• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Ekologi Ekosistem Mangrove untuk Rehabilitasi di Desa Tiwoho Kecamatan Wori Kabupaten Minahasa Utara Provinsi Sulawesi Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Ekologi Ekosistem Mangrove untuk Rehabilitasi di Desa Tiwoho Kecamatan Wori Kabupaten Minahasa Utara Provinsi Sulawesi Utara"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

KECAMATAN WORI KABUPATEN MINAHASA UTARA

PROPINSI SULAWESI UTARA

CHRISTIE WIDHI AMELIA ORIENTJE WARONGAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya yang berjudul Kajian Ekologi Ekosistem Mangrove untuk Rehabilitasi di Desa Tiwoho Kecamatan Wori Kabupaten Minahasa Utara Provinsi Sulawesi Utara adalah hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupu tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2009

(3)

RINGKASAN

CHRISTIE W.A.O WARONGAN. Kajian Ekologi Ekosistem Mangrove untuk Rehabilitasi di Desa Tiwoho Kecamatan Wori Kabupaten Minahasa Utara Provinsi Sulawesi Utara. Dibimbing oleh FREDINAN YULIANDA dan ZAIRION.

Ekosistem mangrove di Desa Tiwoho sebagian telah dikonversi sebagai areal pertambakan (budidaya udang).Sampai saat ini hampir seluruh areal tambak tidak pernah difungsikan sebagaimana telah direncanakan. Hal ini mengakibatkan terjadinya kegagalan proses regenerasi alami vegetasi mangrove.

Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan yaitu dari bulan Maret sampai bulan Agustus 2007 dan berlokasi di ekosistem mangrove Desa Tiwoho. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kondisi sumberdaya mangrove dan tingkat kerusakan dan pola ruang ekosistem mangrove serta memberikan arahan strategi alternatif pengelolaan ekosistem mangrove melalui kegiatan rehabilitasi.

Data primer dikumpulkan melalui observasi langsung kondisi lapangan, penyebaran kuisioner, dan wawancara di lokasi penelitian. Data sekunder dikumpulkan dengan penelusuran berbagai pustaka dan instansi terkait. Metode analisis yang digunakan adalah Penginderaan Jarak Jauh dengan ER-Mapper 6.4

dan Sistem Informasi Geografi (SIG) dengan Arc View 3.3, Analisis Komponen Utama atau Principal Component Analysis (PCA) dan Analisis SWOT (strenghts, weakness, opportunities, threats).

Terdapat 8 jenis mangrove dari 4 kelompok famili dengan jenis mangrove dominan adalah dari kelompok Rhizophora spp. Hasil analisis SIG menunjukkan sebaran kerapatan dan tingkat kerusakan dari tinggi sampai rendah yang menghasilkan tiga pola ruang ekologi untuk rehabilitasi. Pola ruang ekologi untuk rehabilitasi I dan II ditetapkan untuk menjadi kawasan rehabilitasi sedangkan pola ekologi untuk rehabilitasi III lebih diarahkan untuk pengembangan pengelolaan ekosistem mangrove berkelanjutan. Dari hasil analisis SWOT diarahkan 7 (tujuh) strategi rehabilitasi yang dapat dilakukan untuk pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Tiwoho.

(4)

ABSTRACT

Tiwoho village as one of coastal village residing in Wori Districh which sorrounded by mangrove. Some part of mangrove ecosystem in this village have been converted to prawn conducting which is almost have never been functioned as have been planned so causing failure processing regeneration of mangrove vegetation.

This research conducted from March until month of August 2007, location in mangrove ecosystem Tiwoho Village. This purpose of research is for analysing condition of mangrove resources, damage level of mangrove ecosystem and give alternative strategy of mangrove ecosystem management through rehabilitation activity.

Primary data collecting is done through sampling, direct observation condition of field, spreading of questioner, open-ended interview and in-depth interview in research location. Secondary data collected with scanning various books, and from relevant institution. Analytical method utilize long distance sensor with Er Mapper 6.4 and Geography Information System (GIS) with Arc View 3.3 and also Principal Component Analysis (PCA) and Analysis SWOT (strenghts, weakness, opportunities, threats).

This research shows that there are 8 mangrove type from 4 group. Mangrove type predominating is from group of Rhizophora spp. GIS analysis show as of closeness swampy forest and level of damage from height until is low causing yield 3 pattern of ecology zone for rehabilitation that is ecology pattern for rehabilitation I II and III. Pattern of ecology zone for rehabilitation I and II specified to be area of rehabilitation while ecology pattern III is suggested to be more towards development of management of continuation mangrove ecosystem.

Based on analysis of SWOT, rehabilitation strategy available for done for management of mangrove ecosystem in Tiwoho village i.e: settlement of aqueduct system bargain and sea-water, return mangrove function as according to ecology pattern of rehabilitation, levying of supporting facilities for mangrove conducting (nursery and nursery bed) managed by directly by public, good fishpond system development base on conservation (silvofishery), increasing of public participation and stakeholder in activity of mangrove ecosystem rehabilitation, increasing quality of public human resources about mangrove ecosystem and straightening law and reinforcement of institute.

(5)

@ Hak cipta milik Christie W.A.O Warongan, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya

(6)

KAJIAN EKOLOGI EKOSISTEM MANGROVE UNTUK REHABILITASI DI DESA TIWOHO

KECAMATAN WORI KABUPATEN MINAHASA UTARA PROVINSI SULAWESI UTARA

CHRISTIE WIDHI AMELIA ORIENTJE WARONGAN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)
(8)

Judul Tesis : Kajian Ekologi Ekosistem Mangrove untuk Rehabilitasi di Desa Tiwoho Kecamatan Wori Kabupaten Minahasa Utara Provinsi Sulawesi Utara

Nama : Christie Widhi Amelia Orientje Warongan

NRP : C251050101

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc Ir. Zairion, M.Sc Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Prof.Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S

(9)

PRAKATA

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala kasih dan anugerah-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Judul penelitian ini adalah Kajian Ekologi Ekosistem Mangrove untuk Rehabilitasi di Desa Tiwoho Kecamatan Wori Kabupaten Minahasa Utara Provinsi Sulawesi Utara. Tesis ini merupakan tugas akhir yang diajukan dalam rangka menyelesaikan studi pada Program Pascasarjana, Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terimakasih penulis sampaikan khususnya kepada :

1. Dr.Ir. Fredinan Yulianda, MSc dan Ir. Zairion, MSc selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang selama ini meluangkan banyak waktu, tenaga, pikiran, petunjuk serta pengarahan selama penyelesaian tesis ini.

2. Papa Julian DL. Warongan, Mama Dolly M. Pusung serta Adik Julio GPW. Warongan atas segala doa dan kasih sayangnya.

3. Keluarga besar Program Studi SPL IPB, khususnya teman-teman SPL Angkatan XII, Ibu Idha, Mas Indra, Mas Hary, Mas Rusman, Faiz, Dinan, Haikal, Ucup, Angga dan Evi atas dukungan, bantuan serta doa selama studi dan penulisan tesis ini.

4. Teman-teman yang telah membantu dalam pengambilan data dan analisis data: Yadi, Steve, Mei, Ikem, Eping, Lani, Wensy, Nando, Santi, Prama, dan Silvana.

5. Seseorang yang selalu memberikan kasih sayang, mendoakan serta mengharapkan keberhasilan penulis.

Semoga tesis ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2009

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tomohon, Kabupaten Minahasa Provinsi Sulawesi Utara, pada tanggal 04 Oktober 1983 dari ayah Julian D.L Warongan dan ibu Dolly M. Pusung. Penulis merupakan putri pertama dari dua bersaudara.

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN... xiii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Kerangka Penelitian ... 4

1.5 Manfaat Penelitian ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA... 7

2.1 Vegetasi Mangrove ... 7

2.2 Struktur dan Adaptasi ... 8

2.3 Karakteristik Lingkungan Mangrove ... 9

2.4 Fungsi dan Pengelolaan Mangrove ... 12

2.5 Kerusakan Mangrove yang Mengarah pada Perubahan Luasan dan Kerapatan Mangrove ... 16

2.6 Rehabilitasi Ekosistem Mangrove ... 17

III. METODE PENELITIAN ... 21

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian... 21

3.2 Metode Pengumpulan Data dan Penarikan Contoh ... 22

3.3 Analisis Data ... 24

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31

4.1 Kondisi Mangrove ... 31

4.2 Kondisi Lingkungan Ekosistem Mangrove ... 38

4.3 Tingkat Kerusakan Ekosistem Mangrove ... 46

4.4 Pendekatan Ekologi Untuk Strategi Rehabilitasi Mangrove ... 48

4.5 Hubungan Antara Partisipasi dengan Karakteristik Masyarakat ... 51

4.6 Arahan Strategi Rehabilitasi Ekosistem Mangrove ... 56

(12)

V. SIMPULAN DAN SARAN ... ... 75

5.1 Kesimpulan ... 75

5.2 Saran ... 76

DAFTAR PUSTAKA ... 77

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Luas wilayah dan pemanfaatan lahan ... 22

2. Analisis strategi faktor internal (Internal Strategic Factor Analysis Summary) ... 29

3. Analisis strategi faktor eksternal (Eksternal Strategic Factor Analysis Summary) ... 29

4. Model matriks SWOT hasil analisis SWOT ... 30

5. Sebaran jenis mangrove... ... 31

6. Kerapatan mangrove... 32

7. Tipe substrat di lahan bekas tambak... 46

8. Komponen dan faktor-faktor SWOT rehabilitasi ekosistem mangrove Desa Tiwoho ... 57

9. Hasil analisis faktor-faktor internal (Internal Strategic Factor Analysis Summary – IFAS) ... 62

10. Hasil analisis faktor-faktor eksternal (Eksternal Strategic Factor Analysis Summary – EFAS) ... 62

11. Hasil analisis matriks keterkaitan unsur SWOT untuk strategi rehabilitasi ekosistem mangrove Desa Tiwoho ... 64

(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Skema kerangka penelitian ... 5

2. Peta lokasi penelitian dan stasiun pengamatan... 21

3. Peta sebaran mangrove ... 33

4. Peta sebaran kerapatan ekosistem mangrove ... 35

5. Grafik indeks nilai penting (INP) pada jalur 1 dan jalur 2 ... 38

6. Peta sebaran salinitas ... 40

7. Peta saluran air di ekosistem mangrove ... 42

8. Peta sebaran substrat di ekosistem mangrove ... 44

9. Peta sebaran kerusakan ekosistem mangrove ... 48

10. Pola ruang ekologi untuk rehabilitasi ekosistem mangrove ... 49

11. Hubungan variabel karakteristik masyarakat dengan partisipasi pada sumbu utama F1 dan F2 ... 54

12. Distribusi individu dan variabel karakteristik masyarakat pada F1 dan F2 ... 55

13. Hasil analisis matriks SWOT dengan kombinasi faktor internal dan faktor eksternal ... 63

14. Konstruksi pembibitan dan penyemaian mangrove ... 69

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Langkah-langkah penyusunan matriks faktor strategi

internal... 81

2. Langkah-langkah penyusunan matriks faktor strategi eksternal... 82

3. Data ekologi mangrove ... 83

4. Data sosial masyarakat Desa Tiwoho ... 85

5. Hasil analisis komponen utama ... 86

(16)

1.1 Latar Belakang

Ekosistem mangrove mempunyai peranan yang sangat penting di wilayah pesisir dan laut. Fungsi ekosistem mangrove yang terpenting bagi daerah pantai adalah menjadi penyambung darat dan laut, serta peredam gejala-gejala alam yang yang ditimbulkan oleh perairan, seperti abrasi, gelombang, badai dan juga merupakan penyangga bagi kehidupan biota lainnya yang merupakan sumber penghidupan masyarakat sekitarnya.

Berdasarkan hasil identifikasi tahun 1997-2000 luas potensial habitat mangrove ± 8.6 juta ha di luar kawasan ekosistem. Pada saat ini 1.7 juta ha atau 44.73% dari ekosistem mangrove yang berada dalam kawasan ekosistem dan 4.2 juta ha atau 87.50% dari ekosistem mangrove yang berada di luar kawasan ekosistem dalam kondisi rusak (Dephut, 2004). Kerusakan tersebut pada umumnya disebabkan oleh tindakan manusia dalam mendayagunakan sumberdaya alam wilayah pantai tidak memperhatikan kelestariannya sehingga mengakibatkan semakin sempitnya luas vegetasi mangrove seperti penebangan untuk keperluan kayu bakar yang berlebihan maupun perubahan fungsi untuk kepentingan penggunaan lahan lainnya seperti tambak, pemukiman, industri dan pertambangan.

Provinsi Sulawesi Utara dengan potensi ekosistem mangrove yang cukup beragam jenisnya, dewasa ini juga dihadapkan pada masalah tingkat eksploitasi yang berlebihan tanpa adanya pengawasan ataupun kontrol yang jelas baik oleh

(17)

Desa Tiwoho Kecamatan Wori merupakan bagian kawasan Taman Nasional Bunaken yang termasuk dalam zona pemanfaatan (use zone) dimana beberapa kawasan ekosistem mangrovenya telah dikonversi menjadi lahan pertambakan. Konversi lahan yang telah dilakukan menjadi lahan tambak, tidak direalisasikan keberadaannya sehingga lahan mangrove yang telah ditebang menjadi rusak dan dibiarkan terbengkalai sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan kondisi fisik lahan mangrove. Perubahan ini menyebabkan kegagalan regenerasi alami vegetasi mangrove.

Menyadari akan pentingnya ekosistem mangrove bagi kehidupan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung, maka diperlukan suatu pengelolaan ekosistem mangrove yang ditekankan pada aspek ekologi dan sosial ekonomi masyarakat setempat. Pengembangan pengelolaan dan rehabilitasi juga sangat penting dilakukan agar dapat menciptakan suatu kondisi yang dapat mendukung terjadinya proses regenerasi secara alami. Untuk itu diperlukan kajian ekologis dan rehabilitasi agar dapat menciptakan suatu kondisi yang dapat mendukung terjadinya proses regenerasi secara alami.

Disamping itu, strategi pelestarian yang melibatkan masyarakat lokal dipandang lebih efektif dibandingkan dengan pelestarian satu arah yang hanya dilakukan oleh pemerintah. Dengan meningkatkan kesadaran masyarakat akan

pentingnya fungsi pelestarian dalam suatu kawasan, maka akan dapat memelihara fungsi keseimbangan ekosistem dan fungsi ekonomi kawasan tersebut bagi masyarakat setempat.

1.2 Perumusan Masalah

(18)

Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, adanya kecenderungan peningkatan pemanfaatan ekosistem mangrove secara berlebihan oleh masyarakat setempat serta lemahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya ekosistem mangrove juga adalah masalah yang urgen dan sangat berpengaruh terhadap rusaknya ekosistem mangrove. Hal ini nampak pada masyarakat saat menggunakan kayu mangrove sebagai kayu bakar, tiang pancang rumah dan perabot rumah tangga serta bahan perahu. Jika hal ini dibiarkan berlangsung terus menerus tanpa disertai tindak lanjut maka kerusakan ekosistem mangrove di desa ini akan semakin meningkat.

Salah satu bentuk pengelolaan yang cukup relevan adalah dengan melakukan rehabilitasi untuk mengembalikan kondisi lahan mangrove agar bisa beregenerasi kembali. Untuk itu perlu dilakukan kajian pengelolaan ekosistem mangrove dengan pendekatan rehabilitasi dan meningkatkan pemahaman serta partisipasi masyarakat sehingga dapat menghasilkan suatu strategi rehabilitasi yang tepat guna keseimbangan antara pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem mangrove secara lestari di Desa Tiwoho.

Bertolak dari hal tersebut, maka yang perlu dikaji adalah :

(1) Belum tersedianya informasi yang cukup tentang potensi ekosistem mangrove di Desa Tiwoho.

(2) Besarnya tingkat kerusakan mangrove beserta lahannya yang mengakibatkan degradasi ekosistem mangrove di Desa Tiwoho.

(3) Strategi rehabilitasi dalam pengelolaan ekosistem mangrove yang belum tepat sehingga proses regenerasi alami vegetasi mangrove masih mengalami kegagalan.

1.3 Tujuan Penelitian

Dari uraian permasalahan di atas maka tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk mendukung kelestarian ekosistem mangrove di Desa Tiwoho melalui pengelolaan ekosistem mangrove sedangkan tujuan khususnya adalah :

(1) Menganalisis kondisi sumberdaya ekosistem mangrove di Desa Tiwoho. (2) Menganalisis tingkat kerusakan dan pola ruang ekosistem mangrove

(19)

(3) Menganalisis dan merumuskan strategi alternatif dalam pengelolaan ekosistem mangrove secara lestari melalui rehabilitasi.

1.4 Kerangka Penelitian

Kegiatan manusia berupa konversi lahan mangrove menjadi lahan pertambakan merupakan penyebab utama terjadinya kerusakan mangrove sehingga terjadi penurunan luas lahan maupun jenis mangrove. Kebijakan atau landasan hukum yang lemah juga memicu pemanfaatan yang tidak terkontrol sehingga jauh dari konsep pemanfaatan berlestari. Selain itu, masyarakat juga menggunakan kayu mangrove untuk kayu bakar ataupun untuk kegiatan yang lain seperti tiang pancang rumah dan perahu. Kegiatan tersebut menyebabkan terjadinya perubahan kondisi lingkungan pesisir pada umumnya serta degradasi mangrove pada khususnya. Tingginya tingkat kerusakan ekosistem mangrove memberikan pengaruh bagi keberlangsungan kehidupan di wilayah pesisir mengingat hampir sebagian besar penduduk menggantungkan kehidupannya pada hasil laut.

Serangkaian metode serta analisisnya sangat diperlukan untuk menjawab permasalahan tersebut di atas. Keterlibatan masyarakat serta pemerintah dan instansi swasta yang terkait juga sangat diperlukan terutama yang berhubungan langsung dengan pemanfaatan ekosistem mangrove. Tingkat kerusakan mangrove dianalisis menggunakan teknik penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis

(20)

Keterangan :

Saling mempengaruhi Alur proses

Gambar 1. Skema kerangka pemikiran Kegiatan

Manusia

Perubahan Lingkungan

Pesisir

Kebijakan Landasan

Hukum

Kondisi Sumberdaya Ekosistem Mangrove Konversi Lahan

Partisipasi Masyarakat

Degradasi Mangrove

SIG

Analisis Tingkat Kerusakan

Analisis Ekologis

Strategi Rehabilitasi Ekosistem Mangrove di Desa Tiwoho Kecamatan Wori Kabupaten Minahasa Utara

Provinsi Sulawesi Utara

SWOT PCA

(21)

1.5 Manfaat Penelitian

(22)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Vegetasi Mangrove

Ekosistem mangrove merupakan komunitas vegetasi tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut pantai berlumpur (Bengen, 2001). Ekosistem mangrove tumbuh dengan baik di daerah pesisir yang terlindung, seperti delta dan estuaria.

Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove (Macnae, 1968). Dalam bahasa Inggris kata mangrove digunakan baik untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang-surut maupun untuk individu-individu jenis tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut. Sedangkan dalam bahasa Portugis kata mangrove digunakan untuk menyatakan individu jenis tumbuhan, dan kata mangal untuk menyatakan komunitas tumbuhan tersebut (Kusmana et al. 2005).

Ahli-ahli lain mendefinisikan mangrove secara berbeda-beda, namun pada dasarnya merujuk pada satu-kesatuan yang sama. Saenger et al. (1983) mendefinisikan mangrove sebagai formasi tumbuhan daerah litoral yang khas di pantai daerah tropis dan sub tropis yang terlindung. Sedangkan Bengen (2002a) mendefinisikan mangrove sebagai komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Nybakken (1997) menyatakan bahwa mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin.

(23)

Dalam Saptarini et al. (1996), pembagian zonasi mangrove antara lain berdasarkan pada :

¾ Frekuensi penggenangan oleh pasang surut air

¾ Tingkat salinitas dengan memperhatikan frekuensi penggenangan air

¾ Berdasarkan nama genus pohon yang dominan

Zonasi ekosistem mangrove terbagi atas daerah yang paling dekat dengan laut dengan substrat agak berpasir, daerah seperti ini sering ditumbuhi oleh

Avicennia spp. sedang pada bagian pinggir daerah ini terdapat area yang sempit, berlumpur tebal dan teduh dimana Avicennia tidak dapat tumbuh dengan baik pada keadaan yang demikian, sehingga jenis yang berasosiasi dalam zona berlumpur ini adalah Sonneratia spp. (Bengen, 2002a). Untuk zona yang lebih mengarah ke darat, umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Pohon-pohon ini adalah kumpulan komunitas yang paling khas karena mempunyai akar tunggang yang melengkung yang mengakibatkan daerah ini sukar ditembus manusia. Jenis ini meliputi daerah yang luas yaitu dari tingkat yang tergenang pada setiap pasang-naik sampai daerah yang hanya tergenang pada pasang purnama tertinggi. Pada zona ini sering juga ditemukan Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp. Untuk zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp. dimana daerah ini memiliki sedimen yang lebih berat berupa tanah liat. Selanjutnya zona transisi yaitu zona antara

ekosistem mangrove dengan ekosistem dataran rendah biasa ditumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa jenis palem lainnya (Kusmana et al. 2005).

Pembagian zonasi ini juga berhubungan dengan adaptasi pohon mangrove baik terhadap kadar oksigen yang rendah sehingga memiliki bentuk perakaran yang khas. Adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi sehingga beda bentuk daun dan adaptasi terhadap tanah yang kurang stabil dan adanya pasang-surut sehingga struktur akar yang terbentuk sangat eksentif dan membentuk jaringan horisontal yang melebar dimana selain untuk memperkokoh pohon juga untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen.

2.2 Struktur dan Adaptasi

(24)

berbunga dalam 8 famili yang berbeda dan yang paling dominan adalah genera

Avicennia, Sonneratia, Rhizopora, dan Bruguiera. Mangrove mempunyai sejumlah bentuk perakaran khusus yang memungkinkan mereka untuk hidup di perairan pantai yang dangkal yaitu berakar pendek, menyebar luas dengan akar penyangga atau tudung akarnya yang khas tumbuh dari batang dan/atau dahan (Nybakken, 1997). Tipe perakaran cakar ayam yang mempunyai pneumatofora berfungsi untuk mengambil oksigen dari udara dan ini terdapat pada Avicennia, Sonneratia dan

Xylocarpus, sedangkan yang mempunyai akar penyangga atau tongkat yang memiliki lentisel terdapat pada Rhizophora (Bengen, 2002a). Daun-daunnya tebal dan kuat serta mengandung banyak air dan memiliki jaringan internal penyimpan air, keberadaan air ini untuk mengatur keseimbangan garam. Selain adaptasi seperti yang disebutkan di atas, struktur akar tersebut juga membentuk jaringan horisontal yang melebar dan berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen.

Dahuri et al. (2004) menyatakan bahwa mangrove dapat tumbuh dan berkembang secara maksimum dalam kondisi dimana terjadi penggenangan dan sirkulasi air permukaan yang menyebabkan pertukaran dan pergantian sedimen secara terus-menerus. Sirkulasi yang tetap atau terus-menerus meningkatkan pasokan oksigen dan nutrien untuk keperluan respirasi dan produksi tumbuhan.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa pasokan nutrien bagi ekosistem mangrove ditentukan oleh berbagai proses yang saling terkait, meliputi input dari ion-ion mineral anorganik dan bahan organik serta pendaurulangan nutrien secara internal melalui jaring-jaring makanan berbasis detritus.

2.3 Karakteristik Lingkungan Mangrove

Adapun faktor lingkungan yang berpengaruh bagi pertumbuhan mangrove

dipengaruhi oleh fisiografi pantai, iklim, pasang surut, gelombang dan arus, salinitas, oksigen terlarut, dan tanah (Kusmana et al. 2005).

Fisiografi Pantai

(25)

Iklim

Faktor iklim yang berpengaruh bagi pertumbuhan mangrove meliputi cahaya matahari, curah hujan, suhu udara, dan angin, adalah sebagai berikut : a. Cahaya

Tanaman mangrove umumnya membutuhkan intensitas matahari tinggi atau penuh, sehingga zona pantai tropis merupakan habitat ideal bagi mangrove. Kisaran intensitas cahaya optimal untuk pertumbuhan mangrove adalah 3000-3800 kkal/m²/ hari.

b. Curah Hujan

Kondisi curah hujan dapat memberikan pengaruh bagi lingkungan pertumbuhan mangrove. Hal ini terutama disebabkan oleh suhu air dan udara serta salinitas air permukaan tanah yang berpengaruh pada daya tahan jenis mangrove. Mangrove akan tumbuh dengan subur pada daerah dengan kisaran curah hujan rata-rata 1500-3000 mm/ tahun.

c. Suhu Udara

Keadaan suhu yang baik, akan menentukan proses fisiologis seperti fotosintesis dan respirasi. Mangrove yang terdapat di bagian Timur pulau Sumatera tumbuh pada suhu rata-rata bulanan dengan kisaran 26.3ºC pada bulan Desember sampai dengan 28.7ºC. Untuk setiap jenis mangrove, dibatasi

pada lingkungan suhu yang berbeda bagi pertumbuhannya. Hutching dan Saenger (1987) dalam Kusmana et al. (2005) mengatakan kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan beberapa jenis mangrove, yaitu : Avicennia marina tumbuh baik pada suhu 18-20ºC, Rhizophora stylosa, Ceriops spp., Excoecaria agallocha dan Lumnitzera racemosa, Ceriops spp., Excoecaria agalloca dan Lumintzera racemosa pertumbuhan daun segar tertinggi dicapai pada suhu 26-28ºC, suhu optimum Bruguiera spp. 27ºC, Xylocarpus spp. Berkisar antara 21-26ºC dan Xylocarpus granatum 28ºC. Pertumbuhan mangrove yang baik memerlukan suhu rata-rata minimal 20ºC.

d. Angin

(26)

evapotranspirasi dan angin kuat dapat menghalangi pertumbuhan menyebabkan karakteristik fisiologis abnormal.

Pasang Surut

Pasang surut akan sangat menentukan bagi terjadinya zonasi untuk komunitas flora dan fauna mangrove. Durasi pasang surut berpengaruh besar terhadap perubahan salinitas pada ekosistem mangrove. Perubahan tingkat salinitas pada saat pasang merupakan salah satu faktor yang membatasi distribusi jenis mangrove terutama distribusi horizontal.

Gelombang dan Arus

Terjadinya gelombang dan arus seperti telah disebutkan bahwa, hal tersebut ditentukan oleh gerakan angin. Pada pantai berpasir dan berlumpur, gelombang dapat membawa partikel pasir dan sedimen laut. Partikel besar atau kasar akan mengendap, terakumulasi membentuk pantai pasir. Mangrove akan tumbuh pada lokasi yang arusnya tenang.

Salinitas

Salinitas air dan salinitas tanah rembesan akan menjadi faktor penting dalam pertumbuhan, daya tahan dan zonasi jenis mangrove. Tumbuhan mangrove tumbuh subur di daerah estuari dengan salinitas 10-30 PSU. Namun hanya beberapa jenis tertentu yang dapat tumbuh pada salinitas tinggi.

Oksigen Terlarut

Keadaan oksigen terlarut sangat penting bagi eksistensi flora dan fauna mangrove (terutama dalam proses fotosintesis dan respirasi) dan percepatan dekomposisi serasah sehingga kosentrasi oksigen terlarut berperan mengontrol distribusi dan pertumbuhan mangrove. Konsentrasi oksigen terlarut harian tertinggi dicapai pada siang hari dan terendah pada malam hari, yang dibatasi oleh waktu, musim, kesuburan tanah, dan organisme akuatik. Menurut Aksornkoae (1978) dalam Kusmana et al. (2005), mendapatkan konsentrasi oksigen terlarut di ekosistem mangrove 1.7-3.4 mg/l, lebih rendah dibanding diluar ekosistem mangrove sebesar 4.4 mg/l.

Tanah

(27)

namun berbagai jenis mangrove dapat tumbuh di tanah berpasir, koral, tanah berkerikil bahkan tanah gambut.

2.4 Fungsi dan Pengelolaan Mangrove

Ekosistem mangrove bagi sumberdaya ikan berfungsi sebagai tempat mencari makan, memijah, memelihara juvenil dan berkembang biak. Fungsi

ekologis sebagai penghasil sejumlah detritus dan perangkap sedimen, fungsi ekonomi dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, kayu bakar, bahan arang, bahan baku kertas (pulp), alat tangkap ikan, selain itu kawasan ekosistem mangrove dapat dijadikan tempat pariwisata.

Menurut Kusmana dan Onrizal (1998) pada tingkat ekosistem sebagai

wetland secara keseluruhan ekosistem mangrove mempunyai peranan/fungsi sebagai : (1) pembangunan lahan dan pengendapan lumpur, (2) habitat fauna terutama fauna laut, (3) lahan pertanian dan kolam garam, (4) melindungi ekosistem pantai secara global, (5) keindahan bentang darat dan (6) pendidikan dan pelatihan.

Menurut Bengen (2002a), ekosistem mangrove memiliki beberapa fungsi bio-ekologis dan sosio-ekologis, yaitu :

1. Fungsi perlindungan terhadap abrasi laut

Sistem perakaran mangrove, yang rapat dan terpancang seperti jangkar, dapat berfungsi meredam gempuran gelombang laut. Cengkraman akar yang menancap pada tanah dapat pula menahan lepasnya partikel-partikel tanah. Dengan demikian abrasi atau erosi oleh gelombang laut dapat dicegah.

2. Fungsi menangkap sedimen

Sistem perakaran mangrove juga efektif dalam menangkap partikel-partikel tanah yang berasal dari hasil erosi di daerah hulu. Perakaran mangrove

menangkap partikel-partikel tanah tersebut dan mengendapkannya. 3. Fungsi sebagai daerah penghasil makanan

(28)

4. Sebagai daerah pemijahan (spawning ground), asuhan (nursery ground), dan daerah mencari makanan (feeding ground)

Kehadiran sistem perakaran mangrove yang sangat efektif dalam meredam gelombang laut, membuat lingkungan ekosistem mangrove relatif tenang, dan menjadi tempat terjadinya pembuahan telur ikan yang berlangsung di luar tubuh induknya. Selanjutnya sistem perakaran mangrove akan menahan telur ikan yang telah dibuahi dari kemungkinan hanyut ke laut, sehingga menetas. Daerah ini merupakan daerah perlindungan yang baik untuk anak-anak ikan dari serangan predator, serta merupakan wilayah yang kaya akan sumber makanan, sehingga ikan-ikan kecil dapat tumbuh menjadi ikan dewasa. Kemudian serasah daun mangrove diuraikan menjadi mikroorganisme (terutama kepiting) dan mikroorganisme pengurai menjadi detritus, sebagai makanan utama plankton. Selanjutnya plankton dimakan oleh binatang laut tingkat yang lebih tinggi.

5. Sebagai daerah bersarang burung

Mangrove dengan tajuknya yang rata dan rapat serta selalu hijau merupakan tempat yang disukai oleh burung-burung besar untuk membuat sarang dan bertelur. Dengan berkembangbiaknya burung, maka dapat menghambat perkembangbiakan nyamuk malaria karena nyamuk tersebut dikonsumsi oleh

burung yang berkembangbiak dan bersarang di tajuk mangrove tersebut. 6. Habitat alami yang membentuk keseimbangan ekologis

Dalam lingkungan ekosistem mangrove terdapat berbagai aneka macam biota. Dalam keadaan alami keragaman biota tersebut membentuk suatu keseimbangan antara biota yang dimangsa (prey) dengan biota pemangsa (predator), atau terjadi simbiosis mutualisme.

7. Fungsi mencegah terjadinya keasaman tanah

(29)

8. Fungsi perlindungan pemukiman dari bahaya angin laut

Jajaran tegakan mangrove yang tumbuh di pantai dapat melindungi pemukiman di belakangnya (ke arah daratan) dari hembusan angin laut yang kencang. Angin laut yang bertiup kencang ke arah daratan, ditahan oleh mangrove dan dibelokkan ke arah atas. Dengan demikian pemukiman di belakangnya menjadi terletak di belakang bayangan angin (leeward area), sehingga suasana kehidupan menjadi lebih nyaman.

9. Fungsi menghambat intrusi air laut

Kehadiran ekosistem mangrove di pantai menjadi wilayah penyangga terhadap rembesan air laut (intrusi) ke daratan.

10. Daerah penghasil kayu

Pohon jenis Rhizopora spp. merupakan bahan dasar untuk pembuatan kayu arang dan untuk bahan bangunan (teki).

11. Daerah penghasil ikan

Daerah atau wilayah yang memiliki kawasan ekosistem mangrove yang luas merupakan wilayah penghasil ikan yang cukup produktif. Hal ini dikaitkan sebagai wilayah spawning ground dan kaya akan makanan alami.

12. Daerah pariwisata

Pada beberapa kawasan, ekosistem mangrove merupakan daerah yang

berpotensi untuk dikembangkan kegiatan pariwisata. Kawasan yang telah dikembangkan dan cukup menarik sebagai kawasan pariwisata yaitu kawasan ekosistem mangrove Cilacap.

(30)

Selanjutnya hal ini mendorong penduduk setempat mengkonversi menjadi lahan budidaya pertanian/perikanan (LPPM, 1998).

Menteri negara lingkungan hidup menentukan batas penebangan hutan tidak melebihi 20%, untuk mengatasi pelestarian hutan tersebut (Kanmeneg LH, 1993). Sedangkan Dinas Perikanan Sulawesi Selatan, memperbolehkan penebangan sampai 40%, akan tetapi ekosistem mangrove yang dibuka menjadi tambak tersebut harus ditanami tumbuhan mangrove sehingga tanaman tersebut dapat berfungsi sebagai sabuk hijau. Mackinnon dan Mackinnon dalam Davies et al. (1995) mengemukakan bahwa setiap kehilangan ekosistem mangrove seluas 1 ha akan mengurangi kemampuan perairan sekitarnya berproduksi sebesar 480 kg/ha/tahun.

Pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan diharapkan dapat mempertahankan produktivitas ekosistem mangrove dan kawasan sekitarnya, agar kelestariannya dapat dipertahankan. Manfaat ekosistem mangrove bagi sumberdaya perikanan, yaitu dengan proses dekomposisi serasah mangrove (seperti daun, ranting dan bunga) menjadi sumber makanan utama bagi organisme air dalam bentuk partikel bahan organik (detritus). Proses tersebut menciptakan rantai makanan yang kompleks, sehingga memperkaya produktivitas hewan bentos di dasar perairan dan merupakan sumber makanan bagi berbagai jenis larva ikan,

udang dan biota lainnya. Manfaat tersebut untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat pesisir.

(31)

2.5 Kerusakan Mangrove yang Mengarah pada Perubahan Luasan dan Kerapatan Mangrove

Kerusakan vegetasi merupakan tipe dan intensitas dari efek manapun (Lo 1986 dalam Annisa 2004). Efek yang terjadi pada satu atau lebih tipe vegetasi yang datang dari luar baik sementara atau permanen mengurangi nilai finansial atau merubah kemampuan pertumbuhan dan reproduksi.

Penyebab kerusakan ekosistem mangrove dapat dikategorikan ke dalam tiga jenis gangguan (Kusmana dan Onrizal, 1998) :

1. Gangguan fisik-mekanis

¾ Abrasi pantai atau pinggir sungai

¾ Sedimentasi dengan laju yang tidak terkendali

¾ Banjir yang menyebabkan melimpah air tawar

¾ Gempa bumi (tsunami)

2. Gangguan kimia

¾ Pencemaran air, tanah dan udara

¾ Hujan asam

3. Gangguan Biologi

¾ Konversi mangrove untuk pemukiman, industri, pertambakan, pertanian,

pertambangan, sarana angkutan dan penggunaan lahannon kehutanan.

¾ Penebangan pohon yang tidak memperhatikan azas kelestarian hutan.

¾ Invasi Acrostichum aureum (piay) dan jenis semak belukar lainnya.

Menurut Annisa (2004), terdapat beberapa aktivitas yang menyebabkan kerusakan dan tekanan pada mangrove :

¾ Tersedianya kandungan unsur hara dan mineral

¾ Tersedianya air tawar

¾ Eksploitasi hutan mangrove secara liar

¾ Perubahan fungsi menjadi lahan pertanian dan budidaya perikanan

¾ Limbah minyak dan bahan-bahan kimia lainnya yang berbahaya

¾ Pembuangan limbah keluarga

(32)

¾ Pengikisan air laut (abrasi), yang berkaitan dengan fungsi mangrove sebagai

penahan ombak.

¾ Tanah timbul (sedimentasi), diartikan sebagai akumulasi tanah dan pelebaran

pantai yang mempengaruhi ekosistem mangrove. Hal ini terjadi karena proses pengendapan lumpur yang terus menerus secara hidrologi yang terbawa oleh air ke daerah hulu sungai.

¾ Pasang surut, mempengaruhi penyebaran dan perkembangan mangrove di

suatu daerah. Pasang surut dan kisaran vertikalnya dapat membedakan kumpulan mangrove yang dapat tumbuh pada suatu daerah dan berpengaruh dalam perbedaan tipe-tipe zonasi. Fenomena pasang surut penting pada lamanya hari ketika suatu daerah mangrove tidak tergenangi pasang surut, atau dengan kata lain dalam keadaan tanah terbuka. Tanaman dewasa dapat mentolerir tergantung pada musim, dimana air meresap melalui akar-akar tanaman. Keterbukaan yang lama dapat membentuk lapisan tanah bagian atas yang mempunyai konsentrasi garam yang tinggi dan mengakibatkan kematian mangrove dan mangrove tergeser oleh tumbuhan semak

Halophyta.

Proses berkurangnya lahan mangrove di beberapa propinsi bisa disebabkan oleh faktor-faktor berikut ini (Kusmana, 1998) :

¾ Konversi ekosistem mangrove menjadi bentuk lahan penggunaan lain seperti

pemukiman, pertanian, industri, pertambangan, dan lain-lain.

¾ Kegiatan eksploitasi hutan yang tidak terkendali oleh perusahaan-perusahaan

HPH serta penebangan liar dan bentuk perambahan hutan lainnya.

¾ Polusi di perairan estuari, pantai, dan lokasi-lokasi perairan lainnya dimana

tumbuhnya mangrove.

¾ Terjadinya pembelokan aliran sungai maupun proses sedimentasi dan abrasi

yang tidak terkendali.

2.6 Rehabilitasi Ekosistem Mangrove

(33)

normal seperti perubahan pada sistem hidrologi. Bila kondisi ini yang terbentuk maka tindakan perbaikan habitat secara konvensional (penanaman) sering tidak berhasil meskipun dilakukan secara berulang-ulang (Djamaluddin 2004).

Rehabilitasi perlu dipertimbangkan untuk dilakukan ketika suatu sistem telah berubah dalam tingkat tertentu sehingga tidak dapat lagi memperbaiki atau memperbaharui diri secara alami. Dalam kondisi seperti ini, ekosistem homeostatis telah berhenti secara permanen dan proses normal untuk suksesi tahap kedua atau perbaikan secara alami setelah kerusakan terhambat oleh karena beberapa alasan (Lewis 1982 dalam Djamaluddin 2004). Untuk banyak kasus seringkali pengelola suatu program rehabilitasi melakukan penanaman mangrove sebagai pilihan pertamanya. Padahal pendekatan rehabilitasi terbaik adalah dengan mengetahui penyebab hilangnya mangrove, menangani penyebabnya, kemudian melakukan proses perbaikan habitat mangrove. Bibit mangrove ditanam hanya jika mekanisme alami tidak memungkinkan dan hanya setelah dilakukan pembenahan hidrologi (Djamaluddin 2004).

Menurut Lewis 1982 dalam Djamaluddin (2004) semua habitat mangrove dapat memperbaiki kondisi alami dalam waktu 15–20 tahun, jika paling tidak dua kondisi berikut dapat dipenuhi:

1. Kondisi normal hidrologi tidak terganggu,

2. Ketersediaan biji dan bibit mangrove serta jaraknya tidak terganggu atau terhalangi.

(34)

bibit alami. Bila bibit alami tidak cukup tersedia, maka penanaman dapat dilakukan untuk membantu perbaikan alami (Djamaluddin 2004).

Sangat disayangkan bahwa banyak kegiatan rehabilitasi mangrove langsung dimulai dengan aktivitas penanaman tanpa mempertimbangkan mengapa perkembangan secara alami tidak terjadi. Seringkali kegiatan-kegiatan seperti ini berakhir dengan kegagalan sebagaimana yang terjadi dikebanyakan proyek penanaman mangrove di Indonesia dan tempat lainnya (Djamaluddin 2004).

Secara ringkas, Lewis dan Marshall 1987 dalam Djamaluddin (2004) menyarankan 5 tahap penting untuk keberhasilan suatu kegiatan rehabilitasi fisik mangrove, yakni:

1. Memahami autekologi (ekologi setiap jenis mangrove), pola reproduksi, distribusi benih, dan keberhasilan pembentukan bibit,

2. Memahami pola hidrologi normal yang mengatur distribusi dan keberhasilan pembentukkan dan pertumbuhan jenis mangrove yang menjadi target,

3. Memperkirakan perubahan lingkungan mangrove asli yang menghalangi pertumbuhan alami mangrove,

4. Disain program rehabilitasi fisik untuk memperbaiki hidrologi yang layak, dan jika memungkinkan digunakan benih alami mangrove untuk melakukan penanaman,

5. Hanya melakukan penanaman bibit, memungut, atau mengolah biji setelah mengetahui langkah alami di atas (1–4) tidak memberikan jumlah bibit dan hasil, tingkat stabilitas, atau tingkat pertumbuhan sebagaimana yang diharapkan.

(35)

relatif terhadap batas areal yang ditentukan untuk memastikan hidrologinya sudah tepat (Djamaluddin 2004).

Areal dimana penimbunan dilakukan terhadap lahan yang pernah ditumbuhi mangrove, dilakukan pengerukan kembali timbunan tersebut untuk mencapai tanah humus mangrove sebelumnya kemungkinan akan menghasilkan kondisi yang terlalu lembab untuk pembentukkan mangrove, ini disebabkan kepadatan dan kerapatan lapisan aslinya. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, ketinggian dapat disesuaikan dengan ketinggian habitat mangrove yang masih ada. Bentuk lain dari rehabilitasi fisik mangrove yaitu melibatkan penggabungan kembali areal-areal hidrologi yang terpisah ke situasi jangkauan air yang normal (Djamaluddin 2004).

Penanaman mangrove hanya diperlukan bila pertumbuhan alami tidak mungkin terjadi akibat kurangnya kecambah (propagule) atau kondisi tanah yang kurang mendukung. Ketika penanaman diperlukan, penempatan bibit Rhizophora

yang matang secara langsung dalam humus dapat mempercepat pertumbuhan mangrove. Teknik ini tidak dapat diterapkan untuk genus mangrove lainnya karena diperlukan pelepasan kulit biji dari kecambah sebelum pembentukannya, serta membutuhkan akar yang menyentuh permukaan tanah secara langsung dengan kotiledon yang terbuka. Kematian bibit ditahap awal jarang terjadi, namun

(36)

III. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama 5 bulan (Maret-Agustus 2007) di ekosistem mangrove Desa Tiwoho Kecamatan Wori, Kabupaten Minahasa Utara, Propinsi Sulawesi Utara. Peta lokasi penelitian dan jalur pengambilan contoh disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Lokasi penelitian dan stasiun pengamatan

Desa Tiwoho merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Wori, Kabupaten Minahasa Utara, Propinsi Sulawesi Utara. Letak Desa Tiwoho yaitu pesisir pantai dengan ketinggian kira-kira 20 km di atas permukaan laut. Secara geografis, terletak di sebelah Utara Manado pada posisi geografis 01035’22,70’’LU - 01035’27,57’’LU dan 124050’21,06’’BT - 24050’37,28’’BT. Secara administrasi, batas wilayahnya adalah sebagai berikut :

Sebelah Utara : Laut Sulawesi

Sebelah Selatan : Gunung Tumpa Sebelah Timur : Desa Wori

(37)

Desa Tiwoho terdiri dari 6 dusun dengan luas wilayah mencapai 557,295 ha yang diantaranya diperuntukkan sebagai lahan pemukiman, perkebunan kelapa, ladang, serta sawah (Tabel 1).

Tabel 1 Luas wilayah dan pemanfaatan lahan

No Pemanfaatan Luas (Ha)

1 Pemukiman 15,190

2 Sawah 26,115

3 Ladang 163,238

4 Hutan Rakyat 3

5 Lahan Pohon Sagu 0,81

6 Hutan Lindung 2,375

7 Perkebunan Kelapa 282,365

8 Perkebunan Cengkih 1,70

9 Mangrove 62,502

Sumber : Pemerintah Desa Tiwoho (2003)

3.2 Metode Pengumpulan Data dan Penarikan Contoh

Penelitian ini menggunakan metode observasi (pengamatan) langsung untuk mengumpulkan data potensi sumberdaya ekosistem mangrove dan metode survei untuk mengumpulkan data sosial ekonomi masyarakat.

Data Primer

Adapun data primer yang dibutuhkan adalah:

- Biofisik wilayah meliputi: luas lahan mangrove, jenis-jenis mangrove, kerapatan, kondisi ekologi ekosistem mangrove (aspek fisik, kimia dan biologi).

- Identitas reponden (umur, pendapatan, lama tinggal, tingkat pendidikan, pekerjaan), kelembagaan yang ada, manfaat kegiatan dan keberadaan mangrove bagi masyarakat serta aktivitas masyarakat dalam upaya rehabilitasi ekosistem mangrove.

Data primer dikumpulkan melalui observasi, kuisioner dan wawancara terbuka/langsung (open-ended) di lokasi penelitian. Pengamatan dan pengambilan

(38)

dilakukan pada saat air surut yang dikerjakan sebagai berikut (Kusmana et al. 2005):

• Pada setiap stasiun pengambilan contoh, ditetapkan transek-transek garis dari

arah laut ke arah darat (tegak lurus garis pantai sepanjang zonasi ekosistem mangrove) di daerah intertidal.

• Pada setiap zone ekosistem mangrove yang berada sepanjang transek garis,

diletakkan secara acak petak-petak contoh (kuadrat atau plot) berbentuk bujursangkar dengan ukuran 10x10 m.

• Pada setiap petak contoh (kuadrat/plot) yang telah ditentukan, dideterminasi

setiap jenis mangrove yang ada dan dihitung jumlah individunya untuk setiap jenis, serta diukur diameter pohonnya.

• Apabila belum diketahui nama jenis tumbuhan mangrove yang ditemukan, dipotong bagian ranting yang lengkap dengan daunnya, dan bila mungkin diambil pula bunga dan buahnya. Bagian tumbuhan tersebut selanjutnya

dipisahkan menurut jenisnya dan dimasukkan ke dalam kantung plastik atau dibuatkan koleksinya (herbarium) serta diberikan label dengan keterangan yang

sesuai dengan yang tercantum pada form mengrove untuk masing-masing koleksi.

Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari berbagai sumber seperti hasil penelitian sebelumnya, publikasi ilmiah, peraturan perundangan, publikasi daerah dan peta-peta yang sudah dipublikasikan. Data sekunder yang dikumpulkan adalah sebagai berikut:

• Kondisi geomorfologi Desa Tiwoho Kecamatan Wori Kabupaten Minahasa

Utara Propinsi Sulawesi Utara yang meliputi : geologi, topografi dan bentuk lereng.

• Kondisi tanah (karakteristik tanah : jenis, tekstur, kesuburan tanah, kestabilan tanah).

(39)

• Kondisi sosial-ekonomi, budaya dan kelembagaan yang meliputi

kependudukan, mata pencaharian, tingkat ketergantungan terhadap ekosistem, pendidikan, kelembagaan, ekonomi dan budaya.

Data Sosial dan Lingkungan Masyarakat

Untuk sosial ekonomi masyarakat, penelitian ini menggunakan metode survei dengan mengumpulkan informasi dari responden menggunakan kuisioner (wawancara) sebagai alat pengumpul data pokok (Singarimbun, 1995). Wawancara merupakan suatu alat pembantu utama dari metode observasi yang bertujuan untuk mengumpulkan keterangan tentang kehidupan manusia dalam suatu masyarakat serta pendirian-pendirian mereka (Koentjaraningrat, 1997). Parameter fisik sosial dan lingkungan yang diamati, yaitu aksesbilitas menuju lokasi penelitian, pendapatan, keadaan sosial-budaya masyarakat, tingkat

pemahaman, persepsi/respon masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan mangrove serta keinginan mereka terhadap pengembangan kawasan konservasi khususnya rehabilitasi ekosistem mangrove.

Untuk memperoleh data yang dibutuhkan maka penentuan responden untuk data sosial ekonomi menggunakan teknik Penarikan Contoh Sengaja (purpossive sampling method). Sejumlah 34 responden diwawancarai tentang hal-hal yang berhubungan langsung dengan ekosistem mangrove. Informasi digali dari orang-orang yang berpengalaman dalam pengelolaan mangrove, baik dari pihak institusi pemerintah, pihak lembaga non pemerintah, maupun masyarakat pemanfaat ekosistem mangrove.

3.3 Analisis Data

Analisis Mangrove

Data-data mengenai jenis, jumlah individu, dan diameter pohon yang telah dicatat pada form mangrove, diolah lebih lanjut untuk memperoleh kerapatan jenis, frekuensi jenis, luas areal tutupan, nilai penting suatu jenis sebagai berikut (Bengen, 2002b):

Kerapatan Jenis (Di)

Kerapatan jenis adalah jumlah individu jenis ke-i dalam suatu unit area.

(40)

Dimana: Di = Kerapatan jenis ke-i

ni = Jumlah total individu dari jenis

A = Luas area total pengambilan contoh (hektar)

Kerapatan Relatif Jenis (RDi)

Kerapatan relatif jenis adalah perbandingan antara jumlah individu jenis ke-i dan jumlah total individu seluruh jenis dengan formula sebagai berikut :

Dimana: RDi = Kerapatan relatif jenis ke-i (%) Di = Jumlah tegakan jenis ke-i

∑n = Jumlah tegakan seluruh jenis

Frekuensi Jenis (Fi)

Frekuensi jenis adalah peluang ditemukannya jenis ke-i dalam petak contoh

yang diamati :

Dimana: Fi = Frekuensi jenis ke-i

Pi = Jumlah petak contoh dimana ditemukan jenis ke-i

∑p = Jumlah total petak contoh yang diamati.

Frekuensi Relatif Jenis (RFi)

Frekuensi relatif jenis adalah perbandingan antara frekuensi jenis dan jumlah frekuensi untuk seluruh jenis.

Dimana: RFi = Frekuensi relatif jenis (%) Fi = Frekuensi jenis ke-i

(41)

Penutupan Jenis (Ci)

Penutupan jenis adalah luas penutupan jenis ke-i dalam suatu unit area.

Dimana: Ci = Penutupan jenis ke-i

BA = ΠDBH2/4 (dalam cm2)

Π = 3,14

DBH = Diameter pohon dari jenis ke-i (cm). Diameter batang diukur setinggi 1.3 m dari permukaan tanah

A = luas area total pengambilan contoh (cm)

Penutupan Relatif Jenis (RCi)

Penutupan relatif jenis adalah perbandingan antara luas area penutupan jenis

ke-i dan luas total area penutupan untuk seluruh jenis.

Dimana: RCi = Penutupan relatif jenis (%)

Ci = Luas area penutupan jenis ke-i

∑Ci = Luas total seluruh jenis

Nilai Penting Jenis (IVi)

Nilai penting jenis adalah jumlah nilai kerapatan relatif jenis, frekuensi

relatif jenis dan penutupan relatif jenis.

(42)

Nilai penting suatu jenis berkisar antara 0 - 300. Nilai penting ini memberikan

suatu gambaran mengenai pengaruh atau peranan suatu jenis tumbuhan mangrove

dalam komunitas mengrove.

Analisis Tingkat Kerusakan

Untuk mendapatkan luasan serta sebaran mangrove di Desa Tiwoho digunakan Citra Landsat ETM+ tanggal 5 September 2005 dan Citra Digital Quickbird ketinggian tera 1,254 km Tahun 2007. Citra ini diolah dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG), dengan menggunakan software ER-Mapper 6.4 dan ArcView 3.3. Analisis data digital citra Landsat-ETM terdiri atas pemulihan citra (Image Restoration), penajaman citra (Image Enhancement), dan pengklasifikasian citra (Image Classification). Untuk keperluan analisis keruangan tersebut, SIG mempunyai kemampuan yang sangat fleksibel dan akurat. Keuntungan SIG dalam analisis spasial adalah tersedianya teknik tumpang tindih (overlay) yang sebelumnya data spasial terlebih dahulu dibentuk menjadi

layer/coverage yang termuat entitas-entitas data atribut yang telah dianalisa menurut masing-masing komponen dan kemudian dimasukkan dalam bentuk data tabular (data base).

Analisis tingkat kerusakan mangrove ditentukan berdasarkan kerapatan

mangrove melalui hasil olahan citra yang disesuaikan dengan hasil observasi di lokasi penelitian. Selanjutnya hasil analisis tersebut diolah lagiuntuk menentukan pola ruang ekologi untuk rehabilitasi ekosistem mangrove. Ada tiga kriteria pola ruang ekologi untuk rehabilitasi yaitu pola ruang ekologi untuk Rehabilitasi I, II dan III. Ketiga pola ekologi rehabilitasi ini digunakan dalam merumuskan strategi rehabilitasi mangrove di Desa Tiwoho.

Analisis Strategi Rehabilitasi Ekosistem Mangrove

Analisis Komponen Utamaatau Principal Component Analysis (PCA)

(43)

PCA merupakan metode statistik deskriptif yang bertujuan untuk menampilkan data dalam bentuk grafik dan informasi maksimum yang terdapat dalam suatu matriks data. Matriks data yang dimaksud terdiri dari variabel sebagai kolom dan observasi/responden sebagai baris. Analisis ini juga digunakan mereduksi gugus variabel yang berukuran besar dan saling berkorelasi (Bengen 2000).

Pada prinsipnya PCA menggunakan jarak Euclidean (jumlah kuadrat perbedaan antara individu/baris dan variabel/kolom yang berkoresponden) pada data.

Dimana, i dan i’ adalah baris dan j adalah indeks kolom.

Semakin kecil jarak Euclidean antara variabel, maka makin mirip karakteristiknya. Demikian pula sebaliknya semakin besar jarak Euclidean antara variabel, maka semakin berbeda karakteristiknya/keterdekatannya. Pengolahan data melalui analisis komponen utama dilakukan dengan menggunakan program komputer Xlstat 2008.1.01.

Tujuan analisis ini adalah :

ƒ Untuk mengekstraksi informasi yang terdapat dalam matriks data yang

berukuran besar.

ƒ Untuk menghasilkan suatu representasi grafik yang memudahkan

interpretasi.

ƒ Mempelajari suatu matriks data dari sudut pandang kemiripan antara

individu atau hubungan antara variabel.

Analisis SWOT

Analisis strategi rehabilitasi ekosistem mangrove di Desa Tiwoho dilakukan

dengan menggunakan analisis SWOT (strength, weakness, opportunity, dan

threat). Analisis ini dilakukan dengan menerapkan kriteria kesesuaian dengan data kuantitatif dan deskripsi keadaan (faktor internal dan eksternal) yang diperoleh dengan wawancara secara terbuka/langsung (open-ended) dan wawancara mendalam (in-depth interview). Pembobotan dan skoring dalam analisis SWOT

(44)

ini dilakukan berdasarkan hasil wawancara tersebut, yang kemudian dijustifikasi oleh peneliti dalam bentuk bobot dan skor.

Berdasarkan Rangkuti (2004) langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis SWOT ini adalah sebagai berikut :

Tahap pengumpulan data

Tahap pengumpulan data merupakan suatu kegiatan pengklasifikasian dan pra-analisis. Pada tahap ini data dibedakan menjadi dua, yaitu data eksternal dan internal. Data eksternal berasal dari lingkungan luar (peluang dan ancaman), sedangkan data internal berasal dari dalam sistem pengelolaan ekosistem mangrove Desa Tiwoho, mencakup ketersediaan sumberdaya alam, kondisi sumberdaya manusia dan pengembangan kawasan yang sedang dijalankan (kekuatan dan kelemahan).

Dalam tahap ini digunakan dua model matriks yaitu: (i) matriks faktor strategi eksternal dan (ii) matriks faktor strategi internal (Lampiran 1). Adapun matriks faktor strategi internal disusun dengan langkah-langkah (Tabel 2).

Tabel 2 Analisis strategi faktor internal (Internal Strategic Factors Analysis Summary)

Faktor-faktor

Strategi Eksternal Bobot Rating Skor Komentar

1 2 3 4 5

Tabel 3 Analisis strategi faktor eksternal (Internal Strategic Factors Analysis Summary)

Faktor-faktor

Strategi Eksternal Bobot Rating Skor Komentar

1 2 3 4 5

Peluang:

(45)

O2

Pada tahap analisis digunakan Model Matriks SWOT, dimana terdapat 4 strategi yang dapat dihasilkan, yaitu strategi SO, WO, ST, dan WT (Tabel 4).

Setelah diperoleh matriks SWOT, selanjutnya disusun rangking semua strategi yang dihasilkan berdasarkan faktor-faktor penyusun strategi tersebut.

Tabel 4 Model matriks hasil analisis SWOT

IFAS

EFAS STRENGTH (S) WEAKNESSES (W)

(46)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Mangrove

Kondisi vegetasi mangrove di pesisir Desa Tiwoho relatif baik. Hal ini ditunjukkan oleh banyaknya jenis dan kepadatan mangrove yang cukup tinggi, serta faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi dan menunjang komunitas mangrove. Formasi jenis mangrove umumnya didominasi oleh jenis-jenis dari famili Rhizophoraceae, Avicenniaceae, Sonneratiaceae. Jenis-jenis mangrove yang terdapat di Desa Tiwoho antara lain adalah Avicennia marina, Bruguiera ghymnorhirza, Rhizophora apiculata, Rhizophora stylosa, Rhizophora mucronata,

Ceriops tagal, Sonneratia alba, dan Xylocarpus granatum (Tabel 5).

Tabel 5 Sebaran jenis mangrove

No. Jenis Jalur 1 Jalur 2

1. Avicennia marina * *

2. Bruguiera ghymnorhirza * *

3. Rhizophora apiculata * *

Penyebaran jenis mangrove pada lokasi penelitian tidak merata. Pada Jalur 1 ditemukan 7 jenis mangrove sedangkan untuk Jalur 2 ditemukan 8 jenis dengan 7 jenis sama dengan yang ada di Jalur 1 ditambah jenis Xylocarpus granatum. Pada lahan bekas tambak hanya ditemukan 3 jenis mangrove yaitu Avicennia marina,

Rhizophora apiculata, Ceriops tagal dan Sonneratia alba.

Jumlah individu yang masuk dalam garis berpetak sebanyak 411 pohon. Hasil perhitungan jumlah pohon untuk masing-masing jalur yaitu pada Jalur 1 memiliki jumlah individu sebanyak 214 pohon (Tabel 6). Jenis tertinggi pada

(47)

sedangkan di Jalur 2 hanya 258 anakan dari 7 jenis mangrove. Di Jalur 1, jumlah anakan terbanyak terdapat pada jenis Sonneratia alba sebanyak 258 anakan sedangkan pada Jalur 2 jenis Rhizophora stylosa sebanyak 173 anakan.

Tabel 6 Kerapatan mangrove

Lokasi Jumlah Pohon/100m2

Jalur 1 214

Jalur 2 197

Petakan 1 1*

Petakan 2 2*

Petakan 3 1*

Petakan 4 -

Petakan 5 -

Petakan 6 -

Petakan 7 1*

Petakan 8 2*

Petakan 9 4*

Petakan 10 10*

* : Jumlah pohon dalam petakan tambak

Sumber : Data primer 2007

Sebaran vegetasi mangrove di lokasi penelitian hampir menyebar ke seluruh bagian lahan ekosistem mangrove. Bila diamati lebih lanjut, adanya persamaan sebaran jenis vegetasi mangrove di lokasi penelitian. Terdapat tiga famili mangrove yang menyebar di lokasi penelitian ini yaitu Famili Avicenniaceae, Famili

(48)

Gambar 3 Peta sebaran mangrove

Berdasarkan transek sepanjang 100 meter dari arah laut ke darat, diketahui tipe zonasi ekosistem mangrove pada kedua jalur penelitian. Pada Jalur 1, terdapat

Rhizophora spp. yang kemudian di belakangnya terdapat jenis Sonneratia alba

dan Avicennia marina yang berasosiasi dengan Bruguiera spp. Zona berikutnya yang mendekati daratan terdapat jenis Ceriops tagal. Pada zona di dekat daratan ini didapati beberapa pohon mangrove seperti Rhizophora spp. yang telah ditebang oleh penduduk setempat.

Pada Jalur 2, zona di depan (menghadap laut) didominasi oleh Sonneratia alba dan Avicennia marina kemudian di belakang zona ini terdapat Rhizophora

spp. Zona belakang ditempati oleh Bruguiera ghymnorhirza dan Xylocarpus granatum yang berasosiasi dengan Ceriops tagal. Pada kawasan rehabilitasi didominasi oleh Rhizophora spp. dan sebagian Avicennia spp. dan Sonneratia alba. Umumnya tegakan mangrove di jalur penelitian ini berupa anakan juga ada beberapa pohon.

Kerapatan Relatif Jenis Mangrove

(49)

ditemukan pada Jalur 1 yang tertinggi adalah Rhizophora stylosa dengan kerapatan relatif 46.72%, sedangkan untuk nilai terendah adalah jenis Rhizophora mucronata dengan nilai kerapatan relatif 0.93%. Pada Jalur 2, kerapatan tertinggi terdapat pada jenis Sonneratia alba dengan kerapatan relatif 39.09%. Sedangkan untuk nilai terendah adalah jenis Rhizophora apiculata dan Xylocarpus granatum

dengan kerapatan relatif 0.51% (Lampiran 3a).

Nilai kerapatan relatif yang tinggi pada jenis Rhizophora stylosa (Jalur 1) dan Sonneratia alba (Jalur 2) menunjukkan bahwa jenis ini terdapat cukup melimpah pada lokasi penelitian, dan sebaliknya untuk jenis Rhizophora mucronata (Jalur 1), Rhizophora apiculata dan Xylocarpus granatum (Jalur 2) merupakan jenis yang jarang ditemukan. Dari perbandingan nilai kerapatan relatif pada kedua jalur, diketahui bahwa jenis Rhizophora stylosa memiliki kerapatan relatif lebih tinggi daripada jenis Sonneratia alba. Keadaan ini menunjukkan bahwa secara relatif jenis Rhizophora stylosa berjumlah lebih banyak dalam luasan daerah penelitian dibandingkan dengan jenis yang lain pada kedua jalur.

Berdasarkan data yang diperoleh maka dibuat tiga kriteria kerapatan mangrove yaitu kerapatan tinggi (> 10 pohon), kerapatan sedang (5-10 pohon) dan kerapatan rendah (< 5 pohon). Menurut Kementerian Lingkungan Hidup, kondisi ekosistem mangrove dapat digolongkan kedalam tiga kriteria yaitu sangat padat

dengan nilai kerapatan >1500 (baik), kepadatan sedang >1000 - <1500 (rusak) dan kepadatan jarang dengan nilai <1000 (rusak).

(50)

Gambar 4 Peta sebaran kerapatan ekosistem mangrove

Frekuensi Relatif Jenis Mangrove

Nilai dari frekuensi relatif dapat menggambarkan sebaran jenis pohon dalam suatu areal. Frekuensi relatif jenis yang ditemukan pada Jalur 1 berkisar antara 2.71% hingga 24.32%. Pada Jalur 2 nilai frekuensi relatif jenis berkisar antara 2.86% hingga 28.57%. Nilai frekuensi relatif tertinggi ditemukan pada Jalur 2 yaitu pada jenis Sonneratia alba dengan nilai 28.57% dan terendah ditemukan di Jalur 1 yaitu pada jenis Rhizophora mucronata dengan nilai 2.71% (Lampiran 3b).

Pada Jalur 1, nilai frekuensi jenis tertinggi pada jenis Rhizophora stylosa

dan Sonneratia alba yaitu sebesar 24.32% yang diikuti oleh Ceriops tagal dan

Rhizophora apiculata (13.51%), Avicennia marina dan Bruguiera gymnorrhiza

(10.81%) dan yang terkecil ditemukan pada Rhizophora mucronata (2.71%). Nilai frekuensi jenis tertinggi pada Jalur 2 ditemukan pada jenis Sonneratia alba

sebesar 28.57% yang diikuti oleh Avicennia marina dan Rhizophora stylosa

(25.71%), Bruguiera gymnorrhiza (8.57%), Ceriops tagal (5.71%), dan yang terkecil ditemukan pada Rhizophora apiculata dan Xylocarpus granatum (2.86%).

Nilai frekuensi dipengaruhi oleh jumlah ditemukannya jenis mangrove dalam suatu petak pengamatan. Frekuensi jenis tertinggi di Jalur 1 yaitu jenis

(51)

mucronata. Hal ini dimungkinkan karena Rhizophora stylosa dan Sonneratia alba

memiliki jumlah yang banyak dibandingkan dengan jenis lain meskipun diameter pohonnya kecil. Sedangkan frekuensi jenis terendah pada jenis Rhizophora mucronata yang jumlahnya sedikit.

Frekuensi jenis tertinggi di Jalur 2 yaitu jenis Sonneratia alba dan terendah jenis Rhizophora apiculata dan Xylocarpus granatum. Dari perbandingan frekuensi jenis di kedua jalur, jenis Sonneratia alba memiliki nilai frekuensi jenis tertinggi dibandingkan dengan Rhizophora stylosa. Jadi frekuensi jenis lebih dipengaruhi oleh jumlah jenis daripada ukuran diameter pohon. Jumlah jenis yang banyak dapat terjadi karena jenis tersebut dapat tumbuh dan berkembang pada kondisi lingkungan yang baik, ataupun kurangnya aktivitas pemanfaatan oleh manusia. Nilai frekuensi relatif yang tinggi pada jenis Rhizophora stylosa, Sonneratia alba menunjukkan bahwa jenis ini terdapat cukup melimpah pada lokasi penelitian, dan sebaliknya untuk jenis Rhizophora mucronata (Jalur 1),

Rhizophora apiculata dan Xylocarpus granatum (Jalur 2) merupakan jenis yang jarang ditemukan.

Tutupan Relatif Jenis Mangrove

Penutupan relatif tertinggi pada Jalur 1 terlihat pada jenis Rhizophora

stylosa (67.65%) dan terendah pada jenis Rhizophora mucronata (0.03%). Sedangkan pada Jalur 2 nilai tutupan tertinggi terlihat pada jenis Sonneratia alba

(59.59%) dan yang terendah adalah jenis Rhizophora apiculata dan Xylocarpus granatum (0.01%) (Lampiran 3c). Jenis yang dominan memiliki produktivitas yang besar dimana dalam menentukan suatu jenis vegetasi dominan yang perlu diketahui adalah diameter batang (Odum, 1994).

(52)

Nilai Penting Jenis Mangrove

Indeks Nilai Penting (INP) menyatakan kepentingan suatu jenis tumbuhan dan juga menggambarkan tingkat penguasaan jenis dalam suatu komunitas. Selain itu, INP juga memberikan suatu gambaran besarnya pengaruh dan peranan suatu jenis dalam suatu komunitas mangrove. Dari analisis data didapatkan bahwa jenis mangrove yang memiliki nilai penting tertinggi yaitu jenis Rhizophora stylosa

yaitu 138.70% sedangkan jenis Rhizophora apiculata dan Xylocarpus granatum

memiliki nilai terendah yaitu 3.38% (Lampiran 3d). Pada Jalur 1, Rhizophora stylosa memiliki nilai penting tertinggi (138.70%) dan jenis Rhizophora mucronata memiliki nilai terendah (3.66%). Pada Jalur 2, Sonneratia alba

memiliki nilai tertinggi (127.25%) dan nilai terendah dimiliki oleh Rhizophora apiculata dan Xylocarpus granatum (3.37%). Dari perbandingan nilai penting di kedua jalur, jenis Rhizophora stylosa memiliki nilai penting tertinggi.

Baik tidaknya pertumbuhan mangrove dalam suatu komunitas dapat dilihat dari analisis kondisi vegetasinya yang menunjukkan besar kecilnya peranan suatu jenis terhadap komunitas yang ada. Keadaan ini dapat dilihat dalam nilai indeks penting yang dimiliki oleh suatu jenis mangrove. INP yang tinggi menggambarkan bahwa jenis-jenis ini mampu bersaing dengan lingkungannya dan disebut jenis dominan. Sebaliknya, rendahnya INP pada jenis tertentu

(53)

0

Gambar 5 Grafik indeks nilai penting (INP) pada Jalur 1 dan Jalur 2

4.2 Kondisi Lingkungan Ekosistem Mangrove

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh PPGK (1996), kawasan pantai Tiwoho tergolong sebagai pantai Tipe III dengan karakteristik garis pantai berbakau, pasir, kerakal, terumbu karang dan bertebing terjal serta reliefnya rendah sampai tinggi. Kondisi geologi di kawasan pantai ini bermaterial batuan sedimen yang terdiri dari breksi, konglomerat dan batu pasir. Proses yang dominan adalah marin dengan terpaan gelombang laut terhadap garis pantai relatif kecil yang disebabkan oleh adanya terumbu karang di sepanjang pantai.

Bentuk lahan pantai yang dapat dijumpai setelah lahan mangrove adalah hamparan padang lamun dengan substrat berpasir dan selanjutnya semakin ke arah laut terdapat rataan terumbu karang. Kondisi terumbu karang di Desa Tiwoho masih dalam keadaan baik. Adapun luas terumbu karang di desa ini mencapai sekitar 30 ha, dimana luas karang hidup termasuk karang lunak mencapai 28% sedangkan karang mati mencapai 72% (Pemerintah Desa Tiwoho, 2003).

(54)

Suhu dan Salinitas

Kisaran suhu di lokasi penelitian berkisar antara 27-29oC sedangkan kisaran salinitas antara 27-30 PSU. Sebaran suhu di ekosistem mangrove Desa Tiwoho masih berada dalam kisaran suhu normal untuk pertumbuhan mangrove. Menurut Aksornkoae (1993), kisaran suhu lingkungan untuk ekosistem mangrove yang alami berkisar antara 21-31oC, suhu air berada pada kisaran suhu 28oC. Selanjutnya Supriharyono (2007) menambahkan bahwa selain salinitas, suhu air juga merupakan faktor penting yang menentukan kehidupan tumbuhan mangrove. Suhu yang baik untuk kehidupan mangrove tidak kurang dari 20oC, sedangkan kisaran perubahan suhu tidak melebihi 5oC.

Salinitas merupakan gambaran jumlah garam dalam suatu perairan (Dahuri,

et al. 2004). Sebaran salinitas di air laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulai air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai (Nontji, 2005). Salinitas suatu perairan sangat penting untuk pertumbuhan, ketahanan dan zonasi jenis-jenis mangrove.

Pada umumnya, vegetasi mangrove dapat bertahan dan mampu hidup dengan subur pada lingkungan estuari dengan kisaran salinitas antara 10-30 PSU. Ada beberapa jenis mangrove yang mampu tumbuh pada kisaran salinitas yang tinggi. Sebagai contoh jenis Avicennia marina dan Excoecaria agallocha di

Australia dapat tumbuh di daerah dengan salinitas lebih kurang 85 PSU,

Avicennia officinalis dapat bertahan hidup pada kisaran salintas maksimum 63 PSU, begitu juga dengan jenis Ceriops spp. dapat mentolerir sampai batas maksimum 72 PSU, Soneratia spp. 44 PSU, Rhizophora apiculata 65 PSU, dan

Rhizophora stylosa 74 PSU. dan Bruguiera spp. pada daerah dengan salinitas tidak lebih dari 37 PSU. Tidak ada ketetapan baku yang mengindikasikan salinitas maksimum air di daerah intertidal dimana mangrove dapat bertahan hidup.

(55)

Rhizophora, Avicennia dan Leguncularia mempunyai akar-akar yang dapat memisahkan garam. Walaupun jenis mangrove dapat tumbuh pada salinitas yang ekstrim atau sangat tinggi, namun biasanya pertumbuhannya kurang baik atau pendek-pendek.

Gambar 6 Peta sebaran salinitas di ekosistem mangrove Desa Tiwoho Kemiringan Lahan

Kemiringan lahan didefinisikan sebagai bagian lahan yang kedudukannya

lebih rendah lebih awal digenangi air laut dibandingkan bagian lahan yang kedudukannya tinggi. Pada Peta Sistem Lahan dan Kesesuaian Lahan terbitan BAKOSURTANAL (1988), lahan pesisir Tiwoho bercorak Kajapah (KJP) berupa rawa pasang surut yang berbentuk daratan lumpur dengan kemiringan < 2% serta mempunyai relief < 2 m. Menurut Triatmodjo (1999), kemiringan dasar pantai tergantung pada bentuk dan ukuran material dasar. Pantai lumpur mempunyai kemiringan sangat kecil sampai mencapai 1 : 5000. Persentasi kemiringan tersebut menurut Sunarto (1991) termasuk dalam kriteria lereng datar. Hal ini sejalan dengan hasil pengukuran kemiringan lahan di perairan pantai Tiwoho.

Gambar

Tabel
Gambar 1. Skema kerangka pemikiran
Gambar 2 Lokasi penelitian dan stasiun pengamatan
Tabel 1  Luas wilayah dan pemanfaatan lahan
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Penjabaran strategi ini meliputi peningkatan pemahaman masyarakat terhadap ekosistem mangrove dan partisipasi masyarakat dalam kegiatan pelestarian, revisi peraturan

 Aspek ekologi, yang meliputi: (a) Pengenalan pola ruang/zonasi kawasan konservasi, (b) Pengenalan relung ekologi dan habitat setiap jenis dan sumber daya ikan, (c)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Pelestarian Ekosistem Mangrove Pada Daerah Perlindungan Laut Desa Blongko Kecamatan Sinonsayang Kabupaten Minahasa

Kegiatan ini mampu memberikan pelatihan dan pengembangan untuk Menjadi wirausaha kuliner yang sukses pada Mitra I (Rumah Makan Pratiwi) dan Mitra II (Rumah Makan Muslim)

Dilihat dari hasil analisis besarnya Rentabilitas pada usaha penangkapan ikan dengan alat tangkap pancing ulur di Desa Kema III menunjukan bahwa usaha tersebut adalah

Spesies yang memiliki nilai frekuensi kemunculan tertinggi yakni Littoraria scabra 0,667 dengan nilai kemunculan relatifnya 18,86% dan Terebralia sulcata 0,667

Untuk wilayah pesisir timur (Stasiun 1) Desa Gebang Mekar menjadi wilayah yang termasuk kategori cukup sesuai (S3) untuk dilakukan rehabilitasi ekosistem