penting dalam kearifan lokal, yakni pengetahuan dan praktek yang tidak lain adalah pola interaksi dan pola tindakan. Pengetahuan dapat disamakan dengan knowledge yang dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti media massa ataupun cerita orang lain sehingga mudah dilupakan, sedangkan pengalaman lebih bersifat permanen terutama karena ia berkaitan dengan pengalaman langsung dalam perjalanan hidup manusia (Sairin 2006)

Kearifan lokal masyarakat memegang peranan penting dalam pengelolaan sumberdaya alam. Pentingnya kearifan lokal masayarakat dilihat dari proses interaksi masyarakat yang sejak beberapa generasi telah hidup dari pengelolaan sumber daya alam (Sirait 2005). Ketersediaan, kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya alam ditentukan oleh adanya faktor kearifan sebagai manifestasi akal masyarakat lokal yang tersembunyi dan diyakini sebagai sesuatu yang benar, dirasakan bersama, serta merupakan sesuatu yang baik dan berguna bagi kehidupannya..

(17)

2

Perumusan Masalah

Masalah yang ada dalam penelitian ini adalah: bagaimana eksistensi kearifan lokal Huyula? Masalah umum tersebut diperinci dengan masalah khusus: 1. Bagaimana bentuk-bentuk kearifan lokal Huyula dalam dalam pengelolaan

sumberdaya pertanian padi sawah yang terdapat pada masyarakat petani ? 2. Bagaimana eksistensi kearifan lokal Huyula dalam pengelolaan sumberdaya

pertanian padi sawah yang diukur dari aspek pengetahuan, sikap, dan perilaku petani?

3. Bagaimana hubungan faktor internal dan eksternal petani terhadap eksistensi kearifan lokal Huyula dalam pengelolaan sumberdaya pertanian padi sawah ?

Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan bentuk-bentuk kearifan lokal Huyula dalam pengelolaan sumberdaya pertanian sawah yang terdapat pada kelompok tani.

2. Menganalisis eksistensi kearifan lokal Huyula dalam pengelolaan sumberdaya pertanian sawah yang diukur dari aspek pengetahuan, sikap, dan perilaku petani.

3. Menganalisis hubungan faktor internal dan eksternal petani terhadap eksistensi kearifan lokal Huyula dalam pengelolaan sumberdaya pertanian padi sawah.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengantar atau sebagaipengenalan lebih lanjut mengenai kearifan lokal Huyula dalam pengelolaan sumberdaya pertanian sawah. Melalui penelitian ini, terdapat juga beberapa hal yang ingin penulis sumbangkan pada berbagai pihak, yaitu:

1. Akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi peneliti yang ingin mengkaji lebih lanjut mengenai eksistensi kearifan lokal Huyula dalam pengelolaan pertanian sawah.

2. Masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat memberi dampak positif bagi masyarakat, khususnya untuk memahami fenomena eksistensi kearifan lokal Huyula dalam pengelolaan pertanian sawah.

(18)

3

TINJAUAN PUSTAKA

Konsep Kearifan Lokal

Menurut Keraf (2002) dalam bukunya “ Etika Lingkungan “, bahwa kearifan lokal atau kearifan tradisional adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia di dalam kehidupan komunitas ekologis. Hal ini diperkuat oleh Ridwan (2007), yang menyatakan bahwa kearifan lokal merupakan pengetahuan lokal yang didasarkan pada nilai-nilai budaya lokal.Kearifan lokal dapat dirasakan melalui kehidupan sehari-hari masyarakat karena akhir dari sedimentasi kearifan lokal adalah tradisi.Kearifan lokal dapat menjadi energi potensial untuk mengembangkan lingkungan mereka untuk menjadi beradab. Kearifan lokal adalah hasil dari respon yang sama dengan kondisi lingkungan sekitar mereka.

Penjelasan lain juga dikemukakan oleh Ostorm yang dikutip oleh Sirait (2005) yang menjelaskan bahwa kearifan lokal adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman, atau wawasan serta adat dan kebiasaan yang diwujudkan dalam kebijaksanaan berdasarkan nilai dan norma budaya yang dimiliki oleh masyarakatnya, sebagai suatu kekuatan dan kemampuan potensial yang menuntun perilaku masyarakat dalam kehidupan komunitasnya. Kearifan lokal atau sering disebut sebagai local wisdom, menurut Ridwan (2007), secara etimologi dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) dan bersikap terhadap suatu peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu sebagai sebuah kebijaksanaan. Lebih spesifik lagi kearifan lokal ini menunjuk pada ruang interaksi terbatas dengan sistem nilai yang terbatas pula.Sebagai ruang interaksi yang sudah didesain sedemikan rupa yang didalamnya melibatkan suatu pola-pola hubungan antara manusia dengan manusia atau manusia dengan lingkungan fisiknya.Pola interaksi yang sudah terdesain tersebut disebut setting yang merupakan sebuah ruang interaksi tempat seseorang dapat menyusun hubungan-hubungan face to face dalam lingkungannya. Sebuah setting kehidupan yang sudah terbentuk secara langsung akan memproduksi nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut yang akan menjadi landasan hubungan mereka atau menjadi acuan tingkah laku mereka.

Kearifan lokal diwujudkan melalui cara-cara tersendiri dan unik yang diatur didalam norma-norma budaya didalam ritual dan tradisi masyarakat. Kearifan-kearifan tersebut diwariskan oleh leluhur mereka yang mempengaruhi pola pengetahuan (pemahaman), sikap, dan perilaku masyarakat, dan bersifat mengikat semua komponen masyarakatnya, hal tersebut dikemukakan oleh Puspawardoyo yang dikutip oleh Sirait (2005),. Pemahaman menurut Babcock dalam Aulia (2012) menyatakan bahwa kearifan lokal adalah kumpulan pengetahuan dan cara berfikir yang berakar dalam kebudayaan suatu kelompok manusia, yang merupakan hasil pengamatan selama kurun waktu yang lama.

Bentuk-bentuk Kearifan Lokal

(19)

4

nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus.Bentuk yang bermacam-macam ini mengakibatkan fungsi kearifan lokal menjadi bermacam-macam pula. Fungsi tersebut antara lain adalah

1. Kearifan lokal berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumberdaya alam.

2. Kearifan lokal berfungsi untuk mengembangkan sumber daya manusia 3. Berfungsi sebagai pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan 4. Berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan.

Tabel1 Bentuk-bentuk Kearifan Lokal Bentuk Kearifan

Sawen merupakan penanda kayu yang ditancapkan pada tumpukan hasil panen. Hal tersebut

menandakan bahwa hasil panen tersebut ada pemiliknya

Etika Pantai Soka,

Desa Antap, Adat-istiadat Kasus di Desa

Adat Tenganan

awig-awig yang mengatur tentang larangan

menebang hutan secara

(20)

5 Hal tersebut dikuatkan oleh penjelasan (Ridwan 2007) bahwa masyarakat di Indonesia khususnya, kearifan lokal dapat ditemukan dalam bentuk nyanyian, pepatah, sasanti, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam perilaku sehari-hari. Kearifan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakat yang telah berlangsung lama. Keberlangsungan kearifan lokal akan tercermin dalam nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu. Nilai-nilai itu menjadi pegangan kelompok masyarakat tertentu yang biasanya akan menjadi bagian hidup tak terpisahkan yang dapat diamati melalui sikap dan perilaku mereka sehari-hari.

Bentuk-bentuk kearifan lokal menurut teori Sirtha (2003) seperti nilai, etika, adat istiadat, hukum adat dan kepercayaan dapat dilihat dari pada Tabel.1 di atas.Kearifan lokal dalam bentuk nilai-nilai terdapat pada kampung Ciburuk, Banten. Masyarakat pada kampung tersebut menerapkan nilai-nilai yang dianggap penting, contohnya adalah Sawen.Bentuk kearifan lokal ini merupakan penanda kayu yang ditancapkan pada tumpukan hasil panen. Hal tersebut menandakan bahwa hasil panen tersebut ada pemiliknya dan tidak boleh diambil oleh pihak lain. Kearifan lokal ini membentuk rasa saling menghargai dan menumbuhkan rasa saling percaya di antarasesama (Tirsa 2012).

Kearifan lokal dalam bentuk etika dapat dilihat pada masyarakat di Desa Antap Kabupaten Tabanan Bali. Masyarakat di daerah ini menjunjung etika terhadap lingkungan.Misalnya, dalam hal penangkapan ikan, masyarakat nelayan menggunakan alat Bubu Bambu atau penggunaan alat tangkap ikan secara tradisional yang berbentuk perangkap, alat ini tidak merusak lingkungan pantai dan membuat pantai kotor (Farhan 2012), sehingga keasrian dan keindahan pantai tetap terjaga sehingga dapat meningkatkan jumah wisatawan ke pantai tersebut.

Bentuk kearifan lokal yang dicerminkan dalam adat istiadat dapat diamati pada masyarakat di Desa Adat Tenganan, Bali. Masyarakat pada kampung ini menerapkan filosofi nyepi dalam kehidupan sehari-hari. Perayaan nyepi dalam keseharian dan ketaatan terhadap terhadap aturan adat setempat. Berbeda dengan desa lainnya pada saat Hari Raya nyepi yang tidak diperbolehkan keluar rumah sedangkan di Desa Tenganan warganya diperbolehkan keluar rumah. Dalam masyarakat Desa Adat Tenganan, pelaksanaan kehidupan keagamaan diatur oleh adat seperti upacara-upacara keagamaan. Dengan pengaturan dari adat, warga mempersiapkan keperluan untuk pelaksanaan suatu upacara (Kamasan 2003).

Kearifan lokal dalam bentuk hukum adat juga dapat diamati pada masyarakat di Desa Adat Tenganan Pageringsingan, Kabupaten Karangasem, Bali.Masyarakat ini menerapkan awig-awig yang mengatur tentang larangan menebang hutan secara sembarangan (Kamasan 2003). Peraturan adat di desa ini sangatlah ketat, bagi yang melanggar akan dikenakan sanksi. Rasa patuh terhadap awig-awig didasari oleh kesadaran tentang arti penting pengendalian diri dan bukan karena takut terhadap hukuman.

(21)

cerita-6

cerita.Masyarakat di kampung ini patuh dan taat terhadap budaya tersebut, sehingga kearifan lokal tersebut tidak hanya sekedar kepercayaan melainkan diterapkan juga dalam kehidupan sehari-hari.

Eksistensi kearifan lokal Huyula

Huyula merupakan sistem tolong-menolong antara angota-anggota masyarakat, untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan bersama yang didasarkan pada solidaritas sosial melalui ikatan kepentingan bersama yang didasarkan pada solidaritas sosial melalui ikatan keluarga, tetangga dan kerabat (Hatu 2011).Eksistensi kearifan lokal pada masyarakat tidak bersifat kaku dan terhenti melainkan dapat berubah karena mengalami perkembangan atau kemunduran. Hal ini terjadi pada perkembangan kearifan lokal yang berupa tradisi gotong royong (basesiru) pada masyarakat petani di Pulau Lombok, dalam kegiatan usahatani, kearifan lokal ini mulai ditinggalkan petani karena dinilai kurang efektif dan efisien serta memerlukan biaya yang lebih tinggi dibandingkan dengan bentuk kerja sama yang lain seperti kerjasama tenaga balas tenaga dan sistem upahan. Kerja sama siruwales merupakan bentuk modifikasi kerja sama gotong royong (basesiru) dalam kegiatan usahatani jagung. Kearifan lokal tersebut (basesiru) dalam pengelolaan usaha tani sudah berkembang, merupakan dampak atas keterdedahan petani terhadap informasi inovasi dan komersialisasi usaha tani.

Konsep Pengetahuan, Sikap dan Perilaku

Menurut Notoatmojdo (2003) menjelaskan bahwa pengetahuan adalah merupakan hasil dari “Tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia, yiatu : indra penglihatan, pendengaranm penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperolah melalui pendidikan, pengalaman orang lain, media massa maupun lingkungan . Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Pengetahuan diperlukan sebagai dukungan dalam menumbuhkan rasa percaya diri maupun sikap dan perilaku setiap hari, sehingga dapat dikatakan bahwa pengetahuan merupakan fakta yang mendukung tindakan seseorang . Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek Manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku tertutup. Perilaku adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain : berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar

(22)

7 evaluative terhadap suatu objek yang memiliki konsekuensi yakni bagaimana seseorang berhadapan dengan objek-objek sikap. Tekanannya pada kebanyakan penelitian dewasa ini adalah perasaan atau emosi.

Penyuluhan Pertanian

Menurut Van den Ban dan Hawkins (1996) penyuluhan merupakan keterlibatan seseorang untuk melakukan informasi secara sadar dengan tujuan membantu sesamanya memberikan pendapat sehingga bias membuat keputusan yang benar. Menurut Soemodiwirjo (1941) bahwa pada usaha-usaha untuk memajukan ekonomi dan keadaan sosial rakyat, maka selalu harus diperhatikan bahwa kegiatan penyuluhan pertanian adalah kegiatan pendidikan. Menurut Alwi (1958) penyuluhan pertanian adalah suatu usaha untuk memberi pengajaran, pendidikan dan bimbingan pada petani buat mempertinggi kecerdasan mereka umumnya, pengetahuan tehknik pertanian khususnya, membangkitkan kerjasama serta giat menolong diri sendiri sehingga dapat menghasilkan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak.

Padmanagara (1984) mengartikan penyuluhan pertanian sebagai sistem pendidikan di luar sekolah (non-formal) untuk para petani dan keluarganya (ibu tani, pemuda tani) dengan tujuan agar mereka mampu, sanggup, dan berswadaya memperbaiki/meningkatkan kesejahteraannya sendiri serta masyarakatnya. Cruz (1961) merumuskan bahwa penyuluhan pertanian adalah pendidikan untuk orang dewasa, yang bertujuan untuk menginstruksikan dan mengajak petani untuk mengadopsi teknik-teknik terbaik dalam kegiatan pertanian dan peternakan, dan secara lebih jauh bermanfaat untuk mengubah pola pikir mereka untuk menerima ide-ide dan metode baru dan mengembangkan inisiatif dalam peningkatan pengetahuan dan perilaku mereka.

Kerangka Pemikiran

Kearifan lokal masyarakat memegang peranan penting dalam pengelolaan sumberdaya alam. Pentingnya kearifan masyarakat lokal dilihat dari proses interaksi masyarakat yang sejak beberapa generasi telah hidup dari pengelolaan sumber daya alam. Penerapan kearifan lokal dalam pemanfaatan sumberdaya pertanian dapat dilakukan dengan mengimplementasikan nilai-nilai, etika, adat istiadat, hukum adat dan kepercayaan.Bentuk-bentuk tersebut dapat memberikan manfaat dari segi ekologi, sosial, dan ekonomi.Kerangka penelitian baru di bawah ini berusaha melihat eksistensi kearifan lokal Huyula yang dimiliki masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pertanian.

Perwujudan kearifan lokal dalam bentuk-bentuk seperti nilai-nilai, etika, adat istiadat, hukum adat dan kepercayaan dapat dilihat dari pengimplementasian kearifan lokal tersebut.Pengimplementasian kearifan lokal dapat diukur dari aspek pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan penelitian yang pertama, yaitu: Bagaimana bentuk-bentuk kearifan lokal Huyula dalam pengelolaan sumberdaya pertanian sawah yang terdapat pada masyarakat petani ?

(23)
(24)

9 5. Diduga semakin tinggi intensitas penyuluhan petani maka tingkat

pengetahuan, sikap dan perilaku terhadap Huyula semakin tinggi.

6. Diduga semakin tinggikuantitas petani yang memiliki pekerjaan non pertanian maka tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku terhadap Huyula petani semakin rendah.

Definisi Operasional

1. Usia adalah lamanya seseorang hidup yang dihitung semenjak ia lahir hingga penelitian ini dilakukan dalam satuan tahun. Dalam penelitian ini usia petani, dibagi menjadi tiga kategori:

a. Muda (18-30 tahun), diberi kode 1 b. Dewasa (31-50 tahun), diberi kode 2 c. Tua (> 50 tahun), diberi kode 3

2. Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang pernah ditempuh oleh responden. Tingkat pendidikan dibedakan dengan menggunakan skala ordinal yaitu:

a. Lulus SD/sederajat :rendah, diberi kode 1 b. Lulus SMP/sederajat :sedang, diberi kode 2 c. Lulus SMA/Perguruan Tinggi/sederajat :tinggi, diberi kode 3

3. Luas Lahan Garapan adalah luas lahan yang digarap (dikerjakan) oleh petani, dihitung dengan satuan Ha atau m2.

a. Rendah (jika nilai luas lahan total berada di bawah rata-rata luas lahan responden) diberi kode 1

b. Sedang (rata-rata luas lahan responden sama dengan rata-rata luas lahan responden) diberi kode 2

c. Tinggi (jika nilai luas lahan total diatas rata-rata luas lahan responden) diberi kode 3

4. Status Petani adalah identitas yang melekat pada responden berkaitan dengan kegiatan pengolahan lahan sawah yang dilakukan. Status petani diukur menggunakan skala nominal, yaitu :

a. Petani Pemilik adalah petani yang memiliki sejumlah lahan pertanian denga luas tertentu. Kategeri ini diberi kode 1

b. Petani Penggarap adalah petani yang tidak memiliki lahan melakukan penggarapan atau pengelolaan terhadap sejumlah lahan tertentu. Kategori ini diberi kode diberi kode 2

c. Petani pemilik dan penggarap adalah petani yang memiliki sejumlah lahan dengan luas tertentu dan menggarap sejumlah sejumlah lahan milik petani lain. Kategori ini diberi kode 3

5. Tingkat pendapatan responden adalah jumlah penghasilan secara keseluruhan dari hasil pertanian yang dijual dalam setahun terakhir, ditambah dengan penghasilan sampingan (non pertanian) yang diperoleh dalam setiap bulan, yang dibagi berdasarkan kategori:

(25)

10

b. Sedang (jika nilai penghasilan total diatas rata-rata pendapatan responden), diberi kode 2

c. Tinggi (jika nilai penghasilan total diatas rata-rata pendapatan responden) diberi kode 3

6. Intensitas penyuluhan adalah keterlibatan petani kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga atau organisasi penyuluhan. Untuk mengukur intensitas penyuluhan digunakan skala likert, yaitu sebagai berikut ;

7. Pekerjaan non pertanian adalah pekerjaan yang dimiliki petani selain pengelolaan usaha pertanian.

a. Tidak memiliki pekerjaan non pertanian, diberi kode 1 b. Memiliki pekerjaan non pertanian, diberi kode 2

8. Pengetahuan petani adalah pengetahuan yang diketahui oleh petani setelah mengalami, menyaksikan, mengamati atau diajarkan, dan berkaitan dengan kearifan lokal Huyula.

9. Sikap petani adalah pandangan-pandangan atau perasaan disertai kecendrungan untuk bertindak terhadap kearifan lokal Huyula.

(26)

11

METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian Eksistensi kearifan lokal ini dilakukan di Desa Bongoime, Kecamatan Tilong Kabila. Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo.Lokasi tersebut dipilih secara purposive dengan dua pertimbangan utama sebagai berikut: (1) Desa Bongoime memiliki masyarakat petani yang menerapkan Huyula dalam

pengelolaan sumber daya pertanian.

(2) Menurut rekomendasi penyuluh pertanian, Desa Bongoime termasuk desa binaan dalam program penyuluhan pertanian BP3K Kec. Tilongkabila.

Penelitian dilaksanakan dalam waktu enam bulan kegiatan penelitian meliputi penyusunan proposal skripsi, kolokium, perbaikan proposal, pengambilan data lapangan, pengolahan dan analisis data, penulisan draft skripsi, uji petik, sidang skripsi, dan perbaikan laporan penelitian.

Teknik Pengumpulan Data

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh warga Desa Bongoime, KecamatanTilongkabila, Kabupaten Bone Bolango.Responden dari penelitian ini adalah warga Desa Bongoime yang berprofesi sebagai petani padi sawah. Terdapat enam kelompok tani, yang setiap kelompok tani terdiri dari minimal 23 orang dan maksimal 30 orang. Kerangka sampling dalam penelitian ini adalah gabungan dari enam kelompok tani, sehingga kerangka sampling terdiri dari 176 petani padi sawah. Teknik pengambilan sampel dilakukan melalui tahapan sebagai berikut: setiap kelompok tani tersebut diambil tujuh sampel petani secara acak, sehingga diperoleh 42 sampel petani padi sawah.Metode pengambilan sampel acak sederhana dilakukan secara manual menggunakan sistem pengocokan.

(27)
(28)

13 tidak. Bila nilai P lebih kecil dari taraf nyata α 0.05 maka hipotesis diterima, terdapat hubungan nyata, dan nilai koefisien korelasi γs digunakan untuk melihat keeratan hubungan antara dua variabel. Sebaliknya bila nilai P lebih besar dari taraf nyata α 0.05 maka hipotesis tidak diterima, yang berarti tidak terdapat hubungan nyata dan nilai koefisien korelasi γs diabaikan.

Pengkategorian suatu variabel menjadi kategori sedang atau rendah diukur berdasarkan nilai maksimum dan minimum dari data lapang. Nilai maksimum dilihat dari skor tertinggi responden dan nilai minimum dilihat dari skor terendah responden. Berdasarkan skor tersebut, kemudian dibuat interval kelas untuk menentukan rentang skor setiap katergori variabel. Rumus interval kelas yaitu sebagai berikut ;

Interval Kelas = Skor Maksimum-Skor Minimum/ Jumlah Kelas

Berdasarkan interval kelas tersebut dibuat beberapa kelas menurut rentang skor dan jumlah kelas. Setelah kategori variabel diperoleh selanjutnya dilakukan pengkodean kategori variabel. Hasil pengkodean variabel tersebut selanjutnya diolah dengan software SPSS untuk diuji hubungannya. Perhitungan skor setiap variabel diuraikan dibawah ini ;

1. Luas Lahan Garapan adalah luas lahan yang digarap (dikerjakan) oleh petani, dihitung dengan satuan Ha atau m2.

a. Rendah (jika nilai luas lahan total berada di bawah rata-rata luas lahan responden) diberi kode 1

b. Sedang (rata-rata luas lahan responden sama dengan rata-rata luas lahan responden) diberi kode 2

c. Tinggi (jika nilai luas lahan total diatas rata-rata luas lahan responden) diberi kode 3

2. Tingkat pendapatan responden adalah jumlah penghasilan secara keseluruhan dari hasil pertanian yang dijual dalam setahun terakhir, ditambah dengan penghasilan sampingan (non pertanian) yang diperoleh dalam setiap bulan, yang dibagi berdasarkan kategori:

a. Rendah (jika nilai penghasilan total berada di bawah rata-rata pendapatan responden), diberi kode 1

b. Sedang (jika nilai penghasilan total diatas rata-rata pendapatan responden), diberi kode 2

c. Tinggi (jika nilai penghasilan total diatas rata-rata pendapatan responden) diberi kode 3

3. Intensitas penyuluhan adalah keterlibatan petani kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga atau organisasi penyuluhan. Untuk mengukur intensitas penyuluhan digunakan skala likert, yaitu sebagai berikut ;

a. Tidak pernah diberi skor 1 b. Pernah diberi skor 2 c. Jarang diberi skor 3 d. Sering diberi skor 4

(29)

14

Terdapat total tujuh pertanyaan untuk mengukur intensitas penyuluhan.Berdasarkan data lapangan, diperoleh skor minimum dan maksimum sebagai berikut;

Skor minimum = 12 Skor maksimum = 27

Interval Kelas = Skor Maksimum-Skor Minimum/Jumlah Kelas = (27-12) / 2

= 15/2=7,5=8

a. Intensitas penyuluhan rendah = 12-19( kode 1) b. Intensitas penyuluhan tinggi = 20-27 (kode 2)

4. Pengetahuan petani adalah pengetahuan yang diketahui oleh petani setelah mengalami, menyaksikan, mengamati atau diajarkan, dan berkaitan dengan kearifan lokal Huyula.

a. Jika petani menjawab Tidak, diberi skor 1 b. Jika petani menjawab Ya, diberi skor 2

Berdasarkan data lapangan, diperoleh skor minimum dan maksimum sebagai berikut;

Skor minimum = 6 Skor maksimum = 10

Interval kelas = Skor Maksimum-Skor Minimum/Jumlah Kelas =(10-6)/2=4/2=2

a. Pengetahuan rendah = 6-8 (kode 1) b. Pengetahuan tinggi = 9-10 (kode 2)

5. Sikap petani adalah pandangan-pandangan atau perasaan disertai kecendrungan untuk bertindak terhadap kearifan lokal Huyula.

a. Sangat tidak setuju diberi skor 1 b. Tidak setuju diberi skor 2 c. Setuju diberi skor 3

d. Sangat setuju diberi skor 4

Berdasarkan data lapangan, diperoleh skor minimum dan maksimum sebagai berikut;

Skor terendah = 4 Skor tertinggi = 13

Interval kelas = Skor Maksimum-Skor Minimum/Jumlah Kelas =(13-4)/2=9/2=4,5=5

a. Sikap negatif/rendah = 4-8 ( kode 1) b. Sikap positif/tinggi = 9-13(kode 2)

6. Perilaku Petani adalah manifestasi dari sikap, aktivitas atau kegiatan yang dilakukan petani dalam hubungannya dengan kearifan lokal Huyula.

a. Tidak pernah diberi skor 1 b. Pernah diberi skor 2 c. Jarang diberi skor 3 d. Sering diberi skor 4

e. Sangat Sering diberi skor 5

Berdasarkan data lapangan, diperoleh skor minimum dan maksimum sebagaiberikut;

(30)

15 Interval Kelas= Skor Maksimum-Skor Minimum/Jumlah Kelas

= (8-4)/2= 4/2= 2

Berdasarkan interval diatas, maka perilaku petani dibuat menjadi dua tingkatan yaitu

(31)
(32)

17

PROFIL DESA BONGOIME

Sejarah Desa

Berdirinya Desa Bongoime berkaitan erat dengan sejarah terbentuknya daratan Kabila yang berlangsung 5000 tahun silam. Pada saat itu seluruh dataran Gorontalo masih digenangi air yang merupakan lautan belaka, daratan yang terlihat pada saat itu hanyalah dua buah gunung kecil yakni Tilongkabila dan Boliyohuto yang seolah–olah dua pulau yang pada saat itu kedua gunung tersebut telah didiami manusia. Pada waktu itu Pembolohuludu anak dari Puluwandi pada tahun 1272 membongkar batu bata besar yang mengepang pelabuhan Gorontalo sekarang ini, maka air yang tergenang merupakan lautan itu mulai mengalir ke laut dan berangsur-angsur surut.

Pada awalnya bertemu kedua raja yang bernama Mbui Bungale dari timur dan Mbui Bintela dari barat kemudian mereka menemukan seorang putri yang bernama Tolangohula, lalu putri ini diberikan dengan Utaeya sampai desa Poowo, sedangkan Desa Bongoime pada saat itu masih merupakan pesisir pantai, sehingga raja pergi ke pantai dengan maksud untuk mencari air, dan mereka menemukan sebuah sumur tetapi tidak ada timba, lalu mereka dapatkan dalam bahasa Gorontalo (bongo) sehingga tempat itu langsung diberi nama Bongoime yang artinya “Bongo pilolime” . Demikianlah tentang terjadinya dan terbentuknya nama Desa Bongoime.

Berabad-abad lamanya air mengalir kelaut dan akhirnya munculah dataran yang pertama ialah daerah yang bernama Bangio sampai Biloluludu yang sekarang ini kecamatan Suwawa. Selanjutnya, muncul daerah yang disebut dengan Wangeya di Kabila, daerah Talumopatu di Tapa, daerah Huntulobohu di telaga, daerah Dehuwalolo di limboto dan terakhir muncul dataran Kecamatan Tilong Kabila termasuk di dalamnya Desa Bongoime. Proses perkembangan wilayah pada saat itu hanyalah menurut air yang surut.

Kondisi Geografis

Secara geografis Desa Bongoime terletak di Kecamatan Tilongkabila, Kabupaten BoneBolango Provinsi Gorontalo, dengan ketinggian േ 50 mdl dan memiliki curah hujan yang rendah. Desa ini memiliki luas wilayah sebesar 1900 Ha . Potensi lahan pertanian di Desa Bongoime terdiri dari lahan sawah dan lahan kering. Lahan sawah terdiri dari 115,7 Ha dan lahan kering sebesar 119,25 Ha. Secara administratif desa ini terdiri dari empat dusun, yaitu Dusun I, Dusun II, Dusun III, dan Dusun IV. Peta Desa Bongoime Kecamatan Tilongkabila dapat dilihat pada lampiran 1.

Batas wilayah desa ini adalah sebagai berikut : a. Utara : Berbatasan dengan Desa Tamboo

b. Selatan : Berbatasan dengan Desa Poowo c. Barat : Berbatasan dengan Toto Utara

(33)

18

Secara biofisik lahan di Desa Bongoime memiliki tingkat keluasan tanah (PH) sebesar 5-6 (Netral), tingkat kemiringan tanah 0-15 % dan ketinggian tempat (DPL) : 0-600 mDPL. Berdasakan kondisi biofisik tersebut, Desa Bongoime memiliki potensi yang tinggi dalam pengembangan usahan pertanian jagung dan padi sawah.

Kondisi Demografi

Desa Bongoime memiliki jumlah penduduk sebesar 2.284 jiwa. Jumlah penduduk laki-laki sebesar 1.141 jiwa dan jumlah penduduk perempuan sebesar 1.143 jiwa. kepala keluarga 657 jiwa. Dilihat dari sebaran umur, persebaran jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur hampir merata, kelompok umur dengan jumlah penduduk yang tertinggi terdapat pada kelompok umur 6-10 tahun, dan kelompok umur dengan jumlah penduduk terendah terdapat pada kelompok umur 56-60 tahun. Berikut jumlah umur dan presentase penduduk berdasarkan kelompok umur secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Jumlah dan presentase penduduk berdasarkan kelompok umur

Kelompok Umur Jumlah %

0-5 205 8.90

6-10 253 11.00

11-15 216 9.40

16-20 226 9.80

21-25 157 6.80

16-30 154 6.70

31-35 169 7.30

36-40 215 9.40

41-45 182 7.90

46-50 128 5.60

51-55 158 6.90

56-60 82 3.50

60 keatas 169 7.30

Jumlah 2284 100.00

Sumber : Kantor Desa Bongoime 2012

(34)

19 Tabel 3 Presentase penduduk berdasarkan tingkat pendidikan

Pendidikan Jumlah Jiwa Persentase

Belum/Tidak tamat SD 1632 71.40

Tamat SD 430 18.80

Tamat SMP 78 3.40

Tamat SMA 60 2.60

Diploma/Sarjana 84 3.60

Total 2284 100.00

Sumber : Kantor Desa Bongoime 2012

Sebagian besar masyarakat Desa Bongoime tidak mengenyam bangku pendidikan dan tidak tamat sekolah dasar. Hal ini dikarenakan banyaknya usia belum sekolah akibat angka kelahiran yang tinggi dan usia non produktif yaitu usia di atas 60 tahun. Pada Tabel 3 dapat diamati bahwa terdapat 8,9 % penduduk usia 0-5 dan 7,3 % penduduk yang berusia di atas 60 tahun . Pada Tabel 3 dapat diamati bahwa terdapat sebesar 18.8 % penduduk yang mengenyam bangku sekolah dasar, 3.4 % penduduk mengenyam bangku sekolah menengah pertama, 2.6 % persen mengenyam bangku pendidikan SMA dan 3.6 %mengenyam bangku pendidikan di perguruan tinggi. Minimnya jumlah masyarakat yang mengenyam bangku pendidikan dikarenakan kurangnya motivasi masyarakat untuk menempuh pendidikan, selain itu jumlah tamatan SMA yang sedikit juga dipengaruhi oleh ketidaktersedianya sekolah menengah atas di desa tersebut.

Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana di Desa Bongoime sudah cukup memadai. Dalam hal memenuhi kebutuhan masayrakat akan fasilitas pendidikan, desa ini telah memiliki fasilitas pendidikan yang cukup baik namun masih perlu ditingkatkan. Sarana pendidikan Desa Bongoime terdiri dari 1 taman kanak-kanak Dewantara, 2 sekolah dasar negeri, 1 SDN INPRES dan 1 SMP Bongoime. Desa ini belum memiliki fasilitas sekolah menengah atas sehingga bagi masyarakat yang ingin menempuh pendidikan menengan atas, mereka harus bersekolah di luar desa.

Dalam hal sarana kesehatan, desa ini memiliki satu puskesmas dan satu polindes. Desa ini belum memiliki fasilitas posyandu, hal ini membuat wanita menyusui mengalami kesulitas dalam hal pengontrolan perkembangan anaknya. Pelayanan yang diberikan oleh puskesmas tersebut sudah cukup baik, dilihat dari ketersediaan dokter dan tenaga perawat yang memadai. Puskesmas dan polindes desa berada pada lokasi yang strategis sehingga memudahkan masyrakat dalam mengunjungi fasilitas tersebut.

Dalam hal memenuhi kebutuhan masyrakat atas kebutuhan rohaniah dan fasilitas peribadatan, Desa Bongoime memiliki tiga fasilitas ibadah yaitu Mesjd Almishbah, mesjid Al-khairat, dan Mesjid Al-muhlisin. Mesjid tersebut ramai dengan aktivitas-aktivitas keagamaan, karena terdapat organisasi keagamaan desa seperti remaja mesjid.

(35)

20

Jaringan listrik di Desa Bongoime telah masuk pada rumah-rumah warga, begitupun pada jaringan telekomunikasi. Prasana air bersih di desa ini sudah baik, masyarakat pada umumnya memanfaatkan air gunung untuk melakukan aktivitas mandi, cuci dan kakus.

Mata Pencaharian

Masyarakat di Desa Bongoime secara umum bermata pencaharian sebagai petani, yang digolongkan menjadi petani pangan, perkebunan dan peternakan. Petani pangan di Desa Bongoime seluruhnya mengandalkan irigasi teknis untuk pengairan sawah. Petani pangan terdiri dari petani padi sawah, jagung, ubi kayu, ubi jalar dan kacang tanah. Petani perkebunan terdiri dari petani kelapa dalam, dan petani peternakan terdiri dari peternak sapi, kambingm ayam buras dan itik. Terdapat sebesar 10.9 % dari keseluruhan masyarakat Desa Bongoime yang berprofesi sebagai PNS/TNI/POLRI, 13 % berprofesi sebagai pedagang, 0.4 % berprofesi sebagai montir dan terdapat nelayan sebanyak 2 orang.

Tabel 4 Jumlah umur dan presentase penduduk berdasarkan jenis pekerjaan Jenis Pekerjaan Jumlah (Jiwa) Presentase

Petani Pangan 245 37.20

Petani Perkebunan 82 12.40

Petani Peternakan 166 25.20

Nelayan 2 0.30

Tukang/Montir 3 0.40

Pedagang 87 13.20

PNS/TNI/POLRI 72 10.90

Jumlah 657 100.00

Sumber : Kantor Desa Bongoime 2012

Struktur Sosial Masyarakat

Dalam kehidupan bermasyarakat, pada warga Desa Bongoime tidak terdapat hirarki yang membedakan antara kelompok masyarakat yang satu dengan kelompok masyarakat yang lainnya. Antara kelompok masyarakat menengah ke atas dan menengah ke bawah pun tidak terdapat terdapat konflik kesenjangan dan dapat hidup berdampingan dengan menerapkan nilai-nilai Huyula. Namun, pada umumnya masyarakat lebih menghormati anggota masyarakat yang sudah sepuh. Bentuk penghormatan masyarakat tersebut dapat dilihat dengan pemberian nama khusus kepada anggota masyarakat yang telah sepuh, biasanya mereka dipanggil dengan sebutan Ka satu, Ka dua atau Ka tiga. Ka satu, dua dan tiga merupakan istilah bagi sesepuh yang dihortmati, biasanya dalam suatu desa terdapat tiga orang yang dituakan, pihak-pihak seperti Ka satu, dua dan tiga berperan sebagai opinion leader dalam masyarakat.

Gambaran Umum Responden

(36)

21 luas lahan garapan dan kepemilikan pekerjaan non pertanian. Karakteristik responden berdasarkan umur dibagi menjadi petani muda, dewasa dan tua, karakteristik responden berdasarkan tingkat pendapatan digolongkan menjadi tingkat pendapatan rendah, sedang, dan tinggi, karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan digolongkan menjadi petani berpendidikan rendah, sedang, tinggi. Karakteristik responden berdasarkan luas lahan garapan digolongkan menjadi petani yang memiliki luas lahan garapan rendah, sedang dan tinggi. Karakteristik petani menurut berbagai kategori di atas dapat diamati pada Tabel 6.

Karakteristik Responden menurut Usia

Usia adalah lamanya seseorang hidup yang dihitung semenjak ia lahir hingga ulang tahun terakhir sebelum penelitian ini dilakukan. Dalam penelitian ini, usia responden yang berupa petani padi sawah dibagi menjadi tiga yaitu petani muda (18-30 tahun), petani dewasa (31-50 tahun ) dan petani tua (>50 tahun) (Havighurst 1950 dalam Mugnisieyah 2006).

Tabel 5 Karakteristik Petani Karakteristik

Petani Jumlah (%)

Karakteristik

Petani Jumlah (%)

Umur

Luas Lahan Garapan

Muda 1 2 Rendah 16 38

Dewasa 26 62 Sedang 10 24

Tua 15 36 Tinggi 16 38

Tingkat Pendidikan

Kepemilikan pekerjaan non pertanian

Rendah 16 38 Pertanian 27 64

Sedang

10 24

Pertanian dan

Non Pertanian 15 36

Tinggi 16 38

Tingkat Pendapatan

Rendah 26 63 Sedang 2 5

Tinggi 13 32

(37)

22

Karakteristik Responden menurut Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan merupakan jenjang pendidikan formal terakhir yang pernah ditempuh dan telah memperoleh kelulusan. Dalam penelitian ini, responden dibagi ke dalam tiga kategori berdasarkan tingkat pendidikan yaitu rendah, sedang dan tinggi. Petani yang memiliki pendidikan rendah yaitu petani yang tamat bangku sekolah dasar, petani yang memiliki pendidikan sedang yaitu petani yang menyelesaikan pendidikan pada tingkat sekolah menengah pertama, dan petani yang memiliki pendidikan tinggi yaitu petani yang menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas atau perguruan tinggi.

Berdasarkan Tabel 5 menunjukkan bahwa dari 42 petani padi sawah, terdapat sebesar 38% ( 16 orang ) responden yang termasuk ke dalam kategori pendidikan rendah, terdapat sebanyak 24 % (10 orang ) responden termasuk ke dalam kategori pendidikan sedang dan terdapat sebanyak 38% ( 16 orang) yang termasuk ke dalam kategori pendidikan tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah responden yang berpendidikan tinggi dan responden yang berpendidikan rendah memiliki jumlah yang sama besar.

Karakteristik Responden menurut Tingkat Pendapatan

Tingkat pendapatan responden adalah jumlah penghasilan secara keseluruhan dari hasil pertanian dalam setahun terakhir, ditambah dengan penghasilan sampingan (non pertanian) yang diperoleh setiap bulan. Dalam penelitian ini pendapatan responden dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu sebagai berikut ;

a) Tingkat pendapatan rendah (jika nilai penghasilan total berada di bawah rata-rata pendapatan responden)

b) Tingkat pendapatan sedang (jika nilai penghasilan total sama dengan rata-rata pendapatan responden )

c) Tingkat pendapatan tinggi (jika nilai penghasilan total diatas rata-rata pendapatan responden)

Berdasarkan Tabel 5 menunjukkan bahwa dari 42 petani padi sawah, terdapat sebanyak 63% ( 26 orang ) responden yang termasuk ke dalam kategori pendapatan rendah, terdapat sebanyak 5 % (2 orang ) responden termasuk ke dalam kategori pendapatan sedang dan terdapat sebanyak 32 % ( 13 orang) yang termasuk ke dalam kategori pendapatan tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah responden yang jumlah responden yang paling banyak dalam penelitian ini berasal dari petani padi sawah yang memiliki tingkat pendapatan rendah.

Karakteristik Responden Menurut Luas Lahan

(38)

23 a) Luas lahan garapan rendah (jika nilai luas lahan total berada di bawah

rata-rata luas lahan responden)

b) Luas lahan garapan sedang (rata-rata luas lahan responden sama dengan rata-rata luas lahan responden)

c) Luas lahan garapan tinggi (jika nilai luas lahan total diatas rata-rata luas lahan responden)

Berdasarkan Tabel 5 menunjukkan bahwa dari 42 petani padi sawah, terdapat sebanyak 38% ( 16 orang ) responden yang termasuk ke dalam kategori luas lahan rendah, terdapat sebanyak 24% (10 orang ) responden termasuk ke dalam kategori luas lahan sedang dan terdapat sebanyak 38 % ( 16 orang) yang termasuk ke dalam kategori luas lahan tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah responden yang memiliki luas lahan rendah sama besar dengan jumlah responden yang memiliki luas lahan garapan tinggi.

Karakteristik Responden Menurut Pekerjaan Non Pertanian dan Pertanian

(39)
(40)

25

BENTUK-BENTUK KEARIFAN LOKAL HUYULA

Huyula merupakan kerjasama sosial tanpa pamrih yang sejak dahulu dipraktekkan oleh para luluhur dan merupakan sistem ekonomi yang terkoordinir maupun secara sukarela (Duludu 2012). Pada masyarakat Desa Bongoime, nilai-nilai Huyula diterapkan oleh masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan. Nilai-nilai Huyula diwujudkan dalam berbagai kegiatan misalnya dalam kerja bakti pembersihan lingkungan pedesaan, pembuatan jalan, kematian, pembersihan saluran irigasi maupun kegiatan pertanian. Kegiatan kerja bakti untuk kepentingan umum, dalam koordinasi pemerintah setempat dengan tidak membedakan status sosialnya, kegiatan kerja bakti tersebutbiasanya disebut sebagai kegiatan “Hulunga” oleh masyarakat.

Kegiatan Hulunga merupakan kegiatan yang dikoordinasikan oleh kecamatan Tilongkabila yang bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang bersih di setiap desa dalam kecamatan tersebut. Kegiatan Hulungan berupa kerja bakti permbersihan lingkungan Desa Bongoime yang dilaksanakan pada hari jumat. Setiap jumat kegiatan Hulunga ini bergilir dari desa yang satu ke desa selanjutnya dalam kecamatan tersebut. Contoh kegiatan yang menerapkan nilai nilai Huyula lainnya adalah kegiatan kerja bakti pembuatan jalan setapak yang menghubungkan antar dusun dalam suatu desa.

Nilai-nilai Huyula dalam Pertanian

Dalam pengelolaan sumberdaya pertanian padi sawah terdapat beberapa tahapan kegiatan yaitu pengolahan lahan, penghamburan, penanaman, penyiangan dan pemanenan. Tahapan-tahapan kegiatan tersebut dalam penerapannya tentunya membutuhkan sumber daya manusia. Tenaga manusia yang dibutuhkan dalam melakukan tahapan kegiatan tersebut juga tidak sedikit terutama dalam tahapan pengolahan lahan, penanaman dan pemanenan. Misalnya dalam kegiatan pengolahan lahan, kegiatan ini bertujuan untuk mempersiapan lahan sawah sebelum ditanami dengan cara menggemburkan tanah. Dengan luas lahan sawah yang cukup luas, hal ini menyulitkan petani untuk melakukan pengolahan lahan secara individual. Kedua dalam hal kegiatan penanaman, lahan sawah yang luas menyulitkan petani jika harus melakukan kegiatan penanaman secara sendiri begitupun dengan kegiatan pemanenan.

Pada Desa Bongoime pengolahan atau penggemburan lahan dikenal dengan istilah pajeko. Sebelum terdapat teknologi traktor, biasanya pajeko dilakukan dengan penggunakan cangkul untuk tekstur tanah yang lembut dan menggunakan sapi untuk tekstur tanah yang keras. Dalam penerapannya, jika pajeko dilakukan menggunakan cangkul maka suatu lahan minimal dicangkul sebanyak dua kali kemudian diinjak-injak dengan kaki. Ukuran luas lahan sawah di Desa Bongoime biasanya dikenal dengan satuan “pantango”. Satu pantango sawah memiliki luas kurang lebih 0.2 Ha. Satu pantango biasanya dipajeko oleh 4-5 orang.

(41)

26

menggunakan alat tradisional yang bernama “pomolota”, alat ini berbentuk seperti meja persegi panjang, biasanya terbuat dari bambu. Alat ini berfungsi sebagai wadah untuk merontokkan padi menjadi butiran gabah. Kelompok panen tersebut mendapatkan upah seperenam dari hasil produksi. Misalnya dalam pemanenan satu pantango sawah diperoleh enam karung gabah, maka kelompok panen tersebut mendapatkan satu karung gabah. Setelah padi tersebut dipanen dan dimasukkan ke dalam karung-karung beras, kemudian karung-karung beras tersebut disimpan di dalam lumbung padi di rumah masing-masing. Biasanya terdapat dua wadah penyimpanan karung beras di lumbung padi tersebut. Dua wadah tersebut bernama ibungo dan loto.Ibungo memiliki ukuran yang lebih besar dari loto, sehingga mampu menyimpan 8-10 karung gabah, berbeda dengan loto yang mampu menampung 7-8 karung gabah. Penggunaan gabah tersebut juga tergantung keperluan, jika sedang membutuhkan uang, gabah tersebut dimasukkan kepenggilingan untuk dijual, namun jika tidak gabah tersebut disimpan dilumbung padi. Jika gabah diperlukan untuk bahan makanan maka gabah dari lumbung padi dikeluarkan untuk dijemur lalu ditumbuk agar menjadi beras. Saat ini ibungo dan loto , sudah tidak ada dan tidak digunakan lagi, karena secara umum gambah hasil panen langsung dibawa kepenggilingan padi untuk dijual.

Nilai-nilai Huyula sebagai suatu bentuk kearifan lokal di Desa Bongoime merupakan salah satu solusi yang membantu petani dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya pertanian padi sawah. Dalam pengelolaan sumber daya pertanian khususnya pertanian padi sawah di Desa Bongoime nilai-nilai Huyula terbagi menjadi dua wujud yaitu kegiatan Huyula dan Ti’ayo. Kegiatan Huyula merupakan suatu sistem kerja sama dalam suatu kelompok dalam pengolahan lahan (pajeko) dan kegiatan penanaman. Kegiatan Huyula dapat diilustrasikan sebagai berikut, jika seorang petani memiliki luas lahan sawah sebesar satu pantango (1 pantango =0.2 Ha), maka akan berusaha mencari 5-6 petani lainnya yang sama-sama ingin melakukan pengolahan lahan. Maka petani-petani tersebut berkumpul untuk membentuk kelompok kerja dan penentuan jumlah hari kerja. Jumlah hari kerja adalah total dari hari kerja dalam pengolahan lahan yang harus dilakukan oleh petani-petani tersebut. Jika petani yang terkumpul sebanyak enam orang maka biasanya jumlah hari kerjanya adalah enam hari. Selama enam hari itu, kelompok kerja tersebut bergilir mengolah lahan (membajak) sawah dari petani yang mendapat giliran pertama hingga sawah terakhir yang dimiliki oleh petani. Setiap petani dalam kelompok kerja tersebut memperoleh jatah satu haripengolahan lahan yang dibantu oleh kelompok kerja. Dalam sistem Huyula tidak ada upah tenaga kerja, yang ada adalah sistem tenaga dibalas dengan tenaga. Biasanyanya bekal konsumsi dalam kegiatan kerja tersebut tergantung dari kesepakatan, ada kesepakatan membawa bekal masing-masing atau petani yang memiliki lahan yang sedang diolah yang memberikan bekal makanan dan bergiliran seterusnya. Fakta tersebut berdasarkan kutipan pernyataan responden berikut .

(42)

27 “ Dulu sebelum ada traktor. Jika ingin membajak sawah, saya biasanya memanggil petani lain untuk sama-sama membajak sawah. Jika sudah terkumpul, lalu kita bergiliran, hari ini kita sama-sama membajak sawah milik salah satu petani, kemudian bergilir hingga semua sawah milik petani yang ikut dalam Huyula ini selesai dibajak, satu orang petani biasanya mendapat jatah satu hari “. (Yamin Gani, 51).

Tabel 6 Perbedaan sistem kerja Ti’ayo dan Huyula

Perbedaan Ti’ayo Huyula

Keterikatan Tidak terikat Terikat

Imbalan Sukarela tanpa imbalan Barter/ bergiliran Cara membentuk

kegiatan

Undangan Kesepakatan

Persamaan

Motivasi Didasari oleh nilai-nilai Huyula

Didasari oleh nilai-nilai Huyula

Tujuan Memenuhi kebutuhan

sdm pengolahan lahan dan penanaman

Memenuhi kebutuhan sdm dalam pengolahan lahan dan penanaman

Berbeda dengan Huyula, Ti’ayo bersifat tidak terikat dan lebih mudah dilakukan karena petani yang mengajak petani lainnya yang merupakan teman, kerabat atau keluarganya tidak harus bekerja bergantian kepada petani yang telah membantunya. Orang-orang yang diudang untuk ber”Ti’ayo” biasanya diberikan konsumsi berupa santapan siang sebagai tanda terimakasih atas bantuan orang-orang tersebut. Fakta tersebut berdasarkan kutipan pernyataan responden berikut .

“ Dulu torang biasanya ada istilah Ti’ayo. Kalo kita mau ba pajeko pa kita pesawah, biasanya kita bapangge kita pe taman buat ba Ti’ayo. Gagah itu ba Ti’ayo itu, bisa mo bilang gratis. Cuma mau kase makan saja sama itu orang-orang yang babantu. Baru kalo ba Ti’ayo tidak ada keterikatan hari bekerja pa dorang pe sawah, soalnya ini biasa dibilang saling membantu. Beda dengan Huyula, kalo Huyula torang musti kerja berhari-hari sesuai perjanjian, kalo torang sakit, torang musti cari pengganti buat kerja Huyula. Mar gagah juga itu Huyula bisa capat torang ba pajeko soalnya sama sama torang bakarja”. (Kaita Bano, 57 Tahun.)

(43)

28

membantu. Berbedea dengan Huyula , kalo berHuyula kita harus bekerja hingga berhari-hari sesuai perjanjian, jika kita berhalangan karena sakit, kita musti mencari orang pengganti untuk berHuyula. Namun keunggulan Huyula yaitu kegiatan pembajakan sawah dapat dilakukan dengan cepat karena dikerjakan bersama-sama” (Kaita Bano, 57 Tahun.)

Peran Panggoba dalam Kegiatan Pertanian Petani

Dalam kegiatan pertanian di Desa Bongoime, terdapat sosok yang sangat berperan dalam kegiatan tersebut. Masyarakat setempat biasanya menyebut tokoh tersebut sebagai panggoba. Tokoh masyarakat yang disebut sebagai panggoba ini memiliki keahlian khusus yang bermanfaat bagi kegiatan pertanian. Keahlian khusus tersebut yaitu panggoba memiliki keahlian membaca ilmu perbintangan yang bermanfaat dalam penentuan waktu yang baik dan tidak baik bagi petani.

(44)
(45)

30

Tabel 7 Jumlah Responden menurut respon terhadap pertanyaan mengenai pengetahuan Huyula

Pertanyaan Tahu Tidak Tahu total

Pengetahuan tentang Huyula secara umum yang berarti bekerja bersama-sama Pengetahuan tentang sistem Huyula

dalam pengolahan lahan

Pengetahuan tentang sistem Huyula

dalam penanaman padi 92.9 7.1 100.0

Pengetahuan tentang "Ti’ayo" dalam pengolahan lahan

Pengetahuan tentang "Ti’ayo" dalam

penanaman padi

Berkaitan dengan sistem pengolahan lahan dan penanaman padi secara “Ti’ayo”. Petani yang tidak mengetahui kearifan lokal tersebut memiliki persentase yang cukup besar yaitu sebesar 38.1 %. Petani yang tidak mengetahui kearifan lokal Ti’ayo tersebut pada umumnya berasal kelompok petani muda yang tidak pernah mengalamai Ti ayo dan belum pernah mendengar cerita-certia tentang “Ti ayo”. Hal ini dikarenakan kegaitan-kegiatan “Ti ayo” lebih dahulu pudar di masyarakat dibandingkan dengan Huyula. “Ti ayo” pudar sekitar pertengahan orde baru sedangkan Huyula dalam pertanian mulai hilang pada periode reformasi. Hal ini menyebabkan “Ti ayo” sudah tidak tersosialisasikan lagi di masyarakat khususnya petani-petani muda.

Sikap Petani Terhadap Huyula

Sikap petani terhadap Huyula adalah pandangan-pandangan atau perasaan disertai kecendrungan untuk bertindak terhadap kearifan lokal Huyula. Manifestasi sikap dapat dilihat dari tanggapan seseorang apakah ia menerima atau menolak, setuju atau tidak setuju terhadap obyek atau subjek. Sikap petani ini berisi evaluasi positif atau negatif yang dimiliki petani padi sawah terhadap kearifan lokal Huyula dalam pengolahan lahan dan penanaman padi.

(46)
(47)

32

persaudaraan, kedua Huyula dapat membantu meringankan pekerjaan dalam pengolahan lahan, berbeda dengan mengolah lahan secara sendiri-sendiri, hal itu membutuhkan waktu yang lama untuk menyelesaikannya“ (Zainudin Sadu, 55)

Petani yang tidak senang dengang pengolahan lahan secara Huyula memiliki persentase yang cukup besar yaitu tidak setuju sebesar 33.3 % dan sangat tidak setuju sebesar 4.8 %. Petani yang tidak setuju tersebut beranggapan bahwa biaya konsumsi yang dikeluarga untuk memberi makan peserta Huyula sama saja besarnya dengan upah pembajak yang menggunakan traktor, selain itu Huyula bersifat terikat karena terikat kontrak untuk harus bekerja untuk orang lain dalam periode hari tertentu. Fakta ini sesuai dengan kutipan pernyataan petani sebagai berikut.

“ Bo sama saja mau pake Huyula dengan pake traktor, itu biaya mau kase makan pa orang sama saja dengan biaya upah traktor, tapi pake traktor lebih cepat, lebih hemat tenaga” (Haris Antuli, 40).

“Menurut saya sama saja antara Huyula dengan traktor, soalnya biaya konsumsi untuk orang yang bekerja secara Huyula sama saja besarnya dengan upah traktor, justru menggunakan traktor pekerjaan lebih cepat dan efisien tenaga” (Haris Antuli, 40).

Pada pertanyaan kedua yang menanyakan tentang rasa senang atau ketertarikan petani terhadap sistem Huyula dalam kegiatan penanaman padi. Terdapat sebesar 57.1 % petani yang setuju, 14.3 % sangat setuju, 23.8 % tidak setuju, dan 4.8 % sangat setuju. Petani yang tidak senang dengan penanaman padi secara Huyula beranggapan bahwa dengan Huyula maka dapat menghilangkan mata pencaharian regu tanam. Fakta ini sesuai dengan pernyataan petani sebagai berikut .

“ Sekarang kita kalo batanam so pake kelompok tanam, itu kelompok tanam nanti torang mo bayar, biasanya Rp 150.000/ pantango. Kalo so mo pake Huyula, atiolo itu kelompok tanam, so tidak mo dapa doi “ (Hais Yunus,44)

“ Sekarang kalo saya menanam sudah menggunakan kelompok tanam, dan mereka biasanya dibayar sebesar Rp 150.000/pantango. Kalau orang-orang masih menerapkan Huyula, kasian juga para kelompok tanam, mereka tidak dapat memperoleh penghasilan dari bekerja sebagai penanam“ (Hais Yunus,44)

(48)

33

“ Saya nyanda terlalu suka dengan Huyula itu, soalnya kasian petani yang mau dapat urutan terakhir, bisa-bisa dia punya bibit so mo kadaluarsa, kalo depe bibit so terlalu tua, nanti dia punya perbanyakan padinya sedikit, depe gabah sadiki” (Muhlis Ibrahim,44)

“Saya enggak terlalu suka dengan Huyula, soalnya kasian dengan petani yang memperoleh urutan terakhir, bibit padi yang ia miliki bisa mengalami kadaluarsa, jika umur bibitnya terlalu tua, dapat membuat peranakan padinya menjadi sedikit dan gabahnya sedikit” (Muhlis Ibrahim,44)

Pada pertanyaan ketiga yang menanyakan tentang pengolahan lahan saat ini dapat dilaksanakan secara Huyula. Terdapat sebesar 4.8 % petani yang setuju, 59.5 % tidak setuju, dan 35.7 % sangat setuju. Petani yang tidak setuju dengan pengolahan padi secara Huyula beranggapan bahwa saat ini penggunaan teknologi traktor lebih efisien dan praktis, dan sulit untuk menemukan orang-orang yang dapat diajak ber-Huyula.

Pada pertanyaan keempat yang menanyakan tentang penanaman padi saat ini dapat dilaksanakan secara Huyula. Terdapat sebesar 16.7 % petani yang setuju, 73.8 % tidak setuju, dan 9.5 % sangat tidak setuju. Petani yang tidak setuju dengan penanaman padi secara Huyula beranggapan bahwa saat ini orang-orang lebih memilih mengupah jasa kelompok tanam daripada harus menanam padi secara Huyula. Penggunaan kelompok tanam lebih praktis dan hemat tenaga, selain itu kelompok tanam juga berperan dalam memanen padi yang mereka tanam.

Perilaku Petani Terhadap Huyula

(49)
(50)

35

“ Biasanya kalo mau kase bersih saluran irigasi, torang mo karja sama-sama. Tanpa upah itu, torang ihlas bakarja, itu boleh mau bilang Huyula “.(Heri Mile,44)

“ Biasanya dalam pembersihan saluran irigasi, kita bekerja bersama sama dalam melakukan pekerjaan tersebut, kita ihlas bekerja, hal itu juga bisa dibilang dengan Huyula. “.(Heri Mile,44)

“ Huyula disini tinggal kase bersih saluran irigasi, so tidak ada itu Huyula ba pajeko dengn Huyula batanam “.(Samin Rajak, 50)

“ Huyula di sini hanya tersisa dalam pembersihan saluran irigasi, Huyula dalam pengolahan lahan dan penanaman sudah tidak ada“.(Samin Rajak, 50)

Pada pertanyaan mengenai kegiatan pengolahan lahan secara Huyula, terdapat sebesar 85.7 % petani pernah melakukan Huyula dalam pengolahan lahan, dan 14.3 % tidak pernah melakukan kegiatan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan pengolahan lahan secara Huyula pernah dialami oleh petani namun sudah tidak dilakukan lagi pada saat ini. Hal tersebut dikarenakan petani lebih memilih untuk mengupah pengolah lahan. Upah yang dikeluarkan biasanya sebesar Rp 200.000/ pantango, biaya tersebut sudah termasuk traktor, dan solar. Menggunakan traktor dalam pengolahan sawah lebih efiesien tenaga dan waktu jika dibandingkan dengan mengolah lahan menggunakan tenaga manusia secara Huyula. Fakta ini sesuai dengan pernyataan petani sebagai berikut.

“ Sekarang so ada teknologi traktor, jadi kita tidak usah lagi mau cape-cape bapajeko deng cangkul atau sapi, tinggal mau pake traktor saja, 1 pantango cukup 1 orang karja so seselesai itu. Kalo pake traktor lebih efisien waktu, tidak macam pake cangkul trus baHuyula, 1 pantango bisa 2 hari baru selesai “ (Hamdi Monoarfa, 60)

“ Sekarang sudah ada teknologi traktor, jadi kita tidak perlu lagi bersusah payah membajak dengan cangkul atau sapi, tinggal menggunakan traktor saja, satu pantango dapat diselesaikan oleh satu orang. Jika menggunakan traktor, waktu yang diperlukan lebih efisien, tidak seperti Huyula dengan menggunakan cangkul, satu pantango bisa dua hari pengerjaan baru selesai“ (Hamdi Monoarfa, 60)

(51)

36

telah berubah menjadi sistem upah. Terdapat kelompok tanam yang dapat disewa oleh petani untuk melakukan penanaman pada areal sawah yang ia miliki. Besar upah kelompok tanam bervariasi yaitu sekitar Rp 150.000- Rp 200.000 / pantango. Upah tersebut dibayar kepada ketua kelompok tanam, selanjutnya kelompok tanam tersebut yang membagikan upah tersebut secara adil kepada anggota-anggotanya. Fakta ini sesuai dengan kutipan permyataan petani sebagai berikut.

“ Saya dulu saat era orde lama masih pake Huyula kalo mau batanam, cuma sekarang so berubah, orang lebih suka pake sistem upah, lebih praktis, biasanya saya mo bayar Rp150.000 per pantango ke kelompok tanam, biasanya kelompok tanam yang batanam, mereka juga nanti yang panen “ (Ardhan Gani,70)

“ Saat era orde lama saya masih menerapkan Huyula dalam penanaman, Cuma sekarang telah berubah, orang lebih suka menggunakan sistem upah, lebih praktis, biasanya saya membayar kelompok tanam sebesar Rp 150.000 per pantango, biasanya kelompok tanam yang menanam mereka juga nanti yang akan memanen.“ (Ardhan Gani,70)

Hubungan Antara Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Petani Terhadap Huyula

Uji rank spearman antara pengetahuan, sikap dan perilaku petani terhadap Huyula digunakan untuk melihat hubungan dan konsistensi antara pengetahuan, sikap dan perilaku yang dimiliki petani terhadap Huyula. Tingkat kesalahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebesar 5 persen atau pada taraf nyata α 0.05, yang berarti memiliki tingkat kepercayaan 95 persen. Hasil pengujian hubungan antara pengetahuan, sikap dan perilaku petani terhadap Huyula dapat diamati pada Tabel 12.

(52)

37 Tabel 10 Hasil pengujian hubungan antara pengetahuan, sikap dan perilaku petani

terhadap Huyula.

Pengetahuan Petani

Sikap Petani Sikap petani

terhadap Huyula

Koefisian 0.848 -

p-value 0.000 -

Keterangan Berhubungan Nyata

-

Perilaku petani terhadap Huyula

Koefisian 0.597 0.517

p-value 0.000 0.000

Keterangan Berhubungan

Nyata

Berhubungan Nyata

(53)

Gambar

Tabel1 Bentuk-bentuk Kearifan Lokal
Gambar1 KeG
Tabel 2 Jumlah dan presentase penduduk berdasarkan kelompok umur
Tabel 3 Presentase penduduk berdasarkan tingkat pendidikan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Melati 27 adalah pancig ulur (hand line) yang pada umumnya digunakan oleh nelayan Kota Bitung terdiri dari gulungan tali, tali utama, swivel pemberat, kantong umpan, tali cabang,

Pada kelas yang digunakan sebagai subyek penelitian, diberlakukan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) sebesar 7,5. Ketuntasan belajar siswa meningkat dari 56 % pada post

Metode elektrokimia adalah metode mengukur laju korosi dengan mengukur beda potensial objek hingga didapat laju korosi yang terjadi, metode ini mengukur laju

Tahapan yang dilakukan peneliti dalam rancangan eksperimen ini, meliputi: (1) penentuan masalah penelitian, di sini peneliti ingin mengetahui secara empiris apakah terdapat

Dalam kertas kerja ini, perbincangan hanya difokuskan pada kaedah-kaedah tafsir yang digunakan oleh mufassirin (ahli-ahli tafsir) khususnya dalam mentafsir atau

[r]

Produk yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah produk instrumen yang layak digunakan sebagai pedoman penilaian keterampilan berbicara berbasis nilai budaya