• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Suhu Permukaan Laut terhadap Pemutihan Karang di Kepulauan Weh Nangroe Aceh Darussalam menggunakan Data Citra Satelit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Suhu Permukaan Laut terhadap Pemutihan Karang di Kepulauan Weh Nangroe Aceh Darussalam menggunakan Data Citra Satelit"

Copied!
173
0
0

Teks penuh

(1)

ACEH DARUSSALAM MENGGUNAKAN DATA CITRA

SATELIT

SUKMARAHARJA AULIA RACHMAN TARIGAN

SKRIPSI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(2)

PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP

PEMUTIHAN KARANG DI KEPULAUAN WEH NANGROE

ACEH DARUSSALAM MENGGUNAKAN DATA CITRA

SATELIT

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Oktober 2012

(3)

SUKMARAHARJA AULIA RACHMAN TARIGAN.Pengaruh Suhu Permukaan Laut terhadap Pemutihan Karang di Kepulauan Weh Nangroe Aceh Darussalam menggunakan Data Citra Satelit.Dibimbing oleh

DIETRIECH G. BENGEN DAN RISTI E. ARHATIN.

Hasil survei Wildlife Conservation Society (WCS) tahun 2010

mengungkapkan telah terjadi pemutihan massal terumbu karang di Kepulauan Weh Nangroe Aceh Darussalam akibat peningkatan suhu permukaan laut (SPL) dengan persentase pemutihan karang hingga 88 %. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tren perubahan SPL secara spasial dan temporal pada saat terjadinya pemutihan karang, serta mengkaji pengaruh SPL terhadap pemutihan karang di perairan tersebut.

Lokasi penelitian adalah wilayah Kepulauan Weh Provinsi Nangroe Aceh Darusalam. Penelitian ini dilakukan mulai bulan Mei 2010 hingga Mei 2012. Data yang digunakan adalah data SPL citra Aqua MODIS dengan waktu perekaman dari bulan Januari 2005-Februari 2011 yang diunduh dari

http://coastwatch.pfeg.noaa.gov/erddap/index.html dan data sekunder indeks pemutihan terumbu karang hasil survei WCS. Data hasilpengolahan citra satelit

ditampilkan dalambentuk grafik time series dan dianalisis secara temporal dan

spasial. Hubungan di antara SPL dan pemutihan karang di analisis secara

deskriptif menggunakan Analisis Komponen Utama.

Distribusi SPL selama 5 tahun, menunjukkan peningkatan SPL yang terjadi pada bulan April dan Mei tahun 2010. Visualisasi pada bulan April SPL maksimum di kawasan Timur Pulau Weh dengan nilai berkisar 31 ˚C-32 ˚C, sedangkan SPL minimum ditemukan di bagian barat dan utara Pulau Weh dengan nilai berkisar 31 ˚C hingga 31,25 ˚C. Pada citra bulan Mei SPL maksimum di kawasan timur dan tenggara Pulau Weh dengan nilai berkisar 31 ˚C-32 ˚C ,

sementara SPL minimum ditemukan pada bagian barat Pulau Weh dengan nilai 31 ˚C.

Pada bulan Mei 2010 ditemukan karang dalam kondisi mengalami

pemutihan sebesar 66,9 % dan sebagian lainnya mengalami pemucatan sebesar 21 %. Variasi kerentanan beberapa genera karang terhadap peningkatan SPL yang terjadi pada bulan Mei 2010 diketahui genera Pocillopora dan Acropora

merupakan jenis karang yang rentan terhadap pemutihan, sedangkan karang yang mampu menoleransi perubahan suhu secara signifikan adalah genera Diplostrea dan Montipora.

(4)

© Hak cipta milik Sukmaraharja Aulia Rachman Tarigan, tahun

2012

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun,

(5)

ACEH DARUSSALAM MENGGUNAKAN DATA CITRA

SATELIT

SUKMARAHARJA AULIA RACHMAN TARIGAN

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(6)

Judul Penelitian : PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP PEMUTIHAN KARANG DI KEPULAUAN WEH, NANGROE ACEH DARUSSALAM

MENGGUNAKAN DATA CITRA SATELIT

Nama Mahasiswa : Sukmaraharja Aulia Rachman Tarigan

Nomor Pokok : C54070077

Departemen : Ilmu dan Teknologi Kelautan

Menyetujui,

Dosen Pembimbing

Mengetahui,

Tanggal Ujian : 21 September 2012

Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc NIP. 19580909 198303 1 003 Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA

NIP. 195901051983121001

(7)

Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas semua rahmat dan karunia yang

telah diberikan kepada penulis sehingga skripsi dari penelitian ini dapat

terselesaikan. Skripsi ini berjudul PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP PEMUTIHAN KARANG DI KEPULAUAN WEH,

NANGROE ACEH DARUSSALAM MENGGUNAKAN DATA CITRA SATELIT.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih sebesar -

besarnya kepada:

1. Orang Tua Bapak Abdul Hamid Tarigan (Alm), Ibu Tati Supriati serta

kakak Dian Hapsari Pagita Tarigan dan Fitri Puspita Tarigan yang telah

memberikan kasih sayang, motivasi, inspirasi, doa dan semangatnya yang

tak kunjung henti.

2. Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA dan Risti E. Arhatin, S.Pi M.Si

selaku Komisi Pembimbing yang telah memberikan pengetahuannya

kepada penulis.

3. Beginer Subhan S. Pi M.Si selaku dosen penguji tamu dan Dr. Ir. Henry

M. Manik, M.T selaku komisi pendidikan Departemen Ilmu dan Teknologi

Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor,

pada ujian skripsi atas evaluasi dan saran yang diberikan kepada penulis.

4. Dr. Ir. Budi Hascaryo Iskandar selaku instruktur selam FDC-IPB atas ilmu

(8)

6. Staf WCS Bang Irfan Yulianto, Bang Yudi Herdiana, Bang Efin

Mutaqqin, Bang Tasrif Kartawijaya, Mba Susi dan Mba Shinta atas

masukan dan saran selama pelaksanaan penelitian ini.

7. Keluarga besar ITK 44 atas persahabatan, kekeluargaan dan motivasi

selama menjalani masa perkuliahan serta pelajaran dan pengalaman hidup

yang berharga kepada penulis.

8. Fisheries Diving Club IPB atas pengajaran dan pengalamannya selama ini

serta teman-teman Diklat 25 FDC-IPB (Taufik, Iqbal, James, Luki,

Herbet, Silvia, Apoy, Dian, Emprit, Ratih, Ami, Pustika, Hedra, Fadillah,

dan Muti) atas dukungan, kekeluargaan, kebersamaan dan motivasi dalam

suka maupun duka dalam membantu penulis menyelesaikan perkuliahan

9. Seluruh warga Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Institut

Pertanian Bogor atas kebersamaannya selama masa perkuliahan.

Seluruh pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

Akhir kata semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.

Bogor, September 2012

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 12 Februari 1989 dari

pasangan Abdul Hamid Tarigan (Alm) dan Tati Supriati sebagai anak

ketiga dari tiga bersaudara. Pada tahun 2007 penulis lulus dari SMA

Negeri 2 Bogor, kemudian di terima di Institut Pertanian Bogor

Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan melalui jalur Seleksi

Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Selama menjalani kuliah di IPB, penulis aktif dalam

Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan (HIMITEKA) sebagai anggota Divisi

Penggembangan sumberdaya Manusia (2009/1010). Penulis juga aktif dalam Organisasi

Fisheries Diving Club (FDC-IPB) sebagai Divisi Peralatan (2008/2009) , Publikasi dan

Dokumentasi (2009/2010) serta Penelitian dan Pengembangan (2010/2011). Selain itu,

penulis juga aktif sebagai Asisten Praktikum pada mata kuliah Biologi Laut (2009/2010),

Metode Observasi Bawah Air (2009/2010), Ekologi Laut Tropis (2010/2011) dan Selam

Ilmiah (2011/2012). Penulis juga turut serta dalam kegiatan penelitian bersama FDC-IPB

dalam Ekspedisi Zooxhanthellae X di Kabupaten Biak-Numfor, Papua (2009), Ekspedisi

Zooxhanthellae XI di Kepulauan Kayoa, Halmahera Selatan , Maluku Utara (2011) serta kegiatan Monitoring Perkembangan Komunitas Sumberdaya Ikan pada Terumbu Karang

alami di Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara bersama Balai Riset Pemulihan

Sumberdaya Ikan Jatiluhur KKP (2011). Penulis juga aktif dalam mengikuti beberapa

kegiatan PKM diantaranya PKM AI dan PKM-P.

Untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan di Fakultas

(10)

DAFTAR ISI

2.1.1 Pengertian dan deskripsi terumbu karang ... 3

2.1.2 Pengaruh SPL terhadap pemutihan karang ... 7

2.2 Sistem Penginderaan Jauh Termal ... 10

2.3 Karakteristik Satelit Aqua MODIS ... 11

3. METODOLOGI PENELITIAN ... 17

3.3.2 Pengolahan data terumbu karang ... 20

3.4 Analisis Data ... 21

3.4.1 Analisis sebaran SPL ... 21

3.4.2 Analisis data karang ... 21

3.4.3 Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis) .. 22

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25

4.1 Profil SPL dari Citra Satelit Aqua MODIS pada saat terjadi Pemutihan Karang ... 25

4.2 Indeks Pemutihan (Bleaching) pada Setiap Lokasi Pengamatan ... 27

4.3 Hubungan Perubahan SPL Terhadap Persentase Pemutihan Tingkat Genera... 31

4.4 Hubungan SPL dengan Pemutihan Karang ... 39

4.4.1 Pengamatan bulan Mei 2010 ... 39

4.4.2 Pengamatan bulan Juli 2010 ... 43

(11)

v

5.2 Saran ... 52

DAFTAR PUSTAKA ... 53

LAMPIRAN ... 57

(12)

vi

1. Kajian perubahan suhu , emisi CO2, permukaan air laut

dari tahun 1880-2000 ... 9

2. Spesifikasi satelit Aqua MODIS ... 13

3. Kegunaan utama dan panjang gelombang kanal-kanal

sensor MODIS ... 14

4. Koefisien kanal 31 dan 32 untuk Aqua MODIS ... 15

5. Nilai indeks pemutihan (%) pada bulan Mei 2010, Juli 2010, dan

(13)

vii

1. Anatomi hewan karang ... 4

2. Jendela atmosfer dalam spektrum gelombang elektromagnetik ... 11

3. Satelit Aqua MODIS ... 12

4. Peta lokasi penelitian... 17

5. Diagram pengolahan data citra satelit ... 19

6. Pemutihan warna pada genus karang. Keterangan : (a)kondisi normal;(b) kondisi Pale/pucat sebagian; (c) kondisi 50-80 % terjadi pemutihan; (d) kondisi 80-100 % terjadi pemutihan dan warna normal ... 21

7. Fluktuasi SPL rata-rata bulanan periode Januari 2006 – Februari 2011 hasil pendugaan citra satelit Aqua MODIS ... 25

8. Visualisisasi SPL secara spasial hasil pendugaan citra satelit MODIS pada bulan April 2010 (A) dan bulan Mei 2010 (B) ... 26

9. Nilai SPL bulan Mei 2010, Juli 2010, dan Februari 2011 pada setiap lokasi pengamatan hasil pendugaan citra satelit MODIS pada setiap lokasi pengamatan ... 29

10.Besaran nilai trend pemutihan sebagai fungsi anomali panas ... 30

11.Persentase kategori pemutihan koloni karang berdasarkan tingkat genera pada bulan Mei 2010 ... 32

12.Persentase kategori pemutihan koloni karang berdasarkan tingkat genera pada bulan Juli 2010 ... 33

13.Persentase kategori pemutihan koloni karang berdasarkan tingkat genera pada bulan Februari 2011 ... 34

14.Proporsi karang pada periode pengamatan Mei 2010, Juli 2010, dan Februari 2011 ... 35

15.Analisis komponen utama antara SPL dengan indeks pemutihan pada sumbu satu (F1) dan sumbu dua (F2) pada pengamatan bulan Mei 2010 ... 40

(14)

viii

18.Hasil pengelompokkan stasiun penelitian menggunakan analisis komponen utama berdasarkan sumbu satu dan sumbu tiga

pada bulan Mei ... 42

19.Analisis komponen utama antara SPL dengan indeks pemutihan pada sumbu satu (F1) dan sumbu dua (F2) pada pengamatan bulan

Juli 2010 ... 44

20.Hasil pengelompokkan stasiun penelitian menggunakan analisis komponen utama berdasarkan sumbu satu dan sumbu dua

pada bulan Juli... 44

21.Analisis komponen utama antara SPL dengan indeks pemutihan pada sumbu satu (F1) dan sumbu tiga (F3) pada pengamatan bulan

Juli 2010 ... 45

22.Hasil pengelompokkan stasiun penelitian menggunakan analisis komponen utama berdasarkan sumbu satu dan sumbu tiga

pada bulan Juli... 46

23.Analisis komponen utama antara SPL dengan indeks pemutihan pada sumbu satu (F1) dan sumbu dua (F2) pada pengamatan bulan

Februari 2011 ... 48

24.Hasil pengelompokkan stasiun penelitian menggunakan analisis komponen utama berdasarkan sumbu satu dan sumbu dua

pada bulan Februari ... 48

25.Analisis komponen utama antara SPL dengan indeks pemutihan pada sumbu satu (F1) dan sumbu tiga (F3) pada pengamatan bulan

Februari 2011 ... 49

26.Hasil pengelompokkan stasiun penelitian menggunakan analisis komponen utama berdasarkan sumbu satu dan sumbu tiga

(15)

ix

1. Stasiun penelitian ... 58

2. Rataan SPL hasil pendugaan dari citra satelit Aqua MODIS selama Januari 2006- Februari 2011 pada Perairan Kepulauan Weh ... 59

3. Data kategori karang yang mengalami pemutihan ... 60

4. Dokumentasi genera karang yang mengalami pemutihan pada saat pengamatan bulan Mei 2010 ... 62

5. Hasil analisis komponen utama pada bulan Mei 2010 ... 63

6. Hasil analisis komponen utama pada bulan Juli 2010 ... 67

(16)

1

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ekosistem terumbu karang merupakan salah satu ekosistem pesisir yang

terdapat di laut dangkal yang hangat dan bersih, serta memiliki keanekaragaman

hayati yang sangat tinggi. Selain itu terumbu karang berperan penting sebagai

tempat mencari makan, daerah asuhan, tempat memijah bagi berbagai macam

biota laut, disamping juga berperan sebagai pelindung pantai dari hempasan

ombak (Supriharyono,2007).

Sejalan dengan pemanfaatan ekonomi ekosistem terumbu karang terdapat

pula ancaman terhadap ekosistem ini akibat pemanasan global dimana terjadi

peningkatan suhu permukaan laut dunia. Hasil kajian Intergovernmental Panel on

Climate Change (IPCC ) pada kurun waktu dua belas tahun terakhir (1995-2006) menunjukkan kenaikan suhu permukaan bumi akibat pemanasan global, dengan

kenaikan rata-rata sebesar 0,14 ˚C. Pemanasan global tersebut mengakibatkan

banyak kejadian pemutihan karang. Salah satu dampak adanya pemanasan global

dengan naiknya suhu menyebabkan sebagian terumbu karang mengalami

kematian masal secara besar-besaran hampir di seluruh dunia pada tahun 1998

(Baker et al.,2008).

Pada tahun 2010 kejadian pemutihan karang muncul kembali di Indonesia,

dimana Reef Check Indonesia (2010) melaporkan telah terjadi pemutihan karang

pada 11 provinsi di Indonesia yaitu Aceh, Sumbar, Jatim, Bali, Sulsel, Sultra,

Sulteng, NTB, Papua Barat dan Maluku. Pada bulan Mei tahun 2010 survei yang

dilakukan Wildlife Conservation Society (WCS) mengungkapkan telah terjadi

(17)

terjadinya pemutihan masal di Kepulauan Weh Nangroe Aceh Darussalam dengan

persentase pemutihan karang hingga 88 % (Ardiwijaya et al,.2010). Pemutihan karang tersebut dapat menyebabkan kematian karang yang memberikan dampak

merugikan, baik dari sisi ekologis maupun ekonomis.

Data SPL secara kontinu bisa didapatkan melalui rekaman sensor satelit

MODIS. Variasi tahunan SPL yang kontinu di suatu lokasi dapat

menggambarkan sebaran SPL di lokasi tersebut pada suatu musim dari tahun ke

tahun. Informasi ini sangat berguna untuk melihat hubungan antara perubahan

suhu permukaan laut terhadap pemutihan karang di kepulauan Weh, sehingga

perlu dilakukan penelitian mengenai perubahan SPL pada saat terjadinya

fenomena pemutihan (bleaching) tersebut. Pada penelitian ini dibatasi penyebab pengaruh SPL terhadap pemutihan karang, sedangkan penyebab-penyebab lain

yang berpengaruh terhadap pemutihan karang, seperti terjadinya sedimentasi,

perubahan salinitas, penyakit, tereksposnya hewan karang di udara, dianggap tetap

atau diabaikan.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tren perubahan SPL

secara spasial dan temporal pada saat terjadinya pemutihan karang serta mengkaji

pengaruh SPL terhadap pemutihan karang di Perairan Kepulauan Weh pada tahun

(18)

3

2.1 Terumbu Karang

2.1.1 Pengertian dan deskripsi terumbu karang

Terumbu adalah endapan-endapan masif yang penting dari kalsium

karbonat yang dihasilkan oleh karang (filum Cnidaria, kelas Anthozoa, ordo

Scelerectania) dengan sedikit tambahan dari alga berkapur dan

organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat (Nybakken, 1992).

Pembentukan terumbu karang merupakan proses yang lama dan kompleks.

Berkaitan dengan pembentukan terumbu, karang terbagi atas dua kelompok yaitu

karang yang membentuk terumbu (karang hermatipik) dan karang yang tidak dapat membentuk terumbu (karang ahermatipik). Karang hermatipik adalah

koloni karang yang dapat membentuk bangunan atau terumbu dari kalsium

karbonat (CaCO3), sehingga sering disebut pula reef building corals. Sedangkan

karang ahermatipik adalah koloni karang yang tidak dapat membentuk terumbu.

(Supriharyono,2007).

Polip karang memiliki tiga lapisan tubuh yaitu ektodermis, mesoglea, dan

endodermis. Ektodermis merupakan bagian terluar dari polip karang, dibagian ini

terdapat mulut yang sama peranannya sebagai anus. Tentakel yang berada

disekitar mulut memiliki sel mukus dan nematokis yang berperan dalam

menangkap mangsa. Mesoglea merupakan jaringan penghubung antara bagian

luar dan dalam pada polip karang. Jaringan ini terdiri atas sel-sel, serta kolagen

dan mukopolisakarida. Pada sebagian besar karang, epidermis akan menghasilkan

(19)

dalam polip karang, endodermis atau yang lebih dikenal dengan gastrodermis

merupakan tempat tinggalnya alga zooxhanthellae (Gambar 1).

Gambar 1. Anatomi hewan karang (Sumber : Veron, 2002)

Terumbu karang merupakan ekosistem yang khas terdapat di daerah tropis.

Ekosistem ini mempunyai produktivitas organik yang sangat tinggi, demikian pula

keanekaragaman biota yang terdapat di dalamnya. Hewan karang batu umumnya

merupakan koloni yang terdiri atas banyak individu berupa polip yang bentuk

dasarnya seperti mangkok dengan tepian berumbai-umbai (tentakel). Tiap polip

tumbuh dan mengendapkan kapur yang membentuk kerangka. Polip ini akan

memperbanyak diri dengan jalan pembelahan berulang kali (secara vegetatif)

hingga satu koloni karang bisa terdiri dari ratusan ribu polip, namun terdapat pula

perbanyakan secara generatif yang menghasilkan larva yang disebut dengan

planula. Planula ini terbawa arus dan tumbuh dan menjadi individu baru. Pada

(20)

yang dikenal dengan nama Zooxhanthellae. Keduanya mempunyai hubungan

simbiosis mutualisme, dimana Zooxhanthellae melalui proses fotosintesis membantu memberi suplai makanan dan oksigen bagi polip dan juga membantu

dalam proses pembentukan kerangka kapur. Sebaliknya polip menghasilkan

sisa-sisa metabolisme berupa karbon dioksida, fosfat, dan nitrogen yang digunakan

oleh zooxhanthellae untuk fotosinteis dan pertumbuhannya (Nondji, 2005).

Karang batu memerlukan persyaratan hidup tertentu untuk dapat membentuk

terumbu. Menurut Dahuri (2003) distribusi dan pertumbuhan ekosistem terumbu

karang tergantung dari beberapa parameter fisika yaitu (1) kecerahan, (2)

temperatur, (3) salinitas, dan (4) sirkulasi arus dan sedimentasi.

1) Kecerahan

Cahaya matahari merupakan salah satu parameter utama yang berpengaruh

dalam pembentukan terumbu karang. Penetrasi cahaya matahari merangsang

terjadinya proses fotosintesis oleh Zooxhanthellae simbiotik dalam jaringan karang. Tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis akan berkurang dan

bersamaan dengan itu kemampuan karang untuk membentuk terumbu (CaCO3)

akan berkurang pula. Kebanyakan terumbu karang dapat berkembang dengan

baik pada kedalaman 25 meter atau kurang. Pertumbuhan karang sangat

berkurang saat tingkat laju produksi primer sama dengan respirasinya (zona

kompensasi) yaitu kedalaman di mana kondisi intensitas cahaya berkurang

sekitar 15-20 persen dari intensitas cahaya di lapisan permukaan air.

2) Temperatur

Pada umumnya, terumbu karang tumbuh secara optimal pada kisaran suhu

(21)

kisaran tersebut masih bisa ditolerir oleh spesies tertentu dari jenis karang

hermatifik untuk dapat berkembang dengan baik. Karang hermatifik dapat

bertahan pada suhu di bawah 20˚C selama beberapa waktu dan dapat

mentolerir suhu hingga 36˚C dalam waktu yang singkat. Pada kejadian

buangan air panas dari industri gas alam cair (LNG) di Bontang, Kalimantan

Timur yang mencapai suhu 37˚C telah menyebabkan kematian terumbu karang

di sekitarnya.

3) Salinitas

Banyak spesies karang peka terhadap perubahan salinitas yang besar.

Umumnya, terumbu karang tumbuh dengan baik di sekitar wilayah pesisir ada

salinitas 30-35 ‰. Meskipun terumbu karang mampu bertahan pada salinitas

di luar kisaran tersebut, pertumbuhannya menjadi kurang baik bila

dibandingkan pada salinitas normal. Namun demikian, terdapat pula terumbu

karang yang mampu berkembang di kawasan perairan dengan salinitas 42 ‰,

seperti di wilayah Timur Tengah.

4) Sirkulasi arus dan Sedimentasi

Arus diperlukan dalam proses pertumbuhan karang dalam hal menyuplai

makanan berupa mikroplankton. Arus juga berperan dalam proses

pembersihan dari endapan-endapan material dan menyuplai oksigen yang

berasal dari laut lepas. Oleh sebab itu, sirkulasi arus sangat berperan penting

dalam proses transfer energi. Arus dan sirkulasi air ini juga berperan dalam

proses sedimentasi. Sedimentasi dari partikel lumpur padat yang dibawa oleh

aliran permukaaan (surface run off) akibat erosi dapat menutupi permukaan

(22)

karang tetapi juga terhadap biota yang hidup berasosiasi dengan habitat

tersebut. Partikel lumpur yang tersedimentasi tersebut dapat menutupi polip

sehingga respirasi organisme terumbu karang dan proses fotosintesis oleh

zooxanthellae akan terganggu.

2.1.2. Pengaruh SPL terhadap pemutihan karang

Suhu merupakan salah satu faktor yang amat penting bagi kehidupan

organisme di lautan, karena suhu mempengaruhi baik aktivitas metabolisme

maupun perkembangbiakan dari organisme-organisme tersebut. Daerah tropik

lebih banyak menerima panas daripada daerah kutub, yang pada dasarnya

disebabkan oleh tiga faktor : pertama, sinar matahari yang merambat melalui

atmosfer akan banyak kehilangan panas sebelum mencapai daerah kutub, bila

dibandingkan daerah ekuator. Kedua, oleh karena besarnya perbedaan sudut

datang sinar matahari ketika mencapai permukaan bumi. Pada daerah kutub sinar

matahari yang sampai di permukaan bumi akan tersebar pada daerah yang lebih

luas dari pada di daerah ekuator. Ketiga, di daerah kutub lebih banyak panas yang

diterima oleh permukaan bumi yang dipantulkan kembali ke atmosfer. Hal ini

sekali lagi disebabkan oleh sudut relatif ketika sinar matahari mencapai

permukaan bumi (Hutabarat dan Evans, 2006).

Indonesia berada pada wilayah tropik dengan kisaran SPL sebesar 27˚C

hingga 29 ˚C (Nondji, 2005) pada lapisan permukaan tersebut merupakan lapisan

hangat akibat pancaran radiasi matahari. Sebaran SPL yang hangat tersebut

berpengaruh terhadap intensitas cahaya yang dibutuhkan oleh terumbu karang

(23)

Perairan yang jernih memungkinkan penetrasi cahaya bisa sampai pada

lapisan yang sangat dalam, sehingga hewan karang dapat bertahan hidup pada

lapisan yang sangat dalam, namun secara umum terumbu karang tumbuh baik

pada kedalaman kurang dari 20 m (Kinsman, 1964 dalam Supriharyono, 2007),

walaupun tidak sedikit spesies karang yang tidak mampu bertahan pada

kedalaman hanya satu meter, akibat kekeruhan air dan tingkat sedimentasi yang

tinggi, seperti yang terjadi di pantai utara Pulau Jawa (Supriharyono, 2007).

Akhir dekade tahun 2000-an telah terjadi degradasi terhadap ekosistem

terumbu karang yang banyak disebabkan oleh adanya aktifitas manusia dan

perubahan lingkungan (Budemeier et al,.2004). Salah satu faktor lingkungan

yang menyebabkan terjadinya degradasi adalah terjadinya peningkatan suhu

permukaan laut yang terjadi secara global terhadap dunia.

The Third Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)

menemukan bahwa pemanasan atmosfer dan lautan sejak akhir abad ke-19 akan

terus meningkat pada masa mendatang. Sebagai contoh, rata-rata temperatur permukaan bumi telah mengalami peningkatan sebesar 0,4-0,8 °C atau +0,7-1,4

°F pada akhir abad ke-19 dan diprediksikan pada tahun 2050 akan terjadi

peningkatan rata-rata temperatur permukaan bumi dengan nilai berkisar dari

0,8-2,6 °C atau +4,7 °F dan kembali meningkat pada rata tahun 2100 menjadi

1,4-5,8 °C atau +2,5-10,4 °F. Pada tabel 1 juga diperlihatkan mengenai perubahan

SPL daerah tropis pada tahun 2100 diperkirakan akan terjadi peningkatan sebesar

(24)

Tabel 1. Kajian perubahan suhu permukaan air laut dari tahun 1880- 2000

Variable Pengamatan Perkiraan

1880 2000 2050 2100

Pemutihan karang terjadi akibat berbagai macam tekanan, baik secara

alami maupun karena manusia, yang menyebabkan degenerasi atau hilangnya

zooxanthellae pewarna dari jaringan karang. Dalam keadaan normal, jumlah

zooxanthellae berubah sesuai dengan musim sebagaimana penyesuaian karang terhadap lingkungannya. Pemutihan dapat menjadi sesuatu hal yang biasa

dibeberapa daerah.

Selama peristiwa pemutihan, karang kehilangan 60–90% dari jumlah

zooxanthellae-nya dan zooxanthellae yang masih tersisa dapat kehilangan 50–

80% dari pigmen fotosintesisnya. Ketika penyebab masalah itu disingkirkan,

karang yang terinfeksi dapat pulih kembali, tetapi jumlah zooxanthellae kembali

normal, tetapi hal ini tergantung dari durasi dan tingkat gangguan lingkungan.

Gangguan yang berkepanjangan dapat membuat kematian sebagian atau

keseluruhan tidak hanya kepada individu koloni, tetapi juga terumbu karang

secara luas. Belum banyak yang dimengerti dari mekanisme pemutihan karang.

Akan tetapi, diperkirakan dalam kasus tekanan termal, kenaikan suhu menganggu

(25)

kimiawi berbahaya yang merusak sel-sel mereka. Pemutihan dapat pula terjadi

pada organisme-organisme bukan pembentuk terumbu karang seperti karang

lunak (soft coral), anemon dan beberapa jenis kima raksasa tertentu (Tridacna

sp.), yang juga mempunyai alga simbiosis dalam jaringannya. Sama seperti

karang, organisme-organisme ini dapat juga mati apabila kondisi-kondisi yang

mengarah kepada pemutihan cukup parah (Budemeier et al,.2004).

2.2 Sistem Penginderaan Jauh Termal

Jumlah panas yang dipancarkan oleh setiap benda dipengaruhi oleh

panjang gelombang yang digunakan. Perubahan suhu benda dipengaruhi oleh

sifat thermal bendanya, yaitu: konduktivitas thermal (tingkat penerusan panas melalui suatu benda), kapasitas thermal (kemampuan benda untuk menyimpan

panas), kebauran thermal (kemampuan benda untuk memindahkan panas matahari dari permukaan benda ke bagian dalamnya), dan ketahanan thermal (ukuran tanggapan suatu benda terhadap perubahan suhu). Sistem thermal dalam

penginderaan jauh, suhu pancaran yang berasal dari objek di permukaan bumi dan

mencapai sensor thermal direkam oleh sensor tersebut. Hasil rekaman dapat

berupa citra dan non-citra. Citra yang dimaksud di sini adalah citra inframerah

thermal yang berupa gambaran dua dimensional atau gambaran piktorial. Hasil non citra berupa garis atau kurva spektral, satu angka, atau serangkaian angka

yang mencerminkan suhu pancaran objek yang terekam oleh sensor thermal (Sutanto, 1994).

Pengukuran suhu permukaan di bumi dapat dilakukan dengan alat

pendeteksi yang peka terhadap spektrum inframerah. Pada spektrum tersebut

(26)

pengukuran suhu permukaan dilakukan pada panjang gelombang 3,5m m– 5,5m

m dan 8m m – 14m m. Pada panjang gelombang tersebut hambatan atmosfer

relatif kecil sehingga tenaga termal dapat melalui atmosfer (Sabins,1978 dalam

Nurheryanto, 2009).

Sutanto (1994) menyatakan bahwa jendela atmosfer pada panjang

gelombang 10 μ m – 12 μ m dapat digunakan untuk mendeteksi suhu di

permukaan bumi yang berkisar 27 ºC atau 300 ºK, sedangkan panjang gelombang

3 μ m – 5 μ m digunakan untuk pendeteksian suhu permukaan bumi yang lebih

panas (misalnya : letusan gunung berapi, benda panas, hutan yang terbuka, dan

sebagainya) yang bersuhu 600 ºK –700 ºK (Gambar 2).

Gambar 2. Jendela atmosfer dalam spektrum gelombang elektromagnetik (sumber : Turco, 2002 dalam Nurheryanto, 2009)

2.3 Karakteristik Satelit Aqua MODIS

MODIS adalah instrument kunci pada satelit Terra (EOS AM) dan Aqua

(EOS PM) yang merupakan bagian dari program antariksa Amerika Serikat, National Aeronautics and Space Administration (NASA). MODIS pertama kali

(27)

spesifikasi lebih fokus untuk daerah daratan. Pada tanggal 4 Mei 2002

diluncurkan satelit Aqua yang membawa instrument MODIS dengan spesifikasi daerah laut. Satelit Aqua MODIS memiliki misi untuk mengumpulkan informasi

tentang siklus air di bumi, termasuk penguapan dari samudera, uap air di

atmosfer, awan, presipitasi, kelembaban tanah, es yang ada di darat, serta salju

yang menutupi daratan. Variabel yang diukur oleh satelit Aqua antara lain

tumbuhan yang menutupi daratan, fitoplankton dan bahan organik terlarut di

lautan, serta suhu udara, daratan dan air (Graham, 2005 dalam Kharif, 2011).

Satelit Aqua MODIS dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Satelit Aqua MODIS (sumber: NASA, 2011)

Satelit Aqua MODIS mempunyai orbit polar sun-synchronus, yang artinya satelit akan melewati tempat-tempat yang terletak pada lintang yang sama dan

dalam waktu lokal yang sama pula. Satelit melintasi equator pada siang hari

mendekati pukul 13.00 waktu lokal. Satelit mengelilingi bumi setiap satu sampai

(28)

Tabel 2. Spesifikasi Satelit Aqua MODIS

Orbit

705 km, 1:30 p.m, ascending node (Aqua), sun-synchronous, near-polar, sirkular Rataan Scan 20,3 rpm

Luas sapuan

2330 km (cross track) dengan lintang 10 derajat lintasan pada nadir

Dimensi teleskop 17,78 cm

Ukuran 1,0 x 1,6 x 1,0 m

Berat 228,7 kg

Daya 162,5 Watt (single orbit average)

Data 10,6 Mbps (peak per hari); 6,1 Mbps (per orbit) Kuantitas 12 bit = 4096

Resolusi spasial 250 m (band 1-2), 500 m (band 3-7), 1000 m (band 8-36)

Umur 6 tahun

Sumber : (NASA, 2011)

Sensor MODIS memiliki 36 kanal, kanal-kanal tersebut bekerja pada

kisaran panjang gelombang sinar tampak dan inframerah. Kanal-kanal ini

membuat sensor MODIS mampu mengukur parameter dari permukaan laut hingga

atmosfer. Setiap kanal pada sensor MODIS memiliki resolusi yang berbeda.

Kanal 1-2 memiliki resolusi spasial 250 m, kanal 3-7 memiliki resolusi spasial

500 m dan kanal 8-36 memiliki resolusi spasial 1000 m (NASA, 2011). Kisaran

dan kegunaan panjang gelombang kanal-kanal sensor MODIS dapat dilihat pada

Tabel 3.

Penentuan SPL menggunakan spektral infra merah jauh yang berkisar

antara 10,780 μm hingga 12,270 μm dengan kanal 31 dan 32. Pemilihan kanal

tersebut dilakukan dengan alasan emisivitas radiasi bumi sebagai black body

radiation akan maksimum pada suhu 300 ºK (suatu pendekatan rata-rata suhu

(29)

Tabel 3. Kegunaan utama dan panjang gelombang kanal-kanal sensor MODIS

(30)

Algoritma yang digunakan untuk mendapatkan nilai SPL adalah sebagai

berikut (Minnet et al,.1999 dalam Karif, 2011):

SPL = c1 + c2*T31 + c3*T31-32+ c4*( – 1)* T31-32 ... (1)

dimana :T31 = Suhu kecerahan kanal 31

T32 = Suhu kecerahan kanal 32

= Sudut Radian, dimana Scale (Sensor Zenith*π/180)

Konstanta (c1, c2, c3 dan c4) dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Koefisien kanal 31 dan 32 untuk Aqua MODIS

Koefisien T30– T31≤ 0,7 T30– T31 > 0,7

c1 1,11071 1,196099

c2 0,9586865 0,9888366

c3 0,1741229 0,1300626

c4 1,876752 1,627125

Data MODIS merupakan data yang disediakan dalam bentuk Hierarchical Data Format- Earth Observing System (HDF-EOS) file. Produk data MODIS ini terdiri dari beberapa level. Adapun beberapa jenis level data yang dihasilkan oleh

MODIS sebagai berikut (Wolfe et al,. 1998; Savtchenko et al,.2004) :

1. Level 1 merupakan data mentah ditambah dengan informasi tentang kalibrasi,

sensor, dan geolokasi. Data MODIS level 1 ini terdiri dari dua macam, yaitu :

a. Level 1a, mengandung informasi lebih yang dibutuhkan pada set data,

level 1a digunakan sebagai input untuk geolocation, calibration, dan processing (NASA , 2012a);

b. Level 1b, data yang telah mempunyai terapannya merupakan hasil dari

aplikasi sensor kalibrasi sensor pada level 1a. Data level 1 dapat diperoleh

(31)

2. Level 2 dihasilkan melalui proses penggabungan data level 1a dan 1b, data

level 2 menetapkan nilai geofisik pada tiap piksel, yang berasal dari

perhitungan raw radiance level 1a dengan menerapkan kalibrasi sensor,

koreksi atmosfer, dan algoritma bio-optik;

3. Level 3, merupakan data level 2 yang dikumpulkan dan dipaketkan dalam

periode 1 hari, 8 hari, 1 bulan, dan 1 tahun serta memiliki resolusi spasial

mulai dari 4,63 km hingga 36 km. Data tersebut sudah dikoreksi atmosferik,

yang dilakukan untuk menghilangkan hamburan cahaya yang sangat tinggi

yang disebabkan oleh komponen atmosfer. Komponen yang dikoreksi yaitu

hamburan Rayleigh dan hamburan aerosol. Data MODIS level 3 untuk produk

(32)

17

3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1Waktu dan Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian berada di wilayah Kepulauan Weh Provinsi Nangroe

Aceh Darussalam yang terletak pada koordinat 95° 13' 02" BT - 95° 22' 36" BT

dan antara 05° 46' 28" LU- 05° 54' 28" LU (Gambar 4) . Posisi koordinat setiap

stasiun pengamatan ditampilkan pada Lampiran 1. Penelitian ini dilakukan mulai

bulan Mei 2010 hingga Mei 2012. Penelitian ini terbagi menjadi tiga tahap, tahap

pertama yaitu pengambilan data terumbu karang yang dilakukan pada bulan Mei

dan Juli 2010 serta bulan Februari 2011 oleh lembaga swadaya masyarakat

Wildlife Conservation Society (WCS).

(33)

Tahap kedua, yaitu pengolahan dan analisis data citra satelit dilakukan di

Laboratorium Penginderaan Jarak Jauh dan SIG Kelautan, Fakultas Perikanan dan

Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor yang dilakukan pada bulan November

2011 hingga Februari 2012. Tahap ketiga berupa analisis data statistik yang

dilakukan pada bulan Maret hingga bulan Mei 2012.

3.2 Alat dan Bahan 3.2.1 Alat

Peralatan pengolahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Perangkat keras berupa seperangkat Personal computer (PC) berbasis Intel

Pentium 4 dengan sistem operasi Windows beserta perlengkapannya seperti printer dan flash disk;

2. Software yang dipergunakan meliputi Microsoft Excel 2007 untuk

menampilkan grafik perubahan SPL secara temporal , Ocean Data View (ODV) 3.0 untuk menampilkan peta sebaran SPL secara spasial dan ArcGIS

untuk membuat layout peta penelitian dan Statistica 6.0 untuk menganalisis data statistik.

3.2.2 Bahan

Bahan dan data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi :

1. Data SPL (Level 3) citra satelit Aqua MODIS dengan rataan bulanan dan

waktu perekaman dari bulan Januari 2005 hingga Februari 2011. Data

tersebut diunduh dari http://coastwatch.pfeg.noaa.gov/erddap/index.html. Data tersebut memiliki informasi mengenai garis lintang, bujur, daratan, nilai

(34)

2. Data sekunder indekspemutihan terumbu karang di Kepulauan Weh bulan

Mei dan Juli tahun 2010 serta bulan Februari 2011 yang diperoleh dari

lembaga swadaya masyarakat WCS.

3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Pengolahan citra SPL

Pengolahan citra satelit Aqua Modis untuk mendapatkan nilai sebaran SPL

dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu pengumpulan data (download citra

level 3), pemotongan citra (cropping) dan konversi data (Gambar 5). Citra setelit yang diunduh pada level ini sudah terkoreksi radiometrik dan geometrik,

kemudian dilakukan pemotongan (cropping) untuk membatasi wilayah penelitian.

(35)

Data tersebut kemudian dikonversi dalam bentuk .csv lalu di analisis

menggunakan Microsoft Excel 2007, pada tahap ini dilakukan pensortiran data yang bertujuan untuk menghilangkan data akibat adanya tutupan awan. Setelah

dilakukannya pensortiran, data kemudian divisualisasikan dalam bentuk grafik

menggunakan Microsoft Excel 2007 untuk melihat sebaran secara temporal. Grafik yang ditampilkan merupakan nilai rata-rata bulanan dari data SPL.

Selanjutnya untuk menampilkan sebaran spasial SPL digunakan perangkat

lunak ODV 3. Data yang sudah disortir kemudian diolah kembali menggunakan

ODV 3. Tampilan dari sebaran SPL berupa tampilan gambar dengan format .JPG.

3.3.2 Pengambilan data terumbu karang

Pengambilan data pemutihan karang yang dilakukan oleh WCS mengacu

pada McClanahan (2004) dimana data yang diambil berupa koloni genus karang

pada kedalaman 3-6 m. Karang dicatat dengan cara berenang sebanyak 10

kayuhan secara acak, kemudian mencatat semua koloni genus karang dengan

radius 2 m dan proses ini dilakukan sebanyak 30 pengulangan. Perubahan warna

pada karang dicatat berdasarkan pengamtan yang dilakukan pada bulan Mei 2010,

Juli 2010 dan Februari 2011.

Koloni karang yang diidentifikasi genusnya dan terindikasi mengalami

pemutihan dicatat berdasarkan perubahan warna yang terbagi menjadi tujuh

kategori. Ketujuh kategori tersebut adalah (1) tidak putih (karang sehat), (2)

pucat, (3) 0-20 % putih, (4) 20-50 % putih, (5) 50-80 % putih, (6) 80-100 % putih

dan (7) mati (McClanahan, 2004 modifikasi WCS dalam Ardiwijaya et al,.2010).

(36)

Gambar 6. Pemutihan warna pada genus karang. Keterangan : (a)kondisi pucat (kiri) dan sehat (kanan);(b) kondisi pucat sebagian; (c) kondisi 20-50 % putih ;(d) kondisi 100 % putih (kiri) dan warna sehat (kanan) (sumber : McClanahan, 2004)

3.4 Analisis Data

3.4.1 Analisis sebaran SPL

Sebaran SPL dari citra Aqua MODIS dianalisis secara spasial dan

temporal. Analisis spasial dilakukan secara visual dengan melihat pola sebaran

SPL pada saat terjadinya pemutihan karang (April dan Mei 2010). Pola

persebaran ini terlihat dari pola degradasi warna SPL. Analisis temporal nilai

SPL dilakukan secara serial tahunan dimana kedua nilai rata-rata parameter ini

dimasukan ke dalam grafik. Fluktuasi dari nilai rata-rata SPL ini memperlihatkan

fenomena yang terjadi pada saat terjadinya pemutihan karang.

3.4.2 Analisis data karang

Indeks pemutihan karang dihitung berdasarkan persentase pengamatan

pada masing-masing tujuh kategori pemutihan karang (McClanahan, 2004

modifikasi WCS dalam Ardiwijaya et al,.2010). Kategori pemutihan tersebut

kemudian diberi nilai, misalkan karang yang ditemukan sehat diberi nilai nol,

sedangkan karang yang ditemukan dalam kondisi mati diberi nilai 6, sehingga

(37)

Rumus untuk menghitung Indeks pemutihanadalah sebagai berikut,

(McClanahan, 2004 modifikasi WCS dalam Ardiwijaya et al,.2010) :

Bleaching Index (BI) = ... (2)

Keterangan: BI= Indeks pemutihan karang (Bleaching Indeks) C1= Karang sehat (Normal coloration)

3.4.3 Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis)

Analisis komponen utama merupakan metode statistik deskriptif yang

bertujuan untuk mengeksraksi informasi yang terdapat dalam suatu matriks data

yang besar, sehingga menghasilkan representasi grafik yang memudahkan

interpretasi. Analisis ini juga digunakan untuk mempelajari matriks data dari

sudut pandang kemiripan antara individu atau hubungan antara variabel.

Matriks data yang dimaksud terdiri dari data kualitatif yang terletak pada

baris dan data kuantitatif pada kolom. Analisis komponen utama ini digunakan

untuk mengetahui variasi beberapa kategori karang yang mengalami pemutihan

dengan variasi fisik perairan. Data kualitatif terdiri dari 13 stasiun penelitian yang

terbagi menjadi tiga zonasi, yakni Panglima Laot, Tourist Area dan Open Acess,

sedangkan data kuantitatif terdiri dari variasi fisik perairan, yakni nilai SPL (˚C)

di setiap stasiun penelitian serta jumlah kategori karang yang mengalami kondisi

sehat, pucat, putih 0-20 %, putih 20-50 %, putih 50-80 %, putih 80-100 %, dan

(38)

Bengen (2000), mengatakan bahwa bentuk data yang di analisis

menggunakan analisis komponen utama terdiri dari tabel atau matriks data yang

terdiri dari n individu (baris) dan pada variable (kolom) serta variabel yang

matriks. Terlebih dahulu parameter-parameter dilakukan penormalan data melalui

serangkaian proses pemusatan dan pereduksian karena tidak memiliki satuan yang

sama.

Proses pemusatan diperoleh dengan melihat selisih antara nilai parameter

inisial tertentu dengan rata-rata parameter tersebut. Proses pereduksian

merupakan hasil bagi antara nilai parameter pemusatan dengan simpangan baku

parameter tersebut. Rumus pemusatan (Bengen,2000) :

... (3)

dimana :

nilai Pusat

nilai parameter inisial rata-rata parameter

Pada prinsipnya analisis komponen utama menggunakan pengukuran jarak

euklidean (jumlah kuadrat perbedaan antara individu untuk variable yang

berkoresponden) pada data. Jarak euklidean didasarkan pada rumus menurut

(39)

= 2 ... (5)

dimana :

Jarak Euklidean ke titik A dan B Koordinat titik A pada sumbu J Koordinat titik B pada sumbu J Jumlah variabel kolom (stasiun)

Karakteristik nilai fisik perairan (SPL) dan karang yang mengalami pemutihan, dari 1 hingga p)

Hasil perhitungan analisis komponen utama ini didapatkan hubungan

antara nilai SPL dengan beberapa kategori karang yang mengalami pemutihan.

Kualitas informasi pada setiap sumbu diukur dari besarnya akar ciri yang

dihasilkan. Akar ciri merupakan jumlah varian dari masing-masing komponen

utama. Akar ciri tersebut memungkinkan untuk mengevaluasi besarnya ragam

yang dijelaskan oleh setiap sumbu faktorial. Perhitungan analisis komponen

(40)

25

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Profil SPL dari Citra Satelit Aqua MODIS pada saat terjadi Pemutihan Karang

Distribusi SPL selama 5 tahun, menunjukkan adanya peningkatan SPL

yang terjadi pada tahun 2010. Peningkatan SPL ini mulai terjadi pada bulan Maret

dengan nilai rata-rata 30,09 ˚C, naik 1 ˚C dibandingkan bulan Februari dengan

nilai rata-rata 29,82 ˚C. Peningkatan SPL ini terus berlanjut hingga pada bulan

April dengan nilai 31,29 ˚C dan bulan Mei 31,17 ˚C (Gambar 7). Rataan SPL

hasil pendugaan citra satelit Aqua MODIS pada perairan Kepulauan Weh selama

kurun waktu dari bulan Januari 2006 hingga Februari 2011 ditampilkan pada

Lampiran 2.

Gambar 7. Fluktuasi SPL rata-rata bulanan periode Januari 2006 - Februari 2011 hasil pendugaan citra satelit Aqua MODIS

(41)

Pada Gambar 7 ditampilkan sebaran SPL secara spasial pada bulan April

dan Mei 2010. Hasil visualisasi diketahui bahwa pada bulan April SPL

maksimum dijumpai di kawasan Timur Pulau Weh dengan nilai berkisar 31 ˚C

hingga 32 ˚C, sedangkan SPL minimum ditemukan di bagian barat dan utara

Pulau Weh dengan nilai berkisar 31 ˚Chingga 31,25 ˚C.

Pada citra bulan Mei ditemui SPL maksimum di kawasan timur dan

tenggara Pulau Weh dengan nilai berkisar 31 ˚C hingga 32 ˚C , sementara SPL

minimum ditemukan pada bagian barat Pulau Weh dengan nilai 31 ˚C. Secara

geografis pada wilayah timur dan tenggara Pulau Weh memiliki nilai SPL relatif

sama, yaitu sebesar 31,25 ˚C sementara pada bagian barat Pulau Weh SPL

memiliki nilai relatif lebih rendah dari bagian timur dan tenggara Pulau Weh,

dengan nilai 31 ˚C (Gambar 8).

(A). (B).

Gambar 8. Visualisisasi SPL secara spasial hasil pendugaan citra satelit MODIS pada bulan April 2010 (A) dan bulan Mei 2010 (B)

Bulan April dan Mei merupakan musim peralihan barat menuju timur.

(42)

hangat dan massa air dingin, diduga disebabkan terjadi perubahan pola pergerakan

angin musim yang mendorong massa air permukaan. Pada musim ini juga terlihat

pola pergerakan SPL yang hangat terkonsenterasi pada bagian timur Pulau Weh

(Gambar 8). Hal ini diduga disebabkan mulai berpengaruhnya arus musim timur

yang cenderung membawa massa air bersuhu hangat dari Selat Malaka

(Muklis,2008), selain itu arus menuju wilayah timur mulai melemah dan berbalik

arah hingga di beberapa tempat terjadi olakan-olakan (eddies) (Nondji, 2002 dalam Muklis, 2008).

4.2 Indeks Pemutihan (Bleaching) pada Setiap Lokasi Pengamatan Pemutihan karang terjadi akibat berbagai macam tekanan, baik secara

alami maupun karena manusia, dalam keadaan normal, jumlah zooxanthellae

berubah sesuai dengan musim sebagaimana penyesuaian karang terhadap

lingkungannya (Brown et al., 1999; Fitt et al., 2000). Indeks pemutihan

menggambarkan pemutihan yang terjadi pada beberapa jenis karang untuk setiap

lokasi pengamatan. Semakin tinggi nilai indeks pemutihan, maka semakin tinggi

pula pemutihan jenis karang yang terjadi pada saat pengamatan, sebaliknya

semakin rendah nilai indeks pemutihan pada setiap lokasi pengamatan, maka

semakin kecil pula pemutihan jenis karang yang terjadi pada lokasi tersebut.

Indeks pemutihan pada setiap lokasi di Pulau Weh mempunyai nilai yang

bervariasi, namun secara umum indeks pemutihan memiliki nilai lebih tinggi pada

saat pengamatan bulan Mei dan bulan Juli 2010 (Tabel 5).

Pada bulan Mei 2010 indeks pemutihan tertinggi terjadi pada stasiun 1

(Gapang) dengan nilai sebesar 70,23 %, sedangkan indeks pemutihan terendah

(43)

karang yang memutih memiliki nilai sebesar 66,9 % dan sebagian besar

mengalami pemucatan dengan nilai 21 %. Pada bulan Juli 2010 indeks pemutihan

tertinggi masih terjadi pada lokasi pengamatan yang sama, yaitu stasiun 1

(Gapang) dengan nilai sebesar 95,53 %, sedangkan indeks pemutihan terendah

terdapat pada stasiun 7 (Jaboi) dengan nilai 45,18 %.

Tabel 5. Nilai indeks pemutihan (%) pada bulan Mei 2010, Juli 2010, dan Februari 2011 untuk setiap lokasi pengamatan

Stasiun Nama Lokasi

Indeks

Pada bulan Februari 2011 mulai terlihat adanya penurunan nilai indeks

pemutihan dibandingkan dengan bulan Mei dan Juli 2010. Pada bulan Februari

2011 terlihat mulai terjadi pemulihan, hal ini ditunjukkan untuk setiap proporsi

karang yang sebelumnya mengalami pemutihan dan pucat telah kembali dalam

(44)

sebesar 15 %. Data Kategori karang yang mengalami pemutihan ditampilkan

pada Lampiran 3.

Secara umum tingginya SPL pada bulan Mei telah menyebabkan

terjadinya pemutihan. Nilai SPL pada bulan Mei 2010 memiliki nilai di atas 31

˚C untuk setiap stasiun pengamatan, sedangkan pada bulan Februari 2011 SPL

mulai mengalami penurunan menjadi 28-29 ˚C pada setiap stasiun pengamatan

(Gambar 9).

Gambar 9. Nilai SPL bulan Mei 2010, Juli 2010, dan Februari 2011 hasil pendugaan citra satelit MODIS pada setiap lokasi pengamatan

Mayoritas pemutihan karang secara besar-besaran dalam kurun waktu dua

dekade terakhir ini berhubungan dengan peningkatan suhu permukaan laut (SPL)

dan khususnya pada hotspots (Hoegh-Guldberg, 1999 dalam Westmacott, S et al.,

2000 ). Hasil penelitian Goreau dan Hayes (2005a) mengatakan bahwa

peningkatan suhu 1-2 ˚C di atas suhu rata-rata dalam satu bulan dapat

(45)

menyebabkan pemucatan (bleaching) pada hewan karang, hal ini terjadi pada

musim peralihan ke-1 pada bulan April – Mei tahun 2010, dimana terjadi

kenaikan SPL sebesar 1-2˚C, dibandingkan bulan-bulan sebelumnya. hotspot

adalah daerah dimana SPL memiliki nilai suhu tertinggi dibandingkan dari

rata-rata selama 10 tahun di lokasi tersebut (Goreau dan Hayes, 1994 dalam

Westmacott, S. et al., 2000).

Perubahan suhu secara signifikan terjadi pada bulan April 2010 dengan

nilai 31,29 ˚C. Apabila hotspot naik lebih dari 1°C diatas maksimal tahunan

selama 10 minggu atau lebih, pemutihan pasti terjadi (Wilkinson, 1999 dalam

Westmacott, S. et al., 2000). Anomali antara 0.7- 0.9 °C, akan mengalami

pemutihan ringan dengan kondisi zooxhanthellae dapat kembali. Anomali suhu yang melebihi 0.9 °C di atas rata-rata akan menyebabkan kematian karang yang

tinggi (Gambar 10).

Gambar 10. Besaran nilai trend pemutihan sebagai fungsi anomali panas (modifikasi) (sumber : Goreau dan Hayes, 2005b)

(46)

Peristiwa kematian karang yang tinggi ini dapat terjadi, apabila dengan

anomali suhu yang panas dan terjadi secara berkepanjangan (Goreau dan Hayes,

2005b). Kenaikan suhu akan mengganggu kemampuan zooxanthellae untuk

berfotosintesis dan dapat memicu produksi senyawa kimia berbahaya yang

akhirnya merusak sel-sel zooxhanthellae pada hewan karang. Pada kondisi ini hewan karang yang kehilangan zooxanthellae menyebabkan penurunan dan

efisiensi dalam melakukan kegiatan fotosintesis pada terumbu karang yang

akhirnya menyebabkan karang mengalami kematian.

Penelitian yang dilakukan oleh Ateweberhan dan Mclanahan (2010)

mengenai respon kejadian El-Nino Southern Oscillation (ENSO) pada tahun 1998

terhadap persen penutupan terumbu karang pada 36 lokasi di Western Indian Ocean Region mengungkapkan adanya pengaruh yang signifikan yang disebabkan peningkatan SPL akibat dampak dari el-nino terhadap persen penutupan terumbu

karang dimana terlihat adanya perubahan persen penutupan terumbu karang yang

mengalami penurunan setelah kejadian el-nino pada tahun 1998. Penurunan tertinggi terjadi di pusat dan daerah tengah-northern WIO, Arab dan Oman Gulfs.

Wilayah yang sangat rentan dengan kematian karang yang tinggi adalah India

Selatan, Sri Lanka, dan Maladewa. Sedangkan perairan Laut Merah, Mayotte,

Komoro, Selatan Mozambik, Afrika Selatan, Madagaskar, Réunion, Mauritius dan

Rodrigues merupakan wilayah dengan dampak kematian rendah hingga sedang.

4.3 Hubungan Perubahan SPL Terhadap Persentase Pemutihan Tingkat Genera

Hasil pendugaan oleh Citra Satelit Aqua Modis menunjukkan adanya

(47)

dengan nilai rata-rata SPL sebesar 31,29 ˚C pada bulan April dan 31,17 ˚C pada

bulan Mei. Peningkatan SPL ini memicu terjadinya pemutihan pada sebagian

Genera karang (Gambar 11). Genera Gardinoseris, Pocillopora, Favites,

Acropora, Asteropora, dan Hydnopora, Galaxea, Echinopora, Platygra, dan Fungia merupakan sepuluh genera yang mengalami pemutihan tertinggi.

Gambar 11. Persentase kategori pemutihan koloni karang berdasarkan tingkat genera pada bulan Mei 2010

Pada bulan Juli 2010, hasil pendugaan SPL menunjukkan terjadinya

penurunan sebesar 1-2 ˚C, dengan nilai rata-rata SPL sebesar 28-29 ˚C. Genera

Leptoria, Symphyllia, Astreopora, Physogyra, Favia, Fungia, Acanthastrea, Favites, Montastrea, dan Galaxea merupakan 10 genera tertinggi yang mengalami

(48)

sebagian karang mengalami pemutihan dan sebagian lainnya telah mengalami

kematian. Karang yang mengalami kategori pemutihan tertinggi adalah genus

Leptoria sebesar 92 %,genus Symphylia sebesar 85 %, genus Astreopora sebesar

85 %, dan genus Physogyra sebesar 83 %. Genera karang yang mengalami kematian tertinggi adalah genera Acropora dengan persentase sebesar 94 %, Pocillopora dengan persentase sebesar 86 %, dan Porites branching dengan

persentase kematian sebesar 59 %.

Gambar 12. Persentase kategori pemutihan koloni karang berdasarkan tingkat genera pada bulan Juli 2010

Pada bulan Februari 2011 ditemukan sebagian genera karang dalam

kondisi sehat, sedangkan genera lainnya ditemukan dalam kondisi pucat dan mati

(Gambar 13). Genera yang banyak ditemukan dalam kondisi sehat adalah

(49)

Goniopora, Acanthastrea, Cyphastrea, Pavona, Stylophora, Montipora, Favia

Leptrastrea dan Diploastrea. Genera yang banyak ditemukan mengalami kondisi pucat, seperti Cyphastrea, Echinopora, Hydnopora, Seriatopora dan Goniastrea.

Genera yang sebagian ditemukan dalam kondisi mati, antara lain Pocillopora dan Acropora (Gambar 13).

Gambar 13. Persentase kategori pemutihan koloni karang berdasarkan tingkat genera pada bulan Februari 2011

Secara umum proporsi genera karang yang ditemukan selama tiga kali

periode pengamatan, yaitu bulan Mei 2010, bulan Juni 2010, dan bulan Februari

2011 menunjukkan adanya perubahan signifikan. Pada saat terjadinya pemutihan

karang, yaitu pada bulan Mei 2010 banyak ditemukan sebagian karang dalam

kondisi mati sebesar 4,8 %, putih sebesar 66,9 %, pucat sebesar 21 % dan sehat

sebesar 7,3 %. Pada bulan Juli 2010 ditemukan sebagian karang dalam kondisi

(50)

mati sebesar 44 % , putih sebesar 34,6 %, pucat sebesar 6,3 % dan sehat sebesar

15,2 %. Pada periode akhir pengamatan, yaitu bulan Februari 2011 ditemukan

sebagian karang dalam kondisi mati sebesar 34,7 %, putih sebesar 0,5 %, pucat

sebesar 3 %, dan 61,7 % dalam kondisi sehat (Gambar 14). Dokumentasi

mengenai genera karang yang mengalami pemutihan pada saat pengamatan bulan

Mei 2010 ditampilkan pada Lampiran 4.

Gambar 14. Proporsi karang pada periode pengamatan Mei 2010, Juli 2010, dan Februari 2011

Terdapat beberapa variasi kematian karang akibat pemutihan, koloni

karang dapat mengalami kematian atau dapat juga mengalami pemulihan. Karang

yang mengalami kematian dapat berupa kematian sebagian atau seluruhnya.

Koloni karang dengan ukuran yang besar sering mengalami kematian sebagian,

sedangkan sebagian koloni dengan ukuran kecil umumnya mengalami kematian

mutlak. Karang yang mengalami pemulihan sering diikuti dengan kejadian

turunnya suhu yang mendekati kondisi normal (Baker, et al., 2008) serta ditandai

(51)

dengan adanya karang yang baru tumbuh (recruitments) (Graham et al.,2006

dalam Smith et al., 2008).

Pada bulan Februari 2011 umumnya didominasi karang dalam kondisi

sehat, walaupun ada beberapa karang yang mengalami kematian. SPL hasil

pendugaan melalui citra satelit Aqua Modis menunjukkan bahwa SPL pada bulan Februari rata-rata berkisar diantara 28-29 ˚C, begitu juga hasil rata-rata SPL pada

bulan sebelumnya, yaitu pada bulan Desember 2010 dan Januari 2011 ditemukan

dengan kondisi SPL yang mulai berangsur-angsur menurun dengan nilai SPL 28

˚C.

Kondisi karang yang ditemukan pada kondisi sehat ini dijelaskan oleh

Birkeland (1997) yang mengatakan bahwa suhu optimal untuk pertumbuhan

karang adalah 26-28 ˚C, selain nilai suhu yang optimal tersebut, ada beberapa

faktor lain yang mengurangi dampak pemutihan karang seperti pengaruh

lingkungan dan fisik perairan, seperti paparan cahaya matahari terhadap karang

dalam kondisi yang tidak berlangsung lama, nutrient yang tinggi, rendahnya

sedimentasi (Craig et al., 2001; Salm et al., 2001 dalam Baker et al., 2008).

Hasil penelitian ini menemukan bahwa genera Pocillopora dan Acropora rentan terhadap pemutihan, sedangkan karang yang mampu menoleransi

perubahan suhu secara signifikan adalah genera Diplostrea dan Montipora. Hal ini bisa dilihat pada akhir pengamatan, yaitu bulan Februari 2011 karang

Acropora dan Pocillopora memiliki tingkat kematian sebesar 63,5 % dan 56,2 %,

sedangkan karang Diplostrea dan Montipora memiliki tingkat kematian 3,1 % dan 2,1 %. Karang-karang pembangun terumbu tidak semuanya sama dalam

(52)

masif (Porites sp.) relatif tahan terhadap tekanan suhu dan jika mengalami

pemutihan cenderung pulih dengan sedikit atau tanpa peningkatan kematian.

Genus Acropora (karang bercabang) terlihat lebih peka oleh peningkatan suhu

perairan. Dalam kasus ini bisa mencapai 95% dari koloni yang mengalami

pemutihan dan mati dalam 3-6 bulan berikutnya (Gleason dan Wellington, 1993).

Penelitian yang dilakukan oleh McClanahan mengenai dampak dan respon

pemutihan dan kematian karang pada dua lokasi berbeda, yaitu Kenya dan Great Barrier Reef (GBR), Australia mengungkapkan bahwa genera Stylophora dan

Pocillopora merupakan genera yang rentan mengalami pemutihan di kedua lokasi tersebut, sedangkan Acropora dan Porites bercabang lebih mudah mengalami

pemutihan pada lokasi pengamatan di Kenya daripada di GBR, sedangkan genera

Goniopora, Galaxea dan Pavona merupakan genera yang cenderung bertahan pada kedua lokasi tersebut (McClanahan et al., 2004).

Penelitian lainnya juga menjelaskan bagaimana respon pemutihan

beberapa genera karang di Kenya terhadap kejadian El Nino dan Indian Ocean Dipole pada tahun 1998. Penelitian tersebut mengungkapkan genera Acropora,

Millepora, Pocillopora, Porites bercabangdan Stylopohora menunjukkan respon pemutihan yang cepat dan kematian yang tinggi, sedangkan genera karang lainnya

seperti Echinopora, Favia, Favites, Galaxea, Hydnopora, Goniopohora, Leptoria, Montipora, Playgyra dan Porites masif banyak ditemukan p ada kondisi putih. Astreopora, Cocinarea, Cyphastrea dan Pavona merupakan genera yang dimana

banyak mengalami pemutihan, tetapi sedikit yang mengalami kematian

(53)

mempunyai respon yang berbeda dalam menghadapai stres yang diakibatkan

peningkatan suhu permukaan laut.

Respon yang berbeda tersebut dipengaruhi oleh jaringan yang tipis serta

usia dan ukuran koloni karang yang merupakan beberapa faktor yang

membedakan respon terjadinya pemutihan pada setiap genus karang. Pada jenis

karang Acropora yang memiliki jaringan lebih tipis memiliki sifat lebih cepat

mengalami kematian akibat peningkatan suhu yang tiba-tiba. Jaringan yang tipis

ini akan memberikan energi yang sedikit pada saat melakukan kegiatan

fotosintesis, sehingga dapat mempercepat kematian karang (Loya et al., 2001 dalam McCowan et al.,2012)

Douglas (2003) juga memaparkan mengenai respon yang berbeda pada

setiap genus karang akibat peningkatan suhu permukaan laut dapat dilihat melalui

dua perspektif, yaitu ekologi molekuler symbiodinium dan ekofisiologi karang.

Genus Symbiodinium memiliki variasi molekuler pada tingkat ribosomal RNA (rRNA) yang tercakup dalam dua clade yaitu filotipe A dan filotipe B – F (Rowan,

1998 dalam Douglas, 2003). Filotipe A, B dan C termasuk yang kosmopolit dan

terdistribusi secara luas di Atlantik dan Indo-Pasifik, meskipun ribotipe C

biasanya tidak terdapat pada daerah latitude tinggi (>35 – 400).

Variasi genetik pada kerentanan terhadap pemutihan ditunjukkan melalui

penelitian pada karang Montastrea annularis dan M. faveolata di pesisir Karibia, Panama. Spesies-spesies tersebut memiliki ribotipe A, B dan C. Karang yang

mengandung ribotipe B dan C (B mendominasi, >80% sel alga) tidak

menunjukkan gejala pemutihan secara visual saat peningkatan suhu, sedangkan

(54)

pemutihan (Rowan et al., 1997 dalam Douglas, 2003). Dari fenomena tersebut

tampaknya ribotipe C memiliki toleransi yang lebih rendah terhadap

pemutihan,akan tetapi basis biokimia dalam variasi genetis Symbiodinium saat ini

masih belum diketahui (Douglas, 2003).

4.4 Hubungan SPL dengan Pemutihan Karang

Hubungan antara SPL dengan indeks pemutihan dikelompokkan

berdasarkan analisis perhitungan komponen utama, untuk melihat seberapa besar

keterkaitan antara satu parameter dengan parameter yang lain. Parameter yang

dianalisis adalah SPL dengan indeks pemutihan karang. Indeks pemutihan karang

terbagi menjadi beberapa kategori, yaitu karang sehat, karang pucat, karang 0-20

% putih, karang 20-50 % putih , karang 50-80 % putih, 80-100 % putih dan

karang mati. Pada lokasi penelitian terbagi menjadi 13 stasiun penelitian dimana

stasiun penelitian tersebut terbagi menjadi tiga Zonasi, yaitu wilayah Panglima

laot, Open Acess dan Tourist Area.

4.4.1 Pengamatan bulan Mei 2010

Pada pengamatan bulan Mei 2010 diperoleh delapan akar ciri. Akar ciri

pertama memiliki nilai 2,51 dan mampu menerangkan keragaman data sebesar

31,38 %. Akar ciri kedua memiliki nilai 1,65 dan mampu menerangkan

keragaman data sebesar 20,68 %. Akar ciri ketiga memiliki nilai 1,48 dan mampu

menerangkan keragaman data sebesar 18,5 %. Dari ketiga akar ciri tersebut

didapatkan nilai persen keragaman total sebesar 70,56 % (Lampiran 5). sehingga

interpretasi analisis komponen utama ini dapat mewakili 70 % informasi dari data

(55)

Hasil analisis komponen utama menjelaskan pada sumbu pertama

pengaruh SPL berkorelasi positif terhadap karang yang mengalami pemutihan

pada kategori pucat, karang 0-20 % putih, dan karang 20-50 % putih. Pada sumbu

kedua didapatkan hubungan variabel SPL yang juga berkorelasi positif terhadap

karang pucat, karang 0-20 % putih dan karang 20-50 % putih (Gambar 15).

Gambar 15. Analisis komponen utama antara SPL dengan indeks pemutihan pada sumbu satu (F1) dan sumbu dua (F2) pada pengamatan bulan Mei 2010

Pada Gambar 16 merupakan hasil pengelompokkan analisis komponen

utama pada sumbu satu dan sumbu dua terhadap keseluruhan stasiun penelitian

didapatkan bahwa karang yang mengalami kematian banyak ditemukan pada

stasiun Batee Meuronron, Rubiah Sea Garden dan Ujung Kareung , sedangkan karang yang berada dalam kondisi sehat banyak ditemukan pada stasiun penelitian

F2 (20,68 %)

(56)

Jaboi dan Renteuk. Selain itu stasiun Sumur Tiga juga banyak ditemukan karang

pada kondisi sehat dan mengalami kematian.

Gambar 16. Hasil pengelompokkan stasiun penelitian menggunakan analisis komponen utama berdasarkan sumbu satu dan sumbu dua pada bulan Mei

Pada sumbu ketiga didapatkan hubungan yang berkorelasi positif di antara

variabel SPL dengan hampir semua beberapa kategori karang seperti karang

pucat, karang sehat, karang 20-50 % putih, karang 50-80 % putih, karang 80-100

% putih,dan karang mati, kecuali untuk kategori karang 0-20 % putih dimana

didapatkan korelasi yang negatif di antara variabel SPL dengan kategori karang

0-20 % putih tersebut (Gambar 17).

Hasil pengelompokkan pada sumbu satu dan sumbu tiga karang yang

banyak ditemukan pada kondisi mengalami pucat berada pada stasiun Renteuk

dan Jaboi, sedangkan karang yang ditemukan dalam kondisi mati berada pada

stasiun Rubiah Sea Garden (Gambar 18).

(57)

Gambar 17. Analisis komponen utama antara SPL dengan indeks pemutihan pada sumbu satu (F1) dan sumbu tiga(F3) pada pengamatan bulan Mei 2010

Gambar 18. Hasil pengelompokkan stasiun penelitian menggunakan analisis komponen utama berdasarkan sumbu satu dan sumbu tiga pada bulan Mei

F3 (18,51 %)

F1 (31,38 %) F3 (18,51 %)

(58)

Hubungan yang terbentuk pada sumbu satu dan sumbu kedua diperoleh

hubungan negatif antara variabel SPL terhadap kategori karang yang mengalami

kematian, sedangkan untuk sumbu ketiga didapatkan variabel SPL cenderung

berpengaruh terhadap beberapa jenis kategori karang yang mengalami pemutihan,

kecuali untuk kategori karang 0-20 % putih.

Hal ini menjelaskan bahwa pada bulan ini kenaikan SPL tidak berdampak

langsung terhadap kematian karang, mekanisme terjadinya pemutihan karang

adalah hilangnya jaringan pigmen zooxhanthellae dalam sel, yang menyebabkan

karang mengalami perubahan warna menjadi pucat atau putih sebagian apabila

kondisi ekstrim tersebut berlangsung dalam jangka waktu yang lama, maka karang

akan cepat mengalami kematian (Reid et al., 2009).

4.4.2 Pengamatan bulan Juli 2010

Pengamatan pada bulan Juli 2010 didapatkan nilai akar ciri pertama

sebesar 3,75 akar ciri pertama tersebut mampu menerangkan keragaman data

sebesar 46,97 %. Akar ciri kedua memiliki nilai 1,26 dan mampu menerangkan

keragaman data sebesar 15,8 %. Akar ciri ketiga didapatkan nilai sebesar 1,04

dan mampu menerangkan keragaman data sebesar 13,04 % . Ketiga akar ciri

tersebut memiliki persen keragaman total sebesar 75,82 % (Lampiran 6).

Pada sumbu pertama dan sumbu kedua hubungan yang terbentuk di antara

variable SPL berkorelasi positif dengan karang yang mengalami kematian .

Variabel SPL juga memiliki hubungan yang negatif terhadap kategori karang

(59)

Gambar 19. Analisis komponen utama antara SPL dengan indeks pemutihan pada sumbu satu (F1) dan sumbu dua (F2) pada pengamatan bulan Juli

2010

Gambar 20. Hasil pengelompokkan stasiun penelitian menggunakan

analisis komponen utama berdasarkan sumbu satu dan sumbu dua pada bulan Juli

F2 (15,80 %)

F1 (46,97 %)

F2 (15,80 %)

(60)

Hasil pengelompokkan analisis komponen utama pada stasiun penelitian

didapatkan bahwa karang yang mengalami kematian banyak ditemukan pada

stasiun Gapang, Rubiah Channel, dan Ujung Seurawan (Gambar 20).

Pada Gambar 20 juga ditampilkan karang yang berada dalam kondisi

sehat banyak ditemukan pada stasiun penelitian Jaboi, sedangkan pada stasiun

lainnya seperti Benteng dan Rubiah Sea Garden umumnya banyak ditemukan

karang dalam kondisi 50-80 % putih dan 80-100 % putih.

Pada sumbu ketiga hubungan yang terbentuk diantara variabel SPL dengan

beberapa kategori karang yang mengalami pemutihan juga memiliki korelasi yang

sama dimana variabel SPL berkorelasi posistif terhadap karang yang mengalami

kematian dan berkorelasi negatif dengan karang 50-80 % putih dan karang pucat

(Gambar 21).

Gambar 21. Analisis komponen utama antara SPL dengan indeks pemutihan pada sumbu satu (F1) dan sumbu tiga (F3) pada pengamatan bulan Juli 2010

(61)

Pengelompokkan sebaran staiun penelitian pada sumbu satu dan tiga

didapatkan karang yang memiliki kondisi sehat berada pada stasiun Rubiah Sea

Garden, sedangkan stasiun Gapang merupakan stasiun yang dicirikan banyaknya

karang ditemukan dalam kondisi mengalami kematian (Gambar 22).

Gambar 22. Hasil pengelompokkan stasiun penelitian menggunakan analisis komponen utama berdasarkan sumbu satu dan

sumbu tiga pada bulan Juli

Hubungan yang terjadi pada pengamatan bulan Juli 2010 terlihat adanya

kecenderungan karang yang memutih pada bulan Mei 2010 mengalami kematian,

hal ini dapat dilihat bahwa pada pengamatan bulan Juli, variable SPL memiliki

korelasi yang positif dengan karang mati.

Banyakanya kematian karang pada bulan Juli 2010 ini disebabkan selama

peristiwa pemutihan, karang kehilangan 60-90% dari jumlah zooxanthellanya dan zooxantela yang masih tersisa dapat kehilangan 50-80% pigmen fotosintesisnya (Glynn, 1996 dalam Rani, 2001). Gangguan yang berkepanjangan ini dapat

F3 (13,05 %)

Gambar

Gambar 4. Peta lokasi penelitian
Gambar 5. Diagram pengolahan data citra satelit
Gambar 8. Visualisisasi SPL secara spasial hasil pendugaan citra satelit MODIS
Gambar 10. Besaran nilai trend pemutihan sebagai fungsi anomali panas
+7

Referensi

Dokumen terkait

2. Kalau ada suatu materi yang akan diatur dalam produk hukum d i Daerah, yang tidak adalandasan yuridis secara tegas dalam suatu peraturan perundang-undangan atau tidak ada

Berdasarkan penjabaran beberapa proses alternatif baik pada proses oksidasi maupun proses pemurnian maleic anhydride, kami memilih fixed bed process untuk

Dalam penelitian ini peneliti mengadakan satu kali tes yaitu post test yang dilakukan pada akhir penelitian dengan tujuan untuk mengetahui dan mengukur hasil

Sistem itu adalah sekelompok orang, pedoman dan media yang melakukan suatu kegiatan mengolah, menyimpan, menuangkan ide, gagasan, simbol, dan juga lambang yang

keterkaitan. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh data tentang penguasaan siswa dalam sistem persamaan linear, kemampuan siswa dalam matriks dan

Saudara Loisa Wijaya Berhubungan ada t ugas yang mendadak, saya t idak dapat hadir sebagai juri unt uk Pemilihan Pelajar Teladan Senin, 9 November 2009 pukul 08.00 di

Hasil belajar siswa menggunakan nilai post test dengan teknik analisis data statistik uji-t satu sampel (one sample t-test). Hasil penelitian ini menunjukan penuntun