• Tidak ada hasil yang ditemukan

Variabel Penduga Partisipasi Sekolah Tingkat Rumah Tangga

V. DETERMINAN PENDIDIKAN DASAR

5.2 Variabel Penduga Partisipasi Sekolah Tingkat Rumah Tangga

Analisis ini digunakan untuk mengeksplorasi faktor-faktor sosial ekonomi, geografis yang memiliki kecenderungan memengaruhi seorang anak masih sekolah atau tidak bersekolah lagi di usia 7-12 tahun (sekolah SD) dan usia 13-15

tahun (sekolah SMP). Nilai overall percentage untuk model partisipasi usia SD adalah sebesar 98,9 artinya model sudah dapat menjelaskan 98,9 persen dari model, sedangkan untuk partisipasi usia SMP sebesar 89,6 persen. Nilai chi square dari model SD sebesar 1204,692 dengan tingkat signifikansi 0,000. Nilai chi square dari model SMP sebesar 6548,150 dengan tingkat signifikansi 0,000. Sehingga untuk kedua model dapat dikatakan minimal ada satu variabel independent yang memengaruhi variabel dependent. Ini bisa dilihat pada Lampiran 3.

Hasil estimasi menunjukkan faktor daerah tempat tinggal, jumlah anggota rumah tangga, pendidikan kepala rumah tangga, lapangan usaha rumah tangga dan pendapatan rumah tangga berpengaruh terhadap kondisi seorang anak masih sekolah atau berhenti sekolah. Faktor geografis wilayah tempat tinggal berpengaruh secara signifikan terhadap partisipasi sekolah anak usia SD dan SMP, anak yang tinggal di daerah kota lebih berpeluang untuk tidak bersekolah lagi ataupun putus sekolah.

Tabel 16 Hasil Estimasi Regresi Logistik Determinan Partisipasi Sekolah

Independen var Odds Ratio

SD SMP DESA(1) 1,173*** 1,722*** JK(1) 2,867*** 2,087** EXPCAP 1,015*** 1,008*** JART 1,106*** 0,901*** didik_KRT(1) 0,866*** 0,226*** didik_KRT(2) 2,951*** 0,603*** lap_us_KRT(1) 1,123** 0,884*** lap_us_KRT(2) 1,083 1,84*** Constanta 17,272*** 14,782***

Ket: ***:signifikan pada α %; **:signifikanpada α 5%; * :signifikan pada α %

Daerah tempat tinggal seperti perkotaan dianggap memiliki akses yang lebih banyak dan lebih mudah. Ketersediaan akses dan kedekatan dengan sekolah karena kemudahan transportasi dan komunikasi (Glewwe, 2005). Dari hasil regresi logistik, untuk model usia SD dan SMP ternyata di daerah perdesaan lebih cenderung untuk bersekolah dibandingkan dengan perkotaan. Hasil penelitian ini

69

tidak sejalan dengan hasil yang didapat oleh Sanchez dan Sabhra (2010) dalam penelitian di Yemen, kecenderungan anak untuk berpartisipasi sekolah di daerah perkotaan lebih besar daripada di perdesaan. Namun hal ini ditemukan juga oleh Tullao dan Rivera (2011) di Philipina, didaerah perkotaan cenderung tingkat partisipasi sekolahnya lebih rendah dari di desa. Di kota pengaruh luar juga banyak mempengaruhi keputusan anak untuk bersekolah. Masyarakat, teman sebaya, orangtua, tekanan bisa menjadi faktor yang menginterverensi keputusan seorang anak untuk bersekolah. Berbeda halnya dengan di desa dimana kondisi masyarakatnya relatif seragam secara ekonomi dan pendidikan.

Jenis kelamin perempuan lebih berpeluang untuk bersekolah dibandingkan laki-laki. Pada usia SD perempuan berpeluang 2,87 kali lebih besar untuk bersekolah daripada laki-laki. Pada usia SMP perempuan berpeluang 2,08 kali lebih besar untuk bersekolah dibanding laki-laki. Dalam hal ini perlu di analisis lebih lanjut apakah faktor sosial budaya memengaruhi anak laki-laki untuk sekolah atau tidak. Orang tua di daerah Nias, Sumatera Utara cenderung tidak menyekolahkan anaknya karena anak dibutuhkan tenaganya untuk mencari nafkah, partisipasi SMP hanya 60 persen (waspada.co.id). Sama halnya dengan di Jawa Barat dimana anak yang masih usia sekolah sudah berdagang mengikuti orangtua atau orang lain (jabarprov.go.id). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Al-Sammarai dan Peasgood (1992) di Tanzania, lebih kecil peluang perempuan yang tidak bersekolah diduga berkaitan dengan tanggung jawab yang lebih sedikit dan opportunity cost yang lebih kecil. Hal ini berbeda dengan asumsi umum dimana perempuan biasanya lebih cenderung untuk putus sekolah karena harus mengurus pekerjaan rumah.

SUSENAS tidak memiliki informasi pendapatan perkapita sehingga proxy terhadap pendapatan perkapita digunakan pengeluaran perkapita perbulan. Pengeluaran perkapita berpengaruh signifikan terhadap partisipasi sekolah anak usia SD dan SMP. Pada usia SD, kenaikan pendapatan perkapita perbulan 100 ribu rupiah akan menaikkan peluang bersekolah sebesar 1,015 kali. Sedangkan pada usia SMP peluang anak bersekolah akan bertambah 1,008 kali jika pendapatan perkapita naik 100 ribu rupiah. Dapat diambil kesimpulan bahwa,

kenaikan pendapatan dirumah tangga merupakan faktor yang penting untuk menaikkan peluang anak untuk bersekolah.

Pendidikan kepala rumah tangga berpengaruh signifikan terhadap partisipasi sekolah. Pada rumah tangga dengan kepala rumah tangga yang berpendidikan SD dan tidak bersekolah, partisipasi anak usia SD bersekolah kurang cenderung 0,866 kali daripada anak di keluarga yang kepala rumah tangga berpendidikan SMU dan diatasnya. Pada rumah tangga dengan kepala rumah tangga yang berpendidikan SD dan tidak bersekolah, partisipasi anak usia SMP bersekolah kurang cenderung 0,22 kali daripada anak di keluarga yang kepala rumah tangga berpendidikan SMU dan diatasnya. Peluang anak usia SMP untuk bersekolah kurang cenderung 0,603 kali pada rumah tangga dengan orang tua yang berpendidikan SMP dibandingkan dengan rumah tangga yang kepala rumah tangganya berpendidikan SMU dan diatasnya.

Tabel 17 Persentase Partisipasi Sekolah Usia 7-15 Tahun Berdasarkan Pendidikan Kepala Rumah Tangga

Partisipasi Sekolah

Pendidikan Kepala Rumah Tangga SD Sederajat dan tidak sekolah SMP sederajat SMU sederajat dan diatasnya Usia 7-12 tahun

Tidak/belum pernah sekolah 0,70 0,45 0,43

Masih sekolah 97,87 99,17 98,35

Tidak bersekolah lagi 1,43 0,38 1,23

Usia 13-15 tahun

Tidak/belum pernah sekolah 0,91 0,00 0,11

Masih sekolah 82,90 92,43 95,63

Tidak bersekolah lagi 16,19 7,57 4,25

Sumber: SUSENAS, 2010

Implikasinya adalah pendidikan kepala rumah tangga juga menentukan seorang anak bersekolah atau tidak. Todaro dan Smith (2006) mengatakan bahwa salah satu faktor sosial ekonomi terpenting adalah pendidikan kepala rumah tangga. makin tinggi pendidikan kepala rumah tangga, maka makin tinggi kesadaran orang tua menyekolahkan anaknya. Sanchez dan Sbrana (2010) menemukan bahwa pendidikan ayah sebagai kepala keluarga signifikan memengaruhi peluang anak laki-laki bersekolah atau tidak, ayah dilihat sebagai contoh dalam keluarga. Di Sulawesi Utara pendidikan kepala keluarga juga

71

menjadi salah satu faktor yang memengaruhi partisipasi anak untuk bersekolah. Pada Tabel 17 terlihat bahwa makin tinggi pendidikan kepala rumah tangga makin besar persentase anak yang bersekolah.

Salah satu faktor yang juga signifikan memengaruhi peluang anak untuk bersekolah atau tidak adalah banyaknya anggota rumah tangga. Hipotesa awal yaitu makin besar jumlah anggota rumah tangga maka makin kecil peluang seorang anak untuk bersekolah. Hal ini tidak ditemukan pada model usia SD (7-12 tahun), namun hipotesa ini sejalan dengan model usia SMP (13-15 tahun). Hubungan yang searah pada model usia SD bukan berarti makin bertambah jumlah anggota rumah tangga maka makin besar peluang anak untuk bersekolah, namun jumlah anggota rumah tangga yang besar masih dapat menyekolahkan anaknya sampai ditingkat SD, namun ketika anak sudah memasuki usia SMP maka peluang untuk bersekolah semakin kecil karena faktor dana untuk biaya sekolah.

Rumah tangga yang kepala rumah tangganya memiliki lapangan usaha di sektor primer dan sekunder memiliki peluang lebih besar daripada kepala rumah tangga di sektor tersier menyekolahkan anaknya yang berusia SD. Berbeda dengan anak diusia SMP, rumah tangga yang kepala rumah tangganya memiliki lapangan usaha sektor primer kurang cenderung menyekolahkan anaknya. Lapangan usaha sektor primer adalah pertanian dan pertambangan. Biasanya di sektor pertanian, anak dibutuhkan untuk membantu pekerjaan orangtua.

Tabel 18 Persentase Partisipasi Sekolah Berdasarkan Lapangan Usaha Kepala Rumah Tangga

Partisipasi Sekolah

Lapangan Usaha KRT sektor primer sektor

sekunder sektor tersier

Usia 7-12 tahun

Tidak/belum pernah sekolah 0,81 0,53 0,34

Masih sekolah 98,10 98,39 98,59

Tidak bersekolah lagi 1,09 1,08 1,07

Usia 13-15 tahun

Tidak/belum pernah sekolah 0,37 0,53 0,34

Masih sekolah 86,84 98,39 98,59

Tidak bersekolah lagi 12,79 1,08 1,07

Sumber: SUSENAS, 2010

Dari Tabel 18 terlihat angka partisipasi sekolah dari anak usia SMP yang kepala rumah tangganya memiliki lapangan usaha sektor primer lebih rendah dari sektor sekunder dan tersier. Lapangan usaha di sektor primer adalah pertanian, perkebunan, perikanan dan pertambangan. Kecenderungan anak dari kepala rumah tangga yang memiliki lapangan usaha di sektor primer tidak bersekolah disebabkan karena anak-anak ini dibutuhkan untuk membantu pekerjaan orang tua. Menurut Todaro dan Smith (2006), orang tua di negara berkembang masih memandang anak sebagai tenaga kerja yang dapat membantu kehidupan orang tua. Tenaga kerja anak ini dibutuhkan untuk menambah penghasilan, sehingga jika si anak bersekolah maka akan kehilangan sebagian pendapatan yang seharusnya bisa didapat. Orang tua berpikiran opportunity cost seorang anak yang bekerja lebih besar dibanding jika mereka harus sekolah.

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait