• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kelayakan usaha kapulaga (Amomum cardamomum) di desa sedayu kecamatan loano kabupaten purworejo, wilayah kph kedu selatan perum perhutani unit 1 Jawa Tengah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kelayakan usaha kapulaga (Amomum cardamomum) di desa sedayu kecamatan loano kabupaten purworejo, wilayah kph kedu selatan perum perhutani unit 1 Jawa Tengah"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

KELAYAKAN USAHA KAPULAGA (

Amomum cardamomum

)

Di Desa Sedayu Kecamatan Loano Kabupaten Purworejo,

Wilayah KPH Kedu Selatan Perum Perhutani

Unit I Jawa Tengah

AFRIYANI SELISIYAH

DEPARTEMEN MANAJEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS KEHUTANAN

(2)

KELAYAKAN USAHA KAPULAGA (

Amomum cardamomum

)

Di Desa Sedayu Kecamatan Loano Kabupaten Purworejo,

Wilayah KPH Kedu Selatan Perum Perhutani

Unit I Jawa Tengah

AFRIYANI SELISIYAH

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN MANAJEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS KEHUTANAN

(3)

Judul Skripsi : Kelayakan Usaha Kapulaga (Amomum cardamomum) di Desa Sedayu Kecamatan Loano Kabupaten Purworejo, Wilayah KPH Purworejo Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah

Nama : Afriyani Selisiyah NIM : E14061702

Menyetujui, Dosen Pembimbing,

Prof. Dr. Ir. Hardjanto, MS NIP. 1955 0606 198103 1 008

Mengetahui,

Ketua Departemen Manajemen Hutan

Dr. Ir. Didik Suharjito, MS NIP. 1963 0401 199403 1 001

(4)

RINGKASAN

AFRIYANI SELISIYAH (E14061702). Kelayakan Usaha Kapulaga (Amomum cardamomum) di Desa Sedayu Kecamatan Loano Kabupaten Purworejo Wilayah KPH Kedu Selatan Perum Perhutani Unit 1 Jawa Tengah. Di bawah bimbingan HARDJANTO.

Salah satu tanaman obat yang dibutuhkan oleh masyarakat namun mempunyai suplai yang masih relatif kecil adalah kapulaga (Ammomum cardamomum). Tanaman kapulaga merupakan salah satu diantara tanaman rempah yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan berprospek cerah. Potensi pengembangan kapulaga di Indonesia cukup tinggi, namun peningkatan produksinya selama ini belum mencukupi kebutuhan pasar dalam dan luar negeri. Sehubungan dengan hal tersebut, petani Desa Sedayu mencoba mengoptimalkan penggunaan lahan Perhutani dengan menanam kapulaga sebagai tanaman sela pada tegakan pinus. Terpilihnya kapulaga sebagai tanaman sela bukan tanpa alasan. Pada dasarnya penanaman secara tumpangsari dapat lebih menguntungkan apabila tanaman yang ditumpangsarikan dapat memanfaatkan sumber lingkungan secara maksimal selama masa pertumbuhannya. Keputusan untuk melakukan kegiatan konservasi dari budidaya pohon pinus ke tumpangsari dengan kapulaga perlu dikaji lebih lanjut dari segi finansial agar terhindar dari resiko kerugian yang besar dan melihat bagaiman prospek pemasaran kapulaga di Desa Sedayu.

Teknik pengumpulan data primer dengan menggunakan metode Purposive Sampling, artinya setiap elemen tidak mendapatkan kesempatan yang sama untuk dipilih. Sample diambil dengan maksud atau tujuan tertentu sebanyak 40 orang petani, dengan menggunakan teknik wawancara dan pengamatan lokasi. Sedangkan metode untuk mengetahui prospek pasar adalah dengan survey, dalam pengambilan sampel responden dilakukan dengan metode Snowball Sampling. Dari identifikasi permulaan ini selanjutnya akan ditemukan unit sampel berikutnya, artinya menentukan sampel awal yang kemudian menetukan sampel berikutnya berdasarkan informasi yang diperoleh.

Dari hasil penelitian yang dilakukan, hasil analisis terhadap aspek finansial yang meliputi NPV, Net B/C, IRR, dan Payback Period, maka pengusahaan kapulaga di Desa Sedayu layak untuk diusahakan, hal ini dapat dinilai dari nilai NPV > 0 yaitu sebesar Rp 31.885.009; Net B/C > 1 yaitu 1,30; dan IRR sebesar 22,29%; dimana nilai lebih besar dari tingkat suku bunga (discount factor) sebesar 13% serta payback period yang diperoleh dalam pengusahaan kapulaga adalah 4,23 (4 tahun 3 bulan). Pengusahaan tanaman kapulaga memiliki prospek pasar yang baik, hal ini dikarenakan permintaan akan kapulaga relatif masih tinggi. Jumlah permintaan dari pedagang pengumpul masih belum dapat dipenuhi oleh petani sehingga memiliki nilai excess demand yang masih tinggi.

(5)

SUMMARY

AFRIYANI SELISIYAH (E14061702). Business Feasibility Cardamom (Amomum cardamomum) in Sedayu Village Loano sub-district Purworejo District KPH of Southern Kedu Unit 1, Central Java. Under Supervised by HARDJANTO.

One of the medicinal plants needed by community is cardamom (Ammomum cardamomum) but relatively little in supply. It is one of the herb plants which has high economic value and good prospects. Its potential development in Indonesia is quite high, but the increasing of production do not fulfill the market demands on domestic and international yet. Regarding to this case Sedayu farmers try to optimize the using of Perhutani land through planting cardamom as sidelines plant on pine stands. The election of cardamom as sidelines plant was not without reason. Basically multicultural planting can be more profitable if those plants could maximally exploit environmental resources along growth period. The decision for conservation of monocultural pine into multicultural with cardamom are needed to be reviewed in financial aspect avoid the risk in order to of loss and analysed see the marketing prospects in Sedayu.

Primary data were collected by using Purposive Sampling method. This means that each element did not get the same chance to be selected. The taken samples foe particular purpose were 40 farmers, through interviewing and observing. While method to determine the market prospects is survey, which used Snowball Sampling in respondents taking. Based on beginning of this identification would be found in the next sample units, which determining the initial sample and the next samples based on the information obtained.

The results of on financial aspect analysis including NPV, Net B/C, IRR, and Payback Period, the cardamom cultivation in Sedayu were worthed to be conducted. This is indicated by the value of NPV > 0 amount of IDR 31,885,009; Net B / C> 1 is 1.3; and IRR of 22.29%, where the value is higher than interest rate (discount factor) of 13% and the payback period obtained in cardamom cultivation is 4.23 (4 years 3 months). Cardamom cultivation has good market prospects. This is caused by the demand for cardamom still relatively high. The number of requests from traders still not be fulfilled by farmers so that the value of excess demand is high.

(6)

PERNYATAAN

Dengan ini saya mengatakan bahwa skripsi berjudul Kelayakan Usaha Kapulaga (Amomum cardamomum) di Desa Sedayu Kecamatan Loano Kabupaten Purworejo Wilayah KPH Kedu Selatan Perum Perhutani Unit 1 Jawa Tengah adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing

dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2011

Afriyani Selisiyah

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul Kelayakan Usaha Kapulaga (Amomum cardamomum) di Desa Sedayu Kecamatan Loano Kabupaten Purworejo, Wilayah KPH Kedu Selatan Perum Perhutani Unit 1 Jawa Tengah. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Kedua orangtua (Suwanto dan Parjini), Adikku Melia Piskawati yang selalu memberikan doa, dukungan, semangat, dan kasih sayang.

2. Prof. Dr. Ir. Hardjanto, MS selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, bantuan dan masukan selama penelitian hingga penulisan skripsi ini selesai.

3. Dr. Ir. Endes N Dahlan, MS sebagai dosen penguji Departemen Konservasi Sumber daya Hutan dan Ekowisata.

4. Dr. Ir. Istomo, MS sebagai dosen penguji Departemen Silvikultur.

5. Ir. Rita Kartika Sari, MSi sebagai dosen penguji Departemen Teknologi Hasil Hutan.

6. Seluruh dosen fakultas Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan pelajaran yang berguna selama menjadi mahasiswa fakultas kehutanan IPB. 7. Drs. Wahyu Agus Setiono, MM dari Perum Perhutani Unit 1 Jawa Tengah

yang telah memberikan arahan dan masukan selama penelitian.

8. Perum Perhutani KPH Kedu Selatan yang telah memberikan kesempatan untuk melakukan penelitian di Desa Sedayu.

9. Bapak Narto, Kosim, Sutrisno, Triyono, yang telah membantu dalam

(8)

13. Teman-teman sebimbingan skripsi Handoko Agung Prabowo S. Hut, Ayu Purwaningtyas, S. Hut, dan Dwi Apriyanto, S. Hut.

14. Teman-temanku Andre, Suke, Danes, Linda, Elisda, Aci, Amel, Sentot,

Hania, Miranti, Suci, Andin, Kris, Iffah, Dola, Sifa, Ani, Putri dan seluruh rekan Manajemen Hutan lainnya yang tidak bisa disebutkan penulis satu-persatu.

Penulis menyadari bahwasanya skripsi saya tentunya didasarkan pada sudut

pandang dan bekal pengetahuan yang penulis miliki ini masih jauh dari sempurna. Keluasan sudut pandang dan pengetahuan yang pembaca miliki akan sangat bermanfaat untuk kritik dan saran sehingga membantu menyempurnakan tulisan ini. Semoga skripsi ini dapat berfungsi dan memberikan manfaat sebagaimana yang seharusnya bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 27 April 1988 dari pasangan Suwanto dan Parjini sebagai anak pertama dari dua bersaudara. Jenjang pendidikan formal yang telah dilalui penulis antara lain SD Negeri Teluk Pucung Asri tahun 1994-2000, SLTP Negeri 1 Bekasi tahun 2000-2003 dan Sekolah Menengah Umum di SMU Negeri 2 Bekasi tahun 2003-2006. Pada tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Program Studi Manajemen Hutan Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Pada semester 6 tahun 2009 penulis memilih laboratorium Politik, Ekonomi, Sosial Kehutanan (Poleksoshut) sebagai bidang keahlian.

Penulis telah mengikuti berbagai kegiatan praktek lapangan antara lain Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) pada bulan Juli 2008 di Sancang Kamojang Jawa Barat. Kemudian pada bulan Juli-Agustus 2009 penulis melakukan Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Gunung Walat dan Tanggeung, Sukabumi. Penulis juga melakukan Praktek Kerja Lapang di PT Balikpapan

Forest Industries (BFI) pada bulan Maret-April 2010.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif pada beberapa organisasi kemahasiswaan diantaranya sebagai pengurus dan anggota Staf bidang Hubungan Luar (Hublu) Kehutanan Himpunan Mahasiswa Profesi Forest Management

Student Club (Himpro FMSC) tahun 2007-2008, anggota Public Relation (PR) International Forest Student Association (IFSA) tahun 2007-2008. Penulis juga aktif sebagai panitia dan peserta seminar baik tingkat lokal maupun nasional.

(10)

DAFTAR ISI

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 15

3.2 Alat dan Sasaran Penelitian ... 15

(11)

3.4 Jenis dan Sumber Data ... 15

3.5 Metode Pengumpulan Data ... 16

3.6 Metode Analisis Proyek ... 16

BAB IV KEADAAN UMUM LOKASI PRAKTEK 4.1 Lokasi Penelitian ... 21

4.2 Keadaan Lapangan ... 22

4.3 Sosial Ekonomi ... 22

4.4 Karakteristik Responden ... 24

4.5 Deskripsi Proyek ... 25

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kelayakan Usaha Tanaman Obat Kapulaga ... 27

5.1.1 Arus Penerimaan ... 27

5.1.2 Arus Biaya ... 28

5.1.3 Analisis Finansial Pengusahaan Kapulaga ... 30

5.1.4 Analisis Sensitivitas ... 31

5.1.5 Aspek Teknis ... 32

5.1.6 Aspek Manajemen ... 36

5.1.7 Aspek Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan ... 38

5.2 Prospek Pemasaran Kapulaga ... 39

5.2.1 Bentuk Pasar ... 39

5.2.2 Peluang Pasar ... 39

5.2.3 Segmentasi Pasar ... 39

5.2.4 Strategi Pemasaran ... 40

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 43

6.2 Saran ... 43

DAFTAR PUSTAKA ... 44

(12)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Jumlah desa dan luas kecamatan Kabupaten Purworejo ... 21 2. Data penduduk berdasarkan mata pencaharian Desa Sedayu ... 24 3. Data penduduk berdasarkan pendidikan masyarakat Desa Sedayu ... 25 4. Perkiraan penjualan kapulaga per tahun lahan seluas 25 ha di

Desa Sedayu ... 28 5. Perincian penggunaan biaya investasi peralatan per tahun lahan

seluas 25 ha di Desa Sedayu ... 28 6. Biaya variabel pengusahaan kapulaga lahan seluas 25 ha di Desa

Sedayu ... 30 7. Kriteria kelayakan finansial pengusahaan kapulaga pada

Desa Sedayu ... 30 8. Hasil sensitifitas dari kedua skenario ... 32 9. Ketinggian, suhu, dan kemiringan pada lokasi usaha dan syarat

(13)

DAFTAR GAMBAR

No Halaman

1. Lokasi usaha kapulaga di Desa Sedayu ... 33

2. Buah kapulaga ... 35

3. Pengeringan buah kapulaga ... 36

4. LMDH Sedyo Rahayu ... 37

5. Pohon pinus dan tanaman kapulaga ... 38

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Perkiraan penjualan tahun pertama ... 46

2. Perkiraan penjualan tahun kedua ... 47

3. Perkiraan penjualan tahun ketiga ... 48

4. Perkiraan penjualan tahun keempat ... 49

5. Biaya variabel tahun pertama (biaya persemaian selama 6 bulan) ... 50

6. Biaya variabel tahun ke 1-5 ... 51

7. Penghitungan aliran kas dan kriteria kelayakan investasi ... 53

8. Analisis sensitivitas (penurunan harga jual 8,5%) ... 55

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia kaya akan sumber bahan obat alam dan obat tradisional yang telah digunakan oleh sebagian besar masyarakat secara turun menurun. Komoditi ini bersumber dari sektor pertanian melalui sub sektor perkebunan cukup besar sehingga dapat menjadi sumber devisa terbesar bagi Indonesia dan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan bagi masyarakat.

Tanaman obat merupakan salah satu komoditi hasil hutan bukan kayu yang

sangat potensial untuk dikembangkan. Menurut Zuhud et al. (2000) dalam Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan (2007), di kawasan hutan Indonesia terdapat lebih dari 1200 jenis tanaman obat, tapi baru sekitar 180 jenis tanaman yang telah dieksploitasi dan dikembangkan serta dimanfaatkan untuk bahan baku industri obat-obatan dan jamu. Potensi yang begitu besar karena keragaman jenis

dan khasiat dari tanaman obat yang ada di kawasan hutan Indonesia membuka peluang dan memberi kontribusi nyata bagi pembangunan dan pengembangan teknologi,

Penggunaan bahan alam, baik sebagai obat maupun tujuan lain cenderung meningkat, terlebih dengan adanya isu back to nature serta krisis berkepanjangan yang mengakibatkan turunnya daya beli masyarakat. Obat tradisional dan tanaman obat banyak digunakan masyarakat menengah kebawah terutama dalam upaya pencegahan penyakit (preventif), peningkatan kesehatan (promotif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif).

Salah satu tanaman obat yang dibutuhkan oleh masyarakat namun mempunyai suplai yang masih relatif kecil adalah kapulaga (Ammomum cardamomum) (Pusat Studi Biofarmaka 2009). Tanaman kapulaga merupakan salah satu diantara tanaman rempah yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan berprospek cerah.

KPH Kedu Selatan yang telah mengusahakan tanaman pinus di Desa Sedayu Kecamatan Loano Kabupaten Purworejo yang bekerjasama dengan

(16)

memanfaatkan hutan dan hasil hutan, tetapi juga berkewajiban meningkatkan kesejahteraan masyarakat, ketahanan pangan dan lapangan kerja.

Perhutani merupakan salah satu BUMN yang bergerak di bidang kehutanan

(khusus di Pulau Jawa), mempunyai peluang pengembangan tanaman obat yang cukup potensial. Pelaksanaan perhutanan sosial menerapkan sistem manajemen hutan dengan pola tanaman campuran antara jenis tanaman hutan dan tanaman pertanian. Tanaman pertanian pada umumnya adalah jenis tanaman yang tidak

tahan terhadap naungan, sehingga untuk masa yang akan datang diperlukan tanaman yang tahan naungan. Salah satu tanaman yang direkomendasikan untuk dikembangkan adalah kapulaga.

1.2Perumusan Masalah

Meningkatnya harga obat-obatan sebagai krisis ekonomi yang berkepanjangan, telah memberikan peluang bagi perkembangan industri obat tradisional. Banyaknya industri obat tradisional yang berkembang saat ini berpengaruh langsung terhadap peningkatan permintaan tanaman obat sebagai bahan baku. Kapulaga sebagai salah satu tanaman yang digunakan oleh industri obat tradisional memiliki peluang yang cukup prospektif. Selain digunakan sebagai tanaman obat, kapulaga juga berfungsi sebagai tanaman rempah dan

penghasil minyak atsiri.

Walaupun potensi pengembangan kapulaga di Indonesia cukup tinggi, namun peningkatan produksinya selama ini belum mencukupi kebutuhan pasar dalam dan luar negeri. Rendahnya produksi kapulaga ini disebabkan oleh berbagai

(17)

Sehubungan dengan hal tersebut, petani Desa Sedayu Kecamatan Loano mencoba mengoptimalkan penggunaan lahan Perhutani dengan menanam kapulaga sebagai tanaman sela pada tegakan pinus. Terpilihnya kapulaga sebagai

tanaman sela bukan tanpa alasan. Pada dasarnya penanaman secara tumpang sari dapat lebih menguntungkan apabila tanaman yang ditumpangsarikan dapat memanfaatkan sumber lingkungan secara maksimal selama masa pertumbuhannya. Dalam hal ini hasil dapat ditingkatkan dengan pemilihan

kombinasi tanaman yang sesuai, penggunaan varietas yang berproduksi tinggi, dan pengaturan kerapatan tanaman yang tepat. Oleh karenanya, keputusan untuk melakukan kegiatan konservasi dari budidaya pohon pinus ke tumpang sari dengan kapulaga perlu dikaji lebih lanjut dari segi finansial agar terhindar dari resiko kerugian yang besar.

Berdasarkan uraian di atas, maka pertanyaan yang perlu dijawab dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana kelayakan finansial pengusahaan tanaman kapulaga di Desa Sedayu Kecamatan Loano Kabupaten Purworejo wilayah KPH Kedu Selatan ? 2. Bagaimana prospek pemasaran kapulaga di Desa Sedayu Kecamatan Loano

Kabupaten Purworejo di wilayah KPH Kedu Selatan ?

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengukur kelayakan pengembangan usaha tanaman obat kapulaga di Desa Sedayu Kecamatan Loano wilayah KPH Kedu Selatan.

2. Mengkaji prospek pemasaran kapulaga.

1.4Manfaat Penelitian

(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Informasi umum tentang Kapulaga

Kapulaga adalah komoditas rempah yang sudah dikenal sejak ribuan tahun sebelum Masehi. Dalam perdagangan dunia, kapulaga disebut sebagai Cardamom. Ada dua macam Cardamom. Pertama True Cardamom alias kapulaga sabrang yang berasal dari India. Kedua adalah False Cardamom atau kapulaga lokal dari Indonesia. Nama latin True Cardamon adalah Elettaria cardamomum. Ada dua varietas E. cardamomum, pertama E. cardamomum varietas malabar dan kedua E. cardamomum varietas mysore. Jenis kapulaga yang disebut sebagai kapulaga palsu adalah Amomum cardamomum alias kapulaga lokal. Kapulaga digunakan untuk masakan namun lebih banyak digunakan untuk campuran obat-obatan/jamu (Anonim 2010).

Menurut Sinaga (2008) dalam Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan (2007), semua bagian tanaman ini baik batang maupun rimpangnya juga dapat dimanfaatkan, baik sebagai bahan obat-obatan (obat batuk, panas, rheumatik, sakit perut) maupun sebagai bumbu masakan. Tumbuhan ini tersebar hampir di seluruh Indonesia, terutama di Jawa Barat dan Sumatera Selatan. Selain di Indonesia, kapulaga banyak juga ditemukan di Srilanka, India, Guetamala, Tanzania, Papua Nugini, dan Malabar.

Kapulaga lokal adalah tanaman dataran rendah. Tanaman ini hanya bisa tumbuh baik dan berproduksi optimal pada lahan dengan ketinggian mulai dari 0 sampai dengan 700 meter di atas permukaan laut (mdpl). Sebaliknya, kapulaga sabrang tumbuh baik di dataran tinggi mulai dari 700 sampai dengan 1.500 mdpl. Buah kapulaga lokal tumbuh berupa dompolan yang menempel di atas tanah. Tiap dompolan berisi antara 10 sampai dengan 20 butiran buah. Buah kapulaga lokal berbentuk bulat, berdiameter sekitar 1 cm. Dalam buah tersebut ada segmen-segmen yang terpisah dan berisi butiran biji. Kulit buah kapulaga lokal berbulu halus berwarna cokelat kemerahan dan menjadi cokelat terang keputihan setelah tua. Buah kapulaga sabrang varietas malabar menempel pada malai yang tumbuh

(19)

menjalar di permukaan tanah dengan butiran buahnya juga menempel di tanah.

Penanaman kapulaga sabrang varietas mysore harus menggunakan mulsa. Biasanya digunakan mulsa plastik untuk menjaga kualitas buahnya. Ukuran buah kapulaga sabrang relatif lebih kecil dibanding kapulaga lokal. Bentuknya juga agak memanjang. Kulit buah licin berwarna hijau muda dan menjadi kekuningan setelah masak. Kapulaga lokal sudah mampu berproduksi pada umur 1,5 tahun setelah tanam dengan bibit anakan yang baik, sedangkan kapulaga sabrang baik yang varietas malabar maupun varietas mysore baru mulai berbuah pada umur 2 tahun (Anonim 2010).

2.2Tegakan Pinus Sebagai Tempat Naungan Kapulaga

Kapulaga sebagai salah satu jenis tanaman obat dapat dibudidayakan di bawah tegakan hutan melalui tumpangsari (agroforestry). Artinya dalam pembudidayaan tanaman ini pun tidak memerlukan lahan tersendiri, dalam arti tumbuh di bawah naungan tanaman lain sebagai tanaman sela atau tanaman tumpangsari. Kapulaga hanya mau tumbuh baik di bawah naungan. Komoditas ini cocok untuk dikembangkan sebagai tanaman tumpangsari pada kebun-kebun

tanaman keras. Misalnya di hutan jati, kebun kopi, kakao, petai, jeruk dan lain-lain yang bagian bawah tegakannya masih menerima sedikit sinar matahari. Kapulaga juga dapat tumbuh subur di tempat teduh atau di bawah kayu tegakan Perhutani, yang sebagian besar berupa tanaman pinus.

Satu-satunya pinus yang sebaran alaminya sampai di selatan katulistiwa. Di

Asia Tenggara menyebar di Burma, Thailand, Laos, Kamboja, Vietnam, Indonesia dan Filipina. Tersebar 23oLU-2oLS. Tumbuh pada ketinggian 30-1.800 mdpl, pada berbagai tipe tanah dan iklim. Curah hujan tahunan rata-rata 3.800 mm di Filipina hingga 1.000-1.200 mm di Thailand dan Burma. Di tegakan alam Sumatra (Aceh, Tapanuli dan Kerinci). Suhu tahunan rata-rata 19-28oC (Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan 2010).

2.3 Perbedaan Proyek Dengan Bisnis

(20)

merupakan wadah untuk melakukan kegiatan-kegiatan perencanaan, pembiayaan,

dan pelaksanaan dalam satu unit. Menurut Umar (2003) kegiatan proyek dapat diartikan sebagai suatu kegiatan sementara yang berlangsung dalam jangka waktu terbatas dengan alokasi sumberdaya tertentu, dan dimaksudkan untuk melaksanakan tugas yang sasarannya telah digariskan dengan jelas. Misalnya : membangun pabrik, membuat produk baru, atau mengikuti pameran.

Sedangkan bisnis memiliki kegiatan-kegitan yang tidak hanya membangun proyek, tetapi yang utama justru operasionalisasinya, sehingga beberapa aspek potensial, kepuasan konsumen, dan persaingan bisnis telah menjadi hal yang penting. Studi kelayakan proyek merupakan penelitian tentang layak atau tidaknya suatu proyek dibangun untuk jangka waktu tertentu. Sedangkan studi kelayakan bisnis merupakan penelitian terhadap rencana bisnis yang tidak hanya menganalisis layak atau tidak layak bisnis dibangun, tetapi juga saat dioperasionalkan secara rutin dalam rangka pencapaian keuntungan yang maksimal untuk waktu yang tidak ditentukan (Umar 2003).

2.4Analisis Kelayakan Usaha

Analisis kelayakan usaha mencangkup beberapa aspek antara lain : aspek pasar dan pemasaran, aspek teknis, aspek manajemen, aspek sosial ekonomi dan lingkungan, serta aspek finansial. Analisis kelayakan usaha yang disusun merupakan pedoman kerja, baik dalam penanaman investasi, pengeluaran biaya, cara produksi, cara melakukan pemasaran dan cara memperlakukan lingkungan

organisasi. Dalam kenyataannya tidak semua aspek harus diteliti, hanya aspek yang benar-benar dibutuhkan saja yang perlu dianalisis untuk dibahas lebih lanjut.

2.4.1 Aspek Pasar dan Pemasaran

(21)

muka, suara (by phone), penglihatan (by code) di pasar modal maupun melalui

tulisan/catatan (by internet) (Subagyo 2007).

Konsep pemasaran adalah suatu proses sosial dan manajerial yang didalamnya individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan dan mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain (Kotler 2005).

Pemasaran lebih mengutamakan kepuasan pelanggan. Lagipula perusahaan mengawalinya dengan mencari tahu kebutuhan dan keinginan pelanggan. Barulah kemudian dicari tahu produk yang dapat memuaskan kebutuhan dan keinginan itu. Laba justru diharapkan diperoleh dari kepuasan konsumen yang nantinya membeli dalam jumlah banyak, terus-terusan dan mungkin dengan harga yang menguntungkan (Amir 2005).

Aspek pasar dan pemasaran mencoba mempelajari tentang : 1. Permintaan dan Penawaran

Permintaan pasar pada dasarnya menunjukkan besarnya kuantitas permintaan konsumen atas produk atau jasa. Permintaan (demand) adalah jumlah barang yang tersedia dibeli para pembeli pada pasar tertentu dengan

harga tertentu dan pada waktu tertentu.

Penawaran adalah produk yang tersedia dan siap untuk memenuhi kebutuhan manusia. Produk yang dihasilkan produsen dan didistribusikan melalui saluran-saluran pemasaran yang ada (wholesale, grosir, agen) tersebar ke berbagai lokasi (daerah) dan mendekat kepada konsumen. Persediaan

produk tertentu terdapat di suatu lokasi (daerah) memiliki volume terbatas dan akan dibeli sesuai dengan tingkat kebutuhan masyarakat (rumah tangga, perusahaan, industri) yang jumlahnya juga tertentu. Volume produk sejenis yang tersedia dalam wilayah tertentu untuk dijual itulah yang disebut penawaran (Subagyo 2007).

2. Peluang Pasar

(22)

dibandingkan jumlah permintaan, disebut excess supply. Peluang pasar yang

muncul apabila jumlah permintaan lebih besar dibandingkan jumlah penawaran atau terjadi excess demand (Subagyo 2007).

3. Segmentasi Pasar

Segmentasi pasar merupakan bagian penting dalam menetukan strategi pemasaran. Segmentasi pasar adalah menggolongkan konsumen yang ada dan potensial bagi produk dan jasa atas dasar kebutuhan dan keinginan mereka secara umum (Umar 2003).

4. Strategi Pemasaran

Strategi pemasaran dapat didekati dengan konsep bauran pemasaran atau marketing mix. Umar (2003) bagi pemasaran produk barang, manajemen pemasaran akan dipecah menjadi 4 (empat) kebijakan pemasaran yang lazim disebut sebagai bauran pemasaran (marketing mix) atau 4P dalam pemasaran yang terdiri dari 4 (empat) komponen, yaitu produk (product), harga (price), saluran distribusi (place), dan promosi (promotion).

Pada umumnya perusahaan atau organisasi tidak memasarkan produknya langsung kepada pengguna akhir, diantaranya terdapat perantara yang

menjalankan fungsi pemasaran. Perantara ini membentuk saluran pemasaran yang juga disebut sebagai saluran dagang atau distribusi. Keputusan-keputusan saluran pemasaran termasuk diantara keputusan paling penting yang dihadapi manajemen.

2.4.2 Aspek Teknis

Aspek teknis merupakan suatu aspek yang berkenaan dengan proses pembangunan bisnis secara teknis dan pengoperasiannya setelah bisnis tersebut selesai dibangun.

Beberapa pertanyaan utama yang perlu mendapat jawaban dari aspek teknis ini adalah :

1. Lokasi bisnis, yakni di mana suatu bisnis akan dilaksanakan baik untuk pertimbangan lokasi dan lahan pabrik maupun lokasi bukan pabrik.

(23)

3. Kriteria pemilihan mesin dan equipment (perlengkapan) utama serta alat

pembantu mesin dan equipment (perlengkapan).

4. Bagaimana proses produksi dilakukan dan layout pabrik yang dipilih, termasuk juga layout bangunan dan fasilitas lain.

5. Apakah jenis teknologi yang diusulkan cukup tepat, termasuk di dalamnya pertimbangan variabel sosial yaitu kemampuan atau penerimaan masyarakat terhadap teknologi yang digunakan. (Nurmalina et al. 2009).

2.4.3 Aspek Manajemen

Manajemen dalam pembangunan proyek bisnis maupun manajemen dalam implementasi rutin bisnis adalah sama saja dengan manajemen lainnya. Aspek ini berfungsi untuk aktivitas-aktivitas perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengendalian (Umar 2003). Aspek manajemen yang dianalisis adalah aspek :

Planning (Perencanaan), Organizing (Pengorganisasian), Actuating (Pelaksanaan), dan Controlling (Pengendalian). Perencanaan merupakan

perencanaan pengembangan proyek yang akan dilakukan. Pengorganisasian merupakan pembagian tugas yang dilakukan dalam menjalankan operasional

usaha. Pelaksanaan merupakan bagaimana petani menjalankan usaha kapulaga, dan Pengendalian adalah bagaimana petani dalam usaha budidaya kapulaga dapat melakukan kontrol terhadap semua objek.

2.4.4 Aspek Ekonomi, Sosial dan Lingkungan

(24)

2.4.5 Aspek Finansial

Tujuan menganalisis aspek keuangan dari suatu studi kelayakan proyek bisnis adalah untuk menentukan rencana investasi melalui perhitungan biaya dan manfaat yang diharapkan, dengan membandingkan antara pengeluaran dan pendapatan, seperti ketersediaan dana, biaya modal, kemampuan proyek untuk membayar kembali dana tersebut dalam waktu yang telah ditentukan dan menilai apakah proyek akan dapat berkembang terus (Umar 2003).

Dalam analisis finansial terdapat kriteria kelayakan investasi. Menurut Gittinger (1986) menyebutkan bahwa dana yang diinvestasikan itu layak atau tidak akan diukur melalui kriteria investasi itu Net Present Value, Net Benefit Cost Ratio, dan Internal Rate of Return.

1. Net Present Value (NPV)

Suatu bisnis dapat dinyatakan layak jika jumlah seluruh manfaat yang diterimanya melebihi biaya yang dikeluarkan. Selisih antara manfaat dan biaya disebut manfaat bersih atau arus kas bersih. Suatu bisnis dinyatakan layak jika NPV lebih besar dari 0 (NPV > 0) yang artinya bisnis menguntungkan atau

memberikan manfaat. Dengan demikian jika suatu bisnis memppunyai NPV lebih kecil dari 0 maka bisnis tersebut tidak layak untuk dijalankan (Nurmalina et al. 2009).

Net present value yaitu selisih antara Present Value dari investasi dengan nilai sekarang dari penerimaan-penerimaan kas bersih di masa yang akan datang.

Untuk menghitung nilai sekarang perlu ditentukan tingkat bunga yang relevan (Umar 2003).

2. Internal Rate of Return (IRR)

(25)

dalam posisi kembali modal yang berarti proyek dapat melunasi bunga

penggunaan uang.

3. Benefit Cost Ratio (BCR)

Benefit Cost Ratio (Net B/C Ratio) adalah rasio antara manfaat bersih yang

bernilai positif dengan manfaat bersih yang bernilai negatif (Nurmalina et al. 2009). Perhitungan ini digunakan untuk melihat tingkat manfaat yang akan diperoleh dari biaya yang dikeluarkan. Suatu proyek dikatakan layak jika BCR lebih besar atau sama dengan satu (BCR ≥ 1). Hal ini berarti proyek tersebut layak untuk dilaksanakan. Sedangkan jika nilai BCR lebih kecil dari satu (BCR < 1), maka proyek tersebut tidak layak untuk dilaksanakan, karena hal tersebut berarti manfaat yang akan diperoleh dari suatu proyek lebih kecil dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan untuk pelaksanaan proyek tersebut.

4. Payback Period (PBP)

Merupakan metode analisis kelayakan investasi untuk menilai jangka waktu (tahun) pemulihan seluruh modal yang diinvestasikan dalam suatu proyek. Proyek

layak jika masa pemulihan modal investasi lebih pendek dari usia ekonomis. Proyek tidak layak jika masa pemulihan modal investasi lebih lama dibandingkan usia ekonominya (Subagyo 2007). Metode Payback Period ini merupakan metode pelengkap penilaian investasi.

2.5 Analisis Sensitivitas

(26)

Menurut Gittinger (1986) hasil analisis terhadap suatu proyek harus diteliti

kembali untuk melihat pengaruh-pengaruh yang akan terjadi akibat keadaan yang berubah-ubah yang disebut sebagai analisis sensitivitas. Hal tersebut merupakan satu cara untuk menarik perhatian kepada masalah utama analisis proyek, yaitu proyeksi yang selalu menghadapi ketidakpastian yang dapat saja terjadi pada saat proses pelaksanaan proyek. Masalah-masalah utama yang sensitif terjadi perubahan adalah pada bidang : perubahan harga jual produk, keterlambatan pelaksanaan proyek, kenaikan biaya, dan perubahan volume produksi.

2.6 Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM)

Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) merupakan suatu sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan bersama oleh Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan atau Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan dengan pihak yang berkepentingan (stakeholder) dengan jiwa berbagi, sehingga kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan dapat diwujudkkan secara optimal dan proporsional (Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten 2011).

Maksud dari PHBM menurut Perum Perhutani dalam SK Ketua Dewan Pengawas PT. Perhutani (Persero) Nomor 136/KPTS/DIR/2001 adalah untuk memberikan arah pengelolaan hutan dengan memadukan aspek-sapek ekonomi dan sosial secara proporsional guna mencapai visi dan misi perusahaan, PHBM bertujuan untuk :

a. Meningkatkan tanggungjawab perusahaan, MDH dan pihak yang berkepentingan terhadap keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan. b. Meningkatkan peran perusahaan, MDH dan pihak lain yang berkepentingan

terhadap pengelolaan sumberdaya hutan.

c. Menyelaraskan kegiatan pengelolaan sumberdaya hutan sesuai dengan kegiatan pembangunan wilayah sesuai dengan kondisi dan dinamika sosial Masyarakat Desa Hutan.

d. Meningkatkan mutu sumberdaya hutan sesuai dengan karakteristik wilayah. e. Meningkatkan pendapatan perusahaan, MDH serta pihak yang berkepentingan

(27)

2.7 Kelompok Tani Hutan (KTH)

KTH adalah perkumpulan orang yang tinggal di sekitar hutan yang menyatukan diri dalam usaha-usaha di bidang sosial ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan para anggotanya dan ikut serta melestarikan hutan dengan prinsip kerja dari, oleh dan untuk anggota.

Suharjito (1994) dalam Fijriani (2008) menyatakan bahwa pembentukan dan pembinaan KTH merupakan pendekatan baru dalam upaya mewujudkan partisipasi masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan hutan negara. Pembentukan dan pembinaan KTH merupakan pendekatan baru dalam upaya mewujudkan partisipasi masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan hutan negara.

2.8 Agroforestry

Dalam Bahasa Indonesia, kata agroforestry dikenal dengan istilah wanatani atau agroforestri yang arti sederhananya adalah menanam pepohonan di lahan pertanian. Menurut De Foresta dan Michon (1997) dalam Balai Pengelolaan DAS Pemali Jratun (2010), agroforestri dapat dikelompokkan menjadi dua sistem, yaitu

sistem agroforestri sederhana dan sistem agroforestri kompleks. Sistem agroforestri sederhana adalah suatu sistem pertanian di mana pepohonan ditanam secara tumpangsari dengan satu atau lebih jenis tanaman semusim. Pepohonan bisa ditanam sebagai pagar mengelilingi petak lahan tanaman pangan, secara acak dalam petak lahan, atau dengan pola lain misalnya berbaris dalam larikan

sehingga membentuk lorong/pagar.

Jenis-jenis pohon yang ditanam sangat beragam, bisa yang bernilai ekonomi tinggi (kelapa, karet, cengkeh, kopi, kakao, nangka, melinjo, petai, jati, mahoni) atau bernilai ekonomi rendah (dadap, lamtoro, kaliandra). Jenis tanaman semusim biasanya berkisar pada tanaman pangan (padi gogo, jagung, kedelai, kacang-kacangan, ubi kayu), sayuran, rerumputan atau jenis-jenis tanaman lainnya.

(28)

selain terdapat beraneka jenis pohon, juga tanaman perdu, tanaman memanjat

(liana), tanaman musiman dan rerumputan dalam jumlah banyak.

2.9 Penelitian Terdahulu

Berikut ini adalah beberapa penelitian mengenai kelayakan pengusahaan tanaman obat :

1. Plasmanutfah tumbuhan obat Indonesia yang melimpah merupakan aset nasional bernilai tinggi yang potensial untuk pengembangan industri agromedisin. Aset ini perlu dikelola dengan bijaksana secara lestari untuk menghindari kelangkaan atau kepunahan suatu spesies tumbuhan obat. Permintaan yang tinggi akan obat alami di dalam maupun di luar negeri merupakan peluang besar yang menggiurkan namun harus tetap memerhatikan dan memprioritaskan penyediaan bahan obat alami yang berkualitas, aman, dan bermanfaat. Menghadapi era pasar bebas dan persaingan global, kemampuan ekspor berbagai komoditas tumbuhan obat akan menghadapi persaingan yang lebih ketat (Dorly 2005).

2. Agobisnis dan Agroindustri berbasis tanaman obat mempunyai prospek ke

depan yang bagus sebagai sumber pendapatan pembangunan. Selain trend back to nature yang saat ini mengemuka juga karena keanekaragaman hayati yang

(29)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Sedayu, Kecamatan Loano, Kabupaten Purworejo wilayah KPH Kedu Selatan Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Waktu pengambilan data berlangsung selama bulan Juli sampai Agustus 2010.

3.2Alat dan Sasaran Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner, alat tulis, kamera, komputer, kalkulator dan Software Microsoft Excel. Sasaran penelitian adalah 40 orang petani tumbuhan kapulaga, orang pedagang pengumpul, pedagang pengecer, pengurus LMDH Sedyo Rahayu dan staff KPH Kedu Selatan Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah.

3.3Asumsi

Dalam penelitian ini terdapat beberapa asumsi yang digunakan untuk

mempermudah analisis. Asumsi-asumsi tersebut sebagai berikut :

1) Jangka waktu/umur proyek adalah 5 tahun. Berdasarkan pertimbangan bahwa tanaman kapulaga dapat tumbuh sampai umur 5-6 tahun (Subagyo 2007). 2) Panen pertama dihasilkan setelah umur kapulaga 1,5 tahun.

3) Panen berikutnya dilakukan sebulan sekali dalam setahun.

4) Harga merupakan yang terjadi pada saat dilaksanakan penelitian.

5) Tingkat suku bunga (discount rate) yang digunakan adalah suku bunga BNI pada tahun 2009 yaitu 13% (Gustia 2009).

3.4Jenis dan Sumber Data

(30)

berbagai informasi dan sumber melalui berbagai instansi, seperti KPH Kedu

Selatan Perum Perhutani Unit 1 Jawa Tengah, LMDH Sedyo Rahayu yang mencangkup keadaan fisik lingkungan serta keadaan sosial ekonomi Desa Sedayu, perpustakaan IPB, penelusuran internet, dan berbagai studi literatur yang berkaitan dengan topik atau bahan penelitian.

3.5 Metode Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data primer dengan menggunakan metode nonrandom sampling atau nonprobability sampling, artinya setiap elemen populasi tidak mempunyai kemungkinan yang sama untuk dijadikan sampel. Metode nonprobability sampling yang dipilih adalah Purposive Sampling.

Purposive Sampling yaitu suatu sampling dimana pemilihan elemen-elemen untuk menjadi anggota sampel didasarkan atas pertimbangan yang tidak acak, biasanya sangat subjektif sifatnya. Artinya setiap elemen tidak mendapatkan kesempatan yang sama untuk dipilih (Supranto 1992). Sesuai dengan namanya, sample diambil dengan maksud atau tujuan tertentu sebanyak 40 orang. Didasarkan pada acuan minimal 30 sampel untuk penelitian deskriptif (Umar

2002). Seseorang atau sesuatu diambil sebagai sampel karena peneliti menganggap bahwa seseorang atau sesuatu tersebut memiliki informasi yang diperlukan bagi penelitiannya.

Metode untuk mengetahui prospek pasar adalah dengan survei, dimana dalam pengambilan sampel respon dilakukan dengan metode Snowball Sampling

merupakan identifikasi dimulai dari seseorang yang mempunyai kriteria yang masuk dalam kesimpulan penelitian. Dari identifikasi permulaan ini selanjutnya akan ditemukan unit sampel berikutnya (Wahana Statistika 2010). Artinya menentukan sampel awal yang kemudian menetukan sampel berikutnya berdasarkan informasi yang diperoleh.

3.6Metode Analisis Proyek

a) Analisis pasar dan pemasaran

(31)

pemasaran. Semua aspek tersebut diukur dengan menggunakan teknik yang sesuai

dengan kebutuhan yang diperlukan dan sumber data yang diperoleh.

b)Analisis Pengembangan usaha, meliputi: aspek teknis dan teknologi, aspek manajemen, sosial ekonomi dan lingkungan, serta aspek finansial.

Aspek teknis meliputi penentuan kapasitas produksi dan lokasi serta proses produksi. Aspek manajemen yang dianalisis adalah aspek : Planning (Perencanaan), Organizing (Pengorganisasian), Actuating (Pelaksanaan), dan Controlling (Pengendalian). Pada analisis sosial ekonomi ditentukan sampai sejauh mana usaha ini mampu memberikan manfaat secara ekonomi kepada

masyarakat sekitar. Untuk aspek lingkungan, bagaimana pengaruh bisnis tersebut terhadap lingkungan. Analisis aspek finansial diperlukan untuk mengkaji jumlah dana yang dibutuhkan dalam mendirikan suatu usaha dan menjalankannya.

c) Kriteria Kelayakan Investasi

Pada analisis kelayakan pengembangan usaha digunakan analisis kriteria investasi. Kriteria investasi yang dibutuhkan adalah Net Present Value, Internal Rate of Return, Benefit Cost Ratio, dan Payback Period.

1) Net Present Value (NPV)

Metode ini menghitung selisih antara nilai sekarang investasi dengan nilai sekarang penerimaan-penerimaan kas bersih. Menurut Nurmalina et al. (2009) rumus NPV adalah sebagai berikut :

Dimana : NPV = Net Present Value

Bt = Keuntungan pada tahun ke-t Ct = Biaya pada tahun ke-t

(32)

Apabila NPV ≥ 0, maka proyek dinilai menguntungkan untuk dijalankan. Namun bila NPV ≤ 0, maka proyek dinilai tidak menguntungkan untuk

dijalankan.

2) Internal Rate of Return (IRR)

Metode ini menghitung tingkat bunga yang menyamakan nilai sekarang investasi dengan nilai sekarang penerimaan-penerimaan kas bersih di masa-masa mendatang. IRR adalah tingkat discount rate yang menghasilkan NPV sama dengan nol. Menurut Nurmalina et al. (2009) rumus IRR adalah sebagai berikut :

Dimana : IRR = Internal Rate of Return NPV(+) = NPV bernilai positif NPV(-) = NPV bernilai negatif

i(+) = suku bunga yang membuat NPV positif i(-) = suku bunga yang membuat NPV negatif

Jika IRR dari suatu proyek sama dengan tingkat suku bunga, maka NPV

dari proyek tersebut sama dengan nol. Jika IRR ≥ 1, maka proyek layak untuk

dijalankan, begitu pula sebaliknya.

3) Benefit Cost Ratio (BCR)

Untuk menghitung indeks ini terlebih dahulu dihitung selisih antara keuntungan dan biaya untuk setiap tahun t. Menurut Nurmalina et al. (2009) rumus BCR adalah :

(33)

n = Umur proyek

i = Tingkat suku bunga yang berlaku t = Internal waktu

4) Pay Back Period (PBP)

Metode ini mencoba menghitung seberapa cepat investasi bisa kembali. Menurut Nugroho (2008) periode pengambilan modal merupakan jangka waktu yang diperlukan oleh suatu usaha untuk mengembalikan seluruh dana yang diinvestasikan, yaitu ukuran lamanya waktu yang diperlukan agar seluruh modal yang ditanamkan dapat dikembalikan/dibayar oleh manfaat yang dihasilkan dari investasi tersebut. Oleh karena itu, satuan hasilnya adakah satuan waktu (bulan, tahun, dan sebagainya). Apabila periode yang dibutuhkan lebih cepat dari yang disyaratkan, maka proyek dikatakan menguntungkan. Namun bila tidak sesuai dengan periode yang disyaratkan, maka proyek dikatakan tidak menguntungkan. Menurut Nugroho (2008) rumus PBP adalah sebagai :

Dimana :

PBP = Pay Back Period

N = Periode investasi pada saat nilai kumulatif Bt – Ct negatif yang terakhir (tahun)

M = Nilai kumulatif Bt– Ct negatif yang terakhir (Rp) Bn = Benefit bruto pada tahun ke-n (Rp)

Cn = Biaya bruto pada tahun ke-n (Rp)

f) Analisis Sensitivitas

(34)

Manfaat analisis sensitifitas adalah untuk mengetahui pengaruh perubahan harga

produk, keterlambatan pelaksanaan proyek, kenaikan biaya dan perubahan volume produksi terhadap penilaian suatu investasi, yaitu dari layak menjadi tidak layak dilaksanakan. Analisis sensitivitas dilakukan dalam dua skenario yakni : jika terjadi penurunan harga produksi dan jika terjadi peningkatan sistem bagi hasil LMDH.

g) Aliran Kas Proyek (Cash Flow)

Laporan aliran kas (cash flow statement) disusun untuk menunjukkan perubahan kas selama selama satu periode tertentu serta memberikan alasan mengenai perubahan kas tersebut dengan menunjukan dari mana sumber - sumber kas dan penggunaan-penggunaanya. Kas mempunyai tiga komponen utama, yaitu Initial Cash Flow, Operasional Cash Flow, dan Terminal Cash Flow (Umar 2003).

1) Initial Cash Flow

Identifikasi pola aliran kas yang berhubungan dengan investasi diperlukan

untuk menentukan komponen Initial Cash Flow. Beberapa contoh yang terdapat pada Initial Cash Flow adalah untuk tanah, pembuatan pabrik, pembayaran mesin-mesin, pengeluaran untuk biaya pendahuluan dan sebelum operasi, serta penyedia modal kerja.

2) Operational Cash Flow dan Terminal Cash Flow

(35)

BAB IV

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Lokasi Penelitian

Kabupaten Purworejo secara geografis berada pada 109o 47’ 28” Bujur timur, 110o 08’ 20” Bujur Timur, 7o 32’ Lintang Selatan, sampai dengan 7o 54’ Lintang selatan, dengan luas wilayah 1.034,81 km2.

Sebelah utara : Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Magelang Sebelah timur : Kabupaten Kulon Progo Propinsi DIY

Sebelah selatan : Samudra Indonesia Sebelah barat : Kabupaten Kebumen

Secara administratif, Kabupaten Purworejo meliputi 16 kecamatan yang

terdiri dari 494 desa. Adapun jumlah desa dan luas menurut kecamatan adalah sebagai berikut :

Tabel 1 Jumlah desa dan luas kecamatan Kabupaten Purworejo

No. Kecamatan Jumlah Desa Luas Wilayah (km2)

(36)

4.2Keadaan Lapangan

a) Topografi

Keadaan rupa bumi (topografi) daerah Kabupaten Purworejo secara umum dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Bagian selatan merupakan daerah dataran rendah dengan ketinggian antara 0 – 25 meter di atas permukaan air laut.

2. Bagian utara merupakan daerah berbukit-bukit dengan ketinggian antara 25 – 1.050 meter di atas permukaan air laut.

Desa Sedayu Kecamatan Loano Kabupaten Purworejo berada pada ketinggian 504 mdpl. Kawasan hutannya memiliki luas 221,8 Ha.

Sedangkan kemiringan lereng atau kelerengan di Kabupaten Purworejo dapat dibedakan sebagai berikut :

d) Kemiringan > 40% meliputi sebagian Kecamatan Bagelen, Kaligesing, Loano, Gebang, Bruno, Kemiri, dan Pituruh.

b)Iklim

Secara umum Kabupaten Purworejo mempunyai iklim tropis dengan dua musim yaitu musim penghujan dan musim kemarau yang datang setiap enam bulan silih berganti. Suhu rata-rata 20oC – 32oC. Sedangkan kelembaban rata-rata antara 70 – 90% dengan curah hujan tertinggi pada bulan Desember sebesar 9.291 mm, diikuti bulan Januari sebesar 7.849 mm.

4.3Sosial Ekonomi

a) Desa hutan

(37)

2006. Memiliki anggota 457 KK dikelompokkan menjadi 6 Pokja dan mempunyai

Kelompok Tani Hutan (KTH) “RUKUN” yang mengelola hutan dan ternak.

Berdasarkan hasil penelitian, LMDH Sedyo Rahayu diketahui bahwa terdapat 5 program LMDH Sedyo Rahayu yaitu 1) Peningkatan produksi getah pinus, 2) Peningkatan keamanan hutan, 3) Penanaman Lahan di bawah Tegakan (PLDT), 4) Pendirian koperasi simpan pinjam, dan 5) Pembangunan sekretariat. Implementasi program tersebut dapat dikatakan cukup baik walaupun ada dua program yang belum dapat terwujud yaitu pendirian koperasi simpan pinjam dan pembangunan sekretariat. Dalam implementasi dilaksanakan fungsi manajemen yaitu pengorganisasian meliputi adanya struktur organisasi dan alokasi sumberdaya, dan penggerakan meliputi sosialisasi dan komunikasi. LMDH Sedyo Rahayu mempunyai usaha produktif yang dilakukan oleh para wanita diantaranya pembuatan krupuk singkong, pembuatan wig (rambut palsu), anyaman bambu (besek), kue satu singkong. Perkembangan usaha ini masih berjalan tetapi belum berkembang. Hambatan dalam implementasi program PHBM oleh LMDH Sedyo Rahayu ialah terbatasnya dana, yang menjadi kendala ialah belum terwujudnya koperasi simpan pinjam yang dapat mempermudah dalam kegiatan simpan

pinjam. Untuk saat ini kegiatan simpan pinjam dilakukan melalui kelompok kerja. Pemberdayaan masyarakat Desa Sedayu melalui LMDH sebagai berikut : Di dalam kawasan lahan perhutani:

(38)

c) Mata Pencaharian

Upaya memenuhi hidup sebagaian besar masyarakat di Desa Sedayu merupakan petani dan buruh tani. Hal ini menunjukkan sebagaian besar masyarakatnya masih sangat mengandalkan lahan/tanah untuk menompang hidupnya. Kawasan hutan yang dekat dengan pemukiman penduduk pada akhirnya menjadi sasaran untuk memenuhi kebutuhan akan lahan. Adapun data penduduk berdasarkan mata pencaharian Desa Sedayu adalah sebagai berikut :

Tabel 2 Data penduduk berdasarkan mata pencaharian Desa Sedayu

No. Jenis Pekerjaan Jumlah (orang)

1 Petani 180

Sumber : Potensi Desa Sedayu dan Tingkat Perkembangan Desa (2009)

4.4 Karakteristik Responden

Karakterisitik responden yang dianggap penting meliputi status usaha, umur, pendidikan dan status kepemilikan.

a) Status Usaha

Responden di daerah penelitian menjadikan petani sebagai mata pencaharian utama. Pendapatan utama petani diperoleh dari getah pinus. Usaha budidaya kapulaga sebagai tambahan ekonomi pendapatan petani dengan pola tumpang sari yang berada di bawah naungan pohon pinus. Selain tumbuhan obat kapulaga,

(39)

b) Pendidikan

Sebagian besar Desa Sedayu tingkat pendidikannya yaitu SLTP dan SLTA. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat Desa Sedayu memiliki tingkat pendidikan yang sedang. Adapun data penduduk berdasarkan pendidikan masyarakat Desa Sedayu adalah sebagai berikut :

Tabel 3 Data Penduduk berdasarkan pendidikan masyarakat Desa Sedayu

No. Pendidikan Jumlah (Orang)

Sumber: Potensi Desa Sedayu dan Tingkat Perkembangan Desa (2009)

c) Status Kepemilikan Lahan

Lahan yang berada dalam kawasan hutan yang diusahakan untuk tanaman pinus merupakan milik Negara yang diberikan hak pengelolaanya kepada Perhutani. Para petani Desa Sedayu memanfaatkan menanam bibit kapulaga secara tumpang sari di lahan hutan Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Kedu Selatan, di petak 100 B. Selain kapulaga terdapat tanaman obat lain yaitu, kemukus, temulawak, dan cengkeh.

4.5Deskripsi Proyek

Proyek Perhutanan Sosial di Desa Sedayu merupakan suatu kegiatan dalam rangka mengembangkan usaha budidaya tanaman obat khususnya kapulaga dengan cara melibatkan atau mengikutsertakan penduduk desa hutan yang berminat untuk ikut serta dan telah mendapatkan persetujuan dari pihak petugas

(40)

Lokasi proyek di Desa Sedayu Kecamatan Loano Kabupaten Purworejo di

lahan perhutani KPH Kedu Selatan pada petak 100 B. Desa Sedayu merupakan dataran rendah yang cocok untuk budidaya tanaman obat kapulaga. Luas lahan untuk budidaya kapulaga adalah 25 ha. Untuk luas andil garapan pada proyek perhutanan sosial ini berkisar antara 0,25-0,5 ha, sehingga dalam 1 ha terdapat 2– 4 orang petani kapulaga. Jarak tanam kapulaga awal adalah (3 x 3) m2. Penetapan luasan tersebut merupakan hasil kesepakatan antar petani. Pemberian luasan tersebut dimaksudkan agar pengusahaan dapat dilakukan secara adil dan merata.

Peserta berasal dari penduduk desa hutan yang tinggal berdekatan dengan lokasi proyek. Para peserta proyek umumnya adalah buruh tani. Mereka berasal dari dari lapisan sosial bawah. Jumlah peserta proyek ini 98 orang dengan luas pemilikan andil garapan 0,25-0,5 ha. Usia para peserta berkisar antara 25–60 tahun.

Manfaat dari proyak ini adalah berupa modal yang diberikan oleh Dinas Pertanian sebesar Rp 10.000.000. selain itu terdapat hasil penjualan kapulaga yang akan dipanen sebulan sekali karena kapulaga ini berbuah sepanjang tahun. Sedangkan untuk biaya yang dikeluarkan adalah : Investasi yang digunakan

(41)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Kelayakan Usaha Tanaman Obat Kapulaga

Dalam pembahasan aspek keuangan akan diuraikan mengenai gambaran keadaan ekonomi dan keuangan sebagai pertimbangan untuk merealisasikan pembangunan proyek tanaman obat kapulaga ini. Dikemukakan pula penerimaan (inflow), dan pengeluaran (outflow), berikut pembahasan mengenai laba/rugi dan penerapan beberapa metoda evaluasi finansial.

Analisis kelayakan finansial pengusahaan tanaman kapulaga perlu dilakukan

untuk membantu pengembangan produk pertanian ini agar lebih intensif diusahakan oleh petani. Untuk mengetahui hasil kelayakan pengusahaan kapulaga akan dilihat dari kriteria-kriteria kelayakan finansial yang meliputi NVP, BCR, IRR, dan Payback Period (PBP).

5.1.1 Arus Penerimaan (Inflow)

Penerimaan merupakan hasil perkalian antara kuantitas produksi yang dihasilkan dengan harga jual yang ditetapkan. Pemanenan kapulaga dilakukan 12 kali dalam satu tahun. Tanaman kapulaga dapat berbuah sekitar umur 1,5 tahun, sehingga penerimaan penjualan kapulaga terjadi pada tahun kedua. Penerimaan tahun pertama dari penjualan kapulaga masih rendah dibandingkan dengan tahun berikutnya. Usaha budidaya kapulaga di Desa Sedayu mendapat bantuan modal Rp 10.000.000 dari Dinas Pertanian.

Harga jual yang ditetapkan pada tingkat petani untuk buah kapulaga tergantung pada musim. Jika musim hujan harga kapulaga basah pada tingkat petani Rp 6.000/kg, karena pada musim hujan produksi yang dihasilkan melimpah. Pada musim kemarau harga kapulaga dapat mencapai Rp 8.000/kg, karena pada musim kemarau kapulaga yang dihasilkan berkurang karena kekurangan pasokan air. Para petani di Desa Sedayu menjual buah kapulaga tidak dalam keadaan kering tetapi dalam keadaan basah. Hal ini dikarenakan proses pengeringan membutuhkan waktu yang cukup lama dan selisih harga antara

(42)

buah kapulaga ini kemudian dijual kepada pedagang pengumpul. Dalam usaha

budidaya kapulaga ini terdapat sistem bagi hasil antara petani dengan LMDH Sedyo Rahayu yaitu 60% : 40%, dari hasil pendapatan bersih yang diterima. Usaha kapulaga ini merupakan usaha bersama yang dikelola oleh LMDH Sedyo Rahayu. Perkiraan penjualan kapulaga dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4 Perkiraan penjualan kapulaga per tahun lahan seluas 25 ha di Desa Sedayu

No. Tahun Penjualan Kapulaga Per Tahun (Rp)

1 2 33.600.000

Biaya investasi merupakan biaya yang dikeluarkan pada awal proyek. Biaya investasi berupa peralatan pertanian. Jenis-jenis peralatan yang digunakan oleh petani adalah cangkul, sabit, pisau, dan timbangan. Peralatan-peralatan tersebut digunakan untuk kegiatan persemaian, pengolahan tanah, penanaman, penyiangan dan pemanenan (timbangan). Sehingga total biaya investasi pengusahaan kapulaga untuk luasan 25 ha adalah sebesar Rp 8.580.000. Perincian biaya investasi dapat dilihat pada tabel 5.

(43)

b. Biaya Operasional

Biaya operasional merupakan biaya keseluruhan yang berhubungan dengan kegiatan operasional pengusahaan kapulaga. Biaya operasional terbagi menjadi biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap merupakan biaya yang jumlahnya tidak dipengaruhi oleh jumlah output yang dihasilkan dalam suatu periode waktu tertentu. Pada lokasi Desa Sedayu dalam membudidayakan kapulaga tidak terdapat biaya tetap, sehingga dalam penelitian ini tidak menghitung biaya tetap. Biaya variabel merupakan biaya yang jumlahnya dapat berubah-ubah, terpengaruh oleh jumlah output yang dihasilkan dalam suatu periode waktu tertentu. Biaya variabel pada pengusahaan kapulaga meliputi biaya persemaian, biaya pengolahan tanah, penanaman, pembelian pupuk, pemupukan, pembelian karung, pemanenan, dan penyiangan.

Setiap kegiatan yang dilakukan mendapatkan upah yang diasumsikan sebesar Rp 20.000 dikalikan dengan hari orang kerja (HOK). Kegiatan pemupukan setelah penanaman dilakukan sebulan sekali pada tahun pertama. Setelah 1 tahun, pemupukan dilakukan dua bulan sekali, dan kegiatan penyiangan dilakukan 2 kali dalam setahun. Dalam 1 ha pupuk kandang diperlukan 50 kg/ha

(44)

Tabel 6 Biaya variabel pengusahaan kapulaga lahan seluas 25 ha di Desa Sedayu

No. Uraian Biaya Total Operasional (Rp)

1 Persemaian 1.410.000

2 Pengolahan tanah 12.500.000

3 Bibit kapulaga 41.662.500

4 Penanaman 10.000.000

5.1.3 Analisis Finansial Pengusahaan Tanaman Kapulaga

Berdasarkan hasil perhitungan cashflow yang dapat dilihat pada lampiran 7 mengenai hasil kelayakan pengusahaan kapulaga, maka hasil analisis kelayakan pengusahaan kapulaga yang dilakukan dapat dikategorikan layak. Kelayakan tersebut dapat dilihat dari nilai NPV, IRR, BCR, dan PBP. Adapun kriteria kelayakan finansial pengusahaan kapulaga pada Desa Sedayu adalah sebagai berikut :

Tabel 7 Kriteria kelayakan finansial pengusahaan kapulaga pada Desa Sedayu

Kriteria Kelayakan Finansial Keadaan Normal

NPV (Rp) 31.885.009

BCR 1,30

PBP (Tahun) 4,23 (4 tahun 3 bulan)

IRR (%) 22,29

(45)

Kriteria lain yang dianalisis adalah BCR, dalam pengusahaan kapulaga ini

diperoleh BCR > 1 yaitu 1,30 yang menyatakan bahwa pengusahaan kapulaga ini layak untuk diusahakan. Nilai BCR ini menunjukkan bahwa setiap pengeluaran Rp 1 dapat menghasilkan penerimaan sebesar Rp 1,30. Nilai Payback Period yang diperoleh sebesar 4,23, yang berarti pengusahaan kapulaga pada lahan seluas 25 ha memiliki waktu pengembalian modal selama 4 tahun 3 bulan. Hal ini menunjukkan bahwa usaha kapulaga layak untuk diusahakan karena pengembalian biaya modal atau investasi kurang dari umur proyek. Kriteria berikutnya adalah IRR sebesar 22.29%, dimana nilai ini lebih besar dari tingkat suku bunga (discount rate) sebesar 13% yang menyatakan pengusahaan kapulaga ini layak untuk diusahakan. Berdasarkan keempat kriteria kelayakan finansial tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengusahaan kapulaga layak untuk diusahakan.

5.1.4 Analisis Sensitivitas

Analisis kepekaan (sensitivitas) dilakukan untuk melihat perubahan iklim ekonomi yang mungkin terjadi di masa yang akan datang yang dapat mengubah

keadaan kelayakan suatu usaha menjadi tidak layak. Analisis sensitivitas juga digunakan untuk mengetahui sampai pada titik berapa peningkatan atau penurunan suatu komponen dapat mengakibatkan perubahan dalam kriteria investasi. Dalam penelitian ini dilakukan dua skenario yaitu :

1) Jika harga kapulaga turun sebesar 8,5%

2) Jika sistem bagi hasil dengan LMDH naik sebesar 5,5%

(46)

Tabel 8 Hasil sensitifitas dari kedua skenario negatif. Selain itu, pada kondisi kedua skenario tersebut diperoleh nilai BCR yang kurang dari 1 dan nilai IRR yang kurang dari suku bunga yang digunakan yaitu 13% per tahun. Hasil nilai perhitungan tersebut menunjukkan bahwa pada penurunan harga sebesar 8,5% dan kenaikan bagi hasil LMDH sebesar 5,5% terjadi perubahan secara signifikan. Berdasarkan perhitungan sensitivitas pada skenario 1 dan 2 dapat disimpulkan bahwa usaha kapulaga ini tidak layak untuk dilaksanakan karena tidak memenuhi kriteria kelayakan investasi.

5.1.5 Aspek Teknis

a. Lokasi Usaha

Lokasi usaha budidaya kapulaga lokal yang berada di Desa Sedayu, Kecamatan Loano, Kabupaten Purworejo yang merupakan dataran rendah. Berikut ini tabel 9 mengenai ketinggian, suhu, dan kemiringan pada lokasi usaha dan syarat tumbuh tanaman kapulaga.

Tabel 9 Ketinggian, suhu, dan kemiringan pada lokasi usaha dan syarat tumbuh tanaman kapulaga

No. Uraian Satuan Lokasi Usaha Syarat Tumbuh

(47)

Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa lokasi pengusahaan

kapulaga memiliki syarat tumbuh berdasarkan ketinggian, suhu, dan kemiringan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tanaman kapulaga ini cocok dibudidayakan pada lokasi Desa Sedayu.

Gambar 1 Lokasi usaha kapulaga di Desa Sedayu

b. Teknik Produksi

Teknik produksi tanaman sangat mempengaruhi suatu tanaman untuk tumbuh dan berproduksi. Jika teknik produksi yang dilakukan tepat, maka akan menghasilkan hasil yang optimal. Teknik produksi yang dilakukan terhadap tanaman kapulaga tidak terlalu rumit. Teknik produksi tanaman kapulaga mencakup pengolahan tanah, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan. Dari semua tahapan kegiatan tersebut petani telah melakukan teknik produksi dengan baik. Mulai dari kegiatan persemaian, pengolahan tanah sampai kegiatan pemanenan.

1) Budidaya Tanaman Kapulaga

a. Persemaian

(48)

kegiatan persemaian di lahan milik yaitu di lahan perkarangan. Petani membeli

7.000 biji kapulaga dengan harga satuan Rp 150. Biji-bji yang akan di tabur berasal dari benih kapulaga yang telah masak. Biji-biji disebarkan di atas petakan kemudian ditutup dengan sedikit tanah yang gembur. Penyiraman dilakukan sehari sekali sedangkan kegiatan penyiangan dilakukan sekali dalam 6 bulan. Setelah 6 bulan, bibit kapulaga dipindahkan ke lahan perhutani.

b. Pengolahan Tanah

Pengolahan tanah dilakukan dengan membersihkan tanah dari batu, rumput-rumputan/gulma dan sisa tanaman lainnya. Pencangkulan tanah dilakukan sedalam kurang lebih 30 cm. Persiapan lubang tanam dilakukan sebulan sebelum penanaman dengan terlebih dahulu dibuat lubang tanam dengan ukuran panjang 50 cm dan dalamnya 40 cm. Sebaiknya 15 hari setelah pembuatan lubang, tanah dikembalikan lagi ke dalam lubang, sebelumnya tanah dicampur dulu dengan pupuk kandang secukupnya.

c. Penanaman

Tanaman kapulaga tumbuh subur di tempat teduh atau di bawah tegakan kayu Perhutani yang sebagian besar berupa pohon pinus. Pohon pinus ditanam sebelum penanaman kapulaga sehingga pada saat tanam, pohon pinus tersebut telah berfungsi dengan baik dengan perbandingan 1 : 2 (1 penaung - 2 kapulaga).

Teknis penanaman tanaman kapulaga yaitu setelah tanah olahan atau lubang

tanam telah tersedia dan bibit telah disiapkan kemudian letakan bibit sedalam 10-15 cm. Setelah itu ditimbun dengan memperhatikan tunas agar tidak sampai terluka atau patah. Dalam 1 ha terdapat 1.111 bibit kapulaga dengan jarak tanam kapulaga yang diusahakan di Desa Sedayu menggunakan jarak tanam 3 m x 3 m. Waktu tanam yang baik yaitu pada awal musim hujan, yaitu sekitar bulan September - Desember.

d. Pemeliharaan

(49)

rumpun. Pupuk yang digunakan adalah pupuk kandang. Setelah penanaman,

pemupukan dilakukan setiap bulan pada tahun pertama, setelah tahun pertama Pemupukan ini dilakukan dua bulan sekali.

Berdasarkan hasil wawancara dengan petani, jika terdapat tanaman kapulaga yang terserang hama, maka cara pengendalian yang efektif adalah dengan membuang tanaman yang terserang, kemudian dibuat lubang kembali dan menanam bibit baru berasal dari tanaman yang pertumbuhannya baik. Cara yang paling mudah melalui pengembangan vegetatif, yaitu dengan cara membagi-bagi atau membelah-belah rumpunnya. Setiap lubang tanam akan ditanami sebanyak 3 batang. Cara ini dapat menghasilkan pertumbuhan yang baik karena diambil dari tanaman yang sudah terpilih, relatif mudah, lebih murah, dan lebih cepat dibanding menanamnya dari biji.

e. Pemanenan

Tanaman kapulaga berbuah sepanjang tahun sehingga dapat dipanen sebulan sekali, yaitu dengan cara memetik buah yang tumbuh di pangkal batang. Buah yang dipetik adalah buah yang telah matang (berwarna merah kecoklatan).

Pemanenan buah kapulaga yang sudah masak dilakukan dengan cara memotong tandan buahnya dengan pisau. Dalam satu tandan akan diperoleh 10-15 buah. Setelah dipanen, kemudian buah kapulaga dilepas dari tandannya dan dibersihkan dari kotoran-kotoran yang melekat. Tanaman dapat dipergunakan sampai umur 10 - 15 tahun (Fitriana 2010).

(50)

f. Pengeringan

Kualitas buah kapulaga yang baik yaitu buah kapulaga yang sudah dalam keadaan kering. Pengeringan buah kapulaga dilakukan dengan dijemur secara langsung di bawah terik sinar matahari. Pengeringan buah kapulaga membutuhkan waktu 7-10 hari.

Gambar 3 Pengeringan buah kapulaga

5.1.6 Aspek Manajemen

Aspek manajemen yang dianalisis pada usaha tanaman kapulaga di Desa Sedayu ini mencakup beberapa aspek, yaitu : perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengendalian. Perencanaan merupakan perencanaan pengembangan proyek yang akan dilakukan. Pengorganisasian merupakan

pembagian tugas yang dilakukan dalam menjalankan operasional usaha. Pelaksanaan merupakan penerapan teknis dalam menjalankan rencana yang telah dibuat sebelumnya. Pengendalian merupakan bagaimana pemilik usaha budidaya tanaman kapulaga dapat melakukan kontrol terhadap semua aspek.

(51)

kapulaga ini dilakukan secara bersama, seperti investasi yang akan dilakukan,

biaya operasional, serta penerimaan yang akan diperoleh oleh petani.

Gambar 4 LMDH Sedyo Rahayu

Pengorganisasian dan pelaksanaan yang akan dilakukan di lokasi penelitian meliputi pembagian tugas yang akan dibebankan kepada petani serta bagaimana hasil kinerja tersebut di lapangan. Struktur organisasi yang ada di lokasi penelitian tidak terlalu diperhatikan karena pengorganisasian untuk usaha kapulaga ini

sangat sederhana karena budidaya tanaman kapulaga ini merupakan usaha bersama yang dikelola LMDH Sedyo Rahayu. Petani yang mengerjakan budidaya usaha kapulaga ini melibatkan sekitar 98 orang yang tergabung dalam Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Sedyo Rahayu. Pengendalian dilakukan oleh para petani.

Gambar

Tabel 1 Jumlah desa dan luas kecamatan Kabupaten Purworejo
Tabel 2 Data penduduk berdasarkan mata pencaharian Desa Sedayu
Tabel 3 Data Penduduk berdasarkan pendidikan masyarakat Desa Sedayu
Tabel 4  Perkiraan penjualan kapulaga per tahun lahan seluas 25 ha di Desa Sedayu
+7

Referensi

Dokumen terkait