ACEH DARUSSALAM MENGGUNAKAN DATA CITRA
SATELIT
SUKMARAHARJA AULIA RACHMAN TARIGAN
SKRIPSI
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP
PEMUTIHAN KARANG DI KEPULAUAN WEH NANGROE
ACEH DARUSSALAM MENGGUNAKAN DATA CITRA
SATELIT
adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Oktober 2012
SUKMARAHARJA AULIA RACHMAN TARIGAN.Pengaruh Suhu Permukaan Laut terhadap Pemutihan Karang di Kepulauan Weh Nangroe Aceh Darussalam menggunakan Data Citra Satelit.Dibimbing oleh
DIETRIECH G. BENGEN DAN RISTI E. ARHATIN.
Hasil survei Wildlife Conservation Society (WCS) tahun 2010
mengungkapkan telah terjadi pemutihan massal terumbu karang di Kepulauan Weh Nangroe Aceh Darussalam akibat peningkatan suhu permukaan laut (SPL) dengan persentase pemutihan karang hingga 88 %. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tren perubahan SPL secara spasial dan temporal pada saat terjadinya pemutihan karang, serta mengkaji pengaruh SPL terhadap pemutihan karang di perairan tersebut.
Lokasi penelitian adalah wilayah Kepulauan Weh Provinsi Nangroe Aceh Darusalam. Penelitian ini dilakukan mulai bulan Mei 2010 hingga Mei 2012. Data yang digunakan adalah data SPL citra Aqua MODIS dengan waktu perekaman dari bulan Januari 2005-Februari 2011 yang diunduh dari
http://coastwatch.pfeg.noaa.gov/erddap/index.html dan data sekunder indeks pemutihan terumbu karang hasil survei WCS. Data hasilpengolahan citra satelit
ditampilkan dalambentuk grafik time series dan dianalisis secara temporal dan
spasial. Hubungan di antara SPL dan pemutihan karang di analisis secara
deskriptif menggunakan Analisis Komponen Utama.
Distribusi SPL selama 5 tahun, menunjukkan peningkatan SPL yang terjadi pada bulan April dan Mei tahun 2010. Visualisasi pada bulan April SPL maksimum di kawasan Timur Pulau Weh dengan nilai berkisar 31 ˚C-32 ˚C, sedangkan SPL minimum ditemukan di bagian barat dan utara Pulau Weh dengan nilai berkisar 31 ˚C hingga 31,25 ˚C. Pada citra bulan Mei SPL maksimum di kawasan timur dan tenggara Pulau Weh dengan nilai berkisar 31 ˚C-32 ˚C ,
sementara SPL minimum ditemukan pada bagian barat Pulau Weh dengan nilai 31 ˚C.
Pada bulan Mei 2010 ditemukan karang dalam kondisi mengalami
pemutihan sebesar 66,9 % dan sebagian lainnya mengalami pemucatan sebesar 21 %. Variasi kerentanan beberapa genera karang terhadap peningkatan SPL yang terjadi pada bulan Mei 2010 diketahui genera Pocillopora dan Acropora
merupakan jenis karang yang rentan terhadap pemutihan, sedangkan karang yang mampu menoleransi perubahan suhu secara signifikan adalah genera Diplostrea dan Montipora.
© Hak cipta milik Sukmaraharja Aulia Rachman Tarigan, tahun
2012
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun,
ACEH DARUSSALAM MENGGUNAKAN DATA CITRA
SATELIT
SUKMARAHARJA AULIA RACHMAN TARIGAN
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
Judul Penelitian : PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP PEMUTIHAN KARANG DI KEPULAUAN WEH, NANGROE ACEH DARUSSALAM
MENGGUNAKAN DATA CITRA SATELIT
Nama Mahasiswa : Sukmaraharja Aulia Rachman Tarigan
Nomor Pokok : C54070077
Departemen : Ilmu dan Teknologi Kelautan
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Mengetahui,
Tanggal Ujian : 21 September 2012
Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc NIP. 19580909 198303 1 003 Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA
NIP. 195901051983121001
Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas semua rahmat dan karunia yang
telah diberikan kepada penulis sehingga skripsi dari penelitian ini dapat
terselesaikan. Skripsi ini berjudul PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP PEMUTIHAN KARANG DI KEPULAUAN WEH,
NANGROE ACEH DARUSSALAM MENGGUNAKAN DATA CITRA SATELIT.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih sebesar -
besarnya kepada:
1. Orang Tua Bapak Abdul Hamid Tarigan (Alm), Ibu Tati Supriati serta
kakak Dian Hapsari Pagita Tarigan dan Fitri Puspita Tarigan yang telah
memberikan kasih sayang, motivasi, inspirasi, doa dan semangatnya yang
tak kunjung henti.
2. Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA dan Risti E. Arhatin, S.Pi M.Si
selaku Komisi Pembimbing yang telah memberikan pengetahuannya
kepada penulis.
3. Beginer Subhan S. Pi M.Si selaku dosen penguji tamu dan Dr. Ir. Henry
M. Manik, M.T selaku komisi pendidikan Departemen Ilmu dan Teknologi
Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor,
pada ujian skripsi atas evaluasi dan saran yang diberikan kepada penulis.
4. Dr. Ir. Budi Hascaryo Iskandar selaku instruktur selam FDC-IPB atas ilmu
6. Staf WCS Bang Irfan Yulianto, Bang Yudi Herdiana, Bang Efin
Mutaqqin, Bang Tasrif Kartawijaya, Mba Susi dan Mba Shinta atas
masukan dan saran selama pelaksanaan penelitian ini.
7. Keluarga besar ITK 44 atas persahabatan, kekeluargaan dan motivasi
selama menjalani masa perkuliahan serta pelajaran dan pengalaman hidup
yang berharga kepada penulis.
8. Fisheries Diving Club IPB atas pengajaran dan pengalamannya selama ini
serta teman-teman Diklat 25 FDC-IPB (Taufik, Iqbal, James, Luki,
Herbet, Silvia, Apoy, Dian, Emprit, Ratih, Ami, Pustika, Hedra, Fadillah,
dan Muti) atas dukungan, kekeluargaan, kebersamaan dan motivasi dalam
suka maupun duka dalam membantu penulis menyelesaikan perkuliahan
9. Seluruh warga Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Institut
Pertanian Bogor atas kebersamaannya selama masa perkuliahan.
Seluruh pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
Akhir kata semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.
Bogor, September 2012
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 12 Februari 1989 dari
pasangan Abdul Hamid Tarigan (Alm) dan Tati Supriati sebagai anak
ketiga dari tiga bersaudara. Pada tahun 2007 penulis lulus dari SMA
Negeri 2 Bogor, kemudian di terima di Institut Pertanian Bogor
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan melalui jalur Seleksi
Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Selama menjalani kuliah di IPB, penulis aktif dalam
Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan (HIMITEKA) sebagai anggota Divisi
Penggembangan sumberdaya Manusia (2009/1010). Penulis juga aktif dalam Organisasi
Fisheries Diving Club (FDC-IPB) sebagai Divisi Peralatan (2008/2009) , Publikasi dan
Dokumentasi (2009/2010) serta Penelitian dan Pengembangan (2010/2011). Selain itu,
penulis juga aktif sebagai Asisten Praktikum pada mata kuliah Biologi Laut (2009/2010),
Metode Observasi Bawah Air (2009/2010), Ekologi Laut Tropis (2010/2011) dan Selam
Ilmiah (2011/2012). Penulis juga turut serta dalam kegiatan penelitian bersama FDC-IPB
dalam Ekspedisi Zooxhanthellae X di Kabupaten Biak-Numfor, Papua (2009), Ekspedisi
Zooxhanthellae XI di Kepulauan Kayoa, Halmahera Selatan , Maluku Utara (2011) serta kegiatan Monitoring Perkembangan Komunitas Sumberdaya Ikan pada Terumbu Karang
alami di Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara bersama Balai Riset Pemulihan
Sumberdaya Ikan Jatiluhur KKP (2011). Penulis juga aktif dalam mengikuti beberapa
kegiatan PKM diantaranya PKM AI dan PKM-P.
Untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan di Fakultas
DAFTAR ISI
2.1.1 Pengertian dan deskripsi terumbu karang ... 3
2.1.2 Pengaruh SPL terhadap pemutihan karang ... 7
2.2 Sistem Penginderaan Jauh Termal ... 10
2.3 Karakteristik Satelit Aqua MODIS ... 11
3. METODOLOGI PENELITIAN ... 17
3.3.2 Pengolahan data terumbu karang ... 20
3.4 Analisis Data ... 21
3.4.1 Analisis sebaran SPL ... 21
3.4.2 Analisis data karang ... 21
3.4.3 Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis) .. 22
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25
4.1 Profil SPL dari Citra Satelit Aqua MODIS pada saat terjadi Pemutihan Karang ... 25
4.2 Indeks Pemutihan (Bleaching) pada Setiap Lokasi Pengamatan ... 27
4.3 Hubungan Perubahan SPL Terhadap Persentase Pemutihan Tingkat Genera... 31
4.4 Hubungan SPL dengan Pemutihan Karang ... 39
4.4.1 Pengamatan bulan Mei 2010 ... 39
4.4.2 Pengamatan bulan Juli 2010 ... 43
v
5.2 Saran ... 52
DAFTAR PUSTAKA ... 53
LAMPIRAN ... 57
vi
1. Kajian perubahan suhu , emisi CO2, permukaan air laut
dari tahun 1880-2000 ... 9
2. Spesifikasi satelit Aqua MODIS ... 13
3. Kegunaan utama dan panjang gelombang kanal-kanal
sensor MODIS ... 14
4. Koefisien kanal 31 dan 32 untuk Aqua MODIS ... 15
5. Nilai indeks pemutihan (%) pada bulan Mei 2010, Juli 2010, dan
vii
1. Anatomi hewan karang ... 4
2. Jendela atmosfer dalam spektrum gelombang elektromagnetik ... 11
3. Satelit Aqua MODIS ... 12
4. Peta lokasi penelitian... 17
5. Diagram pengolahan data citra satelit ... 19
6. Pemutihan warna pada genus karang. Keterangan : (a)kondisi normal;(b) kondisi Pale/pucat sebagian; (c) kondisi 50-80 % terjadi pemutihan; (d) kondisi 80-100 % terjadi pemutihan dan warna normal ... 21
7. Fluktuasi SPL rata-rata bulanan periode Januari 2006 – Februari 2011 hasil pendugaan citra satelit Aqua MODIS ... 25
8. Visualisisasi SPL secara spasial hasil pendugaan citra satelit MODIS pada bulan April 2010 (A) dan bulan Mei 2010 (B) ... 26
9. Nilai SPL bulan Mei 2010, Juli 2010, dan Februari 2011 pada setiap lokasi pengamatan hasil pendugaan citra satelit MODIS pada setiap lokasi pengamatan ... 29
10.Besaran nilai trend pemutihan sebagai fungsi anomali panas ... 30
11.Persentase kategori pemutihan koloni karang berdasarkan tingkat genera pada bulan Mei 2010 ... 32
12.Persentase kategori pemutihan koloni karang berdasarkan tingkat genera pada bulan Juli 2010 ... 33
13.Persentase kategori pemutihan koloni karang berdasarkan tingkat genera pada bulan Februari 2011 ... 34
14.Proporsi karang pada periode pengamatan Mei 2010, Juli 2010, dan Februari 2011 ... 35
15.Analisis komponen utama antara SPL dengan indeks pemutihan pada sumbu satu (F1) dan sumbu dua (F2) pada pengamatan bulan Mei 2010 ... 40
viii
18.Hasil pengelompokkan stasiun penelitian menggunakan analisis komponen utama berdasarkan sumbu satu dan sumbu tiga
pada bulan Mei ... 42
19.Analisis komponen utama antara SPL dengan indeks pemutihan pada sumbu satu (F1) dan sumbu dua (F2) pada pengamatan bulan
Juli 2010 ... 44
20.Hasil pengelompokkan stasiun penelitian menggunakan analisis komponen utama berdasarkan sumbu satu dan sumbu dua
pada bulan Juli... 44
21.Analisis komponen utama antara SPL dengan indeks pemutihan pada sumbu satu (F1) dan sumbu tiga (F3) pada pengamatan bulan
Juli 2010 ... 45
22.Hasil pengelompokkan stasiun penelitian menggunakan analisis komponen utama berdasarkan sumbu satu dan sumbu tiga
pada bulan Juli... 46
23.Analisis komponen utama antara SPL dengan indeks pemutihan pada sumbu satu (F1) dan sumbu dua (F2) pada pengamatan bulan
Februari 2011 ... 48
24.Hasil pengelompokkan stasiun penelitian menggunakan analisis komponen utama berdasarkan sumbu satu dan sumbu dua
pada bulan Februari ... 48
25.Analisis komponen utama antara SPL dengan indeks pemutihan pada sumbu satu (F1) dan sumbu tiga (F3) pada pengamatan bulan
Februari 2011 ... 49
26.Hasil pengelompokkan stasiun penelitian menggunakan analisis komponen utama berdasarkan sumbu satu dan sumbu tiga
ix
1. Stasiun penelitian ... 58
2. Rataan SPL hasil pendugaan dari citra satelit Aqua MODIS selama Januari 2006- Februari 2011 pada Perairan Kepulauan Weh ... 59
3. Data kategori karang yang mengalami pemutihan ... 60
4. Dokumentasi genera karang yang mengalami pemutihan pada saat pengamatan bulan Mei 2010 ... 62
5. Hasil analisis komponen utama pada bulan Mei 2010 ... 63
6. Hasil analisis komponen utama pada bulan Juli 2010 ... 67
1
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ekosistem terumbu karang merupakan salah satu ekosistem pesisir yang
terdapat di laut dangkal yang hangat dan bersih, serta memiliki keanekaragaman
hayati yang sangat tinggi. Selain itu terumbu karang berperan penting sebagai
tempat mencari makan, daerah asuhan, tempat memijah bagi berbagai macam
biota laut, disamping juga berperan sebagai pelindung pantai dari hempasan
ombak (Supriharyono,2007).
Sejalan dengan pemanfaatan ekonomi ekosistem terumbu karang terdapat
pula ancaman terhadap ekosistem ini akibat pemanasan global dimana terjadi
peningkatan suhu permukaan laut dunia. Hasil kajian Intergovernmental Panel on
Climate Change (IPCC ) pada kurun waktu dua belas tahun terakhir (1995-2006) menunjukkan kenaikan suhu permukaan bumi akibat pemanasan global, dengan
kenaikan rata-rata sebesar 0,14 ˚C. Pemanasan global tersebut mengakibatkan
banyak kejadian pemutihan karang. Salah satu dampak adanya pemanasan global
dengan naiknya suhu menyebabkan sebagian terumbu karang mengalami
kematian masal secara besar-besaran hampir di seluruh dunia pada tahun 1998
(Baker et al.,2008).
Pada tahun 2010 kejadian pemutihan karang muncul kembali di Indonesia,
dimana Reef Check Indonesia (2010) melaporkan telah terjadi pemutihan karang
pada 11 provinsi di Indonesia yaitu Aceh, Sumbar, Jatim, Bali, Sulsel, Sultra,
Sulteng, NTB, Papua Barat dan Maluku. Pada bulan Mei tahun 2010 survei yang
dilakukan Wildlife Conservation Society (WCS) mengungkapkan telah terjadi
terjadinya pemutihan masal di Kepulauan Weh Nangroe Aceh Darussalam dengan
persentase pemutihan karang hingga 88 % (Ardiwijaya et al,.2010). Pemutihan karang tersebut dapat menyebabkan kematian karang yang memberikan dampak
merugikan, baik dari sisi ekologis maupun ekonomis.
Data SPL secara kontinu bisa didapatkan melalui rekaman sensor satelit
MODIS. Variasi tahunan SPL yang kontinu di suatu lokasi dapat
menggambarkan sebaran SPL di lokasi tersebut pada suatu musim dari tahun ke
tahun. Informasi ini sangat berguna untuk melihat hubungan antara perubahan
suhu permukaan laut terhadap pemutihan karang di kepulauan Weh, sehingga
perlu dilakukan penelitian mengenai perubahan SPL pada saat terjadinya
fenomena pemutihan (bleaching) tersebut. Pada penelitian ini dibatasi penyebab pengaruh SPL terhadap pemutihan karang, sedangkan penyebab-penyebab lain
yang berpengaruh terhadap pemutihan karang, seperti terjadinya sedimentasi,
perubahan salinitas, penyakit, tereksposnya hewan karang di udara, dianggap tetap
atau diabaikan.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tren perubahan SPL
secara spasial dan temporal pada saat terjadinya pemutihan karang serta mengkaji
pengaruh SPL terhadap pemutihan karang di Perairan Kepulauan Weh pada tahun
3
2.1 Terumbu Karang
2.1.1 Pengertian dan deskripsi terumbu karang
Terumbu adalah endapan-endapan masif yang penting dari kalsium
karbonat yang dihasilkan oleh karang (filum Cnidaria, kelas Anthozoa, ordo
Scelerectania) dengan sedikit tambahan dari alga berkapur dan
organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat (Nybakken, 1992).
Pembentukan terumbu karang merupakan proses yang lama dan kompleks.
Berkaitan dengan pembentukan terumbu, karang terbagi atas dua kelompok yaitu
karang yang membentuk terumbu (karang hermatipik) dan karang yang tidak dapat membentuk terumbu (karang ahermatipik). Karang hermatipik adalah
koloni karang yang dapat membentuk bangunan atau terumbu dari kalsium
karbonat (CaCO3), sehingga sering disebut pula reef building corals. Sedangkan
karang ahermatipik adalah koloni karang yang tidak dapat membentuk terumbu.
(Supriharyono,2007).
Polip karang memiliki tiga lapisan tubuh yaitu ektodermis, mesoglea, dan
endodermis. Ektodermis merupakan bagian terluar dari polip karang, dibagian ini
terdapat mulut yang sama peranannya sebagai anus. Tentakel yang berada
disekitar mulut memiliki sel mukus dan nematokis yang berperan dalam
menangkap mangsa. Mesoglea merupakan jaringan penghubung antara bagian
luar dan dalam pada polip karang. Jaringan ini terdiri atas sel-sel, serta kolagen
dan mukopolisakarida. Pada sebagian besar karang, epidermis akan menghasilkan
dalam polip karang, endodermis atau yang lebih dikenal dengan gastrodermis
merupakan tempat tinggalnya alga zooxhanthellae (Gambar 1).
Gambar 1. Anatomi hewan karang (Sumber : Veron, 2002)
Terumbu karang merupakan ekosistem yang khas terdapat di daerah tropis.
Ekosistem ini mempunyai produktivitas organik yang sangat tinggi, demikian pula
keanekaragaman biota yang terdapat di dalamnya. Hewan karang batu umumnya
merupakan koloni yang terdiri atas banyak individu berupa polip yang bentuk
dasarnya seperti mangkok dengan tepian berumbai-umbai (tentakel). Tiap polip
tumbuh dan mengendapkan kapur yang membentuk kerangka. Polip ini akan
memperbanyak diri dengan jalan pembelahan berulang kali (secara vegetatif)
hingga satu koloni karang bisa terdiri dari ratusan ribu polip, namun terdapat pula
perbanyakan secara generatif yang menghasilkan larva yang disebut dengan
planula. Planula ini terbawa arus dan tumbuh dan menjadi individu baru. Pada
yang dikenal dengan nama Zooxhanthellae. Keduanya mempunyai hubungan
simbiosis mutualisme, dimana Zooxhanthellae melalui proses fotosintesis membantu memberi suplai makanan dan oksigen bagi polip dan juga membantu
dalam proses pembentukan kerangka kapur. Sebaliknya polip menghasilkan
sisa-sisa metabolisme berupa karbon dioksida, fosfat, dan nitrogen yang digunakan
oleh zooxhanthellae untuk fotosinteis dan pertumbuhannya (Nondji, 2005).
Karang batu memerlukan persyaratan hidup tertentu untuk dapat membentuk
terumbu. Menurut Dahuri (2003) distribusi dan pertumbuhan ekosistem terumbu
karang tergantung dari beberapa parameter fisika yaitu (1) kecerahan, (2)
temperatur, (3) salinitas, dan (4) sirkulasi arus dan sedimentasi.
1) Kecerahan
Cahaya matahari merupakan salah satu parameter utama yang berpengaruh
dalam pembentukan terumbu karang. Penetrasi cahaya matahari merangsang
terjadinya proses fotosintesis oleh Zooxhanthellae simbiotik dalam jaringan karang. Tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis akan berkurang dan
bersamaan dengan itu kemampuan karang untuk membentuk terumbu (CaCO3)
akan berkurang pula. Kebanyakan terumbu karang dapat berkembang dengan
baik pada kedalaman 25 meter atau kurang. Pertumbuhan karang sangat
berkurang saat tingkat laju produksi primer sama dengan respirasinya (zona
kompensasi) yaitu kedalaman di mana kondisi intensitas cahaya berkurang
sekitar 15-20 persen dari intensitas cahaya di lapisan permukaan air.
2) Temperatur
Pada umumnya, terumbu karang tumbuh secara optimal pada kisaran suhu
kisaran tersebut masih bisa ditolerir oleh spesies tertentu dari jenis karang
hermatifik untuk dapat berkembang dengan baik. Karang hermatifik dapat
bertahan pada suhu di bawah 20˚C selama beberapa waktu dan dapat
mentolerir suhu hingga 36˚C dalam waktu yang singkat. Pada kejadian
buangan air panas dari industri gas alam cair (LNG) di Bontang, Kalimantan
Timur yang mencapai suhu 37˚C telah menyebabkan kematian terumbu karang
di sekitarnya.
3) Salinitas
Banyak spesies karang peka terhadap perubahan salinitas yang besar.
Umumnya, terumbu karang tumbuh dengan baik di sekitar wilayah pesisir ada
salinitas 30-35 ‰. Meskipun terumbu karang mampu bertahan pada salinitas
di luar kisaran tersebut, pertumbuhannya menjadi kurang baik bila
dibandingkan pada salinitas normal. Namun demikian, terdapat pula terumbu
karang yang mampu berkembang di kawasan perairan dengan salinitas 42 ‰,
seperti di wilayah Timur Tengah.
4) Sirkulasi arus dan Sedimentasi
Arus diperlukan dalam proses pertumbuhan karang dalam hal menyuplai
makanan berupa mikroplankton. Arus juga berperan dalam proses
pembersihan dari endapan-endapan material dan menyuplai oksigen yang
berasal dari laut lepas. Oleh sebab itu, sirkulasi arus sangat berperan penting
dalam proses transfer energi. Arus dan sirkulasi air ini juga berperan dalam
proses sedimentasi. Sedimentasi dari partikel lumpur padat yang dibawa oleh
aliran permukaaan (surface run off) akibat erosi dapat menutupi permukaan
karang tetapi juga terhadap biota yang hidup berasosiasi dengan habitat
tersebut. Partikel lumpur yang tersedimentasi tersebut dapat menutupi polip
sehingga respirasi organisme terumbu karang dan proses fotosintesis oleh
zooxanthellae akan terganggu.
2.1.2. Pengaruh SPL terhadap pemutihan karang
Suhu merupakan salah satu faktor yang amat penting bagi kehidupan
organisme di lautan, karena suhu mempengaruhi baik aktivitas metabolisme
maupun perkembangbiakan dari organisme-organisme tersebut. Daerah tropik
lebih banyak menerima panas daripada daerah kutub, yang pada dasarnya
disebabkan oleh tiga faktor : pertama, sinar matahari yang merambat melalui
atmosfer akan banyak kehilangan panas sebelum mencapai daerah kutub, bila
dibandingkan daerah ekuator. Kedua, oleh karena besarnya perbedaan sudut
datang sinar matahari ketika mencapai permukaan bumi. Pada daerah kutub sinar
matahari yang sampai di permukaan bumi akan tersebar pada daerah yang lebih
luas dari pada di daerah ekuator. Ketiga, di daerah kutub lebih banyak panas yang
diterima oleh permukaan bumi yang dipantulkan kembali ke atmosfer. Hal ini
sekali lagi disebabkan oleh sudut relatif ketika sinar matahari mencapai
permukaan bumi (Hutabarat dan Evans, 2006).
Indonesia berada pada wilayah tropik dengan kisaran SPL sebesar 27˚C
hingga 29 ˚C (Nondji, 2005) pada lapisan permukaan tersebut merupakan lapisan
hangat akibat pancaran radiasi matahari. Sebaran SPL yang hangat tersebut
berpengaruh terhadap intensitas cahaya yang dibutuhkan oleh terumbu karang
Perairan yang jernih memungkinkan penetrasi cahaya bisa sampai pada
lapisan yang sangat dalam, sehingga hewan karang dapat bertahan hidup pada
lapisan yang sangat dalam, namun secara umum terumbu karang tumbuh baik
pada kedalaman kurang dari 20 m (Kinsman, 1964 dalam Supriharyono, 2007),
walaupun tidak sedikit spesies karang yang tidak mampu bertahan pada
kedalaman hanya satu meter, akibat kekeruhan air dan tingkat sedimentasi yang
tinggi, seperti yang terjadi di pantai utara Pulau Jawa (Supriharyono, 2007).
Akhir dekade tahun 2000-an telah terjadi degradasi terhadap ekosistem
terumbu karang yang banyak disebabkan oleh adanya aktifitas manusia dan
perubahan lingkungan (Budemeier et al,.2004). Salah satu faktor lingkungan
yang menyebabkan terjadinya degradasi adalah terjadinya peningkatan suhu
permukaan laut yang terjadi secara global terhadap dunia.
The Third Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)
menemukan bahwa pemanasan atmosfer dan lautan sejak akhir abad ke-19 akan
terus meningkat pada masa mendatang. Sebagai contoh, rata-rata temperatur permukaan bumi telah mengalami peningkatan sebesar 0,4-0,8 °C atau +0,7-1,4
°F pada akhir abad ke-19 dan diprediksikan pada tahun 2050 akan terjadi
peningkatan rata-rata temperatur permukaan bumi dengan nilai berkisar dari
0,8-2,6 °C atau +4,7 °F dan kembali meningkat pada rata tahun 2100 menjadi
1,4-5,8 °C atau +2,5-10,4 °F. Pada tabel 1 juga diperlihatkan mengenai perubahan
SPL daerah tropis pada tahun 2100 diperkirakan akan terjadi peningkatan sebesar
Tabel 1. Kajian perubahan suhu permukaan air laut dari tahun 1880- 2000
Variable Pengamatan Perkiraan
1880 2000 2050 2100
Pemutihan karang terjadi akibat berbagai macam tekanan, baik secara
alami maupun karena manusia, yang menyebabkan degenerasi atau hilangnya
zooxanthellae pewarna dari jaringan karang. Dalam keadaan normal, jumlah
zooxanthellae berubah sesuai dengan musim sebagaimana penyesuaian karang terhadap lingkungannya. Pemutihan dapat menjadi sesuatu hal yang biasa
dibeberapa daerah.
Selama peristiwa pemutihan, karang kehilangan 60–90% dari jumlah
zooxanthellae-nya dan zooxanthellae yang masih tersisa dapat kehilangan 50–
80% dari pigmen fotosintesisnya. Ketika penyebab masalah itu disingkirkan,
karang yang terinfeksi dapat pulih kembali, tetapi jumlah zooxanthellae kembali
normal, tetapi hal ini tergantung dari durasi dan tingkat gangguan lingkungan.
Gangguan yang berkepanjangan dapat membuat kematian sebagian atau
keseluruhan tidak hanya kepada individu koloni, tetapi juga terumbu karang
secara luas. Belum banyak yang dimengerti dari mekanisme pemutihan karang.
Akan tetapi, diperkirakan dalam kasus tekanan termal, kenaikan suhu menganggu
kimiawi berbahaya yang merusak sel-sel mereka. Pemutihan dapat pula terjadi
pada organisme-organisme bukan pembentuk terumbu karang seperti karang
lunak (soft coral), anemon dan beberapa jenis kima raksasa tertentu (Tridacna
sp.), yang juga mempunyai alga simbiosis dalam jaringannya. Sama seperti
karang, organisme-organisme ini dapat juga mati apabila kondisi-kondisi yang
mengarah kepada pemutihan cukup parah (Budemeier et al,.2004).
2.2 Sistem Penginderaan Jauh Termal
Jumlah panas yang dipancarkan oleh setiap benda dipengaruhi oleh
panjang gelombang yang digunakan. Perubahan suhu benda dipengaruhi oleh
sifat thermal bendanya, yaitu: konduktivitas thermal (tingkat penerusan panas melalui suatu benda), kapasitas thermal (kemampuan benda untuk menyimpan
panas), kebauran thermal (kemampuan benda untuk memindahkan panas matahari dari permukaan benda ke bagian dalamnya), dan ketahanan thermal (ukuran tanggapan suatu benda terhadap perubahan suhu). Sistem thermal dalam
penginderaan jauh, suhu pancaran yang berasal dari objek di permukaan bumi dan
mencapai sensor thermal direkam oleh sensor tersebut. Hasil rekaman dapat
berupa citra dan non-citra. Citra yang dimaksud di sini adalah citra inframerah
thermal yang berupa gambaran dua dimensional atau gambaran piktorial. Hasil non citra berupa garis atau kurva spektral, satu angka, atau serangkaian angka
yang mencerminkan suhu pancaran objek yang terekam oleh sensor thermal (Sutanto, 1994).
Pengukuran suhu permukaan di bumi dapat dilakukan dengan alat
pendeteksi yang peka terhadap spektrum inframerah. Pada spektrum tersebut
pengukuran suhu permukaan dilakukan pada panjang gelombang 3,5m m– 5,5m
m dan 8m m – 14m m. Pada panjang gelombang tersebut hambatan atmosfer
relatif kecil sehingga tenaga termal dapat melalui atmosfer (Sabins,1978 dalam
Nurheryanto, 2009).
Sutanto (1994) menyatakan bahwa jendela atmosfer pada panjang
gelombang 10 μ m – 12 μ m dapat digunakan untuk mendeteksi suhu di
permukaan bumi yang berkisar 27 ºC atau 300 ºK, sedangkan panjang gelombang
3 μ m – 5 μ m digunakan untuk pendeteksian suhu permukaan bumi yang lebih
panas (misalnya : letusan gunung berapi, benda panas, hutan yang terbuka, dan
sebagainya) yang bersuhu 600 ºK –700 ºK (Gambar 2).
Gambar 2. Jendela atmosfer dalam spektrum gelombang elektromagnetik (sumber : Turco, 2002 dalam Nurheryanto, 2009)
2.3 Karakteristik Satelit Aqua MODIS
MODIS adalah instrument kunci pada satelit Terra (EOS AM) dan Aqua
(EOS PM) yang merupakan bagian dari program antariksa Amerika Serikat, National Aeronautics and Space Administration (NASA). MODIS pertama kali
spesifikasi lebih fokus untuk daerah daratan. Pada tanggal 4 Mei 2002
diluncurkan satelit Aqua yang membawa instrument MODIS dengan spesifikasi daerah laut. Satelit Aqua MODIS memiliki misi untuk mengumpulkan informasi
tentang siklus air di bumi, termasuk penguapan dari samudera, uap air di
atmosfer, awan, presipitasi, kelembaban tanah, es yang ada di darat, serta salju
yang menutupi daratan. Variabel yang diukur oleh satelit Aqua antara lain
tumbuhan yang menutupi daratan, fitoplankton dan bahan organik terlarut di
lautan, serta suhu udara, daratan dan air (Graham, 2005 dalam Kharif, 2011).
Satelit Aqua MODIS dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Satelit Aqua MODIS (sumber: NASA, 2011)
Satelit Aqua MODIS mempunyai orbit polar sun-synchronus, yang artinya satelit akan melewati tempat-tempat yang terletak pada lintang yang sama dan
dalam waktu lokal yang sama pula. Satelit melintasi equator pada siang hari
mendekati pukul 13.00 waktu lokal. Satelit mengelilingi bumi setiap satu sampai
Tabel 2. Spesifikasi Satelit Aqua MODIS
Orbit
705 km, 1:30 p.m, ascending node (Aqua), sun-synchronous, near-polar, sirkular Rataan Scan 20,3 rpm
Luas sapuan
2330 km (cross track) dengan lintang 10 derajat lintasan pada nadir
Dimensi teleskop 17,78 cm
Ukuran 1,0 x 1,6 x 1,0 m
Berat 228,7 kg
Daya 162,5 Watt (single orbit average)
Data 10,6 Mbps (peak per hari); 6,1 Mbps (per orbit) Kuantitas 12 bit = 4096
Resolusi spasial 250 m (band 1-2), 500 m (band 3-7), 1000 m (band 8-36)
Umur 6 tahun
Sumber : (NASA, 2011)
Sensor MODIS memiliki 36 kanal, kanal-kanal tersebut bekerja pada
kisaran panjang gelombang sinar tampak dan inframerah. Kanal-kanal ini
membuat sensor MODIS mampu mengukur parameter dari permukaan laut hingga
atmosfer. Setiap kanal pada sensor MODIS memiliki resolusi yang berbeda.
Kanal 1-2 memiliki resolusi spasial 250 m, kanal 3-7 memiliki resolusi spasial
500 m dan kanal 8-36 memiliki resolusi spasial 1000 m (NASA, 2011). Kisaran
dan kegunaan panjang gelombang kanal-kanal sensor MODIS dapat dilihat pada
Tabel 3.
Penentuan SPL menggunakan spektral infra merah jauh yang berkisar
antara 10,780 μm hingga 12,270 μm dengan kanal 31 dan 32. Pemilihan kanal
tersebut dilakukan dengan alasan emisivitas radiasi bumi sebagai black body
radiation akan maksimum pada suhu 300 ºK (suatu pendekatan rata-rata suhu
Tabel 3. Kegunaan utama dan panjang gelombang kanal-kanal sensor MODIS
Algoritma yang digunakan untuk mendapatkan nilai SPL adalah sebagai
berikut (Minnet et al,.1999 dalam Karif, 2011):
SPL = c1 + c2*T31 + c3*T31-32+ c4*( – 1)* T31-32 ... (1)
dimana :T31 = Suhu kecerahan kanal 31
T32 = Suhu kecerahan kanal 32
= Sudut Radian, dimana Scale (Sensor Zenith*π/180)
Konstanta (c1, c2, c3 dan c4) dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Koefisien kanal 31 dan 32 untuk Aqua MODIS
Koefisien T30– T31≤ 0,7 T30– T31 > 0,7
c1 1,11071 1,196099
c2 0,9586865 0,9888366
c3 0,1741229 0,1300626
c4 1,876752 1,627125
Data MODIS merupakan data yang disediakan dalam bentuk Hierarchical Data Format- Earth Observing System (HDF-EOS) file. Produk data MODIS ini terdiri dari beberapa level. Adapun beberapa jenis level data yang dihasilkan oleh
MODIS sebagai berikut (Wolfe et al,. 1998; Savtchenko et al,.2004) :
1. Level 1 merupakan data mentah ditambah dengan informasi tentang kalibrasi,
sensor, dan geolokasi. Data MODIS level 1 ini terdiri dari dua macam, yaitu :
a. Level 1a, mengandung informasi lebih yang dibutuhkan pada set data,
level 1a digunakan sebagai input untuk geolocation, calibration, dan processing (NASA , 2012a);
b. Level 1b, data yang telah mempunyai terapannya merupakan hasil dari
aplikasi sensor kalibrasi sensor pada level 1a. Data level 1 dapat diperoleh
2. Level 2 dihasilkan melalui proses penggabungan data level 1a dan 1b, data
level 2 menetapkan nilai geofisik pada tiap piksel, yang berasal dari
perhitungan raw radiance level 1a dengan menerapkan kalibrasi sensor,
koreksi atmosfer, dan algoritma bio-optik;
3. Level 3, merupakan data level 2 yang dikumpulkan dan dipaketkan dalam
periode 1 hari, 8 hari, 1 bulan, dan 1 tahun serta memiliki resolusi spasial
mulai dari 4,63 km hingga 36 km. Data tersebut sudah dikoreksi atmosferik,
yang dilakukan untuk menghilangkan hamburan cahaya yang sangat tinggi
yang disebabkan oleh komponen atmosfer. Komponen yang dikoreksi yaitu
hamburan Rayleigh dan hamburan aerosol. Data MODIS level 3 untuk produk
17
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1Waktu dan Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian berada di wilayah Kepulauan Weh Provinsi Nangroe
Aceh Darussalam yang terletak pada koordinat 95° 13' 02" BT - 95° 22' 36" BT
dan antara 05° 46' 28" LU- 05° 54' 28" LU (Gambar 4) . Posisi koordinat setiap
stasiun pengamatan ditampilkan pada Lampiran 1. Penelitian ini dilakukan mulai
bulan Mei 2010 hingga Mei 2012. Penelitian ini terbagi menjadi tiga tahap, tahap
pertama yaitu pengambilan data terumbu karang yang dilakukan pada bulan Mei
dan Juli 2010 serta bulan Februari 2011 oleh lembaga swadaya masyarakat
Wildlife Conservation Society (WCS).
Tahap kedua, yaitu pengolahan dan analisis data citra satelit dilakukan di
Laboratorium Penginderaan Jarak Jauh dan SIG Kelautan, Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor yang dilakukan pada bulan November
2011 hingga Februari 2012. Tahap ketiga berupa analisis data statistik yang
dilakukan pada bulan Maret hingga bulan Mei 2012.
3.2 Alat dan Bahan 3.2.1 Alat
Peralatan pengolahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Perangkat keras berupa seperangkat Personal computer (PC) berbasis Intel
Pentium 4 dengan sistem operasi Windows beserta perlengkapannya seperti printer dan flash disk;
2. Software yang dipergunakan meliputi Microsoft Excel 2007 untuk
menampilkan grafik perubahan SPL secara temporal , Ocean Data View (ODV) 3.0 untuk menampilkan peta sebaran SPL secara spasial dan ArcGIS
untuk membuat layout peta penelitian dan Statistica 6.0 untuk menganalisis data statistik.
3.2.2 Bahan
Bahan dan data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi :
1. Data SPL (Level 3) citra satelit Aqua MODIS dengan rataan bulanan dan
waktu perekaman dari bulan Januari 2005 hingga Februari 2011. Data
tersebut diunduh dari http://coastwatch.pfeg.noaa.gov/erddap/index.html. Data tersebut memiliki informasi mengenai garis lintang, bujur, daratan, nilai
2. Data sekunder indekspemutihan terumbu karang di Kepulauan Weh bulan
Mei dan Juli tahun 2010 serta bulan Februari 2011 yang diperoleh dari
lembaga swadaya masyarakat WCS.
3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Pengolahan citra SPL
Pengolahan citra satelit Aqua Modis untuk mendapatkan nilai sebaran SPL
dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu pengumpulan data (download citra
level 3), pemotongan citra (cropping) dan konversi data (Gambar 5). Citra setelit yang diunduh pada level ini sudah terkoreksi radiometrik dan geometrik,
kemudian dilakukan pemotongan (cropping) untuk membatasi wilayah penelitian.
Data tersebut kemudian dikonversi dalam bentuk .csv lalu di analisis
menggunakan Microsoft Excel 2007, pada tahap ini dilakukan pensortiran data yang bertujuan untuk menghilangkan data akibat adanya tutupan awan. Setelah
dilakukannya pensortiran, data kemudian divisualisasikan dalam bentuk grafik
menggunakan Microsoft Excel 2007 untuk melihat sebaran secara temporal. Grafik yang ditampilkan merupakan nilai rata-rata bulanan dari data SPL.
Selanjutnya untuk menampilkan sebaran spasial SPL digunakan perangkat
lunak ODV 3. Data yang sudah disortir kemudian diolah kembali menggunakan
ODV 3. Tampilan dari sebaran SPL berupa tampilan gambar dengan format .JPG.
3.3.2 Pengambilan data terumbu karang
Pengambilan data pemutihan karang yang dilakukan oleh WCS mengacu
pada McClanahan (2004) dimana data yang diambil berupa koloni genus karang
pada kedalaman 3-6 m. Karang dicatat dengan cara berenang sebanyak 10
kayuhan secara acak, kemudian mencatat semua koloni genus karang dengan
radius 2 m dan proses ini dilakukan sebanyak 30 pengulangan. Perubahan warna
pada karang dicatat berdasarkan pengamtan yang dilakukan pada bulan Mei 2010,
Juli 2010 dan Februari 2011.
Koloni karang yang diidentifikasi genusnya dan terindikasi mengalami
pemutihan dicatat berdasarkan perubahan warna yang terbagi menjadi tujuh
kategori. Ketujuh kategori tersebut adalah (1) tidak putih (karang sehat), (2)
pucat, (3) 0-20 % putih, (4) 20-50 % putih, (5) 50-80 % putih, (6) 80-100 % putih
dan (7) mati (McClanahan, 2004 modifikasi WCS dalam Ardiwijaya et al,.2010).
Gambar 6. Pemutihan warna pada genus karang. Keterangan : (a)kondisi pucat (kiri) dan sehat (kanan);(b) kondisi pucat sebagian; (c) kondisi 20-50 % putih ;(d) kondisi 100 % putih (kiri) dan warna sehat (kanan) (sumber : McClanahan, 2004)
3.4 Analisis Data
3.4.1 Analisis sebaran SPL
Sebaran SPL dari citra Aqua MODIS dianalisis secara spasial dan
temporal. Analisis spasial dilakukan secara visual dengan melihat pola sebaran
SPL pada saat terjadinya pemutihan karang (April dan Mei 2010). Pola
persebaran ini terlihat dari pola degradasi warna SPL. Analisis temporal nilai
SPL dilakukan secara serial tahunan dimana kedua nilai rata-rata parameter ini
dimasukan ke dalam grafik. Fluktuasi dari nilai rata-rata SPL ini memperlihatkan
fenomena yang terjadi pada saat terjadinya pemutihan karang.
3.4.2 Analisis data karang
Indeks pemutihan karang dihitung berdasarkan persentase pengamatan
pada masing-masing tujuh kategori pemutihan karang (McClanahan, 2004
modifikasi WCS dalam Ardiwijaya et al,.2010). Kategori pemutihan tersebut
kemudian diberi nilai, misalkan karang yang ditemukan sehat diberi nilai nol,
sedangkan karang yang ditemukan dalam kondisi mati diberi nilai 6, sehingga
Rumus untuk menghitung Indeks pemutihanadalah sebagai berikut,
(McClanahan, 2004 modifikasi WCS dalam Ardiwijaya et al,.2010) :
Bleaching Index (BI) = ... (2)
Keterangan: BI= Indeks pemutihan karang (Bleaching Indeks) C1= Karang sehat (Normal coloration)
3.4.3 Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis)
Analisis komponen utama merupakan metode statistik deskriptif yang
bertujuan untuk mengeksraksi informasi yang terdapat dalam suatu matriks data
yang besar, sehingga menghasilkan representasi grafik yang memudahkan
interpretasi. Analisis ini juga digunakan untuk mempelajari matriks data dari
sudut pandang kemiripan antara individu atau hubungan antara variabel.
Matriks data yang dimaksud terdiri dari data kualitatif yang terletak pada
baris dan data kuantitatif pada kolom. Analisis komponen utama ini digunakan
untuk mengetahui variasi beberapa kategori karang yang mengalami pemutihan
dengan variasi fisik perairan. Data kualitatif terdiri dari 13 stasiun penelitian yang
terbagi menjadi tiga zonasi, yakni Panglima Laot, Tourist Area dan Open Acess,
sedangkan data kuantitatif terdiri dari variasi fisik perairan, yakni nilai SPL (˚C)
di setiap stasiun penelitian serta jumlah kategori karang yang mengalami kondisi
sehat, pucat, putih 0-20 %, putih 20-50 %, putih 50-80 %, putih 80-100 %, dan
Bengen (2000), mengatakan bahwa bentuk data yang di analisis
menggunakan analisis komponen utama terdiri dari tabel atau matriks data yang
terdiri dari n individu (baris) dan pada variable (kolom) serta variabel yang
matriks. Terlebih dahulu parameter-parameter dilakukan penormalan data melalui
serangkaian proses pemusatan dan pereduksian karena tidak memiliki satuan yang
sama.
Proses pemusatan diperoleh dengan melihat selisih antara nilai parameter
inisial tertentu dengan rata-rata parameter tersebut. Proses pereduksian
merupakan hasil bagi antara nilai parameter pemusatan dengan simpangan baku
parameter tersebut. Rumus pemusatan (Bengen,2000) :
... (3)
dimana :
nilai Pusat
nilai parameter inisial rata-rata parameter
Pada prinsipnya analisis komponen utama menggunakan pengukuran jarak
euklidean (jumlah kuadrat perbedaan antara individu untuk variable yang
berkoresponden) pada data. Jarak euklidean didasarkan pada rumus menurut
= 2 ... (5)
dimana :
Jarak Euklidean ke titik A dan B Koordinat titik A pada sumbu J Koordinat titik B pada sumbu J Jumlah variabel kolom (stasiun)
Karakteristik nilai fisik perairan (SPL) dan karang yang mengalami pemutihan, dari 1 hingga p)
Hasil perhitungan analisis komponen utama ini didapatkan hubungan
antara nilai SPL dengan beberapa kategori karang yang mengalami pemutihan.
Kualitas informasi pada setiap sumbu diukur dari besarnya akar ciri yang
dihasilkan. Akar ciri merupakan jumlah varian dari masing-masing komponen
utama. Akar ciri tersebut memungkinkan untuk mengevaluasi besarnya ragam
yang dijelaskan oleh setiap sumbu faktorial. Perhitungan analisis komponen
25
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Profil SPL dari Citra Satelit Aqua MODIS pada saat terjadi Pemutihan Karang
Distribusi SPL selama 5 tahun, menunjukkan adanya peningkatan SPL
yang terjadi pada tahun 2010. Peningkatan SPL ini mulai terjadi pada bulan Maret
dengan nilai rata-rata 30,09 ˚C, naik 1 ˚C dibandingkan bulan Februari dengan
nilai rata-rata 29,82 ˚C. Peningkatan SPL ini terus berlanjut hingga pada bulan
April dengan nilai 31,29 ˚C dan bulan Mei 31,17 ˚C (Gambar 7). Rataan SPL
hasil pendugaan citra satelit Aqua MODIS pada perairan Kepulauan Weh selama
kurun waktu dari bulan Januari 2006 hingga Februari 2011 ditampilkan pada
Lampiran 2.
Gambar 7. Fluktuasi SPL rata-rata bulanan periode Januari 2006 - Februari 2011 hasil pendugaan citra satelit Aqua MODIS
Pada Gambar 7 ditampilkan sebaran SPL secara spasial pada bulan April
dan Mei 2010. Hasil visualisasi diketahui bahwa pada bulan April SPL
maksimum dijumpai di kawasan Timur Pulau Weh dengan nilai berkisar 31 ˚C
hingga 32 ˚C, sedangkan SPL minimum ditemukan di bagian barat dan utara
Pulau Weh dengan nilai berkisar 31 ˚Chingga 31,25 ˚C.
Pada citra bulan Mei ditemui SPL maksimum di kawasan timur dan
tenggara Pulau Weh dengan nilai berkisar 31 ˚C hingga 32 ˚C , sementara SPL
minimum ditemukan pada bagian barat Pulau Weh dengan nilai 31 ˚C. Secara
geografis pada wilayah timur dan tenggara Pulau Weh memiliki nilai SPL relatif
sama, yaitu sebesar 31,25 ˚C sementara pada bagian barat Pulau Weh SPL
memiliki nilai relatif lebih rendah dari bagian timur dan tenggara Pulau Weh,
dengan nilai 31 ˚C (Gambar 8).
(A). (B).
Gambar 8. Visualisisasi SPL secara spasial hasil pendugaan citra satelit MODIS pada bulan April 2010 (A) dan bulan Mei 2010 (B)
Bulan April dan Mei merupakan musim peralihan barat menuju timur.
hangat dan massa air dingin, diduga disebabkan terjadi perubahan pola pergerakan
angin musim yang mendorong massa air permukaan. Pada musim ini juga terlihat
pola pergerakan SPL yang hangat terkonsenterasi pada bagian timur Pulau Weh
(Gambar 8). Hal ini diduga disebabkan mulai berpengaruhnya arus musim timur
yang cenderung membawa massa air bersuhu hangat dari Selat Malaka
(Muklis,2008), selain itu arus menuju wilayah timur mulai melemah dan berbalik
arah hingga di beberapa tempat terjadi olakan-olakan (eddies) (Nondji, 2002 dalam Muklis, 2008).
4.2 Indeks Pemutihan (Bleaching) pada Setiap Lokasi Pengamatan Pemutihan karang terjadi akibat berbagai macam tekanan, baik secara
alami maupun karena manusia, dalam keadaan normal, jumlah zooxanthellae
berubah sesuai dengan musim sebagaimana penyesuaian karang terhadap
lingkungannya (Brown et al., 1999; Fitt et al., 2000). Indeks pemutihan
menggambarkan pemutihan yang terjadi pada beberapa jenis karang untuk setiap
lokasi pengamatan. Semakin tinggi nilai indeks pemutihan, maka semakin tinggi
pula pemutihan jenis karang yang terjadi pada saat pengamatan, sebaliknya
semakin rendah nilai indeks pemutihan pada setiap lokasi pengamatan, maka
semakin kecil pula pemutihan jenis karang yang terjadi pada lokasi tersebut.
Indeks pemutihan pada setiap lokasi di Pulau Weh mempunyai nilai yang
bervariasi, namun secara umum indeks pemutihan memiliki nilai lebih tinggi pada
saat pengamatan bulan Mei dan bulan Juli 2010 (Tabel 5).
Pada bulan Mei 2010 indeks pemutihan tertinggi terjadi pada stasiun 1
(Gapang) dengan nilai sebesar 70,23 %, sedangkan indeks pemutihan terendah
karang yang memutih memiliki nilai sebesar 66,9 % dan sebagian besar
mengalami pemucatan dengan nilai 21 %. Pada bulan Juli 2010 indeks pemutihan
tertinggi masih terjadi pada lokasi pengamatan yang sama, yaitu stasiun 1
(Gapang) dengan nilai sebesar 95,53 %, sedangkan indeks pemutihan terendah
terdapat pada stasiun 7 (Jaboi) dengan nilai 45,18 %.
Tabel 5. Nilai indeks pemutihan (%) pada bulan Mei 2010, Juli 2010, dan Februari 2011 untuk setiap lokasi pengamatan
Stasiun Nama Lokasi
Indeks
Pada bulan Februari 2011 mulai terlihat adanya penurunan nilai indeks
pemutihan dibandingkan dengan bulan Mei dan Juli 2010. Pada bulan Februari
2011 terlihat mulai terjadi pemulihan, hal ini ditunjukkan untuk setiap proporsi
karang yang sebelumnya mengalami pemutihan dan pucat telah kembali dalam
sebesar 15 %. Data Kategori karang yang mengalami pemutihan ditampilkan
pada Lampiran 3.
Secara umum tingginya SPL pada bulan Mei telah menyebabkan
terjadinya pemutihan. Nilai SPL pada bulan Mei 2010 memiliki nilai di atas 31
˚C untuk setiap stasiun pengamatan, sedangkan pada bulan Februari 2011 SPL
mulai mengalami penurunan menjadi 28-29 ˚C pada setiap stasiun pengamatan
(Gambar 9).
Gambar 9. Nilai SPL bulan Mei 2010, Juli 2010, dan Februari 2011 hasil pendugaan citra satelit MODIS pada setiap lokasi pengamatan
Mayoritas pemutihan karang secara besar-besaran dalam kurun waktu dua
dekade terakhir ini berhubungan dengan peningkatan suhu permukaan laut (SPL)
dan khususnya pada hotspots (Hoegh-Guldberg, 1999 dalam Westmacott, S et al.,
2000 ). Hasil penelitian Goreau dan Hayes (2005a) mengatakan bahwa
peningkatan suhu 1-2 ˚C di atas suhu rata-rata dalam satu bulan dapat
menyebabkan pemucatan (bleaching) pada hewan karang, hal ini terjadi pada
musim peralihan ke-1 pada bulan April – Mei tahun 2010, dimana terjadi
kenaikan SPL sebesar 1-2˚C, dibandingkan bulan-bulan sebelumnya. hotspot
adalah daerah dimana SPL memiliki nilai suhu tertinggi dibandingkan dari
rata-rata selama 10 tahun di lokasi tersebut (Goreau dan Hayes, 1994 dalam
Westmacott, S. et al., 2000).
Perubahan suhu secara signifikan terjadi pada bulan April 2010 dengan
nilai 31,29 ˚C. Apabila hotspot naik lebih dari 1°C diatas maksimal tahunan
selama 10 minggu atau lebih, pemutihan pasti terjadi (Wilkinson, 1999 dalam
Westmacott, S. et al., 2000). Anomali antara 0.7- 0.9 °C, akan mengalami
pemutihan ringan dengan kondisi zooxhanthellae dapat kembali. Anomali suhu yang melebihi 0.9 °C di atas rata-rata akan menyebabkan kematian karang yang
tinggi (Gambar 10).
Gambar 10. Besaran nilai trend pemutihan sebagai fungsi anomali panas (modifikasi) (sumber : Goreau dan Hayes, 2005b)
Peristiwa kematian karang yang tinggi ini dapat terjadi, apabila dengan
anomali suhu yang panas dan terjadi secara berkepanjangan (Goreau dan Hayes,
2005b). Kenaikan suhu akan mengganggu kemampuan zooxanthellae untuk
berfotosintesis dan dapat memicu produksi senyawa kimia berbahaya yang
akhirnya merusak sel-sel zooxhanthellae pada hewan karang. Pada kondisi ini hewan karang yang kehilangan zooxanthellae menyebabkan penurunan dan
efisiensi dalam melakukan kegiatan fotosintesis pada terumbu karang yang
akhirnya menyebabkan karang mengalami kematian.
Penelitian yang dilakukan oleh Ateweberhan dan Mclanahan (2010)
mengenai respon kejadian El-Nino Southern Oscillation (ENSO) pada tahun 1998
terhadap persen penutupan terumbu karang pada 36 lokasi di Western Indian Ocean Region mengungkapkan adanya pengaruh yang signifikan yang disebabkan peningkatan SPL akibat dampak dari el-nino terhadap persen penutupan terumbu
karang dimana terlihat adanya perubahan persen penutupan terumbu karang yang
mengalami penurunan setelah kejadian el-nino pada tahun 1998. Penurunan tertinggi terjadi di pusat dan daerah tengah-northern WIO, Arab dan Oman Gulfs.
Wilayah yang sangat rentan dengan kematian karang yang tinggi adalah India
Selatan, Sri Lanka, dan Maladewa. Sedangkan perairan Laut Merah, Mayotte,
Komoro, Selatan Mozambik, Afrika Selatan, Madagaskar, Réunion, Mauritius dan
Rodrigues merupakan wilayah dengan dampak kematian rendah hingga sedang.
4.3 Hubungan Perubahan SPL Terhadap Persentase Pemutihan Tingkat Genera
Hasil pendugaan oleh Citra Satelit Aqua Modis menunjukkan adanya
dengan nilai rata-rata SPL sebesar 31,29 ˚C pada bulan April dan 31,17 ˚C pada
bulan Mei. Peningkatan SPL ini memicu terjadinya pemutihan pada sebagian
Genera karang (Gambar 11). Genera Gardinoseris, Pocillopora, Favites,
Acropora, Asteropora, dan Hydnopora, Galaxea, Echinopora, Platygra, dan Fungia merupakan sepuluh genera yang mengalami pemutihan tertinggi.
Gambar 11. Persentase kategori pemutihan koloni karang berdasarkan tingkat genera pada bulan Mei 2010
Pada bulan Juli 2010, hasil pendugaan SPL menunjukkan terjadinya
penurunan sebesar 1-2 ˚C, dengan nilai rata-rata SPL sebesar 28-29 ˚C. Genera
Leptoria, Symphyllia, Astreopora, Physogyra, Favia, Fungia, Acanthastrea, Favites, Montastrea, dan Galaxea merupakan 10 genera tertinggi yang mengalami
sebagian karang mengalami pemutihan dan sebagian lainnya telah mengalami
kematian. Karang yang mengalami kategori pemutihan tertinggi adalah genus
Leptoria sebesar 92 %,genus Symphylia sebesar 85 %, genus Astreopora sebesar
85 %, dan genus Physogyra sebesar 83 %. Genera karang yang mengalami kematian tertinggi adalah genera Acropora dengan persentase sebesar 94 %, Pocillopora dengan persentase sebesar 86 %, dan Porites branching dengan
persentase kematian sebesar 59 %.
Gambar 12. Persentase kategori pemutihan koloni karang berdasarkan tingkat genera pada bulan Juli 2010
Pada bulan Februari 2011 ditemukan sebagian genera karang dalam
kondisi sehat, sedangkan genera lainnya ditemukan dalam kondisi pucat dan mati
(Gambar 13). Genera yang banyak ditemukan dalam kondisi sehat adalah
Goniopora, Acanthastrea, Cyphastrea, Pavona, Stylophora, Montipora, Favia
Leptrastrea dan Diploastrea. Genera yang banyak ditemukan mengalami kondisi pucat, seperti Cyphastrea, Echinopora, Hydnopora, Seriatopora dan Goniastrea.
Genera yang sebagian ditemukan dalam kondisi mati, antara lain Pocillopora dan Acropora (Gambar 13).
Gambar 13. Persentase kategori pemutihan koloni karang berdasarkan tingkat genera pada bulan Februari 2011
Secara umum proporsi genera karang yang ditemukan selama tiga kali
periode pengamatan, yaitu bulan Mei 2010, bulan Juni 2010, dan bulan Februari
2011 menunjukkan adanya perubahan signifikan. Pada saat terjadinya pemutihan
karang, yaitu pada bulan Mei 2010 banyak ditemukan sebagian karang dalam
kondisi mati sebesar 4,8 %, putih sebesar 66,9 %, pucat sebesar 21 % dan sehat
sebesar 7,3 %. Pada bulan Juli 2010 ditemukan sebagian karang dalam kondisi
mati sebesar 44 % , putih sebesar 34,6 %, pucat sebesar 6,3 % dan sehat sebesar
15,2 %. Pada periode akhir pengamatan, yaitu bulan Februari 2011 ditemukan
sebagian karang dalam kondisi mati sebesar 34,7 %, putih sebesar 0,5 %, pucat
sebesar 3 %, dan 61,7 % dalam kondisi sehat (Gambar 14). Dokumentasi
mengenai genera karang yang mengalami pemutihan pada saat pengamatan bulan
Mei 2010 ditampilkan pada Lampiran 4.
Gambar 14. Proporsi karang pada periode pengamatan Mei 2010, Juli 2010, dan Februari 2011
Terdapat beberapa variasi kematian karang akibat pemutihan, koloni
karang dapat mengalami kematian atau dapat juga mengalami pemulihan. Karang
yang mengalami kematian dapat berupa kematian sebagian atau seluruhnya.
Koloni karang dengan ukuran yang besar sering mengalami kematian sebagian,
sedangkan sebagian koloni dengan ukuran kecil umumnya mengalami kematian
mutlak. Karang yang mengalami pemulihan sering diikuti dengan kejadian
turunnya suhu yang mendekati kondisi normal (Baker, et al., 2008) serta ditandai
dengan adanya karang yang baru tumbuh (recruitments) (Graham et al.,2006
dalam Smith et al., 2008).
Pada bulan Februari 2011 umumnya didominasi karang dalam kondisi
sehat, walaupun ada beberapa karang yang mengalami kematian. SPL hasil
pendugaan melalui citra satelit Aqua Modis menunjukkan bahwa SPL pada bulan Februari rata-rata berkisar diantara 28-29 ˚C, begitu juga hasil rata-rata SPL pada
bulan sebelumnya, yaitu pada bulan Desember 2010 dan Januari 2011 ditemukan
dengan kondisi SPL yang mulai berangsur-angsur menurun dengan nilai SPL 28
˚C.
Kondisi karang yang ditemukan pada kondisi sehat ini dijelaskan oleh
Birkeland (1997) yang mengatakan bahwa suhu optimal untuk pertumbuhan
karang adalah 26-28 ˚C, selain nilai suhu yang optimal tersebut, ada beberapa
faktor lain yang mengurangi dampak pemutihan karang seperti pengaruh
lingkungan dan fisik perairan, seperti paparan cahaya matahari terhadap karang
dalam kondisi yang tidak berlangsung lama, nutrient yang tinggi, rendahnya
sedimentasi (Craig et al., 2001; Salm et al., 2001 dalam Baker et al., 2008).
Hasil penelitian ini menemukan bahwa genera Pocillopora dan Acropora rentan terhadap pemutihan, sedangkan karang yang mampu menoleransi
perubahan suhu secara signifikan adalah genera Diplostrea dan Montipora. Hal ini bisa dilihat pada akhir pengamatan, yaitu bulan Februari 2011 karang
Acropora dan Pocillopora memiliki tingkat kematian sebesar 63,5 % dan 56,2 %,
sedangkan karang Diplostrea dan Montipora memiliki tingkat kematian 3,1 % dan 2,1 %. Karang-karang pembangun terumbu tidak semuanya sama dalam
masif (Porites sp.) relatif tahan terhadap tekanan suhu dan jika mengalami
pemutihan cenderung pulih dengan sedikit atau tanpa peningkatan kematian.
Genus Acropora (karang bercabang) terlihat lebih peka oleh peningkatan suhu
perairan. Dalam kasus ini bisa mencapai 95% dari koloni yang mengalami
pemutihan dan mati dalam 3-6 bulan berikutnya (Gleason dan Wellington, 1993).
Penelitian yang dilakukan oleh McClanahan mengenai dampak dan respon
pemutihan dan kematian karang pada dua lokasi berbeda, yaitu Kenya dan Great Barrier Reef (GBR), Australia mengungkapkan bahwa genera Stylophora dan
Pocillopora merupakan genera yang rentan mengalami pemutihan di kedua lokasi tersebut, sedangkan Acropora dan Porites bercabang lebih mudah mengalami
pemutihan pada lokasi pengamatan di Kenya daripada di GBR, sedangkan genera
Goniopora, Galaxea dan Pavona merupakan genera yang cenderung bertahan pada kedua lokasi tersebut (McClanahan et al., 2004).
Penelitian lainnya juga menjelaskan bagaimana respon pemutihan
beberapa genera karang di Kenya terhadap kejadian El Nino dan Indian Ocean Dipole pada tahun 1998. Penelitian tersebut mengungkapkan genera Acropora,
Millepora, Pocillopora, Porites bercabangdan Stylopohora menunjukkan respon pemutihan yang cepat dan kematian yang tinggi, sedangkan genera karang lainnya
seperti Echinopora, Favia, Favites, Galaxea, Hydnopora, Goniopohora, Leptoria, Montipora, Playgyra dan Porites masif banyak ditemukan p ada kondisi putih. Astreopora, Cocinarea, Cyphastrea dan Pavona merupakan genera yang dimana
banyak mengalami pemutihan, tetapi sedikit yang mengalami kematian
mempunyai respon yang berbeda dalam menghadapai stres yang diakibatkan
peningkatan suhu permukaan laut.
Respon yang berbeda tersebut dipengaruhi oleh jaringan yang tipis serta
usia dan ukuran koloni karang yang merupakan beberapa faktor yang
membedakan respon terjadinya pemutihan pada setiap genus karang. Pada jenis
karang Acropora yang memiliki jaringan lebih tipis memiliki sifat lebih cepat
mengalami kematian akibat peningkatan suhu yang tiba-tiba. Jaringan yang tipis
ini akan memberikan energi yang sedikit pada saat melakukan kegiatan
fotosintesis, sehingga dapat mempercepat kematian karang (Loya et al., 2001 dalam McCowan et al.,2012)
Douglas (2003) juga memaparkan mengenai respon yang berbeda pada
setiap genus karang akibat peningkatan suhu permukaan laut dapat dilihat melalui
dua perspektif, yaitu ekologi molekuler symbiodinium dan ekofisiologi karang.
Genus Symbiodinium memiliki variasi molekuler pada tingkat ribosomal RNA (rRNA) yang tercakup dalam dua clade yaitu filotipe A dan filotipe B – F (Rowan,
1998 dalam Douglas, 2003). Filotipe A, B dan C termasuk yang kosmopolit dan
terdistribusi secara luas di Atlantik dan Indo-Pasifik, meskipun ribotipe C
biasanya tidak terdapat pada daerah latitude tinggi (>35 – 400).
Variasi genetik pada kerentanan terhadap pemutihan ditunjukkan melalui
penelitian pada karang Montastrea annularis dan M. faveolata di pesisir Karibia, Panama. Spesies-spesies tersebut memiliki ribotipe A, B dan C. Karang yang
mengandung ribotipe B dan C (B mendominasi, >80% sel alga) tidak
menunjukkan gejala pemutihan secara visual saat peningkatan suhu, sedangkan
pemutihan (Rowan et al., 1997 dalam Douglas, 2003). Dari fenomena tersebut
tampaknya ribotipe C memiliki toleransi yang lebih rendah terhadap
pemutihan,akan tetapi basis biokimia dalam variasi genetis Symbiodinium saat ini
masih belum diketahui (Douglas, 2003).
4.4 Hubungan SPL dengan Pemutihan Karang
Hubungan antara SPL dengan indeks pemutihan dikelompokkan
berdasarkan analisis perhitungan komponen utama, untuk melihat seberapa besar
keterkaitan antara satu parameter dengan parameter yang lain. Parameter yang
dianalisis adalah SPL dengan indeks pemutihan karang. Indeks pemutihan karang
terbagi menjadi beberapa kategori, yaitu karang sehat, karang pucat, karang 0-20
% putih, karang 20-50 % putih , karang 50-80 % putih, 80-100 % putih dan
karang mati. Pada lokasi penelitian terbagi menjadi 13 stasiun penelitian dimana
stasiun penelitian tersebut terbagi menjadi tiga Zonasi, yaitu wilayah Panglima
laot, Open Acess dan Tourist Area.
4.4.1 Pengamatan bulan Mei 2010
Pada pengamatan bulan Mei 2010 diperoleh delapan akar ciri. Akar ciri
pertama memiliki nilai 2,51 dan mampu menerangkan keragaman data sebesar
31,38 %. Akar ciri kedua memiliki nilai 1,65 dan mampu menerangkan
keragaman data sebesar 20,68 %. Akar ciri ketiga memiliki nilai 1,48 dan mampu
menerangkan keragaman data sebesar 18,5 %. Dari ketiga akar ciri tersebut
didapatkan nilai persen keragaman total sebesar 70,56 % (Lampiran 5). sehingga
interpretasi analisis komponen utama ini dapat mewakili 70 % informasi dari data
Hasil analisis komponen utama menjelaskan pada sumbu pertama
pengaruh SPL berkorelasi positif terhadap karang yang mengalami pemutihan
pada kategori pucat, karang 0-20 % putih, dan karang 20-50 % putih. Pada sumbu
kedua didapatkan hubungan variabel SPL yang juga berkorelasi positif terhadap
karang pucat, karang 0-20 % putih dan karang 20-50 % putih (Gambar 15).
Gambar 15. Analisis komponen utama antara SPL dengan indeks pemutihan pada sumbu satu (F1) dan sumbu dua (F2) pada pengamatan bulan Mei 2010
Pada Gambar 16 merupakan hasil pengelompokkan analisis komponen
utama pada sumbu satu dan sumbu dua terhadap keseluruhan stasiun penelitian
didapatkan bahwa karang yang mengalami kematian banyak ditemukan pada
stasiun Batee Meuronron, Rubiah Sea Garden dan Ujung Kareung , sedangkan karang yang berada dalam kondisi sehat banyak ditemukan pada stasiun penelitian
F2 (20,68 %)
Jaboi dan Renteuk. Selain itu stasiun Sumur Tiga juga banyak ditemukan karang
pada kondisi sehat dan mengalami kematian.
Gambar 16. Hasil pengelompokkan stasiun penelitian menggunakan analisis komponen utama berdasarkan sumbu satu dan sumbu dua pada bulan Mei
Pada sumbu ketiga didapatkan hubungan yang berkorelasi positif di antara
variabel SPL dengan hampir semua beberapa kategori karang seperti karang
pucat, karang sehat, karang 20-50 % putih, karang 50-80 % putih, karang 80-100
% putih,dan karang mati, kecuali untuk kategori karang 0-20 % putih dimana
didapatkan korelasi yang negatif di antara variabel SPL dengan kategori karang
0-20 % putih tersebut (Gambar 17).
Hasil pengelompokkan pada sumbu satu dan sumbu tiga karang yang
banyak ditemukan pada kondisi mengalami pucat berada pada stasiun Renteuk
dan Jaboi, sedangkan karang yang ditemukan dalam kondisi mati berada pada
stasiun Rubiah Sea Garden (Gambar 18).
Gambar 17. Analisis komponen utama antara SPL dengan indeks pemutihan pada sumbu satu (F1) dan sumbu tiga(F3) pada pengamatan bulan Mei 2010
Gambar 18. Hasil pengelompokkan stasiun penelitian menggunakan analisis komponen utama berdasarkan sumbu satu dan sumbu tiga pada bulan Mei
F3 (18,51 %)
F1 (31,38 %) F3 (18,51 %)
Hubungan yang terbentuk pada sumbu satu dan sumbu kedua diperoleh
hubungan negatif antara variabel SPL terhadap kategori karang yang mengalami
kematian, sedangkan untuk sumbu ketiga didapatkan variabel SPL cenderung
berpengaruh terhadap beberapa jenis kategori karang yang mengalami pemutihan,
kecuali untuk kategori karang 0-20 % putih.
Hal ini menjelaskan bahwa pada bulan ini kenaikan SPL tidak berdampak
langsung terhadap kematian karang, mekanisme terjadinya pemutihan karang
adalah hilangnya jaringan pigmen zooxhanthellae dalam sel, yang menyebabkan
karang mengalami perubahan warna menjadi pucat atau putih sebagian apabila
kondisi ekstrim tersebut berlangsung dalam jangka waktu yang lama, maka karang
akan cepat mengalami kematian (Reid et al., 2009).
4.4.2 Pengamatan bulan Juli 2010
Pengamatan pada bulan Juli 2010 didapatkan nilai akar ciri pertama
sebesar 3,75 akar ciri pertama tersebut mampu menerangkan keragaman data
sebesar 46,97 %. Akar ciri kedua memiliki nilai 1,26 dan mampu menerangkan
keragaman data sebesar 15,8 %. Akar ciri ketiga didapatkan nilai sebesar 1,04
dan mampu menerangkan keragaman data sebesar 13,04 % . Ketiga akar ciri
tersebut memiliki persen keragaman total sebesar 75,82 % (Lampiran 6).
Pada sumbu pertama dan sumbu kedua hubungan yang terbentuk di antara
variable SPL berkorelasi positif dengan karang yang mengalami kematian .
Variabel SPL juga memiliki hubungan yang negatif terhadap kategori karang
Gambar 19. Analisis komponen utama antara SPL dengan indeks pemutihan pada sumbu satu (F1) dan sumbu dua (F2) pada pengamatan bulan Juli
2010
Gambar 20. Hasil pengelompokkan stasiun penelitian menggunakan
analisis komponen utama berdasarkan sumbu satu dan sumbu dua pada bulan Juli
F2 (15,80 %)
F1 (46,97 %)
F2 (15,80 %)
Hasil pengelompokkan analisis komponen utama pada stasiun penelitian
didapatkan bahwa karang yang mengalami kematian banyak ditemukan pada
stasiun Gapang, Rubiah Channel, dan Ujung Seurawan (Gambar 20).
Pada Gambar 20 juga ditampilkan karang yang berada dalam kondisi
sehat banyak ditemukan pada stasiun penelitian Jaboi, sedangkan pada stasiun
lainnya seperti Benteng dan Rubiah Sea Garden umumnya banyak ditemukan
karang dalam kondisi 50-80 % putih dan 80-100 % putih.
Pada sumbu ketiga hubungan yang terbentuk diantara variabel SPL dengan
beberapa kategori karang yang mengalami pemutihan juga memiliki korelasi yang
sama dimana variabel SPL berkorelasi posistif terhadap karang yang mengalami
kematian dan berkorelasi negatif dengan karang 50-80 % putih dan karang pucat
(Gambar 21).
Gambar 21. Analisis komponen utama antara SPL dengan indeks pemutihan pada sumbu satu (F1) dan sumbu tiga (F3) pada pengamatan bulan Juli 2010
Pengelompokkan sebaran staiun penelitian pada sumbu satu dan tiga
didapatkan karang yang memiliki kondisi sehat berada pada stasiun Rubiah Sea
Garden, sedangkan stasiun Gapang merupakan stasiun yang dicirikan banyaknya
karang ditemukan dalam kondisi mengalami kematian (Gambar 22).
Gambar 22. Hasil pengelompokkan stasiun penelitian menggunakan analisis komponen utama berdasarkan sumbu satu dan
sumbu tiga pada bulan Juli
Hubungan yang terjadi pada pengamatan bulan Juli 2010 terlihat adanya
kecenderungan karang yang memutih pada bulan Mei 2010 mengalami kematian,
hal ini dapat dilihat bahwa pada pengamatan bulan Juli, variable SPL memiliki
korelasi yang positif dengan karang mati.
Banyakanya kematian karang pada bulan Juli 2010 ini disebabkan selama
peristiwa pemutihan, karang kehilangan 60-90% dari jumlah zooxanthellanya dan zooxantela yang masih tersisa dapat kehilangan 50-80% pigmen fotosintesisnya (Glynn, 1996 dalam Rani, 2001). Gangguan yang berkepanjangan ini dapat
F3 (13,05 %)