• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Pupuk Organik dalam Peningkatan Efisiensi Pupuk Anorganik pada Padi Sawah (Oryza sativa L)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peran Pupuk Organik dalam Peningkatan Efisiensi Pupuk Anorganik pada Padi Sawah (Oryza sativa L)"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN PUPUK ORGANIK DALAM

PENINGKATAN EFISIENSI PUPUK ANORGANIK

PADA PADI SAWAH (

Oryza sativa

L.)

TOTONG SISWANTO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Peran Pupuk Organik dalam Peningkatan Efisiensi Pupuk Anorganik pada Padi Sawah (Oryza sativaL.) adalah benar karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2014

(4)

TOTONG SISWANTO. Peran Pupuk Organik dalam Peningkatan Efisiensi Pupuk Anorganik pada Padi Sawah (Oryza sativa L.). Dibimbing oleh SUGIYANTA dan MAYA MELATI.

Padi merupakan komoditas tanaman pangan yang mempunyai fungsi penting dalam pembangunan pertanian karena merupakan bahan makanan pokok bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Revolusi hijau melahirkan varietas unggul berdaya hasil tinggi yang responsif terhadap pemupukan. Selanjutnya pupuk anorganik menjadi komponen utama sarana produksi untuk mencapai produktivitas yang tinggi tanpa mengaplikasikan bahan organik. Akibat aplikasi pupuk anorganik berdosis tinggi dan tidak mengaplikasikan bahan organik menyebabkan kadar bahan organik tanah menjadi sangat rendah dan menjadi pembatas untuk mencapai hasil padi sawah yang tinggi.

Aplikasi pupuk organik ke dalam tanah selain ditujukan sebagai sumber hara makro, mikro dan asam-asam organik, juga berperan sebagai bahan pembenah tanah untuk memperbaiki kesuburan fisik, kimia dan biologi tanah dalam jangka panjang. Aplikasi pupuk organik dengan dosis tinggi memiliki kendala yaitu ketersediaan dan kemudahan dalam aplikasi. Oleh karena itu, perlu dipelajari penggunaan pupuk organik dengan dosis yang rendah untuk meningkatkan efisiensi pemupukan anorganik. Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mempelajari pengaruh aplikasi dosis pupuk organik + anorganik terhadap pertumbuhan dan hasil padi sawah, dan (2) mempelajari pengaruh aplikasi pupuk organik dengan dosis rendah terhadap peningkatan efisiensi pemupukan N, P, dan K anorganik.

Percobaan dilaksanakan di Laboratorium Lapangan Riset Padi Babakan, Bogor, Jawa Barat pada bulan September 2013 sampai bulan Januari 2014. Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) terdiri atas dua faktor yaitu dosis pupuk organik terdiri atas 5 taraf yaitu 0, 250, 500, 750 dan 1 000 kg ha-1, dan dosis pupuk anorganik majemuk (30:6:8) terdiri atas 5 taraf yaitu 0, 100, 200, 300 dan 400 kg ha-1. Jumlah total perlakuan adalah 25 kombinasi perlakuan, tiap perlakuan diulang tiga kali sehingga diperoleh 75 satuan percobaan. Analisis data menggunakan sidik ragam, apabila dalam sidik ragam pada taraf 5% terdapat pengaruh nyata maka dilanjutkan dengan uji DMRT (Duncan Multiple Range Test).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi dosis pupuk organik + pupuk anorganik tidak ada pengaruh interaksi nyata terhadap peubah pertumbuhan dan hasil padi. Aplikasi pupuk organik tidak berpengaruh nyata terhadap semua peubah pengamatan, sebaliknya aplikasi dosis pupuk anorganik berpengaruh nyata hampir pada semua peubah pengamatan. Aplikasi pupuk organik dapat meningkatkan efisiensi pemupukan N, P, dan K anorganik. Efisiensi N tertinggi (89.19%) pada aplikasi dosis 500 kg pupuk organik ha-1 + 300 kg pupuk anorganik ha-1, sedangkan efisiensi P dan K tertinggi (69.55% dan 92.52%) pada aplikasi dosis 750 kg pupuk organik ha-1+ 300 kg pupuk anorganik ha-1. Aplikasi dosis 300 kg pupuk anorganik ha-1pada padi sawah sudah cukup apabila ditambah dengan 500 kg pupuk organik ha-1.

(5)

SUMMARY

TOTONG SISWANTO. The Role of Organic Fertilizer in Increasing Efficiency of Inorganic Fertilizer on Paddy Rice (Oryza sativa L.). Supervised by SUGIYANTA and MAYA MELATI.

Rice has important function in the development of agriculture because it is a staple food for most of Indonesian people. The green revolution spawned superior high yielding varieties that are responsive to fertilization. Inorganic fertilizer becomes a major input to achieve high yield of rice, while organic materials have been neglected and causes soil organic matter depletion and rice yield reduction.

Application of organic fertilizer into the soil is designated as a source of macro, micro nutrients and organic acids; it also acts as soil ameliorant that improve physical, chemical and biological properties of soil. Application of high rates organic fertilizer has a constraint namely the availability and ease of application. Therefore, it is necessary to learn the use of organic fertilizer with low rates to improve the efficiency of chemical fertilizers. This study aims to (1) study the effect of the application of organic + inorganic fertilizer on growth and yield of paddy rice, and (2) study the effect of low rates organic fertilizer to increase the efficiency of N, P, and K inorganic fertilizer.

Field experiment was conducted at Rice Research Babakan Laboratory, University Farm IPB, Bogor, West Java in September 2013 to January 2014. The experiment used Randomized Block Design consisted of two factors: rates of organic fertilizer (0, 250, 500, 750 and 1 000 kg ha-1), and rates of compound (30:6:8) inorganic fertilizer (0, 100, 200, 300 and 400 kg ha-1). The total number of treatments were 25 combinations of treatments, each treatment was repeated three times to obtain 75 experimental units. Analysis of the data using analysis of variance; if the differences were significant (p<0.05) followed by Duncan's Multiple Range Test.

The results suggested that the interaction between organic fertilizer + inorganic fertilizer had no significant effect on variables observed. The effect of organic fertilizer rates were not significant on all variables, on the contrary inorganic fertilizer significantly increased most variables. Application of organic fertilizer can increase the efficiency of N, P, and K inorganic fertilizer. The highest N efficiency (89.19%) at a rate of 500 kg organic fertilizer ha-1 + 300 inorganic fertilizer kg ha-1, whereas the highest efficiency of P and K (69.55% and 92.52%) at a rate of 750 kg organic fertilizer ha-1+ 300 kg inorganic fertilizer ha-1. Application of inorganic fertilizer at rate of 300 kg ha-1paddy rice is enough when combined with 500 kg organic fertilizer ha-1.

(6)

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan IPB

(7)

PERAN PUPUK ORGANIK DALAM

PENINGKATAN EFISIENSI PUPUK ANORGANIK

PADA PADI SAWAH (

Oryza sativa

L.)

TOTONG SISWANTO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Agronomi dan Hortikultura

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)
(10)

pada Padi Sawah (Oryza sativa L.) Nama : Totong Siswanto

NIM : A252120281

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Sugiyanta, MSi Ketua

Dr Ir Maya Melati, MS, MSc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Agronomi dan Hortikultura

Dr Ir Maya Melati, MS, MSc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2013 ini adalah Peran Pupuk Organik dalam Peningkatan Efisiensi Pupuk Anorganik pada Padi Sawah (Oryza sativa L.).

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan kepada Dr Ir Sugiyanta, MSi dan Dr Ir Maya Melati, MS, MSc sebagai ketua dan anggota komisi pembimbing, Dr Ir Iskandar Lubis, MS dan Dr Ani Kurniawati, SP, MSi sebagai penguji luar komisi, Dr Ir Agus Purwito MS sebagai ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura, serta semua staf Departemen Agronomi dan Hortikultura yang telah banyak membantu. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak H Rudy Erawan, SE, MSi selaku Bupati Halmahera Timur yang telah memberikan rekomendasi untuk Program Tugas Belajar tahun 2012 Kabupaten Halmahera Timur dan Direktur Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kementrian Keuangan Republik Indonesia yang telah membantu dalam pembiayaan penelitian.

Ungkapan rasa hormat dan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Istri tercinta Wiwin Widiani, Ananda Sabrina Balqis Dzakiyyah, Ayah, Ibu, serta seluruh keluarga atas segala do’a, kasih sayang, perhatian, dan dukungannya baik moril maupun materil selama perkuliahan, penelitian, dan penulisan tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih teman-teman Pascasarjana Program Studi Agronomi dan Hortikultura angkatan 2012 dan semua pihak yang telah membantu namun tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.

Bogor, Juli 2014

(12)

DAFTAR TABEL x

DAFTAR GAMBAR xi DAFTAR LAMPIRAN xi 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2 Hipotesis Penelitian 2 2 TINJAUAN PUSTAKA 3

Tanaman Padi 3

Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman Padi 4

Karakteristik Lahan Sawah 6

Pupuk Organik 6

Pupuk NPK Anorganik 12

3 BAHAN DAN METODE 14 Tempat dan Waktu 14 Bahan dan Alat 14 Metode Penelitian 14 Pelaksanaan Penelitian 15 Prosedur Analisis Data 17 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 18

Kondisi Umum 18

Rekapitulasi Sidik Ragam 18

Pengaruh Pemupukan Organik dan Anorganik terhadap Pertumbuhan dan Hasil Padi sawah 20

Tinggi Tanaman 20

Jumlah Anakan 21

Bobot Kering Akar 22

Bobot Kering Tajuk 23

Nisbah Tajuk/Akar 24

Luas Daun 24

Laju Tumbuh Relatif dan Laju Asimilasi Bersih 25

Komponen Hasil 26

Gabah Kering Panen dan Gabah Kering Giling 28

Kadar Unsur Hara N, P, dan K Tanaman 29

(13)

DAFTAR ISI (lanjutan)

Efisiensi Pemupukan N, P, dan K 34

Analisis Kadar Hara Tanah 35

Pembahasan 37

Pengaruh Pemupukan terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman

Padi Sawah 37

Efisiensi Pemupukan N, P, dan K 38

Kadar Unsur Hara Tanah 39

5 KESIMPULAN 40

Kesimpulan 40

DAFTAR PUSTAKA 41

LAMPIRAN 45

DAFTAR TABEL

1 Rekapitulasi hasil sidik ragam 19

2 Pengaruh pupuk organik dan anorganik terhadap tinggi tanaman 20 3 Pengaruh pupuk organik dan anorganik terhadap jumlah anakan 21 4 Pengaruh pupuk organik dan anorganik terhadap bobot kering akar 22 5 Pengaruh pupuk organik dan anorganik terhadap bobot kering tajuk 23 6 Pengaruh pupuk organik dan anorganik terhadap nisbah tajuk/akar 24 7 Pengaruh pupuk organik dan anorganik terhadap luas daun 24 8 Pengaruh pupuk organik dan anorganik terhadap laju tumbuh relatif dan

laju asimilasi bersih 25

9 Pengaruh pupuk organik dan anorganik terhadap komponen hasil 27 10 Pengaruh pupuk organik dan anorganik terhadap gabah kering panen

dan gabah kering giling 28

11 Pengaruh pupuk organik dan anorganik terhadap kadar unsur hara N

pada jerami dan gabah saat panen 29

12 Pengaruh pupuk organik dan anorganik terhadap kadar unsur hara P

pada jerami dan gabah saat panen 30

13 Pengaruh pupuk organik dan anorganik terhadap kadar unsur hara K

pada jerami dan gabah saat panen 30

14 Pengaruh pupuk organik dan anorganik terhadap serapan unsur hara N

pada jerami dan gabah saat panen 31

15 Pengaruh pupuk organik dan anorganik terhadap serapan unsur hara P

pada jerami dan gabah saat panen 32

16 Pengaruh pupuk organik dan anorganik terhadap serapan unsur hara K

(14)

17 Pengaruh aplikasi dosis pupuk organik dan anorganik terhadap efisiensi

pemupukan N, P, dan K padi sawah 34

18 Hasil analisis kandungan pH, C-organik, dan KTK tanah di akhir

penelitian 35

19 Hasil analisis kandungan N-total, P, dan K tanah di akhir penelitian 36

DAFTAR GAMBAR

20 Hubungan dosis pupuk anorganik dengan tinggi tanaman 21 21 Hubungan dosis pupuk anorganik dengan jumlah anakan 22 22 Hubungan dosis pupuk anorganik dengan bobot kering tajuk 16 MST 23 23 Hubungan dosis pupuk anorganik dengan luas daun 25 24 Hubungan dosis pupuk anorganik dengan laju tumbuh relatif 6-8 MST 26 25 Hubungan dosis pupuk anorganik dengan anakan produktif 27 26 Hubungan dosis pupuk anorganik dengan panjang malai 27 27 Hubungan dosis pupuk anorganik dengan jumlah gabah malai-1 27 28 Hubungan dosis pupuk anorganik dengan GKP dan GKG (ton ha-1) 28

DAFTAR LAMPIRAN

29 Deskripsi karakteristik padi varietas ciherang 46

30 Kriteria penilaian sifat-sifat kimia tanah 46

31 Hasil analisis tanah awal penelitian 47

32 Hasil analisis pupuk kandang sapi 47

(15)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Padi merupakan komoditas tanaman pangan yang mempunyai fungsi penting dalam pembangunan pertanian karena merupakan bahan makanan pokok bagi sebagian besar masyarakat Indonesia (96.87% penduduk) dan merupakan penyumbang lebih dari 60-80% kalori dan 45-55% protein. Produksi padi Indonesia masih tergolong rendah, padahal permintaan beras semakin meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan peningkatan jumlah penduduk.

Produksi padi nasional tahun 2012 sebesar 69.06 juta ton Gabah Kering Giling (GKG) dan terjadi kenaikan produksi padi tahun 2013 sebesar 2.23 juta ton (3.23%) menjadi 71.29 juta ton GKG. Kenaikan produksi tersebut terjadi karena adanya peningkatan luas panen seluas 391.69 ribu hektar (2.91%) dan produktivitas sebesar 0.16 kuintal ha-1 (0.31%) (BPS 2014). Laju pertumbuhan penduduk rata-rata Indonesia 1.49% dan setiap penduduk mengkonsumsi beras 135 kg per kapita per tahun, agar bisa memenuhi kebutuhan penduduk setiap tahun Indonesia harus bisa menambah produksi padi 3 juta ton GKG setara dengan 1.8 juta ton beras. Namun demikian, perluasan lahan untuk produksi padi tidak mungkin terus dilakukan karena besarnya lahan non pertanian dan keterbatasan lahan yang sesuai untuk padi sawah.

Revolusi hijau melahirkan varietas unggul berdaya hasil tinggi (high yielding varieties) yang responsif terhadap pemupukan. Selanjutnya pupuk anorganik menjadi komponen utama sarana produksi untuk mencapai produktivitas yang tinggi tanpa mengaplikasikan bahan organik. Menurut Suriadikarta dan Simanungkalit (2006) dampak dari penggunaan pupuk anorganik secara intensif terlihat pada penurunan bahan organik tanah. Sugiyanta et al. (2008) menyatakan bahwa aplikasi pupuk anorganik berdosis tinggi dan tidak mengaplikasikan bahan organik menyebabkan kadar bahan organik tanah menjadi sangat rendah dan menjadi pembatas untuk mencapai hasil padi sawah yang tinggi. Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 40/2007 merekomendasikan pengembalian bahan organik atau pemberian pupuk organik yang dikombinasikan dengan pupuk anorganik dengan tujuan untuk memperbaiki kondisi dan kesuburan tanah serta meningkatkan efisiensi pemupukan (Badan Litbang Pertanian 2010). Pupuk organik memiliki peran antara lain : meningkatkan kadar hara, meningkatkan kemampuan kimiawi, meningkatkan kemampuan fisika, dan meningkatkan aktivitas mikrob tanah (Stevenson 1982; Yang et al. 2004; Syukur 2005; Suriadikarta dan Simanungkalit 2006; Leszczynska dan Malina 2011). Sugiyanta (2008); Widowati (2009) aplikasi pupuk organik dapat meningkatkan efisiensi pemupukan.

(16)

Hasil penelitian Sugiyanta et al. (2008) menunjukkan bahwa penambahan ½ dosis pupuk anorganik (125 kg urea ha-1, 50 kg SP-36 ha-1dan 50 kg KCl ha-1) + aplikasi 7.5 ton jerami ha-1menghasilkan serapan unsur hara dan hasil gabah yang sama dengan perlakuan pupuk anorganik dosis rekomendasi. Hasil penelitian Rochmah (2009) menunjukkan bahwa hasil gabah ubinan dan dugaan hasil ton ha

-1

pada perlakuan 10 ton pupuk kandang ha-1 + 1 dosis pupuk anorganik (200 kg urea ha-1 + 100 kg SP36 ha-1 + 100 kg KCl ha-1) tidak berbeda dengan pemupukan 5 ton pupuk kandang ha-1 + 1 dosis pupuk anorganik. Hasil tersebut menunjukkan bahwa aplikasi pupuk organik dapat mengefisienkan pupuk anorganik sekitar 50% dan pengurangan dosis pupuk kandang hingga 50% tidak berpengaruh nyata terhadap hasil padi sawah. Hal ini mengindikasikan bahwa 45-50% penyediaan hara N, P, dan K berasal dari perbaikan sifat fisik dan biologi tanah bukan seluruhnya sumbangan hara dari pupuk organik, karena pupuk organik memiliki kadar hara rendah. Unsur hara dari pupuk organik relatif kecil sekitar 0-5% tergantung dari tingkat mineralisasinya.

Aplikasi pupuk organik dengan dosis tinggi memiliki kendala yaitu ketersediaan dan kemudahan dalam aplikasi. Oleh karena itu, perlu dipelajari penggunaan pupuk organik dengan dosis yang rendah untuk meningkatkan efisiensi pemupukan anorganik. Informasi mengenai jenis dan dosis pupuk organik + anorganik yang tepat akan bermanfaat dalam peningkatan efisiensi pemupukan N, P, dan K anorganik sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil padi sawah dengan optimal.

Tujuan Penelitian

1. Mempelajari pengaruh aplikasi dosis pupuk organik + anorganik terhadap pertumbuhan dan hasil padi sawah.

2. Mempelajari pengaruh aplikasi pupuk organik dengan dosis rendah terhadap peningkatan efisiensi pemupukan N, P, dan K anorganik.

Manfaat Penelitian

Penelitian diharapkan akan menghasilkan teknologi yang dapat meningkatkan hasil padi sawah dan efisiensi pemupukan N, P, dan K anorganik. Informasi tersebut akan membantu pengembangan strategi dan kebijakan peningkatan produksi padi sawah untuk mendukung peningkatan produksi beras nasional.

Hipotesis Penelitian

1. Aplikasi pupuk organik + anorganik akan meningkatkan produksi padi sawah yang lebih tinggi dibandingkan penggunaan pupuk anorganik saja.

(17)

3

2 TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Padi (Oryza sativa L.)

Bagian tanaman padi meliputi daun, batang, akar, anakan, bunga, malai, dan gabah. Daun tanaman padi berselang seling, satu daun pada setiap buku. Helaian daun terletak pada pada batang padi, bentuknya memanjang seperti pita. Panjang dan lebar helaian daun tergantung pada jenis varietas. Pelepah daun (upih) merupakan bagian daun yang menyelubungi batang. Lidah daun terletak berbatasan antara helaian daun dan pelepah daun. Panjang lidah daun berbeda-beda tergantung pada varietas. Fungsi lidah daun untuk mencegah masuknya air hujan di antara batang dan upih (Hanum 2008). Adanya telinga dan lidah daun pada padi dapat digunakan untuk membedakan rumput-rumputan pada stadia bibit (seedling) karena daun rumput-rumputan hanya memiliki lidah daun atau tidak ada sama sekali (Makarim dan Ikhwani 2008).

Daun teratas disebut dengan daun bendera, satu daun pada awal fase pertumbuhan memerlukan waktu 4-5 hari untuk tumbuh secara penuh, sedangkan pada fase tumbuh selanjutnya diperlukan waktu yang lebih lama 8-9 hari. Jumlah daun pada tiap tanaman tergantung varietas (Yoshida 1981). Bertambahnya luas daun pada tanaman disebabkan oleh dua faktor yaitu peningkatan jumlah anakan dan meningkatnya jumlah daun (Wahyuti 2012).

Makarim dan Ikhwani (2008) menyatakan tanaman padi memiliki pola anakan berganda (anak-beranak). Dari batang utama akan tumbuh anakan primer yang sifatnya heterotropik sampai anakan tersebut memiliki 6 daun. Kapasitas anakan merupakan salah satu sifat utama yang penting pada varietas-varietas unggul. Tanaman bertipe anakan banyak cocok untuk berbagai keragaman jarak tanam karena dengan anakan yang banyak mampu menggantikan rumpun-rumpun yang mati dan mencapai luas daun dengan cepat (Yoshida 1981).

Bunga padi secara keseluruhan disebut malai, tiap unit bunga pada malai dinamakan spikelet. Tiap unit bunga pada malai terletak pada cabang-cabang yang terdiri atas cabang primer dan sekunder. Malai terdiri atas 8-10 buku yang menghasilkan cabang-cabang primer dan cabang primer selanjutnya menghasilkan cabang skunder. Tangkai butir padi (pedicel) tumbuh dari buku-buku cabang primer maupun cabang sekunder (Yoshida 1981). Butir padi yang terbungkus kulit luar (sekam) disebut gabah. Bobot gabah beragam dari 12-44 mg, sedangkan bobot kulit luar rata-rata adalah 20% bobot gabah. Faktor konversi dari gabah ke beras adalah 0.6 dan dari beras pecah kulit ke gabah adalah 1.25 dan faktor konversi tersebut tergantung varietas (Yoshida 1981).

(18)

(125-150 HSS), genjah (105-124 HSS), sangat genjah (90-104 HSS), ultra genjah (<90 HSS) (BB Padi 2004).

Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman Padi

Menurut De Datta (1981) pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi dikelompokkan menjadi tiga fase yaitu :

1. Fase Vegetatif (vegetatif stage)

a. Tahap perkecambahan benih (germination)

Pada tahap ini benih dikecambahkan melalui perendaman selama 24 jam dan diinkubasi juga selama 24 jam. Setelah berkecambah bakal akar dan tunas menonjol keluar menembus kulit gabah. Pada hari kedua atau ketiga setelah benih disebar ke pesemaian, daun pertama menembus keluar melalui koleoptil. Akhir tahap awal memperlihatkan daun pertama yang muncul masih melengkung dan bakal akar memanjang.

b. Tanap pertunasan (seedling stage)

Tahap pertunasan mulai dari benih berkecambah sampai dengan sebelum anakan pertama muncul. Selama tahap ini, akar seminal dan lima daun terbentuk, sementara tunas terus tumbuh, dua daun lagi terbentuk. Daun terus berkembang pada kecepatan satu daun tiap 3-4 hari selama tahap awal pertumbuhan. Kemunculan akar sekunder membentuk sistem perakaran serabut permanen dengan cepat menggantikan radikula dan akar seminal sementara. Bibit umur 12-18 hari siap dipindah tanam, bibit memiliki 5 daun dan sistem perakaran yang berkembang pesat.

c. Tahap pembentukan anakan (tillering stage)

Tahap anakan berlangsung sejak munculnya anakan pertama sampai pembentukan anakan maksimum tercapai. Anakan muncul dari tunas aksial (axillary) pada buku batang dan menggantikan tempat daun serta tumbuh dan berkembang. Setelah tumbuh, anakan pertama memunculkan anakan sekunder. Ini terjadi pada 30 hari setelah pindah tanam. Selain sejumlah anakan primer dan sekunder, anakan tersier tumbuh dari anakan sekunder seiring pertumbuhan tanaman yang bertambah panjang dan besar. Pada tahap ini, anakan terus bertambah sampai pada titik dimana sukar dipisahkan dari batang utama. Anakan terus berkembang sampai tanaman memasuki tahap pertumbuhan berikutnya yaitu pemanjangan batang.

d. Tahap pemanjangan batang (stem elongation)

(19)

5

2. Fase Reproduktif (reproduktive stage)

a. Tahap pembentukan inisiasi bunga (panicle initiation)

Inisiasi primordia malai ada ujung tunas tumbuh menandai mulainya fase reproduksi. Primordia malai terjadi kasat mata pada sekitar 10 hari setelah inisiasi. Pada tahap ini, tiga daun masih akan muncul sebelum malai pada akhirnya timbul kepermukaan. Pada varietas genjah, malai terlihat berupa kerucut berbulu putih panjang 1.0-1.5 mm muncul pada ruas buku utama, kemudian pada anakan dengan pola tiak teratur. Dapat terlihat dengan membelah batang saat malai terus berkembang bulir terlihat dan dapat dibedakan. Malai muda meningkat dalam ukuran dan berkembang ke atas di dalam pelepah daun bendera menyebabkan pelepah daun menggembung. Penggembungan daun bendera disebut bunting. Bunting terjadi pertama kali pada ruas batang utama. Pada tahap bunting, ujung daun layu (menjadi tua dan mati) dan anakan non produktif terlihat pada bagian dasar tanaman.

b. Tahap keluar malai (heading stage)

Tahap keluar malai ditandai dengan kemunculan ujung malai dari pelepah daun bendera. Malai terus berkembang sampai keluar seutuhnya dari pelepah daun. Akhir fase ini adalah tahap pembungaan yang dimulai ketika serbuk sari menonjol keluar dari bulir dan terjadi proses pembuahan.

c. Tahap pembungaan (flowering stage)

Pada pembungaan, kelopak bunga terbuka antena menyembul keluar dari kelopak bunga karena pemanjangan stamen dan serbuk sari tumpah, kemudian kelopak bunga menutup. Serbuk sari jatuh ke putik sehingga terjadi pembuahan. Struktur pistil berbulu dimana tube tepung sari dari serbuk sari yang muncul akan mengembang ke ovari. Proses pembungaan berlanjut sampai hampir semua spikelet pada malai mekar. Pembungaan terjadi sehari setelah keluarnya malai. Pada umumnya kelopak bunga membuka pada pagi hari. Semua spikelet pada malai membuka dalam 7 hari. Pada pembungaan 3-5 daun masih aktif. Anakan pada tanaman padi ini telah dipisahkan pada saat dimulainya pembungaan dan dikelompokkan ke dalam anakan produktif dan non produktif.

3. Fase Pemasakan/Pematangan (ripening stage).

a. Tahap matang susu (milk grain stage)

Pada tahap ini, gabah mulai terisi dengan cairan serupa susu. Gabah mulai terisi dengan larutan putih susu dapat dikeluarkan dengan menekan/menjepit gabah diantara dua jari. Malai hijau dan mulai merunduk. Pelayuan (senscense) pada dasar anakan berlanjut. Daun bendera dan daun di bawahnya tetap hijau.

b. Tahap setengah matang (dough grain stage)

Pada tahap ini, isi gabah yang menyerupai susu berubah menjadi gumpalan lunak dan akhirnya mengeras. Gabah pada malai mulai menguning. Pelayuan (senescense) dari anakan dan daun bagian dasar tanaman tanpak semakin jelas. Pertanaman kelihatan menguning seiring menguningnya malai. Ujung dua daun terakhir setiap anakan akan mengering.

c. Tahap gabah matang penuh (mature grain stage)

(20)

sebagian varietas ada yang tetap hijau). Sejumlah daun yang mati terakumulasi pada bagian dasar tanaman. Berbeda dengan tahap awal pemasakan, pada tahap ini air tidak diperlukan lagi, tanah dibiarkan pada kondisi kering. Periode pematangan, dari tahap masak susu hingga gabah matang penuh atau masak fisiologis berlangsung selama sekitar 35 hari.

Karakteristik Lahan Sawah

Perubahan kimia tanah sawah berkaitan erat dengan proses oksidasi reduksi (redoks) dan aktivitas mikroba tanah. Kedua proses ini sangat menentukan tingkat ketersedian hara dan produktifitas tanah sawah. Proses kimia yang disebabkan oleh penggenangan tanah sawah sangat mempengaruhi dinamika dan ketersediaan hara padi. Keadaan reduksi akibat penggenangan akan merubah aktifitas mikroba tanah dimana mikroba aerob akan digantikan oleh mikroba anaerob, yang menggunakan sumber energi dari senyawa teroksidasi yang mudah direduksi yang berperan sebagai elektron seperti ion NO-, SO43-, Fe3+ dan Mn4+ (Prasetyo et al.

2004).

Kimia tanah sangat penting hubungannya dengan teknologi pemupukan yang efisien. Aplikasi pupuk baik jenis, takaran, waktu, dan cara harus mempertimbangkan sifat kimia tersebut. Sebagai contoh adalah pemupukan nitrogen dimana jenis, waktu, dan cara pemberian harus memperhatikan perubahan perilaku hara nitrogen pada lahan sawah agar pemupukan lebih efisien. Sumber pupuk N disarankan dalam bentuk ammonium dimasukan ke dalam lapisan reduksi dan diberikan dua sampai tiga kali (Adiningsih et al. 2004).

Sifat fisik tanah sangat menentukan kesesuaian suatu lahan dijadikan lahan sawah. Identifikasi dan karakterisasi sifat fisik tanah mineral memberikan informasi untuk penilaian kesesuaian lahan terutama dalam hubungannya dengan efisiensi penggunaan air. Jika lahan akan disawahkan sifat tanah yang penting yang penting untuk diperhatikan adalah tekstur, struktur, permeabilitas, drainase, dan tinggi muka air tanah. Sifat-sifat tersebut sangat berhubungan erat dengan pelumpuran dan efisiensi penggunaan air (Prasetyo et al. 2004).

Karakteristik tanah sawah dapat diamati seperti tebal horizon, tekstur, kadar bahan organik, kandungan hara tanaman, dan kemampuan mengikat air. Tanah mempunyai karakteristik yang berbeda-beda pada masing-masing horizon dan profil tanah. Kualitas tanah merupakan hasil interaksi antara karateristik tanah, penggunaan tanah, dan keadaan lingkungan. Petani tidak dapat merubah karakteristik tanah akan tetapi menyesuaikan prakteknya dengan kemampuan tanah (Darmawijaya 1997).

Pupuk Organik

(21)

7 bahan organik tanah serta memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah (Deptan 2011). Menurut Bayer et al. (2002) pupuk organik merupakan pupuk yang berasal dari sisa bahan organik yang telah dikomposkan, baik dari sisa-sisa tumbuhan maupun hewan dengan bantuan mikroba esensial untuk proses dekomposisi.

Hasil penelitian Suriadikarta dan Simanungkalit (2006) menunjukkan bahwa sebagian lahan pertanian intensif menurun produktivitasnya dan telah mengalami degradasi lahan, terutama sangat terkait dengan rendahnya kandungan C-organik dalam tanah yaitu <2%, bahkan pada banyak lahan intensif di pulau Jawa kandungannya <1%. Padahal untuk memperoleh produktivitas optimal dibutuhkan C-organik >2.5%. Sebagai negara tropika basah Indonesia memiliki sumber bahan organik sangat melimpah, tetapi belum dimanfaatkan secara optimal. Menurut Badan Litbang Pertanian (2006) bahan organik sangat bermanfaat bagi peningkatan produksi pertanian baik kualitas maupun kuantitas, mengurangi pencemaran lingkungan, dan meningkatkan kualitas lahan secara berkelanjutan.

Beberapa hasil penelitian melaporkan peranan pupuk organik antara lain :

1. Peranan pupuk organik terhadap sifat fisik tanah

a. Struktur tanah

Pupuk organik tanah merupakan salah satu bahan pembentuk agregat tanah, yang mempunyai peran sebagai bahan perekat antar partikel tanah untuk bersatu menjadi agregat tanah, sehingga bahan organik penting dalam pembentukan struktur tanah. Pengaruh pemberian bahan organik terhadap struktur tanah sangat berkaitan dengan tekstur tanah yang diperlakukan. Pada tanah lempung yang berat, terjadi perubahan struktur gumpal kasar dan kuat menjadi struktur yang lebih halus tidak kasar, dengan derajat struktur sedang hingga kuat, sehingga lebih mudah untuk diolah. Komponen organik seperti asam humat dan asam fulvat dalam hal ini berperan sebagai sementasi pertikel lempung dengan membentuk komplek lempung-logam-humus (Stevenson 1982). Pada tanah pasir pupuk organik dapat diharapkan merubah struktur tanah dari berbutir tunggal menjadi bentuk gumpal, sehingga meningkatkan derajat struktur dan ukuran agregat atau meningkatkan kelas struktur dari halus menjadi sedang atau kasar (Scholes et al. 1994). Bahkan bahan organik dapat mengubah tanah yang semula tidak berstruktur (pejal) dapat membentuk struktur yang baik atau remah, dengan derajat struktur yang sedang hingga kuat (Stevenson 1982).

(22)

dengan gugus positif (gugus amina, amida, dan amino) senyawa organik berantai panjang (polimer). Hasil penelitian Pertoyo (1999) menunjukkan bahwa asam humat lebih berpengaruh pada pembentukkan agregat di regosol, yang ditunjukkan oleh meningkatnya kemantapan agregat tanah.

b. Porositan tanah

Porositas tanah adalah ukuran yang menunjukkan bagian tanah yang tidak terisi bahan padat tanah yang terisi oleh udara dan air. Pori-pori tanah dapat dibedakan menjadi pori mikro, pori meso, dan pori makro. Pori-pori mikro sering dikenal sebagai pori kapiler, pori meso dikenal sebagai pori drainase lambat, dan pori makro merupakan pori drainase cepat. Tanah pasir yang banyak mengandung pori makro sulit menahan air, sedang tanah lempung yang banyak mengandung pori mikro drainasenya jelek. Pori dalam tanah menentukan kandungan air dan udara dalam tanah serta menentukan perbandingan tata udara dan tata air yang baik. Penambahan pupuk organik pada tanah kasar (berpasir), akan meningkatkan pori yang berukuran menengah dan menurunkan pori makro. Dengan demikian aplikasi pupuk organik akan meningkatkan kemampuan menahan air (Stevenson, 1982).

Hasil penelitian Herudjito (1999) menunjukkan bahwa penambahan bahan humat 1 persen pada latosol mampu meningkatkan 35.75% pori dari 6.07% menjadi 8.24% volume. Pada tanah halus lempungan, pemberian bahan organik akan meningkatkan pori meso dan menurunkan pori mikro. Dengan demikian akan meningkatkan pori yang dapat terisi udara dan menurunkan pori yang terisi air, artinya akan terjadi perbaikan aerasi untuk tanah lempung berat. Terbukti penambahan bahan organik (pupuk kandang) akan meningkatkan pori total tanah dan akan menurunkan berat volume tanah (Wiskandar 2002). Aerasi tanah sering terkait dengan pernafasan mikroorganisme dalam tanah dan akar tanaman, karena aerasi terkait dengan O2dalam tanah. Dengan demikian aerase

tanah akan mempengaruhi populasi mikrobia dalam tanah.

Pengaruh pupuk organik terhadap peningkatan porositas tanah di samping berkaitan dengan aerasi tanah, juga berkaitan dengan status kadar air dalam tanah. Penambahan pupuk organik akan meningkatkan kemampuan menahan air sehingga kemampuan menyediakan air tanah untuk pertumbuhan tanaman meningkat. Kadar air yang optimal bagi tanaman dan kehidupan mikroorganisme adalah sekitar kapasitas lapang. Penambahan pupuk organik di tanah pasiran akan meningkatkan kadar air pada kapasitas lapang, akibat dari meningkatnya pori yang berukuran menengah (meso) dan menurunnya pori makro, sehingga daya menahan air meningkat dan berdampak pada peningkatan ketersediaan air untuk pertumbuhan tanaman (Scholes et al. 1994). Hasil penelitian Tejasuwarna (1999) menunjukkan bahwa penambahan pupuk kandang pada tanah andisol mampu meningkatkan pori memegang air sebesar 4.73% (69.8% menjadi 73.1%).

(23)

9 Di samping itu, dengan meningkatnya kapasitas infiltrasi air akan berdampak pada aliran permukaan dapat diperkecil sehingga erosi dapat berkurang (Stevenson 1982).

2. Peranan pupuk organik terhadap kesuburan kimia tanah

a. Kapasitas Pertukaran Kation (KPK)

Penambahan pupuk organik akan meningkatkan muatan negatif sehingga akan meningkatkan KPK. Pupuk organik memberikan konstribusi yang nyata terhadap KPK tanah. Sekitar 20-70% kapasitas pertukaran tanah pada umumnya bersumber pada koloid humus, sehingga terdapat korelasi antara bahan organik dengan KPK tanah (Stevenson 1982). KPK menunjukkan kemampuan tanah untuk menahan kation dan mempertukarkan kation-kation tersebut termasuk kation-kation hara tanaman. Kapasitas pertukaran kation-kation penting untuk kesuburan tanah. Humus dalam tanah sebagai hasil proses dekomposisi pupuk organik merupakan sumber muatan negatif tanah, sehingga humus dianggap mempunyai susunan koloid seperti lempung, namun humus tidak semantap koloid lempung, dia bersifat dinamik, mudah dihancurkan dan dibentuk. Sumber utama muatan negatif humus sebagian besar berasal dari gugus karboksil (-COOH) dan fenolik (-OH) (Brady 1990). Hasil penelitian Cahyani (1996) menunjukkan bahwa penambahan jerami 10 ton ha-1 pada tanah ultisol mampu meningkatkan 15.18% KPK tanah (17.44 menjadi 20.08 cmol (+) kg-1).

Muatan koloid humus bersifat berubah-ubah tergantung dari nilai pH larutan tanah. Dalam suasana sangat masam (pH rendah), hidrogen akan terikat kuat pada gugus aktifnya yang menyebabkan gugus aktif berubah menjadi bermuatan positif (COOH2+ dan OH2+), sehingga koloid-koloid yang

bermuatan negatif menjadi rendah, akibatnya KPK turun. Sebaliknya dalam suasana alkali (pH tinggi) larutan tanah banyak OH- akibatnya terjadi pelepasan H+dari gugus organik dan terjadi peningkatan muatan negatif (COO -dan O-) sehingga KPK meningkat. Hasil penelitian Sufardi et al. (1999) menunjukkan bahwa penggunaan bahan organik (kompos) memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap karakteristik muatan tanah masam (ultisol) dibanding dengan pengapuran.

Fraksi organik dalam tanah berpotensi dapat berperan untuk menurunkan kandungan pestisida secara non biologis, yaitu dengan cara mengadsopsi pestisida dalam tanah. Mekanisme ikatan pestisida dengan bahan organik tanah dapat melalui : pertukaran ion, protonisasi, ikatan hidrogen, gaya vander Waal’s,dan ikatan koordinasi dengan ion logam (pertukaran ligan). Tiga faktor yang menentukan adsorbsi pestisida dengan bahan organic : (1) Karakteristik fisika-kimia adsorbenya (koloid humus), (2) Sifat pestisida, dan (3) Sifat tanah, yang meliputi kandungan bahan organik, kandungan dan jenis lempungnya, pH, kandungan kation tertukar, lengas, dan temperatur tanah (Stevenson, 1982). b. pH Tanah

(24)

tanah, karena selama proses dekomposisi akan melepaskan asam-asam organik yang menyebabkan menurunnya pH tanah. Namun apabila diberikan pada tanah yang masam dengan kandungan Al tertukar tinggi, akan menyebabkan peningkatan pH tanah, karena asam-asam organik hasil dekomposisi akan mengikat Al membentuk senyawa komplek (khelat), sehingga Al-tidak terhidrolisis lagi. Hasil penelitian Cahyani (1996); Dewi (1996); Suntoro (2001) menunjukkan bahwa penambahan pupuk organik pada tanah masam, antara lain inseptisol, ultisol, dan andisol mampu meningkatkan pH tanah dan mampu menurunkan Al tertukar tanah. Peningkatan pH tanah juga akan terjadi apabila bahan organik yang kita tambahkan telah terdekomposisi lanjut (matang), karena bahan organik yang telah termineralisasi akan melepaskan mineralnya, berupa kation-kation basa.

c. Ketersediaan hara tanah

Peran pupuk organik terhadap ketersediaan hara dalam tanah tidak terlepas dengan proses mineralisasi yang merupakan tahap akhir dari proses perombakan pupuk organik. Dalam proses mineralisasi akan dilepas mineral-mineral hara tanaman dengan lengkap (N, P, K, Ca, Mg dan S, serta hara mikro) dalam jumlah tidak tentu dan relatif kecil. Hara N, P, dan S merupakan hara yang relatif lebih banyak untuk dilepas dan dapat digunakan tanaman. Pupuk organik sumber nitrogen (protein) pertama akan mengalami peruraian menjadi asam-asam amino yang dikenal dengan proses aminisasi, yang selanjutnya oleh sejumlah besar mikrobia heterotrofik mengurai menjadi amonium yang dikenal sebagai proses amonifikasi. Amonifikasi ini dapat berlangsung hampir pada setiap keadaan, sehingga amonium merupakan bentuk nitrogen anorganik (mineral) yang utama dalam tanah (Tisdale dan Nelson 1974; Leiwakabessy dan Sutandi 2000).

Amonium secara langsung diserap dan digunakan tanaman untuk pertumbuhan atau oleh mikroorganisme untuk segera dioksidasi menjadi nitrat yang disebut dengan proses nitrifikasi. Nitrifikasiadalah proses bertahap yaitu proses nitritasi yang dilakukan oleh bakteri Nitrosomonas dengan menghasilkan nitrit, yang segera diikuti oleh proses oksidasi berikutnya menjadi nitrat yang dilakukan oleh bakteri Nitrobacter yang disebut dengan nitratasi. Nitrat merupakan hasil proses mineralisasi yang banyak disukai atau diserap oleh sebagian besar tanaman budidaya. Namun nitrat ini mudah tercuci melalui air drainase dan menguap ke atmosfer dalam bentuk gas (pada drainase buruk dan aerasi terbatas) (Leiwakabessy dan Sutandi 2000).

Pengaruh pupuk organik terhadap ketersediaan P dapat secara langsung melaui proses mineralisasi atau secara tidak langsung dengan membantu pelepasan P yang terfiksasi. Stevenson (1982) menjelaskan bahwa ketersediaan P di dalam tanah dapat ditingkatkan dengan penambahan bahan organik melalui 5 cara : (1) Melalui proses mineralisasi pupuk organik terjadi pelepasan P mineral (PO43-), (2) Melalui aksi dari asam organik atau senyawa

pengkelat yang lain hasil dekomposisi, terjadi pelepasan fosfat yang berikatan dengan Al dan Fe yang tidak larut menjadi bentuk terlarut,

Al (Fe)(H2O)3(OH)2H2PO4+ Khelat ====> PO4

(25)

11 (3) Pupuk organik akan mengurangi jerapan fosfat karena asam humat dan asam fulvat berfungsi melindungi sesquioksida dengan memblokir situs pertukaran, (4) Penambahan pupuk organik mampu mengaktifkan proses penguraian bahan organik asli tanah, dan (5) Membentuk kompleks fosfo-humat dan fosfo-fulvat yang dapat ditukar dan lebih tersedia bagi tanaman, sebab fosfat yang dijerap pada pupuk organik secara lemah.

Untuk tanah-tanah berkapur (agak alkalin) yang banyak mengandung Ca dan Mg fosfat tinggi, karena dengan terbentuk asam karbonat akibat dari pelepasan CO2 dalam proses dekomposisi bahan organik, mengakibatkan

kelarutan P menjadi meningkat, dengan reaksi sebagai berikut : CO2 + H2O =====> H2CO3

H2CO3 + Ca3(PO4)2 =====> CaCO3+ H2PO4

-Asam-asam organik hasil proses dekomposisi pupuk organik juga dapat berperan sebagai bahan pelarut batuan fosfat, sehingga fosfat terlepas dan tersedia bagi tanaman. Hasil proses penguraian dan mineralisasi pupuk organik, di samping akan melepaskan fosfor anorganik (PO43-) juga akan melepaskan

senyawa-senyawa P-organik seperti fitine dan asam nucleic, dan diduga senyawa P-organik ini, tanaman dapat memanfaatkannya. Proses mineralisasi pupuk organik akan berlangsung jika kandungan P bahan organik tinggi, yang sering dinyatakan dalam nisbah C/P. Jika kandungan P bahan tinggi, atau nisbah C/P rendah kurang dari 200, akan terjadi mineralisasi atau pelepasan P ke dalam tanah, namun jika nisbah C/P tinggi lebih dari 300 justru akan terjadi imobilisasi P atau kehilangan P (Stevenson 1982).

Pupuk organik disamping berperan terhadap ketersediaan N dan P, juga berperan terhadap ketersediaan S dalam tanah. Di daerah humida, S-protein, merupakan cadangan S terbesar untuk keperluan tanaman. Mineralisasi bahan organik akan menghasilkan sulfida yang berasal dari senyawa protein tanaman. Di dalam tanaman, senyawa sestein dan metionin merupakan asam amino penting yang mengandung sulfur penyusun protein (Mengel dan Kirkby 1987). Protein tanaman mudah sekali dirombak oleh jasad mikro. Belerang (S) hasil mineralisasi bahan organik, bersama dengan N, sebagian S diubah menjadi mantap selama pembentukan humus. Di dalam bentuk mantap ini, S akan dapat terlindung dari pembebasan cepat (Brady 1990). Seperti halnya pada N dan P, proses mineralisasi atau imobilisasi S ditentukan oleh nisbah C/S bahan organiknya. Jika nisbah C/S bahan tanaman rendah yaitu kurang dari 200, maka akan terjadi mineralisasi atau pelepasan S ke dalam tanah, sedang jika nisbah C/S bahan tinggi yaitu lebih dari 400, maka justru akan terjadi imobilisasi atau kehilangan S (Stevenson 1982).

3. Peranan pupuk organik terhadap biologi tanah

(26)

fauna tanah juga berperan dalam dekomposi bahan organik antara lain yang tergolong dalam Protozoa, Nematoda, Collembola, dan cacing tanah. Fauna tanah ini berperan dalam proses humifikasi dan mineralisasi atau pelepasan hara, bahkan ikut bertanggung jawab terhadap pemeliharaan struktur tanah (Tian 1997).

Mikro flora dan fauna tanah ini saling berinteraksi dengan kebutuhannya akan pupuk organik, kerena pupuk organik menyediakan energi untuk tumbuh dan pupuk organik memberikan karbon sebagai sumber energi. Pengaruh positif yang lain dari penambahan bahan organik adalah pengaruhnya pada pertumbuhan tanaman. Terdapat senyawa yang mempunyai pengaruh terhadap aktivitas biologis yang ditemukan di dalam tanah adalah senyawa perangsang tumbuh (auxin) dan vitamin (Stevenson 1982). Senyawa-senyawa ini di dalam tanah berasal dari eksudat tanaman, pupuk kandang, kompos, sisa tanaman, dan juga berasal dari hasil aktivitas mikrobia dalam tanah. Di samping itu, diindikasikan asam organik dengan berat molekul rendah, terutama bikarbonat (suksinat, ciannamat, dan fumarat) hasil dekomposisi pupuk organik, dalam konsentrasi rendah dapat mempunyai sifat seperti senyawa perangsang tumbuh, sehingga berpengaruh positif terhadap pertumbuhan tanaman.

Pupuk NPK Anorganik

Pupuk NPK merupakan salah satu pupuk majemuk yang sering digunakan dalam budidaya tanaman padi sawah. Pupuk majemuk adalah pupuk yang mengadung dua atau lebih unsur hara dengan jumlah yang berbeda pada setiap kemasannya (Taiz dan Zeiger 2002). Pupuk majemuk memiliki keunggulan dibandingkan dengan pupuk tunggal yaitu mengandung lebih dari dua jenis hara, lebih praktis dalam pemesanan, transportasi, penyimpanan, aplikasi, dan lebih homogen dalam penyebaran pupuk (Purnomo 2010). Menurut Gunadi (1997) kerugian dari penggunaan pupuk NPK majemuk adalah sukar untuk memenuhi kebutuhan rekomendasi pupuk secara tepat apabila hanya menggunakan pupuk NPK majemuk saja.

Pemupukan anorganik yang penting untuk tanaman adalah pemupukan dengan kombinasi tiga unsur hara utama yaitu Nitrogen (N), Fosfor (P), dan Kalium (K) atau sering disebut dengan pupuk majemuk NPK (Wurts et al. 2005; Munawar 2011). Nitrogen adalah unsur hara utama bagi pertumbuhan tanaman, yang pada umumnya sangat diperlukan untuk pembentukan atau pertumbuhan bagan-bagian vegetatif tanaman (daun, batang, dan akar), meningkatkan kadar protein (asam amino) dalam tubuh tanaman, meningkatkan mikroorganisme tanah, meningkatkan kualitas tanaman penghasil daun, dan membuat daun lebih hijau (CFF 2011).

(27)

13 Konsentrasi nitrogen daun sangat erat kaitannya dengan laju fotosintesis daun dan produksi biomasa tanaman. Nitrogen juga mendorong kebutuhan akan unsur hara makro lainnya seperti P dan K (Doberman dan Fairhust 2000).

Selain nitrogen, tanaman padi juga membutuhkan fosfor dan kalium. Fosfor sangat berpengaruh terhadap perkembangan tanaman, hal ini karena fosfor banyak terdapat dalam sel tanaman berupa unit nukleutida. Unsur fosfor dapat menstimulir pertumbuhan dan perkembangan perakaran tanaman. Dari percobaan-percobaan pada tanah yang kekurangan fosfor, bila di pupuk fosfor ternyata pertambahan bagian akar lebih besar. Secara morfologis unsur fosfor mendorong perkembangan akar, pembungaan, dan pematangan biji. Kekurangan unsur fosfor pada tanaman padi akan menyebabkan tanaman kerdil, daun berwarna kekuningan dengan ciri-ciri mati dari ujung daun dan kemudian diikuti oleh pinggiran daunnya. Unsur fosfor tidak mobil dalam tanah terutama apabila pH rendah atau terlalu tinggi, akan tetapi unsur fosfor mobil dalam daun sehingga kekurangan unsur fosfor akan tercermin dari daun yang tua (Havlin et al. 1999). Hasil penelitian Syam dan Hermanto (1995) menunjukan bahwa 1.7 juta ha lahan sawah Indonesia berstatus akumulasi P2O5 sedang (20-40 mg P2O5 100 g-1 tanah), 1.5

juta ha tergolong tinggi (>40 mg P2O5100 g-1tanah), dan hanya 0.54 juta ha yang

tingkat akumulasinya rendah (<20 mg P2O5100 g-1tanah).

Kalium merupakan hara utama ketiga setelah nitrogen dan fosfor. Kalium mempunyai fungsi yang sangat penting pada proses fisiologis tanaman seperti aktifitas enzim, pengaturan sel turgor, fotosintesis, transport hasil fotosintesis, transport hara dan air, serta metabolisme pati dan protein (Sanyal dan Dhar 2006). Dobermann dan Fairhurst (2000) pengaruh unsur kalium pada tanaman padi adalah meningkatkan luas daun, kandungan klorofil daun, serta menunda senesen daun sehingga secara keseluruhan dapat meningkatkan kapasitas fotosintesis dan pertumbuhan tanaman. Unsur K juga berpengaruh terhadap jumlah Gabah/malai, persen gabah isi, dan bobot 1 000 butir gabah. Kekurangan unsur ini akan terlihat pada tanaman dengan gejala yaitu daun berubah menjadi mengerut terutama pada daun tua, kemudian timbul bercak-bercak berwarna merah cokelat, mengering lalu mati.

Hasil penelitian Purnomo (2010) aplikasi dosis 150 kg NPK majemuk ha-1 nyata meningkatkan pertumbuhan, bobot jerami, hasil gabah, dan kadar N dan P tanah. Selanjutnya dijelaskan juga bahwa aplikasi dosis 150 kg NPK majemuk ha

-1

(28)

3 BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Percobaan dilaksanakan di kebun percobaan IPB Babakan Sawah Baru Dramaga Bogor dengan ketinggian tempat 250 m dpl, pada bulan September 2013 sampai bulan Januari 2014. Analisis tanah, tanaman, dan pupuk dilakukan di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan (ITSL) Fakultas Pertanian IPB.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan yaitu benih padi varietas Ciherang yang diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Padi Muara Bogor dengan kebutuhan 15 kg ha-1, pupuk organik (pupuk kandang sapi diperkaya mikroba) dan pupuk anorganik NPK (30:6:8). Alat-alat yang digunakan yaitu alat budidaya, timbangan digital, dan alat pengukur luas daun (li-cor 3 000).

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) terdiri atas dua faktor yaitu dosis pupuk organik (O) dan dosis pupuk anorganik (A). Dosis pupuk organik terdiri atas lima taraf yaitu 0, 250, 500, 750 dan 1 000 kg ha-1. Dosis pupuk anorganik terdiri atas lima taraf yaitu 0, 100, 200, 300 dan 400 kg ha-1. Jumlah total perlakuan adalah 25 kombinasi perlakuan, tiap perlakuan diulang tiga kali sehingga diperoleh 75 satuan percobaan.

Model linier aditif dari rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut : Yijk = µ + αi + βj+ (αβ)ij +ρk + εijk

Keterangan :

Yijk = nilai pengamatan pada satuan percobaan yang mendapat perlakuan

dosis pupuk organik taraf ke-i dan dosis pupuk anorganik taraf ke-j pada kelompok ke-k

µ = rataan umum pengamatan

αi = pengaruh perlakuan dosis pupuk organik taraf ke-i

βj = pengaruh perlakuan dosis pupuk anorganik taraf ke-j

(αβ)ij = pengaruh interaksi antara perlakuan dosis pupuk organik taraf ke-i dan

dosis pupuk anorganik taraf ke-j

ρk = pengaruh kelompok ke-k

εijk = pengaruh acak dari perlakuan dosis pupuk organik taraf ke-i dan dosis

(29)

15

Pelaksanaan Penelitian

Pembuatan Pupuk Organik

Pupuk kandang sapi terlebih dahulu dikumpulkan pada tempat yang kering dan terlindung dari sinar matahari, kemudian pupuk kandang sapi dihancurkan hingga tidak berbentuk gumpalan, selanjutnya pupuk kandang sapi disusun secara berlapis dengan ketebalan 10-15 cm hingga maksimal ketinggian 1 m. Setiap lapis terlebih dahulu disiram dengan larutan dekomposer dengan perbandingan 5 ml l-1 hingga kadar air ± 40%, kemudian seluruh lapisan di tutup rapat dengan terpal. Proses dekomposisi berlangsung dengan cepat pada kondisi aerobsehingga suhu pupuk organik meningkat 35-40oC, ketika suhu mencapai 45-50% pupuk organik di bolak-balik agar udara masuk dan suhu turun. Lama fermentasi 4 minggu, selanjutnya pupuk organik siap digunakan.

Persiapan Lahan dan Pengolahan Tanah

Pengolahan tanah dilakukan 2 minggu sebelum tanam dengan sistem olah tanah sempurna, kemudian dicangkul, dan digaru hingga permukaan tanah rata. Selanjutnya dibuat petak percobaan sebanyak 75 petak dengan ukuran masing-masing sama yaitu 5 m x 5 m dengan lebar pematang 50 cm dan tinggi pematang 50 cm. Pengaturan air dilakukan sedemikian rupa mulai dari air masuk ke petak percobaan sampai keluar sehinga air yang keluar dari setiap petak percobaan tidak dapat masuk kembali, yaitu dengan membuat parit antar petak dengan kedalaman 40 cm untuk memisahkan antara air yang masuk dan keluar pada setiap petak percobaan.

Pesemaian

Sebelum disemai benih padi direndam satu malam dengan air agar benih mengalami imbibisi dan berkecambah serentak. Benih kemudian diperam selama 24 jam sehingga benih mulai berkecambah, kemudian disemai pada bak pesemaian yang telah dipersiapkan yaitu campuran tanah dan pupuk organik 1:1, tinggi tanah 4 cm, kemudian benih ditaburkan ke dalam tempat pesemaian dan ditutup tanah tipis.

Penanaman

Bibit yang telah berumur 12 Hari Setelah Semai (HSS) dipindahkan ke lahan, dengan jumlah bibit 1 bibit per lubang tanam (tanam tunggal) dan dangkal 1-1.5 cm, jajar legowo 2:1 yaitu antar barisan 25 cm, dalam barisan 12.5 cm, dan antar legowo 50 cm.

Pemupukan

(30)

Pemeliharaan

Pemeliharaan tanaman terdiri atas penyulaman dan penyiangan. Penyulaman dilakukan sampai 14 HST, sedangkan penyiangan gulma dilakukan secara manual dan menggunakan alat penyiangan khusus sosrok sebanyak 2 kali yaitu pada saat 15 dan 30 HST.

Panen

Panen dilakukan ketika 90-95% bulir padi menguning dan kadar air gabah sekitar 21-26%, sehingga umur tanaman padi sampai panen yaitu 112 HST. Pemanenan dilakukan dengan cara potong atas dengan menggunakan sabit, kemudian dilakukan perontokan dengan menggunakan power threser.

Pengamatan

Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah : 1. Peubah Pertumbuhan

a. Tinggi tanaman. Pengukuran tinggi tanaman dilakukan terhadap 5 tanaman sampel dengan mengukur dari pangkal batang sampai ujung daun tertinggi dan diamati setiap minggu mulai tanaman berumur 3-8 MST.

b. Jumlah anakan. Perhitungan jumlah anakan per rumpun dilakukan terhadap 5 tanaman sampel dan diamati setiap minggu mulai tanaman berumur 3-8 MST.

c. Bobot kering biomas. Penentuan dengan menimbang bagian tajuk tanaman dan bagian akar, tanaman contoh diambil pada baris ke dua atau ke tiga sebanyak 2 tanaman untuk sekali pengamatan tiap petak dan dilakukan pada 4, 6, 8 MST, dan panen.

d. Luas daun. Pengukuran luas daun dilakukan dengan menggunakan alat pengukur luas daun (Li-cor 3000), dilakukan pada saat tanaman berumur 4, 6, dan 8 MST.

e. Laju Tumbuh Relatif (LTR) tanaman ditentukan untuk rentang waktu 4-6 dan 6-8 MST. Perhitungan LTR menggunakan rumus sebagai berikut (Sitompul dan Guritno 1995).

LTR (mg. hari ) = (L W − L W )

(t −t )

Keterangan :

W1 = bobot kering tanaman pada saat t1

W2 = bobot kering tanaman pada saat t2

f. Laju Asimilasi Bersih (LAB). LAB merupakan hasil asimilasi bersih dari hasil asimilasi per satuan luas daun dan waktu. Perhitungan LAB menggunakan rumus sebagai berikut (Sitompul dan Guritno 1995).

LAB (mg. cm . hari ) = (W −W )

(A −A ) x

(L A – L A )

(t −t )

Keterangan :

W1 = bobot kering tanaman pada waktu t1

W2 = bobot kering tanaman pada waktu t2

(31)

17 A2 = luas daun total pada waktu t2

t1 = waktu pengataman ke-1

t2 = waktu pengamatan ke-2

g. Analisis kadar dan serapan hara tanaman

Analisis kadar dan serapan hara N, P, dan K dilakukan pada masa panen yaitu menggunakan sampel seluruh bagian tanaman sampel bagian atas. Masing-masing tanaman kemudian ditimbang bobot segarnya, kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu 60 0C selama 2 x 24 jam untuk mendapatkan bobot kering. Setelah dioven kemudian digiling dan dipersiapkan untuk analisis kadar hara tanaman.

h. Efisiensi pemupukan (EP) N, P, dan K. Perhitungan efisiensi pemupukan dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Witt et al. 2007).

EP (%)= Serapan N tanaman (yang dipupuk N−yang tidak dipupuk N) (kg N ha ) Pupuk N(kg N ha ) x 100

EP (%)= Serapan P tanaman (yang dipupuk P−yang tidak dipupuk P) (kg p ha ) pupuk P(kg P ha ) x 100

EP (%)= Serapan K tanaman (yang dipupuk K−yang tidak dipupuk K) (kg K ha ) Pupuk K (kg K ha ) x 100

2. Peubah komponen hasil dan hasil

a. Anakan produktif yaitu dengan menghitung jumlah anakan yang menghasilkan malai dalam satu rumpun. Jumlah anakan produktif dihitung pada 5 tanaman contoh.

b. Panjang malai. Pengukuran panjang malai yaitu dari batas buku daun sampai ujung malai, dalam tiap petak percobaan diambil hanya tiga sampel malai yang berasal dari masing-masing tanaman sampel. Malai yang diambil yaitu malai yang mewakili malai yang pendek, sedang dan panjang. c. Jumlah gabah malai-1. Perhitungan jumlah gabah dalam 1 malai dari 3 malai

yang berasal dari masing-masing tanaman contoh.

d. Bobot 1 000 butir gabah. Perhitungan penimbangan bobot 1 000 butir gabah isi yang berasal dari 5 tanaman sampel dalam tiap petak.

e. Hasil meliputi bobot Gabah Kering Panen (GKP) dan Gabah Kering Giling (GKG) (kadar air 14%) ton ha-1, perhitungan dengan cara ubinan dengan ukuran 2.5 m x 2.5 m, kemudian menimbang hasil (kg ubinan-1) dikali faktor (10 000 m2) dibagi luas ubinan (m2).

3. Analisis kadar hara tanah

Analisis tanah dilakukan sebelum percobaan dan pada saat panen. Sampel diambil komposit secara diagonal dengan 3 titik setiap petak. Pengambilan sampel tanah dilakukan dengan bor tanah hingga kedalaman 30 cm, analisis tanah dilakukan terhadap kadar pH, C-organik, N, P, K, dan KTK.

Prosedur Analisis Data

(32)

(DMRT) dengan taraf nyata sebesar 5% untuk membandingkan nilai tengah antar perlakuan (Mattjik dan Sumertajaya 2006).

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Kondisi Umum

Berdasarkan analisis kadar hara tanah sebelum penelitian diketahui bahwa nilai pH (H2O) agak masam (5.70), C-organik tergolong sedang (2.28%), N-total

rendah (0.21%), P dan K sangat rendah (7.03 ppm dan 0.10 me 100 g-1), dan KTK tergolong rendah (14.99 me 100 g-1) (Lampiran 3). Rata-rata curah hujan selama penelitian (bulan September 2013 sampai dengan Januari 2014) yaitu 373.6 mm bulan-1(BMKG Darmaga 2014).

Hama yang dominan menyerang tanaman padi pada percobaan ini adalah keong mas (Pomacea canaliculata L.). Keong mas memakan tanaman padi yang masih berumur muda 1-3 MST. Pengendalian hama keong mas dilakukan secara manual dengan cara mengambil keong dan telurnya serta dengan melakukan pengaturan pengairan. Menurut Badan Litbang Pertanian (2007) keong mas bersifat aktif pada air yang tergenang, pada saat tanah sawah mengering kebanyakan keong akan mengubur dirinya sendiri ke dalam tanah.

Hama lain yang menyerang tanaman padi yaitu walang sangit (Leptocorisa oratorius). Walang sangit menyerang aktif pada pagi dan sore hari sedangkan pada siang hari berlindung dibawah pohon yang lembab dan dingin. Serangan hama ini sebelum tanaman fase matang susu menyebabkan gabah hampa sedangkan serangan pada padi yang telah berisi menjelang masak menyebabkan gabah berwarna cokelat kehitaman. Hama walang sangit tidak dilakukan pengendalian karena masih dibawah ambang ekonomi. Ambang ekonomi untuk hama walang sangit yaitu apabila populasi >10 ekor rumpun-1(Litbang Pertanian 2007). Selain kedua hama tersebut, terdapat juga hama burung yang menyerang bulir padi saat bulit sedang masak susu sampai pemasakan biji, burung merusak dengan memakan bulir padi secara langsung. Pengendalian burung yaitu dengan memasang pengusir burung berupa baju bekas dan plastik yang digantungkan di atas bambu dan dipasang disekitar areal tanam.

Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam

(33)

19 Tabel 1 Rekapitulasi hasil sidik ragam

(34)

Pengaruh Pemupukan Organik dan Anorganik terhadap Pertumbuhan dan Hasil Padi Sawah

Tinggi Tanaman

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan pupuk organik tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman. Sebaliknya perlakuan pupuk anorganik berpengaruh nyata dari 6-8 MST terhadap tinggi tanaman. Dapat terlihat bahwa pada fase anakan aktif sampai anakan maksimum (6-8 MST) aplikasi dosis 400 kg pupuk anorganik ha-1 menghasilkan tinggi tanaman yang paling tinggi jika dibandingkan dengan tanpa pemupukan, aplikasi dosis 100 kg pupuk anorganik ha-1, dan 200 kg pupuk anorganik ha-1, tetapi tidak nyata meningkatkan tinggi tanaman dibandingkan aplikasi dosis 300 kg pupuk anorganik ha-1(Tabel 2).

Tabel 2 Pengaruh pupuk organik dan anorganik terhadap tinggi tanaman

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda

nyata berdasarkan uji Duncan pada α = 5%

Hasil analisis regresi aplikasi pupuk anorganik terhadap tinggi tanaman menunjukkan pola linier dengan persamaan Y = 0.016x + 55.26 R² = 0.974 (6 MST), Y = 0.030x + 60.84 R² = 0.98 (7 MST) dan Y = 0.037x + 65.64 R² = 0.972 (8 MST). Hasil tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis pupuk anorganik yang diaplikasikan semakin tinggi ketersediaan unsur hara dalam tanah sehingga semakin tinggi penyerapan unsur hara oleh padi untuk meningkatkan tinggi tanaman yang semakin tinggi (Gambar 1).

Perlakuan Minggu Setelah Tanam (MST)

3 4 5 6 7 8

... cm ... Pupuk organik (kg ha-1)

0 28.64 42.28 51.63 56.83 65.08 70.91

250 29.48 43.44 53.21 59.79 67.85 74.75

500 29.17 44.66 53.80 59.76 68.40 74.76

750 29.41 42.26 52.28 57.67 66.65 72.17

1 000 28.75 42.04 52.19 58.56 67.17 73.31

Pupuk anorganik (kg ha-1)

0 28.39 42.00 51.40 55.59 c 60.83 c 65.71 c

100 28.81 41.72 51.53 56.40 c 63.25 c 68.39 c

200 29.69 43.65 52.73 58.33 bc 67.76 b 74.04 b

300 29.70 44.13 54.00 60.68 ab 70.80 ab 78.04 a

(35)

21

Gambar 1 Hubungan dosis pupuk anorganik dengan tinggi tanaman

Jumlah Anakan

Tabel 3 menunjukkan bahwa perlakuan pupuk organik tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah anakan. Sebaliknya jumlah anakan dari 5-8 MST dipengaruhi secara nyata oleh aplikasi dosis pupuk anorganik. Dapat terlihat bahwa pada 5-7 MST aplikasi dosis 400 kg pupuk anorganik ha-1 menghasikkan jumlah anakan lebih banyak jika dibandingkan dengan tanpa pemupukan dan aplikasi dosis 100 kg pupuk anorganik ha-1. Tetapi, aplikasi 400 kg pupuk anorganik ha-1 tidak nyata meningkatkan jumlah anakan jika dibandingkan dengan aplikasi dosis 200 kg pupuk anorganik dan 300 kg pupuk anorganik ha-1. Kemudian pada 8 MST aplikasi dosis 400 kg pupuk anorganik ha-1menghasilkan jumlah anakan lebih banyak jika dibandingkan dengan tanpa pemupukan, aplikasi dosis 100 kg pupuk anorganik ha-1 dan 200 kg pupuk anorganik ha-1, tetapi tidak nyata dengan aplikasi dosis 300 kg pupuk anorganik ha-1.

Tabel 3 Pengaruh pupuk organik dan anorganik terhadap jumlah anakan

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda

nyata berdasarkan uji Duncan pada α = 5%

y = 0.016x + 55.26

Dosis pupuk anorganik (kg ha-1)

(36)

Hasil analisis regresi hubungan aplikasi dosis pupuk anorganik dengan jumlah anakan menunjukkan pola linier dengan persamaan Y = 0.009x + 13.96 R² = 0.965 (5 MST), Y = 0.017x + 15.66 R² = 0.886 (6 MST), Y = 0.025x + 17.92 R² = 0.890 (7 MST) dan Y = 0.028x + 18.16 R² = 0.948 (8 MST). Hasil ini menunjukkan bahwa aplikasi dosis pupuk anorganik yang semakin tinggi akan meningkatkan ketersediaannya unsur hara dalam tanah, sehingga tanaman tanaman dapat meningkatkan serapan unsur hara untuk pembentukan anakan yang semakin banyak (Gambar 2).

Gambar 2 Hubungan dosis pupuk anorganik dengan jumlah anakan

Bobot Kering Akar

Aplikasi dosis pupuk organik dan pupuk anorganik tidak berpengaruh nyata terhadap bobot kering akar (Tabel 4).

Tabel 4 Pengaruh pupuk organik dan anorganik terhadap bobot kering akar

y = 0.009x + 13.96

Dosis pupuk anorganik (kg ha-1)

(37)

23

Bobot Kering Tajuk

Tabel 5 menunjukkan bahwa aplikasi dosis pupuk organik tidak berpengaruh nyata terhadap bobot kering tajuk, sebaliknya perlakuan dosis pupuk anorganik berpengaruh nyata dari 6-16 MST. Dapat terlihat bahwa aplikasi dosis 400 kg pupuk anorganik ha-1menghasilkan bobot kering tajuk lebih tinggi pada 6 dan 8 MST dibandingkan tanpa pemupukan, tetapi tidak nyata meningkatkan bobot kering tajuk dibandingkan dengan aplikasi dosis 100 kg pupuk anorganik ha-1, 200 kg pupuk anorganik ha-1, dan 300 kg pupuk anorganik ha-1. Aplikasi dosis pupuk anorganik yang semakin meningkat menghasilkan bobot kering tajuk yang semakin tinggi pada 16 MST.

Tabel 5 Pengaruh pupuk organik dan anorganik terhadap bobot kering tajuk

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda

nyata berdasarkan uji Duncan pada α = 5%

Hasil analisis regresi hubungan dosis pupuk anorganik dengan bobot kering tajuk pada saat panen (16 MST) menunjukkan pola linier dengan persamaan Y = 0.065x + 75.91 R² = 0.978. Hasil tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis pupuk yang diaplikasikan menghasilkan bobot kering tajuk saat panen yang semakin tinggi (Gambar 3).

Gambar 3 Hubungan dosis pupuk anorganik dengan bobot kering tajuk 16 MST

y = 0.065x + 75.91

Dosis pupuk anorganik (kg ha-1)

(38)

Nisbah Tajuk/Akar

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pupuk organik dan pupuk anorganik tidak berpengaruh nyata terhadap nisbah tajuk akar (Tabel 6).

Tabel 6 Pengaruh pupuk organik dan anorganik terhadap nisbah tajuk/akar

Luas Daun

Aplikasi dosis pupuk organik tidak berpengaruh nyata terhadap luas daun. Sebaliknya, aplikasi pupuk anorganik berpengaruh nyata terhadap luas daun pada 6 dan 8 MST. Aplikasi dosis 400 kg pupuk anorganik ha-1 pada 6 dan 8 MST menghasikan luas daun lebih tinggi dibandingkan tanpa pemupukan dan aplikasi dosis 100 kg pupuk anorganik ha-1, tetapi aplikasi dosis 400 kg pupuk anorganik ha-1tidak nyata meningkatkan luas daun dibandingkan dengan aplikasi dosis 200 kg pupuk anorganik ha-1dan 300 kg pupuk anorganik ha-1(Tabel 7).

Tabel 7 Pengaruh pupuk organik dan anorganik terhadap luas daun

Perlakuan Minggu Setelah Tanam (MST)

4 6 8

... cm2 ... Pupuk organik (kg ha-1)

0 313.74 738.12 1051.13

250 334.05 740.31 1101.95

500 364.81 751.49 1075.80

750 299.26 679.78 1044.67

1 000 319.40 645.41 1035.17

Pupuk anorganik (kg ha-1)

0 272.07 507.00 c 764.03 b

100 307.52 663.63 b 886.16 b

200 335.43 791.96 a 1182.44 a

300 349.00 765.70 ab 1230.36 a

400 367.25 826.83 a 1245.75 a

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda

nyata berdasarkan uji Duncan pada α = 5%

Perlakuan Minggu Setelah Tanam (MST)

4 6 8 16

... (g) ... Pupuk organik (kg ha-1)

0 2.2 2.5 3.7 11.5

250 2.0 2.0 4.2 10.1

500 2.2 1.9 4.3 11.4

750 2.1 2.2 3.9 11.1

1 000 2.1 2.3 3.2 11.2

Pupuk anorganik (kg ha-1)

0 2.2 2.5 3.2 11.8

100 2.0 1.9 3.8 11.7

200 2.0 2.1 4.2 10.2

300 2.0 2.3 4.0 11.7

(39)

25 Hasil analisis regresi hubungan dosis pupuk anorganik dengan luas daun pada 6 dan 8 MST menunjukkan pola linier dengan persamaan masing-masing Y = 0.741x + 562.6 R² = 0.823 dan Y = 1.307x + 800.2 R² = 0.871. Hasil ini menunjukkan bahwa pada saat anakan aktif dan anakan maksimum aplikasi dosis pupuk anorganik yang semakin tinggi akan meningkatkan luas daun (Gambar 4).

Gambar 4 Hubungan dosis pupuk anorganik dengan luas daun

Laju Tumbuh Relatif (LTR) dan Laju Asimilasi Bersih (LAB)

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa aplikasi dosis pupuk organik tidak berpengaruh nyata terhadap laju tumbuh relatif dan laju asimilasi bersih tanaman. Sebaliknya aplikasi dosis pupuk anorganik berpengaruh nyata terhadap laju tumbuh relatif tanaman pada 6-8 MST tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap laju asimilasi bersih. Dapat terlihat bahwa aplikasi dosis 200-400 kg pupuk anorganik ha-1 menghasilkan laju tumbuh relatif tanaman lebih tinggi pada 6-8 MST dibandingkan tanpa pemupukan, tetapi tidak nyata meningkatan laju pertumbuhan relatif tanaman dibandingkan dosis 100 kg pupuk anorganik ha-1 (Tabel 8).

Tabel 8 Pengaruh pupuk organik dan anorganik terhadap laju tumbuh relatif dan laju asimilasi bersih

nyata berdasarkan uji Duncan pada α = 5%

y = 0.741x + 562.6

Dosis pupuk anorganik (kg ha-1)

(40)

Hasil analisis regresi hubungan dosis pupuk anorganik dengan laju tumbuh relatif tanaman pada 6-8 MST menghasilkan pola kuadratik dengan persamaan Y = -7E-06x2 + 0.004x + 9.551 R² = 0.981. Hasil ini menunjukkan bahwa dosis optimum pupuk anorganik terhadap laju peningkatan bobot kering tanaman perhari yaitu 300 kg ha-1. Sehingga penambahan dosis lebih dari 300 kg pupuk anorganik ha-1 pada fase anakan aktif sampai anakan maksimum akan menurunkan laju peningkatan bobot kering tanaman (Gambar 5).

Gambar 5 Hubungan dosis pupuk anorganik dengan laju tumbuh relatif 6-8 MST

Komponen Hasil

Tabel 9 menunjukkan bahwa peubah komponen hasil tidak dipengaruhi secara nyata oleh aplikasi pupuk organik. Sebaliknya perlakuan pupuk anorganik berpengaruh nyata terhadap semua peubah komponen hasil kecuali terhadap bobot 1 000 butir gabah. Aplikasi dosis 400 kg pupuk anorganik ha-1 menghasilkan anakan produktif dan jumlah gabah malai-1 lebih tinggi dibandingkan tanpa pemupukan, aplikasi dosis 100 dan 200 kg pupuk anorganik ha-1, tetapi tidak nyata dengan aplikasi dosis 300 kg pupuk anorganik ha-1. Kemudian aplikasi dosis 400 kg pupuk anorganik ha-1 menghasilkan panjang malai lebih panjang dibandingkan tanpa pemupukan dan dosis 100 kg pupuk anorganik ha-1, tetapi tidak nyata meningkatkan panjang malai dengan aplikasi dosis 200 dan 300 kg pupuk anorganik ha-1. Terdapat korelasi antara panjang malai dan jumlah gabah permalai yaitu semakin panjang malai semakin banyak jumlah gabah malai-1yang dihasilkan.

Hasil analisis regresi hubungan pupuk anorganik dengan anakan produktif, panjang malai, dan jumlah gabah malai-1 menunjukkan pola linier dengan persamaan masing-masing Y = 0.011x + 11.88 R² = 0.936, Y = 0.002x + 22.31 R² = 0.975, dan Y = 0.066x + 124.1 R² = 0.961 (Gambar 6, 7, dan 8). Hasil tersebut menunjukkan bahwa peningkatan aplikasi dosis pupuk anorganik berpengaruh terhadap peningkatan anakan produktif, panjang malai, dan jumlah gabah malai-1.

y = -7E-06x2 + 0.004x + 9.551

Gambar

Tabel 1  Rekapitulasi hasil sidik ragamOrganikAnorganikInteraksi
Tabel 3  Pengaruh pupuk organik dan anorganik terhadap jumlah anakan
Gambar 2  Hubungan dosis pupuk anorganik dengan jumlah anakan
Tabel 5  Pengaruh pupuk organik dan anorganik terhadap bobot kering tajuk
+7

Referensi

Dokumen terkait

Bagaimanapun, Gambar 9 tetap dapat digunakan sebagai acuan dalam menganalisis pengaruh penambahan barium karbonat pada arang bakau untuk media padat pada proses karburising padat

Hasil analisis angka penyabuan RBO ditunjukkan pada Grafik 4. Hasil analisis bilangan penyabunan pada berbagai perbandingan pelarut dengan bekatul dan waktu ekstraksi. dapat

Capron dan Hulldan (1999) mendefinisikan sumber daya sebagai sejumlah pengetahuan, aset fisik, manusia, dan faktor-faktor berwujud dan tidak berwujud lainnya yang dimiliki

Salah satu metode yang bisa digunakan adalah Profile Matching, yaitu sistem pendukung keputusan yang dilakukan dengan cara membandingkan antara kriteria calon lokasi

implementasi Desa Maju Reforma Agraria (Damara) di Kulonbambang Kabupaten Blitar yang dilakukan oleh KPA dan Pawartaku sudah memenuhi unsur-unsur dalam tahapan

Berdasarkan penjelasan tersebut, tulisan ini akan mengkaji lebih lanjut mengenai pesoalan perdagangan manusia atau human trafficking dalam perspektif psikologis dalam rangka

Berdasarkan massa minyak plastik pada plastik PP diketahui semakin tinggi suhu pirolisis maka perolehan massa minyak akan semakin tinggi. Namun pada plastik HDPE nilai

Kadar E2 dalam plasma darah sidat hasil induksi hormonal selama penelitian disajikan pada Gambar 2 menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi dengan hormon E2 menunjukkan