DAFTAR PUSTAKA
A.Buku-Buku
Bambang Daru Nugroho, 2015, Hukum Adat Hak Menguasai Negara atas Sumber
Daya Alam Kehutanan dan Perlindungan terhadap Masyarakat Hukum
Adat, Bandung : RefikaAditama.
Bushar Muhammad, 2006, Asas-Asas Hukum Adat Suatu Pengantar, Jakarta :
Pranadya Paramita.
Fauzi Ridwan, 1982, Hukum Tanah Adat, Jakarta : Dewaruci Press.
Frans Hendra Winarta, 2013, Hukum Penyelesaian Sengketa (Arbitrase
Nasional Indonesia dan Internasional), Jakarta : Sinar Grafika.
Hasim Purba, dkk, 2006, Sengketa Pertanahan dan Alternatif Pemecahan,
(Negosiasi, Mediasi,Konsiliasi & Arbitrase), Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
K. Wantjik Saleh, 1977, Hak Anda Atas Tanah, Jakarta, Ghalia Indonesia.
Mahadi, 1991, Uraian Singkat tentang Hukum Adat Sejak RR Tahun 1854,
Bandung : Alumni.
Maria S.W Sumardjono, 2001, Kebijakan Pertanahan, Jakarta, Kompas.
Muhammad Yamin, 2003, Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria, Medan :
Pustaka Bangsa Press.
Muhammad Yamin dan Rahim Lubis, 2004, Beberapa Masalah Aktual Hukum
Agraria, Medan : Pustaka Bangsa Press.
Philipus M. Hadjon dkk, 2001, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia,
Priyatna Abdurrasyid, 2002, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa – suatu pengantar, Jakarta ; Fikahati Aneska.
Sandra Moniaga, 2005, Hak-hak Masyarakat Adat dan Masalah serta Kelestarian
Lingkungan Hidup di Indonesia, Jakarta : HuMa.
Suyud Margono, 2004, ADR & Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Bogor : Ghalia Indonesia.
Sayud Margono, 2010, Penyelesaian Sengketa Bisnis, Bogor : Ghalia
Indonesia.
Soerjono Soekanto & Soleman B.Taneko, 1983, Hukum Adat Indonesia, Jakarta :
Rajawali Press.
Susanti Adi Nugroho, 2009, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa,
Jakarta : Telaga Ilmu Indonesia.
Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 jo Undang-Undang No. 14 tahun 1970 jo Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang arbitrasi dan Alternatif
Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri RI,Menteri Kehutanan RI, Menteri Pekerjaan Umum RI, dan Kepala BPN RI Nomor 79 Tahun 2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang Berada di dalam Kawasan Hutan .
Keputusan Menteri Koperasi,Usaha Kecil, dan Menengah RI No.
07/BH/KDK.2.9/IX/1998 tentang akte pendirian KPKS Bukit Harapan
C.Perjanjian-Perjanjian :
1. Akta Legalisasi No. 65/L/1998 oleh Notaris Setiawati,SH tentang
Perjanjian Kerjasama antara Masyarakat Adat Luhat Ujung Batu dengan PT. TORGANDA.
2. Akta Legalisasi No. 186/L/1998 oleh Notaris Setiawati,SH tentang
Perjanjian Kerjasama Pengolahan Lahan antara KPKS Bukit Harapan dengan PT.TORGANDA.
D.Putusan-Putusan :
1. Putusan MA No. 2642 K/Pid/2006 tanggal 12 Februari 2007 atas
nama terpidana D.L Sitorus.
2. Putusan Hakim Pengadilan Negeri Padangsidimpuan
No.13/PDT.PLW/2007/PN.PSP atas gugatan terhadap Jaksa Agung RI.
3. Putusan MA RI No. 134/K/TUN/2007 tentang Perkara Kasasi Tata
Usaha Negara antara Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit melawan Menteri Kehutanan RI.
4. Putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung RI Nomor
E. Internet
http://makalahkomplit.blogspot.co.id/2012/08/dasar-berlakunya-hukum-adat.html diakses pada tanggal 19 Desember 2015, pukul 13.00 Wib.
F. Surat, makalah, dan artikel
1. Surat Menteri Kehutanan Nomor : 1680/Menhut III/2002 tentang
Pemberian Ijin (prinsip) Pengelolaan Lahan Register 40.
2. Surat Menteri Kehutanan Nomor : S.419/Menhut-II/2004 tentang
Pembatalan Ijin (prinsip) Pengelolaan Lahan register 40.
3. Surat Penolakan Eksekusi Tanah Ulayat Lahan Koperasi Perkebunan
Kelapa Sawit Bukit Harapan kepada Presiden RI Ir. Joko Widodo, 11 Mei 2015.
4. Lampiran Kronologis KPKS Bukit Harapan Bekerjasama dengan PT.
Torganda oleh Pimpinan KPKS Bukit Harapan, tanggal 04 Februari 2005.
5. Lampiran Kronologis Kehadiran Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit
BAB III
SENGKETA PERTANAHAN YANG TERJADI ANTARA MASYARAKAT ADAT DENGAN PEMERINTAH DI ATAS TANAH
REGISTER 40 PADANG LAWAS
A. Hak Masyarakat Adat di atas Tanah Register 40 Padang Lawas
Hukum Adat sebagai hukum tidak tertulis yang hidup dalam
masyarakat merupakan pencerminan dari kepribadian bangsa Indonesia yang
berurat dan berakar dari kebudayaan bangsa. Setiap suku dan daerah Alam Kehutanan & Perlindungan terhadap Masyarakat Hukum Adat, Bandung : Refika Aditama, 2015, hal. 70
50
Hutan Negara dapat berupa hutan adat. Status dari hutan ditetapkan oleh
pemerintah, sedangkan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut
kenyataannya masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan masih ada dan
diakui keberadaannya. Apabila dalam perkembangannya masyarakat Hukum
Adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengolaan hutan adat
kembali kepada Pemerintah.
Menurut Pasal 37 Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, Pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh masyarakat Hukum Adat
yang bersangkutan, sesuai dengan fungsinya. Pemanfaatan hutan adat yang
berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak
mengganggu fungsinya.
Dalam Pasal 67 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan disebutkan bahwa :
(1) Masyarakat Hukum Adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada
dan diakui keberadaannya berhak :
a)Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan
hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan.
b)Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan Hukum Adat
yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang, dan
c)Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan
(2) Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat Hukum Adat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan
Daerah.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Dalam Pasal 27 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6
Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan Pada
Hutan Produksi disebutkan :
(1) Masyarakat Hukum Adat sepanjang menurut kenyataannya masih
ada dan diakui keberadaannya berdasarkan Peraturan Pemerintah
ini diberikan hak memungut hasil hutan untuk memenuhi
keperluan hidup sehari-hari.
(2) Pengambilan hasil hutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) diatur oleh Menteri.
Berdasar pada Peraturan Perundang-undangan yang tertera diatas
maka masyarakat adat berhak atas Tanah Ulayat mereka yang berada di atas
Tanah Register 40 Padang Lawas. Sebagaimana diketahui bahwa hak
tersebut ada yang termasuk dalam bidang hukum perdata, yaitu yang
berhubungan dengan hak kepunyaan bersama atas tanah tersebut. Ada juga
mengelola, mengatur dan memimpin, penguasaan, pemeliharaan, peruntukkan
dan penggunaannya.51
Hak Ulayat meliputi semua tanah yang ada dalam lingkungan
wilayah masyarakat hukum yang bersangkutan, baik yang sudah dihaki oleh
seseorang maupun yang belum. Masyarakat hukum adatlah sebagai
yang terjadi di atasnya, kemudian secara factual dalam kenyataannya tanah
itu berfungsi sebagai tempat tinggal persekutuan, memberikan kehidupan
kepada warga persekutuan, tempat tinggal makhluk ghaib pelindung
persekutuan dan arwah para leluhur suatu persekutuan.
Menurut fakta tersebut, tanah dalam kehidupan masyarakat adat
mempunyai hubungan yang erat dengan suatu persekutuan hukum yang
berada di atas tanah tersebut, bahkan hubungan tersebut bersifat
Religiomagis. Di Kalimantan, masyarakat Dayak memiliki keyakinan bahwa
shore, every mist in the dark words, every clearing and humming insect is
holy in the memory and experience of my people.” Tanah bagi masyarakat
persekutuan hukum merupakan sumber kehidupan, merusak alam sama
dengan menyakiti kehidupan dan merusak pernafasannya.52
Tanah, tumbuh-tumbuhan (hutan), dan makhluk hidup yang ada di
atasnya merupakan suatu kesatuan ekosistem yang tidak dapat dipisahkan
keberadaannya. Masyarakat Adat sebagai warga persekutuan hukum di suatu
wilayah ulayat kehutanan merupakan subjek hukum yang mempunyai
masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus
sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara,
yang berdasar atas persatuan bangsa serta tidak bertentangan dengan
undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.”54
52
Sandra Moniaga, Hak-hak Masyarakat Adat dan Masalah serta Kelestarian Lingkungan Hidup di Indonesia, Jakarta : HuMa, 2005, hal. 4
53
Bambang Daru Nugroho, Op, Cit, hal. 88
54
Posisi hak ulayat dalam sistem hukum tanah nasional diakui
eksistensinya bagi suatu masyarakat hukum adat tertentu, sepanjang menurut
kenyataannya masih ada. Masih adanya hak ulayat pada suatu masyarakat
hukum adat tertentu, antara lain dapat diketahui dari kegiatan sehari-hari.
Kepala Adat dan para Ketua Adat dalam kenyataannya, sebagai pengemban
tugas kewenangan mengatur penguasaan dan memimpin penggunaan tanah
ulayat yang merupakan tanah bersama para warga masyarakat hukum adat
yang bersangkutan. Selain diakui, pelaksanaannya dibatasi, dalam arti harus
sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara
yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan
dengan undang-undang dan peraturan-peraturan yang lebih tinggi.55
Sesuai dengan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.
134/K/TUN/2007 tertanggal 19 Juni 2007 yang menyatakan bahwa : Izin
Pengelolaan atas Tanah Ulayat seluas 23.000 hektar oleh KPKS Bukit
Harapan di Kecamatan Simangambat kabupaten Padang Lawas Utara adalah
sah dan berkekuatan hukum tetap, dikuatkan dengan putusan Peninjauan
Kembali (PK) Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 06/PK/TUN/2008
pada tanggal 02 Mei 2008.56
Masyarakat Adat yang berada di atas tanah register 40 Padang
Lawas juga telah memiliki bukti bahwa Tanah Ulayat mereka di Kecamatan
Simangambat telah diatur dalam Gouvernment Besluit dari Pemerintahan
Hindia Belanda serta mempunyai batas-batas yang jelas, sebelumnya telah
55Ibid,
hal. 204
56
dikuasai turun temurun sejak tahun 1784,57 telah menjadi lingkungan tempat mengambil keperluan hidup dan penghidupan sehari-hari bagi warga
masyarakat adat setempat yang berdasarkan sejarah asal-usul, dahulu
merupakan 2 Kekuriaan (Kerajaan) Bersaudara, yakni Kekuriaan Ujung Batu
berdiri sejak tahun 1689, dibuktikan : angka tahun tersebut tertera pada
“Stempel Kerajaan” yang terbuat dari perak, salah satu benda peninggalan Kekuriaan Ujung Batu yang sekarang terdiri dari 13 Desa disebut “Huta”
dan Kekuriaan Simangambat terdiri dari 20 Desa/Huta. Tanah Ulayat
dimaksud telah terdaftar di PPAT Kecamatan Barumun Tengah pada tahun
1983, terdaftar di Panitera Pengadilan Negeri Padangsidimpuan pada tahun
1985 dan terdaftar sebagai tanah adat/ulayat di Badan Pertanahan Nasional
(BPN) Kabupaten Tapanuli Selatan pada tanggal 27 Agustus 1992.58
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa
masyarakat adat jelas memiliki hak untuk menguasai tanah ulayat mereka,
dalam hal ini adalah tanah register 40 Padang Lawas sesuai dengan amanah
Undang-Undang, Putusan Mahkamah Agung, dan peraturan-peraturan lainnya.
B. Perlindungan Hukum terhadap Hak atas Tanah Masyarakat Adat
di atas Tanah Register 40 Padang Lawas
Kawasan Register 40 Padang Lawas merupakan Tanah Ulayat bagi
Masyarakat Adat Kecamatan Simangambat berdasarkan Gouvernment Besluit
Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 Pasal 3 dan Pasal 5,
bahkan Amandemen II (dua) Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 – B Ayat
(2) menegaskan : “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.” Kemudian Pasal 28
ayat 1 : “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati sebagai hak azasi manusia (HAM),” serta dipertegas lagi oleh Undang-Undang No.
39 Tahun 1999 tentang HAM, Pasal 6 ayat (2) yang berbunyi : “Identitas
budaya masyarakat hukum adat termasuk hak atas Tanah Ulayat dilindungi
(sebagai hak azasi manusia) selaras dengan perkembangan zaman.59
Pengelolaan atas Lahan Eks Tanah Ulayat seluas kurang lebih
23.000 hektar oleh KPKS Bukit Harapan telah mendapat izin Pengelolaan
(izin prinsip) yang dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan Republik Indonesia
melalui surat Menhut No. 1680/Menhut III/2002, tanggal 26 September
2002 meski oleh Menteri Kehutanan sempat membatalkan Ijin Pengelolaan
tersebut pada bulan Oktober 2004, akan tetapi pihak KPKS Bukit Harapan
memperkarakan Surat Pembatalan Menhut No. S.419/Menhut-II/2004
tertanggal 13 Oktober 2004 tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara
(PTUN), dan ternyata hasilnya dimenangkan oleh KPKS Bukit Harapan
dalam perkara Kasasi Tata Usaha Negara melalui Putusan Mahkamah
Agung RI No. 134/K/TUN/2007 pada tanggal 19 Juni 2007 yang dikuatkan
dengan Putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung RI No.
06/PK/TUN/2008 pada tanggal 05 Mei 2008.
59
Berdasarkan landasan diatas maka konsekuensinya jelas bahwa Ijin
Pengelolaan KPKS Bukit Harapan atas Lahan Eks Tanah Ulayat seluas
kurang lebih 23.000 hektar di Kecamatan Simangambat Kabupaten Padang
Lawas Utara adalah Sah dan Berkekuatan Hukum Tetap yang harus diakui
dan dihormati demi tegaknya Supremasi Hukum (Law Enforcement)
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 bahwa Negara
Indonesia berdasarkan atas hukum (Recht Staat), bukan berdasarkan atas
kekuasaan (Mach Staat).
Dalam Areal 23.000 hektar tersebut, Pihak Kantor Badan
Pertanahan Nasional Kabupaten Tapanuli Selatan telah menerbitkan Sertifikat
Hak Milik atas nama Masyarakat Petani Plasma yang tergabung menjadi
anggota PIR Koperasi Bukit Harapan atas permohonan masyarakat itu
sendiri sebanyak 1.820 helai sertifikat, sebagai berikut60 :
1) Untuk Luhat Ujung Batu sebanyak 500 KK/Sertifikat terdiri dari 11
Desa.
2) Untuk Luhat Simangambat sebanyak 1.320 KK/Sertifikat terdiri dari
20 Desa
Berdasarkan hal tersebut diatas maka Negara berkewajiban
melindungi setiap masyarakat sebagai pemegang hak atas tanahnya yang
telah dibuktikan dengan memiliki sertifikat yang dikeluarkan oleh Badan
Pertanahan Nasional.
60
Alinea ke empat Pembukaan Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945
menyatakan bahwa: “Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum.” Nyatanya persoalan yang terjadi sekarang justru bukan bagaimana
si miskin supaya memperoleh lahan tanah bagi kesejahteraan hidup mereka,
namun masalah yang muncul yaitu, bagaimana kepemilikan hak atas tanah
dapat dipertahankan.61
Pada saat ini sifat persoalan tanah telah bergeser, yang terlibat
bukan lagi antara pemegang hak atas tanah melawan buruh tani, akan tetapi
antara pemilik modal (investor) bahkan pemerintah melawan pemegang hak
atas tanah, merata terjadi baik di kota maupun di desa.
Oleh karena itu maka teori perlindungan hukum yang terdapat di
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 tersebut, tepat
sekali digunakan untuk tersedianya aturan perlindungan hukum terhadap
pemegang sertifikat hak atas tanah, pemilik hak atas tanah serta segenap
bangsa dan territoriumnya karena adanya kandungan nilai perjuangan serta
motivasi.
C. Perjanjian Kerjasama Tokoh-Tokoh Adat Eks Dewan Negeri Luat Simangambat dengan PT. Torganda dalam Pengelolaan Tanah dalam Kawasan Hutan Register 40 Padang Lawas
Bidang-bidang tanah yang berada di kawasan Register 40 sampai dengan
tahun 1995 dalam keadaan terlantar, ditumbuhi semak-semak dan alang-alang
61
serta tidak mempunyai nilai ekonomis sama sekali. Oleh karenanya masyarakat
adat diwakili oleh tokoh adat setempat bermaksud memanfaatkannya demi
kesejahteraan masyarakat setempat. Namun apabila digarap sendiri-sendiri oleh
masyarakat sudah tentu hasilnya tidak akan maksimal karena keterbatasan dana
dan keahlian. Melalui tokoh-tokoh adat telah mengambil keputusan untuk mencari
investor yang memiliki dana dan berminat untuk mengelola tanah tersebut sebagai
lahan perkebunan khususnya perkebunan kelapa sawit.
Untuk menindaklanjuti rencana pengelolaan perkebunan kelapa sawit
tersebut, kemudian ditandatangani perjanjian-perjanjian sebagai berikut :
Surat Perjanjian tertanggal 23 Juli 1998, untuk lahan seluas kurang lebih 10.000
hektar dan 72.000 hektar ditandatangani oleh dan antara PT.Torganda dengan
Tokoh-Tokoh Eks Dewan Negeri Luhat Simangambat. Surat Perjanjian ini
dilegalisasi oleh Notaris Setiawati, Rantau Prapat No. 68/L/1998 dan No.
186/L/1998. Dalam perjanjian ini disepakati masyarakat adat setuju untuk
bekerjasama dengan Darianus Lungguk Sitorus selaku Direktur Utama
PT.Torganda dengan pola “Bapak Angkat” yang akan mengelola dan membiayai
perkebunan. Pada hari itu juga telah diberikan Uang Tanda Bakti (Pago-Pago)
sesuai dengan Hukum Adat dan Perundang-Undangan Pertanahan kepada
masyarakat Adat Luhat Simangambat yang berhak menerimanya melalui para
Hatobangon dan Raja Panusunan Bulung sebesar Rp. 817.500.000,- (Delapan
Ratus Tujuh Belas Juta Lima Ratus Ribu Rupiah) tunai.
Setelah PT.Torganda meninjau dari berbagai aspek pengelolaan lahan
hak-hak masyarakat adat atas tanah adat ulayat maka PT.Torganda menyarankan
kepada Hatobangon/Tokoh Masyarakat Adat dan Raja Panusunan Bulung Luhat
Ujung Batu dan Luhat Simangambat agar kedua Luhat bernaung dibawah satu
wadah Badan Hukum Koperasi. Atas saran dan petunjuk dari Direktur Utama
PT.Torganda, dan dengan hasil musyawarah-mufakat masyarakat desa kedua
Luhat dibentuklah Koperasi yang bernama Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit
Bukit Harapan yang berkedudukan di Desa Tanjung Botung, Kecamatan
Simangambat, Kabupaten Padang Lawas Utara. Akte pendiriannya disahkan
melalui Keputusan Menteri Koperasi, Usaha Kecil, dan Menengah Republik
Indonesia Nomor : 07/BH/KDK.2.9/IX/1998, tanggal 29 September 1998.62
Setelah Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan berdiri, dengan
persetujuan Masyarakat Adat, Hatobangon dan Tokoh Masyarakat, serta Raja
Panusunan Bulung, Luhat Ujung Batu dan Luhat Simangambat, PT. Torganda
melepaskan hak atas pengelolahan lahan dimaksud sesuai surat Perjanjian
Kerjasama Nomor : 186/L/1998 kepada Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit
Harapan dengan surat pelepasan hak tanggal 30 September 1998 yang dilegalisir
oleh Notaris Setiawaty, SH.
Mengingat keterbatasan kemampuan tenaga skill dan pengalaman serta
keterbatasan dana, maka unuk melanjutkan pengelolahan lahan dimaksud, maka
KPKS Bukit Harapan memohon kepada PT.Torganda untuk menjadi pendamping
atau mitra kerja sekaligus penyandang dana, untuk kelanjutan pembangunan
kebun kelapa sawit dan pengelolaanya. Permohonan tersebut dipenuhi oleh PT.
62
Torganda yang dituangkan dalam Surat Perjanjian Kerjasama dengan notariil akta
nomor : 15, tertanggal 30 September 1998 dibuat dihadapan Notaris Setiawati,
SH.
Dalam Surat Perjanjian Nomor 186/L/1998 yang dilegalisasi oleh Notaris
Setiawati, SH terdapat 11 poin yang menjadi pokok perjajian, antara lain :63
1. Perjanjian ini berlaku untuk jangka waktu yang tidak ditentukan
lamanya-demikian selama antara kedua belah pihak masih terdapat kesepakatan
dalam pelaksanannya.
2. Pihak Pertama dengan ini mengakui bahwa Pihak Kedua, yakni PT.
TORGANDA sebagai satu-satunya “Bapak Angkat” yang berhak dan
berwenang sepenuhnya untuk mengelola dan membiayai dalam arti
seluas-luasnya atas lahan seluas lebih kurang 72.000 hektar.
3. Untuk tertib administrasi kerjasama ini, Pihak Kedua berkewajiban untuk
menyelenggarakan pembukan yang transparan guna kepentingan kedua
belah pihak.
4. Setelah lahan tersebut dapat berproduksi, maka kepada masing-masing
Kepala Keluarga yang berdomisili diatas lahan tersebut, Pihak Kedua
wajib menyerahkan sebagian dari lahan tersebut, yakni seluas lebih kurang
2 hektar untuk setiap Kepala Keluarga.
5. Pihak Pertama dan/atau masyarakat yang memiliki atau menguasai lahan
tersebut dengan ini berjanji dan mengikatkan diri untuk mengangsur
pengembalian modal/dana yang telah dan/atau akan dikeluarkan oleh
63
Pihak Kedua, yakni dengan memperhitungkan dari hasil produksi dan
dengan perbandingan pembagian sebagai berikut :
PIHAK PERTAMA : PIHAK KEDUA = 70 % : 30 %
Pembagian mana harus tetap dilakukan sampai dengan pengembalian
modal Pihak Kedua benar-benar lunas.
6. Agar perjanjian ini dapat terlaksana dengan baik, maka dengan ini Pihak
Pertama member kuasa dengan hak substitusi kepada Pihak Kedua.
7. Pihak Pertama dengan ini berjanji dan mengikatkan diri untuk
memberikan bantuan sepenuhnya kepada Pihak Kedua, semata-mata agar
tercapainya tujuan diadakannya perjanjian ini, terutama menyangkut
legalitas status lahan.
8. Pihak Pertama dan Pihak Kedua dengan ini berjanji untuk menyelesaikan
segala permasalahan atau silang sengketa yang mungkin timbul di
kemudian hari secara musyawarah dan kekeluargaan, namun apabila
secara musyawarah itu tidak tercapai kata sepakat, maka kedua belah
pihak akan menyelesaikannya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
yang berlaku.
9. Segala sesuatu yang belum atau tidak cukup diatur dalam perjanjian ini
akan diatur kemudian dalam suatu perjanjian tersendiri yang merupakan
satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari perjanjian ini.
11.Untuk perjanjian ini dan segala akibatnya, kedua belah pihak memilih
kedudukan (domicilie) hukum yang umum dan tetap di Pengadilan Negeri
Padangsidimpuan.
D. Lahirnya Sengketa Pertanahan antara Masyarakat Adat dengan Pemerintah di atas Tanah Register 40 Padang Lawas
Masyarakat Adat yang diperkirakan paling sedikit 30 juta jiwa
diantaranya berada di dalam atau di sekitar hutan, Pemerintah Republik
Indonesia telah menetapkan kawasan hutan Negara seluas 143 juta hektar
atau kurang lebih 70 % dari luas daratan Republik Indonesia. Penetapan ini
dilakukan secara sepihak dan tidak didasari pengakuan akan keberadaan
wilayah-wilayah adat yang sudah ada sebelum negeri ini didirikan.
Kebijakan Pemerintah tentang pelaksanaan Hak Penguasaan Hutan di
wilayah Hak Ulayat Kehutanan, merupakan kewenangan Pemerintah yang
diatur dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 2
ayat (4) Undang-Undang Pokok Agraria. Walaupun merupakan kewenangan
pemerintah, ternyata dalam pelaksanaannya dapat menimbulkan konflik
dengan masyarakat adat/masyarakat lokal yang menguasai wilayah ulayat
kehutanan tersebut.64
Hak menguasai oleh Negara pada saat ini pada umumnya
dilimpahkan kepada perusahaan-perusahaan swasta besar atau pada Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) yang dibentuk oleh Pemerintah sendiri, tanpa
konsultasi dan persetujuan rakyat. Dengan pelimpahan ini, maka pengelolaan
64
sumber daya alam oleh pihak perusahaan swasta dan BUMN menjadi lebih
dominan. Akumulasi modal dan kekayaan pada penerima hak mengelola
sumber daya alam ini akan terus berkembang.65
Di lain pihak, masyarakat/Masyarakat Hukum Adat belum tentu ikut
merasakan keuntungan yang dinikmati para pengusaha tersebut, karena bagi
pengusaha yang diprioritaskan adalah pengelolaan sumber daya alam yang
menguntungkan para pengusaha. Keterlibatan rakyat dalam kegiatan
pengelolaan sumber daya alam hanya dalam bentuk penyerapan tenaga kerja
oleh pihak pengelola sumber daya alam tidak menjadi prioritas utama dalam
kebijakan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.
Sumber daya alam kehutanan hanya dinikmati dan dikuasai oleh
sekelompok orang saja, karena dari 579 konsesi Hak Penguasaan Hutan di
Indonesia ternyata hanya di dominasi oleh 25 orang pengusaha kelas atas.
Masyarakat local/Masyarakat Hukum Adat yang masih menggantungkan
hidupnya pada sumber daya hutan yang dari generasi ke generasi telah
berbisnis perkayuan terpaksa tidak bisa berbisnis kayu lagi.66
Monopoli kegiatan pemanfaatan hutan dan perdagangan kayu dikuasai
oleh para pemegang Hak Penguasaan Hutan. Monopoli kegiatan pemanfaatan
ini disahkan melalui berbagai peraturan, mulai dari Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan jo. Undang-Undang Nomor
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dengan peraturan pelaksanaannya yang
65Ibid 66
membekukan hak rakyat/Masyarakat Hukum Adat untuk turut mengelola
hutan.
Hak masyarakat hukum adat untuk mengambil hasil hutan sering
berbenturan dengan kebijakan pemerintah dalam pengelolaan perhutanan,
beberapa kasus yang saat ini terjadi, antara lain :
(1) Pengalihan fungsi dari hutan rotan dalam suatu wilayah ulayat
kehutanan menjadi lahan pertanian. Hal ini mengakibatkan
masyarakat hukum adat kehilangan mata pencaharian dalam
pengumpulan hasil rotan.
(2) Hak Ulayat Kehutanan dijadikan Hak Penguasaan Hutan (HPH),
akibatnya masyarakat adat yang berada di wilayah ulayat
kehutanan kehilangan haknya untuk mengambil hasil hutan.
(3) Pengalihan fungsi hutan mangrove/hutan bakau menjadi daerah
pertambakan dan perumahan.
(4) Hak Penguasaan Hutan (HPH) yang merugikan kepentingan
masyarakat adat setempat, karena bersifat merampas hak
masyarakat adat tanpa memberikan kompensasi sebagai pengganti
hak masyarakat adat tersebut.
Sesuai dengan penyerahan lahan masyarakat Luhat Ujung Batu dan
Simangambat serta penyerahan kedua badan hukum tersebut maka luas
lahan seuruhnya yang harusnya dikelola oleh Koperasi Perkebunan kelapa
Dalam pelaksanaan pekerjaan di lapangan koperasi mendapat
hambatan dan rintangan baik dari masyarakat penggarap, kelompok
pengusaha, maupun Instansi Pemerintah. Adapun hambatan dan tantangan
tersebut, antara lain :
1. Dalam areal seluas 87.000 Ha tersebut telah berdiri Perusahaan
Swasta seperti :
a. Koperasi Produsen Sawit Ujung Gading Indah
b. PT. Eka Pendawa Sakti
c. PT. First Mujur Plantation
d. PT. Wonorejo
e. PT. PIR Harapan
f. PT. SSPI
2. Dalam areal yang sama juga ditemukan kelompok kecil masyarakat
penggarap dan kelompok penggarap petani berdasi.
Melihat situasi lahan dan untuk menghindari tumpang tindih areal,
maka Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan mengambil
kebijakan dari luas lahan 87.000 Ha hanya mengelola lahan seluas 23.000
Ha. Namun, dalam areal 23.000 Hektar ini juga masih ditemukan
masyarakat penggarap. Bertitik tolak dari tujuan Koperasi perkebunan
Kelapa Sawit Bukit Harapan bukan untuk merugikan masyarakat. Lahan
garapan masyarakat telah dilakukan ganti rugi seluas lebih kurang 17.396,74
Hektar, dengan jumlah rupiah Rp. 12.062.009.500,- (Dua belas milyar enam
Walaupun telah dilakukan ganti rugi lahan terhadap masyarakat
penggarap, tantangan dan hambatan masih tetap muncul, yaitu terjadinya
suatu tragedi yang memilukan hati dengan meninggalnya empat orang
karyawan Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan pada tanggal
16 Februari 2000 yang dianiaya dan dibunuh oleh orang yang tidak
bertanggungjawab, dan sampai saat ini pelaku pembunuhan tersebut belum
diproses oleh hukum. Tragedi tersebut kami kenang sebagai TRAGEDI
KEMANUSIAAN, dan untuk mengenangnya kami sengaja mendirikan
Patung Korban Tragedi Kemanusiaan tersebut di areal kebun Koperasi
Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan.67
Hambatan dan rintangan yang lebih gencar juga datang dari
Pemerintah yang selalu menyudutkan, menuduh Koperasi Perkebunan Kelapa
Sawit Bukit Harapan sebagai Perambah Hutan Register 40, perampas tanah
masyarakat. Tuduhan tersebut dilontarkan hanya karena rasa sentiment
terhadap Pengusaha Anak Negeri, yang selalu dipersulit untuk
mengembagkan usahanya. Oleh karenanya Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit
Bukit Harapan sulit memperoleh legalitas/izin, padahal sebelum Koperasi
Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan membuka usaha perkebunan
beberapa perusahaan swasta telah beroperasi/berdiri lebih dahulu di areal
tersebut, termasuk oknum-oknum yang mengkondisikan dirinya menjadi
petani berdasi.
67
Sengketa antara Masyarakat Adat dan Pemerintah semakin memanas
ketika pada tahun 2005, Departemen Kehutanan Republik Indonesia
mengklaim bahwa tanah tersebut adalah Kawasan Hutan Register 40 Padang
Lawas, melalui proses hukum Pidana yang dinilai masyarakat sarat dengan
muatan politik dan bersifat diskriminatif, serta merta melakukan
pengangkapan terhadap DR. Sutan Raja DL. Sitorus dengan tuduhan dan
dakwaan yang tidak relevan serta terkesan dipaksakan. Tuduhan tersebut
adalah ILLEGAL LOGGING / Merambah Hutan, padahal yang bersangkutan
adalah investor beri’tikad baik sebagai “Mitra” bagi warga masyarakat adat
(bukan pemilik lahan) yang telah berhasil meningkatkan kesejahteraan ribuan
warga Masyarakat Adat setempat yakni Petani Plasma mendapat pembagian
pola PIR seluas 2 Hektar/Kepala Keluarga sebagai kompensasi pembangunan
Tanah Ulayat tersebut, serta menyerap puluhan ribu Tenaga Kerja yang
berarti telah turut membantu Program Pemerintah dalam upaya pengentasan
kemiskinan dan mengurangi pengangguran, akan tetapi akhirnya dijatuhi
hukuman delapan tahun penjara, tanpa meninjau dan memperhatikan situasi
dan kondisi sosial di lapangan.
Hal tersebut jelas membuat masyarakat bingung dan tidak mengerti,
merasa cemas dan resah karena terlebih lahan tersebut dinyatakan
“dirampas” untuk Negara. Sementara 40 lebih pengusaha (investor)
Perkebunan Kelapa Sawit lainnya dihamparan lahan yang sama justru tidak
tapi hingga saat ini tak satupun yang dipermasalahkan oleh Kementerian
Kehutanan atau diproses secara hukum, apalagi dipenjarakan.68
Sehubungan dengan maksud Departemen Kehutanan Republik
nafas kehidupan Masyarakat Adat yang berarti akan memiskinkan kembali
kehidupan masyarakat.
Pemaksaan kehendak oleh Pemerintah sangat tidak sesuai bahkan
bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab serta
menciderai kedaulatan, harkat dan martabat Masyarakat Adat Nusantara pada
umumnya, khususnya Masyarakat Adat Kecamatan Simangambat karena
tindakan tersebut adalah arogansi yang tidak berdasar serta bernuansa
Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) , sehingga wajar jika Masyarakat
Adat Luhat Ujung Batu dan Luhat Simangambat tidak akan tinggal diam,
dan mereka akan melakukan perlawanan hingga titik darah terakhir.69
Hal-hal yang tertulis di atas merupakan latarbelakang timbulnya sengketa antara
Masyarakat Adat dengan Pemerintah di atas tanah Register 40 Padang Lawas.
68
Point ke 3 Surat Penelokan Eksekusi Tanah Ulayat Lahan Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit harapan di Kec.Simangambat, Kabupaten Padang Lawas Utara
69
BAB IV
PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF ANTARA
MASYARAKAT ADAT DENGAN PEMERINTAH TERHADAP KAWASAN HUTAN REGISTER 40 PADANG LAWAS
A. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Sengketa Pertanahan antara Masyarakat Adat dengan Pemerintah di atas Tanah Register 40 Padang Lawas
Proses eksekusi perkebunan kelapa sawit seluas 47.000 hektar yang
berada di kawasan register 40 Padang Lawas sebagai akar penyebab
terjadinya sengketa dikarenakan adanya diskriminasi penerapan hukum yang
mana dalam satu objek perkara yang sama terdapat 3 putusan (Pidana,
Perdata, dan Tata Usaha Negara).
Dalam perkara pidana Putusan MA No. 2642 K/Pid/2006 tanggal 12
Februari 2007, menyatakan terdakwa D.L Sitorus terbukti secara sah
bersalah melakukan tindak pidana mengerjakan dan menggunakan kawasan
hutan secara tidak sah dan menghukum Darianus Lungguk Sitorus 8
(delapan) tahun penjara, denda Rp. 5 Milyar.70
Selanjutnya, mengeksekusi perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan
Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan melawan Departemen Kehutanan.
Mahkamah Agung memutuskan menyatakan batal surat Menteri Kehutanan
No. S 149/Menhut-II/2004 tanggal 13 Oktober 2004 perihal permohonan
untuk mengelola perkebunan di dalam kawasan hutan Register 40 Padang
Lawas Provinsi Sumatera Utara.
Demikian juga Perkara Perdata, masyarakat adat Padang Lawas
menggugat Jaksa Agung RI yang mana Putusan Pengadilan Negeri
Padangsidimpuan No. 13/PDT. PLW/2007/PN.PSP, mengabulkan gugatan
masyarakat adat dan menyatakan masyarakat adat itu adalah pemilik sah
dan beri’tikad baik dalam hak atas bidang-bidang tanah perkebunan itu.
Kemudian dalam putusan itu dinyatakan tidak sah dan tidak
berkekuatan hukum Berita Acara Penyitaan (Letak Sita) tertanggal 22
November 2005 oleh Kejaksaan Agung terkait objek perkara Darianus
Lungguk Sitorus dan menguatkan bukti kepemilikan Sertifikat Hak Milik
(SHM) yang dimiliki masyarakat secara turun temurun (8 keturunan) telah
mendiami dan menguasai lahan tersebut.71
Dari segi administrasi dan penerapan hukum, Pemerintah menunjukkan
tidak konsisten terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan, dan hal
tersebut menjadi faktor yang menyebabkan terjadinya sengketa pertanahan
antara Masyarakat Adat dengan Pemerintah di atas Tanah Register 40
Padang Lawas, antara lain :
71
1. Tidak konsistennya Pemerintah dalam menjalankan amanah Pasal
33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 2 ayat (4)
Undang-Undang Pokok Agraria. Dimana dalam peraturan ini
Negara menjamin hak Masyarakat Adat dalam mengolah Tanah
Ulayat mereka. Akan tetapi pada kenyataannya Negara
melimpahkan sebagian besar dari hak tersebut kepada
perusahaan-perusahaan swasta besar atau pada Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) yang dibentuk oleh Pemerintah sendiri, tanpa konsultasi
dan persetujuan rakyat. Dengan pelimpahan ini, maka pengelolaan
sumber daya alam oleh pihak perusahaan swasta dan BUMN
menjadi lebih dominan. Di lain pihak, Masyarakat Adat tidak
merasakan keuntungan yang dinikmati para pengusaha yang
memprioritaskan keuntungan pribadi mereka.
2. Tidak konsistennya Pemerintah dalam hal pemberian izin
pengelolaan perkebunan Kelapa Sawit dalam Kawasan Hutan
Register 40 Padang Lawas.
Hal tersebut dibuktikan dalam beberapa surat yang kontradiksi
yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan, antara lain :
- Tanggal 26 September 2002 Menteri Kehutanan telah
mengeluarkan surat No. 1680/Menhut III/2002 perihal
pemberian izin pengelolaan (ijin prinsip) atas Lahan Eks
Tanah Ulayat Masyarakat Adat Kecamatan Simangambat
- Tanggal 13 Oktober 2004 Menteri Kehutanan
mengeluarkan surat No. S.419/Menhut-II/2004 perihal
Pembatalan Ijin Pengelolaan tersebut. (Surat Terlampir)
3. Pemerintah tidak menghormati Putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia No. 134/K/TUN2007 pada tanggal 19 Juni
2007 yang dikuatkan dengan Putusan Peninjauan Kembali (PK)
Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 06/PK/TUN/2008 pada
tanggal 05 Mei 2008 tentang Perkara Kasasi Tata Usaha Negara
antara Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan
melawan Menteri Kehutanan RI. Dimana dalam gugatan ini
KPKS Bukit Harapan menggugat Kementerian Kehutanan RI
tentang Surat No. S.419/Menhut-II/2004 perihal Pembatalan Ijin
Pengelolaan Lahan Eks Tanah Ulayat Masyarakat Adat Luhat
Simangambat dan Luhat Ujung Batu, Kabupaten Padang Lawas
Utara. Dalam hal ini perkara ini dimenangkan oleh Koperasi
Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan. Artinya Surat Menteri
Kehutanan No. 1680/Menhut III/2002 tentang pemberian izin
pengelolaan lahan masih tetap berlaku. Konsekuensinya jelas
bahwa Ijin Pengelolaan KPKS Bukit Harapan atas Lahan Eks
Tanah Ulayat seluas 23.000 hektar di Kecamatan Simangambat,
Kabupaten Padang Lawas Utara adalah Sah dan Berkekuatan
Supremasi Hukum sebagaimana diatur dalam UUD 1945 bahwa
Negara adalah berdasarkan atas Hukum.
4. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kehutanan tidak
menghormati Putusan Hukum Pengadilan Tata Usaha Negara yang
telah memiliki Kekuatan Hukum Tetap atas Lahan tersebut meski
telah beberapa kali disomasi oleh Pengadilan Tata Usaha Negara,
justru sebaliknya bahwa dengan arogansinya Kehutanan
mengeluarkan Surat No. S.39/Menhut-IV/RHS/2010 tertanggal 18
Juni 2010 perihal Peringatan meninggalkan lokasi kepada Ir.
Djonggi Sitorus selaku Ketua Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit
Bukit Harapan (KPKS) yang membuat Masyarakat Adat
Kecamatan Simangambat merasa resah, tidak nyaman, bagaikan di
negeri sendiri dijajah bangsa sendiri.
5. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kehutanan telah melanggar
Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (Algemene beginselen
van behoorlijk bestuur) dengan uraian sebagai berikut72 :
a. Asas kepastian hukum (Rechtszeker heidsbeginsel)
Bahwa pembatalan sepihak Kementerian Kehutanan melalui
suratnya No. SA 19/Menhut-II/2004 tanggal 13 Oktober 2004,
namun pada tanggal 26 September 2002 dengan suratnya No.
1860/Menhut-III/2002 Kementerian Kehutanan memberikan
persetjuan prinsip bahkan telah memberikan perincian detail
72
dan menyeluruh tentang hal-hal apakah yang harus dilakukan
oleh Masyarakat Adat yang tergabung dalam KPKS Bukit
Harapan agar dapat mengelola lahan perkebunan kelapa sawit
seluas 23.000 hektar di kawasan register 40 Padang Lawas.
Perbuatan Pemerintah jelas mengaburkan kepastian hukum
mengenai diperbolehkannya Masyarakat Adat untuk
membangun/mengelola lahan perkebunan kelapa sawit di atas
tanah-tanah ex-adat yang berada di Luhat Simangambat dan
Luhat Ujung Batu (kawasan register 40 Padang Lawas) yang
merupakan hak Masyarakat Adat, selain itu surat yang
dikeluarkan Kementerian Kehutanan saling bertentangan dan
inkonsistensi dalam tindakan hukum yang menghilangkan asas
kepastian hukum.
b. Asas Kecermatan (Zorgvuldigheidsbeginsel)
Bahwa perbuatan Pemerintah yang telah menerbitkan Surat
Keputusan pembatalan secara sepihak terhadap pemberian izin
prinsip kepada Penggugat untuk mengelola lahan kelapa sawit
di kawasan register 40 Padang Lawas, dengan tidak
memperhatikan secara lebih seksama dan lebih teliti bahwa
Masyarakat Adat/Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit
Harapan telah memenuhi seluruh kewajibannya untuk dapat
membangun/mengelola lahan kelapa sawit seluas 23.000 hektar
Pemerintah telah memberikan izin prinsipnya melalui Surat
Menteri Kehutanan yang diterbitkan dan ditandatangani sendiri
dengan No. 1630/Menhut-III/2002 pada tanggal 26 September
2002
c. Asas tertib penyelenggaraan Negara, Asas keterbukaan ( Azas
pemberian alasan)
Bahwa perbuatan Pemerintah yang secara sepihak telah
membatalkan Surat Izin Prinsip yang telah diterbitkan oleh
Pemerintah sendiri pada tanggal 26 September 2002, tidak
didukung dengan alasan-alasan yang sah yang menjadi dasar
hukum penerbitan Surat Keputusan tersebut, sebagaimana
lazimnya sebuah Surat Keputusan yang baik yang harus
menjelaskan setidaknya memberikan alasan, dasar fakta yang
teguh serta pemberian alasan yang mendukung.73
Sudah merupakan azas dalam pemerintahan yang baik, bahwa
setiap keputusan harus didasarkan alasan yang sah yang
menjadi dasar pertimbangan, memiliki dasar fakta yang teguh
yang dapat dibuktikan kebenarannya, dan pemberian alasan
yang mendukung dan meyakinkan, baik secara rasional dan
juga mempunyai kekuatan hukum berdasarkan peraturan yang
berlaku.
73
d. Asas Proporsionalitas, Asas Profesionalisme dan Asas
Akuntabilitas (Asas permainan yang layak/ Het beginselen van
fairplay).
Bahwa Pemerintah dengan suratnya No. 1680/Menhut-III/2002 tanggal
26 September 2002 tentang Pemberian Izin Prinsip kepada KPKS Bukit
Harapan untuk pengelola lahan perkebunan kelapa sawit seluas 23.000
hektar di kawasan register 40 Padang Lawas juga beserta seluruh
persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi dan dilakukan oleh KPKS Bukit
Harapan agar dapat mengelola lahan kelapa sawit di kawasan register 40
Padang Lawas tersebut. Akan tetapi berdasarkan fakta hukum, pada saat
Masyarakat Adat sedang berusaha memenuhi seluruh persyaratan
sebagaimana ditentukan oleh Pemerintah, tiba-tiba secara sepihak dengan
tanpa penjelasan Pemerintah membatalkan izin prinsip yang telah
diterbitkannya tersebut. Pemerintah juga tidak memberikan kesempatan
kepada Masyarakat Adat untuk mendapatkan penjelasan yang layak
mengenai alasan hukum pembatalan izin prinsip tersebut. Berdasarkan hal
tersebut diatas berakibat timbulnya sengketa yang berkepanjangan antara
Masyarakat Adat dengan Pemerintah di atas tanah Register 40 Padang Lawas.74
74
B. Penyelesaian Sengketa Alternatif yang bisa dilakukan dalam
Menyelesaiakan Sengketa Pertanahan antara Masyarakat Adat
dengan Pemerintah di atas Tanah Register 40 Padang Lawas
Hutan merupakan ekosistem alam karunia Tuhan Yang Maha Esa
yang patut dijaga kelestariannya dan dimanfaatkan secara bijak sesuai dengan
fungsinya untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Dalam
menyelesaikan Tuhan Yang Maha Esa yang patut dijaga kelestariannya dan
dimanfaatkan secara bijak sesuai dengan fungsinya untuk kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat.
Dalam menyelesaikan hak-hak masyarakat dalam kawasan hutan
sepanjang masih menguasai tanah di kawasan hutan sesuai prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, perlu pengakuan dan perlindungan terhadap
hak-hak masyarakat. Oleh karenanya apapun yang dilakukan dalam proses
penyelesaian sengketa ini harus sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar
1945.
Pasal 3 Ayat (3) UUD 1945 berbunyi :
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai
oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Artinya apapun solusi yang dipergunakan harus bertujuan untuk
menguntungkan dan mensejahterakan rakyat, bukan untuk mensejahterakan para
pengusaha-pengusaha yang tidak bertanggungjawab, bahkan para aparatur Negara
Ada beberapa upaya penyelesaian sengketa alternatif yang bisa dilakukan
dalam menyelesaikan sengketa antara Masyarakat Adat dengan Pemerintah, antara
lain :
Alternatif I :
Menerapkan kembali upaya pemerintah atau Departemen Kehutanan dalam hal
penerbitan surat Menteri Kehutanan Nomor : 1680/Menhut-III/2002 tanggal 26
September 2002 kepada Ketua Koperasi Bukit Harapan, yang pada dasarnya
menyatakan bahwa :
a. Kawasan hutan yang telah diduduki oleh masyarakat, yayasan, koperasi
maupun perusahaan tetap dipertahankan sebagai kawasan hutan.
b. Secara keseluruhan koperasi, yayasan, dan perusahaan yang menduduki
kawasan hutan tersebut diwajibkan membayar ganti rugi tegakan hutan
yang telah ditebangnya
c. Koperasi, Yayasan, dan Perusahaan tersebut diberikan Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (IUPHHBK), dalam hal ini
merupakan kelapa sawit)
d. Pemberian IUPHHBK diberikan selama satu periode kelapa sawit (selama
35 tahun.
e. Pemberian IUPHHBK tersebut disertai kewajiban kepada pengelola
Kelapa Sawit tersebut untuk melakukan penanaman tanaman kehutanan
diantara tanaman kelapa sawit sebelum berakhirnya masa satu periode
f. Satu tahun setelah diberikan IUPHHBK, petugas kehutanan pengukuran
Apabila hal ini diterapkan maka akan ada banyak keuntungan bagi
masyarakat dan pemerintah, antara lain :
a. Areal okupasi penduduk/masyarakat, yayasan, koperasi dan
perusahaan terhadap Kawasan Hutan Padang Lawas dapat
dikembalikan statusnya menjadi kawasan hutan.
b. Pengelola kebun kelapa sawit mendapat kepastian berusaha dari
pemerintah yang berupa IUPHHBK (kelapa sawit)
c. Pemerintah tidak kehilangan luasan kawasan hutannya
d. Pemerintah Daerah mendapat pemasukan berupa PBB atas
areal/kawasan yang telah diusahakan kelapa sawit secara sah
e. Pemerintah mendapat penggantian tegakan berupa PSDH/DR terhadap
tegakan yang telah ditebang
f. Dapat dibentuk tegakan HTI Meranti untuk jangka waktu satu daur
ulang kelapa sawit
g. Pemerintah mendapat tambahan PSDH dari hasil kelapa sawit yang
dipanen pada tahun berjalan
Alternatif II :
Melakukan tindakan justisi dengan melanjutkan proses hukum sesuai dengan
kebijakan Menteri Kehutanan.
Dengan melaksakan alternatif ini maka akan sangat merugikan bagi masyarakat,
akan tetapi terwujud juga sebuah kebaikan, seperti :
a. Departemen Kehutanan menegakkan hukum sesuai proses sejarah
b. Akan terwujud kepastian hukum terhadap Kawasan Hutan Padang Lawas
Alternatif III :
Melepaskan kawasan hutan Padang Lawas terutama Register 40 yang telah
diduduki masyarakat, koperasi, yayasan dan perusahaan.
Adapun kebaikan pada alternatif ini, antara lain :
a. Ada kepastian masyarakat, yayasan, koperasi dan perusahaan dalam
melakukan kegiatan perkebunan kelapa sawit
b. Adanya kepastian Departemen Kehutanan dalam menentukan neraca
kawasan hutan
C.Faktor-Faktor Penghalang dalam Menyelesaikan Sengketa Pertanahan
yang terjadi di atas Tanah Register 40 Padang Lawas
Ada beberapa faktor penghalang dalam menyelesaikan sengketa antara
masyarakt adat dengan pemerintahan, antara lain :
1. Menerapkan kembali upaya pemerintah atau Departemen Kehutanan dalam
hal penerbitan surat Menteri Kehutanan Nomor : 1680/Menhut-III/2002
tanggal 26 September 2002 kepada Ketua Koperasi Bukit Harapan, yang pada
dasarnya menyatakan bahwa :
a. Kawasan hutan yang telah diduduki oleh masyarakat, yayasan, koperasi
b. Secara keseluruhan koperasi, yayasan, dan perusahaan yang menduduki
kawasan hutan tersebut diwajibkan membayar ganti rugi tegakan hutan
yang telah ditebangnya
c. Koperasi, Yayasan, dan Perusahaan tersebut diberikan Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (IUPHHBK), dalam hal ini
merupakan kelapa sawit)
d. Pemberian IUPHHBK diberikan selama satu periode kelapa sawit
(selama 35 tahun.
e. Pemberian IUPHHBK tersebut disertai kewajiban kepada pengelola
Kelapa Sawit tersebut untuk melakukan penanaman tanaman kehutanan
diantara tanaman kelapa sawit sebelum berakhirnya masa satu periode
f. Satu tahun setelah diberikan IUPHHBK, petugas kehutanan pengukuran
batas hutan
Kelemahan :
a. Departemen Kehutanan memerlukan waktu setidaknya 35 tahun untuk
mengembalikan status kawasan hutan secara utuh.
b. Proses justisi terhadap Kawasan Hutan Padang Lawas, terutama register
40 Padang Lawas dihentikan, untuk selanjutnya dialihkan menjadi proses
penerbitan IUPHHBK.
c. Adanya hambatan dari masyarakat yang melakukan okupasi kawasan
Oleh karenanya masih terdapat faktor penghambat yang menyebabkan
Alternatif II :
Melakukan tindakan justisi dengan melanjutkan proses hukum sesuai dengan
kebijakan Menteri Kehutanan.
Kelemahan :
a. Memerlukan upaya yang sangat rumit, waktu yang sangat panjang, dan
biaya yang sangat besar.
b. Selama proses hukum berlangsung akan terjadi stagnasi atau vakum
pelaksanaan kegiatan perkebunan kelapa sawit yang menyebabkan
pengangguran besar-besaran terhadap tenaga kerja masyarakat setempat,
dan mengganggu kepercayaan investor serta mempengaruhi laju
pembangunan daerah.
c. Proses pengukuran kembali tata batas hutan terutama kawasan hutan
register 40 akan sulit dilaksanakan, karena adanya perlawanan dari
masyarakat.
d. Pemerintah tidak mendapat kontribusi penerimaan PSDH, DR serta PBB.
e. Bukti material tata batas hutan di lapangan sudah tidak ditemukan di
seluruh level penggarap.
Peluang untuk mencapai alternatif ini adalah sekitar 50 % karena masih banyak
Alternatif III :
Melepaskan kawasan hutan Padang Lawas terutama Register 40 yang telah
diduduki masyarakat, koperasi, yayasan dan perusahaan
Kelemahan :
a. Akan terjadi pengurangan kawasan hutan secara drastis
b. Wibawa pemerintah dalam hal ini Departemen Kehutanan akan turun
c. Pemerintah tidak mendapat sedikitpun penggantian terhadap tegakan yang
telah ditebang
d. Akan terjadi pengulangan perambahan lokasi perkebunan kelapa sawit
Peluang untuk melaksanakan alternatif ini hanya 20 %, karena
BAB V
PENUTUP
A.Kesimpulan
1. Sengketa antara Masyarakat Adat dan Pemerintah berawal pada tahun
2005, Departemen Kehutanan Republik Indonesia mengklaim bahwa
tanah tersebut adalah Kawasan Hutan Register 40 Padang Lawas,
melalui proses hukum Pidana yang dinilai masyarakat sarat dengan
muatan politik dan bersifat diskriminatif, serta merta melakukan
penangkapan terhadap DR. Sutan Raja D.L Sitorus dengan tuduhan dan
dakwaan yang tidak relevan serta terkesan dipaksakan. Tuduhan tersebut
adalah ILLEGAL LOGGING / Merambah Hutan, padahal yang
bersangkutan adalah investor beri’tikad baik sebagai “Mitra” bagi warga
masyarakat adat (bukan pemilik lahan) yang telah berhasil meningkatkan
kesejahteraan ribuan warga Masyarakat Adat setempat yakni Petani
Plasma mendapat pembagian pola PIR seluas 2 Hektar/Kepala Keluarga
sebagai kompensasi pembangunan Tanah Ulayat tersebut, serta menyerap
puluhan ribu Tenaga Kerja yang berarti telah turut membantu Program
Pemerintah dalam upaya pengentasan kemiskinan dan mengurangi
pengangguran, akan tetapi akhirnya dijatuhi hukuman delapan tahun
penjara, tanpa meninjau dan memperhatikan situasi dan kondisi sosial di
2. Upaya penyelesaian sengketa alternatif antara Masyarakat Adat dengan
Pemerintah terhadap awasan Hutan Register 40 Padang Lawas dapat dilakukan
dengan beberapa alternatif, antara lain :
1) Menerapkan kembali upaya pemerintah atau Departemen Kehutanan
dalam hal penerbitan surat Menteri Kehutanan Nomor :
1680/Menhut-III/2002 tanggal 26 September 2002 kepada Ketua Koperasi Bukit
Harapan, yang pada dasarnya menyatakan bahwa : Kawasan hutan yang
telah diduduki oleh masyarakat, yayasan, koperasi maupun perusahaan
tetap dipertahankan sebagai kawasan hutan, secara keseluruhan koperasi,
yayasan, dan perusahaan yang menduduki kawasan hutan tersebut
diwajibkan membayar ganti rugi tegakan hutan yang telah ditebangnya,
Koperasi, Yayasan, dan Perusahaan tersebut diberikan Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (IUPHHBK), dalam hal ini
merupakan kelapa sawit), Pemberian IUPHHBK diberikan selama satu
periode kelapa sawit (selama 35 tahun), pemberian IUPHHBK tersebut
disertai kewajiban kepada pengelola Kelapa Sawit tersebut untuk
melakukan penanaman tanaman kehutanan diantara tanaman kelapa sawit
sebelum berakhirnya masa satu periode, satu tahun setelah diberikan
IUPHHBK, petugas kehutanan pengukuran batas huta;
2) Melakukan tindakan justisi dengan melanjutkan proses hukum sesuai
dengan kebijakan Menteri Kehutanan;
3) Melepaskan kawasan hutan Padang Lawas terutama Register 40 yang telah
3. Faktor-faktor penghalang dalam menyelesaikan sengketa antara Masyarakat
Adat dengan Pemerintah di atas tanah Register 40 Padang Lawas, antara lain :
1) Departemen Kehutanan memerlukan waktu setidaknya 35 tahun untuk
mengembalikan status kawasan hutan secara utuh, Proses justisi terhadap
Kawasan Hutan Padang Lawas, terutama register 40 Padang Lawas
dihentikan, dan selanjutnya dialihkan menjadi proses penerbitan
IUPHHBK.
2) Memerlukan upaya yang sangat rumit, dan biaya yang sangat besar,
Selama proses hukum berlangsung akan terjadi stagnasi atau vakum
pelaksanaan kegiatan perkebunan kelapa sawit yang menyebabkan
pengangguran besar-besaran terhadap tenaga kerja masyarakat setempat,
dan mengganggu kepercayaan investor serta mempengaruhi laju
pembangunan daerah, proses pengukuran kembali tata batas hutan
terutama kawasan hutan register 40 akan sulit dilaksanakan, karena adanya
perlawanan dari masyarakat, pemerintah tidak mendapat kontribusi
penerimaan PSDH, DR serta PBB, bukti material tata batas hutan di
lapangan sudah tidak ditemukan di seluruh level penggarap.
3) Akan terjadi pengurangan kawasan hutan secara drastis, wibawa
pemerintah dalam hal ini Departemen Kehutanan akan turun, Pemerintah
tidak mendapat sedikitpun penggantian terhadap tegakan yang telah
ditebang, akan terjadi pengulangan perambahan lokasi perkebunan kelapa
B.Saran
1. Pada saat ini metode penyelesaian yang sangat mungkin digunakan adalah
metode pada alternatif yang pertama, yaitu Menerapkan kembali upaya
pemerintah atau Departemen Kehutanan dalam hal penerbitan surat
Menteri Kehutanan Nomor : 1680/Menhut-III/2002 tanggal 26 September
2002 kepada Ketua Koperasi Bukit Harapan. Metode ini dipilih karena
sama-sama tidak merugikan kedua belah pihak, baik Masyarakat Adat
maupun Pemerintah. Karena Masyarakat adat akan sangat senang dan akan
mengikuti kesepakatan dalam satu daur ulang tanaman Kelapa Sawit,
disisi lain pemerintah juga dinilai bijaksana dalam mengambil keputusan,
dan nantinya pada saat satu daur ulang selesai maka kawasan tersebut akan
dikembalikan ke kawasan hutan kembali.
2. Pemerintah harus lebih mengatur dan menguatkan lagi Undang-Undang
tentang Pertanahan terutama tentang konflik yang akan terjadi di masa
mendatang. Diharapkan aturan yang dibuat harus sesuai dengan konsep
bekerjanya hukum sebagai suatu sistem agar tidak terjadi tumpang tindih
bahkan kekosongan hukum dalam berbagai masalah pertanahan. `
3. Badan Pertanahan Nasional harus lebih berhati-hati dalam melakukan
proses pendaftaran tanah termasuk dalam menerbitkan sertifikat. Badan
Pertanahan Nasional harus mengacu pada prosedur yang telah diatur di
dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan Peraturan Pemerintah
BAB II
kebudayaan dan pandangan hidup bangsa Indonesia, yang memberikan pedoman
kepada sebagian besar orang-orang Indonesia dalam kehidupan sehari-hari, dalam
hubunga antara yang satu dengan yang lain, baik di kota maupun dan
lebih-lebih di desa.12
Adat merupakan pencerminan daripada kepribadian suatu bangsa,
merupakan salah satu penjelmaan daripada jiwa bangsa yang bersangkutan
dari abad ke abad. Oleh karena itu, maka setiap bangsa di dunia ini
memiliki adat kebiasaan sendiri-sendiri yang satu dengan yang lainnya tidak
sama. Justru oleh karena ketidaksamaan inilah kita dapat mengatakan, bahwa
adat itu merupakan unsur terpenting yang memberikan identitas kepa
da bangsa yang bersangktan.13
Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta, Pradnya Paramita 2006, hal. 7
13
Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta, Haji Masagung 1988, hal. 13
14
Hukum Adat merupakan hukum yang tidak tertulis di dalam
peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang
berwajib, toh ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas
keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai
kekuatan hukum
b. Mr. J.H.P. Bellefroid
Hukum Adat merupakan peraturan hidup yang meskipun tidak
diundangkan oleh penguasa toh dihormati dan ditaati oleh rakyat
dengan keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut berlaku sebagai
hukum.
c. Prof. M.M Djojodigoeno, S.H
Hukum Adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada
peraturan-peraturan.
Terdapat dua unsur hukum adat, antara lain :
- Unsur Kenyataan; bahwa adat itu dalam keadaan yang sama
selalu diindahkan oleh rakyat.
- Unsur Psikologis; bahwa terdapat adanya keyakinan pada rakyat,
bahwa adat dimaksud mempunyai kekuatan hukum.15
Siapapun yang ingin mengetahui tentang berbagai lembaga hukum yang
ada dalam sesuatu masyarakat, seperti lembaga hukum tentang perkawinan,
lembaga hukum tentang pewarisan, lembaga hukum tentang jual-beli barang,
lembaga hukum tentang kepemilikan tanah dan lain-lain, harus mengetahui
15
struktur masyarakat yang bersangkutan. Struktur masyarakat menentukan
system (struktur) hukum yang berlaku di masyarakat itu, Soepomo menulis :
“Penyelidikan hukum adat, yang hingga sekarang telah berlangsung kira-kira
50 tahun, sungguh membenarkan pernyataan van Vollenhoven dalam
orasinya pada tanggal 2 Oktober 1901 ; bahwa untuk mengetahui hukum, maka
perlu diselidiki untuk waktu dan di daerah manapun juga, sifat dan susunan
badan-badan persekutuan hukum, dimana orang-orang yang dikuasai oleh
hukum itu, hidup sehari-hari.16
Dari apa yang dikemukakan oleh van Vollenhoven dan Soepomo di
atas tadi, kelihatan bahwa masyarakat yang mengembangkan ciri-ciri khas
hukum adat itu, adalah persekutuan hukum adat (adatrechtsgemeneschap). Ter
Haar merumuskan bahwa hakikat dari masyarakat hukum (persekutuan
hukum) antara lain :
1. Kesatuan manusia yang teratur
2. Menetap di suatu daerah tertentu
3. Mempunyai penguasa-penguasa
4. Mempunyai kekayaan yang berwujud ataupun tidak berwujud
Dimana para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan
dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam dan tidak
seorangpun di antara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan
16
untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau meninggalkannya
dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya.17
Agar pemahaman terhadap Hukum Adat lebih mendalam, maka
penulis perlu menguraikan pengertian Hukum Adat menurut para pakar
hukum lainnya.18
Menurut Iman Sudiyat, Hukum Adat adalah :
“Hukum yang mengatur tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungannya satu sama lain, baik merupakan keseluruhan kelaziman, kebiasaan, dan kesusilaan yang benar-benar hidup di masyarakat Adat, karena dianut dan dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat itu, maupun yang merupakan keseluruhan peraturan yang mengenal sanksi atas pelanggaran dan yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan para penguasa Adat (mereka yang mempunyai kewibawaan dan berkuasa member keputusan dalam masyarakat Adat itu) yaitu : Lurah,
Penghulu, Pembantu Lurah, Wali Tanah, Kepala Adat, dan Hakim.”19
Menurut Bushar Muhammad dijelaskan bahwa :
“Hukum Adat itu adalah terutama hukum yang mengatur tingkah laku manusia dalam hubungan satu sama lain, baik yang merupakan keseluruhan kelaziman dan kebiasaan (kesusilaan) yang benar-benar hidup di masyarakat adat karena dianut dan dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat itu, maupun yang merupakan keseluruhan pelanggaran dan yang ditetapkan dalam putusan-putusan para penguasa adat yaitu mereka yang mempunyai kewibawaan dan berkuasa member keputusan dalam masyarakat adat itu, ialah terdiri