• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Pulau Uta adalah satu-satunya pulau tak berpenghuni yang terletak di Kecamatan Gebe, Kabuaten Halmahera Tengah. Secara geografis, letak pulau ini berada di antara posisi 129037¹ BT – 129038¹ BT dan 000¹25¹¹ LU – 0001¹24¹¹ LU. Pulau yang masih termasuk dalam Desa Umyal ini berbatasan langsung dengan Wilayah Raja Ampat di sebelah timur, Pulau Yoi di sebelah selatan, serta di sebelah barat dan utara dikelilingi oleh Laut Halmahera.

Pulau yang berhadapan langsung dengan lautan lepas di sebelah utara ini memiliki panorama pantai yang indah dengan pasirnya yang putih dan bersih terhampar di sepanjang pantai sekitar 5 km mengelilingi pulau. Hampir tidak ditemukan substrat berbatu di pulau ini. Satu-satunya tempat yang terdapat batu adalah pantai di sisi utara yang agak jauh dari garis pantai. Topografi pulau ini sangat datar dan berelevasi rendah dengan ketinggian lahan maksimal 2 meter di atas permukaan laut. Oleh karena ketinggiannya kurang dari 3 m, maka gugusan pulau tersebut dapat digolongkan sebagai pulau pasang surut. Pantainya yang landai dengan semak-semak yang tumbuh disepanjang pantai menjadikan pulau ini sebagai tempat yang cocok untuk berwisata karena didukung oleh perairan yang sangat jernih. Di sekeliling pulau tidak terdapat vegetasi mangrove namun mayoritas ditumbuhi oleh pohon pinus (Pinus), pandan (Pandanus), bintangur (Calophyllum inophyllum) dan kayu besi (Eusideroxylon zwageri). Di bagian tengah pulau terdapat rawa-rawa yang luasnya kurang lebih 300 ha dengan vegetasi pohon kelapa (Cocos nucifera) yang tumbuh rapat di pinggiran rawa. Menurut cerita dari penduduk Desa Umyal, pohon kelapa ini ditanam oleh penduduk Desa Umyal yang kebanyakan berprofesi sebagai nelayan.

Perjalanan ke Pulau Uta, harus melalui Pulau Gebe terlebih dahulu dengan menempuh beberapa alternatif. Pertama, menggunakan pesawat dari Ternate menuju Gebe (tiga kali seminggu), Kedua, melalui Weda (ibu kota Kabupaten Halmahera Tengah) dengan menggunakan KM Fai Sayang tiap dua minggu sekali, atau KM Arar seminggu sekali menuju Pulau Gebe. Setelah sampai di Pulau Gebe kita bisa menyewa perahu atau motor tempel untuk transportasi menuju Pulau Uta. Jarak Pulau Gebe dengan Pulau Uta bisa ditempuh dengan waktu kurang lebih 1 jam perjalanan dengan menggunakan perahu tempel bermesin 40 PK.

Pulau Uta yang masuk dalam salah satu pulau Kabupaten Halmahera Tengah adalah daerah yang beriklim tropis dengan iklim yang sangat dipengaruhi oleh angin laut. Curah hujan rata-rata 1.695 - 2.570 mm pertahun dengan jumlah hari hujan 85 – 157 hari. Makin ke utara makin banyak turun hujan terutama kecamatan Weda dengan curah hujan 3.001 - 3.500 mm, semakin ke timur semakin kurang hujan terutama di kecamatan Patani dan Pulau Gebe (Pusat Informasi Data Investasi Indonesia 2012).

Keberadaan kepiting kelapa di pulau ini memiliki keunikan dalam hal kebiasaan hidup jika dibandingkan dengan Kepiting kelapa di tempat lain. Kepiting kelapa (Birgus latro) yang mendiami pulau ini tidak hidup di antara bebatuan, namun mereka menghabiskan sebagian besar hidupnya di dalam tanah

dan di sela-sela akar pohon yang rindang. Sebagian lagi membuat lubang pada pohon-pohon kayu yang tumbang kemudian bersembunyi di dalamnya. Di tempat lain kepiting ini bisa ditemukan dengan memberinya umpan kelapa pada malam hari, tapi di Pulau Uta kita tidak bisa menemukannya dengan cara seperti itu karena kepiting ini sangat jarang keluar pada malam hari untuk mencari makan. Mereka bisa ditemukan dengan mencari langsung ke tempat-tempat yang biasa mereka tempati bersembunyi pada siang hari. Begitulah kebiasaan hidup yang tidak dijumpai di tempat lain jika ingin melihat kepiting kelapa di pulau ini. Kebiasaan ini, mungkin terjadi karena di Pulau Uta yang memiliki pohon rindang tidak banyak gangguan manusia pada siang hari sehingga mereka bisa dengan leluasa mencari makan di waktu itu dan menangkapnya tidak bisa dengan memberinya umpan, namun harus aktif menjelajah ke lubang-lubang tempat mereka bersembunyi. Mereka menggali lubang dengan menggunakan kaki kanan pertama yang bercapit sedangkan kaki sebelah kiri digunakan untuk mendorong hasil galian dan memumpukannya pada sisi kirinya. Cara memasuki lubang tempat persembunyiannya selalu diawali dengan memasukkan bagian abdomennya (Limbong 1983).

(a) (b)

Morfologi Kepiting Kelapa

Secara morfologis kepiting kelapa (Birgus latro) mempunyai abdomen bulat simetris dan terlindungi kulit yang keras, ujung abdomennya dapat berfungsi sebagai pemberat bila berada dalam liangnya, yang berada di bawah akar pohon maupun pada pohon yang roboh. Tubuhnya terdiri dari tiga bagian utama yakni bagian kepala, dada, dan perut. Di bagian ujung kepala terdapat rostrum, dan kaki-kakinya terdapat di bagian dada. Hewan ini mempunyai lima pasang kaki yang berbeda-beda ukurannya. Sepasang kaki yang pertama dari depan berfungsi sebagai capit yang sangat kuat dan mereka gunakan untuk mengambil makanan (Limbong 1983). Ukuran capit sebelah kiri lebih besar daripada capit sebelah kanan. Kemudian Tiga pasang kaki berikutnya memiliki ukuran lebih kecil sedangkan sepasang yang lainnya berukuran jauh lebih kecil dan letaknya tersembunyi di bawah karapas, kaki-kaki tersebut digunakan untuk berjalan. Gambar 8. (a) Pulau Uta tampak dari sebelah Barat, (b) Panorama pantai Pulau

Ciri-ciri yang membedakan antara kelamin jantan dan betina secara morfologi adalah ditemukannya pleopoda sebanyak tiga buah pada bagian abdomen kepiting betina, sedangkan jantan tidak terdapat pleopoda. Pleopoda pada tersebut terdiri dari rambut-rambut halus yang diduga sebagai adaptasi lingkungan untuk membantu menginkubasi telur-telurnya sebelum dilepaskan ke laut karena sesaat setelah pemijahan selesai, telur langsung dikeluarkan dari tubuh betina dikarenakan betina tidak mempunyai kantong telur dalam tubuhnya.

Semua kaki jalan ditutupi oleh duri serta rambut-rambut halus. Karapas kepiting kelapa sangat keras, karena memiliki konsentrasi zat kapur yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan jenis kepiting pertapa (hermit crab) lainnya. Seluruh tubuh berwarna coklat keungu-unguan atau coklat tua kemerah-merahan. Bagian karapas memiliki bercak-bercak putih yang warnanya buram, agak kotor serta bersisik seperti membentuk alur (Gambar 8). Hasil pengamatan yang pernah dilakukan oleh Motoh (1980) menginformasikan bahwa kerapas pada hewan menutupi bagian cephalotorax dan bagian abdomennya merupakan bagian yang lunak.

Hasil analisis data dimensi tubuh terhadap sepuluh ekor sampel kepiting kelapa yang telah dilakukan oleh Suryani (2012) terhadap kepiting kelapa yang ada di Pulau Mayau dan Pulau Kabaruan dapat digambarkan bahwa rata-rata panjang kaki I yang terletak pada bagian belakang capit memiliki ukuran kurang lebih dua kali lebih panjang dari panjang cephalotorax, sedangkan panjang rostrum rata-rata 5,43 mm yang terdapat pada bagian depan cephalotorax. Ukuran kerapas kepiting kelapa dewasa di Pulau Uta ditemukan bervariasi. Panjang kerapas + rostrum (CP+r) berkisar antara 79 - 151,5 mm untuk kepiting jantan dan 75 - 118 mm untuk betina, sedangkan berat betina berkisar antara 490 – 750 g untuk betina sedangkan jantan berkisar antara 1010 – 2400 g.

Ukuran ini agak berbeda jika dibandingkan dengan hasil pengukuran Motoh (1980) yang mengemukakan bahwa kepiting dewasa mempunyai panjang karapas kurang lebih 25 – 47 mm dan lebar 51 – 76 mm, dan berat badan berkisar antara 2

– 4 kg. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Suryani (2012) di Pulau Payau Sulawesi Utara menunjukkan bahwa panjang kerapas kepiting kelapa berkisar

Pleopoda pada kepiting betina

a b

Gambar 9. Ciri-ciri kelamin kepiting kelapa secara morfologi, (a) Betina dengan pleopoda pada bagian abdomen, dan (b) jantan tanpa pleopoda

antara antara 22,15 – 57,24 mm dengan nilai rata-rata 34,63. Bentuk tubuh kepiting kepiting kelapa dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. (a) Kepiting kelapa tampak dari belakang, (b) Kepiting kelapa tampak dari depan

Kisaran panjang kepiting kelapa yang tertangkap di Pulau Uta selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 5. Kelas ukuran kepiting kelapa dapat dilihat pada Gambar 11 dan Gambar 12.

Tabel 5. Kisaran panjang kepiting kelapa di Pulau Uta

Bulan Tangkap Jantan Betina N Rata-rata (mm) S.D Kisaran N Rata-rata (mm) S.D Kisaran Mei 10 128,53 7,67 95,00 – 160,35 10 99,14 6,57 80,50 – 115,80 Juli 6 103,06 12,14 84,00 – 124,72 6 94,38 9,36 80,00 – 111,24 september 3 109,91 28,45 79,00 – 143,98 12 98,35 3,21 75,00 – 122,44 Total Tangkapan 19 115,47 25,01 79,00 – 151,50 28 98,24 14,68 75,00 – 118,85

Gambar 11. Kelas ukuran Kepiting kelapa di Pulau Uta

Gambar 12. Kelas ukuran seluruh kepiting yang tertangkap di Pulau Uta Hubungan Panjang (Cp+r) dengan Bobot Tubuh

Jumlah kepiting kelapa yang diukur selama penelitian berjumlah 47 ekor yang terdiri dari 19 ekor jantan dengan kisaran panjang 79,00 – 151,5 mm dan kisaran berat 1010– 2400 gr, dan 28 ekor betina dengan kisaran panjang 75 – 118,85 mm dan memiliki berat dengan kisaran 490– 750gr. Kepiting jantan dengan ukuran terbesar ditemukan pada Bulan Mei di Stasiun Utara dengan panjang kerapas + rostrum 151,5 mm dengan berat 2400 gr, sedangkan yang terkecil ditemukan pada Bulan September di Stasiun Selatan dengan panjang kerapas + rostrum 79 mm dengan berat 1010 gr. Pada kepiting betina, ukuran terbesar ditemukan pada Bulan September di Stasiun Barat dengan panjang kerapas + rostrum 118,5 mm dengan berat 750 gr, sedangkan ukuran terkecil ditemukan pada Bulan September di Stasiun Utara dengan panjang kerapas + rostrum 73 mm dengan berat tubuh 500gr.

Hubungan panjang (CP+r) dengan berat tubuh kepiting kelapa (jantan dan betina) masing-masing dapat dilihat pada Gambar 13 dan 14.

b = 1,17 a = 1,93; R2 = 0,97

W = a (CP+r) b , sehingga W = 1,93(CP+r)1,17

b < 3, = allometrik, maka pertambahan panjang kepiting lebih cepat daripada pertambahan bobotnya.

Gambar 14. Hubungan panjang (Cp+r) dengan bobot tubuh betina b = 0,97 a = 1,97 R2 = 0,99

W = a (CP+r) b

W = 1,97(CP+r)0,97 ; b < 3 = Allometrik

b < 3, maka pertambahan panjang kepiting lebih cepat daripada pertambahan bobot tubuhnya.

Berdasarkan hasil analisis hubungan panjang (CP+r) dan berat total, diperoleh hubungan panjang berat pada kepiting kelapa jantan adalah W = 1,93(CP+r)1,17 dengan nilai R2 sebesar 1,97, sedangkan pada betina adalah W = 1,97(CP+r)0,97 dengan nilai R2 0,99. Kedua jenis kelamin kepiting tersebut sama- sama memiliki nilai b < 3. Nilai b tersebut merupakan indikator pertumbuhan yang menggambarkan hubungan pertambahan panjang dan berat pada kepiting kelapa. Hasil analisis mendapatkan nilai b = 1,17 untuk kepiting jantan dan b = 0,97 untuk kepiting betina. Effendi (1979) mengatakan bahwa jika b < 3 maka pertumbuhannya bersifat allometrik negatif yang berarti bahwa pertambahan panjang kepiting lebih cepat daripada pertambahan beratnya. Pola pertumbuhan ini mengindikasikan bahwa kepiting yang ada di pulau tersebut rata-rata kurus. Nilai R2 yang masing-masing jenis kelamin mendekati satu menggambarkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara panjang (Cp+r) dengan berat tubuh kepiting kelapa yang ada di Pulau Uta.

Penentuan nilai b dilakukan dengan uji t pada selang kepercayaan 95 % (α, 0,05) (Steel dan Torrie 1994). Hasil dari uji tersebut diperoleh thitung sebesar 6,7

dan > ttabel sebesar 2,1 pada kepiting jantan, sedangkan pada kepiting betina

diperoleh thitung 45,08 dan ttabel 2,06. Hal ini berarti bahwa pola pertumbuhan

kepiting jantan dan betina kedua-duanya bersifat allometrik (tolak h0 dan terima

h1: b≠3) dengan pertambahan panjang lebih cepat daripada pertambahan berat.

Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa nilai b dapat berbeda menurut spesies, jenis kelamin, umur, musim, dan aktivitas makan.

Penelitian lain yang pernah dilakukan oleh Abubakar (2009) dengan lokasi yang berdekatan dengan Pulau Uta yaitu Pulau Yoi menunjukkan hal yang sama. Dalam penelitian itu ditemukan bahwa hubungan panjang berat kepiting kelapa bersifat allometrik. Hal ini diduga disebabkan oleh karena kepiting kelapa harus berganti kulit atau moulting sehingga dapat tumbuh (Abubakar 2009).

Aktivitas berganti kulit bagi kepiting kelapa yang ada di Pulau Uta berlangsung dalam lubang tanah berpasir yang digalinya sendiri. Kepiting kelapa menggali tanah secara vertikal ±30 cm kemudian di dasar lubang itu dibuat lubang lagi secara horisontal 30 – 50 cm untuk ditempati berdiam diri selama proses moulting berlangsung. Lubang tanah tempat moulting ini bisa dikenali dari gundukan tanah yang terkumpul di dekat lubang. Kondisi yang serupa telah dikemukakan oleh Fletcher et al. (1991) yang berkaitan dengan aktifitas moulting kepiting kelapa. Menurutnya, kepiting kelapa biasanya membuat lubang perlindungan dengan cara menggali lubang dan membuat lorong bawah tanah di daerah berpasir yang kering pada jarak tertentu dari daerah normalnya. Mereka menggali lubang dengan menggunakan chelaenya yang besar untuk mengeluarkan tanah dan meninggalkan gundukan tanah pada pintu masuknya.

Kepiting kelapa harus membuat lubang dan lorong bawah tanah untuk melakukan pergantian kulit diduga karena mereka tidak dapat melangsungkan proses itu jika kondisi alam terang dan ada gangguan dari aktivitas organisme lainnya. Setelah proses moulting selesai, kepiting kelapa akan memakan exuvium dari cangkangnya agar cangkang yang baru bisa mencapai derajat kekerasan seperti cangkang yang diganti sebelumnya. Kepiting ini membutuhkan waktu sekitar tiga sampai empat minggu untuk mengeraskan kembali cangkangnya (Fletcher et al. 1991). Pratiwi dan Sukardi (1995) menyatakan bahwa kepiting kelapa mencapai dewasa pada usia empat tahun, yakni setelah mengalami delapan kali ganti kulit, dan setelah itu menghabiskan waktunya di daratan.

Pertumbuhan

Menurut Sulistiono dkk (2007), pertumbuhan kepiting kelapa (B. latro) sangat lambat. Umur pertama kali matang gonad diperkirakan lebih dari lima tahun dengan panjang thorax ± 22,5 cm (Schiller 1992 dalam Sulistiono dkk 2007). Obed et al. (1991) juga menyatakan kepiting kelapa akan mencapai matang gonad ketika mencapai umur 3,5 dan lima tahun (Obed et al. 1991 dan Schiller 1992 dalam Sulistiono dkk 2007).

Pada tahun 2004, Sulistiono dkk (2007) melakukan uji coba penangkaran pertama kali di Palu (Sulawesi Tengah) dan pada tahun 2008 juga dilakukan uji coba pemeliharaan kepiting kelapa pada tempat yang disesuaikan dengan kondisi habitat alami, yaitu dekat dengan pantai, agak lembab, terdapat sumber air tawar dan memiliki tumbuhan kelapa sebagai sumber makanan utama yang cukup banyak di Desa Citarate, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten (Sulistiono dkk 2009). Pada penelitian tersebut, pengamatan pertambahan berat tubuh dilaksanakan selama tiga bulan. Pada kelompok kolam I, secara rata-rata berat tubuh sekitar 560 gram pada Bulan September, bertambah menjadi 568 gram pada Bulan Oktober, dan 595 gram pada Bulan November. Pada kelompok kolam pemeliharaan ke II, berat tubuh rata-rata sebesar 1004 gram pada Bulan

September, 1028 gram pada Bulan Oktober dan 1108 gram pada Bulan November atau pertumbuhan berat tubuh kepiting kelapa yang diamati selama 3 bulan secara rata-rata pada kolam I dan II masing-masing adalah sekitar 17,5 dan 52 gram per bulan.

Pengamatan pertambahan berat tubuh kepiting juga pernah diamati oleh Sulistiono dkk (2007) yang dilakukan pada kepiting yang ditempatkan dalam kolam percobaan. Hasil pengamatan tersebut menemukan bahwa secara rata-rata kepiting mengalami pertambahan berat sekitar 1668 gram untuk kepiting kelapa jantan dan 783,3 gram untuk kepiting kelapa betina. Hasil pengamatan lain yang telah dilakukan oleh Sulistiono dkk (2008c) dalam Sulistiono dkk (2009), mengemukakan bahwa pertumbuhan kepiting kelapa yang dipelihara di Pulau Gebe dan Yoi adalah 2,6 sampai 13 % per bulan.

Pada penelitian ini, dilakukan pengukuran panjang kerapas tambah rostrum (CP+r) pada semua kepiting yang tertangkap dan didapatkan ukuran panjang CP+r terkecil yang sedang matang gonad (TKG III) adalah 80 mm untuk betina dan 84,50 mm untuk jantan. Pada saat yang lain, peneliti juga pernah mengukur panjang CP+r kepiting kelapa pada fase kelomang dengan panjang 9 – 25 mm. Berdasarkan pada hasil penelitian Schiller et al. (1991) yang mengemukakan bahwa bahwa kepiting kelapa fase kelomang dicapai pada umur 12 – 24 bulan dan mencapai matang gonad pada umur 3,5 - 5 tahun, maka dengan menggunakan metode perhitungan asimtut dan umur teoritis (Pauly dan Morgan 1987), diketahui bahwa panjang CP+r kepiting kelapa yang mendiami Pulau Uta pada saat baru lahir adalah 1,2 mm dengan ukuran panjang maksimum pada umur 30 tahun = 192,4 mm untuk kepiting jantan dan 1,1 mm dengan panjang maksimum CP+r pada umur 30 tahun = 151,9 mm untuk kepiting betina. Hubungan umur dengan panjang kepiting jantan dan betina dapat dilihat pada Gambar 15.

Organ Reproduksi Kepiting Kelapa

Pada kepiting kelapa jantan, organ reproduksi terdapat pada bagian abdomen yang terdiri dari sepasang gonad atau testis beserta saluran-salurannya dan menyatu dengan hepatopankreas. Pada kepiting betina, organ reproduksinya terdiri dari sepasang ovarium atau sebuah ovari yang terletak di abdomen dan tidak menyatu dengan hepatopankreas (Rafiani dan Sulistiono 2009). Hepatopankreas adalah organ penyimpanan yang berisi lipid dan glikogen yang banyak. Unsur-unsur pokok biokimia dari gonad dan hepatopankreas berhubungan erat dengan siklus reproduksi yakni pada betina ovari yang matang berisi lemak yang banyak dibandingkan dengan ovari belum matang atau ovari yang telah dikeluarkan. Berbeda dengan jantan, perubahan unsur utama biokimia pada testis tampak tidak nyata. Ovari terlihat kaya dengan lipid, sedangkan testis kaya dengan protein (Pillay dan Nair 1973 dalam Rafiani 2005).

Kepiting kelapa jantan mempunyai koksa dari pasangan kaki ke-lima periopoda (kaki jalan ke-lima) yang digunakan untuk mentransfer spermatozoa yang telah matang. Alat ini mirip dengan penis atau klasper (Rafiani dan Sulistiono 2009). Gambar 9 di bawah ini menunjukkan posisi gonad yang terdapat dalam tubuh kepiting kelapa. Pada kepiting betina, pengamatan terhadap perubahan morfologi gonad (ovarium) terutama dilakukan terhadap warna dan ukuran yang dipengaruhi oleh perkembangan sel telur terutama dalam bertambahnya deposisi kuning telur di dalam sel telur. Bertambahnya jumlah kuning telur menyebabkan perubahan warna ovarium dan membesarnya sel telur. Berdasarkan pada ciri-ciri morfologi gonad yang disampaikan Rafiani dan Sulistiono (2009), maka dilakukan pengamatan terhadap warna, ukuran dan tingkat kepenuhan dalam abdomen, sehingga pada penelitian ini ditemukan ada tiga tingkat kematangan gonad pada kepiting jantan dan 4 tingkat kematangan gonad (TKG) pada betina. Pada kepiting betina, TKG I ditemukan pada induk dengan ukuran panjang (Cp+r) 95,5 mm dan berat tubuh 600 g dengan indeks kematangan gonadnya (IKG) 0,62. Pada induk jantan ukuran gonad terkecil ditemukan pada ukuran panjang (CP+r) 120 mm dan berat tubuh 1850 g dengan IKG 0,36. Posisi gonad betina dalam abdomen dapat dilihat pada Gambar 16 dan ukurannya dapat dilihat pada Gambar 17.

Gambar 16. Posisi gonad dalam abdomen kepiting kelapa betina

Pada penelitian ini, tidak dilakukan pengamatan terhadap perkembangan gonad secara histologis, namun hasil penelitian Rafiani dan Sulistiono (2009) menemukan bahwa keadaan struktur histologist dari testis kepiting kelapa memperlihatkan adanya aktivitas spermatogenesis, ditandai dengan ditemukannya kumpulan sel-sel spermatogenik dalam berbagai tahap. Dalam penelitian itu juga ditemukan bahwa sediaan histologi gonad menunjukkan adanya reaksi PAS positif yang menunjukkan adanya karbohidrat di dalam sel-sel spermatozoa kepiting kelapa, sekaligus menandakan adanya suatu aktivitas (aktivitas spermatogenesis). Hasil pengamatan warna ovarium selama penelitian itu didapatkan adanya variasi warna ovarium, yaitu berwarna keputihan pada ovarium yang belum matang dan menjadi oranye setelah ovarium matang. (Gambar 16). Adanya perubahan tersebut disebabkan oleh adanya akumulasi dari kuning telur dalam bentuk lipoprotein dan pigmen atau proses vitellogenesis. Ciri-ciri histologi gonad kepiting kelapa menurut Rafiani dan Sulistiono (2009) dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Ciri-ciri histologi gonad kepiting kelapa

Kondisi kematangan

Ciri-ciri

Gonad betina Gonad Jantan

Tidak matang Telur masih berukuran kecil dengan

nukleus yang relatif kecil-besar.

berukuran kecil, ditemukan spermatosit primer

Awal matang Telur berukuran lebih besar dari

keadaan tidak matang, nukleus yang masih relatif besar.

Berukuran lebih besar, ditemukan spermatid

Sedang matang Butir-butir kuning telur berwarna

gelap terlihat pada seluruh sitoplasma sel telur.

Ditemukan adanya spermatozoa yang terbungkus dalam kapsul spermatofora

Matang Perbedaan yang paling jelas pada

fase ini adalah deposisi kuning telur secara total dalam sel telur.

Setiap butiran kuning telur membesar sehingga tidak ada tanda sitologikal kecuali membran dari inti sel telur.

Ukuran lebih besar

dibandingkan sebelumnya. Ditemukan adanya

spermatozoa yang terbungkus dalam kapsul spermatofora

Proses reproduksi (pemijahan) dimulai ketika kepiting kelapa jantan mentransfer paket sperma, spermatophore, terhadap betina. Kepiting betina dari marga Birgus ini tidak memiliki tempat menampung sperma, oleh sebab itu segera setelah kopulasi akan menjadi telur. Abdomen pada dasar peripod ketiga terbuka dan fertilisasi diperkirakan terjadi pada permukaan luar dari perut yang dilewati massa massa spermatophore (Schiller et.al 1991). Selanjutnya Amesbury (2000) mengemukakan bahwa massa sperma mungkin ditransfer ke spermatotheca internal dan pembuahan telur terjadi secara internal. Selanjutnya, telur dibuahi yang diekstrusi dari tubuh kepiting betina dan dibawa di bagian bawah perutnya, ditempatkan pada perut yang di dalamnya terdapat tiga pelengkap perut khusus yaitu pleopoda. Kepiting betina akan meletakkan telur-telurnya di setae endopodit dan exopodit dari pasangan kaki ketiga pleopod di sisi sebelah kiri. Telur-telur akan melekat menyerupai untaian buah anggur dan melekat erat hingga memenuhi abdomennya. Kepiting betina mampu mengeluarkan telur dalam jumlah besar dari 51.000 hingaa 138.000 mikrolecithal dengan ukuran korelasi yang sesuai antara jumlah telur dengan ukuran tubuhnya (Helfman 1973). Ekstrusi telur terjadi pada tanah di celah-celah atau lubang di dekat pantai (Sato dan Kenzo 2009).

Tingkat Kematangan Gonad (TKG)

Tingkat kematangan gonad kepiting (TKG) kelapa menunjukkan fase-fase perkembangan gonad dari hewan tersebut sebelum dikeluarkan. Komposisi TKG dapat dijadikan sebagai petunjuk untuk menentukan kapan waktu pemijahan berlangsung. Komposisi TKG pada kepiting kelapa yang ditemukan selama peneltian disajikan dalam Gambar 18.

Gambar 18. Komposisi TKG kepiting kelapa yang ditemukan berdasarkan stasiun dan bulan pengamatan selama penelitian di Pulau Uta

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepiting jantan tidak ditemukan pada kondisi TKG I, namun pada betina dapat ditemukan pada Bulan Mei sebesar 30% dan Bulan September sebesar 25% dari jumlah tangkapan pada bulan bersangkutan. TKG II paling banyak ditemukan pada jenis kelamin jantan yang

Dokumen terkait