I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian merupakan basis utama perekonomian nasional. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Sektor pertanian telah memberikan sumbangan besar dalam pembangunan nasional, seperti peningkatan ketahanan nasional, penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan masyarakat, peningkatan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB), perolehan devisa melalui ekspor-impor, dan penekanan inflasi.
Tabel 1. Nilai PDRB Indonesia pada Tahun 2010-2011 Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku dan Harga Konstan 2000.
Lapangan Usaha
kehutanan, dan perikanan 985,40 1093,5
304,7 313,7 Pertambangan dan penggalian 718,1 886,3 186,6 189,2 Industri pengolahan 1595,8 1803,5 597,1 634,2 Listrik, gas dan air bersih 49,1 55,7 18,1 18,9
Bangunan 660,9 756,5 150,0 160,1
Perdagangan, hotel, restoran 882,5 1.022,1 400,5 437,2 Pengangkutan dan komunikasi 423,2 491,2 218 241,3 Keuangan, persewaan, jasa
perusahaan 466,6 535,0 221,0 236,1
Jasa-jasa 654,7 783,3 217,8 232,5
Produk Domestik Bruto (PDB) 6.436,3 7.427,1 2.313.8 2.463,2 PDB Tanpa Migas 5936,2 6794,4 2.171 2.321,8 Sumber: Badan Pusat Statistik (2012)
Dalam menghadapi pembangunan, sektor pertanian masih terdapat banyak persoalan besar yang harus diselesaikan, salah satu diantaranya adalah permasalahan alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian yang saat ini terus mengalami peningkatan. Menurut Utomo (1992) Alih fungsi lahan atau konversi lahan adalah berubahnya satu penggunanaan lahan ke penggunanaan lahan lainnya. Banyak faktor baik internal maupun eksternal yang mempengaruhi terjadinya alih fungsi lahan.
ketersediaan lahan relatif tetap menyebabkan persaingan dalam pemanfaatan lahan. Kebanyakan lahan yang dialihfungsikan umumnya adalah lahan-lahan pertanian karena land rent (sewa lahan). Menurut Barlowe, sewa ekonomi lahan (land rent) mengandung pengertian nilai ekonomi yang diperoleh oleh satu bidang lahan bila lahan tersebut digunakan untuk kegiatan proses produksi. Land rent lahan pertanian relatif lebih tinggi penggunaannya untuk non-pertanian dibandingkan dengan lahan pertanian yang dikelola oleh petani (Putri 2009).
Fenomena alih fungsi lahan pertanian merupakan dampak dari transformasi sruktur ekonomi (pertanian ke industri), dan demografi (pedesaan ke perkotaan) yang pada akhirnya mendorong transformasi sumberdaya lahan dari pertanian ke non-pertanian (Supriyadi 2004). Persoalan ini harus dicarikan solusi pemecahannya karena melihat juga dampak yang ditimbulkan dari alih fungsi lahan ini dapat merugikan petani khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Adanya alih fungsi lahan pertanian khususnya lahan sawah akan mempengaruhi produksi beras yang mana merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia sehingga akan berpengaruh terhadap ketahanan pangan.
1600000
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Tahun
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Tahun satu wilayah penyumbang beras tertinggi khususnya di Jawa Barat sampai saat ini tetap mengalami alih fungsi lahan pertanian khususnya lahan sawah.
Salah satu wilayah di Indonesia yang mengalami alih fungsi lahan pertanian adalah kabupaten Karawang. Wilayah ini juga terkenal sebagai lumbung padi nasional. Kabupaten Karawang menjadi penghasil padi terbesar ketiga setelah Indramayu dan Subang di Jawa Barat1. Selain itu, lahan pertanian terutama lahan sawah cukup luas. Sebesar 55,62 persen luas wilayah Kabupaten Karawang merupakan lahan sawah. Namun, Kabupaten Karawang merupakan wilayah yang rawan akan masalah lahan, terutama karena adanya kawasan industri serta pemukiman penduduk. Adanya pertambahan jumlah penduduk Kabupaten Karawang setiap tahun dengan laju rata-rata setiap tahun sebesar 1,75 persen menyebabkan kebutuhan baik pemukiman maupun perumahan terus meningkat.
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Karawang 2011 (diolah)
Gambar 1. Jumlah Penduduk Kabupaten Karawang Tahun 2001-2010 Selain itu, kemudahan akses serta letak geografis yang berada di dua kota besar yaitu Jakarta dan Bandung mengakibatkan daerah ini menjadi daerah penyangga yang strategis untuk menjadi salah satu pusat perekonomian sehingga
sektor-sektor ekonomi pun menjadi tumbuh (Sandi 2009). Sejak dibangunnya jalan tol Jakarta-Cikampek telah menjadikan kabupaten Karawang sebagai salah satu lokasi strategis untuk kegiatan industri (Jamal 1999).
1.2 Rumusan Masalah
Alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian yang terjadi selama ini di Indonesia sebenarnya tidak menguntungkan bagi sektor pertanian. Adanya alih fungsi lahan justru menimbulkan dampak negatif karena dapat menurunkan hasil produksi pertanian dan daya serap tenaga kerja sehingga akan berpengaruh terhadap keberlanjutan hidup petani. Namun, potensi dampak yang akan terjadi kurang diperhatikan masyarakat ataupun pemerintah dan upaya untuk pengendalian terhadap alih fungsi lahan sepertinya diabaikan. Inilah yang menjadi konsentrasi pemerintah dan masyarakat Indonesia, khususnya di wilayah Kabupaten Karawang terutama di wilayah Kecamatan Karawang Timur.
Perkembangan Kabupaten Karawang telah mengakibatkan terjadinya persaingan dalam penggunaan lahan yang menyebabkan terjadinya peningkatan permintaan lahan dimana luas lahan tetap, yaitu seluas 175.327 hektar. Sebagai konsekuensi dari hal ini maka terjadilah alih fungsi lahan pertanian. Berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Karawang (2011) menunjukkan bahwa secara umum luas lahan sawah yang mengalami alih fungsi dari tahun 2001-2010 mencapai 346,9 hektar atau 34,69 hektar per tahun2.
Perubahan penggunaan lahan dilakukan pada lahan pertanian yang bertempat pada zonasi kawasan yang dialokasikan sebagai kawasan industri maupun pemukiman. Penetapan zonasi wilayah diatur pada Peraturan Daerah
Kabupaten Karawang mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Penetapan RTRW Kabupaten Karawang tahun 2004 berdasarkan perda no 19 tahun 2004 memiliki zonasi industri lebih besar dibandingkan RTRW Kabupaten Karawang sebelumnya, yaitu 1999 (Ervani 2011).
Perubahan fungsi lahan dari lahan pertanian ke lahan non-pertanian di Kabupaten Karawang tidak saja menghilangkan kesempatan dalam memproduksi padi dan komoditas pertanian lainnya, namun juga menghilangkan kesempatan usaha yang akan mengancam kelangsungan hidup petani. Sebanyak 61,9 persen penduduk Kabupaten Karawang bergerak di bidang usaha pertanian dengan presentasi buruh tani sekitar 59,43 persen3. Akibat adanya alih fungsi lahan ini, banyak petani yang kehilangan mata pencahariaannya. Sebagian besar dari mereka beralih dari petani pemilik menjadi petani penggarap ataupun beralih profesi menjadi buruh pabrik atau tukang ojek. Hal ini akan berpengaruh terhadap pendapatan petani yang menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian.
Petani yang sebelumnya sangat bergantung pada sektor pertanian sebagai mata pencahariannya kini banyak diantara mereka tidak bisa bertani kembali. Selain itu, bertambahnya wilayah terbangun (built up area) menyebabkan muka tanah yang merupakan peresapan akan jauh berkurang luasannya (Achard et al.1987) dalam (Barbier 1999). Rendahnya daya resapan air menyebabkan peningkatan aliran air permukaan. Tingginya aliran permukaan akan menyebabkan terjadinya banjir. Hal ini tentunya sangat berpengaruh terhadap kondisi lingkungan wilayah sekitar.
Kecamatan Karawang Timur merupakan salah satu wilayah yang mengalami alih fungsi lahan tertinggi di Kabupaten Karawang. Pada tahun 2011, wilayah ini mengalami alih fungsi lahan tertinggi mencapai 254,60 hektar berdasarkan data dari Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Kabupaten Karawang. Lahan yang mengalami alih fungsi sebagian besar adalah lahan sawah produktif. Saat ini luas lahan pertanian khusunya lahan sawah sebesar 69,8 persen. Namun seiring dengan adanya pembangunan, banyak lahan yang beralih fungsi terutama untuk pembangunan perumahan.
Sejak adanya penetapan RTRW tahun 2004, Kecamatan Karawang Timur terus mengalami pembangunan. Wilayah ini memiliki peluang yang tinggi untuk investor dalam menanamkan modalnya karena wilayah ini merupakan pusat bisnis dan tata niaga. Selain itu, wilayah ini juga merupakan pusat kota dari pemerintahan Kabupaten Karawang dan pintu gerbang ibu kota Jakarta. Hal tersebut mendorong terjadinya alih fungsi lahan di Kecamatan Karawang Timur, khususnya Desa Kondangjaya.
Desa Kondangjaya merupakan desa yang mengalami alih fungsi lahan pertanian paling tinggi di Kecamatan Karawang Timur. Sebagian besar lahan di wilayah ini merupakan lahan sawah. Pada tahun 2011, lahan pertanian khususnya sawah yang mengalami alih fungsi seluas 130 hektar. Lahan yang dialihfungsikan berupa lahan sawah produktif, yakni lahan sawah irigasi teknis. Saat ini, luas lahan sawah di Desa Kondangjaya hanya tinggal 33 persen dari luas wilayah4.
Pembangunan di wilayah ini lebih banyak untuk perumahan. Banyak kontraktor perumahan (developer) yang membangun perumahan karena wilayah
ini sangat strategis, dekat dengan pusat Kabupaten Karawang dan dekat dengan jalan alternatif (By Pass). Namun, penggunaan lahan sawah yang dilakukan developer menimbulkan banyak dampak, terutama terhadap lingkungan dan pendapatan yang dirasakan langsung oleh masyarakat di Desa Kondangjaya. Berikut nama-nama perusahaan atau developer dari perumahan yang di bangun diatas lahan sawah di Desa Kondangjaya:
Tabel 2. Nama Perusahaan Perumahan di Desa Kondangjaya 2000-2011 Nama Perusahaan Luas (Hektar)
PT Trimertta Griya Lestari 8,19
PT Tawakal Griya Husada 6,32
PT Griya Tata Mandiri 7,20
PT Tawakal Griya Husada 11,00
PT Cipta Cakti Carono 3,10
PT Sinar Kompas Utama 10,00
PT Daun Permata Mulia 10,00
PT Ristia Bintang Mahkota Sejati Tbk 15,00
HENDRIK UTAMA 5,12
PT Perkasa Internusa Mandiri 150,00
PT Duta Bersama 40,00
PT Arrayan Nusantara Development 300,00
Sumber: Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Karawang 2011
Berdasarkan Tabel 2, pembangunan perumahan-perumahan di lahan sawah tetap dibiarkan atau diberikan izin oleh pemerintah daerah. Padahal adanya pembangunan di lahan sawah dapat memberikan dampak terhadap lingkungan. Dampak lingkungan dirasakan langsung oleh masyarakat di Desa Kondangjaya, yaitu, udara yang mulai tercemar, air yang mulai sulit diperoleh, serta ancaman terhdadap banjir.
pencaharian penduduk. Pada awalnya sebagian besar penduduk berprofesi sebagai petani, namun saat ini hanya 19,40 persen penduduk yang memiliki mata pencaharian di bidang pertanian. Saat ini, sebagian besar penduduk memiliki mata pencaharian di bidang perdagangan, industri, wiraswasta, dan jasa seperti tukang ojek. Hal ini akan berpengaruh terhadap pendapatan yang diperoleh penduduk sebelum dan sesudah melakukan alih fungsi lahan di Desa Kondangjaya. Kondisi ini menggambarkan bahwa terjadinya alih fungsi lahan sawah justru merugikan petani.
Berdasarkan berbagai kenyataan dan permasalahan di atas maka rumusan masalah di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana laju alih fungsi lahan di Kecamatan Karawang Timur? 2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian? 3. Bagaimana dampak alih fungsi lahan terhadap pendapatan petani di Desa
Kondangjaya?
4. Bagaimana dampak akibat alih fungsi lahan terhadap lingkungan di Desa Kondangjaya?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan hasil uraian rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengkaji laju alih fungsi lahan pertanian di Kecamatan Karawang Timur. 2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pada
tingkat wilayah maupun tingkat petani.
4. Menganalisis dampak lingkungan akibat alih fungsi lahan pertanian di Desa Kondangjaya.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Bagi peneliti, diharapkan penelitian ini dapat menjadi sarana dalam mengaplikasikan ilmu pengetahuan bidang keilmuan ekonomi sumberdaya dan lingkungan yang dipelajari selama menjalani perkuliahan di Institut Pertanian Bogor.
2. Bagi pemerintah, informasi ini dapat menjadi acuan dalam pembuatan kebijakan pembangunan infrastruktur yang sejalan dengan pembangunan pertanian.
3. Bagi civitas akademika, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi yang digunakan untuk penelitian selanjutnya.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian yang berjudul Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Dampaknya Terhadap Pendapatan Petani (Studi Kasus Desa Kondangjaya, Kecamatan Karawang Timur, Kabupaten Karawang) diperlukan batasan penelitian agar lebih fokus dalam penelitian. Adapun pembatasan penelitian dari penelitian ini adalah:
1. Penelitian ini dilakukan di Desa Kondangjaya, Kecamatan Karawang Timur, Kabupaten Karawang.
2. Alih fungsi lahan pertanian yang terjadi berupa lahan sawah di Kecamatan Karawang Timur.
yang mempengaruhi keputusan petani melakukan alih fungsi lahan pertanian.
4. Pendapatan yang diperhitungkan dilihat dari perubahan pendapatan rumah tangga dari petani sebelum dan sesudah kegiatan alih fungsi lahan pertanian khususnya lahan sawah.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan Pertanian
Sumberdaya lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki
banyak manfaat bagi manusia, seperti sebagai tempat hidup, tempat mencari
nafkah. Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan. Hampir
semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan seperti sektor pertanian,
kehutanan, perumahan, industri, pertambangan, dan transportasi.
Lahan mempunyai arti penting bagi para stakeholder yang memanfaatkannya. Fungsi lahan bagi masyarakat sebagai tempat tinggal dan
sumber mata pencaharian. Bagi petani, lahan merupakan sumber memproduksi
makanan dan keberlangsungan hidup. Bagi pihak swasta, lahan adalah aset untuk
mengakumulasikan modal. Bagi pemerintah, lahan merupakan kedaulatan suatu
negara dan untuk kesejahteraan rakyatnya. Adanya banyak kepentingan yang
saling terkait dalam penggunaan lahan, hal ini mengakibatkan terjadinya tumpang
tindih kepentingan antar aktor yaitu petani, pihak swasta, dan pemerinntah dalam
memanfaatkan lahan.
Lahan pertanian merupakan lahan yang diperuntukan untuk kegiatan
pertanian. Sumberdaya lahan pertanian memiliki banyak manfaat bagi manusia.
Menurut Sumaryanto dan Tahlim (2005) menyebutkan bahwa manfaat lahan
pertanian dapat dibagi menjadi dua kategori. Pertama, use values atau nilai penggunaan dapat pula disebut sebagai personal use values. Manfaat ini dihasilkan dari hasil eksploitasi atau kegiatan usahatani yang dilakukan pada
sendirinya walaupun bukan merupakan tujuan dari kegiatan eksploitasi dari
pemilik lahan pertanian termasuk dalam kategori ini.
Salah satu lahan pertanian yang banyak terdapat di Indonesia khusunya
Pulau Jawa adalah lahan sawah. Lahan sawah adalah suatu tipe penggunaan lahan
yang untuk pengelolaannya memerlukan genangan air. Oleh karena itu, lahan
sawah selalu memiliki permukaan datar atau yang didatarkan dan dibatasi oleh
pematang untuk menahan air genangan (Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanah dan Agroklimat 2003).
Menurut Yoshida (1994) dan Kenkyu (1996) dalam Sumaryanto et al (2005) bahwa dari aspek lingkungan, keberadaan lahan pertanian dapat
berkontribusi dalam lima manfaat, yaitu: pencegahan banjir, pengendali
keseimbangan tata air, pencegahan erosi, pengurangan pencemaran lingkungan
yang berasal dari limbah rumah tangga, dan mencegah pencemaran udara yang
berasal dari gas buangan.
2.2 Alih Fungsi Lahan pertanian
Alih fungsi lahan pertanian bukan merupakan hal yang baru. Dengan
semakin meningkatnya taraf hidup dan terbukanya kesempatan untuk
menciptakan peluang kerja, yang ditandai oleh semakin banyaknya investor
ataupun masyarakat dan pemerintah dalam melakukan pembangunan, maka
semakin meningkat pula kebutuhan akan lahan. Dipihak lain jumlah lahan yang
terbatas sehingga menimbulkan penggunaan lahan yang seharusnya beralih ke
penggunaan non-pertanian.
Alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian merupakan isu yang perlu
Konversi lahan atau alih fungsi lahan adalah berubahnya satu penggunaan lahan
ke penggunaan lainnya, sehingga permasalahan yang timbul akibat konversi
lahan, banyak terkait dengan kebijakan tataguna tanah (Ruswandi 2005). Menurut
Kustiawan (1997) alih fungsi atau konversi lahan secara umum menyangkut
transformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu penggunaan ke
penggunaan lainnya. Alih fungsi lahan umumnya terjadi di wilayah sekitar
perkotaan dan dimaksudkan untuk mendukung perkembangan sektor industri dan
jasa.
Dalam kegiatan alih fungsi lahan sangat erat kaitannya dengan permintaan
dan penawaran lahan. Adanya ketidakseimbangan antara penawaran dan
permintaan dimana penawaran terbatas sedangkan permintaan tak terbatas
menyebabkan alih fungsi lahan. Menurut Barlowe (1978), faktor faktor yang
mempengaruhi penawaran lahan adalah karateristik fisik alamiah, faktor ekonomi,
faktor teknologi, dan faktor kelembagaan. Selain itu, faktor-faktor yang
mempengaruhi permintaan lahan adalah populasi penduduk, perkembangan
teknologi, kebiasaan dan tradisi, pendidikan dan kebudayaan, pendapatan dan
pengeluaran, selera dan tujuan, serta perubahan sikap dan nilai-nilai yang
disebabkan oleh perkembangan usia.
Sumaryanto dan Tahlim (2005) mengungkapkan bahwa pola konversi
lahan dapat ditinjau dalam beberapa aspek. Pertama, alih fungsi secara langsung
oleh pemilik lahan yang bersangkutan. Lazimnya motif tindakan ada 3: (a) untuk
pemenuhan kebutuhan akan tempat tinggal, (b) dalam rangka meningkatkan
pendapatan melalui alih usaha, (c) kombinasi dari (a) dan (b) seperti
terjadi disembarang tempat, kecil-kecil, dan tersebar. Dampak alih fungsi lahan
dengan pola ini terhadap eksistensi lahan sawah sekitarnya baru significant untuk jangka waktu lama.
Kedua, alih fungsi yang diawali dengan alih penguasaan lahan. Pemilik
menjual kepada pihak lain yang akan memanfaatkannya untuk usaha
non-pertanian atau kepada makelar. Secara empiris, alih fungsi lahan melalui cara ini
terjadi dalam hamparan yang luas, terkonsentrasi, dan umumnya berkorelasi
positif dengan proses urbanisasi (pengkotaan). Dampak alih fungsi lahan terhadap
eksistensi lahan sawah sekitarnya berlangsung cepat dan nyata.
Alih fungsi lahan dapat bersifat permanen dan juga dapat bersifat
sementara (Utomo 1992). Jika lahan sawah beririgasi teknis berubah menjadi
kawasan pemukiman atau industri, maka alih fungsi lahan bersifat permanen.
Akan tetapi, jika sawah tersebut berubah menjadi perkebunan tebu, maka alih
fungsi lahan tersebut bersifat sementara, karena pada tahun-tahun berikutnya
dapat dijadikan sawah kembali. Alih fungsi lahan permanen biasanya lebih besar
dampaknya dari pada alih fungsi lahan sementara.
2.3 Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian
Terkonsentrasinya pembangunan perumahan dan industri di Pulau Jawa
menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan. Di satu sisi alih fungsi lahan ini
menambah terbukanya lapangan kerja di sektor non-pertanian seperti jasa
konstruksi, dan industri, akan tetapi juga menimbulkan dampak negatif yang
1. Berkurangnya luas sawah yang mengakibatkan turunnya produksi padi, yang
mengganggu tercapainya swasembada pangan.
2. Berkurangnya luas sawah yang mangakibatkan bergesernya lapangan kerja
dari sektor pertanian ke non-pertanian, yang apabila tenaga kerja lokal yang
ada tidak terserap seluruhnya justru akan meninggikan angka pengangguran.
Dampak sosial ini akan berkembang dengan meningkatnya kecemburuan
sosial masyarakat setempat terhadap pendatang yang pada gilirannya
berpotensi meningkatkan konflik sosial.
3. Investasi pemerintah dalam pengadaan prasarana dan sarana pengairan
menjadi tidak optimal pemanfaatannya.
4. Kegagalan investor dalam melaksanakan pembangunan perumahan maupun
indusri sebagai dampak krisis ekonomi atau karena kesalahan perhitungan
mengakibatkan tidak termanfaatkannya tanah yang telah diperoleh sehingga
meningkatkan luas lahan tidur yang pada gilirannya akan menimbulkan
konflik sosial seperti penjarahan tanah.
5. Berkurangnya ekosistem sawah terutama di jalur pantai utara Pulau Jawa yang
terbaik dan telah terbentuk puluhan tahun, sedangkan pencetakan sawah baru
yang sangat besar biayanya di luar Pulau Jawa seperti di Kalimantan Tengah,
tidak memuaskan hasilnya.
Sumaryanto et al (2005) mengungkapkan bahwa dampak negatif dari konversi lahan sawah adalah degradasi daya dukung ketahanan pangan nasional,
pendapatan pertanian menurun, dan meningkatnya kemiskinan masyarakat lokal.
perubahan budaya dari agraris ke budaya urban sehingga menyebabkan terjadinya
kriminalitas.
Menurut Firman (2005) bahwa alih fungsi lahan yang terjadi menimbulkan
dampak langsung maupun dampak tidak langsung. Dampak langsung yang
diakibatkan oleh alih fungsi lahan berupa hilangnya lahan pertanian subur,
hilangnya investasi dalam infrastruktur irigasi, kerusakan natural lanskap, dan masalah lingkungan. Kemudian dampak tidak langsung yang ditimbulkan berupa
inflasi penduduk dari wilayah perkotaan ke wilayah tepi kota.
Kegiatan alih fungsi lahan pertanian juga berpengaruh terhadap
lingkungan. Perubahan lahan pertanian menjadi lahan non-petanian akan
mempengaruhi keseimbangan ekosistem lahan pertanian. Menurut Ruswandi et al (2007) secara faktual alih fungsi lahan atau konversi lahan menimbulkan beberapa
konsekuensi, antara lain berkurangnya lahan terbuka hijau sehingga lingkungan
tata air akan terganggu, serta lahan untuk budidaya pertanian semakin sempit.
Furi (2007) menjelaskan bahwa konversi lahan atau alih fungsi lahan yang
terjadi mengubah status kepemilikan lahan dan penguasaan lahan. Perubahan
dalam penguasaan lahan di pedesaan membawa implikasi bagi perubahan
pendapatan dan kesempatan kerja masyarakat yang menjadi indikator
kesejahteraan masyarakat desa. Terbatasnya akses untuk menguasai lahan
menyebabkan terbatas pula akses masyarakat atas manfaat lahan yang menjadi
modal utama mata pencaharian sehingga terjadi pergeseran kesempatan kerja ke
2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan
Laju penggunaan lahan akan semakin meningkat seiring dengan
pembangunan pertumbuhan ekonomi. Meningkatnya permintaan akan lahan
mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian. Menurut
Pakpahan (1993), faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi atau konversi
lahan sawah ke penggunaan non-pertanian dapat dibedakan menjadi dua yaitu
faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di tingkat wilayah yaitu
faktor yang tidak langsung mempengaruhi keputusan petani untuk melakukan
konversi dan faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di tingkat
petani yaitu faktor yang langsung mempengaruhi keputusan petani untuk melakukan
alih fungsi.
Di tingkat wilayah, alih fungsi lahan sawah secara tidak langsung
dipengaruhi oleh perubahan struktur ekonomi, pertumbuhan penduduk, arus
urbanisasi, dan konsistensi implementasi rencana tata ruang. Sedangkan secara
tidak langsung dipengaruhi oleh pertumbuhan pembangunan sarana transportasi,
pertumbuhan lahan untuk industri, pertumbuhan sarana pemukiman, dan sebaran
lahan sawah.
Pengaruh langsung dipengaruhi oleh pengaruh tidak langsung, seperti
pertumbuhan penduduk akan menyebabkan pertumbuhan pemukiman, perubahan
struktur ekonomi ke arah industri dan jasa akan meningkatkan kebutuhan
pembangunan sarana transportasi dan lahan untuk industri, serta peningkatan arus
urbanisasi akan meningkatkan tekanan penduduk atas lahan dipinggiran kota. Adapun
faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di tingkat petani adalah
kondisi sosial ekonomi petani seperti tingkat pendidikan, pendapatan dan kemampuan
Menurut Situmeang (1998), perubahan struktur ekonomi dimana telah terjadi
peningkatan peranan sektor non-pertanian terhadap perekonomian dapat mempercepat
perubahan pola penggunaan lahan ke arah pengkotaan. Selanjutnya, perubahan
struktur perekonomian sendiri dapat dijelaskan dengan terjadinya pertumbuhan
ekonomi, dimana pertumbuhan ekonomi dapat mempercepat terjadinya struktur
ekonomi kearah sektor manufaktur, jasa dan sektor non-pertanian lainnya.
Menurut Winoto (2005) faktor-faktor yang mendorong terjadinya alih
fungsi lahan pertanian menjadi non-pertanian antara lain:
1. Faktor Kependudukan. Pesatnya peningkatan jumlah penduduk telah
meningkatkan permintaan tanah. Selain itu, peningkatan taraf hidup
masyarakat juga turut berperan menciptakan tambahan permintaan lahan.
2. Faktor ekonomi, yaitu tingginya land rent yang diperoleh aktivitas sektor non-pertanian dibandingkan sektor non-pertanian. Rendahnya insentif untuk bertani
disebabkan oleh tingginya biaya produksi, sementara harga hasil pertanian
relatif rendah dan berfluktuasi. Selain itu karena faktor kebutuhan keluarga
petani yang terdesak oleh kebutuhan modal usaha atau keperluan keluarga
lainnya.
3. Faktor sosial budaya, antara lain keberadaan hukum waris yang menyebabkan
terfragmentasinya tanah pertanian, sehingga tidak memenuhi batas minimum
skala ekonomi usaha yang menguntungkan.
4. Perilaku myopic, yaitu mencari keuntungan jangka pendek namun kurang memperhatikan jangka panjang dan kepentingan nasional secara keseluruhan.
Hal ini antara lain tercermin dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang
cenderung mendorong konversi tanah pertanian untuk penggunaan tanah
5. Lemahnya sistem perundang-undangan dan penegakan hukum (Law Enforcement) dari peraturan-peraturan yang ada.
Menurut Kustiawan (1997) dalam hasil kajiannya menyatakan bahwa ada
faktor yang berpengaruh terhadap proses alih fungsi lahan pertanian sawah, yaitu
(1) Faktor Eksternal adalah faktor-faktor dinamika pertumbuhan perkotaan,
demografi maupun ekonomi yang mendorong alih fungsi lahan sawah ke
penggunaan non-pertanian, (2) Faktor-faktor Internal adalah kondisi sosial
ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan yang mendorong lepasnya
kepemilikan lahan, dan (3) Faktor Kebijaksanaan Pemerintah.
Utomo (1992) memaparkan bahwa secara umum masalah alih fungsi
dalam penggunaan lahan terjadi antara lain karena pola pemanfaatan lahan masih
sektoral, delineasi antar kawasan belum jelas, kriteria kawasan belum jelas, koordinasi pemanfaatan ruang masih lemah, dan pelaksanaan UUPA
(Undang-undang Pokok Agraria) masih lemah dan penegakan hukum yang masih lemah.
Menurut Winoto (1996) dalam hasil penelitiannya alih fungsi lahan sawah
ditentukan oleh faktor-faktor yang berkaitan dengan sistem pertanian yang ada
seperti halnya perubahan di dalam land tenure system dan perubahan dalam sistem ekonomi pertanian. Faktor luar sistem pertanian seperti industrialisasi dan
faktor-faktor perkotaan menjelaskan 32,17 persen dan faktor-faktor demografis hanya
menjelaskan 8,75 persen.
2.5 Peraturan Tentang Alih Fungsi Lahan Pertanian
Dasar kebijaksanaan pertanahan adalah pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang
dijabarkan lebih lanjut dalam UU No 5 tahun 1960 mengenai Undang-Undang
air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Selanjutnya
pada ayat (2) pasal yang sama disebutkan bahwa hak menguasai dari negara
memberikan wewenang untuk:
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.
2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dengan bumi, air, dan ruang angkasa.
3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Menurut Widjanarko et al. (2006) ada tiga kebijakan nasional yang berpengaruh langsung terhadap alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian
ialah:
1. Kebijakan privatisasi pembangunan kawasan industri sesuai Keputusan
Presiden Nomor 53 tahun 1989 yang telah memberikan keleluasaan kepada
pihak swasta untuk melakukan investasi dalam pembangunan kawasan
industri dan memilih lokasinya sesuai dengan mekanisme pasar. Dampak
kebijakan ini sangat berpengaruh pada peningkatan kebutuhan lahan sejak
tahun 1989, yang telah berorientasi pada lokasi subur dan menguntungkan dari
ketersediaan infrastruktur ekonomi.
2. Kebijakan pemerintah lainnya yang sangat berpengaruh terhadap perubahan
fungsi lahan pertanian ialah kebijakan pembangunan permukiman skala besar
dan kota baru. Akibat penerapan kebijakan ini ialah munculnya spekulan yang
3. Selain dua kebijakan tersebut, kebijakan deregulasi dalam hal penanaman
modal dan perizinan sesuai Paket Kebijaksanaan Oktober Nomor 23 Tahun
1993 memberikan kemudahan dan penyederhanaan dalam pemrosesan
perizinan lokasi. Akibat kebijakan ini ialah terjadi peningkatan sangat nyata
dalam hal permohonan izin lokasi baik untuk kawasan industri, permukiman
skala besar, maupun kawasan pariwisata.
Landasan Hukum dan Kebijakan alih fungsi lahan pertanian selain UUPA,
antara lain:
a. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan.
b. Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.
Undang-undang ini merupakan penggantian dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun
1992 Tentang Penataan Ruang yang menyebutkan bahwa RTRW
mempertimbangkan budidaya tanaman pangan dimana perubahan fungsi ruang
kawasan pertanian menjadi kawasan pertambangan, pemukiman, kawasan
industri, dan sebagainya memerlukan kajian dan penilaian atas perubahan
fungsi ruang tersebut secara lintas sektor, lintas daerah, dan terpusat.
c. Peraturan pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Penatagunaan Tanah.
d. Peraturan pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 Tentang Penertiban dan
Pendayagunaan Lahan Terlantar. Pasal 11 ayat (3b) yang berbunyi: ” tanah
yang diperoleh dasar penggunaannya oleh orang-perseorangan yang tidak
menggunakan tanah tersebut sesuai keadaannya atau menurut sifat dan tujuan
pemberian haknya atau tidak memelihara dengan baik atau tidak mengambil
maka Kepala Kantor Pertanahan mengusulkan kepada Kepala Kantor Wilayah
agar kepada pemegang hak diberi peringatan agar dalam waktu tertentu sudah
menggunakan tanahnya sesuai keadaannya atau menurut sifat dan tujuan
pemberian haknya”.
e. Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Izin Lokasi. Pasal 6
ayat 1 yang berbunyi: ”izin lokasi diberikan berdasarkan pertimbangan
mengenai aspek penguasaan tanah dan teknis tata guna tanah meliputi keadaan
hak serta penguasaan tanah yang bersangkutan, penilaian fisik wilayah,
penggunaan tanah, serta kemampuan tanah”.
2.6 Penelitian Terdahulu
Solihah (2002) dalam penelitiannya bahwa terjadi penurunan luas lahan
sawah sebanyak 2.946 hektar di Kabupaten Bogor. Faktor-faktor yang
berpengaruh positif penurunan luas lahan jumlah penduduk, panjang jalan
kabupaten, dan sarana pendidikan. Serta faktor-faktor yang berpengaruh negatif
terhadap penurunan luas lahan adalah produktivitas tanaman padi sawah. Dalam
menganalisis faktor-faktor ini menggunakan analisis regresi berganda. Kemudian
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keputusan petani adalah pendidikan,
kepala keluarga, jumlah tangungan, persentase pendapatan usaha tani padi
terhadap pendapatan total petani, jarak lahan dari pusat pertumbuhan ekonomi,
dan pengaruh tetangga yang melakukan alih fungsi lahan. Dalam menganalisis
faktor-faktor di tingkat petani menggunakan analisis fungsi logit.
Ruswandi (2005) dalam penelitianya bahwa terjadi konversi lahan
pertanian di Kecamatan Lembang dan Parompong sebesar 3.134,39 hektar dengan
lahan pertanian adalah kepadatan petani pemilik 1992, kepadatan petani non
pemilik 1992, jumlah masyarakat miskin, jarak desa ke kota kecamatan, luas
lahan guntai dari luas wilayah desa tahun 1992, dan peningkatan persentase luas
lahan guntai. Dalam menganalisis faktor-faktor ini digunakan analisis regresi
berganda. Secara umum konversi lahan berpeluang menurunkan kesejahteraan
petani yang dianalisis dengan metode logistik binari.
Barokah et al (2010) dalam penelitiannya Dampak Konversi Lahan Terhadap Pendapatan Rumah Tangga Petani Di Kabupaten Karanganyar
menjelaskan bahwa terjadi perubahan alih fungsi lahan pertanian menyebabkan
penurunan luas lahan pertanian di wilayah tersebut. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa selama kurun waktu 12 tahun dari 1998-2010 telah terjadi perubahan
fungsi lahan sawah 0,120 hektar per rumah tangga petani, proporsi pendapatan
usahatani berkurang 8,30 persen dari 42 persen menjadi 33,7 persen dan proporsi
pendapatan luar usahatani meningkat 10,30 persen dari 54 persen menjadi 64,30
persen). Berdasarkan hasil analisis uji t dengan α = 5 persen menunjukkan
pendapatan rumah tangga petani sebelum konversi tidak sama dengan sesudah
konversi lahan pertanian (pendapatan bertambah Rp 1.482.000 per tahun). Metode
yang digunakan dalam penelitian ini untuk melihat perubahan pendapatan
digunakan uji beda rata-rata.
Sitorus (2011) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa telah terjadi
konversi lahan sawah di Kabupaten Bogor sebesar 2.520,40 hektar dengan laju
konversi 81,95 persen per tahun. Faktor-faktor yang mempengaruhi konversi
lahan sawah adalah PDRB sektor bangunan dan harga GKG. Analisis data yang
III. KERANGKA PEMIKIRAN
Lahan merupakan modal penting yang diperlukan dalam proses produksi pertanian. Namun, perkembangan sektor ekonomi di suatu kawasan mendorong perubahan penggunaan lahan di kawasan tersebut. Perkembangan sektor ekonomi mendorong perubahan sumberdaya lahan ke penggunaan yang memberikan nilai ekonomi lebih tinggi. Pertumbuhan sektor ekonomi yang paling terlihat adalah industri. Pertumbuhan sektor industri menyebabkan lahan untuk kebutuhan industri semakin meningkat. Lahan yang awalnya berupa lahan pertanian khususnya lahan sawah kini berubah menjadi bentuk lain yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi. Selain itu, pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat maka kebutuhan akan tempat tinggal serta sarana dan prasarana untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari juga meningkat. Peningkatan kebutuhan tempat tinggal membutuhkan jumlah lahan yang luas sehingga permintaan akan lahan meningkat. Keberadaan lahan yang sifatnya relatif tetap, sedangkan permintaan atas sumberdaya lahan meningkat mengakibatkan terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian. Alih fungsi lahan bisa terjadi alami atau alih fungsi lahan buatan yang telah direncanakan wilayah berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
perlahan mereka mulai berubah kedudukannya menjadi petani penggarap, buruh tani, pengangguran ataupun pindah ke pekerjaan lain. Hal ini tentunya menggambarkan bahwa telah terjadinya transformasi dari sektor pertanian ke non-pertanian. Adanya transformasi ini disebabkan karena dalam usaha pertanian, lahan merupakan salah satu faktor yang menentukan jumlah produksi. Penurunan volume produksi padi akan menghilangkan nilai produksi pertanian dan pendapatan petani. Selain itu, adanya alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian juga akan berpengaruh juga terhadap kondisi lingkungan secara fisik, seperti: banjir, kekurangan air, dan pencemaran air. Hal ini akan berpengaruh terhadap kondisi lingkungan masyarakat.
Adanya alih fungsi lahan dari pertanian ke non-pertanian dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor yang mempengaruhi di tingkat wilayah maupun faktor yang mempengaruhi di tingkat petani. Faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan di tingkat wilayah, yaitu faktor yang secara tidak secara langsung mempengaruhi keputusan petani melakukan alih fungsi lahan. Faktor yang mempengaruhi alih fungsi di tingkat petani, yaitu faktor yang secara langsung mempengaruhi keputusan petani dalam melakukan alih fungsi lahan.
Pembangunan sektor ekonomi
Gambar 2. Diagram Alur Pikir
Laju Alih Fungsi Lahan
Pertanian Dampak Ekonomi
Alih Fungsi Lahan Pertanian
Dampak Lingkungan
Rekomendasi Kebijakan Faktor-faktor
yang mempengaruhi alih fungsi lahan
Perubahan Pendapatan Petani
Menurunnya Kondisi Lingkungan Peningkatan Kebutuhan
IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini merupakan studi kasus yang dilakukan di Kecamatan
Karawang Timur, Kabupaten Karawang. Pemilihan lokasi tersebut didasarkan atas
wilayah Kecamatan Karawang Timur dijadikan sebagai kawasan pemukiman dan
kawasan industri berskala kecil berdasarkan rencana tata ruang wilayah
Kabupaten Karawang. Hal ini mengindikasikan terjadinya alih fungsi lahan
pertanian ke pemukiman ataupun industri. Selain itu, wilayah ini juga merupakan
pusat pemerintahan Kabupaten Karawang sehingga memberikan implikasi
terjadinya perubahan tata guna lahan.
Penelitian dilakukan dengan mengambil sampel Desa Kondangjaya.
Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) atau disebut juga
judgemental sampling karena wilayah tersebut merupakan wilayah yang
mengalami alih fungsi lahan tertinggi di Kabupaten Karawang pada tahun 2011.
Proses pengumpulan data primer dan sekunder dilakukan pada bulan Februari
hingga April 2012.
4.2 Jenis dan Sumber data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan
data sekunder. Data primer digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi alih fungsi lahan di tingkat petani, dampak lingkungan dari alih
fungsi lahannya, serta dampak alih fungsi lahan pertanian terhadap pendapatan
petani. Data primer diperoleh dari hasil wawancara langsung dari pemilik lahan
baik melalui kusioner maupun melalui wawancara mendalam. Data sekunder
mempengaruhi alih fungsi lahan di tingkat wilayah dengan menggunakan data
time series 2001– 2010. Data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS)
nasional, BPS kabupaten Karawang, Dinas Pertanian, kehutanan, perkebunan, dan
Peternakan Kabupaten Karawang, Kantor Kecamatan Karawang Timur, dan
Kantor Desa Kondangjaya, Bappeda Kabupaten Karawang dan dinas-dinas terkait
lainnya. Data sekunder berupa data kebijakan alih fungsi lahan yang berlaku,
harga lahan, dan kependudukan, serta data-data lain yang di anggap mendukung
dalam menjawab pertanyaan penelitian.
4.3 Metode Pengambilan Sampel
Pengambilan sample yang dilakukan kepada petani pemilik lahan yang
mengalami alih fungsi lahan dan tidak mengalami alih fungsi lahan dilakukan
secara purposive sampling. Teknik purposive sampling merupakan bentuk dari
non-probability sampling method. Penelitian dilaksanakan menggunakan metode
sampling non-probability disebabkan oleh jumlah masing-masing populasi yang
akan diteliti tidak diketahui secara pasti. Sampel pada sampling tidak acak akan
menyebabkan populasi yang akan diteliti tidak memiliki kesempatan yang sama
untuk dipilih sebagai sampel.
Responden dalam penelitian ini adalah petani setempat yang lahan usaha
taninya pernah mengalami alih fungsi lahan dan tidak mengalami alih fungsi
lahan. Penelitian yang dilaksanakan mengambil responden berjumlah 40
responden. Penetapan sampel ini disasarkan pada pendapat Bailey dalam Hasan
(2002) yang menyatakan bahwa ukuran sampel minimum yang menggunakan
analisis data statistik ialah 30 responden dimana populasi menyebar normal.
yang juga mewakili karateristik tertentu, jelas, dan lengkap yang bisa dianggap
bisa mewakili populasi.
Pengambilan data primer dilakukan melalui teknik wawancara dengan
bantuan kuisioner kepada responden. Responden merupakan pihak yang
memberikan informasi dan dapat mewakili dalam menjawab permasalahan
penelitian.
4.4 Metode dan Prosedur Analisis Penelitian
Dalam penelitian ini digunakan dua metode analisis, yaitu metode analisis
deskriptif dan analisis kuantitatif. Metode analisis deskriptif digunakan dengan
tujuan untuk memberikan penjelasan dan interpretasi atas data dan informasi pada
tabulasi data. Kemudian metode analisis kuantitatif bertujuan untuk mengetahui
laju alih fungsi lahan, mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi
lahan, mengetahui dampak alih fungsi lahan terhadap pendapatan petani dan
lingkungan. Metode analisis kuantitatif menggunakan persamaan laju alih fungsi
lahan, analisis regresi berganda, analisis regresi logistik. dan analisis uji beda
rata-rata.
Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif.
Pengolahan dan analisis data dilakukan secara manual dan menggunakan
komputer dengan program microsoft office exel 2007 dan Statistical Program and
Service Solution(SPSS) 20.0.
4.4.1 Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif merupakan metode pencarian fakta dengan interpretasi
yang tepat mengenai masalah-masalah yang ada dalam masyarakat, tata cara yang
pandangan, serta proses yang sedang berlangsung dan pengaruh dari suatu fenomena
(Withney 1960) dalam (Nazir 2005). Data yang diperoleh dari hasil penelitian
kemudian diolah dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Penulisan data dan informasi yang diperoleh selama penelitian dengan
tujuan untuk mengevaluasi data. Hal ini dilakukan untuk menghindari
kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi selama pengamatan.
2. Merumuskan data yang diperoleh ke dalam bentuk tabel untuk menghindari
kesimpangsiuran interpretasi serta sekaligus untuk mempermudah
interpretasi data.
3. Menghubungkan hasil penelitian yang diperoleh dengan kerangka pemikiran
yang digunakan dalam penelitian, dengan tujuan mencari arti atau memberi
interpretasi yang lebih luas dari data yang diperoleh.
Dengan menggunakan analisis deskriptif ini maka akan diperoleh gambaran
mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian dan
dampaknya terhadap pendapatan petani.
4.4.1 Analisis Laju Alih Fungsi Lahan
Dalam penghitungan laju alih fungsi lahan pertanian digunakan persamaan
alih fungsi lahan yang digunakan oleh sutandi (2009) dalam Astuti (2011). Laju
alih fungsi lahan dapat ditentukan dengan cara menghitung laju alih fungsi lahan
secara parsial. Laju alih fungsi lahan secara parsial dapat dijelaskan sebagai
berikut:
dimana:
V = laju alih fungsi lahan (%)
Lt = Luas lahan tahun ke-t (ha)
Lt-1 = Luas lahan sebelumnya (ha)
Laju alih fungsi lahan (%) dapat ditentukan melalui selisih antara luas
lahan tahun ke-t dengan luas lahan tahun sebelumnya (t-1). Kemudian dibagi
dengan luas lahan tahun sebelumnya dan dikalikan dengan 100 persen. Hal ini
dilakukan juga pada tahun-tahun berikutnya sehingga diperoleh laju alih fungsi
lahan setiap tahun.
4.4.1 Analisis Regresi Linear Berganda
Dalam mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan lahan akibat
alih fungsi lahan pertanian digunakan model analisis regresi linear berganda.
Analisis regresi adalah sebuah alat analisis statistik yang memberikan penjelasan
tentang pola hubungan (antara dua variabel atau lebih). Tujuan dari analisis
regresi ini adalah meramalkan nilai rata-rata satu variabel. Metode ini sebenarnya
menggambarkan hubungan antara peubah bebas atau independent (Y) dengan
peubah tak bebas atau dependent (X) dan sering disebut dengan peubah penjelas.
Faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap kegiatan alih fungsi lahan
di tingkat wilayah adalah:
1. Laju Pertumbuhan Penduduk (persen)
Jumlah penduduk mempengaruhi permintaan lahan. Semakin meningkat
jumlah penduduk maka permintaan lahan terutama untuk pembangunan
perumahan akan semakin tinggi sehingga mendorong penurunan luas
2. Jumlah Industri (unit)
Adanya peningkatan jumlah industri mendorong terjadinya peningkatan
permintaan lahan. Semakin tinggi jumlah industri maka semakin tinggi
penurunan luas lahan sawah akibat alih fungsi lahan sawah yang terjadi.
3. Produktivitas Lahan Pertanian (ton/ha)
Semakin rendah produktivitas lahan pertanian, maka diduga akan
meningkatkan penurunan luas lahan sawah akibat alih fungsi lahan karena
lahan dianggap memiliki opportunitunity cost.
4. Proporsi Luas Lahan Sawah Terhadap Luas Wilayah (persen)
Peningkatan luas lahan sawah karena adanya pencetakan sawah baru
menyebabkan terjadinya pembangunan yang dilakukan di atas lahan sawah
akan semakin besar. Semakin luas proporsi luas lahan sawah terhadap luas
wilayah maka akan semakin tinggi penurunan luas lahan sawah akibat alih
fungsi lahan yang terjadi.
5. Kebijakan pemerintah (dummy)
Adanya kebijakan pemerintah mengenai tata ruang wilayah pada saat ini
dan saat tahun sebelumnya. Hal ini dilakukan untuk membedakan
penggunaan lahan pertanian berdasarkan kebijakan tata ruang wilayah saat
ini dan tahun sebelumnya. Adanya perubahan kebijakan menyebabkan
terjadinya peningkatan penggunaan lahan sawah untuk keperluan
non-pertanian.
Persamaan model regresi linear berganda untuk mengetahui faktor yang
mempengaruhi alih fungsi lahan adalah sebagai berikut:
Tanda yang diharapkan:
β1 > 0
β2 > 0
β3 < 0
β4 > 0
D > 0
Dimana:
Y = Penurunan lahan pertanian akibat alih fungsi lahan (m2 )
α = Intersep
Xi = Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi alih fungsi lahan
βi =Koefisien Regresi
D = Dummy
ε = Eror Term
Model analisis regresi linear berganda merupakan metode analisis yang
didasarkan pada metode Ordinary Least Square (OLS). Konsep dari metode least
square adalah menduga koefisien regresi (β) dengan meminimumkan kesalahan
(error). Ordinary least square (OLS) dapat menduga koefisien regresi dengan
baik karena: (1) memiliki sifat tidak bias dengan varians yang minimum (efisien)
baik linear maupun bukan, (2) konsisten, dangan meningkatknya ukuran sampel
maka koefisien regresi mengarah pada nilai populasi yang sebenarnya, serta (3) β0
dan β1 terdistribusi secara normal (Gujarati 2002).
Model ini mencangkup hubungan banyak variabel terdiri dari satu variabel
dependent dan berbagai variabel independent. Penggunaan metode ini saling
variabel terikat yang dipengaruhi oleh beberapa variabel bebas dalam
mempengaruhi variabel terikat itu bermacam maka bentuk hubungan antar
variabel pun juga akan berbeda. Dalam regresi linear berganda sifat hubungan
berjenjang sering kali terjadi dalam kajian ilmu sosial.
Sebagai langkah awal pengujian dilakukan pengujian ketelitian dan
kemampuan model regresi. Pengujian model regresi diperlukan dalam penelitian
ini terdiri dari tiga pengujian, yaitu uji koefisien determinasi (R-squared), Uji F,
dan Uji t.
Untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh peubah-peubah dalam
persamaan akan mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian akan uji statistik
sebagai berikut:
1. Uji Koefisien Determinasi (R-squared)
Nilai R-squared mencerminkan seberapa besar keragaman dari variabel
dependen yang dapat diterangkan oleh variabel independen. Nilai R-squared
memiliki besaran yang positif dan besarannya adalah 0 < R-squared < 1. Jika nilai
R-squared bernilai nol maka artinya keragaman variabel dependen tidak dapat
dijelaskan oleh variabel independennya. Sebaliknya, jika nilai R-squared bernilai
satu maka keragaman dari variabel dependen secara keseluruhan dapat
diterangkan oleh variabel independennya secara sempurna (Gujarati, 2002).
R-squared dapat dirumuskan sebagai berikut:
...(4.3)
Dimana:
ESS = Explained of Sum Squared
2. Uji t
Uji t dilakukan untuk menghitung koefisien regresi masing-masing
variabel independen sehingga dapat diketahui pengaruh variabel independen
tersebut terhadap variabel dependennya. Adapun prosedur pengujiannya yang
diungkap Gujarati (2002):
H0 : β1 = 0
H0 : β1 ≠ 0
... (4.4)
Dimana:
b = Parameter dugaan
βt = Parameter Hipotesis
Seβ = Standar error parameter β
Jika thitung (n-k) < t tabel α/2, maka H0 diterima, artinya variabel berarti variabel
(Xi) tidak berpengaruh nyata terhadap (Y). Namun, jika thitung (n-k) > t tabel α/2, maka H0
ditolak, artinya variabel (Xi) berpengaruh nyata terhadap (Y)
3. Uji F
Uji F dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel independent atau
bebas (Xi) secara bersama-sama terhadap variabel dependent atau tidak bebas (Y).
Adapun prosedur yang digunakan dalam uji F (Gujarati 2002):
H0 = β1 = β2 = β3 = .... = βi = 0
H1 = minimal ada satu βi ≠ 0
Dimana:
JKR = Jumlah Kuadrat Regresi
JKG = Jumlah Kuadrat Galat
k = jumlah variabel terhadap intersep
n = jumlah pengamatan/sampel
Apabila F hitung < F tabel maka H0 diterima dan H1 ditolak yang berarti
bahwa variabel bebas (Xi) tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas
(Y). Sedangkan apabila F hitung > F tabel maka H0 ditolak dan H1 diterima yang
berarti bahwa variabel (Xi) berpengaruh nyata terhadap variabel (Y).
Model yang dihasilkan dari regresi linear berganda haruslah baik. Jika
tidak baik maka akan mempengaruhi interpretasinya. Interpretasi ini menjadi tidak
benar apabila terdapat hubungan linear antara variabel bebas (Chatterjee and price
dalam Nachrowi et all 2002) Namun, agar diperoleh model regresi linear
berganda yang baik, maka model harus memenuhi kriteria BLUE (Best Linear
Unbiased Estimator). BLUE dapat dicapai bila memenuhi asumsi klasik. Uji
asumsi klasik merupakan pengujian pada model yang telah berbentuk linear untuk
mendapatkan model yang baik. Setelah model diregresikan kemudian dilakukan
uji penyimpangan asumsi.
a. Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk melihat apakah model tersbut baik atau
tidak. Model dikatakan baik jika mempunyai distribusi normal atau hampir
normal. Uji yang dapat digunakan adalah Uji Kolmogorov-Smirnov.
Hipotesis pada uji Kolmogorov-Smirnov adalah sebagai berikut:
H1 : Error term tidak terdistribusi normal.
Dengan kriteria uji :
Jika P-value < α maka tolak H0
Jika P-value > α maka terima H0
Kelebihan dari uji ini adalah sederhana dan tidak menimbulkan perbedaan
persepsi di antara satu pengamat dengan pengamat lain. Penerapan pada uji
Kolmogorov-Smirnov adalah jika signifikansi di atas 5 persen berarti tidak
terdapat pebedaan yang signifikan antara data yang akan diuji dengan data normal
baku, artinya data tersebut normal.
b. Uji Autokorelasi
Menurut Nachrowi et all (2002), Autokorelasi adalah adanya korelasi
antara variabel itu sendiri, pada pengamatan berbeda waktu dan individu.
Umumnya, kasus autokorelasi terjadi pada data time series. Ada beberapa cara
yang dapat digunakan untuk mendeteksi ada tidaknya autokorelasi. Salah satu cara
yang digunakan adalah Uji Durbin Watson (DW-test). Uji ini hanya digunakan
untuk autokorelasi tingkat satu (first order autocorrelation) dan mensyaratkan
adanya intercept dalam model regresi dan tidak ada variabel lag diantara variabel
penjelas. Jika pengujian autokorelasi diabaikan, maka akan berdampak terhadap
pengujian hipotesis dan proses peramalan. Besarnya nilai statistik DW dapat
diperoleh dengan rumus (Nachrowi et all. 2002):
...………... (4.6)
Dimana:
d = statistik Durbin-Watson
Pengambilan keputusannya:
− Jika nilai DW terletak antara batas atau upper bound (du) dan (4-du), maka
koefisien autokorelasi sama dengan nol, berarti tidak ada autokorelasi
positif.
− Jika nilai DW lebih rendah dari pada batas bawah atau lower bound (dl),
maka koefisien autokorelasi lebih besar dari pada nol, berarti ada
autokorelasi positif.
− Jika DW lebih besar dari pada (4-dl), maka koefisien autokorelasi lebih kecil
dari pada nol, berarti ada autokorelasi positif.
− Jika nilai DW lebih besar dari pada (4-dl), maka koefisien autokorelasi lebih
kecil dari pada nol, berarti ada autokorelasi negatif.
− Jika nilai DW terletak diantara batas atas (du) dan batas bawah (dl) atau DW
terletak antara (4-du) dan (4-dl), maka hasilnya tidak dapat disimpulkan.
c. Uji Multikolinearitas
Jika suatu model regresi berganda terdapat hubungan linear sempurna
antar peubah bebas dalam model tersebut, maka dapat dikatakan model tersebut
mengalami multikolinearitas. Terjadinya multikolinearitas menyebabkan
R-squared tinggi namun tidak banyak variabel yang signifikan dari uji t. Ada
berbagai cara untuk menentukan apakah suatu model memiliki gejala
multikolinearitas. Salah satu cara yang digunakan adalah uji Varian Infiaction
Factor (VIF). Cara ini sangat mudah, hanya melihat apakah nilai VIF untuk
masing-masing variabel lebih besar dari 10 atau tidak. Bila nilai VIF lebih besar
Sebaliknya, jika VIF lebih kecil dari 10 maka diindikasikan bahwa model tersebut
tidak mengalami multikolinearitas yang serius.
d. Uji Heteroskedastisitas
Asumsi penting dari regresi linear klasik adalah bahwa gangguan yang
muncul dalam fungsi regresi adalah heteroskedastisitas. Menurut Juanda (2009),
heteroskedastisitas terjadi jika ragam sisaan tidak sama untuk tiap pengamatan
ke-i darke-i peubah-peubah bebas dalam model regreske-i. Masalah heteroskedastke-iske-itas
biasanya sering terjadi dalam data cross section. Salah satu cara dalam mendeteksi
heteroskedastisitas adalah dengan transformasi terhadap peubah respon dilakukan
dengan tujuan untuk menjadikan ragam menjadi homogeny pada peubah respon
hasil transformasi tersebut. Namun, dalam mendeteksi terjadinya
heteroskedastisitas dalam model dapat digunakan juga metode grafik (Nachrowi et
all 2002). Selain itu, dapat juga dilakukan dengan uji glejser. Uji Glejser
dilakukan dengan meregresikan variabel-variabel bebas terhadap nilai absolute
residualnya (Gujarati 2006). Jika nilai signifikan dari hasil uji Glejser lebih besar
dari α maka tidak terdapat heteroskedastisitas dan sebaliknya.
4.4.2 Analisis Regresi Logistik
Dalam mengestimasi faktor-faktor yang mempengaruhi petani dalam
mengalihfungsikan lahan sawah digunakan analisis regresi logistik. Menurut
Nachrowi et all (2002), model logit adalah model non linear, baik dalam
paramater maupun dalam variabel. Model logit diturunkan berdasarkan fungsi
peluang logistik yang dapat di spesifikasikan sebagai berikut (Juanda 2009):
Dimana e mempresentasikan bilangan dasar logaritma natural (e=2.718...).
Kemudian dengan menggunakan aljabar biasa, persamaan dapat ditunjukkan
menjadi:
... (4.8)
Peubah Pi / 1 – Pi dalam persamaan diatas disebut sebagai odds, yang
sering diistilahkan dengan resiko atau kemungkinan, yaitu rasio peluang
terjadinya pilihan 1 terhadap peluang terjadinya pilihan 0 alternatif. Parameter
model estimasi logit harus diestimasi dengan metode maximum likelihood (ML).
Jika persamaan ditransformasikan dengan logaritma natural, maka:
... (4.9)
Persamaan model regresi logistik untuk mengetahui faktor yang
mempengaruhi alih fungsi lahan adalah sebagai berikut:
= Z = α + β1 X1 + β2 X2 + β3 X3 + β4 X4 + β5 X5 + β6 X6 + ε ... (4.10)
Dimana:
Z = Peluang alih fungsi lahan (1) dan tidak alih fungsi lahan (0)
α = Intersep
Xi = Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi keputusan alih fungsi lahan
βi =Koefisien Regresi
ε = Eror Term
Adapun faktor-faktor yang diduga mempengaruhi keputusan petani dalam
1. Tingkat Usia (Tahun)
Tingkat usia menunjukkan produktivitas seseorang dalam bekerja.
Semakin tinggi usia seseorang maka produktivitas dalam bekerja akan
semakin menurun. Hal ini akan mendorong terjadinya alih fungsi lahan
yang dilakukan.
2. Lama Pendidikan Petani (Tahun)
Lama pendidikan diduga berpengaruh terhadap keputusan petani dalam
melakukan alih fungsi lahan. Lama pendidikan menunjukkan tingkat
pendidikan yang dicapai. Semakin tinggi tingkat pendidikan petani maka
akan semakin bijaksana dalam pengambilan keputusan alih fungsi lahan.
3. Luas Lahan (Hektar)
Petani yang memiliki ukuran lahan yang luas cenderung untuk
mempertahankan lahannya karena semakin luas lahan maka usaha tani
akan semakin efisien dan relatif lebih besar keuntungannya. Semakin luas
lahan yang dimiliki oleh petani maka semakin kecil alih fungsi lahan yang
terjadi.
4. Proporsi pendapatan hasil usaha tani (Persen)
Semakin rendah pendapatan yang diperoleh dari hasil usaha tani, maka
akan semakin tinggi peluang petani dalam melakukan alih fungsi lahan.
Jika pendapatan yang diperoleh dari hasil usaha tani rendah maka ada
kecenderungan untuk memilih pendapatan di luar sektor pertanian dan
lahan yang dimiliki dialihfungsikan karena pendapatan usaha tani tidak
5. Jumlah tanggungan petani (Jiwa)
Jumlah tanggungan yang harus ditanggung petani mempengaruhi alih
fungsi lahan dimana semakin banyak jumlah tanggungan yang harus
ditanggung, maka alih fungsi lahan akan semakin tinggi. Semakin banyak
tanggungan yang dimiliki maka biaya yang dibutuhkan dalam memenuhi
kebutuhan sehari-hari semakin banyak sehingga petani akan cenderung
untuk mengalih fungsikan lahannya.
6. Pengalaman bertani (Tahun)
Semakin lama petani pengalaman dalam bertani, maka akan semakin berat
dalam pengambilan keputusan untuk alih fungsi lahan. Hal ini disebabkan
karena semakin lama pengalaman bertani, maka keahlian yang dalam
bertani akan semakin tinggi sehingga petani akan cenderung untuk terus
mempertahankan lahannya.
7. Produktivitas (Ton/Ha)
Semakin tinggi tingkat produktivitas lahan maka keputusan petani untuk
melakukan alih fungsi lahan akan semakin rendah. Hal tersebut
disebabkan karena semakin tinggi produktivitas, pendapatan yang
diperoleh dari sektor pertanian akan semakin tinggi sehingga petani akan
cenderung mempertahankan lahannya.
Agar diperoleh hasil analisis regresi logit yang baik perlu dilakukan
pengujian. Pengujian dilakukan untuk melihat apakah model logit yang dihasilkan
secara keseluruhan dapat menjelaskan keputusan pilihan secara kualitatif. Dalam
hal ini pilihan yang digunakan untuk melakukan alih fungsi lahan atau tidak
secara keseluruhan dan menguji masing-masing parameter secara terpisah.
Statistik uji yang digunakan adalah sebagai berikut:
a. Odds Ratio
Odds merupakan rasio peluang kejadian terjadi sukses (terjadinya pristiwa
y=1) terhadap peluang terjadi gagal (terjadinya pristiwa y=0) (Nachrowi et all.
2002). Odds ratio ini sering juga digunakan sebagai suatu ukuran asosiasi yang
sering ditemukan dalam epidemologi. Pada dasarnya odds ratio digunakan untuk
melihat hubungan antara peubah bebas dan peubah terikat dalam model logit.
Nilai tersebut dapat diperoleh dari perhitungan eksponensial dari koefisien
estimasi (βi) atau exp (βj). Odds Ratio dapat didefinisikan sebagai berikut:
dimana P menyatakan peluang terjadinya peristiwa (Z=1) dan 1-P menyatakan
peluang tidak terjadinya peristiwa.
b. Likelihood Ratio
Likelihood Ratio merupakan suatu rasio kemungkinan maksimum yang
digunakan untuk menguji peranan variabel penjelas secara serentak (Hosmer dan
Lemeshow 2002). Statistik uji yang dapat menunjukkan nilai likelihood ratio
adalah Uji G. Rumus umum Uji G adalah:
... (4.11)
Dimana l0 merupakan nilai likelihood tanpa variabel penjelas dan li
merupakan nilai likelihood model penuh. Statistik uji G akan mengikuti sebaran
chi-square dengan derajat bebas α. Kriteria keputusan yang diambil adalah jika G
minimal ada βj ≠ 0, dengan pengertian lain, model regresi logistik dapat
menjelaskan atau memprediksi pilihan individu pengamatan.
4.4.3 Uji Beda Rata-rata
Perubahan pendapatan dilihat dari perubahan pendapatan rumah tangga
petani sebelum dan sesudah melakukan alih fungsi lahan. Untuk mengetahui ada
tidaknya perbedaan tingkat pendapatan petani sebelum alih fungsi lahan dan
setelah alih fungsi lahan yang dimilikinya digunakan pendekatan perbedaan dua
rata-rata. Pengujian ini dilakukan dengan uji T-test baik untuk menguji data
sampel masing-masing jenis alih fungsi lahan maupun untuk menguji data sampel
secara keseluruhan (Sutrisno 1995).
Persamaan uji T adalah sebagai berikut:
... (4.12)
Dimana:
X1 = Rata-rata pendapatan sebelum terjadinya alih fungsi lahan
X2 = Rata-rata pendapatan setelah terjadinya alih fungsi lahan
n1 = Jumlah responden sebelum terjadinya alih fungsi lahan
n2 = Jumlah responden setelah terjadinya alih fungsi lahan
s1 = Standar deviasi sebelum terjadinya alih fungsi lahan
s2 = Standar deviasi setelah terjadinya alih fungsi lahan
Hipotesis:
H0 = X1 = X2
Apabila t hitung < t tabel maka H0 diterima dan H1 ditolak yang berarti tidak
ada perbedaan pendapatan petani sebelum dan sesudah alih fungsi lahan.
Sedangkan apabila t hitung > t tabel maka H0 ditolak dan H1 diterima yang berarti ada
V. GAMBARAN UMUM 5.1 Gambaran Umum Wilayah Kabupaten Karawang
Kabupaten Karawang merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Jawa Barat. Secara geografis, wilayah Kabupaten Karawang terletak antara 107002’ – 1070040’ Bujur Timur dan 5056 – 6034’ Lintang Selatan. Wilayah ini termasuk daerah dataran yang relatif rendah dimana mempunyai variasi ketinggian wilayah antara 0 – 1279 m di atas permukaan laut dengan kemiringan wilayah 0 – 20, 2 – 150, 15 – 400, dan diatas 400. Secara topografi, Kabupaten Karawang termasuk daratan rendah yang relatif datar. Sekitar 94 persen memiliki tingkat kemiringan lereng maksimum 8 persen dan 83,4 persen berada pada kisaran lereng 0 – 3 persen. Suhu rata-rata wilayah mencapai 270 C.
Luas wilayah Kabupaten Karawang 1.753,27 km2 atau 175.327 hektar. Luas wilayah tersebut merupakan 3,73 persen dari luas provinsi Jawa Barat dan memiliki laut seluas 4 mil x 84,23 km. Sebagian besar lahan di Kabupaten Karawang merupakan lahan sawah yaitu sebesar 54 persen atau 94.311 hektar yang terdiri dari lahan sawah irigasi teknis (88 persen), setengah teknis (4 persen), irigasi sederhana (3 persen), irigasi desa (1 persen), dan tadah hujan (3 persen). Sedangkan luas lahan kering di Kabupaten Karawang sebesar 81.016 hektar. Secara umum, jenis tanah di Kabupaten Karawang terdiri dari alluvial terutama pada lahan sawah dataran rendah, sedangkan untuk daerah pegunungan atau berbukit-bukit terdiri dari podsolik dan latosol.
• Sebelah Utara : Berbatasan dengan Laut Jawa
• Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kabupaten Subang
• Sebelah Tenggara : Berbatasan dengan Kabupaten Purwakarta
• Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan Cianjur
• Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kabupaten Bekasi
Jumlah penduduk Kabupaten Karawang 2.127.791 jiwa dengan kepadatan penduduk 1.213,61 per km2. Sebagian besar penduduk bekerja di sektor pertanian. Mata pencaharian penduduk Kabupaten Karawang dapat dilihat pada Tabel 3 dibawah ini:
Tabel 3. Mata Pencaharian Penduduk Kabupaten Karawang
Mata Pencaharian Jumlah (Jiwa) Presentase (%)
Petani 587.878 29,19 Pedagang 529.078 26,27
Buruh pabrik 398.772 19,80
Penyedia jasa 234.229 11,63
Lainnya 263.834 13,10 Jumlah 2.013.800 100,00 Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Karawang (2009)
Potensi suatu daerah dapat dilihat dari pola penggunaan lahan yang ada di daerah yang bersangkutan. Pola penggunaan lahan itu pun juga dapat menggambarkan kondisi sosial ekonomi dari masyarakatnya.
Tabel 4. Penggunaan Lahan di Kabupaten Karawang Tahun 2010
5.2 Gambaran Wilayah Kecamatan Karawang Timur
Kecamatan Karawang Timur adalah salah satu kecamatan dari 30 kecamatan yang ada di wilayah Kabupaten Karawang. Kecamatan Karawang Timur merupakan pemekaran dari Kecamatan Karawang, Kecamatan Klari, dan Kecamatan Majalaya pada tahun 2005. Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor: 2 tahun 2005 yaitu tentang Pembentukan kecamatan pada Daerah Kabupaten Karawang dan diresmikan pada tanggal 29 Maret 2005 oleh Bupati Karawang. Wilayah ini merupakan letak pusat pemerintahan Kabupaten Karawang.
Penggunaan Lahan Luas
(Hektar) Lahan Sawah
Irigasi teknis 83.021
Irigasi setengah teknis 3.853
Irigasi sederhana 2.986
Ditanami pohon/ hutan rakyat 1.566
Tambak 13.264
Kolam/ Tebet/ Empang 587
Sementara tidak diusahakan 33
Lainnya 10.704 Lahan bukan pertanian
Rumah, bangunan dan halaman 23.398
Hutan negara 14.601
Kecamatan Karawang (kecamatan Karawang Timur) termasuk ke dalam pusat pertumbuhan bersama kecamatan lain, yaitu Kecamatan Teluk Jambe, Tegal sari, Pangkalan, Klari, dan Ciampel. Berdasarkan Perda Kabupaten Karawang No. 2 Tahun 1994 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah, Kecamatan Karawang diarahkan untuk pengembangan kawasan pemukiman skala besar dan skala menengah. Selain itu, Kecamatan Karawang termasuk dalam zona industri dalam skala kecil mengingat dominasi wilayah ini ditetapkan sebagai pusat pelayanan, permukiman, perdagangan dan jasa.
Letak Geografis Kecamatan Karawang Timur berada terletak disebelah timur Kabupaten Karawang dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :
• Sebelah Utara : Berbatasan dengan Kecamatan Majalaya dan
Kecamatan Rawamerta;
• Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kecamatan Klari;
• Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kecamatan Telukjambe Timur;
• Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kecamatan Karawang Barat.
Luas Wilayah Kecamatan Karawang Timur adalah 2.697,980 hektar terdiri dari lahan sawah seluas 1.882,790 hektar dan lahan darat seluas 875,190 hektar. Permukaan tanah Karawang Timur termasuk dataran tinggi yang terdiri dari sebagian besar persawahan dengan ketinggian dari permukaan laut kurang lebih 15 m. Suhu rata-rata maksimum 33 0C dan minimum 27 0C.
Tegal Sawah, Desa Kondangjaya, Desa Warungbambu, Kelurahan Karang Wetan, Kelurahan Adiarsa Timur, Kelurahan Palumbonsari, dan Kelurahan Plawad. Luas wilayah masing-masing desa dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Luas Desa di Kecamatan Karawang Timur Tahun 2010 Desa dan Kelurahan Luas (Km2)
Adiarsa timur 2,31
Palumbonsari 4,02 Palawad 7,01 Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Karawang, 2011
Kecamatan Karawang Timur memiliki kepadatan penduduk tertinggi kedua dari seluruh kecamatan di Kabupaten Karawang, yaitu sebesar 3.963,76 per km2. Jumlah penduduk di wilayah ini sebesar 118.001 jiwa yang terdiri atas 61.643 laki-laki dan 56.358 perempuan. Jumlah rumah tangga yang berada di kecamatan ini sebanyak 26.786 rumah tangga. Jumlah penduduk masing-masing desa dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Jumlah Penduduk Masing-Masing Kelurahan dan Desa di Kecamatan Karawang Timur
Desa dan Kelurahan Jumlah Penduduk
Margasari 8.643
Tegal Sawah 5.134
Kondangjaya 15.642 Warungbambu 12.071
Karang wetan 29.870
Adiarsa timur 16.701
Mata pencaharian penduduk di Kecamatan Karawang Timur sebagian besar bergerak di sektor pertanian. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 7 dibawah ini.
Tabel 7. Keadaan Penduduk di Kecamatan Karawang Timur Berdasarkan Mata Pencaharian Tahun 2011
No Jenis Mata Pencaharian Jumlah KK (Orang) Persentase (%)
1 Pertanian 4.157 15,00
2 Industri/Perdagangan 5.730 20,70
3 Wiraswasta 6.149 22,30
4 Jasa 5.123 18,50
5 Lain-lain 6.495 23,50
Jumlah 27.654 100,00
Sumber : BP3K Kecamatan Karawang Timur
Sebagian besar penduduk yang bergerak di bidang pertanian merupakan petani penggarap/buruh tani. Kepemilikan lahan di Kecamatan Karawang Timur, sebagian besar dimiliki oleh masyarakat diluar Karawang Timur bahkan di luar Kabupaten Karawang.