i
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI
PENDIDIKAN DASAR DI SULAWESI UTARA
IRENA LISTIANAWATI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
iii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Faktor-faktor yang memengaruhi pendidikan dasar di Sulawesi Utara” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2012
v
ABSTRACT
IRENA LISTIANAWATI. Determinants of Primary education in North Sulawesi. Under direction of SRI MULATSIH and ALLA ASMARA
Education is a basic human need and a key factor in development. Basic education achievement has become the world consensus, stated as a target in the Millenium Development Goals (MDGs). The goal of basic education achievement is the second target after poverty management target. Indonesia targeted all chidren age 7-15 years old participate the 9 years basic education in 2015. Human Development Index (HDI) in North Sulawesi Province was 76,09 in 2010 or in the second rank from all province in Indonesia, but the school participation rate for elementary school and junior high school was lower compared to five provinces with the highest HDI. The objective of this study is to analize factors that determine the basic education in North Sulawesi. Education Production Function approach with panel data regression analysis was used to analyze the policy variables such as the government expenditure for basic education program and School operational fund (Bantuan operasional sekolah), socio-culture variables and access of education. Logistic regression was used to analyze the socio-economic factors that has the probability in school participation. The panel regression result show that BOS, PDRB per capita, the percentage of family having 5 or more family member, education of the head of the family, and student and school ratio are factors that determined the school participation for children age 7-12 years old. The similar variables also occur for school participation for children age 13-15 years old except for the student and school ratio. The logistic regression result found that boys have higher probability of not participate in school compared to girls.
vii
RINGKASAN
IRENA LISTIANAWATI. Faktor-faktor yang memengaruhi pendidikan dasar di Sulawesi Utara. Dibimbing oleh SRI MULATSIH dan ALLA ASMARA.
Pendidikan memiliki peran utama dalam membentuk kemampuan sebuah negara berkembang untuk menyerap teknologi modern dan untuk mengembangkan kapasitas agar tercipta pertumbuhan serta pembangunan yang berkelanjutan (Todaro dan Smith, 2006). Pendidikan merupakan salah satu masalah dalam proses pembangunan manusia. Tanpa pendidikan, suatu negara tidak akan berkembang, pembangunan manusianya terhambat dan dampak secara keseluruhan adalah pembangunan menyeluruh terhadap sebuah negara tidak akan berhasil. Pencapaian pendidikan minimal menjadi konsensus dunia yang tertuang dalam salah satu target Millenium Development Goals (MDGs). Tujuan pencapaian pendidikan dasar menjadi target kedua setelah target penaggulangan kemiskinan. Dalam kasus Indonesia diharapkan semua anak pada pada usia 7-15 tahun pada tahun 2015 telah mengikuti pendidikan dasar 9 tahun.
Data Badan Pusat Statistik (2010) menunjukkan rata-rata lama sekolah penduduk umur 15 tahun ke atas di Indonesia hanya mencapai 7,9 tahun, masih jauh dari target pendidikan dasar di Indonesia yaitu 9 tahun. Provinsi Sulawesi Utara dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Sulawesi Utara tahun 2010 sebesar 76,09 atau berperingkat kedua dari seluruh provinsi di Indonesia dalam hal partisipasi sekolah masih lebih rendah dari lima provinsi dengan IPM tterbesar. Angka putus sekolah untuk anak usia 7-12 tahun dan usia 13-15 tahun juga paling tinggi diantara 5 provinsi yang berperingkat IPM terbesar di Indonesia.
Sulawesi Utara diprioritaskan menjadi gate way ke dunia Internasional melalui pelabuhan Internasional yang akan dibangun di Bitung. Proyek ini adalah pembangunan koridor ekonomi di kawasan Sulawesi-Maluku Utara yang diharapkan mampu menghilangkan kesenjangan pendapatan Indonesia bagian Timur dan Bagian Barat. Bitung juga diprioritaskan menjadi sentra industri pengolahan ikan yang mampu menembus pasar dunia. Disisi lain, ketersediaan tenaga kerja terdidik masih minim,penduduk yang berusia 10 tahun keatas masih didominasi oleh tamatan SD dan tidak/belum punya ijazah. Jangan sampai masyarakat Sulawesi Utara tidak siap dengan percepatan pembangunan yang akan berlangsung di tahun mendatang sehingga tujuan percepatan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan juga sulit untuk terwujud karena kurangnya persiapan di sumber daya manusia. Bertolak dari hal tersebut maka penelitian ini bertujuan (1) Mengkaji dinamika pendidikan dasar di Sulawesi Utara, (2) Mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi partisipasi pendidikan dasar di Sulawesi Utara, (3) Mengkaji hubungan faktor sosial ekonomi, demografi terhadap partisipasi anak untuk bersekolah di pendidikan dasar di Sulawesi Utara.
masing-masing kabupaten/kota karena keterbatasan data. Metode yang digunakan adalah analisis deskriptif, regresi data panel dan regresi logistik.
Pencapaian pendidikan dasar di Sulawesi Utara pada tahun 2008-2010 menunjukkan kenaikan namun tidak banyak, angka putus sekolah juga masih relatif tinggi untuk tingkat SMP. Pengeluaran pemerintah daerah masih terfokus pada belanja tidak langsung berupa gaji dan tunjangan pegawai dinas pendidikan. Rasio murid guru masih kurang efektif karena masih dibawah ketetapan pemerintah menyebabkan anggaran menjadi tidak efisien.
Partisipasi sekolah untuk usia SD dipengaruhi oleh dana BOS SD, PDRB perkapita, pendidikan kepala rumah tangga, jumlah anggota rumah tangga, dan rasio murid sekolah. Variabel yang tidak signifikan adalah pengeluaran riil pendidikan dasar dan kemiskinan. Partisipasi sekolah untuk usia SMP dipengaruhi oleh dana BOS SD, pengeluaran riil pendidikan dasar, PDRB perkapita, pendidikan kepala rumah tangga, jumlah anggota rumah tangga, rasio murid guru dan rasio murid sekolah. Variabel yang tidak signifikan adalah kemiskinan.
Partisipasi sekolah anak usia SD dan SMP di level rumah tangga dipengaruhi oleh letak tempat tinggal (pedesaan/kota), jenis kelamin, pengeluaran perkapita, pendidikan kepala rumah tangga dan lapangan usaha. Kepala rumah tangga dengan lapangan usaha sektor sekunder tidak sigfikan pengaruhnya terhadap partisispasi sekolah SD.
ix
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah;
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
xi
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI
PENDIDIKAN DASAR DI SULAWESI UTARA
IRENA LISTIANAWATI
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
xiii
Judul Penelitian : Faktor-faktor yang Memengaruhi Pendidikan Dasar di Sulawesi Utara
Nama : Irena Listianawati
NRP : H151104434
Program Studi : Ilmu Ekonomi
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc.Agr Ketua
Dr. Alla Asmara, S.Pt, M.Si. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si.
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
xv
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini berjudul “ Faktor-faktor yang Memengaruhi Pendidikan Dasar di Sulawesi Utara”.
Penulis menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc. Agr selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Alla Asmara, S.Pt, M.Si. selaku anggota komisi pembimbing, yang dalam kesibukannya masih meluangkan waktu dan kesabaran untuk memberikan bimbingan, arahan, dan masukan yang sangat bermanfaat dalam penyusunan tesis ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si selaku penguji luar komisi dan Dr. Lukytawaty Anggraeni, SP, MSi selaku perwakilan dari Program Studi Ilmu Ekonomi.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Kepala Badan Pusat Statistik Republik Indonesia, Kepala BPS Provinsi Sulawesi Utara, dan Kepala BPS Kabupaten Bolaang Mongondow yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana (SPS) IPB. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga disampaikan kepada Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si beserta jajarannya selaku pengelola Program Studi Ilmu Ekonomi SPS IPB, semua dosen yang telah mengajar penulis, dan rekan-rekan yang senantiasa membantu penulis selama perkuliahan dan penyelesaian tugas akhir ini.
Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang tak terkira kepada kedua orangtua, suami dan anak-anak atas do‟a dan bantuannya yang tak ternilai.
Akhirnya, penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan ilmu dan pengetahuan. Kesalahan yang terjadi merupakan tanggung jawab penulis, sedangkan kebenaran yang ada merupakan karunia Allah SWT. Dia jualah yang akan memberi balasan kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis. Meskipun demikian, penulis berharap bahwa tesis ini dapat memberikan kontribusi dalam proses pembangunan dan bermanfaat bagi para pembaca sekalian.
xvii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahir di Jakarta pada tanggal 6 Juli 1981. Penulis merupakan sulung dari empat bersaudara pasangan Bapak Supatno dan Ibu Heniwati. Penulis menikah dengan Ade Rahmat, ST dan dikaruniai dua orang putri, yakni Raihana Rahmat dan Kayyisah Rahmat.
Penulis menamatkan sekolah dasar pada SDN Pegangsaan Dua 01 Jakarta pada tahun 1993 dan selanjutnya menamatkan jenjang SLTP pada SMP Negeri 270 Jakarta pada tahun 1996. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMU Negeri 13 Jakarta dan lulus pada tahun 1999. Penulis diterima sebagai mahasiswa kedinasan Sekolah Tinggi Ilmu Statistik Jakarta pada tahun tersebut dan menyelesaikan pendidikan D-IV tersebut pada tahun 2003. Setelah lulus D-IV, penulis ditugaskan pada Badan Pusat Statistik Kota Bitung, Provinsi Sulawesi Utara. Pada tahun 2008, penulis dipindahtugaskan ke Badan Pusat Statistik Kabupaten Bolaang Mongondow, Provinsi Sulawesi Utara.
xix
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI ... I DAFTAR GAMBAR ... XXI DAFTAR TABEL ... XXIII DAFTAR LAMPIRAN ... XXV
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 7
1.3 Tujuan Penelitian ... 9
1.4 Manfaat Penelitian ... 9
1.5 Ruang Lingkup Penelitian dan Keterbatasan Penelitian ... 9
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ... 11
2.1 Teori Pembangunan Manusia ... 11
2.2 Pengertian Pendidikan ... 12
2.3 Hubungan Pendidikan dengan Pembangunan Ekonomi ... 13
2.4 Hubungan Pendidikan dengan Kemiskinan ... 14
2.5 Ekonomi Pendidikan ... 14
2.6 Hubungan Pendidikan dan Investasi ... 16
2.7 Manfaat dan Biaya Pendidikan ... 17
2.8 Pengeluaran Pemerintah dalam Bidang Pendidikan ... 18
2.9 Penelitian Empiris ... 19
2.9 Kerangka Pemikiran ... 22
2.10 Hipotesis ... 24
III. METODE PENELITIAN ... 25
3.1 Jenis dan Sumber Data ... 25
3.2 Analisis Deskriptif ... 25
3.3 Analisis Regresi Data Panel ... 25
3.3.1 Pemilihan Model dalam Pengujian Data Panel... 27
3.3.2 Uji Asumsi ... 28
3.3.3 Spesifikasi Model Penelitian ... 29
3.4 Analisis Regresi Logistik ... 31 xix xxi xxiii
3.4.1 Likelihood Ratio Test ... 33
3.4.2 Uji Wald ... 34
3.4.3 Odds Ratio ... 34
3.4.4 Spesifikasi Model ... 35
IV. DINAMIKA PENDIDIKAN DASAR ... 39
4.1 Dinamika Pendidikan Dasar ... 39
4.2 Alokasi Anggaran Pendidikan ... 46
4.3 Fasilitas Pendidikan ... 48
4.4 Rasio Murid dan Guru ... 51
V. DETERMINAN PENDIDIKAN DASAR ... 55
5.1 Faktor-faktor yang Memengaruhi Pendidikan Dasar secara Regional ... 55
5.2 Variabel Penduga Partisipasi Sekolah Tingkat Rumah Tangga ... 67
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 73
6.1 Kesimpulan ... 73
6.2 Saran ... 73
DAFTAR PUSTAKA ... 75
xxi
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
1 Angka Partisipasi Sekolah (APS) SD/Sederajat Dan SMP/Sederajat
Tahun 2003-2010 ... 2
2 Angka Putus Sekolah Indonesia Tahun 2008-2010 ... 3
3 Angka Partisipasi Sekolah SD-SMP di Sulawesi Utara 2003-2010 ... 5
4 Angka Putus Sekolah SD dan SMP di Sulawesi Utara 2008-2010 ... 5
5 Kerangka Pemikiran ... 23
6 Pengujian Pemilihan Model dalam Pengolahan Data Panel ... 27
7 Partisipasi Sekolah Usia 7-15 Tahun 2010 ... 39
8 APS Kabupaten/Kota Tahun 2010 ... 40
9 Peta Sebaran Putus Sekolah Usia 7-12 Tahun di Tahun 2008-2010 ... 43
10 Peta Sebaran Putus Sekolah Usia 13-15 Tahun di Tahun 2008-2010 ... 45
11 Proporsi Pengeluaran Pendidikan Dasar Terhadap PDRB ... 62
12 Angka Partisipasi Sekolah 7-15 Tahun dan Proporsi Pengeluaran Pendidikan Dasar ... 63
xxiii
DAFTAR TABEL
No. Halaman
1 APS Provinsi Berperingkat IPM Tertinggi Tahun 2008-2010 (persen) ... 6 2 Persentase Penduduk Umur 10 Tahun Keatas Berdasarkan Pendidikan
yang ditamatkan Tahun 2010 ... 7 3 Partisipasi Sekolah Usia 7-15 Tahun di Sulawesi Utara (persen) ... 40 4 Persentase Anggaran Belanja Tidak Langsung, Belanja Langsung dan
Anggaran Pendidikan Dasar Tahun 2010 ... 47 5 Alokasi Dana BOS (rupiah/siswa/tahun) ... 48 6 Jumlah SD dan SMP di Sulawesi Utara Tahun 2008-2010 ... 49 7 Jumlah Guru SD dan SMP di Sulawesi Utara Tahun 2008-2010 ... 50 8 Rasio Murid Terhadap Guru di Sulawesi Utara Tahun 2008-2010 ... 51 9 Rasio Murid Guru jika Semua Anak 7-15 Tahun Bersekolah
Tahun 2008-2010 ... 52 10 Rekapitulasi Hasil Estimasi Koefisien Parameter FEM dengan
GLS Weighted ... 57 11 PDRB Perkapita Tahun 2008-2010 (dalam Juta Rupiah) ... 60 12 Indeks Gini Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2008-2010 ... 61 13 Korelasi Share Pengeluaran Pendidikan Dasar dengan PDRB ... 62 14 Persentase Kepala Rumah Tangga yang Berpendidikan SD keatas ... 65 15 Ukuran Statistik Deskriptif P0 dan Jumlah Penduduk Miskin di
Sulawesi Utara Tahun 2005-2010 ... 67 16 Hasil Estimasi Regresi Logistik Determinan Partisipasi Sekolah ... 68 17 Persentase Partisipasi Sekolah Usia 7-15 Tahun Berdasarkan
Pendidikan Kepala Rumah Tangga ... 70 18 Persentase Partisipasi Sekolah Berdasarkan Lapangan Usaha Kepala
xxv
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
1 Hasil Estimasi Untuk Model Usia SD ... 80 2 Hasil Estimasi Untuk Model Usia SMP ... 83 3 Hasil Logit Untuk Model Usia SD ... 86 4 Hasil Logit Untuk Model Usia SMP ... 87 5 Bencana Alam Tahun 2008 ... 88 6 Jarak Sekolah SD Terdekat dari Desa yang Tidak Memiliki
Sekolah SMP ... 89 7 Jarak Sekolah SMP Terdekat dari Desa yang Tidak Memiliki
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendidikan merupakan salah satu masalah dalam proses pembangunan manusia. Permasalahan pendidikan hampir dimiliki oleh seluruh negara berkembang. Tanpa pendidikan suatu negara tidak akan berkembang, pembangunan manusianya terhambat dan dampak secara keseluruhan adalah pembangunan menyeluruh terhadap sebuah negara tidak akan berhasil. Kualitas pendidikan yang rendah merupakan masalah endemik di kebanyakan negara berkembang. Pencapaian pendidikan dasar menjadi konsensus dunia yang tertuang dalam salah satu target Millenium Development Goals (MDGs). Kepedulian dunia diwujudkan dengan diselenggarakannya Deklarasi Millenium (Millenium Declaration) pada bulan September 2000 yang diikuti oleh 189 negara anggota
PBB termasuk Indonesia. Deklarasi tersebut menyepakati 8 tujuan pembangunan millenium atau yang lebih dikenal dengan Millenium Development Goals (MDGs). MDGs atau Tujuan Pembangunan Milenium adalah sebuah paradigma pembangunan yang berpihak pada pemenuhan hak-hak dasar manusia dan akan menjadi landasan pembangunan di abad milenium. Arah pembangunan MDGs dikemas menjadi satu paket yang dipilah menjadi 8 tujuan yang satu sama lain saling mempengaruhi dan bermuara pada percepatan peningkatan kualitas manusia yang lebih tinggi. Delapan tujuan tersebut adalah: (1) menanggulangi kemiskinan dan kelaparan; (2) mencapai pendidikan dasar untuk semua kalangan; (3) mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; (4) menurunkan angka kematian anak; (5) meningkatkan kesehatan ibu; (6) memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lainnya; (7) memastikan keberlanjutan lingkungan hidup; (8) membangun kemitraan global untuk pembangunan.
2010-2014 disebutkan bahwa salah satu sasaran pembangunan manusia Indonesia adalah pencapaian pendidikan dasar bagi seluruh anak di Indonesia dan menurunkan kesenjangan pendidikan antar wilayah.
Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, menjamin hak atas “pendidikan dasar” bagi warga negara Indonesia yang berusia 7-15 tahun. Salah satu upaya untuk meningkatkan taraf pendidikan penduduk Indonesia adalah melalui peningkatan secara nyata persentase penduduk yang dapat menyelesaikan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun. Data Badan Pusat Statistik (2010) menunjukkan rata-rata lama sekolah penduduk umur 15 tahun ke atas di Indonesia hanya mencapai 7,9 tahun, masih jauh dari target pendidikan dasar di Indonesia yaitu 9 tahun.
Sumber : BPS (diolah)
Gambar 1 Angka Partisipasi Sekolah (APS) SD/sederajat dan SMP/sederajat tahun 2003-2010
Angka Partisipasi Sekolah1 (APS) Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) sejak tahun 2003 menunjukkan kenaikan, APS untuk usia 7-12 tahun (usia SD) di Indonesia adalah 96,42 persen, sampai tahun 2010 naik menjadi 98 persen. Artinya masih ada 2 persen anak Indonesia usia SD yang belum bersekolah. Sedangkan APS untuk usia 13-15 tahun (usia SMP) pada tahun
1
APS = �
� �100 dimana Pis :jumlah anak pada kelompok umur tertentu yang bersekolah, Pi : jumlah anak pada kelompok umur tertentu.
50 60 70 80 90 100
2002 2004 2006 2008 2010 2012
pe
rs
e
n
tahun
SD
3
2003 adalah 81,01 persen dan pada tahun 2010 meningkat menjadi 86,24 persen. Artinya dari 100 anak usia sekolah SMP masih ada 13 anak yang tidak bersekolah lagi. Untuk pencapaian pendidikan dasar selama 6 tahun Indonesia cukup berhasil, namun untuk pencapaian pendidikan dasar selama 9 tahun pada tahun 2015 terlihat masih jauh dari target yang diharapkan. Seperti ditunjukkan pada Gambar 1 kenaikan selama kurun waktu 7 tahun tidak signifikan.
Angka putus sekolah2 untuk anak usia SMP di Indonesia masih cukup tinggi, pada tahun 2010 angka putus sekolah SMP sebesar 12,89 persen. Sedangkan untuk tingkat SD relatif kecil yaitu 0,8 persen. Ada gap yang relatif besar antara putus sekolah SD dan SMP. Angka putus sekolah dapat dilihat dari Gambar 2. Gambaran tentang angka putus sekolah juga mengindikasikan masih tertinggalnya pembangunan manusia terutama dibidang pendidikan, oleh karena itu diperlukan suatu evaluasi lebih dalam dari pemerintah apakah proses pembangunan dunia pendidikan sudah optimal atau belum. Oleh karena itu diperlukan informasi tentang campur tangan pemerintah dalam pengembangan manusia terutama dibidang pendidikan sebagai modal pembangunan ekonomi.
Gambar 2 Angka Putus Sekolah Indonesia tahun 2008-2010 Sumber : BPS, 2010
2
Angka Putus Sekolah = �
��100 dimana Pit : jumlah anak pada kelompok umur tertentu yang sudah tidak bersekolah (putus sekolah) dan Pi :jumlah anak pada kelompok umur tertentu.
0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 14.00 16.00
2008 2009 2010
P
e
rs
e
n
Tahun
7-12 tahun
Pada masa pemerintahan orde baru, pendidikan dasar yang wajib diikuti selama 6 tahun, target pada saat itu adalah pemberantasan buta huruf kepada seluruh masyarakat Indonesia. Kemajuan ekonomi dan perkembangan jaman menuntut perbaikan dari sisi pendidikan agar sumber daya manusia di Indonesia dapat mengikuti kemajuan ekonomi dan ikut serta dalam pembangunan di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi memerlukan sumber daya manusia yang berkualitas sehingga dapat menggunakan teknologi yang ada. Selain itu kemampuan dalam penguasaan teknologi juga menjadi dasar seseorang mendapatkan pekerjaan yang sesuai (Suryadarma et al., 2008).
Dengan munculnya negara-negara industri di Asia Timur, banyak penelitian mengungkapkan bahwa keberhasilan pengembangan ini didukung oleh ketersediaan sumber daya manusia berpendidikan yang memadai. Sementara itu, sumber daya manusia yang berkualitas adalah output dari pembangunan pendidikan. Banyak perjanjian pembangunan internasional menyoroti peran penting pendidikan untuk mengatasi kemiskinan, kesetaraan gender dan keadilan sosial. Ini adalah alasan utama mengapa banyak negara di dunia-termasuk Indonesia telah memprioritaskan pada pendidikan pada pembangunan nasional tidak hanya sebagai bagian penting dari pembangunan manusia, tetapi juga sebagai hak dasar kemanusiaan. Semua alasan mendasar di atas telah dimasukkan bersama sebagai dasar pembangunan pendidikan di Indonesia (Purwanto, 2010).
Salah satu program penting pembangunan pendidikan nasional yang disebut Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun (Wajardikdas 9 Tahun). Ini adalah program pendidikan 9 tahun wajib ditetapkan menjadi pendidikan dasar bagi warga negara Indonesia. Program ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1994 dan ditargetkan untuk mencapai hasil tertentu yang diukur mulai tahun 2008/2009.
5
[image:31.596.104.495.127.800.2]tahun 2015 tidak ada lagi anak yang tidak bersekolah, untuk jenjang SD sudah bisa memenuhi namun untuk jenjang SMP relatif masih jauh. Sulawesi Utara walaupun memiliki APS yang lebih tinggi dari angka nasional, namun masih terdapat gap yang cukup besar antara APS SD dan SMP (Gambar 3).
Gambar 3 Angka Partisipasi Sekolah SD-SMP di Sulawesi Utara 2003-2010 Selain itu angka putus sekolah Sulawesi Utara tahun 2008-2010 menunjukkan trend penurunan. Namun, angka putus sekolah SMP masih relatif besar, penurunan hanya 1 persen dalam jangka waktu 3 tahun (Gambar 4). Putus sekolah SMP masih lebih besar dari SD. Target MDG‟s yaitu pada tahun 2015 semua anak usia sekolah harus bersekolah akan tidak dapat terpenuhi jika angka putus sekolah masih banyak terjadi.
Gambar 4 Angka Putus Sekolah SD dan SMP di Sulawesi Utara 2008-2010 75
80 85 90 95 100
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
pe
rs
e
n
7-12 tahun 13-15 tahun
0 2 4 6 8 10 12 14
2008 2009 2010
pe
rs
e
n
Sementara itu, pendidikan merupakan salah satu komponen pembentuk IPM. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Sulawesi Utara. Sejak tahun 2003 Sulawesi Utara berada pada peringkat kedua setelah provinsi DKI Jakarta. Namun jika membandingkan APS dari lima provinsi dengan IPM tertinggi, maka provinsi Sulawesi Utara berada paling bawah diantara kelima provinsi tersebut (Tabel 1). Walaupun secara nasional APS Sulawesi Utara masih berada diatas rata-rata Indonesia namun target MDGs belum tercapai. Apalagi Sulawesi Utara diharapkan menjadi gate way ke perdagangan internasional melalui program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Tabel 1 APS Provinsi Berperingkat IPM Tertinggi Tahun 2008-2010 (persen)
Tahun DKI
Jakarta
Sulawesi
Utara R i a u
Dista Yogyakarta
Kalimantan Timur
SD/MI/Paket A
2008 98,82 97,87 98,36 99,62 98,35
2009 99,06 97,82 98,55 99,65 98,42
2010 99,16 98,3 98,75 99,69 98,68
SMP/ MTs/ Paket B
2008 90,53 88,46 91,83 92,91 90,78
2009 90,75 88,4 91,58 93,42 91,55
2010 91,45 89,06 92,09 94,02 92,49
IPM 2010 77,6 76,09 76,07 75,77 75,56
Angka Putus
Sekolah 2010 8,31 10,48 7,13 5,98 6,95
Sumber : BPS (diolah)
Dalam master plan MP3EI di Sulawesi Utara akan dibangun Kawasan Ekonomi Khusus dan pelabuhan internasional di Sulawesi Utara tepatnya di kota Bitung. Bitung diprioritaskan menjadi sentra industri pengolahan hasil perikanan di Indonesia bagian timur yang mampu masuk ke pasar internasional. Dengan adanya pembangunan infrastruktur yang diharapkan akan menaikkan perekonomian Sulawesi Utara pada khususnya dan Indonesia pada umumnya, oleh karena itu dibutuhkan sumber daya manusia yang berpendidikan dan mempunyai skill yang bisa masuk ke sektor industri dan mampu bersaing dengan dengan tenaga kerja lainnya.
7
Philipina. Daerah perbatasan menjadi tempat strategis setiap negara untuk mempertahankan kedaulatannya. Sehingga pembangunan manusia seharusnya diperkuat dengan menaikkan kuantitas dan kualitas pendidikan.
1.2 Perumusan Masalah
Tingkat pendidikan penduduk di Sulawesi Utara masih didominasi tamatan SD/MI/Paket A dan yang tidak/belum punya ijazah (Tabel 2). Tingginya proporsi penduduk yang berpendidikan rendah menunjukkan masih kurangnya persiapan terhadap sumber daya manusia yang nantinya akan menjadi pelaku ekonomi, faktor produksi bagi industri-industri yang akan dibangun. Rencana jangka panjang pemerintah mempercepat pembangunan ekonomi di kawasan timur Indonesia khususnya Sulawesi Utara melalui MP3EI membutuhkan tenaga kerja yang mampu masuk dan dianggap mampu bekerja di lapangan usaha. Jika masyarakat Sulawesi Utara tidak siap dengan percepatan pembangunan yang akan berlangsung di tahun mendatang maka tujuan percepatan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan juga sulit untuk terwujud karena kurangnya persiapan di sumber daya manusia.
Tabel 2 Persentase Penduduk Umur 10 Tahun Keatas Berdasarkan Pendidikan yang Ditamatkan Tahun 2010
Pendidikan yang ditamatkan Persentase (%)
Tidak/Belum punya ijazah 20,78
SD/MI/Paket A 27,31
SLTP/MTs/Paket B 19,34
SMU/MA/Paket C 19,98
SMK 5,71
Diploma I/II 0,83
DIII/Sarjana Muda 1,16
DIV/S1 keatas 4,88
Sumber: Statistik Kesra Sulawesi Utara Tahun 2011 (diolah)
Sejak desentralisasi fiskal telah terjadi proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah. Distribusi anggaran tersebut untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintahan dan pelayanan publik sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan (Sobari, 2011).
dapat diatasi. Daerah lebih leluasa untuk mengatur kebijakan di sektor pendidikan tanpa harus bergantung sepenuhnya kepada pemerintah pusat. Namun, desentralisasi keuangan yang telah dilakukan sejak tahun 2001 menunjukkan masih terjadi ketimpangan pencapaian pendidikan dasar di Indonesia. Dana Alokasi Khusus untuk sektor pendidikan belum menjadi prioritas alokasi anggaran. Tidak adanya standar dalam alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk sektor pendidikan di setiap kabupaten/kota di Indonesia sebagai salah satu penyebab tidak meratanya pencapaian pendidikan dasar (Suryadarma et al. 2005). Hal ini menjadi suatu kenyataan yang ironis karena daerah belum memahami esensi pendidikan dasar terhadap pembangunan di daerah.
Provinsi Sulawesi Utara merupakan provinsi yang cukup mengalami perkembangan di era otonomi daerah. Sebelum era otonomi daerah, Sulawesi Utara hanya memiliki 5 kabupaten/kota. Setelah desentralisasi fiskal sampai tahun 2011 jumlah daerah tingkat II menjadi 15 yaitu 11 kabupaten dan 4 kota. Apakah dengan banyaknya kabupaten kota yang mekar juga mendorong peningkatan pencapaian di bidang pendidikan.
Tidak dapat dipisahkan juga adanya faktor-faktor lain yang menyebabkan ketimpangan pencapaian pendidikan dasar. Menurut UNESCO (2008) faktor-faktor penyebab belum meratanya pencapaian pendidikan dasar dapat berupa faktor geografis, tingkat pendapatan suatu daerah, faktor kultural, individu bahkan faktor kemiskinan suatu keluarga.
Beragamnya permasalahan pendidikan di Indonesia khususnya di Sulawesi Utara menjadi kajian penelitian yang menarik untuk diteliti sehingga perlu dianalisis faktor-faktor apa yang dapat mendorong peningkatan pendidikan dasar di Sulawesi Utara.
Berdasarkan uraian permasalahan diatas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana dinamika pendidikan dasar di Sulawesi Utara?
2. Faktor-faktor apa yang memengaruhi pendidikan dasar di Sulawesi Utara? 3. Bagaimana hubungan faktor sosial, ekonomi dan geografis memengaruhi
9
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah maka secara umum tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian adalah:
1. Mengkaji dinamika pendidikan dasar di Sulawesi Utara.
2. Mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi partisipasi pendidikan dasar di Sulawesi Utara.
3. Mengkaji hubungan faktor sosial ekonomi, demografi terhadap partisipasi anak untuk bersekolah di pendidikan dasar di Sulawesi Utara.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain adalah memberikan informasi mengenai faktor-faktor yang memengaruhi pendidikan dasar di Sulawesi Utara dan memberikan rekomendasi kebijakan kepada pencapaian pendidikan dasar berdasarkan faktor-faktor yang didapat.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian dan Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini dilakukan terhadap seluruh kabupaten/kota di provinsi Sulawesi Utara kurun waktu 2008-2010. Untuk kepentingan penelitian, kabupaten/kota yang mengalami pemekaran setelah tahun 2008 diagregasikan ke kabupaten/kota induk sebelum pemekaran. Sehingga data yang akan digunakan sebanyak 13 kabupaten/kota selama 2008-2010.
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Teori Pembangunan Manusia
Salah satu pelopor pendekatan pembangunan manusia dalam Ilmu Ekonomi Pembangunan adalah Sen (2000) melalui konsep human capabilities approach. Pendekatan ini menekankan pada gagasan kemampuan (capabilities)
manusia sebagai tema sentral pembangunan. Haq (1995) juga telah menegaskan, manusia harus menjadi inti dari gagasan pembangunan, dan hal ini berarti bahwa semua sumberdaya yang diperlukan dalam pembangunan harus dikelola untuk meningkatkan kapabilitas manusia. Gagasan ini sejalan dengan pemikiran UNDP yang diterjemahkan ke dalam beberapa indikator sosial-ekonomi yang menggambarkan kualitas hidup dalam beberapa ukuran kuantitatif, seperti kemampuan ekonomi, kemampuan dalam pengetahuan dan keterampilan serta kemampuan untuk hidup lebih panjang dan sehat (Ranis, 2004).
Dimensi pembangunan sosial-ekonomi mencakup dan terkait dengan beberapa tema utama, antara lain prestasi perekonomian, kenaikan taraf kesehatan, angka harapan hidup serta perluasan distribusi pendidikan. Secara umum, UNDP mendefinisikan pembangunan manusia (human development) sebagai perluasan pilihan bagi setiap orang untuk hidup lebih panjang, lebih sehat dan hidup lebih bermakna (UNDP, 1990). Memperluas pilihan manusia berarti mengasumsikan suatu kondisi layak hidup yang memungkinkan manusia memperoleh akses untuk mendapatkan pengetahuan dan pendidikan serta akses terhadap sumberdaya yang dibutuhkan untuk hidup secara layak.
2.2 Pengertian Pendidikan
Menurut UU No.20 tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) pengertian pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat (Kemdiknas, 2010). Menurut teori pertumbuhan endogen yang dipelopori Lucas dan Romer, pertumbuhan ekonomi tidak hanya dipengaruhi oleh besarnya modal dan tenaga kerja tetapi juga dipengaruhi oleh akumulasi modal manusia melalui pertumbuhan teknologi. Akumulasi modal manusia merupakan akumulasi dari pendidikan dan pelatihan. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan ketrampilan penduduk menunjukkan semakin tinggi modal manusia (human capital). Secara umum, semakin berpendidikan seseorang maka tingkat pendapatannya semakin baik. Hal ini dimungkinkan karena orang yang berpendidikan lebih produktif bila dibandingkan dengan yang tidak berpendidikan. Produktivitas yang tinggi tersebut dikarenakan memiliki keterampilan teknis yang diperoleh dari pendidikan. Jika tingkat pendidikan lebih tinggi maka akses ke dunia kerja menjadi lebih mudah dan dapat memperoleh posisi yang lebih baik (Todaro dan Smith, 2006).
Sementara itu, unit usaha yang diisi dengan mereka yang memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menyerap teknologi akan lebih produktif. Tingkat upah pekerja pun akan meningkat yang berarti kesejahteraan rumah tangganya juga meningkat. Oleh karena itu, salah satu tujuan yang harus dicapai oleh pendidikan adalah mengembangkan keterampilan hidup. Inilah sebenarnya arah kurikulum berbasis kompetensi, pendidikan life skill dan broad based education yang dikembangkan di Indonesia akhir-akhir ini (Nurkolis, 2002).
13
sebelumnya berada di bawah Kementerian Pendidikan Nasional, kini menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Sedangkan Kementerian Pendidikan Nasional hanya berperan sebagai regulator dalam bidang standar nasional pendidikan. Secara struktural, sekolah dasar negeri merupakan unit pelaksana teknis dinas pendidikan kabupaten/kota.
Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Nomor 20 Tahun 2001) Pasal 17 mendefinisikan pendidikan dasar sebagai berikut:
1. Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah.
2. Pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.
3. Pendidikan dasar merupakan hak bagi semua orang dan negara wajib menjamin pemenuhan pendidikan dasar. Lamanya pendidikan dasar suatu negara tergantung dari kebijakan yang diterapkan oleh masing-masing negara.
Menurut UNESCO rata-rata negara berkembang menetapkan pendidikan dasar yang harus ditempuh adalah 6 tahun. Indonesia menetapkan pendidikan dasar selama 9 tahun. Terbagi atas pendidikan pada sekolah setingkat Sekolah Dasar dan sederajatnya (SD/MI/sederajat) selama 6 tahun dan sekolah setingkat Sekolah Menengah Pertama dan sederajat (SMTP/MTs/sederajat) selama 3 tahun. Target MDGs untuk pendidikan adalah tercapainya pendidikan setingkat SD dan SMP untuk semua anak.
2.3 Hubungan Pendidikan dengan Pembangunan Ekonomi
meningkatkan kualitas kehidupan manusia dan menjamin kemajuan sosial dan ekonomi.
2.4 Hubungan Pendidikan dengan Kemiskinan
Menurut Bank Dunia (2004), tingkat pendidikan penduduk miskin yang rendah akan menimbulkan lingkaran setan kemiskinan pada generasi berikutnya. Penduduk miskin yang berpendidikan rendah akan menyebabkan produktivitasnya rendah, produktivitas yang rendah akan membuat output dan pendapatan yang diterima rendah, sehingga terjadi kemiskinan. Rumah tangga miskin akan kesulitan untuk membiayai anak-anaknya sekolah sehingga akan melahirkan generasi selanjutnya yang berpendidikan rendah dan menimbulkan kemiskinan baru.
Gunnar Mirdal dalam Damanhuri (2010) memiliki teori tersendiri mengenai “lingkaran setan kemiskinan/keterbelakangan”. Kemiskinan bukan terletak pada persoalan modal semata sebagaimana yang diutarakan oleh kalangan liberal, akan tetapi lebih karena kurangnya gizi, pendidikan, dan basic needs lainnya. Menurut Myrdal, keadaan miskin bermula dari pendapatan yang rendah sehingga kualitas gizi, menjadi kurang. Rendahnya kualitas tersebut menyebabkan rendahnya kesehatan yang kemudian menyebabkan rendahnya produktivitas. Produktivitas yang rendah menyebabkan pendapatan penduduk rendah dan menyebabkan kemiskinan pada generasi selanjutnya. Kemiskinan ini akan menyebabkan manusia tidak dapat memenuhi sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan yang kembali akan menyebabkan kemiskinan baru. 2.5 Ekonomi Pendidikan
Studi ekonomi pendidikan memiliki dasar dalam penerapan konsep fungsi produksi pada proses pendidikan. Namun, beberapa asumsi yang berkaitan dengan konsep Education Production Function (EPF) Hanusheck (1986) dalam Boissiere (2004) mengatakan bahwa beberapa asumsi yang berkaitan dengan konsep EPF harus dipertimbangkan ketika menggunakan konsep ini untuk menganalisis pendidikan. Konsep Education Production Function (EPF) dikembangkan oleh ekonom-ekonom yang `menekuni applied economics khususnya education economics. Sekolah dapat diperlakukan secara analitis sebagai unit produksi di
15
keuntungan perusahaan seperti pada fungsi produksi pada umumnya, kebanyakan dari sekolah menjadi barang publik atau swasta nirlaba (Bossier, 2004). Ide dasar dari menggunakan input modal, tenaga kerja, dan lainnya untuk menghasilkan output tertentu dapat dimodifikasi untuk menganalisis input dari pendidikan untuk menghasilkan output tertentu dari pendidikan. Glewwe (2002) dalam Bossier (2004) memformulasikan EPF dari fungsi produksi Cobb Douglass yaitu :
H = k * Sx *Ay *Qz Dimana
H : human capital dengan pendekatan menggunakan skor nilai tes S : School, lamanya waktu sekolah
A : Ability, serangkaian kemampuan individu siswa dan kapasitas belajar, seperti IQ
Q : faktor kualitas sekolah, seperti ukuran kelas, kualifikasi pengajar, dll
X,y,z : dampak dari input yang memengaruhi output
Para pengambil kebijakan akan tertarik pentingnya ukuran dan statistik dari koefisien dalam fungsi produksi pendidikan karena itu akan memberikan beberapa gagasan tentang dampak dari berbagai faktor input yang dianggap sebagai penentu hasil pendidikan. Outputnya adalah pencapaian dari hasil pendidikan seperti hasil score suatu tes atau hasil ujian kelulusan suatu wilayah (Bossier, 2004).
Dalam perkembangannya, banyak faktor yang dapat digunakan untuk melakukan pendekatan menghitung outcomes dari pendidikan. Input dari model diatas bisa dimodifikasi sebagai variabel-variabel yang dapat digunakan untuk menghitung suatu outcomes tertentu yang menjadi target suatu pemerintahan. Contohnya saja kebijakan dan program yang akan dievaluasi terhadap hasil dari pendidikan yang ditargetkan (Purwanto, 2010).
2.6 Hubungan Pendidikan dan Investasi
Kualitas modal manusia yang ditunjukkan melalui tingkat pendidikan dan angka partisipasi sekolah dapat dipandang sebagai hasil yang ditentukan oleh perpaduan antara kekuatan permintaan dan penawaran, sama halnya dengan barang ataupun jasa ekonomi lainnya. Todaro dan Smith (2006) menjelaskan bahwa pada sisi penawaran (oleh negara) pendidikan dibatasi oleh tingkat pengeluaran pemerintah untuk sektor pendidikan. Sedangkan permintaan terhadap pendidikan merupakan suatu “permintaan tidak langsung” atau permintaan turunan (derived demand), yakni permintaan terhadap kesempatan memperoleh pekerjaan berpenghasilan tinggi di sektor modern. Lebih lanjut Todaro dan Smith (2006) mengatakan bahwa permintaan itu ditentukan oleh kombinasi pengaruh dari empat variabel yaitu:
1. Selisih atau perbedaan upah atau pendapatan antara sektor modern dengan sektor tradisional.
2. Probabilitas untuk mendapatkan pekerjaan di sektor modern dengan adanya pendidikan.
3. Biaya pendidikan langsung yang harus ditanggung siswa/keluarganya. 4. Biaya tidak langsung atau biaya oportunitas dari pendidikan
Selain itu, ada beberapa variabel penting lainnya yang bersifat nonekonomi seperti: pengaruh tradisi budaya, gender, status sosial, pendidikan orang tua dan besarnya anggota keluarga, yang sangat memengaruhi tingkat permintaan terhadap pendidikan (Glewwe, 2002).
Dengan kata lain, permintaan terhadap pendidikan akan membandingkan biaya-biaya pendidikan (butir 3 dan 4) yang harus dikeluarkan dengan keuntungan yang diperoleh (butir 1 dan 2). Perbandingan antara total biaya yang dikeluarkan untuk membiayai pendidikan dengan total manfaat atau pendapatan yang akan diperoleh dari para lulusannya di masa depan dihitung sebagai tingkat pengembalian dari investasi pendidikan (rate of return to education). Tingkat pengembalian dari investasi pendidikan ini dapat bersifat sosial maupun individu.
17
itu sendiri. Sebagai salah satu bentuk investasi sumber daya manusia, investasi pendidikan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu private investment dan public investment (Todaro dan Smith, 2006).
Private investment merupakan investasi pendidikan pada level mikro atau
tingkat individu. Bentuk dari private investment adalah individu yang mengenyam bangku pendidikan formal maupun nonformal termasuk orangtua yang mengajarkan anak pelajaran. Sedangkan public investment merupakan investasi yang dilakukan oleh masyarakat maupun pemerintah dalam bentuk penyediaan gedung sekolah, lembaga pendidikan, guru, dana pendidikan, penyediaan infrastruktur pendidikan, dan lain sebagainya (Todaro dan Smith, 2006).
2.7 Manfaat dan Biaya Pendidikan
Sesuai dengan pembagian bentuk investasi pendidikan, terdapat dua jenis biaya dalam investasi pendidikan, yaitu biaya individu (private cost) dan biaya sosial (social cost). Biaya-biaya pendidikan individual (private cost) merupakan biaya yang harus ditanggung oleh setiap peserta didik dan keluarganya sendiri. Menurut Becker (1993) dalam Budiarti (2009), biaya total yang harus ditanggung rumah tangga untuk melakukan nonworking activity terdiri dari biaya langsung (cost of purchased inputs) dan biaya tidak langsung berupa opportunity cost dari waktu yang digunakan untuk mengenyam pendidikan.
Setyonaluri (2002) dalam Budiarti (2009).Pengeluaran pendidikan yang harus dikeluarkan oleh rumah tangga seperti uang sekolah, biaya seragam, buku-buku pelajaran, dan sebagainya dikenal sebagai biaya langsung (out of pocket expenses). Sedangkan biaya tidak langsung atau foregone earnings, adalah
hilangnya penghasilan atau volume produksi yang sebenarnya dapat dihasilkan seseorang bila ia memilih untuk bekerja dan tidak sekolah. Umumnya foregone earnings diukur dengan penghasilan seseorang yang memiliki pendidikan di bawah tingkat pendidikan yang ia tempuh pada saat ini .
sektor-sektor nonpendidikan. Manfaat individu (private benefit), yang juga dikenal sebagai manfaat langsung (direct benefit), merupakan keuntungan yang diterima individu dengan bersekolah, diantaranya berupa lebih tingginya penghasilan (lifetime earnings) yang diterima oleh individu yang bersekolah dibandingkan dengan penghasilan yang diterima oleh individu yang tidak bersekolah. Atau dapat diartikan bahwa manfaat pendidikan bagi individu adalah besarnya penghasilan yang diterima oleh individu tersebut sepanjang hidupnya, berdasarkan tingkat pendidikan yang dicapainya setelah dikurangi dengan pajak penghasilan. Manfaat sosial (social benefit), atau disebut juga manfaat tidak langsung (indirect benefit), adalah keuntungan yang dinikmati masyarakat karena bersekolahnya seseorang.
2.8 Pengeluaran Pemerintah dalam Bidang Pendidikan
Rakyat berhak mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya. Inilah kebijakan publik pemerintah di bidang pendidikan (Pasal 31 UUD 1945). Konsistensi terhadap konstitusi untuk mencerdaskan bangsa sepatutnya merupakan landasan dari segenap rencana strategis pendidikan yang diwujudkan dalam merumuskan praksis pendidikan di Indonesia. Menurut Mankiw (2008) pengembangan sumber daya manusia dapat dilakukan dengan perbaikan kualitas modal manusia. Modal manusia dapat mengacu pada pendidikan, namun juga dapat digunakan untuk menjelaskan jenis investasi manusia lainnya seperti investasi yang mendorong ke arah populasi yang sehat yaitu kesehatan.
Pengeluaran pemerintah terhadap sektor pendidikan merupakan bagian dari pengeluaran pemerintah yang memacu kesejahteraan masyarakat dan pada akhirnya mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Intervensi pemerintah dalam bidang pendidikan juga dalam kerangka penanaman nasionalisme serta nilai-nilai kebangsaan lainnya. Untuk itu pengeluaran pemerintah dalam bidang pendidikan cenderung diwujudkan dalam bentuk pelayanan langsung, misalnya pendirian sekolah negeri. Harapannya dengan mensuplai pelayanan pendidikan secara langsung, pemerintah lebih dapat mengkontrol kurikulum dan standar pendidikan.
19
2.9 Penelitian Empiris
Boissiere (2004) dalam studi literaturnya tentang penelitian-penelitian terdahulu yang determinan pendidikan dasar di negara berkembang. Determinan output pendidikan dapat diestimasi menggunakan pendekatan dianalisis menggunakan Supply and Demand, EPF, Randomized Evaluation, Natural experiment dan metode kualitatif.
Faguet dan Sanchez (2006) meneliti tentang efek desentralisasi kepada hasil pendidikan di Bolivia dan Colombia. Variabel dependen yang dipakai adalah pertumbuhan angka partisipasi sekolah dengan metode data panel. Hasil penelitian menemukan bahwa di Kolombia, desentralisasi keuangan membuat angka enrollment (angka partisipasi) sekolah naik di sekolah-sekolah milik
pemerintah.Variabel desentralisasi seperti variabel pendapatan daerah per total pengeluaran pendidikan dan total penerimaan pajak berpengaruh positif dan signifikan, total pengeluaran pendidikan per transfer pemerintah pusat dan total pengeluaran pendidikan per pengeluaran pemerintah pusat berpengaruh negatif terhadap kenaikan tingkat partisipasi murid di sekolah pemerintah. Sedangkan variabel pengeluaran pendidikan perkapita berpengaruh negatif, hal ini menggambarkan bahwa variabel pengeluaran pendidikan perkapita bukanlah faktor yang menentukan pertumbuhan partisipasi sekolah. Di Bolivia, desentralisasi membuat pemerintah lebih responsif dengan kembali mengarahkan investasi publik ke daerah yang yang memiliki kebutuhan terbesar. PDRB perkapita, investasi di bidang pendidikan dan faktor daerah (district) berpengaruh positif kepada pencapaian pendidikan dasar.
dibiayai oleh pemerintah ternyata belum dapat memberikan kontribusi yang signifikan kepada pendidikan.
Coleman (1966) dalam Bossier (2004) mengkaji tentang output pendidikan di Amerika Serikat menggunakan pendekatan education production function (EPF) menimbulkan kontroversi yang cukup dengan datang ke kesimpulan mengejutkan bahwa variasi dalam sumber daya sekolah tidak menjelaskan banyak variasi dalam prestasi siswa. Pentingnya sekolah dan guru untuk pencapaian siswa tampak jauh kurang penting dibandingkan dengan status sosial ekonomi siswa (SES) seperti ditunjukkan oleh sejumlah karakteristik latar belakang keluarga, seperti pendidikan orangtua, profesi, dan pendapatan. Berbeda dengan Hyneman (1979) dalam Bossier (2004) dalam penelitiannya di Uganda bahwa faktor ketersediaan guru dan sekolah lebih berpengaruh dibandingkan faktor status sosial ekonomi (pendidikan kepala keluarga, pekerjaan, pendapatan) terhadap pencapaian kualitas pendidikan.
Purwanto (2010) dalam kajiannya tentang faktor-faktor yang memengaruhi pendidikan dasar dalam kerangka desentralisasi fiskal menggunakan dua model untuk masing-masing level pendidikan dasar yaitu Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Data yang digunakan adalah data panel seluruh kabupaten/kota di Indonesia. Hasil yang diperoleh adalah Dana Alokasi Khusus Bidang Pendidikan dan Dana Alokasi Umum pengaruhnya signifikan kepada angka partisipasi SD namun kurang mempengaruhi untuk tingkat SMP. Pemerintah dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) tinggi belum tentu memiliki angka partisipasi sekolah yang juga tinggi. Sedangkan karakteristik daerah jawa atau bukan jawa, daerah pemekaran dan daerah buka pemekaran berbeda secara signifikan, hal ini berimplikasi bahwa masih terjadinya gab yang tinggi antar daerah di Indonesia. Variabel angka melek huruf (proxy pendidikan kepala keluarga) dan rasio guru murid tidak signifikan.
21
pendidikan kepala rumah tangga. Orangtua yang memiliki anak perempuan yang berumur 6 tahun lebih banyak yang tidak menyekolahkan anaknya karena faktor kekhawatiran akan keselamatan anak perempuannya. Makin tinggi pendidikan kepala keluarga maka makin memperbesar peluang anak di keluarga tersebut untuk bersekolah.
Philipina dengan Angka Partisipasi Murni (APM) pendidikan dasarnya 86 persen menargetkan pada tahun 2015 semua anak bersekolah untuk mencapai target MDG‟s. Tullao dan Rivera (2011) meneliti menggunakan regresi berganda OLS mengenai faktor sosial ekonomi dalam keluarga yang memengaruhi
partisipasi anak usia 6-12 tahun dikeluarga tersebut bersekolah atau tidak. Daerah yang diambil sebagai daerah penelitian adalah Pasay City dan Eastern Samar. Hasilnya adalah variabel pendapatan rumah tangga, letak tempat tinggal, status pekerjaan orang tua yang tidak tetap, jumlah anggota rumah tangga, kemiskinan, dan ketersediaan listrik memengaruhi tingkat partisipasi sekolah.
Penelitian ini mengaju pada penelitian Glewwe (2002), Faguet dan Sanchez (2006) dan Purwanto (2010) dalam meneliti determinan pendidikan dasar secara regional di provinsi Sulawesi Utara. Adapun perbedaannya adalah pada metode yang digunakan penulis. Glewwe (2002) menggunakan persamaan simultan dan OLS, Purwanto (2010) menggunakan data panel dengan variabel DAU, DAK, PAD sebagai proxy dari desentralisasi fiskal. Penelitian ini menggunakan data panel dengan variabel pengeluaran pemerintah untuk pendidikan dasar, rasio murid terhadap guru, rasio guru terhadap sekolah, banyaknya anggota rumah tangga, pendidikan kepala rumah tangga, dan pendapatan perkapita antar wilayah di Sulawesi Utara.
adalah letak geografis tempat tinggal, jenis kelamin, pendidikan kepala rumah tangga, pengeluaran perkapita/bulan, jumlah anggota rumah tangga, dan lapangan usaha kepala rumah tangga.
2.9 Kerangka Pemikiran
23
Gambar 5 Kerangka Pemikiran Keterangan :
: Variabel yang diteliti
: Variabel yang tidak diteliti Belum tercapainya target MDGs di Sulawesi Utara
untuk pendidikan dasar
Provinsi Sulawesi Utara :
IPM kedua, APS terendah dari 5 provinsi IPM terbesar
Gate Way Internasional lewat hubport dan sektor industri
Faktor-faktor yang memengaruhi pendidikan dasar
Struktural Kultural
Faktor Input Pendidikan
1. Pengeluaran Riil Pendidikan Dasar 2. Dana BOS
3. PDRB Perkapita 4. Jumlah ART 5. Pendidikan KRT 6. Kemiskinan
7. Rasio Murid terhadap Guru 8. Rasio Guru terhadap Sekolah
Faktor Sosial Ekonomi Rumah Tangga 1. Pendidikan Kepala Keluarga
2. Jumlah Anak dalam keluarga 3. Jenis Kelamin
4. Lapangan Usaha Kepala Rumah Tangga 5. Pedesaan/Kota
6. Pengeluaran Perkapita Dinamika perkembangan
pendidikan dasar di Sulawesi Utara
2.10 Hipotesis
Hipotesis pada penelitian ini adalah partisipasi sekolah anak usia SD dan SMP dipengaruhi oleh:
1. Faktor pengeluaran pemerintah yaitu belanja riil pendidikan dasar, dana BOS berpengaruh positif terhadap pendidikan dasar.
2. Faktor sosial ekonomi yaitu PDRB perkapita, persentase kepala rumah tangga yang pendidikan diatas SD berpengaruh positif, persentase rumah tangga dengan jumlah anggota rumah tangga lebih dari 5 orang dan kemiskinan berpengaruh negatif terhadap pendidikan dasar.
3. Faktor ketersediaan sarana pendidikan yaitu rasio murid guru berpengaruh negatif, rasio murid sekolah berpengaruh positif.
III. METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang berasal dari berbagai instansi pemerintah. Data bersumber dari Badan Pusat Statistik, Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan, Kementrian Pendidikan Nasional dan sumber-sumber lainnya. Data yang digunakan antara lain data angka partisipasi sekolah untuk usia 7-12 tahun, dan angka partisipasi sekolah untuk usia 13-15 tahun, realisasi belanja anggaran pendidikan dasar perkabupaten/kota, Alokasi Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), kemiskinan relatif, PDRB perkapita. Faktor sosial seperti persentase kepala rumah tangga yang berpendidikan tamat SMP dan rumah tangga yang memiliki anggota rumah tangga lebih dari 5 orang diolah menggunakan data SUSENAS Kor tahun 2008-2010. Periode yang diteliti adalah tahun 2008-2010.
3.2 Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif merupakan bentuk analisis sederhana yang bertujuan mendeskripsikan dan mempermudah penafsiran yang dilakukan dengan membaca tabel dan grafik. Analisis deskriptif pada penelitian ini digunakan untuk melihat dinamika pendidikan dasar di Indonesia selama periode penelitian. Analisis disajikan dalam bentuk tabel dan grafik agar dapat dipahami dengan mudah oleh pembaca.
3.3 Analisis Regresi Data Panel
Data panel digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi pendidikan dasar. Data panel adalah data yang memiliki dimensi ruang (individu) dan waktu (Gujarati, 2004). Dalam data panel, data cross section yang sama diobservasi menurut waktu. Jika setiap unit cross section memiliki jumlah observasi time series yang sama maka disebut sebagai balanced panel (total jumlah observasi = N x T). Sebaliknya jika jumlah observasi berbeda untuk setiap unit cross section maka disebut unbalanced panel.
1. Mampu mengontrol heterogenitas individu. Estimasi yang dilakukan dapat secara eksplisit memasukkan unsur heterogenitas individu.
2. Dapat memberikan data yang informatif, mengurangi kolinearitas antar peubah, meningkatkan derajat bebas dan lebih efisien.
3. Lebih baik untuk studi dynamics of adjustment. Karena berkaitan dengan observasi cross section yang berulang, maka data panel lebih baik dalam mempelajari perubahan dinamis.
4. Lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diatasi dalam data cross section saja atau data time series saja.
Selain manfaat yang diperoleh dengan penggunaan panel data, metode ini juga memiliki keterbatasan di antaranya adalah:
1. Masalah dalam desain survei panel, pengumpulan dan manajemen data. Masalah yang umum dihadapi diantaranya: cakupan (coverage), nonresponse, kemampuan daya ingat responden (recall), frekuensi dan waktu wawancara. 2. Distorsi kesalahan pengamatan (measurement errors). Measurement errors
umumnya terjadi karena respon yang tidak sesuai.
3. Masalah selektivitas (selectivity) yang mencakup hal-hal berikut:
a. Self-selectivity : permasalahan yang muncul karena data-data yang
dikumpulkan untuk suatu penelitian tidak sepenuhnya dapat menangkap fenomena yang ada.
b. Nonresponse : permasalahan yang muncul dalam panel data ketika ada
ketidaklengkapan jawaban yang diberikan oleh responden (sampel rumahtangga).
c. Attrition : jumlah responden yang cenderung berkurang pada survei lanjutan yang biasanya terjadi karena responden pindah, meninggal dunia atau biaya menemukan responden yang terlalu tinggi
4. Dimensi waktu (time series) yang pendek. Jenis panel mikro biasanya mencakup data tahunan yang relatif pendek untuk setiap individu.
27
Analisis data panel secara garis besar dibedakan menjadi dua macam yaitu statis dan dinamis. Pada analisis data panel dinamis, regressor-nya mengandung variabel lag dependent-nya, sedangkan pada analisis data panel statis tidak.
Secara umum, terdapat dua pendekatan dalam metode data panel, yaitu Fixed Effect Model (FEM) dan Random Effect Model (REM). Keduanya dibedakan berdasarkan ada atau tidaknya korelasi antara komponen error dengan peubah bebas. Pada pendekatan one way komponen error hanya memasukkan komponen error yang merupakan efek dari individu (
i). Pada two way telahmemasukkan efek dari waktu (t) ke dalam komponen error, uit diasumsikan tidak berkorelasi dangan Xit. Jadi perbedaan antara FEM dan REM terletak pada ada
atau tidaknya korelasi antara
idan tdengan Xit. 3.3.1 Pemilihan Model dalam Pengujian Data PanelPemilihan model yang digunakan dalam sebuah penelitian perlu dilakukan berdasarkan pertimbangan statistik. Hal ini ditujukan untuk memperoleh dugaan yang efisien. Diagram pengujian statistik untuk memilih model yang digunakan dapat diperlihatkan pada Gambar 6.
Untuk memutuskan apakah akan menggunakan fixed effect atau random effect menggunakan uji Haussman. Hausman test dilakukan dengan hipotesis
sebagai berikut:
H0: E(τi | xit) = 0 atau REM adalah model yang tepat
H1: E(τi | xit) ≠ 0 atau FEM adalah model yang tepat
Sebagai dasar penolakan H0 maka digunakan statistik Hausman dan membandingkannya dengan Chi square.
Jika nilai χ2 statistik hasil pengujian lebih besar dari χ2 tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap H0 sehingga pendekatan yang digunakan adalah fixed effect, begitu juga sebaliknya.
3.3.2 Uji Asumsi
Uji asumsi dilakukan untuk memenuhi persyaratan sebuah model yang akan digunakan. Setelah kita memutuskan untuk menggunakan suatu model tertentu (FEM atau REM) berdasarkan HAUSMAN Test, maka kita dapat melakukan uji terhadap asumsi yang digunakan dalam model.
1 Uji Homoskedastisitas
Salah satu asumsi yang harus dipenuhi dalam persamaan regresi adalah bahwa taksiran parameter dalam model regresi bersifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimate) maka var (ui) harus sama dengan σ2 (konstan), atau semua
residual atau error mempunyai varian yang sama. Kondisi itu disebut dengan homoskedastisitas. Sedangkan bila varian tidak konstan atau berubah-ubah disebut dengan heteroskedastisitas.
Untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas dapat menggunakan metode General Least Square (Cross section Weights) yaitu dengan membandingkan sum
square residual pada Weighted Statistics dengan sum square residual unweighted
Statistics. Jika sum square resid pada weighted statistics lebih kecil dari sum
square residual unweighted statistics, maka terjadi heteroskedastisitas.
1. Uji Autokorelasi
29
mendeteksi adanya korelasi serial adalah dengan melihat nilai Durbin Watson (DW). Untuk mengetahui ada/tidaknya autokorelasi, maka dilakukan dengan membandingkan DW-statistiknya dengan DW-tabel. Korelasi serial ditemukan jika error dari periode waktu yang berbeda saling berkorelasi. Hal ini bisa dideteksi dengan melihat pola random error dari hasil regresi.
3.3.3 Spesifikasi Model Penelitian
Model yang digunakan untuk mengestimasi determinan pendidikan dasar dikembangkan dengan beberapa asumsi dasar yaitu sekolah diperlakukan sebagai unit produksi pada fungsi penawaran. Tidak seperti unit produksi pada fungsi produksi pada umumnya, sekolah diasumsikan sebagai unit yang bukan memaksimalkan keuntungan (Bossier, 2004). Sebagian besar studi tentang efektivitas pendidikan mengikuti pendekatan Education Production Function (EPF) yang kemudian memodifikasi faktor-faktor input apa saja yang dapat meningkatkan output. Murillo (2001) dalam Purwanto menggambarkan faktor-faktor yang memengaruhi hasil pendidikan dengan pendekatan EPF, antara lain: 1. Faktor diri sendiri seperti jenis kelamin, suku bangsa, warna kulit, dll.
2. Faktor keluarga seperti status sosial ekonomi, ukuran keluarga, dan pendidikan keluarga.
3. Faktor tempat tinggal.
4. Faktor sekolah dan guru, seperti struktur sekolah, jumlah hari sekolah, dan kulaitas guru.
Glewwe (2002) memformulasikan faktor-faktor yang memengaruhi pendidikan dengan pendekatan EPF, yaitu:
= �+ + 1 1+⋯. + + 1 1+⋯+ +� (3.1) Dimana H adalah human capital dengan proxy score hasil test, S adalah sekolah (biasanya menggunakan lamanya bersekolah). Variabel A merepresentasikan kemampuan siswa seperti IQ dan Qi mewakili faktor kualitas sekolah seperti ukuran kelas, kualitas guru, dan lain sebagainya.
Δ = + + + + + (3.2) Dimana ∆S adalah kenaikan partisipasi sekolah di sekolah negeri, D adalah persentase penerimaan dan pengeluaran daerah terhadap pengeluaran pendidikan di daerah tersebut , R adalah ketersediaan sarana pendidikan, P adalah variabel politik, dan C adalah variabel sosial ekonomi dan geografis.
Purwanto (2010) dengan menggunakan pendekatan EPF memformulasikan model ekonometrik untuk melihat hubungan pencapaian pendidikan SD (primary education) dan SMP (secondary education) dengan pengaruh desentralisasi
anggaran di Indonesia. Model yang digunakan adalah:
� = i+ � + � + Sit +λDit +�� (3.3)
Dimana ER adalah angka partisipasi dari pendidikan, untuk SD menggunakan angka partisipasi murni (APM) SD sedangkan untuk SMP menggunakan angka partisipasi kasar (APK) SMP, FD adalah variabel desentralisasi fiskal dari sisi penerimaan yaitu Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan pendapatan asli daerah. IF adalah variabel ketersediaan sarana pendidikan yaitu rasio murid guru dan rasio murid sekolah. S adalah variabel sosial ekonomi yaitu PDRB perkapita, kemiskinan dan angka melek huruf (proxy pendidikan kepala rumah tangga).
Penelitian ini menggunakan pendekatan EPF dari Glewwe (2002) dan menggunakan variabel dependen berupa logaritma natural (ln) dari banyaknya anak usia SD dan SMP yang bersekolah, modifikasi variabel dependen pada Faguet dan Sanchez (2006) dan memodifikasi variabel pengeluaran pemerintah dan sosial ekonomi pada Purwanto (2010). Model yang digunakan pada penelitian ini yaitu:
ln _ � = 0+ 1ln _ _ � + 2ln _ �
+ 3ln � + 4 _ � + 5 _5�
+ 6 0� + 7ln _ _ � + 8ln _ _ � + + �
ln _ � = 0+ 1ln _ _ � + 2ln _ � + 3ln �
+ 4 _ + 5 _5�
+ 6 0� + 7ln _ _ � + 8ln _ _ � + + �
dengan,
31
ln _ � = Jumlah usia 13-15 tahun yang masih sekolah (jiwa) ln _ _ � = Belanja pendidikan dasar (Rupiah);
ln _ � = Bantuan Operasional Sekolah SD (Rupiah); ln _ � = Bantuan Operasional Sekolah SMP (Rupiah);
ln � = Pendapatan Regional Domestik Bruto Perkapita (Juta Rupiah);
_ � = Kepala Rumah Tangga (KRT) yang berpendidikan diatas SD (persen);
_5� = Jumlah Rumah Tangga yang memiliki Anggota Rumah Tangga lebih dari 5 (persen);
0� = Angka Kemiskinan (persen); ln _ _ � = Rasio Murid SD Guru SD; ln _ _ � = Rasio Murid SD Sekolah SD; ln _ _ � = Rasio Murid SMP Guru SMP; ln _ _ � = Rasio Murid SMP Sekolah SMP;
k = koefisien parameter pada variabel ; dan i,t = untuk kabupaten ke-i tahun ke-t
3.4 Analisis Regresi Logistik
k j ij j k j ij j i x x x 0 0 exp 1 exp ) ( di mana i=1,2,…,n dan j=0,1,2,…,k
Sedangkan persamaan Y dapat dinyatakan dengan: Yi = E
yi xi +i
dengan E
yi xi =
i x
ii
x
1jika y=1 dan
ii x
jika y=0
Jika variabel independen yang digunakan berskala kategorik, yaitu ordinal maupun nominal, maka variabel tersebut harus diubah menjadi variabel dummy. Secara umum, bila suatu variabel mempunyai p kategori, maka diperlukan p-1 variabel dummy (Hosmer dan Lemeshow, 1989).
Regresi logistik merupakan model intrinsik, yaitu model nonlinier yang dengan suatu transformasi dapat dibawa ke bentuk linear. Untuk mendapatkan bentuk linier dalam regresi logistik ini, digunakan transformasi logit, yaitu bentuk log dari odds:
odds =
ii x x 1
Dengan menggunakan transformasi log, maka akan diperoleh bentuk:
g(xi) = ln
i i x x 1g(xi)= ln
k j ij j k j ij j x x 0 0 exp 1 exp - ln
33
Jika dari beberapa variabel penjelas ada yang bersifat diskrit dan berskala nominal, maka variabel tersebut tidak akan tepat jika dimasukkan ke dalam model. Hal ini disebabkan angka-angka yang digunakan untuk menyatakan tingkatan tersebut hanya sebagai identifikasi saja dan tidak mempunyai nilai numerik. Dalam situasi seperti ini diperlukan variabel dummy sebanyak k-1. Misal variabel penjelas ke-j, yaitu xj mempunyai kj-1 tingkatan, maka variabel dummy
kj-1 dinotasikan Dju dengan koefisien ju, u=1,2,3,…,kj-1. Maka model transformasi logit menjadi:
g(x) = k k ju k u
juD x
x j
1 1 1 1 0 ...3.4.1 Likelihood Ratio Test
Untuk mengetahui peran seluruh variabel penjelas di dalam model secara bersama-sama, dapat digunakan uji Likelihood Ratio atau uji signifikansi model. Pengujian ini dilakukan dengan membandingkan nilai observasi terhadap nilai dugaannya yang diperoleh pada model yang terbentuk dengan model penuh.
Untuk menentukan kelayakan model digunakan statistik uji nisbah kemungkinan (likelihood ratio test), yaitu statistik uji G.
G = -2ln
penjelas iabel dengan likelihoo