• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-faktor yang Memengaruhi Pendidikan Dasar secara Regional

V. DETERMINAN PENDIDIKAN DASAR

5.1 Faktor-faktor yang Memengaruhi Pendidikan Dasar secara Regional

faktor-faktor yang berpengaruh terhadap output pendidikan dasar secara regional. Output pendidikan yang dipakai sebagai indikator adalah banyaknya anak usia sekolah yang masih bersekolah ditiap kabupaten/kota di Sulawesi Utara. Model ini menggunakan data sekunder dari BPS, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Departemen Keuangan. Data yang dianalisis meliputi 13 wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Utara selama tahun 2008-2010. Terdapat keterbatasan data pada kabupaten baru hasil pemekaran (Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan dan Kabupaten Bolaang Mongondow Timur), masih bergabung dengan kabupaten induknya. Model dibuat dalam dua model yaitu model untuk sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP).

Sebelum melakukan estimasi maka perlu dilakukan pemilihan model regresi. Pengujian kesesuaian model yang dilakukan pertama kali dalam penelitian ini adalah pengujian dengan metode Chow test. Proses ini dilakukan dengan membandingkan pooled model dengan fixed effects model. Selanjutnya dilakukan uji Hausman untuk membandingkan antara fixed effects model dengan random effect model.

Hasil uji Chow dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2 Hasil pengujian terhadap model SD dan SMP memperoleh nilai F statistik sebesar 16,99 dan 6,08 dengan nilai p-value sebesar 0,000 dan 0,0003. Kesimpulan yang diambil adalah menolak Ho pada taraf α = 1 persen, atau terdapat heterogenitas individu pada model. Jika dalam model terdapat heterogenitas individu maka fixed effects model akan memberikan hasil yang lebih baik jika dibandingkan pooled model.

Proses selanjutnya yaitu membandingkan antara fixed effects model dan random effects model. Untuk memastikan model terbaik yang akan digunakan dalam estimasi persamaan ini maka dilakukan uji Hausman. Statistik uji Hausman mengikuti distribusi statistik Chi Square dengan derajat bebas sebanyak jumlah peubah bebas dalam persamaan. Hasil uji Hausman untuk model SD dan SMP (Lampiran 1 dan 2) sama-sama menunjukkan nilai p-value lebih besar dari nilai

χ2

. Artinya menolak Ho dan menerima H1. Hal ini berarti fixed effects model lebih sesuai digunakan daripada random effects model.

Untuk model partisipasi SD, pengujian berbagai asumsi dasar dilakukan terhadap metode FEM sebagai model terpilih dilakukan untuk memperoleh hasil estimasi yang BLUE (best linear unbiased estimator), khususnya uji autokorelasi dan uji homoskedastisitas. Berdasarkan hasil uji Durbin-Watson (DW) diperoleh nilai DW sebesar 3,19 yang artinya terjadi autokorelasi pada model.

Sementara itu, dengan jumlah kuadrat residual (sum square residual) pada weighted statistics lebih kecil daripada unweighted statistics maka terdapat pelanggaran asumsi homoskedastisitas pada model. Permasalahan heteroskedastisitas dan autokorelasi pada model akan mempengaruhi perkiraan nilai parameter. Hal ini disebabkan model tidak akan memenuhi sifat BLUE (Best Linear Unbiased Estimate). Oleh karena itu, agar nilai parameter dari model terpilih memenuhi sifat BLUE, maka dilakukan modifikasi model dengan menggunakan pendekatan Generalized Least Square (Greene, 2002). Berdasarkan model modifikasi ini berarti telah dilakukan koreksi atas permasalahan heteroskedastisitas, contemporaneously correlated across panel, and first order autokorelasi.

Untuk model partisipasi SMP, dengan melakukan langkah yang sama seperti pada model partisipasi SD, model terpilih adalah FEM yang mengandung autokorelasi dan heteroskedastisitas. Kemudian model dimodifikasi menggunakan pendekatan Generalized Least Square. Hasil estimasi kedua model ada pada Tabel 13. Dari uji signifikansi model terlihat bahwa variabel-variabel input secara bersama-sama memengaruhi tingkat partisipasi sekolah. Faktor input pendidikan dasar secara garis besar yaitu faktor pengeluaran pemerintah, faktor sosial ekonomi dan faktor ketersediaan sarana pendidikan sebagai basic input pendidikan (Glewwe, 2002).

Pada model partisipasi sekolah usia SD, faktor yang tidak signifikan memengaruhi partisipasi sekolah usia SD adalah pengeluaran riil pendidikan dasar, kemiskinan, dan rasio murid dan guru. Sedangkan pada model partisipasi SMP hanya faktor kemiskinan yang tidak signifikan. Hal itu ditunjukkan dengan nilai probabilitas yang lebih besar dari taraf nyata (α) 10 persen.

57

Tabel 10 Rekapitulasi Hasil Estimasi Koefisien Parameter FEM dengan GLS Weighted

Independent Variable SD SMP

Faktor Pengeluaran Pemerintah

LOG(BOS_SD) 0,280798*** -

LOG(BOS_SMP) - 0,451934***

LOG(J_RIIL_DIKDAS) -0,024855 0,054947***

Faktor Sosial Ekonomi

LOG(PDRBKAP) -1,9189*** -4,700662***

KRT_ATASSD 0,01104** 0,032103***

ART_5 0,009961*** 0,020734***

P0 -0,009711 -0,014387

Faktor Ketersediaan Sarana Pendidikan

LOG(R_MG_SD) 0,085718 - LOG(R_MS_SD) -0,716215** - LOG(R_MG_SMP) - 0,182066*** LOG(R_MS_SMP) - -0,292969** C 9,838093 4,940527 R-squared 0,999349 0,993656 Adjusted R-squared 0,998626 0,986607 F-statistic 1382,389 140,9676 Prob(F-statistic) 0,00 0,00 Durbin-Watson stat 2,897743 2,796701

Ket : *** :signifikan pada α 1%; ** :signifikan pada α 5%;* :signifikan pada α 10%

Pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa salah satu tujuan berbangsa dan bernegara adalah ” mencerdaskan kehidupan bangsa”. Tujuan ini hanya akan dapat dicapai melalui pendidikan, oleh karena itu pada UUD 1945 pasal 31 ayat 1 dinyatakan bahwa: setiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan kemudian dalam ayat 2 ditegaskan, setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Oleh karena itu, pemerintah wajib menganggarkan pengeluaran untuk pendidikan dasar.

Salah satu pengeluaran pemerintah adalah Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Dana BOS disalurkan ke sekolah untuk membantu operasional sekolah sehingga sekolah dapat berjalan dengan baik. Variabel dana BOS

signifikan memengaruhi partisipasi anak usia SD dan SMP di Sulawesi Utara. Penyaluran dana BOS sebagai input pendidikan dari sisi pengeluaran pemerintah. Tujuan dari diberikannya dana BOS adalah sekolah tidak lagi membebankan biaya operasional sekolah kepada siswa. Pemberian dana BOS disalurkan langsung kepada sekolah berdasarkan jumlah murid disekolah tersebut.

Nilai koefisien sebesar 0,28 untuk BOS SD dan 0,45 untuk BOS SMP. Artinya setiap kenaikan 1 persen BOS SD menaikkan partisipasi SD sebesar 0,28 persen. Sedangkan setiap kenaikan 1 persen BOS SMP dapat menaikkan partisipasi SMP sebesar 0,45 persen. Secara umum program BOS bertujuan untuk meringankan beban masyarakat terhadap pembiayaan pendidikan dalam rangka wajib belajar 9 tahun yang bermutu (Kemdikbud, 2012). Secara khusus program BOS bertujuan untuk:

1. Membebaskan pungutan bagi seluruh siswa SD/SDLB negeri dan SMP/SMPLB/SMPT (Terbuka) negeri terhadap biaya operasi sekolah, kecuali pada rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dan sekolah bertaraf internasional (SBI). Sumbangan/pungutan bagi sekolah RSBI dan SBI harus tetap mempertimbangkan fungsi pendidikan sebagai kegiatan nirlaba, sehingga sumbangan/pungutan tidak boleh berlebih;

2. Membebaskan pungutan seluruh siswa miskin dari seluruh pungutan dalam bentuk apapun, baik di sekolah negeri maupun swasta;

3. Meringankan beban biaya operasi sekolah bagi siswa di sekolah swasta.

Bentuk penyaluran dana BOS yang diberikan kepada sekolah dan tidak langsung kepada rumah tangga merupakan bentuk pemberian subsidi tidak langsung kepada masyarakat dibidang pendidikan. Mekanisme transfer langsung ke sekolah tidak kepada rumah tangga dianggap sebagai sarana yang efektif, karena jika diberikan langsung kepada rumah tangga, bisa jadi dana tersebut dipergunakan untuk kepentingan lain. Pendanaan BOS diharapkan dapat mengurangi angka putus sekolah pada SD dan SMP. Secara aggregate angka putus sekolah di Sulawesi Utara terus turun dalam kurun waktu 2008-2010.

Dari sisi besaran dana, BOS diberikan sama untuk tiap siswa pertahun perdaerah. Ini berarti bahwa sekolah-sekolah yang besar menerima dana lebih banyak sedangkan sekolah-sekolah kecil menerima dana lebih sedikit,dengan

59

asumsi sekolah besar memiliki jumlah murid lebih banyak. Padahal, sekolah- sekolah kecil seringkali mempunyai kebutuhan yang berbeda dan memerlukan dukungan operasional yang lebih besar daripada sekolah-sekolah perkotaan yang lebih besar.

Salah satu agenda program BOS yang perlu dibahas adalah bagaimana membuat program lebih adil. Semua sekolah masih mendapatkan dana dalam jumlah yang sama untuk setiap siswa meskipun kebutuhan dan kondisi mereka berbeda. Sekolah-sekolah terpencil di desa yang jauh dari kota dengan biaya yang biasanya lebih besar dari kota karena harga yang relatif lebih mahal dari kota. Daerah sebagai bagian dari pemerintah pusat sebaiknya menganggarkan dana operasional sekolah melalui APBD3.

Pengeluaran pemerintah lainnya yang mendukung pendidikan dasar adalah anggaran pada dinas pendidikan untuk program wajib belajar 9 tahun. Anggaran ini masuk dalam APBD masing-masing kabupaten/kota. Untuk partisipasi usia 7- 12 tahun variabel pengeluaran untuk program wajib belajar tidak signifikan, sedangkan untuk partisipasi 13-15 tahun berpengaruh positif dan signifikan. Pengeluaran program wajib belajar ini digunakan untuk membangun dan rehabilitasi sekolah, perpustakaan, buku referensi dan panduan, dan alat peraga dan sarana penunjang pembelajaran/alat elektronik serta multimedia interaktif pembelajaran. Pada model partisipasi sekolah usia 13-15 tahun, pengeluaran pemerintah memengaruhi secara signifikan. Artinya setiap kenaikan pengeluaran sebesar 1 persen akan menaikkan partisipasi sekolah usia 13-15 tahun sebesar 0,05 persen.

Pembangunan infrastruktur pendidikan seperti pembangunan perpustakaan sekolah, penambahan sekolah dan ruang kelas, perbaikan sekolah dan kelas sebagai input pendidikan. Ini akan menambah ketersediaan daya tampung murid sehingga program pendidikan dasar untuk semua dapat berjalan tanpa terkendala ketiadaan sekolah untuk menerima penambahan siswa. Peningkatan anggaran pendidikan dasar dapat memperbaiki akses pendidikan bagi masyarakat. Penelitian ini sejalan dengan studi Purwanto (2010) dan Akai et al. (2007) bahwa

3

pengeluaran pemerintah berpengaruh positif terhadap pencapaian pendidikan dasar.

Selain faktor input berupa pengeluaran untuk pendidikan dasar, maka faktor sosial ekonomi juga merupakan salah satu faktor yang menentukan seorang anak bersekolah atau tidak (Glewwe, 2002). Variabel PDRB perkapita yang merupakan indikator makro tingkat kesejahteraan masyarakat dimasukkan dalam penelitian ini.

Tabel 11 PDRB Perkapita Tahun 2008-2010 (dalam Juta Rupiah)

Kabupaten/Kota 2008 2009 2010 Bolaang Mongondow 4,80 4,88 5,05 Minahasa 6,20 6,49 6,82 Kep.Sangihe 5,26 5,58 5,92 Kep. Talaud 4,71 4,89 5,11 Minahasa Selatan 5,96 6,30 6,79 Minahasa Utara 6,47 6,79 7,16

Bolaang Mongondow Utara 4,76 5,08 5,47

Kep. Sitaro 4,26 4,55 4,87 Minahasa Tenggara 7,79 8,19 8,80 Manado 12,09 13,17 14,04 Bitung 10,91 11,27 11,75 Tomohon 6,65 6,94 7,25 Kotamobagu 3,83 4,11 4,40 Rata-rata PDRB perkapita 6,44 6,79 7,19 Sumber: BPS

PDRB perkapita untuk masing-masing daerah cukup bervariasi. Kota Manado yang merupakan ibukota provinsi memiliki pendapatan perkapita paling tinggi diantara yang lain yaitu 14,04 juta rupiah, sedangkan kota kotamobagu paling kecil yaitu 4,40 juta rupiah. Kota Manado dan Kota Bitung mempunyai PDRB perkapita paling tinggi karena kota-kota tersebut sudah lebih berkembang dari daerah kabupaten. Kota Bitung merupakan salah satu tempat industri pengolahan. Sentra industri di pusatkan di kota Bitung, industri yang tergolong besar yaitu pengolahan ikan, industri pengolahan kelapa menjadi minyak kelapa, dan indutri mie instant. Kota Kotamobagu walau berstatus sebagai kota namun PDRB perkapitanya rendah, hal ini karena kota Kotamobagu merupakan kota

61

hasil pemekaran yang baru ada 4 tahun terakhir. Sektor utama penyumbang PDRB adalah sektor perdagangan dan jasa.

Hipotesa awal bahwa makin tinggi pendapatan perkapita masyarakat maka makin mampu untuk menyekolahkan anaknya minimal sampai tingkat SD dan SMP. Hasil penelitian didalam model ekonometrik yang dibuat menunjukkan kenaikan PDRB perkapita berbanding terbalik dengan partisipasi sekolah usia 7- 12 tahun dan 13-15 tahun. Artinya kenaikan pendapatan perkapita malah menurunkan partisipasi sekolah.

Kenaikan pendapatan perkapita yang tidak disertai distribusi pendapatan yang merata akan menyebabkan ketimpangan pendapatan, akibatnya pembangunan juga tidak berjalan dengan baik, begitu juga pembangunan manusianya. Indikasi adanya ketimpangan pendapatan bisa dilihat dari rasio gini. Sulawesi Utara pada tahun 2008-2010 mempunyai kecenderungan rasio gini yang makin membesar, pada tahun 2008 rasio gini sebesar 0,31 sedangkan pada tahun 2010 meningkat menjadi 0,32. Untuk daerah perkotaan indek gini lebih besar daripada indek gini perdesaan. Daerah perkotaan naik dari 0,31 menjadi 0,33 sedangkan perdesaan turun dari 0,28 menjadi 0,25 (Tabel 12).

Tabel 12 Indeks Gini Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2008-2010

Uraian 2008 2009 2010

Kota 0,31 0,30 0,34

Desa 0,28 0,28 0,25

Sulawesi Utara 0,31 0,31 0,32

Sumber: SUSENAS 2008-2010, diolah

Penelitian ini yang hanya dapat melihat ketimpangan yang relatif kecil karena periode penelitian yang hanya 3 tahun. Dalam jangka panjang, jika hal ini berlanjut, akan menimbulkan masalah baru dan berdampak negatif pada pendidikan. Pengukuran pembangunan tidak hanya dari PDRB dan pertumbuhan ekonomi karena akan menghilangkan kenyataan ada ketimpangan dimasyarakat dalam menikmati hasil pembangunan. Hal ini disebabkan PDRB hanya melihat pendapatan secara rata-rata dan pertumbuhan ekonomi tidak melihat manfaat pembangunan pada manusia4.

4

Sebagai barang normal, orang akan “membeli” lebih banyak modal manusia (human capital) jika pendapatannya naik. Namun bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa meskipun kita mampu menaikkan pendapatan, kita tidak dapat memastikan bahwa peningkatan pendapatan tersebut akan diinvestasikan ke pendidikan secara memadai (Todaro dan Smith , 2006). PDRB provinsi Sulawesi Utara setiap tahunnya menunjukkan kenaikan, namun investasi pendidikan dasar yang dilihat dari share pengeluaran riil pendidikan dasar bervariasi antara kabupaten kota. Korelasi antara share pengeluaran riil pendidikan dasar terhadap PDRB dengan PDRB menunjukan korelasi yang negatif dan signifikan (Tabel 13). Korelasi yang negatif membuktikan bahwa ada kenaikan pendapatan dialokasikan lebih banyak di sektor lain selain pendidikan.

Tabel 13 Korelasi Share Pengeluaran Pendidikan Dasar dengan PDRB

Korelasi PDRB

RIILPD_PDRB Pearson Correlation -0,450

Sig. (2-tailed) 0,004

Sumber : Pengolahan

Proporsi pengeluaran pendidikan dasar terhadap PDRB bervariasi setiap kabupaten/kota. Kabupaten yang proporsi pengeluaran pendidikan dasarnya terus mengalami kenaikan adalah Sitaro dan Kotamobagu, sedangkan yang mengalami trend menurun adalah Minahasa Utara dan Tomohon, proporsi pengeluaran pendidikan dasar terkecil tahun 2010 adalah kota Manado (Gambar 11).

Gambar 11 Proporsi Pengeluaran Pendidikan Dasar terhadap PDRB 0 1 2 3 4 5 6 7 8 pe rs en 2008 2009 2010

63

Jika suatu daerah ingin mencapai target MDGs, maka perlu kontribusi pemerintah dengan memberikan proporsi pengeluaran pendidikan dasar yang lebih besar untuk menaikkan angka partisipasi sekolah. Kabupaten dengan angka partisipasi sekolah umur 7-12 tahun dibawah rata-rata dan mempunyai proporsi pengeluaran pendidikan dasar dibawah rata-rata adalah Manado dan Bolaang Mongondow Utara (keadaan 2010). Kabupaten yang memiliki angka partisipasi sekolah dibawah rata-rata namun sudah memiliki proporsi pengeluaran pendidikan dasarnya diatas rata-rata adalah Sangihe, Bolaang Mongondow dan Kotamobagu.

Gambar 12 Angka Partisipasi Sekolah 7-15 Tahun dan Proporsi Pengeluaran Pendidikan Dasar

APS SD dan Proporsi Pengeluaran Pendidikan Dasar

Kabupaten dengan angka partisipasi sekolah umur 13-15 tahun yang masih dibawah rata-rata dan proporsi pengeluaran pendidikan dasarnya juga dibawah rata-rata adalah Manado, Bolaang Mongondow Utara, Minahasa Utara dan Bitung. Kabupaten/Kota yang pengeluaran pendidikan dasarnya diatas rata-rata namun angka partisipasi sekolah dibawah rata-rata adalah Bolaang Mongondow dan Sangihe (Gambar 12).

Kabupaten/kota yang angka partisipasi sekolah dibawah rata-rata dan proporsi pengeluaran pendidikan dasarnya juga dibawah rata-rata diharapkan mampu menaikkan proporsi pengeluarannya, sedangkan Kabupaten/Kota yang pengeluaran pendidikan dasarnya diatas rata-rata namun angka partisipasi sekolah dibawah rata-rata perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut terhadap pengalokasian pengeluaran di daerah tersebut. Ada tiga daerah yaitu Minahasa, Tomohon dan Minahasa Tenggara yang memiliki proporsi pengeluaran pendidikan dasarnya dibawah rata-rata sedangkan APS umur 7-12 tahun dan umur 13-15 tahun diatas rata-rata (keadaan tahun 2010). Minahasa merupakan kabupaten yang angka partisipasinya sudah tinggi sebelum periode penelitian.

Pendidikan kepala rumah tangga berpengaruh positif terhadap partisipasi usia pendidikan dasar. Makin tinggi tingkat pendidikan kepala rumah tangga yang berpendidikan diatas SD maka makin besar kemauan orang tua untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi. Makin besar jumlah kepala rumah tangga yang berpendidikan diatas SD maka makin banyak anak yang bersekolah karena orang tua mereka menginginkan anaknya mendapatkan pendidikan lebih tinggi dari orangtuanya. Hal ini sejalan dengan penelitian Glewwe (2002) bahwa pendidikan orang tua berperan dalam memperbaiki pendidikan dan nutrisi anaknya.

Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS), pada tahun 2010 persentase pendidikan kepala rumah tangga yang berpendidikan diatas SD secara rata-rata di Sulawesi Utara sekitar 59,29 persen (Tabel 14). Ini berarti lebih dari setengah kepala keluarga di Sulawesi Utara sudah berpendidikan diatas SD. Kondisi ini bervariatif antar kabupaten/kota. Paling rendah adalah kab Bolaang Mongondow Utara dengan 40,66 persen kepala rumah tangga yang berpendidikan diatas SD.

65

Tabel 14 Persentase Kepala Rumah Tangga yang berpendidikan SD keatas

Kabupaten/Kota 2008 2009 2010 Bolaang Mongondow 46,95 46,96 43,81 Minahasa 61,49 63,52 65,81 Kep.Sangihe 44,50 48,06 43,49 Kep. Talaud 59,95 62,19 60,25 Minahasa Selatan 61,52 58,58 63,19 Minahasa Utara 63,25 64,09 64,66

Bolaang Mongondow Utara 40,62 43,94 40,66

Kep. Sitaro 52,37 56,81 55,51 Minahasa Tenggara 54,90 55,41 53,53 Manado 76,62 78,36 77,52 Bitung 71,34 66,42 69,48 Tomohon 72,96 75,77 71,02 Kotamobagu 66,46 70,07 61,94 Sulawesi Utara 59,46 60,78 59,30

Sumber : SUSENAS 2008-2010, diolah

Faktor sosial ekonomi berupa background keluarga adalah jumlah anak dalam keluarga. Pendekatan terhadap variabel ini adalah persentase jumlah rumah tangga di Sulut yang memiliki jumlah angggota rumah tangga 5 orang atau lebih. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa makin banyak persentase rumah tangga dengan jumlah anggota RT 5 orang atau lebih, maka partisipasi sebagai output pendidikan juga naik. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya bahwa makin banyak jumlah anggota rumah tangga maka makin banyak anak tidak bersekolah. Rata-rata persentase rumah tangga yang memiliki anggota rumah tangga 5 orang atau lebih pada tahun 2010 sebanyak 44,49 persen. Dari tahun 2008-2010 mempunyai kecenderungan naik (Gambar 13).

Gambar 13 Persentase rumah tangga yang memiliki anggota rumah tangga lebih dari 5 orang

Angka kemiskinan tidak signifikan pada model anak umur 7-12 tahun (usia SD) dan pada umur 13-15 tahun (usia SMP), namun kemiskinan tetap menurunkan partisipasi sekolah. Walaupun dari hasil estimasi menunjukkan bahwa kemiskinan (P0) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap partisipasi anak sekolah diusia SD maupun di SMP namun jika kemiskinan tidak diperhatikan dan hanya mengejar pertumbuhan ekonomi saja, kemiskinan bisa menjadi bahaya laten yang tersembunyi.

Ukuran kemiskinan yang dihitung oleh BPS salah satunya yaitu jumlah penduduk miskin dan persentase penduduk miskin atau head count index yang dinotasikan dengan P0. Penduduk dikategorikan miskin jika pengeluaran perkapita perbulan makanan dan bukan makanan berada di bawah garis kemiskinan (nilai rupiah yang harus dikeluarkan seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidup minimumnya, baik kebutuhan hidup minimum makanan maupun bukan makanan).

Berdasarkan ukuran statistik deskriptif yang diperoleh, secara rata-rata persentase penduduk miskin (P0) memiliki kecenderungan untuk menurun selama tahun 2005-2010. Demikian juga dengan nilai standar deviasinya yang menunjukkan kecenderungan yang sama sejak tahun 2007 hingga tahun 2010 yang berarti terjadi penurunan persentase penduduk miskin di tingkat provinsi.

0 10 20 30 40 50 60 pe rs e n 2008 2009 2010

67

Pada tahun 2006-2007 rata-rata P0 meningkat dibanding tahun 2005, dan standar deviasi yang meningkat menunjukkan peningkatan kemiskinan di tingkat kabupaten/kota pada tahun tersebut. Peningkatan standar deviasi menunjukkan kemiskinan yang semakin timpang di tingkat kabupaten/kota (Tabel 15).

Tabel 15 Ukuran Statistik Deskriptif P0 dan Jumlah Penduduk Miskin di Sulawesi Utara Tahun 2005-2010

Tahun Persentase Penduduk Miskin Jumlah Penduduk Miskin Rata-rata Standar Deviasi Rata-rata Standar Deviasi

2005 9,59 2,62 22,38 10,55 2006 11,91 2,76 27,71 12,32 2007 12,87 3,31 19,24 7,24 2008 10,69 2,47 16,78 6,87 2009 10,17 2,35 16,16 6,64 2010 10,24 2,09 16,84 7,13 Sumber: BPS, di olah

Berdasarkan perubahan persentase penduduk miskin yang dihitung berdasarkan selisih nilai P0, seluruh kabupaten/kota di Sulawesi Utara selama tahun 2006-2007 mengalami kenaikan persentase kemiskinan juga kenaikan jumlah penduduk miskin. Peningkatan harga BBM merupakan salah satu penyebab naiknya angka kemiskinan (World Bank, 2006). Dampak inflasi ini masih terasa di Sulawesi Utara hingga tahun 2007.

Faktor ketersediaan sarana persekolahan yaitu guru dan sekolah mempunyai pengaruh yang berbeda antara usia SD dan SMP. Pada model partisipasi sekolah SMP rasio murid guru dan rasio murid sekolah keduanya signifikan pada model, sedangkan pada SD hanya rasio murid dan sekolah. Gambaran secara deskriptif pada tabel 6 menunjukkan bahwa jumlah guru sudah terlampau banyak. Dengan mengasumsikan pertumbuhan penduduk usia SD dan SMP adalah 1,33 persen pertahun dan jumlah guru tetap. Maka rasio murid dan guru untuk SD baru akan memenuhi syarat efektif dalam belajar mengajar adalah setelah minimal 13 tahun untuk SD dan minimal 36 tahun untuk usia SMP.

Dokumen terkait