• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Habitat Characteristic and Reproduction Aspects of Coconut Crab (Birgus latro) in Uta Island, North Mollucas Province

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The Habitat Characteristic and Reproduction Aspects of Coconut Crab (Birgus latro) in Uta Island, North Mollucas Province"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK HABITAT DAN BEBERAPA ASPEK

REPRODUKSI KEPITING KELAPA (

Birgus latro

)

DI PULAU UTA PROPINSI MALUKU UTARA

S U P Y A N

C251090031

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Karakteristik Habitat dan Beberapa Aspek Reproduksi Kepiting Kelapa (Birgus latro) di Pulau Uta, Propinsi Maluku Utara adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2013

(4)

SUPYAN. Karakteritik Habitat dan Beberapa Aspek Reproduksi Kepiting Kelapa (Birgus latro) di Pulau Uta, Propinsi Maluku Utara. Dibimbing oleh SULISTIONO dan ETTY RIANI

Kepiting kelapa (B. latro) merupakan salah satu spesies dari krustasea yang memiliki nilai ekonomi tinggi namun sudah dianggap langka dan dikelompokkan dalam kategori rawan oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN). Di Indonesia, status populasi hewan ini belum diketahui secara pasti, namun sudah cenderung menurun karena dimanfaatkan oleh penduduk setempat dan penurunan kualitas habitat hewan ini. Oleh karena itu pemahaman aspek biologi dan ekologinya sehingga tindakan manajemen stok yang tepat dapat diterapkan untuk pelestarian dan jika mungkin, mengembangkan sumber daya ini sangat penting.

Penelitian ini dilakukan di Pulau Uta pada Bulan Mei, Juli dan September dengan tujuan untuk mengkaji karakteristik habitat dan kematangan gonad kepiting kelapa di Pulau tersebut. Pengambilan sampel kepiting dilakukan dengan survey jelajah. Parameter yang dikaji untuk memahami karakteristik habitat dan aspek reproduksinya antara lain adalah sifat fisik-kimia tanah kematangan gonad, dan analisis vegetasi tumbuhan. Karakteristik habitat dikaji dengan Analisi Cluster.

Hasil analisis memperlihatkan bahwa hubungan panjang dan berat kepiting jantan adalah W=1,93(CP+r)1,17, sedangkan pada betina adalah W=1,97(CP+r)0,97. Masing-masing jenis kelamin kepiting tersebut memiliki sifat pertumbuhan allometrik. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kepiting jantan tidak ditemukan pada kondisi TKG I, namun pada betina dapat ditemukan pada ditemukan pada Bulan Juli masing 100 %. Ditemukannya kepiting yang sedang dalam matang gonad pada semua waktu penangkapan menunjukkan bahwa tidak terjadi kematangan gonad secara bersamaan pada semua induk kepiting. Ukuran kepiting terkecil yang sedang matang gonad ditemukan pada ukuran panjang (CP+r) 65,44 mm. Faktor kondisi kepiting jantan paling besar ditemukan pada Bulan Juli kemudian turun drastis pada Bulan September, sedangkan faktor kondisi tertinggi pada kepiting betina ditemukan pada Bulan Mei kemudian turun pada Bulan Juli dan naik lagi pada Bulan September. Secara umum, rasio kelamin antara jantan dan betina adalah 1 : 1 (tidak terjadi penyimpangan). Hasil perhitungan menunjukkan bahwa pola penyebaran seluruhnya adalah seragam namun mendekati pola penyebaran acak. Perbedaan karakteristik habitat antara stasiun tidak menyebabkan perbedaan pada hasil tangkapan, baik jumlah maupun tingkat kematangan gonadnya. Kondisi habitat di semua stasiun pengamatan cukup mendukung keberlangsungan kepiting kelapa sehingga bisa memberikan kebebasan terhadap kepiting untuk beraktifitas.

(5)

SUPYAN. The Habitat Characteristic and Reproduction Aspects of Coconut Crab (Birgus latro) in Uta Island, North Mollucas Province. Supervised by SULISTIONO and ETTY RIANI.

Coconut crab (B. latro) is one of crustacea species which has high economic value, but it is considered rare and classified into vulnerable category by the International Union for Conservation of Nature (IUCN). In Indonesia, the status of this animal population has been not exactly identified, but it has tended to decline because of local people consumption and its habitat quality degradation. Regarding importance of the species resources, thus undestanding its biology and ecology aspects can be applied as the proper management stock and effort of preservation.

The research was done in Uta Island on May, July and September with the purpose to analyze the habitat characteristic and gonadal maturation of Coconut Crab on that island. The sampling was taken by kuadran method. The parameter which was analized to understand the habitat. Characteristic and its reproduction aspects such as physical – chemical characteristic of soil, gonadal maturation and plant vegetation analysis. The habitat characteristic was analyzed by using cluster analysis.

The result analysis showed that the relation of Length – Weight of male crab is W = 1,93 (CP + r)1,17, while the female is W = 1,97 (CP + r)0,97. Each of those sexual species has allometric growth characteristics. The observation showed that the male did not found in TKG I condition but the female can be found on May (30%) and September (25%) of catch. TKG II was mostly found on male which catched on May in South Station (65%), TKG III was mostly found on female which catched on September in West Station (25%) of catched individu. TKG IV (100%) both male and female where mostly found on July. The different of gonadal maturation levels in all catching times showed that gonadal maturation occured different time for broodstock. The smallest crab which is having gonad maturation was found in length of (CP + r) 66,44 mm. The biggest condition factors of male was found on July and decrease on September, while the highest condition factor of female was found on May that decrease on July, but increase again on September. Generally, sex ratio of male and female is 1 : 1 (avoid deviation). The distribution index showed homogen but tend to have random distribution. There is no different on catch both the amount on level of gonadal maturation. Eventhough, there are different habitat characteristic in every station doesn‟t affect to the catch, both the quantity and level of gonad maturity. The habitat condition in all station for coconut crab to support the sustainability of its activities.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan

SUPYAN

KARA KTERISTIK HABITAT DAN BEBERAPA ASPEK

REPRODUKSI KEPITING KELAPA (

Birgus latro

) DI PULAU

UTA PROPINSI MALUKU UTARA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)
(10)

Kelapa (Birgus latro) di Pulau Uta, Propinsi Maluku Utara

Nama : Supyan

NIM : C251090031

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc Ketua

Dr Ir Etty Riani, MS Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaaya Perairan

Dr Enan M. Adiwilaga

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian : 18 Juni 2013 (tanggal pelaksanaan ujian tesis)

Tanggal Lulus:

(tanggal penandatanganan tesis oleh Dekan Sekolah

(11)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Bulan Mei sampai dengan September 2012 ini ialah Karakteristik Habitat dan Kematangan Gonad Kepiting Kelapa (Birgus latro) di Pulau Uta, Provinsi Maluku Utara.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc dan Ibu Dr. Ir. Etty Riani, MS selaku pembimbing, serta Bapak Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga dan Prof. Dr. Ir. M.F. Rahardjo, DEA yang telah banyak memberi motivasi dan saran serta Bapak Dr. Ir Ridwan Affandi, DEA yang telah bersedia menjadi penguji dan memberikan saran dan kritik dalam penyempurnaan hasil tesis ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Padi Foundation yang telah memberikan bantuan dana penelitian mulai dari pengambilan sampel sampai pada tahap analisis laboratorium. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Zainal Alim Mas‟ud, DEA dari Laboratorium Terpadu Institut Pertanian Bogor dan Lab. Tanah Fakultas Pertanian IPB yang telah membantu menganalisis sampel yang dikumpulkan selama penelitian. Sahabat-sahabat penulis dari Perkumpulan Mahasiswa Maluku Utara yang senantiasa menemani penulis selama penyelesaian laporan serta Abu Bakar dan keluarganya yang telah membantu penulis dalam pengumpulan sampel di Pulau Uta. Ungkapan terima kasih yang tak terhingga juga penulis disampaikan kepada ayah dan ibu (almarhum/a) yang mana pada saat penelitian ini sedang berlangsung keduanya dipanggil oleh Allah SWT, istri tercinta dan ketiga anak penulis yang senantiasa menyemangati penulis serta seluruh keluarga besar, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2013

(12)

DAFTAR TABEL xi

Lokasi dan Waktu Penelitian 12

Penentuan Stasiun Penelitian 12

Alat dan Bahan Penelitian 12

Metode Pengambilan Sampel 12

Panjang Infinitif dan Umur Teoritis 17

Faktor Kondisi 17

Kondisi Umum Lokasi Penelitian 22

Morfologi Kepiting Kelapa 23

Hubungan Panjang (Cp+r) dengan Bobot Tubuh 26

Pertumbuhan 28

Organ Reproduksi Kepiting Kelapa 30

Tingkat Kematangan Gonad (TKG) 32

Indeks Kematangan Gonad 35

Faktor Kondisi 37

Kepadatan Populasi 38

Rasio Kelamin 39

(13)

Analisis Vegetasi 47 Kerapatan Jenis dan Indeks Kerapatan Relatif 47 Hubungan Karakteristik Habitat dengan Kematangan Gonad Kepiting

Kelapa di Pulau Uta 48

Visualisasi Habitat dan Sebaran kepiting 51

Tindakan Pengelolaan 53

5 SIMPULAN DAN SARAN 55

Simpulan 55

Saran 55

DAFTAR PUSTAKA 56

RIWAYAT HIDUP 60

(14)

1 Ukuran telur kepiting kelapa berdasarkan siklus hidup 11

2 Paramater yang diukur dan alat yang digunakan 13

3 Ciri-ciri morfologi gonad jantan 14

4 Ciri-ciri morfologi gonad betina 15

5 Kisaran panjang kepiting kelapa di Pulau Uta 25

6 Ciri-ciri histologi gonad kepiting kelapa 31

7 Kepadatan populasi kepiting kelapa berdasarkan bulan Penangkapan 38 8 Kepadatan populasi kepiting kelapa berdasarkan stasiun pengamatan 39 9 Perbandingan jumlah kelamin kepiting kelapa pada setiap bulan

penangkapan 40

10 Rasio kelamin dengan uji chi square 41

11 Jumlah kepiting yang tertangkap selama penelitian 42 12 Hasil pengukuran sifat fisik kimia habitat kepiting kelapa di Pulau Uta 44

13 Output aplikasi program SPSS 45

14 Matriks jarak antara variabel 45

15 Hasil proses aglomerasi 45

16 Keanggotaan dan jumlah kluster yang terbentuk 46

17 Jenis-jenis vegetasi yang dominan ditemukan di Pulau Uta 47 18 Komposisi dan zonasi vegetasi dari arah laut ke darat tiap stasiun 47 19 Kerapatan mutlak dan kerapatan relatif vegetasi pada setiap stasiun 48 20 Inersia dan proporsi varians untuk stasiun dan karakeristik habitat 49

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pendekatan masalah “kajian habitat dan kematangan gonad

kepiting kelapa (Birgus latro) di Pulau Uta, Propinsi Maluku Utara 3

2 Morfologi kepiting kelapa 6

3 Daerah distribusi kepiting kelapa dunia 8

4 Tahap-tahap morfologi dan perkembangan kepiting kelapa (Birgus latro)

beserta habitat yang ditempatinya 11

5 Peta lokasi pengambilan sampel 12

6 Bagian tubuh yang diukur pada kepiting kelapa 14

7 Sketsa petak tunggal dalam analisis vegetasi hutan di Pulau Uta 21 8 (a) Pulau Uta tampak dari sebelah Barat, (b) Panorama pantai Pulau Uta

dengan pasir putih yang membentang di sepanjang pantainya 23 9 Ciri-ciri kelamin kepiting kelapa secara morfologi, (a) Betina dengan

pleopoda pada bagian abdomen, dan (b) jantan tanpa pleopoda 24 10 (a) Kepiting kelapa tampak dari belakang, (b) Kepiting kelapa tampak dari

depan 25

11 Kelas ukuran kepiting kelapa di Pulau Uta 25

(15)

16 Posisi gonad dalam abdomen kepiting kelapa betina 30 17 Organ gonad betina pada kondisi sedang matang dengan berat 6,85gr 31 18 Komposisi TKG kepiting kelapa yang ditemukan berdasarkan stasiun dan

bulan pengamatan selama penelitian di Pulau Uta 32 19 Komposisi TKG kepiting Jantan yang tertangkap selama penelitian 34 20 Komposisi TKG kepiting betina yang tertangkap selama penelitian 34 21 Sebaran IKG jantan dan betina berdasarkan bulan pengamatan 35 22 Sebaran IKG jantan dan betina berdasarkan stasiun pengamatan 36 23 Nilai faktor kondisi kepiting kelapa di Pulau Uta 37

24 Jumlah hasil tangkapan pada Bulan Mei 42

25 Jumlah hasil tangkapan pada Bulan Juli 42

26 Jumlah hasil tangkapan pada Bulan September 43

27 Dendrogram klasifikasi kemiripan antara stasiun pengamatan berdasarkan karakter fisik kimia habitat kepiting kelapa di P. Uta 46 28 Output peta korespondensi stasiun dengan karakteristik habitat dan kondisi

(16)

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau kurang lebih 17.508 yang tersebar dari Sabang sampai Merauke (Dahuri et al. 1995). Sebagian dari pulau-pulau tersebut berukuran kecil bahkan masih banyak yang tidak berpenghuni. Walaupun masih ada yang tidak berpenghuni dan jauh dari pemukiman, tetapi sulit mengatakan bahwa pulau-pulau yang tidak berpenduduk dan terpencil itu tidak terkena dampak dari aktivitas manusia (Dutton dan Hotta, 1998).

Kepiting kelapa (Birgus latro) merupakan salah satu spesies dari krustasea yang memiliki nilai ekonomi tinggi, namun sudah dianggap langka dan dikelompokkan dalam kategori rawan oleh IUCN (Wells et al. 1983). Di Indonesia, status populasi hewan ini belum diketahui secara pasti, namun sudah cenderung menurun karena dimanfaatkan oleh penduduk setempat. Mengingat penyebarannya di Indonesia terbatas pada Kawasan timur saja, maka Pemerintah Indonesia melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 12/KPTS-II/1987 telah melakukan tindakan perlindungan terhadap Kepiting Kelapa, namun usaha yang dilakukan baru sebatas penetapan hewan ini sebagai hewan yang dilindungi. Belum ada upaya dalam menetapkan suatu kawasan atau pulau sebagai kawasan konservasi bagi kelangsungan hidup kepiting yang hampir punah ini.

Usaha pemerintah untuk tetap mempertahankan populasi hewan ini mengalami hambatan karena penduduk masih menangkap tanpa memperhatikan aspek kelestariannya. Selain karena mereka menganggap bahwa hewan ini hama bagi tanaman, kepiting kelapa juga bernilai ekonomis tinggi. Di Guam, kepiting kelapa merupakan makanan terhormat, namun telah menyusut kelimpahannya (Amesbury 2000).

(17)

Pertumbuhan kepiting kelapa yang cenderung lambat, tingginya penangkapan dan penurunan kualitas habitat diduga menjadi penyebab penurunan populasi. Aktivitas manusia berupa penangkapan berlebih maupun pembangunan dapat memberikan tekanan ekologis pada habitat hewan ini. Dalam rangka mengatasi masalah ini, maka perlu dilakukan berbagai upaya agar sumberdaya kepiting kelapa tetap terjaga. Salah satu upaya yang harus dilakukan dalam mempertahankan populasinya adalah dengan mempertahankan habitat yang ideal bagi kepiting kelapa dan mengurangi tekanan terhadap populasinya (pembatasan penangkapan, melakukan upaya budidaya dan restoking).

Berdasarkan pemikiran di atas, maka upaya untuk tetap mengatasi penurunan populasi kepiting tersebut dapat ditempuh dengan cara (1) mengetahui pola reproduksi sehingga dapat diatur waktu penangkapan yang tepat dan tidak mengancam proses reproduksinya, (2) mengidentifikasi karakteristik habitat yang cocok bagi kepiting kelapa, baik untuk bereproduksi maupun untuk tumbuh dengan baik. Kerangka pendekatan masalah di atas dapat dilihat pada Gambar 1.

Tujuan Penelitian

(18)
(19)
(20)

2 TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi dan Morfologi

Kepiting kelapa atau B. latro termasuk ke dalam Kelas Krustase, Filum Arthropoda darat yang terbesar di dunia (Altevogt dan Davis 1975). Penduduk Kepulauan Maluku menyebutnya Kepiting Kenari. Kepiting ini dikenal karena kemampuannya mengupas buah kelapa dengan capitnya yang kuat untuk memakan isinya. Dia satu-satunya spesies dari Genus Birgus. Dalam bahasa Inggris dikenal "terrestrial hermit crab" (umang-umang darat) karena penggunaan kulit keong oleh umang muda; tetapi, ada juga umang darat lain yang tidak menanggalkan kulit keongnya setelah dewasa. Hewan ini khususnya genus Coenobita yang masih berkerabat dekat - biasanya disebut umang-umang darat; karena dekatnya kekerabatan antara Coenobita dan Birgus maka istilah umang-umang darat ini biasanya mengacu pada anggota Famili Coenobitidae.

Menurut Eldredge (1996) dan Myake (1982) kepiting kelapa dapat

Secara morflogis kepiting kelapa mempunyai abdomen bulat simetris dan terlindungi kulit yang keras, ujung abdomennya dapat berfungsi sebagai pemberat ketika berada dalam liangnya yang berada di bawah akar pohoh maupun pohon yang roboh. Kepiting dewasa memiliki panjang karapas kurang lebih 25-40 cm, berat badan berkisar antara 2-4 kg. Capit sebelah kiri biasanya mempunyai ukuran lebih besar dari capit yang sebelah kanan. Kepiting ini dilengkapi dengan lima pasang kaki jalan, yang terdiri atas empat pasang kaki jalan yang jelas terlihat berbentuk keras dan kuat dan satu pasang kaki jalan terakhir berukuran kecil dan tersembunyi dibawah karapas. Semua kaki jalan ditutupi oleh duri serta rambut-rambut halus. Karapasnya sangat keras yang disebabkan oleh konsentrasi zat kapur yang lebih tinggi jika dibandingkan jenis kepiting lainnya. Kepiting ini memiliki bagian bawah (abdomen) yang lunak yang pada waktu kecil terlindung dalam rumah siput, tetapi rumah siput ini akan ditinggalkan ketika menginjak dewasa. Kepiting ini tumbuh dengan cara berganti kulit, sesaat setelah keluar dari rumah siputnya ia lalu mencari tempat yang terlindung dari pemangsanya dan berganti kulit disana (Motoh 1980).

(21)

memungkinkan spesies ini tumbuh jauh lebih besar daripada kepiting pertapa lain dalam Famili Coenobitidae (Harms 1932).

Tubuh kepiting kelapa dibagi menjadi bagian depan (kepala-dada atau sefalotoraks), dengan 10 kaki, dan abdomen (perut). Sepasang kaki terdepan mempunyai capit besar untuk mengupas kelapa, dan cakar (chelae) ini dapat mengangkat benda hingga seberat 29 kg. Dua pasang kaki berikutnya, seperti pada umang-umang lain, adalah kaki berjalan yang besar dan kuat yang memungkinkan kepiting kelapa memanjat pohon (seringkali kelapa) secara vertikal hingga setinggi 6 m. Pasangan kaki ke empat lebih kecil dengan cakar mirip pinset diujungnya, memungkinkan kepiting muda berpegangan didalam kulit keong atau batok kelapa untuk berlindung; hewan dewasa menggunakan pasangan kaki ini untuk berjalan dan memanjat. Pasangan kaki terakhir sangat kecil dan hanya digunakan untuk membersihkan organ pernafasannya. Kaki-kaki ini diletakkan dalam karapas, dalam rongga tempat organ pernafasannya berada. Ada beberapa perbedaan warna antara hewan di pulau yang satu dengan pulau yang lain, dari ungu muda, ungu tua hingga cokelat.

Birgus latro adalah arthropoda darat terbesar di dunia. Laporan tentang ukuran Birgus latro bervariasi, tapi referensi yang memberikan informasi bawah panjang tubuh sampai dengan 40 cm (16 in), berat sampai 4,1 kg dan rentang kaki lebih dari 0,91 m dengan jantan umumnya lebih besar daripada betina (World Wildlife Fund 2001). Ada laporan dalam literatur spesimen berukuran 6 kaki (1,8 m) di dada dan berat 14 kg. Hal itu dipercaya mendekati batas teoritis untuk artropoda darat. Umurnya dapat mencapai 30-60 tahun (Altevogt dan Davis 1975). Morfologi kepiting kelapa serta bagian-baginnya dapat dilihat pada Gambar 2.

(22)

Distribusi dan Habitat

Kepiting kelapa pertama kali ditemukan oleh Rumphius pada tahun 1705, namun sebenarnya telah diketahui oleh orang-orang eropa sejak perjalanan eksplorasi William Dampier sekitar tahun 1688. Literatur-literatur yang ditulis oleh para ahli biologi yang mengunjungi pulau-pulau di sekitar Samudera Hindia dan Pasifik pada awalnya lebih banyak menginformasikan mengenai kemampuan kepiting ini dalam membuka dan memindahkan kelapa dari pohonnya. Baru setelah tahun-tahun berikutnya penelitian yang lebih mendalam terhadap pengenalan akan siklus hidup, tingkah laku, reproduksi, fisiologi dan anatominya dilakukan (Schiller et al. 1991).

Kepiting kelapa tinggal sendirian di liang bawah tanah dan celah-celah batu, tergantung pada daerah setempat. Mereka menggali lubang mereka sendiri di pasir atau tanah lepas. Pada siang hari, hewan tetap tersembunyi untuk melindungi diri dari predator dan mengurangi kehilangan air dari panas. Liang kepiting kelapa ini 'mengandung serat yang sangat halus namun kuat dari sabut kelapa yang digunakan hewan sebagai alas tidur (Streets 1877). Sementara beristirahat dalam liang, kepiting kelapa menutup pintu masuk dengan salah satu cakar untuk menciptakan iklim mikro yang lembab yang diperlukan organ pernapasan. Di daerah dengan populasi kepiting kelapa yang besar, beberapa juga yang keluar siang hari, mungkin untuk mendapatkan keuntungan dalam mencari makanan. kepiting kelapa juga akan kadang-kadang keluar siang hari jika lembab atau hujan, karena kondisi ini memungkinkan mereka untuk bernapas dengan lebih mudah. Mereka hidup hampir secara eksklusif di darat, dan beberapa telah ditemukan sampai dengan 6 km (3.7 mil) dari laut (Hsieh 2004).

Kepiting kelapa tinggal di daerah dari Hindia ke Samudra Pasifik tengah. Pulau Christmas di Samudra Hindia memiliki populasi terbesar dan terbaik di dunia. Berbeda dengan Samudera Hindia populasi yang ada di Seychelles, terutama Aldabra, Kepulauan Glorioso, Pulau Astove, dan Cosmoledo, kepiting kelapa sudah hamper punah di pusat pulau-pulau. Mereka juga dikenal pada beberapa wilayah di Andaman dan Nikobar di Teluk Benggala. Sejumlah besar berkeliaran dengan bebas di kepulauan Chagos milik Inggris, yang juga dikenal sebagai British Indian Ocean Territories (Biot). Mereka dilindungi di pulau-pulau dari perburuan dan/atau dimakan, dengan denda hingga 1.500 poundsterling Inggris (kira-kira $ 3.000 USD) per kepiting kelapa yang dikonsumsi. Di Mauritius dan Rodrigues, mereka sudah punah (Eldredge 1996).

Kepiting kelapa dianggap salah satu dekapoda yang paling terestrial, dengan sebagian besar aspek kehidupan yang terkait dengan keberadaan terrestrial (Bliss 1968). Karena mereka tidak dapat berenang sebagai kepiting dewasa, kelapa kepiting dari waktu ke waktu menjelajahi pulau-pulau sebagai larva, yang bisa berenang, atau pada kayu apung dan kapar lainnya.

(23)

di pulau-pulau kecil di wilayah pantai Tanzania dan Sentinal Selatan (Andaman dan Nikobar), Kepulauan Keeling dan Mauritius. Di Filipina sekarang dilaporkan hanya terdapat di Pulau Ilongo dan sebagian di Pulau Cebu. Di kawasan Pasifik kepiting ini dapat dijumpai di Timor, kemudian menyebar ke belahan utara sampai Ryukus, Fiji dan kepulauan Marshall kecuali kepulauan Hawaii, Wake dan Midway. Di Papua Nugini dapat ditemukan di propinsi Manus, yakni di Rantan, Sae dan Los Negros (PPSDAHP (1987/l988) (Gambar 3).

Di Indonesia Kepiting kelapa tersebar di kawasan Timur lndonesia yaitu di pulau-pulau Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. Di Sulawesi, kepiting kelapa terdapat di wilayah Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara, Pulau Siompu, 'l`onga1i, Kaimbulawa dan Liwutongkidi, Sulawesi Tenggara (Ramli l997) sedangkan di Nusa Tenggara terdapat di pantai berbatu Pulau Yamdena (Monk et al. 2000), dan di Kalimantan terdapat di Pulau Derawan.

Reproduksi

Ordo Malacostraca pada umumnya dan Famili Caeobitidae pada khususnya, memiliki sepasang testis dan sepasang ovum yang berada pada abdomennya (Mclaughlin 1983). Aktivitas reproduksi kepiting kelapa ditandai ketika induk betina sedang membawa telur yang terletak di abdomennya di dalam populasi dan tampaknya terjadi musiman di seluruh wilayah secara geografis. Pada musim panas di belahan bumi bagian utara dan selatan biasanya betina hanya sekali dalam setahun meletakkan telurnya (Schliller et al. 1991). Menurut Resse (1965) dalam Schliller et al. (1991) betina ovigerous (betina yang sedang membawa telurnya dalam abdomen) di Kepulauan Eniwetok terjadi pada bulan April di Musim Semi sampai dengan Agustus pada akhir musim panas.

Berdasarkan hasil penelitian dari Schiller et al. (1991), di daerah tropik baik belahan utara maupun selatan, aktifitasnya tidak tergantung musim namun terjadi sepanjang tahun di Kepulauan Vanuatu, sementara di daerah sub tropik di belahan bumi bagian selatan induk betina paling kurang aktif bereproduksi, setiap

(24)

tahunnya berlangsung selama kurang dari sembilan bulan yang terjadi pada akhir September atau awal Oktober sampai dengan awal Juni pada tahun berikutnya.

Kepiting kelapa kawin secara berulangkali dan cepat di daratan kering pada periode dari Mei sampai September, khususnya Juli dan Agustus (Sato dan Kenzo 2008). Aktivitas kawin biasanya berlangsung di dalam lubang. Pemijahan dan pembuahan terjadi beberapa saat setelah kepiting betina berganti kulit. Lamanya waktu yang diperlukan untuk ganti kulit belum dapat dipastikan. Seluruh proses perkawinan berlangsung sekitar 15 menit (Pratiwi 1989), sedangkan menurut Helfman (1977) dalam (Schiller et al. 1991), setelah melakukan pengamatan terhadap dua kepiting kelapa betina yang melakukan kopulasi di darat mendapatkan bahwa kopulasi berlangsung sekitar 3 menit dengan sedikit aktifitas tingkah laku pre dan pasca kopulasi.

Kopulasi dimulai ketika kepiting jantan dan betina berkelahi satu sama lain, lalu yang jantan berbalik ke punggung betina untuk kawin (Pratiwi 1989). Ketika proses perkawinan terjadi, kepiting jantan memegang cheliped betina dengan capitnya dan berjalan menuju ke depan sampai punggung kepiting betina berada di bawah. Kaki-kaki mereka bersilangan dan abdomen memanjang ke bagian badan mereka yang lain sementara betina memutar di atas abdomen jantan. Kepiting jantan menggunakan coxea yang dimodifikasi dari pasangan kaki ke lima pereipoda untuk mentrasfer sperma ke sekitar oviduct betina yang terbuka pada bagian dasar pasangan kaki ke tiga pereiopoda.

Proses inkubasi telur membutuhkan jalan masuknya air dan ion organik untuk memperkecil dehidrasi dari massa telur. Kepiting kelapa tidak mudah untuk mendatangi air asin seketika dari habitat normalnya, mereka harus bermigrasi ke pantai untuk mendapatkan air asin sebelum menetaskan telurnya. Oleh karena itu, sesaat setelah kopulasi, kepiting betina akan bermigrasi ke tepi laut dan masuk ke dalam celah-celah batu karang yang terdapat di daerah intertidal untuk menetaskan telur-telurnya, tapi sebelum teluir ditetaskan mereka melekatkannya dibawah perutnya dan membawanya selama beberapa bulan (Pratiwi 1989). Migrasi biasanya dilakukan pada malam hari, pada waktu air pasang, di mana telur-telur tersebut telah matang dan siap untuk menetas biasanya bulan Oktober atau November kepiting kelapa betina melepaskan telur-telur tersebut ke lautan pada saat pasang naik (Schiller et al. 1991). Telur-telur yang matang biasanya berwarna abu-abu kekuning-kuningan dengan titik mata yang jelas terlihat.

Berbeda dengan kepiting lainnya yang selalu diikuti induk jantan dalam melepas telurnya, Induk betina Kepiting kelapa ketika pergi melepaskan telurnya akan bermigrasi ke laut tanpa diikuti induk jantan (Schiller et al. 1991). Di Vanuatu, kepiting kelapa akan berada di daerah pantai selama kurang lebih 5 – 6 minggu. Kepiting-kepitng betina ini umumnya berkumpul dalam kelompok di sepanjang pantai dan berjalan di atas batu-batuan pada perbatasan daerah pasang surut sehingga ombak yang dating memecah akan membasahi bagian tubuhnya secara teratur. Pada saat telur-telur yang dibawanya kontak dengan air laut, maka dengan segera setelah itu menetas dan zoea dilapskan ke laut. Biasanya mereka akan kembali ke daratan juga dalam kelompoknya 4 – 10 hari setelah melepaskan telurnya dan kemudian berpisah (menyebar) setelah sampai di darat.

(25)

ombak laut. Telur yang menetas berubah menjadi burayak, yang kemudian hidup bebas sebagai plankton di perairan lepas. Limbong (1983) dalam Abubakar (2009) menyatakan bahwa telur yang dimiliki oleh seekor induk betina berjumlah ribuan. Hal ini dipertegas lagi oleh Helfman (1973) dalam Amesbury (2000) setelah menghitung jumlah embrio yang berkembang pada empat kepiting kelapa betina di Palau dan Enewetak, jumlah embrio per individu berkisar antara 51.000 sampai 138.000.

Siklus Hidup

Selama siklus hidupnya, kepiting kelapa memiliki dua habitat yaitu di darat dan laut. Proses kopulasi, masa inkubasi sampai matang telur berlangsung di darat, sedangkan masa penetasan telur sampai telur menjadi burayak hidup sebagai planktonik yang hidup bebas di laut kemudian setelah dewasa kembali ke daratan.

Fase setelah telur yang baru menetas disebut fase zoea. Fase ini biasanya berlangsung sekitar 30 hari yang terdiri dari lima tahap. Tiap-tiap tahap akan mengalami perubahan bentuk dan ukuran. Tahap zoea pertama berlangsung 5- 6 hari setelah telur mentas dan pergantian ke tahap zoea kedua terjadi pada hari ke empat. Tahap zoea kedua berlangsung sekitar 3 – 15 hari dari kehidupan larva dan selesai dalam waktu 10 hari. Lamanya tahap zoea ketiga ini umumnya 8-9 hari. Pergantian ke tahap keempat dimulai pada hari ke 15 dari kehidupan larva sampai kira-kira hari ke 24. Burayak biasanya mengalami pergantian kulit pada hari ke 18 – 20 dan terjadi sangat aktif. Setelah selesai berganti kulit, zoea memasuki tahap keempat dan lamanya tahap ini berkisar antara 6 – 12 hari. Ketika usia sekitar 30 hari, fase Zoea akan segera beralih ke fase pos larva atau

Glaucothoe” (Schiller et al. 1991).

Fase pos larva merupakan fase terpenting dalam pertumbuhan kepting kelapa. Pada fase ini, kepiting mengalami perubahan bentuk seperti hewan amphibi dan sudah mulai dapat berenang dengan menggunakan pleopodanya atau bergerak pelan-pelan di daratan. Setelah tahap ini, kepiting tersebut menggali lubang dan terjadi pergantian kulit pada hari ke 28. Pada hari ke 36 kepiting ini telah menjadi kepiting muda dan akan memilih cangkang gastropoda yang kosong sebagai tempat tubuhnya (Pratiwi 1989). Biasanya setiap ganti kulit, cangkang sebagai rumahnya juga akan diganti dengan menyesuaikan pertambahan tubuhnya. Tingkah laku ini menjadikannya sebagai hewan pembawa cangkang dapat berlangsung sampai 2,5 tahun selanjutnya kepiting meninggalkan cangkang dan berkembang menjadi kepiting kelapa dewasa. Kepiting kelapa muda yang tidak dapat menemukan kerang dari ukuran yang tepat juga sering menggunakan potongan-potongan kelapa rusak. (Cameron et al. 1973) dalam (Schiller et al. 1991).

(26)

dewasa setelah berumur 4 tahun yakni setelah delapan kali mengalami pergantian kulit. Pada usia tersebut, kepiting tidak lagi membawa cangkang karena struktur tubuhnya sudah menjadi hewan darat dan akan menghabiskan waktunya di daratan. Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Schiller et al. (1991) menyatakan bahwa kepiting kelapa mencapai matang gonad pada umur 3,5 – 5 tahun dan pada umur ini kepiting sudah mulai melakukan aktivitas perkawinan dan memulai siklus hidupnya dengan melepaskan teluarnya ke laut. Umur dari kepiting ini dapat mencapai 30-60 tahun (Altevogt dan Davis 1975). Ukuran (mm) dari kepiting kelapa berdasarkan siklus dapat disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Ukuran telur kepiting kelapa berdasarkan siklus hidup

FASE UKURAN TELUR (mm) WAKTU (hari)

Telur 0,79 ± 0,20 24 – 45

Zoea I 2,80 ± 0,12 5 – 6

Zoea II 3,40 ± 0,03 3 – 5

Zoea III 3,90 ± 0,10 8 – 9

Zoea IV 4,40 ± 0,13 6 – 12

Glaucothoe 4,00 21 – 28

Kelomang < 100 12 - 24 bulan

Remaja 22

Sumber: Schiller et al. (1991).

Habitat yang ditempati kepiting kelapa (Birgus latro) berdasarkan siklus hidupnya dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Tahap-tahap morfologi dan perkembangan kepiting kelapa (Birgus latro) beserta habitat yang ditempatinya

Keterangan : 1. Betina dewasa

2. A. Fase telur tahap akhir dan B fase prezoea 3. Fase zoea

4. Fase Glaucothoe

(27)

3 METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Pulau Uta, Kabupaten Halmahera Tengah, Propinsi Maluku Utara yang secara geografis terlatak pada 129037¹ BT – 129038¹ BT dan 000¹25¹¹ LU – 0001¹24¹¹ LU dan dilaksanakan pada Bulan Mei – September 2011. Peta lokasi penelitian dapati dilihat pada Gambar 5.

Penentuan Stasiun Penelitian

Pulau Uta adalah sebuah pulau kecil tidak berpenduduk yang terletak di sebelah utara Pulau Yoi. Dataran yang rata dan pantai yang landai di sepanjang garis pantai dengan vegetasi tumbuhan yang cenderung homogen memungkinkan kondisi habitat di semua lokasi sama. Pengambilan data dilakukan di empat stasiun pengamatan masing-masing di bagian barat, timur, selatan dan utara pulau yang dianggap representatif mencirikan wilayah penelitian secara keseluruhan.

Alat dan Bahan Penelitian

Berdasarkan parameter-parameter yang diukur dan alat yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 2.

Metode Pengambilan Sampel

Pengumpulan kepiting kelapa dilakukan dengan survey jelajah dengan mencari langsung kepiting kelapa di tempat persembunyiannya. Penangkapan

N 0001’30.72”

N 0000’38.88”

E 129037’56.64”

E 129037’.30.72”

Sumber Peta : Map data ©2013, Tele Atlas S U

(28)

dilakukan pada siang dan malam hari langsung di lubang-lubang tanah dan pada pohon-pohon kayu yang tumbang yang mereka gali sebagai tempat persembunyiannya. Kepiting yang terperangkap disinari dengan senter dengan fokus agar kepiting tetap diam. Agar dia tidak meronta, bagian punggungnya diinjak kemudian capit dan kakinya diikat menjadi satu dengan tali tambang. Kepiting kelapa yang tertangkap kemudian dikumpulkan untuk dilakukan pengukuran terhadap panjang karapas tambah rostrum (CP + r) dan ditimbang dengan menggunakan timbangan digital berketelitian 1 gram. Preservasi dilakukan dengan menggunakan formalin 10 %.

Kelimpahan dan pola penyebarannya di lokasi penelitian dihitung berdasarkan metode kuadran berukuran 100 x 100 m dengan menempatkannya secara acak di setiap stasiun pengamatan. Pengambilan data morfometrik dan kualitas tanah dilakukan pada setiap ulangan sementara tekstur tanah diambil di sekitar lubang-lubang yang dibuat kepiting kemudian diayak dengan menggunakan ayakan berlapis untuk pengelompokan fraksi lumpur, pasir dan tanah liat ditentukan berdasarkan penggolongan yang dilakukan oleh The International Society of Soil Science (Michael 1994).

Tabel 2. Paramater yang diukur dan alat yang digunakan No Parameter Satuan Jenis Alat

5. Bahan Organik Tanah % Metode Welkey-Black

6. pH Tanah pH Soil tester

BIOLOGI

7. Kondisi Vegetasi m2 Kuadran

8. Morfometrik

-Panjang CP + r mm Jangka sorong

-Berat Total g Timbangan digital

10. Berat Gonad g Timbangan digital

11. Kelimpahan m2 Kuadran

Pengukuran Aspek Biologi

Morfometrik

(29)

Penentuan TKG

Pengamatan TKG dilakukan secara visual yaitu dengan melihat perubahan morfologi gonad. Tingkat kematangan gonad (TKG) kepiting kelapa jantan dan betina diklasifikasikan berdasarkan perubahan ciri-ciri morfologi gonad menurut Rafiani dan Sulistiono (2009) disampaikan pada Tabel 3 dan 4.

Tabel 3. Ciri-ciri morfologi gonad jantan menurut Rafiani dan Sulistiono (2009) Tingkat Kematangan

Gonad (TKG) Ciri-ciri morfologis Tidak Matang

(TKG I)

Sepasang gonad jantan terdapat pada bagian abdomen dengan warna putih kekuningan dan berukuran kecil serta mengisi sekitar 5% rongga abdomen.

Awal matang (TKG II)

Gonad terdiri dari testis dan saluran-salurannya yang berbentuk tabung melingkar (spiral) berukuran sedang. Gonad berwarna putih kekuningan dan mengisi sekitar 10% rongga abdomen.

Sedang matang (TKG III)

Gonad terdiri ats testis dan saluran-salurannya berukuran cukup besar dengan warna putih kekuningan dan mengisi sekitar 30% rongga abdomen

Matang (TKG IV)

Gonad terdiri dari testis dan saluran-salurannya yang berbentuk spiral berukuran besar. Gonad berwarna putih susu dan mengisi sekitar 40% dari rongga abdomen.

Keterangan :

CP + r = panjang kerapa+ rostrum

CP-r = Panjang kerapas tanpa rostrum

(30)

Tabel 4. Ciri-ciri morfologi gonad betina menurut Rafiani dan Sulistiono (2009)

Permukaan ovarium halus, belum terbentuk butiran- butiran telur. Ovarium belum mulai berkembang, berbentuk sepasang, ovarium berwarna abuabu muda. Pengisian ovarium di dalam abdomen adalah sekitar 25 persen.

Awal matang (TKG II)

Permukaan ovarium lembut, mulai terlihat butiranbutiran telur, jika di tekan mudah hancur. Ukuran ovarium semakin bertambah dan meluas, warna dari putih menjadi abu-abu tua. Pengisian ovarium didalam abdomen sekitar 30 persen.

Sedang matang (TKG III)

Permukaan ovarium terasa kasar, karena butiranbutiran telur semakin membesar dan padat, jika di tekan kuat dan tidak mudah hancur. Volume ovarium semakin membesar, berwarna orange. Butiran telur terlihat dengan jelas, namun masih dilapisi oleh kelenjar minyak. Pengisian ovarium

Matang (TKG IV)

Permukaan ovarium terasa kasar dan padat, karena butiran-butiran telur yang semakin membesar dan jelas, jika di tekan kuat dan tidak akan hancur. Hampir semua telur mempunyai ukuran yang relatif sama dan bentuknya bulat. Butir-butir telur semakin membesar, hampir mengisi seluruh abdomen dan terlihat dengan jelas berwarna merah tua dengan mudah dapat dipisahkan karena lapisan minyak yang menyelubungi sudah berkurang. Pengisian ovarium didalam abdomen sekitar 80 %.

Berat Gonad dan IKG

Penentuan berat dan indeks kematangan gonad, maka gonad yang sudah dikeluarkan dan diawetkan dengan formalin 10 % ditimbang dengan menggunakan timbangan digital berketelitian 0,01 gram. Indeks kematangan gonad pada jantan dan betina adalah perbandingan berat gonad terhadap berat tubuh dikalikan dengan 100%.

Pengukuran Aspek Fisika

(31)

Pengukuran Aspek Kimia

Tekstur Tanah

Pada analisis komposisi tekstur tanah yang ada di lokasi penelitian, digunakan ayakan berlapis. Sebelum diayak, contoh tanah yang akan diambil di sekitar lubang-lubang yang dibuat kepiting dibersihkan terlebih dahulu permukaannya dari sisa-sisa tanaman atau kotoran lainnya. Komposisi tanah yang diukur meliputi tiga bagian fraksi yaitu lumpur, liat dan pasir. Pengelompokan ukuran partikel tanah menurut ukurannya ditentukan berdasarkan penggolongan yang dilakukan oleh The International Society of Soil Science Michael (1994).

Bahan Organik Tanah

Kandungan bahan organik yang terdapat dalam tanah beradal dari sisa-sisa tumbuhan, hewan dan organism lainnya yang telah mati termsuk kotorannya. Perombakan oleh jasad renik terhadap material tersebut menyebabkan pelapukan dan memperkaya bahan organik tanah. Analisis kandungan bahan organik tanah dilakukan di Laboratorium Terpadu Institut Pertanian Bogor.

Analisis Statistik

Indeks Kematangan Gonad

Indeks Kematangan Gonad diperoleh dengan menggunakan menurut Effendi (1979) yaitu:

IKG= BG

BT x 100

keterangan :

IKG = Indeks Kematangan Gonad BG = Berat Gonad (g)

BT = Berat tubuh (g) Hubungan Panjang Berat

Hubungan panjang (CP+r) berat (bobot) kepiting dilakukan secara terpisah antara jenis kelamin jantan dan betina di masing-masing stasiun pengamatan. Perhitungan hubungan panjang berat dilakukan dengan menggunakan rumus menurut Ricker (1975) dalam Effendi (19779) sebagai berikut:

W = a (CP+r)b keterangan :

W = Bobot Total Kepiting CP+r = Panjang Kerapas + rostrum A dan b = konstanta

Persamaan diatas dilogaritmakan untuk mendapatkan persamaan linier menjadi : Log W = Log a + b Log (CP+r)

(32)

b < 3, maka pertambahan panjang kepiting lebih lambat daripada pertambahan bobotnya. Kedua jenis pertumbuhan ini disebut pertumbuhan allometrik. Jika b = 3, maka berarti bahwa pertambahan berat dan panjang sama atau disebut dengan pertumbuhan isometrik.

Penentuan nilai b, dilakukan uji t pada selang kepercayaan 95% (α, 0,05) (Steel dan Torrie, 1949).

Pada uji ini berlaku hipotesis : h0: b = 3

h1: b ≠ 3,

Kaídah keputusan:

a. Jika thitung > ttabel keputusannya adalah tolak h0

b. Jika thitung < ttabel maka keputusannya adalah terima h0(Walpole, 1995).

Panjang Infinitif dan Umur Teoritis

Panjang asimtut dan umur teoritis diketahui dengan melakukan analisis panjang karapas dengan menggunakan persamaan von Bertallanffy sebagai berikut :

Lt = L∞[1-e-K(t-to)]

atau Lt = L(1-e-Kt)+Lo e-Kt (Pauly,1987) keterangan :

Lt = panjang pada waktu t,

L∞ = panjang asimptot, yaitu panjang kepiting dari suatu stok yang muncul bila mereka tumbuh secara tidak terbatas,

Lo = panjang pada waktu t = 0, K = koefisien pertumbuhan.

to = panjang pada saat umur = 0 bulan

Menurut Pauly (1987) pengukuran pertumbuhan dapat didasarkan pada data frekwensi panjang baik pada ikan maupun invertebrate.

Faktor Kondisi

Perhitungan faktor kondisi ditentukan berdasarkan pola pertumbuhannya. Adapun pola pertumbuhan isometrik dihitung dengan menggunakan rumus:

K = (10

5 )

(� +�)3

Pola pertumbuhan allometrik, dihitung dengan rumus :

K =

(33)

keterangan :

K = Faktor Kondisi Kepiting

W = Bobot Tubuh yang diukur (gram) CP+r = Panjang kerapas + rostrum (mm) a = Koefisien pertumbuhan

b = Ukuran dari perbedaan rata-rata tumbuh

Rasio Kelamin

Penentuan jenis kelamin dilakukan berdasarkan ciri kelamin sekunder. Pada kelamin betina terdapat 3 buah pleopoda yang terdapat pada abdomen. Ciri lain yang membedakan jantan dan betina adalah ukuran tubuh, biasanya jantan lebih besar daripada betina. Rasio kelamin jantan dan betina dapat diduga dengan menggunakan rumus menurut Effendi (1979):

P = A : B keterangan:

P = Rasio kelamin jantan dan betina, A = Jumlah kelamin jantan

B = Jumlah kelamin betina

Selanjutnya rasio kelamin diuji dengan menggunakan Chi-Square menurut Steel dan Torrie (1993) sebagai berikut :

X2 = ( � − �)

Oi = Frekuensi jumlah kepiting jantan dan betina yang diamati ei = Frekuensi harapan (jumlah rata-rata jantan dan betina)

Pola Penyebaran

Pola penyebaran kepiting kelapa di lokasi penelitian akan ditentukan dengan menggunakan indeks Morisita menurut (Browler dan Zaar, 1977) sebagai berikut :

X = Jumlah individu yang ditemukan pada setiap plot Kriteria pola penyebaran:

jika nilai Id = 1: pola penyebaran acak,

(34)

Menghitung Mu dan Mc

Pola sebaran ditunjukkan dengan perhitungan Mu dan Mc sebagai berikut :

��= 0,975

Mu : Indeks Morisita untuk pola sebaran seragam

X20,975 : nilai Chi-square tabel dengan derajat bebas n-1 dan selang kepercayaan

97,5 %

Mc : Indeks Moristita untuk posa sebaran mengelompok

X20,0,25 : nilai Chi-square dengan derajat bebas n-1 dan selang kepercayaan 2,5 %

Menghitung Standar derajat Morisita : Keempat jika nilai Id < 1, dan Id < Mu, maka pakai rumus 4.

Kemudian, langkah yang terakhir adalah menentukan pola sebaran berdasar nilai Ip di atas. Jika Ip < 0 maka pola sebarannya seragam. Jika Ip = 0 maka pola sebarannya acak, dan jika Ip > 0 maka pola sebarannya mengelompok.

Karakteristik Habitat

Determinasi sebaran karaktristik habitat kepiting kelapa antara sub stasiun digunakan pendekatan Analisis Multivariat yang didasarkan pada Analisis Cluster. Analisis ini dilakukan untuk mengelompokkan obyek berdasarkan kesamaan karakteristik di antara variable-variabel yang diteliti (Stockburge 1997). Analisis tersebut akan mendapatkan: Homogenitas internal (within cluster); yaitu kesamaan antar anggota dalam satu cluster. Langkah pengelompokan dalam analisis cluster mencakup 3 hal berikut :

1. Mengukur kesamaan jarak

2. Membentuk cluster secara hirarkis 3. Menentukan jumlah cluster.

(35)

Metode Hirarkis; memulai pengelompokan dengan dua atau lebih obyek yang mempunyai kesamaan paling dekat. Kemudian diteruskan pada obyek yang lain dan seterusnya hingga cluster akan membentuk semacam „pohon‟ dimana terdapat tingkatan (hirarki) yang jelas antar obyek, dari yang paling mirip hingga yang paling tidak mirip. Alat yang membantu untuk

memperjelas proses hirarki ini disebut “dendogram”.

Metode Non-Hirarkis; dimulai dengan menentukan terlebih dahulu jumlah cluster yang diinginkan (dua, tiga, atau yang lain). Setelah jumlah cluster ditentukan, maka proses cluster dilakukan dengan tanpa mengikuti proses

hirarki. Metode ini biasa disebut “K-Means Cluster”.

Asumsi yang harus dipenuhi dalam Analisis Cluster yaitu sampel yang diambil benar-benar dapat mewakili populasi yang ada. Jika data yang terkumpul mempunyai variabilitas satuan, maka perlu dilakukan langkah standarisasi atau transformasi terhadap variabel yang relevan ke bentuk z-score terlebih dahulu. Selanjutnya hasil z-score inilah yang akan dipakai sebagai dasar dalam analisis cluster. Namun apabila data yang terkumpul tidak mempunyai variabilitas satuan, maka prose analisis cluster dapat langsung dilakukan tanpa terlebih dahulu melakukan transformasi atau standardisasi.

Pengklasteran dengan menggunakan analisis non-hirarki atau K-Means Klaster dapat dilakukan apabila data sampelnya relatif besar (> 200) dan sudah ada data sebelumnya mengenai cluster objek yang akan dianalisis. Sedangkan objek yang beluam ada data clusternya dan variabelnya relatif kecil (< 200), maka digunakan analisis cluster hirarki. Pada penelitian ini, belum ada data sebelumnya mengenai objek yang dianalisis, oleh karena itu, maka metode analisis yang digunakan adalah metode hirarki.

Konsep dari metode hirarkis ini dimulai dengan menggabungkan 2 obyek yang paling mirip, kemudian gabungan dua obyek tersebut akan bergabung lagi dengan satu atau lebih obyek yang paling mirip lainnya. Proses clustering ini pada akhirnya akan menggumpal menjadi satu cluster besar yang mencakup

semua obyek. Metode ini disebut juga sebagai “metode aglomerativ” yang

digambarkan dengan dendogram. Output yang akan dihasilkan dengan metode ini adalah :

Case Processing Summary(untuk memastikan bahwa semua data atau objek telah diproses tanpa ada data yang hilang);

Proximity Matrix (untuk menunjukkan jarak antara variabel satu dengan variabel yang lain). Jarak antar variabel diukur dengan jarak euclidean, semakin kecil jarak euclidean, semakin mirip kedua variabel tersebut sehingga membentuk kelompok atau cluster;

Agglomeration schedule (hasil proses clustering dengan mtode between group lingkage. Setelah jarak anatar varaiebl diukur dengan jarak euclidean, maka dilakukan pengelompokan, yang dilakukan secara bertingkat

Cluster membership (perincian jumlah cluster yang terbentuk); dan

(36)

Analisis Vegetasi

Menurut Syafei (1990), analisis vegetasi adalah suatu cara mempelajari susunan dan komposisi vegetasi secara bentuk (struktur) vegetasi dari masyarakat tumbuh-tumbuhan. Salah satu metode yang digunakan dalam mempelajari vegetasi adalah metode kuadrat. Menurut Soerianegara dan Indrawan (1998), metode kuadrat ada dua cara, yaitu dengan cara petak tunggal dan petak ganda. Pada petak tunggal hanya mempelajari satu petak sampling yang mewakili suatu vegetasi. Ukuran minimum dari suatu petak sampling menggunakan kurva spesies area. Luas minimum ditetapkan dengan dasar penambahan luas petak tidak menyebabkan kenaikan jumlah jenis lebih dari 10%. Pada cara petak ganda pengambilan contoh menggunakan petak contoh yang tersebar merata, sebaiknya secara matematis petak contoh yang digunakan dapat ditentukan dengan kurva spesies area (Soerianegara dan Indrawan 1998). Di dalam metode ini dibuat satu petak sampling dengan ukuran 20 m x 20 m yang mewakili tegakan hutan. Ukuran petak ini ditentukan dengan kurva spesies-area.

Dalam hal ini Oosting (1956) dalam Syafei (1990) menyarankan penggunaan kuadrat berukuran seperti pada umumnya para peneliti di bidang ekologi hutan yang membedakan option ke dalam beberapa tingkat pertumbuhan, yaitu: semai (permudaan tingkat kecambah sampai setinggi < 1,5 m), pancang (permudaan dengan > 1,5 m sampai pohon muda yang berdiameter < 10 cm), tiang (pohon muda berdiameter 10 s/d 20 cm), dan pohon dewasa (diameter > 20 cm). Untuk memudahkan pelaksanaannya ukuran kuadrat disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan tersebut, yaitu umumnya 20 m x 20 m (pohon dewasa), 5 x 5 m (pancang), dan 2 x 2 m (semai dan tumbuhan bawah). Sketsa petak tunggal yang digunakan dalam pengambilan sampel vegetasi di Pulau Uta dapat dilihat pada Gambar 7.

(37)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Pulau Uta adalah satu-satunya pulau tak berpenghuni yang terletak di Kecamatan Gebe, Kabuaten Halmahera Tengah. Secara geografis, letak pulau ini berada di antara posisi 129037¹ BT – 129038¹ BT dan 000¹25¹¹ LU – 0001¹24¹¹ LU. Pulau yang masih termasuk dalam Desa Umyal ini berbatasan langsung dengan Wilayah Raja Ampat di sebelah timur, Pulau Yoi di sebelah selatan, serta di sebelah barat dan utara dikelilingi oleh Laut Halmahera.

Pulau yang berhadapan langsung dengan lautan lepas di sebelah utara ini memiliki panorama pantai yang indah dengan pasirnya yang putih dan bersih terhampar di sepanjang pantai sekitar 5 km mengelilingi pulau. Hampir tidak ditemukan substrat berbatu di pulau ini. Satu-satunya tempat yang terdapat batu adalah pantai di sisi utara yang agak jauh dari garis pantai. Topografi pulau ini sangat datar dan berelevasi rendah dengan ketinggian lahan maksimal 2 meter di atas permukaan laut. Oleh karena ketinggiannya kurang dari 3 m, maka gugusan pulau tersebut dapat digolongkan sebagai pulau pasang surut. Pantainya yang landai dengan semak-semak yang tumbuh disepanjang pantai menjadikan pulau ini sebagai tempat yang cocok untuk berwisata karena didukung oleh perairan yang sangat jernih. Di sekeliling pulau tidak terdapat vegetasi mangrove namun mayoritas ditumbuhi oleh pohon pinus (Pinus), pandan (Pandanus), bintangur (Calophyllum inophyllum) dan kayu besi (Eusideroxylon zwageri). Di bagian tengah pulau terdapat rawa-rawa yang luasnya kurang lebih 300 ha dengan vegetasi pohon kelapa (Cocos nucifera) yang tumbuh rapat di pinggiran rawa. Menurut cerita dari penduduk Desa Umyal, pohon kelapa ini ditanam oleh penduduk Desa Umyal yang kebanyakan berprofesi sebagai nelayan.

Perjalanan ke Pulau Uta, harus melalui Pulau Gebe terlebih dahulu dengan menempuh beberapa alternatif. Pertama, menggunakan pesawat dari Ternate menuju Gebe (tiga kali seminggu), Kedua, melalui Weda (ibu kota Kabupaten Tengah adalah daerah yang beriklim tropis dengan iklim yang sangat dipengaruhi oleh angin laut. Curah hujan rata-rata 1.695 - 2.570 mm pertahun dengan jumlah hari hujan 85 – 157 hari. Makin ke utara makin banyak turun hujan terutama kecamatan Weda dengan curah hujan 3.001 - 3.500 mm, semakin ke timur semakin kurang hujan terutama di kecamatan Patani dan Pulau Gebe (Pusat Informasi Data Investasi Indonesia 2012).

(38)

dan di sela-sela akar pohon yang rindang. Sebagian lagi membuat lubang pada pohon-pohon kayu yang tumbang kemudian bersembunyi di dalamnya. Di tempat lain kepiting ini bisa ditemukan dengan memberinya umpan kelapa pada malam hari, tapi di Pulau Uta kita tidak bisa menemukannya dengan cara seperti itu karena kepiting ini sangat jarang keluar pada malam hari untuk mencari makan. Mereka bisa ditemukan dengan mencari langsung ke tempat-tempat yang biasa mereka tempati bersembunyi pada siang hari. Begitulah kebiasaan hidup yang tidak dijumpai di tempat lain jika ingin melihat kepiting kelapa di pulau ini. Kebiasaan ini, mungkin terjadi karena di Pulau Uta yang memiliki pohon rindang tidak banyak gangguan manusia pada siang hari sehingga mereka bisa dengan leluasa mencari makan di waktu itu dan menangkapnya tidak bisa dengan memberinya umpan, namun harus aktif menjelajah ke lubang-lubang tempat mereka bersembunyi. Mereka menggali lubang dengan menggunakan kaki kanan pertama yang bercapit sedangkan kaki sebelah kiri digunakan untuk mendorong hasil galian dan memumpukannya pada sisi kirinya. Cara memasuki lubang tempat persembunyiannya selalu diawali dengan memasukkan bagian abdomennya (Limbong 1983).

(a) (b)

Morfologi Kepiting Kelapa

Secara morfologis kepiting kelapa (Birgus latro) mempunyai abdomen bulat simetris dan terlindungi kulit yang keras, ujung abdomennya dapat berfungsi sebagai pemberat bila berada dalam liangnya, yang berada di bawah akar pohon maupun pada pohon yang roboh. Tubuhnya terdiri dari tiga bagian utama yakni bagian kepala, dada, dan perut. Di bagian ujung kepala terdapat rostrum, dan kaki-kakinya terdapat di bagian dada. Hewan ini mempunyai lima pasang kaki yang berbeda-beda ukurannya. Sepasang kaki yang pertama dari depan berfungsi sebagai capit yang sangat kuat dan mereka gunakan untuk mengambil makanan (Limbong 1983). Ukuran capit sebelah kiri lebih besar daripada capit sebelah kanan. Kemudian Tiga pasang kaki berikutnya memiliki ukuran lebih kecil sedangkan sepasang yang lainnya berukuran jauh lebih kecil dan letaknya tersembunyi di bawah karapas, kaki-kaki tersebut digunakan untuk berjalan. Gambar 8. (a) Pulau Uta tampak dari sebelah Barat, (b) Panorama pantai Pulau

(39)

Ciri-ciri yang membedakan antara kelamin jantan dan betina secara morfologi adalah ditemukannya pleopoda sebanyak tiga buah pada bagian abdomen kepiting betina, sedangkan jantan tidak terdapat pleopoda. Pleopoda pada tersebut terdiri dari rambut-rambut halus yang diduga sebagai adaptasi lingkungan untuk membantu menginkubasi telur-telurnya sebelum dilepaskan ke laut karena sesaat setelah pemijahan selesai, telur langsung dikeluarkan dari tubuh betina dikarenakan betina tidak mempunyai kantong telur dalam tubuhnya.

Semua kaki jalan ditutupi oleh duri serta rambut-rambut halus. Karapas kepiting kelapa sangat keras, karena memiliki konsentrasi zat kapur yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan jenis kepiting pertapa (hermit crab) lainnya. Seluruh tubuh berwarna coklat keungu-unguan atau coklat tua kemerah-merahan. Bagian karapas memiliki bercak-bercak putih yang warnanya buram, agak kotor serta bersisik seperti membentuk alur (Gambar 8). Hasil pengamatan yang pernah dilakukan oleh Motoh (1980) menginformasikan bahwa kerapas pada hewan menutupi bagian cephalotorax dan bagian abdomennya merupakan bagian yang lunak.

Hasil analisis data dimensi tubuh terhadap sepuluh ekor sampel kepiting kelapa yang telah dilakukan oleh Suryani (2012) terhadap kepiting kelapa yang ada di Pulau Mayau dan Pulau Kabaruan dapat digambarkan bahwa rata-rata panjang kaki I yang terletak pada bagian belakang capit memiliki ukuran kurang lebih dua kali lebih panjang dari panjang cephalotorax, sedangkan panjang rostrum rata-rata 5,43 mm yang terdapat pada bagian depan cephalotorax. Ukuran kerapas kepiting kelapa dewasa di Pulau Uta ditemukan bervariasi. Panjang kerapas + rostrum (CP+r) berkisar antara 79 - 151,5 mm untuk kepiting jantan dan 75 - 118 mm untuk betina, sedangkan berat betina berkisar antara 490 – 750 g untuk betina sedangkan jantan berkisar antara 1010 – 2400 g.

Ukuran ini agak berbeda jika dibandingkan dengan hasil pengukuran Motoh (1980) yang mengemukakan bahwa kepiting dewasa mempunyai panjang karapas kurang lebih 25 – 47 mm dan lebar 51 – 76 mm, dan berat badan berkisar antara 2

– 4 kg. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Suryani (2012) di Pulau Payau Sulawesi Utara menunjukkan bahwa panjang kerapas kepiting kelapa berkisar

Pleopoda pada kepiting betina

a b

(40)

antara antara 22,15 – 57,24 mm dengan nilai rata-rata 34,63. Bentuk tubuh kepiting kepiting kelapa dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. (a) Kepiting kelapa tampak dari belakang, (b) Kepiting kelapa tampak dari depan

Kisaran panjang kepiting kelapa yang tertangkap di Pulau Uta selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 5. Kelas ukuran kepiting kelapa dapat dilihat pada Gambar 11 dan Gambar 12.

Tabel 5. Kisaran panjang kepiting kelapa di Pulau Uta

Bulan Tangkap

Jantan Betina

N Rata-rata

(mm) S.D Kisaran N

Rata-rata

(mm) S.D Kisaran

Mei 10 128,53 7,67 95,00 – 160,35 10 99,14 6,57 80,50 – 115,80 Juli 6 103,06 12,14 84,00 – 124,72 6 94,38 9,36 80,00 – 111,24 september 3 109,91 28,45 79,00 – 143,98 12 98,35 3,21 75,00 – 122,44

Total

Tangkapan 19 115,47 25,01 79,00 – 151,50 28 98,24 14,68 75,00 – 118,85

Gambar 11. Kelas ukuran Kepiting kelapa di Pulau Uta

(41)

Gambar 12. Kelas ukuran seluruh kepiting yang tertangkap di Pulau Uta

Hubungan Panjang (Cp+r) dengan Bobot Tubuh

Jumlah kepiting kelapa yang diukur selama penelitian berjumlah 47 ekor yang terdiri dari 19 ekor jantan dengan kisaran panjang 79,00 – 151,5 mm dan kisaran berat 1010– 2400 gr, dan 28 ekor betina dengan kisaran panjang 75 – 118,85 mm dan memiliki berat dengan kisaran 490– 750gr. Kepiting jantan dengan ukuran terbesar ditemukan pada Bulan Mei di Stasiun Utara dengan panjang kerapas + rostrum 151,5 mm dengan berat 2400 gr, sedangkan yang terkecil ditemukan pada Bulan September di Stasiun Selatan dengan panjang kerapas + rostrum 79 mm dengan berat 1010 gr. Pada kepiting betina, ukuran terbesar ditemukan pada Bulan September di Stasiun Barat dengan panjang kerapas + rostrum 118,5 mm dengan berat 750 gr, sedangkan ukuran terkecil ditemukan pada Bulan September di Stasiun Utara dengan panjang kerapas + rostrum 73 mm dengan berat tubuh 500gr.

Hubungan panjang (CP+r) dengan berat tubuh kepiting kelapa (jantan dan betina) masing-masing dapat dilihat pada Gambar 13 dan 14.

(42)

b = 1,17 a = 1,93; R2 = 0,97

W = a (CP+r) b , sehingga W = 1,93(CP+r)1,17

b < 3, = allometrik, maka pertambahan panjang kepiting lebih cepat daripada pertambahan bobotnya.

Gambar 14. Hubungan panjang (Cp+r) dengan bobot tubuh betina b = 0,97 a = 1,97 R2 = 0,99

W = a (CP+r) b

W = 1,97(CP+r)0,97 ; b < 3 = Allometrik

b < 3, maka pertambahan panjang kepiting lebih cepat daripada pertambahan bobot tubuhnya.

Berdasarkan hasil analisis hubungan panjang (CP+r) dan berat total, diperoleh hubungan panjang berat pada kepiting kelapa jantan adalah W = 1,93(CP+r)1,17 dengan nilai R2 sebesar 1,97, sedangkan pada betina adalah W = 1,97(CP+r)0,97 dengan nilai R2 0,99. Kedua jenis kelamin kepiting tersebut sama-sama memiliki nilai b < 3. Nilai b tersebut merupakan indikator pertumbuhan yang menggambarkan hubungan pertambahan panjang dan berat pada kepiting kelapa. Hasil analisis mendapatkan nilai b = 1,17 untuk kepiting jantan dan b = 0,97 untuk kepiting betina. Effendi (1979) mengatakan bahwa jika b < 3 maka pertumbuhannya bersifat allometrik negatif yang berarti bahwa pertambahan panjang kepiting lebih cepat daripada pertambahan beratnya. Pola pertumbuhan ini mengindikasikan bahwa kepiting yang ada di pulau tersebut rata-rata kurus. Nilai R2 yang masing-masing jenis kelamin mendekati satu menggambarkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara panjang (Cp+r) dengan berat tubuh kepiting kelapa yang ada di Pulau Uta.

Penentuan nilai b dilakukan dengan uji t pada selang kepercayaan 95 % (α, 0,05) (Steel dan Torrie 1994). Hasil dari uji tersebut diperoleh thitung sebesar 6,7

dan > ttabel sebesar 2,1 pada kepiting jantan, sedangkan pada kepiting betina

diperoleh thitung 45,08 dan ttabel 2,06. Hal ini berarti bahwa pola pertumbuhan

kepiting jantan dan betina kedua-duanya bersifat allometrik (tolak h0 dan terima

h1: b≠3) dengan pertambahan panjang lebih cepat daripada pertambahan berat.

(43)

Penelitian lain yang pernah dilakukan oleh Abubakar (2009) dengan lokasi yang berdekatan dengan Pulau Uta yaitu Pulau Yoi menunjukkan hal yang sama. Dalam penelitian itu ditemukan bahwa hubungan panjang berat kepiting kelapa bersifat allometrik. Hal ini diduga disebabkan oleh karena kepiting kelapa harus berganti kulit atau moulting sehingga dapat tumbuh (Abubakar 2009).

Aktivitas berganti kulit bagi kepiting kelapa yang ada di Pulau Uta berlangsung dalam lubang tanah berpasir yang digalinya sendiri. Kepiting kelapa menggali tanah secara vertikal ±30 cm kemudian di dasar lubang itu dibuat lubang lagi secara horisontal 30 – 50 cm untuk ditempati berdiam diri selama proses moulting berlangsung. Lubang tanah tempat moulting ini bisa dikenali dari gundukan tanah yang terkumpul di dekat lubang. Kondisi yang serupa telah dikemukakan oleh Fletcher et al. (1991) yang berkaitan dengan aktifitas moulting kepiting kelapa. Menurutnya, kepiting kelapa biasanya membuat lubang perlindungan dengan cara menggali lubang dan membuat lorong bawah tanah di daerah berpasir yang kering pada jarak tertentu dari daerah normalnya. Mereka menggali lubang dengan menggunakan chelaenya yang besar untuk mengeluarkan tanah dan meninggalkan gundukan tanah pada pintu masuknya.

Kepiting kelapa harus membuat lubang dan lorong bawah tanah untuk melakukan pergantian kulit diduga karena mereka tidak dapat melangsungkan proses itu jika kondisi alam terang dan ada gangguan dari aktivitas organisme lainnya. Setelah proses moulting selesai, kepiting kelapa akan memakan exuvium dari cangkangnya agar cangkang yang baru bisa mencapai derajat kekerasan seperti cangkang yang diganti sebelumnya. Kepiting ini membutuhkan waktu sekitar tiga sampai empat minggu untuk mengeraskan kembali cangkangnya (Fletcher et al. 1991). Pratiwi dan Sukardi (1995) menyatakan bahwa kepiting kelapa mencapai dewasa pada usia empat tahun, yakni setelah mengalami delapan kali ganti kulit, dan setelah itu menghabiskan waktunya di daratan.

Pertumbuhan

Menurut Sulistiono dkk (2007), pertumbuhan kepiting kelapa (B. latro) sangat lambat. Umur pertama kali matang gonad diperkirakan lebih dari lima tahun dengan panjang thorax ± 22,5 cm (Schiller 1992 dalam Sulistiono dkk 2007). Obed et al. (1991) juga menyatakan kepiting kelapa akan mencapai matang gonad ketika mencapai umur 3,5 dan lima tahun (Obed et al. 1991 dan Schiller 1992 dalam Sulistiono dkk 2007).

(44)

September, 1028 gram pada Bulan Oktober dan 1108 gram pada Bulan November atau pertumbuhan berat tubuh kepiting kelapa yang diamati selama 3 bulan secara rata-rata pada kolam I dan II masing-masing adalah sekitar 17,5 dan 52 gram per bulan.

Pengamatan pertambahan berat tubuh kepiting juga pernah diamati oleh Sulistiono dkk (2007) yang dilakukan pada kepiting yang ditempatkan dalam kolam percobaan. Hasil pengamatan tersebut menemukan bahwa secara rata-rata kepiting mengalami pertambahan berat sekitar 1668 gram untuk kepiting kelapa jantan dan 783,3 gram untuk kepiting kelapa betina. Hasil pengamatan lain yang telah dilakukan oleh Sulistiono dkk (2008c) dalam Sulistiono dkk (2009), mengemukakan bahwa pertumbuhan kepiting kelapa yang dipelihara di Pulau Gebe dan Yoi adalah 2,6 sampai 13 % per bulan.

Pada penelitian ini, dilakukan pengukuran panjang kerapas tambah rostrum (CP+r) pada semua kepiting yang tertangkap dan didapatkan ukuran panjang CP+r terkecil yang sedang matang gonad (TKG III) adalah 80 mm untuk betina dan 84,50 mm untuk jantan. Pada saat yang lain, peneliti juga pernah mengukur panjang CP+r kepiting kelapa pada fase kelomang dengan panjang 9 – 25 mm. Berdasarkan pada hasil penelitian Schiller et al. (1991) yang mengemukakan bahwa bahwa kepiting kelapa fase kelomang dicapai pada umur 12 – 24 bulan dan mencapai matang gonad pada umur 3,5 - 5 tahun, maka dengan menggunakan metode perhitungan asimtut dan umur teoritis (Pauly dan Morgan 1987), diketahui bahwa panjang CP+r kepiting kelapa yang mendiami Pulau Uta pada saat baru lahir adalah 1,2 mm dengan ukuran panjang maksimum pada umur 30 tahun = 192,4 mm untuk kepiting jantan dan 1,1 mm dengan panjang maksimum CP+r pada umur 30 tahun = 151,9 mm untuk kepiting betina. Hubungan umur dengan panjang kepiting jantan dan betina dapat dilihat pada Gambar 15.

(45)

Organ Reproduksi Kepiting Kelapa

Pada kepiting kelapa jantan, organ reproduksi terdapat pada bagian abdomen yang terdiri dari sepasang gonad atau testis beserta saluran-salurannya dan menyatu dengan hepatopankreas. Pada kepiting betina, organ reproduksinya terdiri dari sepasang ovarium atau sebuah ovari yang terletak di abdomen dan tidak menyatu dengan hepatopankreas (Rafiani dan Sulistiono 2009). Hepatopankreas adalah organ penyimpanan yang berisi lipid dan glikogen yang banyak. Unsur-unsur pokok biokimia dari gonad dan hepatopankreas berhubungan erat dengan siklus reproduksi yakni pada betina ovari yang matang berisi lemak yang banyak dibandingkan dengan ovari belum matang atau ovari yang telah dikeluarkan. Berbeda dengan jantan, perubahan unsur utama biokimia pada testis tampak tidak nyata. Ovari terlihat kaya dengan lipid, sedangkan testis kaya dengan protein (Pillay dan Nair 1973 dalam Rafiani 2005).

Kepiting kelapa jantan mempunyai koksa dari pasangan kaki ke-lima periopoda (kaki jalan ke-lima) yang digunakan untuk mentransfer spermatozoa yang telah matang. Alat ini mirip dengan penis atau klasper (Rafiani dan Sulistiono 2009). Gambar 9 di bawah ini menunjukkan posisi gonad yang terdapat dalam tubuh kepiting kelapa. Pada kepiting betina, pengamatan terhadap perubahan morfologi gonad (ovarium) terutama dilakukan terhadap warna dan ukuran yang dipengaruhi oleh perkembangan sel telur terutama dalam bertambahnya deposisi kuning telur di dalam sel telur. Bertambahnya jumlah kuning telur menyebabkan perubahan warna ovarium dan membesarnya sel telur. Berdasarkan pada ciri-ciri morfologi gonad yang disampaikan Rafiani dan Sulistiono (2009), maka dilakukan pengamatan terhadap warna, ukuran dan tingkat kepenuhan dalam abdomen, sehingga pada penelitian ini ditemukan ada tiga tingkat kematangan gonad pada kepiting jantan dan 4 tingkat kematangan gonad (TKG) pada betina. Pada kepiting betina, TKG I ditemukan pada induk dengan ukuran panjang (Cp+r) 95,5 mm dan berat tubuh 600 g dengan indeks kematangan gonadnya (IKG) 0,62. Pada induk jantan ukuran gonad terkecil ditemukan pada ukuran panjang (CP+r) 120 mm dan berat tubuh 1850 g dengan IKG 0,36. Posisi gonad betina dalam abdomen dapat dilihat pada Gambar 16 dan ukurannya dapat dilihat pada Gambar 17.

Gambar 16. Posisi gonad dalam abdomen kepiting kelapa betina

Gambar

Gambar 1.  Kerangka pendekatan masalah “kajian habitat dan kematangan gonad kepiting kelapa (Birgus latro) di Pulau Uta, Propinsi Maluku Utara
Gambar 2.  Morfologi kepiting kelapa
Gambar 4. Tahap-tahap morfologi dan perkembangan kepiting kelapa (Birgus
Gambar 5. Peta lokasi pengambilan sampel
+7

Referensi

Dokumen terkait