LAMPIRAN
Pseudo Code Program Metode Handover 2 BTS %=================================================% %++++++++Pseudocode Metode Handover 2 BTS++++++++++%
DAFTAR PUSTAKA
[1] Bathich, Ammar A., Mohd Dani Baba, and Mohammad Ibrahim. "IEEE
802.21 Based Vertical Handover in WiFi and WiMAX Networks."
Computers & Informatics (ISCI), 2012 IEEE Symposium on. IEEE, 2012.
[2] Lin, Cheng-Chung, et al. "Optimization of Handover Algorithms in 3GPP
Long Term Evolution System." Modeling, Simulation and Applied
Optimization (ICMSAO), 2011 4th International Conference on. IEEE,
2011.
[3] Chu, Hyun-Dong, Hyunjung Kim, and Seung-Joon Seok. "Flow Based 3G/WLAN Vertical Handover Scheme Using MIH Model." Information
Networking (ICOIN), 2013 International Conference on. IEEE, 2013.
[4] Cho, HyangDuck, et al. "A Study on The MCHO Method in Hard
Handover and Soft Handover Between WLAN and CDMA." Consumer
Electronics, 2005. ICCE. 2005 Digest of Technical Papers. International
Conference on. IEEE, 2005.
[5] Gudmundson, Mikael. "Analysis of Handover Algorithms [Microcellular Radio]." Vehicular Technology Conference, 1991. Gateway to the Future
Technology in Motion., 41st IEEE. IEEE, 1991.
[6] Siregar, Leonardo. "Optimalisasi Parameter Tradeoff Handoff dengan Mengevaluasi Metode Handoff." Tugas Akhir Jurusan Teknik Elektro USU
(2013).
[8] Rappaport, Theodore S. Wireless Communications: Principles and
Practice. Vol. 2. New Jersey: Prentice Hall PTR, 1996.
[9] Halgamuge, Malka Nishanthi. "Performance Evaluation and Enhancement
of Mobile and Sensor Networks." (2006).
[10] Zonoozi, Mahmood M., and Prem Dassanayake. "Shadow Fading in
Mobile Radio Channel." Personal, Indoor and Mobile Radio
Communications, 1996. PIMRC'96., Seventh IEEE International
Symposium on. Vol. 2. IEEE, 1996.
[11] LTE Tutorial, http://www.artizanetworks.com/lte_tut_what_lte.html, diakses terakhir tanggal 1 Mei 2016.
[12] Holma, Harri, and Antti Toskala, eds. LTE for UMTS-OFDMA and
SC-FDMA Based Radio Access. John Wiley & Sons, 2009.
[13] Usman, Uke Kurniawan. "Sistem Komunikasi Seluler CDMA
2000-1x."Informatika (2010).
[14] Aditya¹, Rendy. "Analisa Simulasi Proses Intersystem Handover LTE ke UMTS." Tugas Akhir Jurusan Teknik Telekomunikasi IT Telkom (2011).
[15] Risty, Patrieca Eka, Uke Kurniawan Usman, and Nachwan Mufti. "Analisis Intersystem Handover Dari HSDPA ke LTE." Tugas Akhir
Jurusan Teknik Telekomunikasi IT Telkom (2011).
[16] Anas, Mohmmad, et al. "Performance Evaluation of Received Signal Strength Based Hard Handover for UTRAN LTE." Vehicular Technology
Conference, 2007. VTC2007-Spring. IEEE 65th. IEEE, 2007.
[17] Rimanady, Abram. "Analisis Simulasi Algoritma Handoff Dengan
(HOM) pada Sistem Komunikasi Seluler Long Term Evolution." Tugas
Akhir Jurusan Teknik Telekomunikasi IT Telkom (2011).
[18] Hämäläinen, Jyri. "Cellular Network Planning and Optimization Part VI:
WCDMA Basics." (2008).
[19] Girsang¹, Abbas Paul R., and Bmb Nma. "Analisis Optimasi Intersystem
Handover (ISHO) Pada Jaringan UMTS/GSM (Studi Kasus: PT. Telkomsel Medan)."
[20] Jansen, Thomas, et al. "Handover Parameter Optimization in LTE
Self-Organizing Networks." Vehicular Technology Conference Fall (VTC
2010-Fall), 2010 IEEE 72nd. IEEE, 2010.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Adapun pengerjaan yang dilakukan untuk mensimulasikan perbandingan kedua metode RSS based handover dan RSS based handover with time-to-trigger
(TTT) diimplementasikan pada jaringan UMTS ke jaringan LTE. Pengerjaan pada metodologi penelitian ini dimulai dengan membuat model sistem, menentukan algoritma, menghitung link budget, menentukan parameter masukan dan parameter
keluaran serta merancang sistem simulasi.
3.1 Model Sistem
Model coverage sel diasumsikan berbentuk hexagonal dengan jumlah sel yang diamati adalah dua. Satu sel merupakan coverage dari UMTS dan satu sel yang
lainnya merupakan coverage dari LTE. Metode handover yang ditentukan berdasarkan RSS based handover disebut dengan skenario pertama dan berdasarkan RSS based handover with time-to-trigger (TTT) window disebut dengan skenario
kedua. Adapun uraian dari skenario pertama dan skenario kedua adalah sebagai berikut.
1. Skenario Pertama berdasarkan Metode RSS based handover
UE bergerak dari coverage UMTS menuju coverage LTE dengan iterasi dilakukan 100 kali. Ilusrasi kedua coverage sel untuk skenario pertama ditunjukkan
Gambar 3.1 Skenario 1
= (√ − + − ) (3.1)
Keterangan:
: koordinat x UE : koordinat x Node B : koordinat y UE : koordinat y Node B
Adapun rumus untuk menentukan x1 dan y1, x2 dan y2 masing-masing
ditunjukkan pada Persamaan (3.2) dan Persamaan (3.3).
= ( �× cos �×�
ℎ ) = − tan � × (3.2)
= �� �− = �� �− (3.3)
Kecepatan pergerakan UE divariasikan secara meningkat mulai dari kecepatan 3 km/jam, 10 km/jam, 30 km/jam, 60 km/jam, 90 km/jam, 180 km/jam, 360 km/jam, 450 km/jam, 550 km/jam, dan 620 km/jam. Kemudian nilai parameter
kecepatan, HOM, RSCPmin, dan RSRPmin diamati terhadap nilai keluaran berupa probabilitas dropping.
2. Skenario Kedua berdasarkan Matode RSS based handover with TTT window UE bergerak dari coverage UMTS menuju coverage LTE dengan iterasi
dilakukan 100 kali. Ilusrasi kedua coverage sel untuk skenario kedua ditunjukkan pada Gambar 3.2, sedangkan jarak lintasan antara UE dengan Node B dimodelkan dengan Persamaan (3.1).
Kecepatan pergerakan UE divariasikan secara meningkat mulai dari kecepatan 3 km/jam, 10 km/jam, 30 km/jam, 60 km/jam, 90 km/jam, 180 km/jam, 360
km/jam, 450 km/jam, 550 km/jam, dan 620 km/jam. Kemudian nilai parameter HOM, RSCPmin, dan RSRPmin dibuat bervariasi. Konfigurasi dari parameter kecepatan, HOM, RSCPmin, RSRPmin, dan TTT diamati terhadap nilai keluaran
berupa probabilitas dropping.
3.2. Flowchart Skenario Simulasi
Untuk menjelaskan cara kerja sistem secara keseluruhan diuraikan dengan
flowchart seperti Gambar 3.3 dan Gambar 3.4. Gambar 3.3 menjelaskan cara kerja
sistem untuk skenario pertama dan Gambar 3.4 untuk menjelaskan skenario kedua.
Start
User bergarak dengan (v,ø ,s) tertentu pada T=0
UE mengukur RSCP dan RSRP
RSCP RSCPmin
RSRP RSRPmin Drop
HO dari UMTS ke LTE
Selesai PBGT HOM
Ya
Ya
Tidak
Tidak Tidak
Ya
Start
User bergarak dengan (v,ø ,s)
tertentu pada T=0
UE mengukur RSCP dan RSRP
RSCP RSCPmin
PBGT HOM
T TTT
RSRP RSRPmin
Drop
HO dari UMTS ke LTE
Selesai Ya
Ya
Tidak Tidak
Ya
Tidak
Adapun uraian skenario pertama pada Gambar 3.3 dijelaskan sebagai berikut: 1. User bergerak menjauhi sel UMTS dengan kecepatan dan sudut tertentu.
2. Serving cell meminta UE (user equipment) untuk melakukan pengukuran
RSCPUMTS. Jika RSCPUMTS >RSCPmin, serving cell tetap melayani UE. Jika
RSCPUMTS≤ RSCPmin, proses berlanjut ke tahap 3.
3. UE mengukur PBGT (power budget) untuk membandingkan RSCPUMTS dan
RSRPLTE.
4. PBGT dibandingkan dengan HOM (handover margin). 5. Apabila PBGT < HOM, maka sinyal menjadi drop.
6. Apabila PBGT ≥ HOM, serving cell melakukan permintaan untuk handover
terhadap target cell dan mengukur RSRP ≥ RSRPmin. a. Bila RSRP < RSRPmin, maka sinyal menjadi drop.
b. Bila RSRP RSRPmin, maka permintaan handover diterima dan UE meninggalkan Node B dan terkoneksi ke eNode B.
Kemudian uraian untuk skenario kedua pada Gambar 3.4 dijelaskan sebagai berikut:
1. User bergerak menjauhi sel UMTS dengan kecepatan dan sudut tertentu.
2. Serving cell meminta UE untuk melakukan pengukuran RSCPUMTS. Jika
RSCPUMTS > RSCPmin, serving cell tetap melayani UE. Jika RSCPUMTS ≤
RSCPmin, proses berlanjut ke tahap 3.
3. UE mengukur PBGT untuk membandingkan RSCPUMTS dan RSRPLTE.
5. Apabila PBGT < HOM dan waktu pemenuhan HOM ≤ TTT, maka sinyal menjadi drop.
6. Apabila PBGT ≥ HOM dan waktu pemenuhan HOM ≤ TTT, maka serving cell
melakukan permintaan untuk handover terhadap target cell dan mengukur RSRP ≥ RSRPmin.
a. Bila RSRP < RSRPmin, maka sinyal menjadi drop.
b. Bila RSRP RSRPmin, maka permintaan handover diterima dan UE meninggalkan Node B dan terkoneksi ke eNode B.
3.3 Link Budget
3.3.1 Perhitungan Link Budget UMTS
Perhitungan link budget perangkat Node B dan UE berdasarkan MAPL (maximum allowable path loss) dengan link arah forward. Yang dimaksud dengan
MAPL arah forward dalam penelitian ini adalah untuk menentukan nilai redaman maksimum propagasi yang diisyaratkan agar Node B masih dapat melayani
keperluan komunikasi seluruh UE di dalam daerah cakupannya. Penentuan MAPL
link arah forward untuk jaringan UMTS diturunkan dari data-data teknis perangkat
yang digunakan dengan rumusan seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1 Data teknis link budget UMTS [18]
Parameter UMTS
Transmitter – Node B
Tx Power (dBm) 25.42474
Tx Antenna Gain (dBi) 17.42531
Cable Loss (dB) 2
Receiver – UE
Thermal noise density (dBm/Hz) -174 Receiver noise figure (dB) 8 Receiver noise density (dB) -166 Receiver noise power (dBm) -100,157
Spreading gain (dB) 24,97971
Required Eb/No (dB) 7
Interference margin (dB) 6,0206 Required signal power (dBm) -112,116
Softhandover gain (dB) 1
Shadow fading std deviation d(B) 6 Shadow fading margin (dB) 7,2
Maximum Path Loss 146,4659
3.3.2 Radius Sel UMTS [13]
Setelah MAPL arah forward diperoleh, maka dapat ditentukan radius sel
dengan menggunakan model propagasi Cost231 yang ditunjukkan pada Persamaan (3.4) dengan parameter yang ditunjukkan pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2 Parameter untuk menentukan radius sel UMTS
No. Parameter Nilai Satuan
1. Frekuensi 2100 MHz
2. Tinggi efektif antena Node B (ht) 30 Meter
3. Tinggi Antena UE (hr) 1,5 Meter
4. Keadaan lingkungan Daerah Dense Urban -
� =
�� − , − , �+ , ℎ +� ℎ� − ℎ�
Dimana a(hr) adalah faktor koreksi tinggi antena UE untuk daerah dense urban (kota metropolitan) yang ditentukan pada Persamaan (3.5).
� ℎ = , log , hr − , dB (3.5)
3.3.3 Perhitungan Link Budget LTE
Penentuan MAPL link arah forward untuk jaringan LTE diturunkan dari
data-data teknis perangkat yang digunakan dengan rumusan seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3 Data teknis link budget LTE [12]
Parameter LTE
Thermal Noise (dB) -104,5
Receiver Noise Floor (dBm) -97,5
SINR (dB) -9
Receiver Sensitivity (dBm) -106,5 Interference Margin (dB) 4 Control Channel Overhead (%) 20
Rx Antenna Gain (dBi) 0
Body Loss (dB) 0
3.3.4 Radius Sel LTE [12]
Setelah MAPL arah forward diperoleh, maka dapat ditentukan radius sel dengan menggunakan model propagasi Erceg Greenstein yang ditunjukkan pada
Persamaan (3.6) dengan parameter yang ditunjukkan pada Tabel 3.4. Tabel 3.4 Parameter untuk menentukan radius sel LTE
No. Parameter Nilai Satuan
1. Frekuensi 2600 MHz
2. Tinggi efektif antena eNode B (ht) 30 Meter
3. Tinggi antena UE (hr) 1,5 Meter
4. Shadow fading (Terrain type B) 15.81 dB
� =
�� − , − , − ( )− − , ℎ
, × (3.6)
3.4 Parameter Simulasi yang Digunakan
Uraian yang berkaitan dengan parameter simulasi dijelaskan pada sub-sub judul berikut.
3.4.1 Parameter Handover pada UMTS
Parameter handover dalam jaringan UMTS adalah RSCP (received signal
code power). Suatu UE menerima sinyal pilot dari Node B yang melayaninya dan
juga dari Node B sekelilingnya. UE selalu mengukur level sinyal pilot yang diterimanya (RSCP) kemudian membandingkan dengan nilai RSCPmin yang
B dan Node B meneruskan laporan ini ke RNC untuk diputuskan apakah UE perlu mendapat kanal baru atau tidak saat handover berlangsung.
3.4.1.1 Perhitungan RSCP [19]
RSCP adalah daya rata-rata yang diterima UE pada sebuah kode setelah
di-spreading yang mendefenisikan pilot simbol yang digunakan untuk keperluan
handover. Adapun persamaan matematis untuk menentukan besar RSCP
ditunjukkan pada Persamaan (3.7).
RSCP(dBm) = Ptx_UMTS + Gain_UMTS - LfeederTx – Pathloss + Ec/Io (dB) (3.7)
Dimana :
RSCP (dBm) = Received Signal Code Power
Daya yang diterima UE dari Node B pada jarak d0 (dBm)
Ptx_UMTS (dBm) = Daya transmisi Node B (dBm)
Gain_UMTS = Nilai gain dari antena UMTS
Besarnya berbeda-beda tergantung jenis antena yang
digunakan (18 dBi)
LfeederTx = Besarnya redaman akibat cable dan loss conector (2 dB)
Pathloss = Rugi-rugi lintasan (dB) yang ditentukan dengan menggunakan Persamaan (3.8).
Ec/Io (dB) = Perbandingan energi terima tiap chip dengan level
interferensi ditunjukkan dengan Persamaan (3.9).
�� ℎ = , + , × log − , × log ℎ� − �
��
M = Jumlah total Node B penginterferensi r1 = Jarak Node B 1 dengan user (meter)
rk = Jarak Node B penginterferensi dengan user (meter)
� = Shadowing; 8-10 dB
� = Faktor ortogonal downlink; 0,6
Hubungan antara daya sinyal pilot, Ppilot dengan daya pancar, PT Node B dinyatakan
dengan Persamaan (3.10)
Ppilot= (1- �) PT (3.10)
dimana � merupakan daya yang dialokasikan untuk kanal trafik.
Jika diasumsikan PT bernilai sama untuk semua Node B dan nilai Nth diasumsikan
jauh lebih kecil dari nilai interferensi yang diterima UE, maka Persamaan (3.8) menjadi Persamaan (3.11) dan Persamaan (3.12).
��
�
=
−�
−� +∑ = �� −�. � −�
(3.12)
3.4.2 Parameter Handover pada LTE
Dalam jaringan LTE keputusan handover dibuat oleh salah satu dari UE atau
network, berdasarkan dari kualitas link. Dalam jaringan LTE, UE membuat
keputusan terakhir untuk menentukan terjadinya handover atau tidak, sedangkan
eNode B membuat rekomendasi pada kandidat eNode B target untuk handover. Keputusan handover berdasarkan pada pengukuran kualitas sinyal yang diperoleh
secara periodik yang dilaporkan oleh UE. Parameter yang digunakan dalam proses
handover pada jaringan LTE adalah reference signal received power (RSRP) dan
handover margin (HOM) yang digunakan untuk menghindari osilasi handover
antara serving cell dan target cell dan time-to-trigger (TTT) untuk pemenuhan kondisi tersebut.
3.4.2.1 Perhitungan RSRP [20]
RSRP merupakan nilai rata-rata daya yang diterima UE dari reference
signal resourse elements yang digunakan untuk keperluan cell selection, cell
reselection dan handover pada LTE. Adapun persamaan matematis untuk
menentukan besar RSRP ditunjukkan pada Persamaan (3.13).
RSRP = EIRP – Pathloss (to UE) + Shadow Fading (σ=3) (3.13)
Dimana:
Daya yang diterima UE dari eNode B pada jarak d0 (dBm)
EIRP (dBm) = Daya keluaran dari antena (Tx_power + gain_antena –
losscable)
Shadow Fading (dB) = Merupakan Large Scale Fading yang terdistribusi
lognormal
Adapun persamaan untuk menentukan besar Shadow Fading dan Pathloss ditunjukkan pada Persamaan (3.14) dan Persamaan (3.15).
Shadow Fading =
−[ −� ]
� /
(3.14)
�� ℎ = � + ×�× log + ℎ�� ���� + + � (3.15)
Dengan:
M = normal random variable kuat sinyal (dBm)
m = rata-rata (mean) kuat sinyal (dBm) σ = standart deviasi
A = redaman lintasan (dB)
� = pathloss exponent; untuk cellular (daerah urban � = 4)
Kf = faktor koreksi frekuensi
Kr = faktor koreksi perangkat Rx
3.4.4 Konstanta-konstanta Simulasi
Ada beberapa parameter pada simulasi yang digunakan pada saat proses
Tabel 3.5 Parameter simulasi [12] [15]
Parameter Keterangan Nilai Satuan
RSCPmin Threshold RSCP -100, -99, ... , -95 dBm
RSRPmin Threshold RSRP -103, -102, ... , -98 dBm
HOM Handover Margin 2, 3, ... , 5 dB
TTT Time-to-Trigger 200,400, ... , 1000 ms
TTI Time-to-Interval 0.1 ms
�
Standar Deviasi 3 -�
Standar deviasi shadowing 8-10 dB�
Daya yang dialokasikan untukkanal trafik
0.8 -
A Faktor orthogonal downlink 0.6 -
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
4.1 Masukan Simulasi
Simulasi ini mengamati performansi user yang sedang melakukan panggilan
yang bergerak dari sel UMTS menuju ke sel LTE. Masukan simulasi berupa RSCPmin, RSRPmin, HOM, TTT, TTI, dan jumlah iterasi adalah 100 untuk tiap kecepatan yang bervariasi. Posisi awal user berada pada titik pusat sel UMTS.
Kecepatan user divariasikan dari 3 km/jam, 10 km/jam, 30 km/jam, 60 km/jam, 90 km/jam, 180 km/jam, 360 km/jam, 450 km/jam, 550 km/jam, dan 620 km/jam.
Adapun untuk sudut perpindahan user diasumsikan dengan distribusi uniform antara sudut 0 sampai 60 derajat. Sampling pengukuran kuat sinyal penerimaan UE dilakukan setiap 100 ms.
4.2 Keluaran Simulasi
Parameter kinerja dari keluaran simulasi yang diamati adalah probabilitas
dropping. Performansi probabilitas dropping itu diamati terhadap RSCP minimum,
RSRP minimum, handover margin, dan time-to-trigger. Pemilihan nilai optimal
ditentukan berdasarkan nilai probabilitas dropping yang rendah terhadap variasi dari pada parameter masukan.
4.3 Implementasi Sistem Simulasi Terhadap Probabilitas Dropping
Pada kondisi awal diasumsikan user berada dalam pusat pelayanan sel UMTS
eNode B, user tetap mengukur kuat sinyal RSCP yang diterima dari Node B serving
cell (sel yang melayani) dan kuat sinyal RSRP yang diterima dari eNode B neighbor
cell (sel target). Pengukuran kuat sinyal ini dibutuhkan sebagai indikator bagi
mekanisme handover dalam usaha mempertahankan kontinuitas panggilan.
4.3.1 Skenario 1 (RSS Based Handover)
Pada skenario 1 ini probabilitas dropping diamati untuk nilai RSCPmin, RSRPmin, dan HOM yang berbeda-beda. Adapun tampilan keluaran simulasi
berbasis GUI Matlab ditunjukkan pada Gambar 4.1.
1. Pengamatan Probabilitas Dropping Terhadap Perubahan Nilai RSCPmin Adapun kombinasi parameter awal dikonfigurasi berdasarkan Tabel 4.1. Tabel 4.1 Kombinasi parameter skenario 1 dengan nilai RSCPmin yang berbeda
RSCPmin RSRPmin HOM
-95 dBm -98 dBm 2 dB
-96 dBm -98 dBm 2 dB
-97 dBm -98 dBm 2 dB
-98 dBm -98 dBm 2 dB
-99 dBm -98 dBm 2 dB
-100 dBm -98 dBm 2 dB
Dengan menjalankan simulasi sebanyak 100 kali untuk perubahan kecepatan diperoleh hasil seperti pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Probabilitas dropping, RSCPmin vs kecepatan
RSCPmin
(dBm)
Kecepatan (km/jam)
3 10 30 60 90 180 360 450 550 620
Dari Tabel 4.2 diperoleh grafik probabilitas dropping seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.2.
Gambar 4.2 Hasil probabilitas dropping saat nilai RSCP berbeda-beda
Dalam Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa semua nilai probabilitas dropping adalah 1 untuk semua perubahan RSCPmin. Hal ini dikarenakan RSCPmin sebagai tolak ukur threshold sinyal terima tidak mentoleransi pada buruknya kuat sinyal yang
diterima oleh user dalam pemenuhan kondisi PBGT ≥ HOM. Hal ini dapat diperhatikan saat nilai RSCPmin diatur -95 dBm hingga -100 dBm nilai probabilitasnya tetap 1. User dapat drop bila user memiliki PBGT < HOM.
Variabel kecepatan juga perlu dianalisis. Ketika kecepatan berada pada 360
km/jam, nilai probabilitas dropping akan lebih kecil seperti yang terlihat pada Tabel 4.2. Hal ini dikarenakan pada kecepatan 360 km/jam setelah HOM sebagai margin
sebelum serving cell pindah ke neighbour cell target, user akan lebih cepat mendapat kondisi RSRP > RSRPmin target cell karena pengambilan data dilakukan tiap 100 ms. Fading yang meningkat saat kecepatan user meningkat tidak terlalu
berpengaruh pada received signal strength dengan metode RSS based handover ini.
2. Pengamatan Probabilitas Dropping Terhadap Perubahan Nilai RSRPmin Adapun kombinasi parameter awal dikonfigurasi berdasarkan Tabel 4.3. Tabel 4.3 Kombinasi parameter skenario 1 dengan nilai RSRPmin yang berbeda
RSRPmin RSCPmin HOM
-98 dBm -95 dBm 2 dB
-99 dBm -95 dBm 2 dB
-100 dBm -95 dBm 2 dB
-101 dBm -95 dBm 2 dB
-102 dBm -95 dBm 2 dB
-103 dBm -95 dBm 2 dB
Dengan menjalankan simulasi sebanyak 100 kali untuk perubahan kecepatan diperoleh hasil seperti pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4 Probabilitas dropping, RSRPmin vs kecepatan
RSRPmin
(dBm)
Kecepatan (km/jam)
3 10 30 60 90 180 360 450 550 620
-98 1 1 1 1 0,99 0,96 0,97 1 1 1
-99 1 1 1 1 0,89 0,85 0,71 1 1 1
Dari Tabel 4.4 diperoleh grafik probabilitas dropping seperti ditunjukkan pada Gambar 4.3.
Gambar 4.3 Hasil probabilitas dropping saat nilai RSRP berbeda-beda
Dalam Tabel 4.4 dapat dilihat bahwa ketika nilai RSRPmin ditentukan semakin rendah, maka nilai probabilitas dropping akan semakin kecil. Sementara apabila
nilai RSRPmin ditentukan semakin tinggi, maka nilai probabilitas dropping semakin besar. Hal ini dapat diperhatikan saat nilai RSRPmin diatur -98 dBm nilai
probabilitasnya 0.99, saat -99 dBm nilai probabilitasnya 0.89, dan saat -103 dBm nilai probabilitasnya 0.17 pada kecepatan 90 km/jam. Hal ini dikarenakan RSRPmin sebagai tolak ukur threshold sinyal terima yang dapat/tidak dapat
mentoleransi pada buruknya kuat sinyal yang diterima oleh user. User dapat drop
bila user memiliki PBGT ≥ HOM dan RSRP < RSRPmin saat berpindah ke
neighbour cell.
Variabel kecepatan juga perlu dianalisis. Ketika kecepatan meningkat, maka nilai probabilitas dropping akan lebih kecil seperti pada Tabel 4.4. Hal ini dikarenakan setelah HOM sebagai margin sebelum serving cell pindah ke
neighbour cell target, user akan lebih cepat mendapat kondisi RSRP > RSRPmin
target cell karena pengambilan data dilakukan tiap 100 ms. Fading yang meningkat saat kecepatan user meningkat tidak terlalu berpengaruh pada received signal
strength dengan metode RSS based handover ini.
3. Pengamatan Probabilitas Dropping Terhadap Perubahan Nilai HOM Adapun kombinasi parameter awal dikonfigurasi berdasarkan Tabel 4.5. Tabel 4.5 Kombinasi parameter skenario 1 dengan nilai HOM yang berbeda
RSRPmin RSCPmin HOM
-98 dBm -95 dBm 2 dB
-98 dBm -95 dBm 3 dB
-98 dBm -95 dBm 4 dB
-98 dBm -95 dBm 5 dB
Dengan menjalankan simulasi sebanyak 100 kali untuk perubahan kecepatan diperoleh hasil seperti pada Tabel 4.6.
Tabel 4.6 Probabilitas dropping, HOM vs kecepatan
HOM
(dB)
Kecepatan (km/jam)
3 10 30 60 90 180 360 450 550 620
2 1 1 1 1 1 1 0,95 1 1 1
Dari Tabel 4.6 didapat grafik probabilitas dropping seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.4.
Gambar 4.4 Hasil probabilitas dropping saat HOM berubah-ubah
Pada Tabel 4.6 dapat dilihat bahwa nilai probabilitas dropping untuk semua
perubahan parameter HOM adalah 1. Hal ini dapat diperhatikan saat nilai HOM diatur 2 dB hingga 6 dB nilai probabilitasnya adalah 1 pada kecepatan 90 km/jam.
Kecuali pada kecepatan 360 km/jam dengan HOM = 2 dBm nilai probabilitas
dropping-nya adalah 0.95 dikarenakan setelah HOM sebagai margin sebelum
serving cell pindah ke neighbour cell target, user akan lebih cepat mendapat kondisi
RSRP > RSRPmin target cell pada kecepatan 360 km/jam dimana pengambilan data dilakukan tiap 100 ms. Oleh karena itu, perubahan parameter HOM pada Tabel 4.6
tidak mempengaruhi besar kecilnya nilai probabilitas dropping user. Hal ini dikarenakan perubahan HOM sebagai margin antara serving cell dan neighbour cell
target tidak terpenuhi untuk semua kecepatan. User dapat drop bila user memiliki PBGT < HOM sebelum berpindah ke neighbour cell.
Fading yang meningkat saat kecepatan user meningkat tidak terlalu berpengaruh
pada received signal strength dengan metode RSS based handover ini.
4. Nilai Optimal untuk Parameter Handover
Berdasarkan pengamatan dari Tabel 4.2, Tabel 4.4, dan Tabel 4.6 dan kriteria
optimal yang telah ditentukan, maka diperoleh nilai optimal RSCPmin, RSRPmin, dan HOM masing-masing adalah -98 dBm, -99 dBm, dan 2 dB. Dengan menjalankan simulasi sebanyak 100 kali untuk perubahan kecepatan diperoleh hasil
seperti pada Tabel 4.7.
Tabel 4.7 Probabilitas dropping, parameter optimalisasi vs kecepatan
Parameter
Kecepatan (km/jam)
3 10 30 60 90 180 360 450 550 620
RSRPmin =
-102 dBm
RSCPmin =
-95 dBm
HOM = 2 dB
1 0,97 0,58 0,18 0,23 0,21 0,20 1 1 1
Dari Tabel 4.7 diperoleh grafik probabilitas dropping seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 4.5 Hasil optimalisasi parameter tradeoff handover
Dari parameter pada Tabel 4.7, didapat output terbaik dengan probabilitas
dropping yang kecil, namun tidak menurunkan performansi jaringan dengan
menjaga received signal strength yang baik bagi pelanggan. Kondisi lebih baik dapat diperoleh dengan menurunkan RSCPmin atau RSRPmin pada masing-masing
sistem, namun apabila itu dilakukan, maka kualitas sinyal yang diterima user-lah yang akan dikorbankan. Begitu juga pada HOM, fungsi HOM sebagai margin yang
mengurangi terjadinya handover tidak boleh juga diatur terlalu besar, karena ini akan mengakibatkan turunnya RSS saat kondisi PBGT berlangsung.
4.3.2 Skenario 2 (RSS Based Handover with TTT)
Pada skenario 2 ini probabilitas dropping diamati untuk nilai RSCPmin, RSRPmin, HOM, dan TTT yang berbeda-beda. Adapun tampilan keluaran simulasi
berbasis GUI Matlab ditunjukkan pada Gambar 4.6.
Gambar 4.6 Tampilan saat simulasi dijalankan
1. Pengamatan Probabilitas Dropping Terhadap Perubahan Nilai RSCPmin Adapun kombinasi parameter awal dikonfigurasi berdasarkan Tabel 4.8.
Tabel 4.8 Kombinasi parameter skenario 2 dengan nilai RSCPmin yang berbeda
RSCPmin RSRPmin HOM
-95 dBm -98 dBm 2 dB
-96 dBm -98 dBm 2 dB
-97 dBm -98 dBm 2 dB
RSCPmin RSRPmin HOM
-99 dBm -98 dBm 2 dB
-100 dBm -98 dBm 2 dB
Dengan menjalankan simulasi sebanyak 100 kali untuk perubahan kecepatan diperoleh hasil seperti pada Tabel 4.9.
Tabel 4.9 Probabilitas dropping, RSCPmin vs kecepatan
RSCPmin
(dBm)
Kecepatan (km/jam)
3 10 30 60 90 180 360 450 550 620
-95 1 1 1 1 1 0,99 0,91 0 0 0
-96 1 1 1 1 1 1 0,52 0 0 0
-97 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 -98 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 -99 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 -100 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0
Dari Tabel 4.9 diperoleh grafik probabilitas dropping seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 4.7 Hasil probabilitas dropping saat RSCP berubah-ubah terhadap TTT
Dalam Tabel 4.9 dapat dilihat bahwa ketika nilai RSCPmin ditentukan semakin
rendah, maka nilai probabilitas dropping akan semakin kecil. Sementara apabila nilai RSCPmin ditentukan semakin tinggi, maka nilai probabilitas dropping semakin besar. Hal ini dapat diperhatikan saat nilai RSCPmin diatur -95 dBm nilai
probabilitas dropping-nya 0.91 dan saat -96 dBm nilai probabilitas dropping-nya 0.52. Hal ini dikarenakan RSCPmin sebagai tolak ukur threshold sinyal terima yang
dapat/tidak dapat mentoleransi pada buruknya kuat sinyal yang diterima oleh user.
User akan drop pada saat PBGT ≥ HOM tidak terpenuhi pada TTT yang telah
diberikan setelah RSCP ≤ RSCPmin kemudian RSRP selaku received signal
strength neighbour cell target berada pada kondisi RSRP ≤ RSRPmin.
Variabel kecepatan juga perlu dianalisis. Ketika kecepatan meningkat, maka
nilai probabilitas dropping akan lebih kecil seperti pada Tabel 4.9. Hal ini dikarenakan syarat HOM sebagai margin sebelum serving cell pindah ke neighbour
cell target lebih cepat terpenuhi dalam waktu TTT = 200 ms. Fading yang
meningkat saat kecepatan user meningkat tidak terlalu berpengaruh pada received
signal strength dengan metode RSS based handover ini.
2. Pengamatan Probabilitas Dropping Terhadap Perubahan Nilai RSRPmin Adapun kombinasi parameter awal dikonfigurasi berdasarkan Tabel 4.10. Tabel 4.10 Kombinasi parameter skenario 2 dengan nilai RSRPmin yang berbeda
RSRPmin RSCPmin HOM TTT
-98 dBm -95 dBm 2 dB 0.2 s
-99 dBm -95 dBm 2 dB 0.2 s
-100 dBm -95 dBm 2 dB 0.2 s
-101 dBm -95 dBm 2 dB 0.2 s
-102 dBm -95 dBm 2 dB 0.2 s
-103 dBm -95 dBm 2 dB 0.2 s
Dengan menjalankan simulasi sebanyak 100 kali untuk perubahan kecepatan diperoleh hasil seperti pada Tabel 4.11.
Tabel 4.11 Probabilitas dropping, RSRPmin vs kecepatan
RSRPmin
(dBm)
Kecepatan (km/jam)
3 10 30 60 90 180 360 450 550 620
-98 1 1 1 1 1 0,99 0,91 0 0 0
-99 1 1 1 1 0,9 0,77 0,62 0 0 0
RSRPmin
Dari Tabel 4.11 diperoleh grafik probabilitas dropping seperti yang diperlihatkan
dalam Gambar 4.8.
Gambar 4.8 Hasil probabilitas dropping saat nilai RSRP berbeda terhadap TTT
Dalam Tabel 4.11 dapat dilihat bahwa ketika nilai RSRPmin ditentukan semakin rendah, maka nilai probabilitas dropping akan semakin kecil. Sementara apabila nilai RSRPmin ditentukan semakin tinggi, maka nilai probabilitas dropping
semakin besar. Hal ini dapat diperhatikan saat nilai RSRPmin diatur -98 dBm nilai
saat -100 dBm nilai probabilitas dropping-nya 0.75, saat -101 dBm nilai probabilitas dropping-nya 0.49, dan seterusnya. Hal ini dikarenakan RSRPmin sebagai tolak ukur threshold sinyal terima yang dapat/tidak dapat mentoleransi pada buruknya kuat sinyal yang diterima oleh user. User akan drop pada saat PBGT ≥
HOM tidak terpenuhi pada TTT yang telah diberikan setelah RSCP ≤ RSCPmin
kemudian RSRP selaku received signal strength neighbour cell target berada pada kondisi RSRP ≤ RSRPmin.
Variabel kecepatan juga perlu dianalisis. Ketika kecepatan meningkat, maka
nilai probabilitas dropping akan lebih kecil seperti pada Tabel 4.11. Hal ini dikarenakan setelah HOM sebagai margin sebelum serving cell pindah ke
neighbour cell target, user akan lebih cepat terpenuhi dalam waktu TTT = 200 ms.
Fading yang meningkat saat kecepatan user meningkat tidak terlalu berpengaruh
pada received signal strength dengan metode RSS based handover ini.
3. Pengamatan Probabilitas Dropping Terhadap Perubahan Nilai HOM Adapun kombinasi parameter awal dikonfigurasi berdasarkan Tabel 4.12.
Tabel 4.12 Kombinasi parameter skenario 2 dengan nilai HOM yang berbeda
RSRPmin RSCPmin HOM
-98 dBm -95 dBm 2 dB
-98 dBm -95 dBm 3 dB
-98 dBm -95 dBm 4 dB
Dengan menjalankan simulasi sebanyak 100 kali untuk perubahan kecepatan diperoleh hasil seperti pada Tabel 4.13.
Tabel 4.13 Probabilitas dropping, HOM vs kecepatan
HOM
Dari Tabel 4.13 diperoleh grafik probabilitas dropping seperti yang ditunjukkan
pada Gambar 4.9.
Gambar 4.9 Hasil probabilitas dropping saat HOM berubah-ubah terhadap TTT
Pada Tabel 4.13 dapat dilihat bahwa ketika nilai HOM ditentukan semakin rendah, maka nilai probabilitas dropping akan semakin besar. Sementara apabila nilai HOM ditentukan semakin tinggi, maka nilai probabilitas dropping semakin
kecil. Hal ini dapat diperhatikan saat nilai HOM diatur 2 dB nilai probabilitas
dropping-nya 0.90, saat 3 dB nilai probabilitas dropping-nya 0.75, saat 4 dB nilai
probabilitas dropping-nya 0.49, dan seterusnya. Hal ini dikarenakan HOM sebagai
margin antara serving cell dan neighbour cell target. User akan drop pada saat
PBGT ≥ HOM tidak terpenuhi pada TTT yang telah diberikan setelah RSCP ≤
RSCPmin kemudian RSRP selaku received signal strength neighbour cell target berada pada kondisi RSRP ≤ RSRPmin.
Variabel kecepatan juga perlu dianalisis. Ketika kecepatan meningkat, maka nilai probabilitas dropping akan lebih kecil seperti pada Tabel 4.13. Hal ini dikarenakan setelah HOM sebagai margin sebelum serving cell pindah ke
neighbour cell target lebih cepat terpenuhi dalam waktu TTT = 200 ms. Fading
yang meningkat saat kecepatan user meningkat tidak terlalu berpengaruh pada
received signal strength dengan metode RSS based handover ini.
4. Pengamatan Probabilitas Dropping Terhadap Perubahan Nilai TTT Adapun kombinasi parameter awal dikonfigurasi berdasarkan Tabel 4.14.
Tabel 4.14 Kombinasi parameter skenario 2 dengan nilai TTT yang berbeda
RSRPmin RSCPmin HOM TTT
-95 dBm -98 dBm 2 dB 0.2 s
-95 dBm -98 dBm 2 dB 0.4 s
RSRPmin RSCPmin HOM TTT
-95 dBm -98 dBm 2 dB 0.8 s
-95 dBm -98 dBm 2 dB 1 s
Dengan menjalankan simulasi sebanyak 100 kali untuk perubahan kecepatan diperoleh hasil seperti pada Tabel 4.15.
Tabel 4.15 Probabilitas dropping, TTT vs kecepatan
TTT
(second)
Kecepatan (km/jam)
3 10 30 60 90 180 360 450 550 620
0,2 1 1 1 1 1 0,99 0,96 0 0 0
0,4 1 1 1 1 1 1 0,64 0 0 0
0,6 1 1 1 1 1 0,81 0,68 0 0 0
0,8 1 1 1 1 0,99 0,79 0,71 0 0 0
1,0 1 1 1 1 0,84 0,78 0,68 0 0 0
Dari Tabel 4.15 diperoleh grafik probabilitas dropping seperti yang ditunjukkan
Gambar 4.10 Hasil probabilitas dropping saat TTT berubah-ubah
Pada Tabel 4.15 dapat dilihat bahwa ketika nilai TTT ditentukan semakin sedikit, maka nilai probabilitas dropping akan semakin besar. Sementara apabila nilai TTT ditentukan semakin banyak, maka nilai probabilitas dropping semakin
kecil. Hal ini dapat diperhatikan saat nilai TTT diatur 0.6 detik nilai probabilitas
dropping-nya 1, saat 0.8 detik nilai probabilitas dropping-nya 0.99, saat 1 detik nilai
probabilitasnya 0.84, saat 1 detik nilai probabilitas dropping-nya 0.96, dan seterusnya. Hal ini dikarenakan TTT sebagai waktu pemenuhan kondisi HOM.
User akan drop pada saat PBGT ≥ HOM tidak terpenuhi pada TTT yang telah diberikan setelah RSCP ≤ RSCPmin kemudian RSRP selaku received signal
strength neighbour cell target berada pada kondisi RSRP ≤ RSRPmin.
Variabel kecepatan juga perlu dianalisis. Ketika kecepatan meningkat, maka
nilai probabilitas dropping akan lebih kecil seperti pada Tabel 4.15. Hal ini dikarenakan setelah HOM sebagai margin sebelum serving cell pindah ke
Fading yang meningkat saat kecepatan user meningkat tidak terlalu berpengaruh
pada received signal strength dengan metode RSS based handover ini.
5. Nilai Optimal untuk Parameter Handover
Berdasarkan pengamatan dari Tabel 4.9, Tabel 4.11, Tabel 4.13, dan Tabel 4.15
dan berdasarkan kriteria optimal yang telah ditentukan, maka diperoleh nilai optimal RSCPmin, RSRPmin, HOM, dan TTT masingmasing adalah 98 dBm, -99 dBm, 2 dB, dan 800 ms. Dengan menjalankan simulasi sebanyak 100 kali untuk
perubahan kecepatan diperoleh hasil seperti pada Tabel 4.16.
Tabel 4.16 Probabilitas dropping, parameter optimalisasi vs kecepatan
Parameter
Kecepatan (km/jam)
3 10 30 60 90 180 360 450 550 620
RSRPmin =
-102 dBm
RSCPmin =
-95 dBm
HOM
= 2 dB
TTT = 400 ms
0.96 0.97 0.52 0.19 0.24 0.15 0 0 0 0
Dari Tabel 4.16 diperoleh grafik probabilitas dropping seperti yang ditunjukkan
Gambar 4.11 Hasil optimalisasi parameter tradeoff handover
Dari parameter yang ditunjukkan pada Tabel 4.16, didapat output terbaik dengan probabilitas dropping yang kecil namun tidak menurunkan performansi jaringan dengan menjaga received signal strength yang baik bagi pelanggan. Kondisi lebih
baik dapat diperoleh dengan menurunkan RSCPmin atau RSRPmin pada masing-masing sistem, namun apabila itu dilakukan, maka kualitas sinyal yang diterima
user-lah yang akan dikorbankan. Begitu juga pada HOM, fungsi HOM sebagai
margin yang mengurangi terjadinya handover yang tidak perlu juga tidak boleh
di-set terlalu besar, karena ini akan mengakibatkan turunnya RSSSS saat kondisi PBGT
4.4 Rangkuman Hasil Simulasi
Dari hasil simulasi untuk kedua skenario yang telah dijelaskan pada Subbab 4.3.1 dan Subbab 4.3.2, maka korelasi antara parameter handover terhadap
probabilitas dropping ditabelkan kembali dalam rangka memudahkan pengamatan nilai optimal. Adapun data korelasi parameter handover terhadap probabilitas
dropping tersebut untuk kecepatan 90 km/jam ditunjukkan pada Tabel 4.17.
Tabel 4.17 Rangkuman hasil simulasi dengan kecepatan 90 km/jam Parameter yang Berubah-ubah Skenario 1 Skenario 2
Berdasarkan data hasil rangkuman pada Tabel 4.17, maka didapatkan penjelasan sebagai berikut:
a) Untuk pengamatan perubahan nilai RSCPmin(UMTS), tidak terjadi banyak
perbedaan nilai probabilitas dropping untuk kedua skenario.
b) Keputusan dropping tidak diputuskan pada kondisi pemenuhan Power
Budget (mengacu pada model simulasi).
c) Untuk pengamatan perubahan nilai RSRPmin(LTE), terjadi perbedaan nilai
probabilitas dropping yang signifikan untuk kedua skenario.
d) Pada skenario 1, nilai RSRPmin(LTE) menjadi satu-satunya keputusan
dropping dan pemenuhan kondisi Power Budget.
e) Pada skenario 2, kondisi Power Budget harus terpenuhi dalam waktu yang
ditentukan (pada simulasi ini TTT = 200 ms), setelah itu kondisi RSRPmin(LTE) baru akan dipertimbangkan.
f) Pada skenario 1, semakin besar HOM maka probabilitas dropping semakin
rendah. Sehingga banyak margin yang dimiliki user sehingga kondisi RSRP > RSRPmin(LTE) lebih mungkin terpenuhi.
g) Hasil pengamatan HOM pada skenario 1 tidak berlaku pada skenario 2,
karena handover margin yang besar itu tidak dapat terpenuhi pada waktu
yang ditentukan (pada model simulasi TTT = 200 ms).
h) Untuk pengamatan perubahan nilai TTT, didapat kecenderungan hasil
probabilitas dropping yang menurun ketika TTT di-set semakin besar. i) Nilai optimal parameter handover untuk kedua skenario hampir memiliki
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari hasil pembahasan yang telah dilakukan terhadap keluaran simulasi
handover jaringan UMTS ke jaringan LTE maka dapat ditentukan kesimpulan
sebagai berikut:
1. Kecepatan user sangat berpengaruh terhadap fading namun sebaliknya
kurang berpengaruh terhadap probabilitas dropping.
2. Dampak perubahan nilai RSCPmin(UMTS) dan RSRPmin(LTE) baik untuk
metode RSS based handover maupun metode RSS based handover with
time-to-trigger terhadap nilai perubahan probabilitas dropping adalah
sangat kecil, yakni perubahaan yang tidak signifikan.
3. Perubahan parameter RSRPmin pada metode RSS based handover dengan
syarat Time-to-Trigger memiliki probabilitas dropping yang lebih kecil dibandingkan dengan metode RSS based handover with time-to-trigger. 4. Nilai optimal masing-masing RSCPmin(UMTS) dan RSRPmin(LTE) sebagai
parameter tradeoff handover untuk kedua metode adalah 95 dBm dan
-102 dBm.
5. Hasil HOM untuk kedua metode cenderung berbanding terbalik sebagai
dampak adanya syarat TTT.
6. Untuk metode RSS based handover, semakin besar nilai HOM maka nilai
7. Untuk metode RSS based handover with time-to-trigger, semakin besar
nilai HOM maka probabilitas dropping yang dihasilkan semakin kecil sebagai akibat adanya syarat TTT.
8. Nilai optimal HOM untuk kedua metode dari tradeoff parameter handover
adalah 2 dB.
9. Dengan waktu TTT yang semakin bertambah menghasilkan nilai
probabilitas dropping yang semakin kecil.
10. Nilai optimal parameter TTT dari tradeoff parameter handover untuk
kedua skenario adalah 400 ms.
5.2 Saran
Adanya saran untuk pengembangan Tugas Akhir selanjutnya adalah sebagai berikut:
1. Menggunakan model propagasi dan kanal fading yang direkomendasikan lainnya sebagai model yang berbeda untuk kanal jaringan.
2. Adanya penambahan beban trafik pada eNode B agar dapat dilihat
pengaruhnya terhadap keberhasilan handover.
3. Melakukan penambahan eNode B menjadi 3 atau 4 dan mengamati
pengaruhnya terhadap probabilitas dropping.
BAB II DASAR TEORI
2.1 Konsep Sel
Dalam sistem komunikasi seluler, informasi dipertukarkan di antara mobile
station (MS) dan base transceiver station (BTS) melalui sinyal radio. Setiap BTS
hanya dapat berkomunikasi dengan MS pada area terbatas berdasarkan daerah cakupan BTS. Dengan sebutan lain, bahwa pengiriman sinyal radio dibatasi pada
rentang frekuensi tertentu, sehingga membutuhkan beberapa BTS supaya dapat melayani area luas.
Sebuah BTS yang mencakup area tertentu disebut sel. Umumnya pemodelan sel yang digunakan berbentuk heksagonal berulang dengan bentuk yang sama dalam seluruh area yang dilayani BTS. Setiap cakupan sel menyediakan sejumlah
kanal tertentu, sehingga sebuah MS atau lebih, dapat berkomunikasi dengan BTS secara bersamaan. Biasanya kanal didefenisikan berdasarkan slot waktu, rentang frekuensi, kode sandi atau kombinasi dari TDMA, FDMA atau CDMA [5].
Dengan meningkatnya trafik user atau laju pertambahan MS, maka dibutuhkan penambahan kapasitas kanal. Dalam penambahan kapasitas kanal, tidak efektif jika
hanya dengan mempertimbangkan teknik modulasi saja. Solusi untuk penambahan kapasitas kanal dapat juga dilakukan dengan mengecilkan area sel (mikro sel) dan penggunaan alokasi kanal secara dinamik dan frekuensi reuse. Dalam
merencanakan penambahan kapasitas kanal pada sistem seluler, perlu dipertimbangkan interferensi yang terjadi, yaitu; interferensi co-channel dan
Bentuk jaringan sistem selular berkaitan dengan luas cakupan daerah pelayanan. Bentuk sel yang terdapat pada sistem komunikasi bergerak selular digambarkan dengan bentuk hexagonal dan lingkaran seperti yang ditunjukkan
pada Gambar 2.1. Tetapi, bentuk hexagonal dipilih sebagai bentuk pendekatan jaringan selular, karena dari sel yang lebih sedikit dengan bentuk hexagonal
diharapkan dapat mencakup seluruh wilayah pelayanan. Sel berbentuk hexagonal atau bentuk yang lain hanya digunakan untuk mempermudah penggambaran pada
layout perencanaan.
Gambar 2.1 Struktur sel [7]
Setiap sel memiliki alokasi sejumlah channel frekuensi tertentu yang berlainan dengan sebelahnya. Karena channel frequency merupakan sumber terbatas, maka
untuk meningkatkan kemampuan pelayanan frekuensi yang terbatas tersebut dipakai secara berulang-ulang, yang dikenal dengan istilah pengulangan frekuensi (frequency reuse). Oleh karena itu, pengulangan frekuensi merupakan hal yang
penting dalam komunikasi selular [7].
2.2 Propagasi Gelombang Radio
komunikasi tetap, bahwa profil lingkungan komunikasi seluler sulit untuk diprediksi. Propagasi gelombang radio sangat ditentukan oleh profil daerah, faktor benda-benda bergerak, sifat frekuensi radio, kecepatan MS dan sumber-sumber
interferensi.
Mekanisme propagasi sinyal di antara transmitter dan receiver adalah
bervariasi, tergantung pada profil daerah di sekitar lingkungan komunikasi seluler. Mekanisme propagasi sinyal ini mengakibatkan sinyal yang diterima MS mengalami fluktuasi. Fluktuasi sinyal dapat terjadi dalam tiga mekanisme, yaitu;
reflection, difraction dan hamburan atau scatter [8].
2.2.1 Reflection
Reflection atau pemantulan sinyal terjadi ketika sinyal yang merambat
membentur permukaan benda yang dimensinya relatif besar dibandingkan panjang
gelombang sinyal tersebut. Pemantulan sinyal ini mengakibatkan sinyal mengalami redaman. Redaman sinyal akibat reflection dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti; frekuensi radio, sudut sinyal memantul, sifat-sifat material dan ketebalan bidang
permukaan pantulan. Reflection dapat terjadi melalui permukaan bumi, bangunan dan permukaan dinding [8].
2.2.2 Difraction
Difraction (pembelokan) atau difraksi terjadi ketika sinyal yang merambat di
antara transmitter dan receiver, dihalangi oleh sisi permukaan yang tajam. Pembelokan sinyal dapat terjadi ke berbagai arah yang bersumber dari sisi
permukaan penghalang dapat mencapai ruangan dan bahkan belakang penghalang, sehingga menyebabkan lenturan gelombang disekitar penghalang. Pada frekuensi tinggi, difraksi bergantung pada geometri objek, amplitudo, fasa dan polarisasi
gelombang dimana titik terjadinya difraksi [8].
2.2.3 Scatter
Sinyal akan mengalami scatter atau hamburan ketika membentur benda yang memiliki dimensi disekitar atau lebih kecil dari dimensi panjang gelombang sinyal.
Benda yang dapat menyebabkan hamburan sinyal, seperti: dedaunan, kendaraan, tiang-tiang lampu, rambu-rambu lalu lintas dijalan dan perabot dalam ruangan.
Sinyal yang terhalangi oleh benda-benda tersebut, tersebar menjadi beberapa sinyal yang lebih lemah sehingga sinyal asli sulit diperkirakan [8].
Kinerja sistem komunikasi dipengaruhi oleh efek propagasi sinyal, sehingga
efek propagasi sinyal perlu dipertimbangkan dalam perencanaan. Bila sinyal yang langsung diterima oleh receiver (mobile station) secara LOS (line of sight), maka pengaruh difraction dan scatter merupakan masalah kecil, meskipun reflection
dapat berakibat besar. Bila sinyal diterima tidak ada LOS, maka penerimaan sinyal terutama terjadi melalui difraction dan scatter [8]. Pada Gambar 2.2
memperlihatkan mekanisme propagasi radio (scatter, reflection dan difraction).
2.3 Model Propagasi
Dalam sistem komunikasi seluler, MS menerima sinyal dari BTS secara bervariasi. Variasi level sinyal ini dikelompokkan menjadi tiga komponen, yaitu;
model pathloss, shadowing dan multipath. Pada Gambar 2.3 menunjukkan ketiga komponen dari variasi sinyal.
Gambar 2.3 Pathloss, shadowing dan fast fading terhadap jarak [9]
Masing-masing pathloss, shadow fading dan fast fading dijelaskan sebagai
berikut [9].
2.3.1 Pathloss
Pada komponen pathloss, sinyal diterima MS dari BTS dipengaruhi oleh tiga sumber rugi-rugi (loss), yaitu; rugi-rugi ruang bebas, rugi-rugi gelombang tanah
dan rugi-rugi difraction. Hal ini mengakibatkan sinyal mengalami redaman yang bergantung pada beberapa variabel, yaitu: variabel yang dapat dikontrol seperti: frekuensi, tinggi antena; variabel yang dapat diukur seperti: jarak; dan variabel
pathloss [10]. Faktor pathloss terjadi akibat sinyal mengalami rugi-rugi dari
pemancar dan pengaruh propagasi dalam kanal radio. Variasi daya sinyal akibat pathloss terjadi pada jarak 100 sampai 1000 meter.
2.3.2 Shadow Fading
Shadowing atau slow fading merupakan fluktuasi daya rata-rata sinyal terima
disekitar letak kejadian fluktuasi cepat, dengan perubahan sinyal yang lambat. Fenomena shadowing terjadi karena adanya penghalang antara pemancar dan
penerima dilingkungan yang memiliki kontur menonjol seperti: pegunungan, hutan, bangunan dan persimpangan jalan. Sinyal yang terhalangi akan mengalami
redaman karena sinyal mengalami absorption, reflection, difraction dan scatter. Variasi sinyal karena shadowing, sebanding dengan panjang objek penghalang antara pemancar dan penerima, yang terjadi pada jarak 10 sampai 100 m.
2.3.3 Fast Fading
Fast fading terjadi karena sinyal yang merambat dari transmitter ke receiver
dapat melalui beberapa jalur propagasi atau disebut dengan propagasi multipath.
Multipath terjadi karena sinyal dipantulkan dari objek seperti; bangunan, dinding
dan pegunungan, sehingga level sinyal yang diterima merupakan penjumlahan dari sinyal multipath yang mengalami perubahan amplitudo, fasa dan sudut datang dipenerimaan. Hal ini dapat menyebabkan sinyal saling menguatkan (konstruktif)
2.4 System Architecture Evolution (SAE)
SAE adalah arsitektur jaringan yang dirancang untuk menyederhanakan jaringan berdasarkan komunikasi IP. SAE menggunakan eNB untuk melebur Node
B dan RNC dari arsitektur jaringan 3G, untuk membuat jaringan mobile sederhana. Hal ini memungkinkan jaringan yang akan dibangun sebagai arsitektur jaringan
berbasis "All-IP". SAE juga mencakup entitas yang memungkinkan jaringan secara penuh bekerja dengan teknologi nirkabel lain seperti: WCDMA, WiMAX, WLAN, dll [11]. Arsitektur SAE dan hubungan dengan jaringan LTE ditunjukkan pada
Gambar 2.4.
Gambar 2.4 SAE (system architecture evolution) UMTS dan LTE network [11]
2.4.1 E-UTRAN (Evolved Universal Terrestrial Radio Access Network)
Sederhananya, eNodeB adalah radio base station yang mengendalikan semua fungsi radio dicakupan sistem tesebut. BTS seperti eNodeB biasanya didistribusikan ke seluruh area cakupan jaringan, masing-masing eNodeB berada di
dekat antena radio yang sebenarnya. ENodeB bertindak sebagai penghubung antara UE dan EPC, dengan menjadi titik terminasi dari semua protokol radio yang menuju
sesuai terhadap EPC. Dalam peran ini, eNodeB melakukan pengkodean/menguraikan data, dan juga dekompresi/kompresi header IP, yang berarti menghindari berulannya pengiriman data yang sama atau penghematan
penggunaan resource. Fungsi utama dan koneksi antar eNodeB ditunjukkan pada Gambar 2.5.
ENodeB juga bertanggung jawab untuk fungsi control plane (CP). ENodeB bertanggung jawab atas radio resourse management (RRM), yaitu mengendalikan penggunaan interface radio, yang mencakup, mengalokasikan sumber daya
berdasarkan permintaan, prioritas dan penjadwalan traffic sesuai dengan yang dibutuhkan quality of service (QoS).
Selain itu, eNodeB memiliki peran penting dalam management mobility (MM). eNodeB mengontrontrol dan menganalisis pengukuran radio signal level yang dilakukan oleh UE, membuat pengukuran yang sama itu sendiri, dan
menjadikan dasar pembuatan keputusan untuk menyerahkan UE antara sel-sel [12].
2.4.2 EPC (Evolved Packet Core)
Mobility management entity (MME) adalah elemen kontrol utama di EPC.
Biasanya MME akan diletakkan di lokasi yang aman di tempat operator. MME
hanya beroperasi di control plane, dan tidak terlibat dalam jalur data (user plane). Berikut fungsi utama dari MME pada konfigurasi dasar yang ditunjukkan pada
Gambar 2.6 [12]:
Authentication dan Security
Ketika UE akan mendaftar ke jaringan untuk pertama kalinya, MME akan melakukan inisialisasi otentikasi.
Mobility Management
MME melacak lokasi dari semua UE di wilayah layanan tersebut. Ketika UE
membuat pendaftaran pertama untuk jaringan, MME akan menciptakan sebuah entri untuk UE, dan memberikan sinyal ke lokasi HSS di jaringan asal UE itu.
Managing Subscription Profile and Service Connectivity
Pada waktu UE mendaftar ke jaringan, MME akan bertanggung jawab untuk mengambil profil berlangganan dari jaringan asal. MME akan menyimpan
Home Subscriber Server (HSS)
Home Subscriber Server (HSS) adalah repositori data pelanggan untuk semua
data pengguna permanen. Hal ini juga mencatat lokasi pengguna, seperti MME. HSS adalah database server dipertahankan terpusat di tempat operator. HSS menyimpan salinan master dari profil pelanggan, yang berisi informasi tentang
layanan yang berlaku ke pengguna, termasuk informasi tentang koneksi PDN diperbolehkan, dan apakah roaming ke jaringan dikunjungi tertentu
diperbolehkan atau tidak.
Serving Gateway (SGW)
Selama mobilitas antara eNodeB, SGW bertindak sebagai pengikat mobilitas lokal. MME perintah SGW untuk beralih tunnel ke eNodeB lain. MME juga
dapat meminta SGW untuk menyediakan sumber daya tunneling untuk
forwarding data, ketika ada kebutuhan untuk meneruskan data dari eNodeB
sumber ke eNodeB target. Skenario mobilitas juga mencakup perubahan dari
satu SGW ke yang lain, dan MME kontrol perubahan ini sesuai, dengan menghapus tunnel di S-GW lama dan pengaturan mereka di S-GW baru.
Packet Data Network Gateway (PDN GW)
Packet gateway (PGW, juga sering disingkat sebagai PDN-GW) adalah router
ujung antara EPS dan paket data jaringan eksternal. Ini adalah tingkat tertinggi mobilitas penghubung di sistem. Ia melakukan traffic gating dan fungsi penyaringan yang diperlukan oleh layanan yang bersangkutan. Demikian pula
2.5 Konsep Dasar Jaringan UMTS
UMTS adalah pengembangan dari GSM yang merupakan standar Release 99/4 yang dikembangkan oleh 3GPP dengan kemampuan yang lebih baik dari sisi data
rate karena memiliki banyak pengembangan. Dari sisi downlink UMTS dapat
mencapai 2 Mbps dan uplink 384 Kbps. Voice rate dapat mencapai 12.2 Kbps.
Teknologi yang paling mencolok dari teknologi sebelumnya adalah wideband-code
division multiple acces (WCDMA) [13].
2.5.1 Wideband-Code Division Multiple Acces (WCDMA)
WCDMA merupakan teknik multiple access yang berdasarkan penyebaran
spektral, dimana sinyal informasi disebar pada pita frekuensi yang lebih besar daripada lebar pita sinyal aslinya (informasi). Sistem WCDMA hanya memerlukan satu channel frekuensi radio untuk semua pemakainya, masing-masing pemakai
diberi kode yang membedakan antara pengguna satu dengan yang lain. Skema metode akses yang digunakan untuk penyebaran sinyal WCDMA adalah direct
sequence dimana code sequence digunakan secara langsung untuk memodulasi
sinyal radio yang dipancarkan dengan menggunakan sinyal penebar.
WCDMA adalah sistem CDMA pita lebar. Bit-bit informasi user disebar
2.5.2 Universal Mobile Telecommunication System (UMTS)
UMTS merupakan suatu revolusi dari GSM yang mendukung kemampuan generasi ketiga (3G). UMTS menggunakan teknologi akses WCDMA dengan
sistem DS-WCDMA (direct seqence - wideband CDMA). Terdapat dua mode yang digunakan dalam WCDMA dimana yang pertama menggunakan FDD (frequency
division duplex) dan kedua dengan menggunakan TDD (time division duplex). FDD
dikembangkan di Eropa dan Amerika sedangkan TDD dikembangkan di Asia. Pada WCDMA FDD, digunakan sepasang frekuensi pembawa 5 MHz pada uplink dan
downlink dengan alokasi frekuensi untuk uplink yaitu 1945 MHz – 1950 MHz dan
untuk downlink yaitu 2135 MHz – 2140 MHz. Adapun gambar arsitektur jaringan
UMTS dapat ditunjukkan pada Gambar 2.7 [14]:
Gambar 2.7 Architecture UMTS Release 99 [14]
UE (User Equipment)
UE merupakan perangkat yang digunakan oleh pelanggan untuk dapat
memperoleh layanan komunikasi bergerak.
UTRAN (UMTS Terresterial Radio Access Network)
o Node B
Node B adalah node fisik yang bertanggung jawab untuk transmisi radio dan penerimaan antara peralatan pengguna (UE) dan sel UMTS. Node B dapat dikatakan sebagai BTS pada sistem UMTS. Dimana Node B tunggal dapat
mendukung baik mode FDD maupun TDD dan dapat colocated dengan GSM BTS.
o RNC (Radio Network Controller)
RNC berfungsi sebagai pengontrol Node B (controlling RNC) dengan memanajemen sumber radio yang tersedia pada Node B dan serving RNC yang menghubungkan UE ke CN, SRNC sendiri mengontrol sumber radio
yang digunakan oleh UE dan mengakhiri interface Iu ke d an dari CN. CN (Core Network)
CN berfungsi sebagai switching pada jaringan UMTS, memanajeman jaringan serta sebagai interface antara jaringan UMTS dengan jaringan yang lainnya.
Komponen core network UMTS terdiri dari:
o MSC (Mobile Switching Center)
MSC didesain sebagai switching untuk layanan berbasis circuit switch seperti
video, video call.
VLR merupakan database yang berisi informasi sementara mengenai pelanggan terutama mengenai lokasi dari pelanggan pada cakupan area jaringan.
o HLR (Home Location Register)
HLR merupakan database yang berisi data-data pelanggan yang tetap. Data-data tersebut antara lain berisi layanan pelanggan, service tambahan serta informasi mengenai lokasi pelanggan yang paling akhir (update location).
o SGSN (Serving GPRS Support Node)
Fungsi SGSN sama seperti fungsi MSC pada GSM, Mobility management,
Chipering, kompresi dan paging, Namun pembedanya pada MSC adalah
SGSN meng-handle Jaringan Paket.
o GGSN (Gateway GPRS Support Node)
GGSN berfungsi sebagai gerbang penghubung dari jaringan GPRS ke jaringan paket data standard (PDN). GGSN berfungsi dalam menyediakan
fasilitas internetworking dengan eksternal packet-switch network dan dihubungkan dengan SGSN via internet protocol (IP).
2.6 Konsep Dasar Jaringan LTE (Long Term Evolution)
LTE adalah sebuah nama yang diberikan pada sebuah projek dari third
generation partnership project (3GPP) tepatnya pada release 8 untuk memperbaiki
standar mobile phone generasi sebelumnya UMTS. Pada sisi air interface LTE
menggunakan OFDMA (orthogonal frequency division multiple access) pada sisi
downlink dan menggunakan SC-FDMA (single carrier – frequency divison multiple
multiple-antenna (MIMO). Bandwidth operasi pada LTE fleksibel yaitu up to 20
MHz, dan maksimal bekerja pada kisaran bandwidth bervariasi antara 10 – 20 MHz. LTE diciptakan untuk memperbaiki teknologi sebelumnya. Kemampuan dan
keunggulan dari LTE terhadap teknologi sebelumnya selain dari kecepatannya dalam transfer data tetapi juga karena LTE dapat memberikan coverage dan
kapasitas dari layanan yang lebih besar, mengurangi biaya dalam operasional, mendukung penggunaan multiple-antena, fleksibel dalam penggunaan bandwidth operasinya dan juga dapat terhubung atau terintegrasi dengan teknologi yang sudah
ada [15].
2.6.1 Konfigurasi Jaringan LTE
Arsitektur LTE berbeda dengan generasi sebelumnya. Pada RAN (radio
access network) yang menggabungkan fungsi node B dan RNC (radio network
controler) menjadi eNode B LTE (long term evolution) diperkenalkan suatu
jaringan baru yang diberi nama EPS (evolved packet system). EPS terdiri dari jaringan akses yang pada LTE disebut dengan E–UTRAN (evolved UMTS
terrestrial access network) dan jaringan core yang pada LTE disebut SAE. SAE
merupakan istilah yang menggambarkan evolusi jaringan core yang disebut EPC
(evolved packet core). Pada LTE konfigurasinya merupakan pengembangan dari teknologi sebelumnya, yaitu baik UMTS (3G) dalam hal ini merupakan release 99/4 dan HSPA release 6, LTE merupakan standar release 8.
LTE mempunyai radio access dan core network yang dapat mengurangi
network latency dan meningkatkan performansi sistem dan menyediakan
Gambar 2.8 Arsitektur LTE [15]
Terlihat dari Gambar 2.8 ada perbedaan antara arsitektur kedua jaringan. Pada
LTE fungsi dari Node B dan RNC yang terdapat pada UMTS dilebur menjadi satu, yaitu eNB (evolved node B). Dan pada bagian core network-nya LTE menggunakan EPC (evolved packet core).
Gambar 2.9 Arsitektur core LTE [15]
Elemen – elemen dari arsitektur jaringan LTE yang ditunjukkan pada Gambar
UE (User Equipment)
Merupakan terminal radio yang digunakan untuk melakukan hubungan ke jaringan LTE.
E – UTRAN :
o ENB (Elvoved Node B)
Peran dari radio access network (RAN) yaitu Node B dan RNC digantikan dengan ENB ini, sehingga dapat mengurangi biaya perawatan dan operasional
dari perangkat selain itu arsitektur jaringan lebih sederhana. Core Network. terdiri dari :
o Mobility Management Entity (MME)
- MME ini merupakan pengontrol setiap node pada jaringan akses LTE. Pada saat UE dalam kondisi idle (idle mode), MME bertanggung jawab dalam
melakukan prosedur tracking dan paging yang didalamnya mencakup
retransmision.
- MME bertanggung jawab untuk memilih SGW (serving SAE gateway) yang
akan digunakan UE saat initial attach dan pada waktu UE melakukan intra – LTE handover.
- Digunakan untuk bearer control, berbeda dangan R99/4 yang masih dikontrol oleh gateway.
o Policy and Charging Rules Function (PCRF)
Untuk menangani QoS serta mengontrol rating dan charging
o Home Subcriber Server (HSS)
Untuk subriber management dan security
- Mengatur jalan dan meneruskan data yang berupa packet dari setiap user - Sebagai jangkar/penghubung antara UE dengan eNB pada waktu terjadi
inter –handover
- Sebagai link penghubung antara teknologi LTE dengan teknologi 3GPP (dalam hal ini 2G dan 3G)
o Packet Data Network Gateaway (PDN GW)
- Menyediakan hubungan bagi UE ke jaringan paket
- Menyediakan link hubungan antara teknologi LTE dengan teknologi non –
3GPP (WiMAX) dan 3GPP2 (CDMA 20001X dan EVDO)
2.7 Handover
Handover merupakan fasilitas dalam sistem seluler untuk menjamin adanya
kontinuitas komunikasi apabila pelanggan bergerak dari satu cell ke cell lain.
Pergerakan user mengakibatkan perubahan yang dinamis terhadap kualitas link dan tingkat interferensi dalam sistem. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah mekanisme
perancangan handover yang handal yang diharapkan dapat meningkatkan performansi jaringan. Proses handover terjadi karena kualitas atau daya ratio turun di bawah nilai yang dispesifikasikan dalam BSC. Penurunan level sinyal ini
dideteksi dari pengukuran yang dilakukan MS maupun BTS. Konsekuensinya
handover ditujukan ke sel dengan sinyal lebih besar. Selain itu, handover dapat