• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyelesaian Sengketa Alternatif antara Masyarakat Adat dengan Pemerintah Terhadap Kawasan Hutan Register 40 Padang Lawas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penyelesaian Sengketa Alternatif antara Masyarakat Adat dengan Pemerintah Terhadap Kawasan Hutan Register 40 Padang Lawas"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A.Buku-Buku

Bambang Daru Nugroho, 2015, Hukum Adat Hak Menguasai Negara atas Sumber

Daya Alam Kehutanan dan Perlindungan terhadap Masyarakat Hukum

Adat, Bandung : RefikaAditama.

Bushar Muhammad, 2006, Asas-Asas Hukum Adat Suatu Pengantar, Jakarta :

Pranadya Paramita.

Fauzi Ridwan, 1982, Hukum Tanah Adat, Jakarta : Dewaruci Press.

Frans Hendra Winarta, 2013, Hukum Penyelesaian Sengketa (Arbitrase

Nasional Indonesia dan Internasional), Jakarta : Sinar Grafika.

Hasim Purba, dkk, 2006, Sengketa Pertanahan dan Alternatif Pemecahan,

(Negosiasi, Mediasi,Konsiliasi & Arbitrase), Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

K. Wantjik Saleh, 1977, Hak Anda Atas Tanah, Jakarta, Ghalia Indonesia.

Mahadi, 1991, Uraian Singkat tentang Hukum Adat Sejak RR Tahun 1854,

Bandung : Alumni.

Maria S.W Sumardjono, 2001, Kebijakan Pertanahan, Jakarta, Kompas.

Muhammad Yamin, 2003, Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria, Medan :

Pustaka Bangsa Press.

Muhammad Yamin dan Rahim Lubis, 2004, Beberapa Masalah Aktual Hukum

Agraria, Medan : Pustaka Bangsa Press.

Philipus M. Hadjon dkk, 2001, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia,

(2)

Priyatna Abdurrasyid, 2002, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa suatu pengantar, Jakarta ; Fikahati Aneska.

Sandra Moniaga, 2005, Hak-hak Masyarakat Adat dan Masalah serta Kelestarian

Lingkungan Hidup di Indonesia, Jakarta : HuMa.

Suyud Margono, 2004, ADR & Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Bogor : Ghalia Indonesia.

Sayud Margono, 2010, Penyelesaian Sengketa Bisnis, Bogor : Ghalia

Indonesia.

Soerjono Soekanto & Soleman B.Taneko, 1983, Hukum Adat Indonesia, Jakarta :

Rajawali Press.

Susanti Adi Nugroho, 2009, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa,

Jakarta : Telaga Ilmu Indonesia.

Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 jo Undang-Undang No. 14 tahun 1970 jo Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun

(3)

Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang arbitrasi dan Alternatif

Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri RI,Menteri Kehutanan RI, Menteri Pekerjaan Umum RI, dan Kepala BPN RI Nomor 79 Tahun 2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang Berada di dalam Kawasan Hutan .

Keputusan Menteri Koperasi,Usaha Kecil, dan Menengah RI No.

07/BH/KDK.2.9/IX/1998 tentang akte pendirian KPKS Bukit Harapan

C.Perjanjian-Perjanjian :

1. Akta Legalisasi No. 65/L/1998 oleh Notaris Setiawati,SH tentang

Perjanjian Kerjasama antara Masyarakat Adat Luhat Ujung Batu dengan PT. TORGANDA.

2. Akta Legalisasi No. 186/L/1998 oleh Notaris Setiawati,SH tentang

Perjanjian Kerjasama Pengolahan Lahan antara KPKS Bukit Harapan dengan PT.TORGANDA.

D.Putusan-Putusan :

1. Putusan MA No. 2642 K/Pid/2006 tanggal 12 Februari 2007 atas

nama terpidana D.L Sitorus.

2. Putusan Hakim Pengadilan Negeri Padangsidimpuan

No.13/PDT.PLW/2007/PN.PSP atas gugatan terhadap Jaksa Agung RI.

3. Putusan MA RI No. 134/K/TUN/2007 tentang Perkara Kasasi Tata

Usaha Negara antara Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit melawan Menteri Kehutanan RI.

4. Putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung RI Nomor

(4)

E. Internet

http://makalahkomplit.blogspot.co.id/2012/08/dasar-berlakunya-hukum-adat.html diakses pada tanggal 19 Desember 2015, pukul 13.00 Wib.

F. Surat, makalah, dan artikel

1. Surat Menteri Kehutanan Nomor : 1680/Menhut III/2002 tentang

Pemberian Ijin (prinsip) Pengelolaan Lahan Register 40.

2. Surat Menteri Kehutanan Nomor : S.419/Menhut-II/2004 tentang

Pembatalan Ijin (prinsip) Pengelolaan Lahan register 40.

3. Surat Penolakan Eksekusi Tanah Ulayat Lahan Koperasi Perkebunan

Kelapa Sawit Bukit Harapan kepada Presiden RI Ir. Joko Widodo, 11 Mei 2015.

4. Lampiran Kronologis KPKS Bukit Harapan Bekerjasama dengan PT.

Torganda oleh Pimpinan KPKS Bukit Harapan, tanggal 04 Februari 2005.

5. Lampiran Kronologis Kehadiran Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit

(5)

BAB III

SENGKETA PERTANAHAN YANG TERJADI ANTARA MASYARAKAT ADAT DENGAN PEMERINTAH DI ATAS TANAH

REGISTER 40 PADANG LAWAS

A. Hak Masyarakat Adat di atas Tanah Register 40 Padang Lawas

Hukum Adat sebagai hukum tidak tertulis yang hidup dalam

masyarakat merupakan pencerminan dari kepribadian bangsa Indonesia yang

berurat dan berakar dari kebudayaan bangsa. Setiap suku dan daerah Alam Kehutanan & Perlindungan terhadap Masyarakat Hukum Adat, Bandung : Refika Aditama, 2015, hal. 70

50

(6)

Hutan Negara dapat berupa hutan adat. Status dari hutan ditetapkan oleh

pemerintah, sedangkan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut

kenyataannya masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan masih ada dan

diakui keberadaannya. Apabila dalam perkembangannya masyarakat Hukum

Adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengolaan hutan adat

kembali kepada Pemerintah.

Menurut Pasal 37 Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan, Pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh masyarakat Hukum Adat

yang bersangkutan, sesuai dengan fungsinya. Pemanfaatan hutan adat yang

berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak

mengganggu fungsinya.

Dalam Pasal 67 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan disebutkan bahwa :

(1) Masyarakat Hukum Adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada

dan diakui keberadaannya berhak :

a)Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan

hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan.

b)Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan Hukum Adat

yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang, dan

c)Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan

(7)

(2) Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat Hukum Adat

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan

Daerah.

(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat

(2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Dalam Pasal 27 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6

Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan Pada

Hutan Produksi disebutkan :

(1) Masyarakat Hukum Adat sepanjang menurut kenyataannya masih

ada dan diakui keberadaannya berdasarkan Peraturan Pemerintah

ini diberikan hak memungut hasil hutan untuk memenuhi

keperluan hidup sehari-hari.

(2) Pengambilan hasil hutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

dilakukan dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan

(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan

ayat (2) diatur oleh Menteri.

Berdasar pada Peraturan Perundang-undangan yang tertera diatas

maka masyarakat adat berhak atas Tanah Ulayat mereka yang berada di atas

Tanah Register 40 Padang Lawas. Sebagaimana diketahui bahwa hak

tersebut ada yang termasuk dalam bidang hukum perdata, yaitu yang

berhubungan dengan hak kepunyaan bersama atas tanah tersebut. Ada juga

(8)

mengelola, mengatur dan memimpin, penguasaan, pemeliharaan, peruntukkan

dan penggunaannya.51

Hak Ulayat meliputi semua tanah yang ada dalam lingkungan

wilayah masyarakat hukum yang bersangkutan, baik yang sudah dihaki oleh

seseorang maupun yang belum. Masyarakat hukum adatlah sebagai

yang terjadi di atasnya, kemudian secara factual dalam kenyataannya tanah

itu berfungsi sebagai tempat tinggal persekutuan, memberikan kehidupan

kepada warga persekutuan, tempat tinggal makhluk ghaib pelindung

persekutuan dan arwah para leluhur suatu persekutuan.

Menurut fakta tersebut, tanah dalam kehidupan masyarakat adat

mempunyai hubungan yang erat dengan suatu persekutuan hukum yang

berada di atas tanah tersebut, bahkan hubungan tersebut bersifat

Religiomagis. Di Kalimantan, masyarakat Dayak memiliki keyakinan bahwa

(9)

shore, every mist in the dark words, every clearing and humming insect is

holy in the memory and experience of my people.” Tanah bagi masyarakat

persekutuan hukum merupakan sumber kehidupan, merusak alam sama

dengan menyakiti kehidupan dan merusak pernafasannya.52

Tanah, tumbuh-tumbuhan (hutan), dan makhluk hidup yang ada di

atasnya merupakan suatu kesatuan ekosistem yang tidak dapat dipisahkan

keberadaannya. Masyarakat Adat sebagai warga persekutuan hukum di suatu

wilayah ulayat kehutanan merupakan subjek hukum yang mempunyai

masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus

sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara,

yang berdasar atas persatuan bangsa serta tidak bertentangan dengan

undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.”54

52

Sandra Moniaga, Hak-hak Masyarakat Adat dan Masalah serta Kelestarian Lingkungan Hidup di Indonesia, Jakarta : HuMa, 2005, hal. 4

53

Bambang Daru Nugroho, Op, Cit, hal. 88

54

(10)

Posisi hak ulayat dalam sistem hukum tanah nasional diakui

eksistensinya bagi suatu masyarakat hukum adat tertentu, sepanjang menurut

kenyataannya masih ada. Masih adanya hak ulayat pada suatu masyarakat

hukum adat tertentu, antara lain dapat diketahui dari kegiatan sehari-hari.

Kepala Adat dan para Ketua Adat dalam kenyataannya, sebagai pengemban

tugas kewenangan mengatur penguasaan dan memimpin penggunaan tanah

ulayat yang merupakan tanah bersama para warga masyarakat hukum adat

yang bersangkutan. Selain diakui, pelaksanaannya dibatasi, dalam arti harus

sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara

yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan

dengan undang-undang dan peraturan-peraturan yang lebih tinggi.55

Sesuai dengan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.

134/K/TUN/2007 tertanggal 19 Juni 2007 yang menyatakan bahwa : Izin

Pengelolaan atas Tanah Ulayat seluas 23.000 hektar oleh KPKS Bukit

Harapan di Kecamatan Simangambat kabupaten Padang Lawas Utara adalah

sah dan berkekuatan hukum tetap, dikuatkan dengan putusan Peninjauan

Kembali (PK) Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 06/PK/TUN/2008

pada tanggal 02 Mei 2008.56

Masyarakat Adat yang berada di atas tanah register 40 Padang

Lawas juga telah memiliki bukti bahwa Tanah Ulayat mereka di Kecamatan

Simangambat telah diatur dalam Gouvernment Besluit dari Pemerintahan

Hindia Belanda serta mempunyai batas-batas yang jelas, sebelumnya telah

55Ibid,

hal. 204

56

(11)

dikuasai turun temurun sejak tahun 1784,57 telah menjadi lingkungan tempat mengambil keperluan hidup dan penghidupan sehari-hari bagi warga

masyarakat adat setempat yang berdasarkan sejarah asal-usul, dahulu

merupakan 2 Kekuriaan (Kerajaan) Bersaudara, yakni Kekuriaan Ujung Batu

berdiri sejak tahun 1689, dibuktikan : angka tahun tersebut tertera pada

“Stempel Kerajaan” yang terbuat dari perak, salah satu benda peninggalan Kekuriaan Ujung Batu yang sekarang terdiri dari 13 Desa disebut “Huta”

dan Kekuriaan Simangambat terdiri dari 20 Desa/Huta. Tanah Ulayat

dimaksud telah terdaftar di PPAT Kecamatan Barumun Tengah pada tahun

1983, terdaftar di Panitera Pengadilan Negeri Padangsidimpuan pada tahun

1985 dan terdaftar sebagai tanah adat/ulayat di Badan Pertanahan Nasional

(BPN) Kabupaten Tapanuli Selatan pada tanggal 27 Agustus 1992.58

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa

masyarakat adat jelas memiliki hak untuk menguasai tanah ulayat mereka,

dalam hal ini adalah tanah register 40 Padang Lawas sesuai dengan amanah

Undang-Undang, Putusan Mahkamah Agung, dan peraturan-peraturan lainnya.

B. Perlindungan Hukum terhadap Hak atas Tanah Masyarakat Adat

di atas Tanah Register 40 Padang Lawas

Kawasan Register 40 Padang Lawas merupakan Tanah Ulayat bagi

Masyarakat Adat Kecamatan Simangambat berdasarkan Gouvernment Besluit

(12)

Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 Pasal 3 dan Pasal 5,

bahkan Amandemen II (dua) Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 – B Ayat

(2) menegaskan : “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan

masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.” Kemudian Pasal 28

ayat 1 : “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati sebagai hak azasi manusia (HAM),” serta dipertegas lagi oleh Undang-Undang No.

39 Tahun 1999 tentang HAM, Pasal 6 ayat (2) yang berbunyi : “Identitas

budaya masyarakat hukum adat termasuk hak atas Tanah Ulayat dilindungi

(sebagai hak azasi manusia) selaras dengan perkembangan zaman.59

Pengelolaan atas Lahan Eks Tanah Ulayat seluas kurang lebih

23.000 hektar oleh KPKS Bukit Harapan telah mendapat izin Pengelolaan

(izin prinsip) yang dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan Republik Indonesia

melalui surat Menhut No. 1680/Menhut III/2002, tanggal 26 September

2002 meski oleh Menteri Kehutanan sempat membatalkan Ijin Pengelolaan

tersebut pada bulan Oktober 2004, akan tetapi pihak KPKS Bukit Harapan

memperkarakan Surat Pembatalan Menhut No. S.419/Menhut-II/2004

tertanggal 13 Oktober 2004 tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara

(PTUN), dan ternyata hasilnya dimenangkan oleh KPKS Bukit Harapan

dalam perkara Kasasi Tata Usaha Negara melalui Putusan Mahkamah

Agung RI No. 134/K/TUN/2007 pada tanggal 19 Juni 2007 yang dikuatkan

dengan Putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung RI No.

06/PK/TUN/2008 pada tanggal 05 Mei 2008.

59

(13)

Berdasarkan landasan diatas maka konsekuensinya jelas bahwa Ijin

Pengelolaan KPKS Bukit Harapan atas Lahan Eks Tanah Ulayat seluas

kurang lebih 23.000 hektar di Kecamatan Simangambat Kabupaten Padang

Lawas Utara adalah Sah dan Berkekuatan Hukum Tetap yang harus diakui

dan dihormati demi tegaknya Supremasi Hukum (Law Enforcement)

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 bahwa Negara

Indonesia berdasarkan atas hukum (Recht Staat), bukan berdasarkan atas

kekuasaan (Mach Staat).

Dalam Areal 23.000 hektar tersebut, Pihak Kantor Badan

Pertanahan Nasional Kabupaten Tapanuli Selatan telah menerbitkan Sertifikat

Hak Milik atas nama Masyarakat Petani Plasma yang tergabung menjadi

anggota PIR Koperasi Bukit Harapan atas permohonan masyarakat itu

sendiri sebanyak 1.820 helai sertifikat, sebagai berikut60 :

1) Untuk Luhat Ujung Batu sebanyak 500 KK/Sertifikat terdiri dari 11

Desa.

2) Untuk Luhat Simangambat sebanyak 1.320 KK/Sertifikat terdiri dari

20 Desa

Berdasarkan hal tersebut diatas maka Negara berkewajiban

melindungi setiap masyarakat sebagai pemegang hak atas tanahnya yang

telah dibuktikan dengan memiliki sertifikat yang dikeluarkan oleh Badan

Pertanahan Nasional.

60

(14)

Alinea ke empat Pembukaan Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945

menyatakan bahwa: “Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan

seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan

umum.” Nyatanya persoalan yang terjadi sekarang justru bukan bagaimana

si miskin supaya memperoleh lahan tanah bagi kesejahteraan hidup mereka,

namun masalah yang muncul yaitu, bagaimana kepemilikan hak atas tanah

dapat dipertahankan.61

Pada saat ini sifat persoalan tanah telah bergeser, yang terlibat

bukan lagi antara pemegang hak atas tanah melawan buruh tani, akan tetapi

antara pemilik modal (investor) bahkan pemerintah melawan pemegang hak

atas tanah, merata terjadi baik di kota maupun di desa.

Oleh karena itu maka teori perlindungan hukum yang terdapat di

dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 tersebut, tepat

sekali digunakan untuk tersedianya aturan perlindungan hukum terhadap

pemegang sertifikat hak atas tanah, pemilik hak atas tanah serta segenap

bangsa dan territoriumnya karena adanya kandungan nilai perjuangan serta

motivasi.

C. Perjanjian Kerjasama Tokoh-Tokoh Adat Eks Dewan Negeri Luat Simangambat dengan PT. Torganda dalam Pengelolaan Tanah dalam Kawasan Hutan Register 40 Padang Lawas

Bidang-bidang tanah yang berada di kawasan Register 40 sampai dengan

tahun 1995 dalam keadaan terlantar, ditumbuhi semak-semak dan alang-alang

61

(15)

serta tidak mempunyai nilai ekonomis sama sekali. Oleh karenanya masyarakat

adat diwakili oleh tokoh adat setempat bermaksud memanfaatkannya demi

kesejahteraan masyarakat setempat. Namun apabila digarap sendiri-sendiri oleh

masyarakat sudah tentu hasilnya tidak akan maksimal karena keterbatasan dana

dan keahlian. Melalui tokoh-tokoh adat telah mengambil keputusan untuk mencari

investor yang memiliki dana dan berminat untuk mengelola tanah tersebut sebagai

lahan perkebunan khususnya perkebunan kelapa sawit.

Untuk menindaklanjuti rencana pengelolaan perkebunan kelapa sawit

tersebut, kemudian ditandatangani perjanjian-perjanjian sebagai berikut :

Surat Perjanjian tertanggal 23 Juli 1998, untuk lahan seluas kurang lebih 10.000

hektar dan 72.000 hektar ditandatangani oleh dan antara PT.Torganda dengan

Tokoh-Tokoh Eks Dewan Negeri Luhat Simangambat. Surat Perjanjian ini

dilegalisasi oleh Notaris Setiawati, Rantau Prapat No. 68/L/1998 dan No.

186/L/1998. Dalam perjanjian ini disepakati masyarakat adat setuju untuk

bekerjasama dengan Darianus Lungguk Sitorus selaku Direktur Utama

PT.Torganda dengan pola “Bapak Angkat” yang akan mengelola dan membiayai

perkebunan. Pada hari itu juga telah diberikan Uang Tanda Bakti (Pago-Pago)

sesuai dengan Hukum Adat dan Perundang-Undangan Pertanahan kepada

masyarakat Adat Luhat Simangambat yang berhak menerimanya melalui para

Hatobangon dan Raja Panusunan Bulung sebesar Rp. 817.500.000,- (Delapan

Ratus Tujuh Belas Juta Lima Ratus Ribu Rupiah) tunai.

Setelah PT.Torganda meninjau dari berbagai aspek pengelolaan lahan

(16)

hak-hak masyarakat adat atas tanah adat ulayat maka PT.Torganda menyarankan

kepada Hatobangon/Tokoh Masyarakat Adat dan Raja Panusunan Bulung Luhat

Ujung Batu dan Luhat Simangambat agar kedua Luhat bernaung dibawah satu

wadah Badan Hukum Koperasi. Atas saran dan petunjuk dari Direktur Utama

PT.Torganda, dan dengan hasil musyawarah-mufakat masyarakat desa kedua

Luhat dibentuklah Koperasi yang bernama Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit

Bukit Harapan yang berkedudukan di Desa Tanjung Botung, Kecamatan

Simangambat, Kabupaten Padang Lawas Utara. Akte pendiriannya disahkan

melalui Keputusan Menteri Koperasi, Usaha Kecil, dan Menengah Republik

Indonesia Nomor : 07/BH/KDK.2.9/IX/1998, tanggal 29 September 1998.62

Setelah Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan berdiri, dengan

persetujuan Masyarakat Adat, Hatobangon dan Tokoh Masyarakat, serta Raja

Panusunan Bulung, Luhat Ujung Batu dan Luhat Simangambat, PT. Torganda

melepaskan hak atas pengelolahan lahan dimaksud sesuai surat Perjanjian

Kerjasama Nomor : 186/L/1998 kepada Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit

Harapan dengan surat pelepasan hak tanggal 30 September 1998 yang dilegalisir

oleh Notaris Setiawaty, SH.

Mengingat keterbatasan kemampuan tenaga skill dan pengalaman serta

keterbatasan dana, maka unuk melanjutkan pengelolahan lahan dimaksud, maka

KPKS Bukit Harapan memohon kepada PT.Torganda untuk menjadi pendamping

atau mitra kerja sekaligus penyandang dana, untuk kelanjutan pembangunan

kebun kelapa sawit dan pengelolaanya. Permohonan tersebut dipenuhi oleh PT.

62

(17)

Torganda yang dituangkan dalam Surat Perjanjian Kerjasama dengan notariil akta

nomor : 15, tertanggal 30 September 1998 dibuat dihadapan Notaris Setiawati,

SH.

Dalam Surat Perjanjian Nomor 186/L/1998 yang dilegalisasi oleh Notaris

Setiawati, SH terdapat 11 poin yang menjadi pokok perjajian, antara lain :63

1. Perjanjian ini berlaku untuk jangka waktu yang tidak ditentukan

lamanya-demikian selama antara kedua belah pihak masih terdapat kesepakatan

dalam pelaksanannya.

2. Pihak Pertama dengan ini mengakui bahwa Pihak Kedua, yakni PT.

TORGANDA sebagai satu-satunya “Bapak Angkat” yang berhak dan

berwenang sepenuhnya untuk mengelola dan membiayai dalam arti

seluas-luasnya atas lahan seluas lebih kurang 72.000 hektar.

3. Untuk tertib administrasi kerjasama ini, Pihak Kedua berkewajiban untuk

menyelenggarakan pembukan yang transparan guna kepentingan kedua

belah pihak.

4. Setelah lahan tersebut dapat berproduksi, maka kepada masing-masing

Kepala Keluarga yang berdomisili diatas lahan tersebut, Pihak Kedua

wajib menyerahkan sebagian dari lahan tersebut, yakni seluas lebih kurang

2 hektar untuk setiap Kepala Keluarga.

5. Pihak Pertama dan/atau masyarakat yang memiliki atau menguasai lahan

tersebut dengan ini berjanji dan mengikatkan diri untuk mengangsur

pengembalian modal/dana yang telah dan/atau akan dikeluarkan oleh

63

(18)

Pihak Kedua, yakni dengan memperhitungkan dari hasil produksi dan

dengan perbandingan pembagian sebagai berikut :

PIHAK PERTAMA : PIHAK KEDUA = 70 % : 30 %

Pembagian mana harus tetap dilakukan sampai dengan pengembalian

modal Pihak Kedua benar-benar lunas.

6. Agar perjanjian ini dapat terlaksana dengan baik, maka dengan ini Pihak

Pertama member kuasa dengan hak substitusi kepada Pihak Kedua.

7. Pihak Pertama dengan ini berjanji dan mengikatkan diri untuk

memberikan bantuan sepenuhnya kepada Pihak Kedua, semata-mata agar

tercapainya tujuan diadakannya perjanjian ini, terutama menyangkut

legalitas status lahan.

8. Pihak Pertama dan Pihak Kedua dengan ini berjanji untuk menyelesaikan

segala permasalahan atau silang sengketa yang mungkin timbul di

kemudian hari secara musyawarah dan kekeluargaan, namun apabila

secara musyawarah itu tidak tercapai kata sepakat, maka kedua belah

pihak akan menyelesaikannya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang

yang berlaku.

9. Segala sesuatu yang belum atau tidak cukup diatur dalam perjanjian ini

akan diatur kemudian dalam suatu perjanjian tersendiri yang merupakan

satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari perjanjian ini.

(19)

11.Untuk perjanjian ini dan segala akibatnya, kedua belah pihak memilih

kedudukan (domicilie) hukum yang umum dan tetap di Pengadilan Negeri

Padangsidimpuan.

D. Lahirnya Sengketa Pertanahan antara Masyarakat Adat dengan Pemerintah di atas Tanah Register 40 Padang Lawas

Masyarakat Adat yang diperkirakan paling sedikit 30 juta jiwa

diantaranya berada di dalam atau di sekitar hutan, Pemerintah Republik

Indonesia telah menetapkan kawasan hutan Negara seluas 143 juta hektar

atau kurang lebih 70 % dari luas daratan Republik Indonesia. Penetapan ini

dilakukan secara sepihak dan tidak didasari pengakuan akan keberadaan

wilayah-wilayah adat yang sudah ada sebelum negeri ini didirikan.

Kebijakan Pemerintah tentang pelaksanaan Hak Penguasaan Hutan di

wilayah Hak Ulayat Kehutanan, merupakan kewenangan Pemerintah yang

diatur dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 2

ayat (4) Undang-Undang Pokok Agraria. Walaupun merupakan kewenangan

pemerintah, ternyata dalam pelaksanaannya dapat menimbulkan konflik

dengan masyarakat adat/masyarakat lokal yang menguasai wilayah ulayat

kehutanan tersebut.64

Hak menguasai oleh Negara pada saat ini pada umumnya

dilimpahkan kepada perusahaan-perusahaan swasta besar atau pada Badan

Usaha Milik Negara (BUMN) yang dibentuk oleh Pemerintah sendiri, tanpa

konsultasi dan persetujuan rakyat. Dengan pelimpahan ini, maka pengelolaan

64

(20)

sumber daya alam oleh pihak perusahaan swasta dan BUMN menjadi lebih

dominan. Akumulasi modal dan kekayaan pada penerima hak mengelola

sumber daya alam ini akan terus berkembang.65

Di lain pihak, masyarakat/Masyarakat Hukum Adat belum tentu ikut

merasakan keuntungan yang dinikmati para pengusaha tersebut, karena bagi

pengusaha yang diprioritaskan adalah pengelolaan sumber daya alam yang

menguntungkan para pengusaha. Keterlibatan rakyat dalam kegiatan

pengelolaan sumber daya alam hanya dalam bentuk penyerapan tenaga kerja

oleh pihak pengelola sumber daya alam tidak menjadi prioritas utama dalam

kebijakan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.

Sumber daya alam kehutanan hanya dinikmati dan dikuasai oleh

sekelompok orang saja, karena dari 579 konsesi Hak Penguasaan Hutan di

Indonesia ternyata hanya di dominasi oleh 25 orang pengusaha kelas atas.

Masyarakat local/Masyarakat Hukum Adat yang masih menggantungkan

hidupnya pada sumber daya hutan yang dari generasi ke generasi telah

berbisnis perkayuan terpaksa tidak bisa berbisnis kayu lagi.66

Monopoli kegiatan pemanfaatan hutan dan perdagangan kayu dikuasai

oleh para pemegang Hak Penguasaan Hutan. Monopoli kegiatan pemanfaatan

ini disahkan melalui berbagai peraturan, mulai dari Undang-Undang Nomor

5 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan jo. Undang-Undang Nomor

41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dengan peraturan pelaksanaannya yang

65Ibid 66

(21)

membekukan hak rakyat/Masyarakat Hukum Adat untuk turut mengelola

hutan.

Hak masyarakat hukum adat untuk mengambil hasil hutan sering

berbenturan dengan kebijakan pemerintah dalam pengelolaan perhutanan,

beberapa kasus yang saat ini terjadi, antara lain :

(1) Pengalihan fungsi dari hutan rotan dalam suatu wilayah ulayat

kehutanan menjadi lahan pertanian. Hal ini mengakibatkan

masyarakat hukum adat kehilangan mata pencaharian dalam

pengumpulan hasil rotan.

(2) Hak Ulayat Kehutanan dijadikan Hak Penguasaan Hutan (HPH),

akibatnya masyarakat adat yang berada di wilayah ulayat

kehutanan kehilangan haknya untuk mengambil hasil hutan.

(3) Pengalihan fungsi hutan mangrove/hutan bakau menjadi daerah

pertambakan dan perumahan.

(4) Hak Penguasaan Hutan (HPH) yang merugikan kepentingan

masyarakat adat setempat, karena bersifat merampas hak

masyarakat adat tanpa memberikan kompensasi sebagai pengganti

hak masyarakat adat tersebut.

Sesuai dengan penyerahan lahan masyarakat Luhat Ujung Batu dan

Simangambat serta penyerahan kedua badan hukum tersebut maka luas

lahan seuruhnya yang harusnya dikelola oleh Koperasi Perkebunan kelapa

(22)

Dalam pelaksanaan pekerjaan di lapangan koperasi mendapat

hambatan dan rintangan baik dari masyarakat penggarap, kelompok

pengusaha, maupun Instansi Pemerintah. Adapun hambatan dan tantangan

tersebut, antara lain :

1. Dalam areal seluas 87.000 Ha tersebut telah berdiri Perusahaan

Swasta seperti :

a. Koperasi Produsen Sawit Ujung Gading Indah

b. PT. Eka Pendawa Sakti

c. PT. First Mujur Plantation

d. PT. Wonorejo

e. PT. PIR Harapan

f. PT. SSPI

2. Dalam areal yang sama juga ditemukan kelompok kecil masyarakat

penggarap dan kelompok penggarap petani berdasi.

Melihat situasi lahan dan untuk menghindari tumpang tindih areal,

maka Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan mengambil

kebijakan dari luas lahan 87.000 Ha hanya mengelola lahan seluas 23.000

Ha. Namun, dalam areal 23.000 Hektar ini juga masih ditemukan

masyarakat penggarap. Bertitik tolak dari tujuan Koperasi perkebunan

Kelapa Sawit Bukit Harapan bukan untuk merugikan masyarakat. Lahan

garapan masyarakat telah dilakukan ganti rugi seluas lebih kurang 17.396,74

Hektar, dengan jumlah rupiah Rp. 12.062.009.500,- (Dua belas milyar enam

(23)

Walaupun telah dilakukan ganti rugi lahan terhadap masyarakat

penggarap, tantangan dan hambatan masih tetap muncul, yaitu terjadinya

suatu tragedi yang memilukan hati dengan meninggalnya empat orang

karyawan Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan pada tanggal

16 Februari 2000 yang dianiaya dan dibunuh oleh orang yang tidak

bertanggungjawab, dan sampai saat ini pelaku pembunuhan tersebut belum

diproses oleh hukum. Tragedi tersebut kami kenang sebagai TRAGEDI

KEMANUSIAAN, dan untuk mengenangnya kami sengaja mendirikan

Patung Korban Tragedi Kemanusiaan tersebut di areal kebun Koperasi

Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan.67

Hambatan dan rintangan yang lebih gencar juga datang dari

Pemerintah yang selalu menyudutkan, menuduh Koperasi Perkebunan Kelapa

Sawit Bukit Harapan sebagai Perambah Hutan Register 40, perampas tanah

masyarakat. Tuduhan tersebut dilontarkan hanya karena rasa sentiment

terhadap Pengusaha Anak Negeri, yang selalu dipersulit untuk

mengembagkan usahanya. Oleh karenanya Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit

Bukit Harapan sulit memperoleh legalitas/izin, padahal sebelum Koperasi

Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan membuka usaha perkebunan

beberapa perusahaan swasta telah beroperasi/berdiri lebih dahulu di areal

tersebut, termasuk oknum-oknum yang mengkondisikan dirinya menjadi

petani berdasi.

67

(24)

Sengketa antara Masyarakat Adat dan Pemerintah semakin memanas

ketika pada tahun 2005, Departemen Kehutanan Republik Indonesia

mengklaim bahwa tanah tersebut adalah Kawasan Hutan Register 40 Padang

Lawas, melalui proses hukum Pidana yang dinilai masyarakat sarat dengan

muatan politik dan bersifat diskriminatif, serta merta melakukan

pengangkapan terhadap DR. Sutan Raja DL. Sitorus dengan tuduhan dan

dakwaan yang tidak relevan serta terkesan dipaksakan. Tuduhan tersebut

adalah ILLEGAL LOGGING / Merambah Hutan, padahal yang bersangkutan

adalah investor beri’tikad baik sebagai “Mitra” bagi warga masyarakat adat

(bukan pemilik lahan) yang telah berhasil meningkatkan kesejahteraan ribuan

warga Masyarakat Adat setempat yakni Petani Plasma mendapat pembagian

pola PIR seluas 2 Hektar/Kepala Keluarga sebagai kompensasi pembangunan

Tanah Ulayat tersebut, serta menyerap puluhan ribu Tenaga Kerja yang

berarti telah turut membantu Program Pemerintah dalam upaya pengentasan

kemiskinan dan mengurangi pengangguran, akan tetapi akhirnya dijatuhi

hukuman delapan tahun penjara, tanpa meninjau dan memperhatikan situasi

dan kondisi sosial di lapangan.

Hal tersebut jelas membuat masyarakat bingung dan tidak mengerti,

merasa cemas dan resah karena terlebih lahan tersebut dinyatakan

“dirampas” untuk Negara. Sementara 40 lebih pengusaha (investor)

Perkebunan Kelapa Sawit lainnya dihamparan lahan yang sama justru tidak

(25)

tapi hingga saat ini tak satupun yang dipermasalahkan oleh Kementerian

Kehutanan atau diproses secara hukum, apalagi dipenjarakan.68

Sehubungan dengan maksud Departemen Kehutanan Republik

nafas kehidupan Masyarakat Adat yang berarti akan memiskinkan kembali

kehidupan masyarakat.

Pemaksaan kehendak oleh Pemerintah sangat tidak sesuai bahkan

bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab serta

menciderai kedaulatan, harkat dan martabat Masyarakat Adat Nusantara pada

umumnya, khususnya Masyarakat Adat Kecamatan Simangambat karena

tindakan tersebut adalah arogansi yang tidak berdasar serta bernuansa

Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) , sehingga wajar jika Masyarakat

Adat Luhat Ujung Batu dan Luhat Simangambat tidak akan tinggal diam,

dan mereka akan melakukan perlawanan hingga titik darah terakhir.69

Hal-hal yang tertulis di atas merupakan latarbelakang timbulnya sengketa antara

Masyarakat Adat dengan Pemerintah di atas tanah Register 40 Padang Lawas.

68

Point ke 3 Surat Penelokan Eksekusi Tanah Ulayat Lahan Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit harapan di Kec.Simangambat, Kabupaten Padang Lawas Utara

69

(26)

BAB IV

PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF ANTARA

MASYARAKAT ADAT DENGAN PEMERINTAH TERHADAP KAWASAN HUTAN REGISTER 40 PADANG LAWAS

A. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Sengketa Pertanahan antara Masyarakat Adat dengan Pemerintah di atas Tanah Register 40 Padang Lawas

Proses eksekusi perkebunan kelapa sawit seluas 47.000 hektar yang

berada di kawasan register 40 Padang Lawas sebagai akar penyebab

terjadinya sengketa dikarenakan adanya diskriminasi penerapan hukum yang

mana dalam satu objek perkara yang sama terdapat 3 putusan (Pidana,

Perdata, dan Tata Usaha Negara).

Dalam perkara pidana Putusan MA No. 2642 K/Pid/2006 tanggal 12

Februari 2007, menyatakan terdakwa D.L Sitorus terbukti secara sah

bersalah melakukan tindak pidana mengerjakan dan menggunakan kawasan

hutan secara tidak sah dan menghukum Darianus Lungguk Sitorus 8

(delapan) tahun penjara, denda Rp. 5 Milyar.70

Selanjutnya, mengeksekusi perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan

(27)

Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan melawan Departemen Kehutanan.

Mahkamah Agung memutuskan menyatakan batal surat Menteri Kehutanan

No. S 149/Menhut-II/2004 tanggal 13 Oktober 2004 perihal permohonan

untuk mengelola perkebunan di dalam kawasan hutan Register 40 Padang

Lawas Provinsi Sumatera Utara.

Demikian juga Perkara Perdata, masyarakat adat Padang Lawas

menggugat Jaksa Agung RI yang mana Putusan Pengadilan Negeri

Padangsidimpuan No. 13/PDT. PLW/2007/PN.PSP, mengabulkan gugatan

masyarakat adat dan menyatakan masyarakat adat itu adalah pemilik sah

dan beri’tikad baik dalam hak atas bidang-bidang tanah perkebunan itu.

Kemudian dalam putusan itu dinyatakan tidak sah dan tidak

berkekuatan hukum Berita Acara Penyitaan (Letak Sita) tertanggal 22

November 2005 oleh Kejaksaan Agung terkait objek perkara Darianus

Lungguk Sitorus dan menguatkan bukti kepemilikan Sertifikat Hak Milik

(SHM) yang dimiliki masyarakat secara turun temurun (8 keturunan) telah

mendiami dan menguasai lahan tersebut.71

Dari segi administrasi dan penerapan hukum, Pemerintah menunjukkan

tidak konsisten terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan, dan hal

tersebut menjadi faktor yang menyebabkan terjadinya sengketa pertanahan

antara Masyarakat Adat dengan Pemerintah di atas Tanah Register 40

Padang Lawas, antara lain :

71

(28)

1. Tidak konsistennya Pemerintah dalam menjalankan amanah Pasal

33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 2 ayat (4)

Undang-Undang Pokok Agraria. Dimana dalam peraturan ini

Negara menjamin hak Masyarakat Adat dalam mengolah Tanah

Ulayat mereka. Akan tetapi pada kenyataannya Negara

melimpahkan sebagian besar dari hak tersebut kepada

perusahaan-perusahaan swasta besar atau pada Badan Usaha Milik Negara

(BUMN) yang dibentuk oleh Pemerintah sendiri, tanpa konsultasi

dan persetujuan rakyat. Dengan pelimpahan ini, maka pengelolaan

sumber daya alam oleh pihak perusahaan swasta dan BUMN

menjadi lebih dominan. Di lain pihak, Masyarakat Adat tidak

merasakan keuntungan yang dinikmati para pengusaha yang

memprioritaskan keuntungan pribadi mereka.

2. Tidak konsistennya Pemerintah dalam hal pemberian izin

pengelolaan perkebunan Kelapa Sawit dalam Kawasan Hutan

Register 40 Padang Lawas.

Hal tersebut dibuktikan dalam beberapa surat yang kontradiksi

yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan, antara lain :

- Tanggal 26 September 2002 Menteri Kehutanan telah

mengeluarkan surat No. 1680/Menhut III/2002 perihal

pemberian izin pengelolaan (ijin prinsip) atas Lahan Eks

Tanah Ulayat Masyarakat Adat Kecamatan Simangambat

(29)

- Tanggal 13 Oktober 2004 Menteri Kehutanan

mengeluarkan surat No. S.419/Menhut-II/2004 perihal

Pembatalan Ijin Pengelolaan tersebut. (Surat Terlampir)

3. Pemerintah tidak menghormati Putusan Mahkamah Agung

Republik Indonesia No. 134/K/TUN2007 pada tanggal 19 Juni

2007 yang dikuatkan dengan Putusan Peninjauan Kembali (PK)

Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 06/PK/TUN/2008 pada

tanggal 05 Mei 2008 tentang Perkara Kasasi Tata Usaha Negara

antara Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan

melawan Menteri Kehutanan RI. Dimana dalam gugatan ini

KPKS Bukit Harapan menggugat Kementerian Kehutanan RI

tentang Surat No. S.419/Menhut-II/2004 perihal Pembatalan Ijin

Pengelolaan Lahan Eks Tanah Ulayat Masyarakat Adat Luhat

Simangambat dan Luhat Ujung Batu, Kabupaten Padang Lawas

Utara. Dalam hal ini perkara ini dimenangkan oleh Koperasi

Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan. Artinya Surat Menteri

Kehutanan No. 1680/Menhut III/2002 tentang pemberian izin

pengelolaan lahan masih tetap berlaku. Konsekuensinya jelas

bahwa Ijin Pengelolaan KPKS Bukit Harapan atas Lahan Eks

Tanah Ulayat seluas 23.000 hektar di Kecamatan Simangambat,

Kabupaten Padang Lawas Utara adalah Sah dan Berkekuatan

(30)

Supremasi Hukum sebagaimana diatur dalam UUD 1945 bahwa

Negara adalah berdasarkan atas Hukum.

4. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kehutanan tidak

menghormati Putusan Hukum Pengadilan Tata Usaha Negara yang

telah memiliki Kekuatan Hukum Tetap atas Lahan tersebut meski

telah beberapa kali disomasi oleh Pengadilan Tata Usaha Negara,

justru sebaliknya bahwa dengan arogansinya Kehutanan

mengeluarkan Surat No. S.39/Menhut-IV/RHS/2010 tertanggal 18

Juni 2010 perihal Peringatan meninggalkan lokasi kepada Ir.

Djonggi Sitorus selaku Ketua Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit

Bukit Harapan (KPKS) yang membuat Masyarakat Adat

Kecamatan Simangambat merasa resah, tidak nyaman, bagaikan di

negeri sendiri dijajah bangsa sendiri.

5. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kehutanan telah melanggar

Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (Algemene beginselen

van behoorlijk bestuur) dengan uraian sebagai berikut72 :

a. Asas kepastian hukum (Rechtszeker heidsbeginsel)

Bahwa pembatalan sepihak Kementerian Kehutanan melalui

suratnya No. SA 19/Menhut-II/2004 tanggal 13 Oktober 2004,

namun pada tanggal 26 September 2002 dengan suratnya No.

1860/Menhut-III/2002 Kementerian Kehutanan memberikan

persetjuan prinsip bahkan telah memberikan perincian detail

72

(31)

dan menyeluruh tentang hal-hal apakah yang harus dilakukan

oleh Masyarakat Adat yang tergabung dalam KPKS Bukit

Harapan agar dapat mengelola lahan perkebunan kelapa sawit

seluas 23.000 hektar di kawasan register 40 Padang Lawas.

Perbuatan Pemerintah jelas mengaburkan kepastian hukum

mengenai diperbolehkannya Masyarakat Adat untuk

membangun/mengelola lahan perkebunan kelapa sawit di atas

tanah-tanah ex-adat yang berada di Luhat Simangambat dan

Luhat Ujung Batu (kawasan register 40 Padang Lawas) yang

merupakan hak Masyarakat Adat, selain itu surat yang

dikeluarkan Kementerian Kehutanan saling bertentangan dan

inkonsistensi dalam tindakan hukum yang menghilangkan asas

kepastian hukum.

b. Asas Kecermatan (Zorgvuldigheidsbeginsel)

Bahwa perbuatan Pemerintah yang telah menerbitkan Surat

Keputusan pembatalan secara sepihak terhadap pemberian izin

prinsip kepada Penggugat untuk mengelola lahan kelapa sawit

di kawasan register 40 Padang Lawas, dengan tidak

memperhatikan secara lebih seksama dan lebih teliti bahwa

Masyarakat Adat/Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit

Harapan telah memenuhi seluruh kewajibannya untuk dapat

membangun/mengelola lahan kelapa sawit seluas 23.000 hektar

(32)

Pemerintah telah memberikan izin prinsipnya melalui Surat

Menteri Kehutanan yang diterbitkan dan ditandatangani sendiri

dengan No. 1630/Menhut-III/2002 pada tanggal 26 September

2002

c. Asas tertib penyelenggaraan Negara, Asas keterbukaan ( Azas

pemberian alasan)

Bahwa perbuatan Pemerintah yang secara sepihak telah

membatalkan Surat Izin Prinsip yang telah diterbitkan oleh

Pemerintah sendiri pada tanggal 26 September 2002, tidak

didukung dengan alasan-alasan yang sah yang menjadi dasar

hukum penerbitan Surat Keputusan tersebut, sebagaimana

lazimnya sebuah Surat Keputusan yang baik yang harus

menjelaskan setidaknya memberikan alasan, dasar fakta yang

teguh serta pemberian alasan yang mendukung.73

Sudah merupakan azas dalam pemerintahan yang baik, bahwa

setiap keputusan harus didasarkan alasan yang sah yang

menjadi dasar pertimbangan, memiliki dasar fakta yang teguh

yang dapat dibuktikan kebenarannya, dan pemberian alasan

yang mendukung dan meyakinkan, baik secara rasional dan

juga mempunyai kekuatan hukum berdasarkan peraturan yang

berlaku.

73

(33)

d. Asas Proporsionalitas, Asas Profesionalisme dan Asas

Akuntabilitas (Asas permainan yang layak/ Het beginselen van

fairplay).

Bahwa Pemerintah dengan suratnya No. 1680/Menhut-III/2002 tanggal

26 September 2002 tentang Pemberian Izin Prinsip kepada KPKS Bukit

Harapan untuk pengelola lahan perkebunan kelapa sawit seluas 23.000

hektar di kawasan register 40 Padang Lawas juga beserta seluruh

persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi dan dilakukan oleh KPKS Bukit

Harapan agar dapat mengelola lahan kelapa sawit di kawasan register 40

Padang Lawas tersebut. Akan tetapi berdasarkan fakta hukum, pada saat

Masyarakat Adat sedang berusaha memenuhi seluruh persyaratan

sebagaimana ditentukan oleh Pemerintah, tiba-tiba secara sepihak dengan

tanpa penjelasan Pemerintah membatalkan izin prinsip yang telah

diterbitkannya tersebut. Pemerintah juga tidak memberikan kesempatan

kepada Masyarakat Adat untuk mendapatkan penjelasan yang layak

mengenai alasan hukum pembatalan izin prinsip tersebut. Berdasarkan hal

tersebut diatas berakibat timbulnya sengketa yang berkepanjangan antara

Masyarakat Adat dengan Pemerintah di atas tanah Register 40 Padang Lawas.74

74

(34)

B. Penyelesaian Sengketa Alternatif yang bisa dilakukan dalam

Menyelesaiakan Sengketa Pertanahan antara Masyarakat Adat

dengan Pemerintah di atas Tanah Register 40 Padang Lawas

Hutan merupakan ekosistem alam karunia Tuhan Yang Maha Esa

yang patut dijaga kelestariannya dan dimanfaatkan secara bijak sesuai dengan

fungsinya untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Dalam

menyelesaikan Tuhan Yang Maha Esa yang patut dijaga kelestariannya dan

dimanfaatkan secara bijak sesuai dengan fungsinya untuk kemakmuran dan

kesejahteraan masyarakat.

Dalam menyelesaikan hak-hak masyarakat dalam kawasan hutan

sepanjang masih menguasai tanah di kawasan hutan sesuai prinsip Negara

Kesatuan Republik Indonesia, perlu pengakuan dan perlindungan terhadap

hak-hak masyarakat. Oleh karenanya apapun yang dilakukan dalam proses

penyelesaian sengketa ini harus sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar

1945.

Pasal 3 Ayat (3) UUD 1945 berbunyi :

“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai

oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Artinya apapun solusi yang dipergunakan harus bertujuan untuk

menguntungkan dan mensejahterakan rakyat, bukan untuk mensejahterakan para

pengusaha-pengusaha yang tidak bertanggungjawab, bahkan para aparatur Negara

(35)

Ada beberapa upaya penyelesaian sengketa alternatif yang bisa dilakukan

dalam menyelesaikan sengketa antara Masyarakat Adat dengan Pemerintah, antara

lain :

Alternatif I :

Menerapkan kembali upaya pemerintah atau Departemen Kehutanan dalam hal

penerbitan surat Menteri Kehutanan Nomor : 1680/Menhut-III/2002 tanggal 26

September 2002 kepada Ketua Koperasi Bukit Harapan, yang pada dasarnya

menyatakan bahwa :

a. Kawasan hutan yang telah diduduki oleh masyarakat, yayasan, koperasi

maupun perusahaan tetap dipertahankan sebagai kawasan hutan.

b. Secara keseluruhan koperasi, yayasan, dan perusahaan yang menduduki

kawasan hutan tersebut diwajibkan membayar ganti rugi tegakan hutan

yang telah ditebangnya

c. Koperasi, Yayasan, dan Perusahaan tersebut diberikan Izin Usaha

Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (IUPHHBK), dalam hal ini

merupakan kelapa sawit)

d. Pemberian IUPHHBK diberikan selama satu periode kelapa sawit (selama

35 tahun.

e. Pemberian IUPHHBK tersebut disertai kewajiban kepada pengelola

Kelapa Sawit tersebut untuk melakukan penanaman tanaman kehutanan

diantara tanaman kelapa sawit sebelum berakhirnya masa satu periode

f. Satu tahun setelah diberikan IUPHHBK, petugas kehutanan pengukuran

(36)

Apabila hal ini diterapkan maka akan ada banyak keuntungan bagi

masyarakat dan pemerintah, antara lain :

a. Areal okupasi penduduk/masyarakat, yayasan, koperasi dan

perusahaan terhadap Kawasan Hutan Padang Lawas dapat

dikembalikan statusnya menjadi kawasan hutan.

b. Pengelola kebun kelapa sawit mendapat kepastian berusaha dari

pemerintah yang berupa IUPHHBK (kelapa sawit)

c. Pemerintah tidak kehilangan luasan kawasan hutannya

d. Pemerintah Daerah mendapat pemasukan berupa PBB atas

areal/kawasan yang telah diusahakan kelapa sawit secara sah

e. Pemerintah mendapat penggantian tegakan berupa PSDH/DR terhadap

tegakan yang telah ditebang

f. Dapat dibentuk tegakan HTI Meranti untuk jangka waktu satu daur

ulang kelapa sawit

g. Pemerintah mendapat tambahan PSDH dari hasil kelapa sawit yang

dipanen pada tahun berjalan

Alternatif II :

Melakukan tindakan justisi dengan melanjutkan proses hukum sesuai dengan

kebijakan Menteri Kehutanan.

Dengan melaksakan alternatif ini maka akan sangat merugikan bagi masyarakat,

akan tetapi terwujud juga sebuah kebaikan, seperti :

a. Departemen Kehutanan menegakkan hukum sesuai proses sejarah

(37)

b. Akan terwujud kepastian hukum terhadap Kawasan Hutan Padang Lawas

Alternatif III :

Melepaskan kawasan hutan Padang Lawas terutama Register 40 yang telah

diduduki masyarakat, koperasi, yayasan dan perusahaan.

Adapun kebaikan pada alternatif ini, antara lain :

a. Ada kepastian masyarakat, yayasan, koperasi dan perusahaan dalam

melakukan kegiatan perkebunan kelapa sawit

b. Adanya kepastian Departemen Kehutanan dalam menentukan neraca

kawasan hutan

C.Faktor-Faktor Penghalang dalam Menyelesaikan Sengketa Pertanahan

yang terjadi di atas Tanah Register 40 Padang Lawas

Ada beberapa faktor penghalang dalam menyelesaikan sengketa antara

masyarakt adat dengan pemerintahan, antara lain :

1. Menerapkan kembali upaya pemerintah atau Departemen Kehutanan dalam

hal penerbitan surat Menteri Kehutanan Nomor : 1680/Menhut-III/2002

tanggal 26 September 2002 kepada Ketua Koperasi Bukit Harapan, yang pada

dasarnya menyatakan bahwa :

a. Kawasan hutan yang telah diduduki oleh masyarakat, yayasan, koperasi

(38)

b. Secara keseluruhan koperasi, yayasan, dan perusahaan yang menduduki

kawasan hutan tersebut diwajibkan membayar ganti rugi tegakan hutan

yang telah ditebangnya

c. Koperasi, Yayasan, dan Perusahaan tersebut diberikan Izin Usaha

Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (IUPHHBK), dalam hal ini

merupakan kelapa sawit)

d. Pemberian IUPHHBK diberikan selama satu periode kelapa sawit

(selama 35 tahun.

e. Pemberian IUPHHBK tersebut disertai kewajiban kepada pengelola

Kelapa Sawit tersebut untuk melakukan penanaman tanaman kehutanan

diantara tanaman kelapa sawit sebelum berakhirnya masa satu periode

f. Satu tahun setelah diberikan IUPHHBK, petugas kehutanan pengukuran

batas hutan

Kelemahan :

a. Departemen Kehutanan memerlukan waktu setidaknya 35 tahun untuk

mengembalikan status kawasan hutan secara utuh.

b. Proses justisi terhadap Kawasan Hutan Padang Lawas, terutama register

40 Padang Lawas dihentikan, untuk selanjutnya dialihkan menjadi proses

penerbitan IUPHHBK.

c. Adanya hambatan dari masyarakat yang melakukan okupasi kawasan

Oleh karenanya masih terdapat faktor penghambat yang menyebabkan

(39)

Alternatif II :

Melakukan tindakan justisi dengan melanjutkan proses hukum sesuai dengan

kebijakan Menteri Kehutanan.

Kelemahan :

a. Memerlukan upaya yang sangat rumit, waktu yang sangat panjang, dan

biaya yang sangat besar.

b. Selama proses hukum berlangsung akan terjadi stagnasi atau vakum

pelaksanaan kegiatan perkebunan kelapa sawit yang menyebabkan

pengangguran besar-besaran terhadap tenaga kerja masyarakat setempat,

dan mengganggu kepercayaan investor serta mempengaruhi laju

pembangunan daerah.

c. Proses pengukuran kembali tata batas hutan terutama kawasan hutan

register 40 akan sulit dilaksanakan, karena adanya perlawanan dari

masyarakat.

d. Pemerintah tidak mendapat kontribusi penerimaan PSDH, DR serta PBB.

e. Bukti material tata batas hutan di lapangan sudah tidak ditemukan di

seluruh level penggarap.

Peluang untuk mencapai alternatif ini adalah sekitar 50 % karena masih banyak

(40)

Alternatif III :

Melepaskan kawasan hutan Padang Lawas terutama Register 40 yang telah

diduduki masyarakat, koperasi, yayasan dan perusahaan

Kelemahan :

a. Akan terjadi pengurangan kawasan hutan secara drastis

b. Wibawa pemerintah dalam hal ini Departemen Kehutanan akan turun

c. Pemerintah tidak mendapat sedikitpun penggantian terhadap tegakan yang

telah ditebang

d. Akan terjadi pengulangan perambahan lokasi perkebunan kelapa sawit

Peluang untuk melaksanakan alternatif ini hanya 20 %, karena

(41)

BAB V

PENUTUP

A.Kesimpulan

1. Sengketa antara Masyarakat Adat dan Pemerintah berawal pada tahun

2005, Departemen Kehutanan Republik Indonesia mengklaim bahwa

tanah tersebut adalah Kawasan Hutan Register 40 Padang Lawas,

melalui proses hukum Pidana yang dinilai masyarakat sarat dengan

muatan politik dan bersifat diskriminatif, serta merta melakukan

penangkapan terhadap DR. Sutan Raja D.L Sitorus dengan tuduhan dan

dakwaan yang tidak relevan serta terkesan dipaksakan. Tuduhan tersebut

adalah ILLEGAL LOGGING / Merambah Hutan, padahal yang

bersangkutan adalah investor beri’tikad baik sebagai “Mitra” bagi warga

masyarakat adat (bukan pemilik lahan) yang telah berhasil meningkatkan

kesejahteraan ribuan warga Masyarakat Adat setempat yakni Petani

Plasma mendapat pembagian pola PIR seluas 2 Hektar/Kepala Keluarga

sebagai kompensasi pembangunan Tanah Ulayat tersebut, serta menyerap

puluhan ribu Tenaga Kerja yang berarti telah turut membantu Program

Pemerintah dalam upaya pengentasan kemiskinan dan mengurangi

pengangguran, akan tetapi akhirnya dijatuhi hukuman delapan tahun

penjara, tanpa meninjau dan memperhatikan situasi dan kondisi sosial di

(42)

2. Upaya penyelesaian sengketa alternatif antara Masyarakat Adat dengan

Pemerintah terhadap awasan Hutan Register 40 Padang Lawas dapat dilakukan

dengan beberapa alternatif, antara lain :

1) Menerapkan kembali upaya pemerintah atau Departemen Kehutanan

dalam hal penerbitan surat Menteri Kehutanan Nomor :

1680/Menhut-III/2002 tanggal 26 September 2002 kepada Ketua Koperasi Bukit

Harapan, yang pada dasarnya menyatakan bahwa : Kawasan hutan yang

telah diduduki oleh masyarakat, yayasan, koperasi maupun perusahaan

tetap dipertahankan sebagai kawasan hutan, secara keseluruhan koperasi,

yayasan, dan perusahaan yang menduduki kawasan hutan tersebut

diwajibkan membayar ganti rugi tegakan hutan yang telah ditebangnya,

Koperasi, Yayasan, dan Perusahaan tersebut diberikan Izin Usaha

Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (IUPHHBK), dalam hal ini

merupakan kelapa sawit), Pemberian IUPHHBK diberikan selama satu

periode kelapa sawit (selama 35 tahun), pemberian IUPHHBK tersebut

disertai kewajiban kepada pengelola Kelapa Sawit tersebut untuk

melakukan penanaman tanaman kehutanan diantara tanaman kelapa sawit

sebelum berakhirnya masa satu periode, satu tahun setelah diberikan

IUPHHBK, petugas kehutanan pengukuran batas huta;

2) Melakukan tindakan justisi dengan melanjutkan proses hukum sesuai

dengan kebijakan Menteri Kehutanan;

3) Melepaskan kawasan hutan Padang Lawas terutama Register 40 yang telah

(43)

3. Faktor-faktor penghalang dalam menyelesaikan sengketa antara Masyarakat

Adat dengan Pemerintah di atas tanah Register 40 Padang Lawas, antara lain :

1) Departemen Kehutanan memerlukan waktu setidaknya 35 tahun untuk

mengembalikan status kawasan hutan secara utuh, Proses justisi terhadap

Kawasan Hutan Padang Lawas, terutama register 40 Padang Lawas

dihentikan, dan selanjutnya dialihkan menjadi proses penerbitan

IUPHHBK.

2) Memerlukan upaya yang sangat rumit, dan biaya yang sangat besar,

Selama proses hukum berlangsung akan terjadi stagnasi atau vakum

pelaksanaan kegiatan perkebunan kelapa sawit yang menyebabkan

pengangguran besar-besaran terhadap tenaga kerja masyarakat setempat,

dan mengganggu kepercayaan investor serta mempengaruhi laju

pembangunan daerah, proses pengukuran kembali tata batas hutan

terutama kawasan hutan register 40 akan sulit dilaksanakan, karena adanya

perlawanan dari masyarakat, pemerintah tidak mendapat kontribusi

penerimaan PSDH, DR serta PBB, bukti material tata batas hutan di

lapangan sudah tidak ditemukan di seluruh level penggarap.

3) Akan terjadi pengurangan kawasan hutan secara drastis, wibawa

pemerintah dalam hal ini Departemen Kehutanan akan turun, Pemerintah

tidak mendapat sedikitpun penggantian terhadap tegakan yang telah

ditebang, akan terjadi pengulangan perambahan lokasi perkebunan kelapa

(44)

B.Saran

1. Pada saat ini metode penyelesaian yang sangat mungkin digunakan adalah

metode pada alternatif yang pertama, yaitu Menerapkan kembali upaya

pemerintah atau Departemen Kehutanan dalam hal penerbitan surat

Menteri Kehutanan Nomor : 1680/Menhut-III/2002 tanggal 26 September

2002 kepada Ketua Koperasi Bukit Harapan. Metode ini dipilih karena

sama-sama tidak merugikan kedua belah pihak, baik Masyarakat Adat

maupun Pemerintah. Karena Masyarakat adat akan sangat senang dan akan

mengikuti kesepakatan dalam satu daur ulang tanaman Kelapa Sawit,

disisi lain pemerintah juga dinilai bijaksana dalam mengambil keputusan,

dan nantinya pada saat satu daur ulang selesai maka kawasan tersebut akan

dikembalikan ke kawasan hutan kembali.

2. Pemerintah harus lebih mengatur dan menguatkan lagi Undang-Undang

tentang Pertanahan terutama tentang konflik yang akan terjadi di masa

mendatang. Diharapkan aturan yang dibuat harus sesuai dengan konsep

bekerjanya hukum sebagai suatu sistem agar tidak terjadi tumpang tindih

bahkan kekosongan hukum dalam berbagai masalah pertanahan. `

3. Badan Pertanahan Nasional harus lebih berhati-hati dalam melakukan

proses pendaftaran tanah termasuk dalam menerbitkan sertifikat. Badan

Pertanahan Nasional harus mengacu pada prosedur yang telah diatur di

dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan Peraturan Pemerintah

(45)

BAB II

kebudayaan dan pandangan hidup bangsa Indonesia, yang memberikan pedoman

kepada sebagian besar orang-orang Indonesia dalam kehidupan sehari-hari, dalam

hubunga antara yang satu dengan yang lain, baik di kota maupun dan

lebih-lebih di desa.12

Adat merupakan pencerminan daripada kepribadian suatu bangsa,

merupakan salah satu penjelmaan daripada jiwa bangsa yang bersangkutan

dari abad ke abad. Oleh karena itu, maka setiap bangsa di dunia ini

memiliki adat kebiasaan sendiri-sendiri yang satu dengan yang lainnya tidak

sama. Justru oleh karena ketidaksamaan inilah kita dapat mengatakan, bahwa

adat itu merupakan unsur terpenting yang memberikan identitas kepa

da bangsa yang bersangktan.13

Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta, Pradnya Paramita 2006, hal. 7

13

Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta, Haji Masagung 1988, hal. 13

14

(46)

Hukum Adat merupakan hukum yang tidak tertulis di dalam

peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang

berwajib, toh ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas

keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai

kekuatan hukum

b. Mr. J.H.P. Bellefroid

Hukum Adat merupakan peraturan hidup yang meskipun tidak

diundangkan oleh penguasa toh dihormati dan ditaati oleh rakyat

dengan keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut berlaku sebagai

hukum.

c. Prof. M.M Djojodigoeno, S.H

Hukum Adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada

peraturan-peraturan.

Terdapat dua unsur hukum adat, antara lain :

- Unsur Kenyataan; bahwa adat itu dalam keadaan yang sama

selalu diindahkan oleh rakyat.

- Unsur Psikologis; bahwa terdapat adanya keyakinan pada rakyat,

bahwa adat dimaksud mempunyai kekuatan hukum.15

Siapapun yang ingin mengetahui tentang berbagai lembaga hukum yang

ada dalam sesuatu masyarakat, seperti lembaga hukum tentang perkawinan,

lembaga hukum tentang pewarisan, lembaga hukum tentang jual-beli barang,

lembaga hukum tentang kepemilikan tanah dan lain-lain, harus mengetahui

15

(47)

struktur masyarakat yang bersangkutan. Struktur masyarakat menentukan

system (struktur) hukum yang berlaku di masyarakat itu, Soepomo menulis :

“Penyelidikan hukum adat, yang hingga sekarang telah berlangsung kira-kira

50 tahun, sungguh membenarkan pernyataan van Vollenhoven dalam

orasinya pada tanggal 2 Oktober 1901 ; bahwa untuk mengetahui hukum, maka

perlu diselidiki untuk waktu dan di daerah manapun juga, sifat dan susunan

badan-badan persekutuan hukum, dimana orang-orang yang dikuasai oleh

hukum itu, hidup sehari-hari.16

Dari apa yang dikemukakan oleh van Vollenhoven dan Soepomo di

atas tadi, kelihatan bahwa masyarakat yang mengembangkan ciri-ciri khas

hukum adat itu, adalah persekutuan hukum adat (adatrechtsgemeneschap). Ter

Haar merumuskan bahwa hakikat dari masyarakat hukum (persekutuan

hukum) antara lain :

1. Kesatuan manusia yang teratur

2. Menetap di suatu daerah tertentu

3. Mempunyai penguasa-penguasa

4. Mempunyai kekayaan yang berwujud ataupun tidak berwujud

Dimana para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan

dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam dan tidak

seorangpun di antara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan

16

(48)

untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau meninggalkannya

dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya.17

Agar pemahaman terhadap Hukum Adat lebih mendalam, maka

penulis perlu menguraikan pengertian Hukum Adat menurut para pakar

hukum lainnya.18

Menurut Iman Sudiyat, Hukum Adat adalah :

“Hukum yang mengatur tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungannya satu sama lain, baik merupakan keseluruhan kelaziman, kebiasaan, dan kesusilaan yang benar-benar hidup di masyarakat Adat, karena dianut dan dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat itu, maupun yang merupakan keseluruhan peraturan yang mengenal sanksi atas pelanggaran dan yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan para penguasa Adat (mereka yang mempunyai kewibawaan dan berkuasa member keputusan dalam masyarakat Adat itu) yaitu : Lurah,

Penghulu, Pembantu Lurah, Wali Tanah, Kepala Adat, dan Hakim.”19

Menurut Bushar Muhammad dijelaskan bahwa :

“Hukum Adat itu adalah terutama hukum yang mengatur tingkah laku manusia dalam hubungan satu sama lain, baik yang merupakan keseluruhan kelaziman dan kebiasaan (kesusilaan) yang benar-benar hidup di masyarakat adat karena dianut dan dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat itu, maupun yang merupakan keseluruhan pelanggaran dan yang ditetapkan dalam putusan-putusan para penguasa adat yaitu mereka yang mempunyai kewibawaan dan berkuasa member keputusan dalam masyarakat adat itu, ialah terdiri

Referensi

Dokumen terkait

Dari beberapa faktor yang mempengaruhi prestasi belajar yang telah di jabarkan di atas antara lain, inteligensi, latar belakang ekonomi, pemanfaatan media belajar, motivasi

Bertitik tolak dari latar belakang diatas, maka terdapat beberapa hal yeng menjadi permasalahan dalam penelitian ini antara lain bagaimana merancang ulang tata letak fasilitas industri

Penelitian ini menjadi penting disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: Pertama, Penyelesaian sengketa diluar pengadilan merupakan pilihan para pelaku bisnis dalam bidang