• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Indeks Gizi Seimbang Untuk Menilai Kualitas Konsumsi Pangan Remaja Usia 13-18 Tahun Di Indoensia.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengembangan Indeks Gizi Seimbang Untuk Menilai Kualitas Konsumsi Pangan Remaja Usia 13-18 Tahun Di Indoensia."

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN INDEKS GIZI SEIMBANG UNTUK

MENILAI KUALITAS KONSUMSI PANGAN REMAJA USIA

13-18 TAHUN DI INDONESIA

RAHMAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Pengembangan Indeks Gizi Seimbang untuk Menilai Kualitas Konsumsi Pangan Remaja Usia 13-18 Tahun di Indonesia” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2015

(4)

RINGKASAN

RAHMAWATI. Pengembangan Indeks Gizi Seimbang untuk Menilai Kualitas Konsumsi Pangan Remaja Usia 13-18 Tahun di Indoensia. Dibimbing oleh HARDINSYAH dan KATRIN ROOSITA.

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan Indeks Gizi Seimbang (IGS) bagi remaja Indonesia berdasarkan data Riskesdas 2010. Secara khusus penelitian ini bertujuan menganalisis pola konsumsi pangan, mengembangkan beberapa alternatif IGS, menguji validitas dari berbagai alternatif IGS dan menentukan IGS terpilih, dan menganalisis hubungan antara karakteristik sosial ekonomi remaja dengan IGS yang terpilih.

Penelitian ini menggunakan data sekunder dengan design cross-sectional survey. Penentuan validasi IGS menggunakan data konsumsi yang diperoleh dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010. Pengumpulan data konsumsi pangan tersebut menggunakan metode recall 1x24 jam dalam bentuk electronic file berupa entry data dan hasil pengolahan Riskesdas 2010. Penelitian pengembangan IGS dilakukan di Bogor, Jawa Barat pada bulan September 2014-Juni 2015. Jumlah subjek yang digunakan sebanyak 21183 remaja terdiri atas 11075 laki-laki dan 10108 perempuan berusia 13-18 tahun yang diperoleh dari hasil penapisan sesuai kriteria ekslusi.

Pengembangan alternatif IGS yang dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu (1) penentuan komponen penilaian pada IGS yang terdiri atas kelompok pangan yang harus tercukupi (pangan karbohidrat, sayur, buah, lauk hewani termasuk susu, dan lauk nabati) dan zat gizi yang perlu dibatasi terkait Penyakit Tidak Menular (lemak total, lemak jenuh, gula tambahan, dan natrium) berdasarkan Panduan Gizi Seimbang (PGS) tahun 2014, (2) sistem pemberian nilai/skor IGS yang terdiri atas 2 cara yaitu penilaian secara kategori (tiga tingkat (IGS3) dan empat tingkat (IGS4)) dan kontinyu (IGSK). IGS3 memiliki nilai 0, 5, atau 10. IGS4 memiliki nilai 0, 7, 5, atau 10. IGSK memiliki rentang nilai 0 sampai 10 berdasarkan rumus perhitungan dari hasil persamaan linier, dan (3) melakukan validasi IGS melalui uji korelasi antara berbagai alternatif IGS dengan Mutu Gizi Pangan (MGP). MGP dari 15 zat gizi digunakan sebagai standar dalam pengujian IGS diantaranya energi, protein, lemak, karbohidrat, air, vitamin A, vitamin B1, vitamin B9, vitamin B12, vitamin C, kalsium, zat besi, fosfor, natrium, dan zink. Terdapat 12 alternatif IGS yang dikembangkan yaitu, IGS3-50, IGS3-60, IGS3-94, IGS3-104, IGS4-50, IGS4-60, IGS4-94, IGS4-104, IGSK-50, IGSK-60, IGSK-94, dan IGSK-104.

(5)

(47.7 ± 15.3). Sebanyak 12 alternatif IGS yang telah dikembangkan tersebut semuanya menunjukkan korelasi yang signifikan terhadap nilai MGP remaja (r = 0.29-0.60). Terdapat 3 diantaranya yang terpilih untuk menilai kualitas konsumsi pangan remaja, yaitu IGSK-60 (r = 0.60), IGS3-60 (r = 0.55), dan IGSK-104 (r = 0,44).

IGSK-60 adalah IGS yang paling valid, cocok digunakan untuk penelitian kualitas konsumsi pangan remaja karena memiliki ketelitian yang tinggi dalam hal perhitungan nilai tiap komponen pangan. IGS3-60 adalah IGS yang praktis dan valid, cocok digunakan untuk memantau kualitas konsumsi pangan remaja dalam kehidupan sehari-hari. IGSK-104 adalah IGS yang memiliki komponen paling lengkap dan valid, cocok digunakan untuk keperluan penelitian tentang penyakit degeneratif. IGSK-60, IGS3-60, dan IGSK-104 adalah instrumen penilaian kualitas konsumsi pangan yang sangat cocok digunakan sesuai dengan PGS 2014 yang saat ini menjadi acuan konsumsi pangan masyarakat Indonesia.

Karakteristik sosial ekonomi remaja sebagian besar memiliki korelasi positif signifikan pada nilai IGS, baik itu IGS3-60, IGSK-60, maupun IGSK-104 terutama pada pendidikan ayah dan ibu, pekerjaan ayah, serta status ekonomi keluarga remaja. Pendidikan dan pekerjaan ayah dan ibu sejalan dengan status ekonomi remaja. Artinya semakin tinggi pendidikan dan pekerjaan ayah dan ibu remaja semakin tinggi pula tingkat pendapatan keluarga sehingga kualitas konsumsi pangan remaja juga semakin baik. Studi selanjutnya diharapkan untuk mengaplikasikan dan mengevaluasi kegunaan alternatif IGS dalam menilai kualitas konsumsi pangan remaja.

(6)

SUMMARY

RAHMAWATI. Development of Balance Diet Indices to Assess Quality of Food Consumption in Indonesian Adolescents Aged 13-18 Years Old. Supervised by HARDINSYAH dan KATRIN ROOSITA

The study was aimed to develop the balanced diet indeces (BDI) for Indonesian adolescent aged 13-18 years. The specific purposes of this study were to analyze the pattern of food consumption, to develop several alternatives of BDIs, and to test the validity of those various alternatives and select the most appropriate BDI for Indonesian adolescents, to analyse correlation between the socio-economic characteristics of adolescent with the BDI value.

This secondary data of Basic Health Research in 2010 was used, which was designed trough a cross-sectional survey. The food consumption data was created by 1x24 hours recall which was obtained in electronic file forms and contained data entry and processing results. This study was conducted in Bogor, West Java from September 2014 to June 2015. The number of subjects were 11679 adolescents, consisted of 6040 males and 5639 females at 13-18 years of age. They were obtained from screening result according to exclusion criterias.

The development of BDI alternatives was conducted through several stages, namely (1) determination of the components of the assessment on the BDI consisted of the food groups that should be satisfied and aspects related to foods should be limited to prevent non-communicable disease (NCDs) based on the balance diet guidelines for Indonesians, (2) scoring system consisted of two ways applied in the BDI, namely a categorical scoring system (three level (BDI3) and four level (BD4)); and a continuous scoring system (BDIC), and (3) the validation test by using Pearson correlation test between various BDI alternatives with Nutrient Food Quality of the diet (NFQ). NFQ of 15 nutrients were used as standard in BDI test, among them energy, protein, fat, carbohydrates, water, vitamin A, vitamin B1, vitamin B9, vitamin B12, vitamin C, calcium, iron, phosphorus, sodium, and zinc. All of 12 BDI alternatives which were successfully developed, they were BDI3-50, BDI3-60, BDI3-94, BDI3-104, 50, BDI4-60, BDI4-94, BDI4-104, BDIC-50, BDIC-BDI4-60, BDIC-94, and BDIC-104.

The results showed that the higest consumed group of food by adolescents was carbohydrate source foods with 560.1 ± 248.5 g (99.9%). While, the consumption of other food groups were still relatively low like animal protein, vegetables, plant protein, fruits, and milk with an average consumption 103.1 ± 99.2 g (79.3%), 79.5 ± 100.2 g (62.7%), 38.6 ± 64.8 g (44.4%), 15.1 ± 53.3 g (15.4%), and 1.8 ± 7.5 g (6.7%), respectively. The intake of all nutrients per day, except protein and sodium, were not adequate. Furthermore, the calculation of NFQ value both in male adolescents and female adolescents aged 13-18 years were also still low (47.7 ± 15.3). The 12 BDI alternatives showed a significantly correlation to the NFQ value of adolescents (r = 0.29-0.60). There were 3 of them selected to assess the nutritional quality food of the diet in indonesian adolescents, they were BDIC-60 (r = 0.60), BDI3-60 (r = 0.55), and BDIC-104 (r = 0.44).

(7)

calculation of the value of each component of food. BDI3-60 was more practical and valid, It was suitable for monitoring the quality of adolescent food consumption in daily life. BDIC-104 has a complete component, it was suitable for study on degenerative diseases. BDIC-60, BDI3-60, and BDIC-104 were instruments to assess nutritional food quality of the diet which were very highly suitable to be used in accordance with balance diet guidelines for Indonesians in 2014 which is now a reference for Indonesian people's food consumption.

The socio-economic characteristics of adolescents mostly had a significant positive correlation on the BDI value, in BDI3-60, BDIC-60, and BDIC-104, especially on education of father and mother, occupation of father and economic status of adolescent. Education of father and mother, and occupation of father were in line with the economic status of adolescent. The higher education of father and mother, and occupation of father, then the hinger family income level,

so the quality of the adolescent’s food consumption is also high. Further study is expected to apply and evaluate the alternative uses of BDI for assessing the quality of the diet in adolescents.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

PENGEMBANGAN INDEKS GIZI SEIMBANG UNTUK

MENILAI KUALITAS KONSUMSI PANGAN REMAJA USIA

13-18 TAHUN DI INDONESIA

RAHMAWATI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)

Judul : Pengembangan Indeks Gizi Seimbang untuk Menilai Kualitas Konsumsi Pangan Remaja Usia 13-18 Tahun di Indonesia

Nama Mahasiswa : Rahmawati

NIM : I151130181

Disetujui oleh,

Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Hardinsyah, MS Ketua

Dr Katrin Roosita, SP MSi Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Gizi Masyarakat

Prof Dr Ir Dodik Briawan, MCN

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-

Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Pengembangan

Indeks Gizi Seimbang untuk Menilai Kualitas Konsumsi Pangan Remaja Usia 13-18 Tahun di Indonesia”. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelas magister (S2) pada Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang tinggi kepada Prof Dr Ir Hardinsyah MS dan Dr Katrin Roosita, SP MSi selaku pembimbing yang selalu sabar memberikan arahan, masukan, dan dorongan yang membangun untuk menyelesaikan tesis ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Ikeu Tanziha MS selaku penguji luar komisi atas saran perbaikan yang diberikan dalam penyusunan tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI yang telah memberikan izin untuk menggunakan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010. Terima kasih juga diucapkan kepada Direktorat Pendidikan Tinggi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan yang telah memberikan beasiswa program pascasarjana kepada penulis. Rasa terima kasih yang tulus dan penuh kasih sayang juga penulis ucapkan kepada suami tercinta, ibu, adik, keluarga besar, dan teman seperjuangan penulis di Pascasarjana Gizi Masyarakat IPB angkatan 2013, serta pihak-pihak lain atas doa, dukungan, dan semangatnya sehingga penulisan tesis ini dapat terselesaikan dengan baik. Terkhusus anakku Yumna Adzkia Bahri, terima kasih telah sabar mendampingi ibu tiap beraktivitas ke kampus, semoga kelak menjadi anak soleha yang cerdas dan membawa berkah untuk sesama.

Penulis menyadari penulisan tesis ini masih jauh dari kata sempurna. Semoga karya ilmiah tesis ini membawa manfaat.

Bogor, Oktober 2015

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI i

DAFTAR GAMBAR iii

DAFTAR LAMPIRAN iii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan 3

Manfaat 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 4

Remaja 4

Konsumsi Pangan dan Kebiasaan Makan Remaja 5

Kecukupan Gizi untuk Remaja 6

Pedoman Gizi Seimbang Indonesia 6

Penilaian Konsumsi Pangan 8

Mutu Gizi Pangan (MGP) 8

Pola Pangan Harapan (PPH) 9

Healty Eating Index (HEI) 10

3 KERANGKA PEMIKIRAN 18

4 METODE 20

Desain, Tempat, dan Waktu 20

Jumlah dan Cara Pengambilan Subjek 20

Jenis dan Cara Pengumpulan Data 21

Pengolahan dan Analisis Data 22

Kebutuhan energi dan zat gizi makro 23

Kebutuhan zat gizi mikro 25

Asupan zat gizi dan tingkat kecukupan zat gizi 26

Perhitungan Mutu Gizi Pangan (MGP) 26

Pengembangan Indeks Gizi Seimbang (IGS) 27

Definisi Operasional 34

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 36

Karakteritik Sosial Ekonomi Remaja 36

Pola Konsumsi Pangan Remaja 37

Alternatif Indeks Gizi Seimbang (IGS) 42

Pengujian Validitas Alternatif IGS Terhadap MGP Remaja 48

6 SIMPULAN DAN SARAN 58

Simpulan 58

Saran 58

DAFTAR PUSTAKA 59

LAMPIRAN 63

(14)

DAFTAR TABEL

1 Bobot setiap kelompok pangan di PPH 10

2 Komponen dan penilaian dalan HEI 1995 11

3 Komponen dan penilaian dalam HEI 2005 12

4 Komponen dan penilaian dalam HEI 2010 12

5 Komponen Aust-HEI dan skor masing-masing komponen 13

6 Komponen dan penilaian dalam THEI 15

7 Komponen dan kriteria penilaian IGS tiga tingkat (IGS3) wanita dewasa 15 8 Komponen dan kriteria penilaian IGS empat tingkat (IGS4) wanita dewasa 16

9 Jenis dan cara pengumpulan data 21

10 Perhitungan kebutuhan energi menurut usia dan jenis kelamin 23 11 Perhitungan kebutuhan protein remaja berdasarkan usia dan jenis kelamin 25

12 Kebutuhan air subjek menurut berat badan 25

13 Angka kecukupan gizi mikro remaja usia 13-18 tahun 26

14 Alternatif Indeks Gizi Seimbang (IGS) 31

15 Penilaian IGS berdasarkan 3 tingkat (IGS3) remaja usia 13-18 tahun 32 16 Penilaian IGS berdasarkan 4 tingkat (IGS3) remaja usia 13-18 tahun 33 17 Penilaian IGS berdasarkan nilai kontinyu (IGSK) remaja usia 13-18 tahun 33 18 Sebaran karakteristik sosial ekonomi remaja usia 13-18 tahun 36 19 Rataan, dan standar deviasi (gram), serta tingkat partisipasi (%) konsumsi

kelompok pangan remaja usia 13-18 tahun 38

20 Rataan dan standar deviasi asupan gizi remaja usia 13-18 tahun 40 21 Rataan dan standar deviasi nilai MGP remaja usia 13-18 tahun 42 22 Rataan dan standar deviasi nilai IGS3-50 remaja usia 13-18 tahun 42 23 Rataan dan standar deviasi nilai IGS3-60 remaja usia 13-18 tahun 43 24 Rataan dan standar deviasi nilai IGS3-94 remaja usia 13-18 tahun 43 25 Rataan dan standar deviasi nilai IGS3-104 remaja usia 13-18 tahun 44 26 Rataan dan standar deviasi nilai IGS4-50 remaja usia 13-18 tahun 44 27 Rataan dan standar deviasi nilai IGS4-60 remaja usia 13-18 tahun 45 28 Rataan dan standar deviasi nilai IGS4-94 remaja usia 13-18 tahun 45 29 Rataan dan standar deviasi nilai IGS4-104 remaja usia 13-18 tahun 46 30 Rataan dan standar deviasi nilai IGSK-50 remaja usia 13-18 tahun 46 31 Rataan dan standar deviasi nilai IGSK-60 remaja usia 13-18 tahun 47 32 Rataan dan standar deviasi nilai IGSK-94 remaja usia 13-18 tahun 47 33 Rataan dan standar deviasi nilai IGSK-104 remaja usia 13-18 tahun 48

34 Hasil uji korelasi Pearson antara IGS dan MGP 49

35 Komponen dan kriteria penilaian IGSK-60 remaja usia 13-15 tahun 49 36 Komponen kriteria penilaian IGS3-60 remaja usia 13-15 tahun 50 37 Komponen dan kriteria penilaian IGSK-104 remaja usia 13-15 tahun 51 38 Kategori kualitas konsumsi pangan remaja dengan nilai MGP 52 39 Kategori kualitas konsumsi pangan remaja dengan nilai IGS 53 40 Kualitas konsumsi pangan berdasarkan nilai MGP remaja usia 13-18 tahun 53 41 Kualitas konsumsi pangan berdasarkan nilai IGSK-60 remaja usia 13-18 tahun 53 42 Kualitas konsumsi pangan berdasarkan nilai IGS3-60 remaja usia 13-18 tahun 54 43 Kualitas konsumsi pangan berdasarkan nilai IGSK-104 remaja usia 13-18 tahun 54 44 Hasil uji korelasi Rank Spearman antara karakteristik dengan nilai MGP, IGSK-

(15)

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran penelitian pengembangan Indeks Gizi Seimbang

remaja 19

2 Alur proses penapisan (cleaning data) remaja usia 13-18 tahun 21 3 Kurva persamaan garis linier antara porsi konsumsi buah dengan nilai IGS

buah untuk remaja laki-laki usia 13-15 tahun 31

4 Persentase tingkat kecukupan gizi remaja usia 13-18 tahun 41

DAFTAR LAMPIRAN

1 Cara pengumpulan data karakteristik dan antropometri oleh tim Riskesdas

2010 63

2 Cara pengumpulan data asupan pangan oleh tim Riskesdas 2010 64 3 Hasil perhitungan menu kelompok pangan sehari untuk remaja usia 13-18

tahun sesuai pembatasan porsi pangan karbohidrat 65

4 Hasil perhitungan estimasi kebutuhan energi remaja usia 13-18 tahun

berdasarkan aktivitas fisik (PA) 71

5 Kriteria penilaian alternatif IGS yang dikembangkan untuk remaja usia

13-18 tahun 72

6 Rataan dan standar deviasi konsumsi kelompok pangan dan zat gizi remaja

usia 13-18 tahun 80

7 Uji beda independent samples t-test variabel menurut jenis kelamin 81 8 Uji beda independent samples t-test variabel kelompok usia 82 9 Tingkat kecukupan energi dan zat gizi (%) remaja usia 13-18 tahun 83 10 Uji beda independent samples t-test variabel berdasarkan daerah perdesaan

(16)
(17)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak ke dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun. Remaja pada masa ini mengalami berbagai perubahan baik secara biologis, intelektual, psikososial, maupun ekonomi (Papalia

et al. 2007). Perubahan tersebut menyebabkan remaja rentan terhadap masalah gizi karena adanya pola konsumsi pangan remaja yang ikut berubah (Savige et al.

2007) sehingga perlu perhatiankhusus karena pengaruhnya yang besar tidak hanya untuk pertumbuhan dan perkembangan tubuhnya, tetapi juga untuk kesehatan saat ini dan masa depan remaja (Lietz et al. 2002).

Masalah gizi remaja di Indonesia saat ini merupakan masalah gizi ganda (double burden of malnutrition) yaitu gizi kurang dan gizi lebih dengan berbagai risiko penyakit yang ditimbulkan. Hasil analisis Riskesdas di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi remaja kurususia 13-15 tahun pada tahun 2010 sebesar 10.1% dan naik menjadi 11.1% pada tahun 2013, prevalensi remaja gemuk dengan usia yang sama juga mengalami peningkatan yaitu dari 2.5% pada tahun 2010 menjadi 10.8% pada tahun 2013. Remaja kelompok usia 16-18 tahun juga mengalami hal yang serupa, prevalensi kurus sebanyak 8.9% pada tahun 2010 dan naik menjadi 9.4% pada tahun 2013, prevalensi remaja gemukdengan usia yang sama juga naik menjadi 7.3% pada tahun 2013 dari sebelumnya 1.4% pada tahun 2010. Prevalensi hipertensi dan anemia juga mulai banyak dijumpai dikisaran usia remaja yaitu diatas 15 tahun, masing-masing 8.3% pada tahun 2007 dan 18.4% pada tahun 2013 (Kemenkes 2007; 2010; 2013).

Salah satu faktor pemicu terjadinya permasalahan gizi remaja adalah rendahnya jumlah dan kualitas konsumsi pangan. Hal tersebut biasanya disebabkan karena adanya kebiasaan makan yang tidak sehat seperti melewatkan waktu makan, mengurangi ataumelebihkan konsumsi makan, konsumsi makanan cepat saji (fast food) dan snack, serta konsumsi makanan tidak memenuhi rekomendasi diet, yang semuanya dapat menurunkan kualitas konsumsi pangannya (Wortington-Robert 2000; Savige et al. 2007; Tek et al. 2011). Padahal, kualitas konsumsi pangan yang baik adalah faktor utama bagi kesehatan dan kesejahteraan remaja (USDA 2013). Hal ini menunjukkan bahwa masalah gizi pada remaja perlu dicegah dan ditangani dengan cara memperbaiki jumlah dan kualitas konsumsi pangannya melalui promosi, pendidikan, dan penyuluhan gizi dan kesehatan (Khatib 2004; Kemenkes 2014).

Kemenkes Indonesia sebenarnya telah lama mengupayakan pencegahan dan perbaikan gizi dengan menerbitkan pedoman gizi. Pedoman Gizi Seimbang (PGS) tahun 2014 merupakan penyempurnaan Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS) tahun 1995, berisi pedoman diet sehat bagi semua kelompok usia termasuk remaja. PGS tersebut mengandung 10 pesan gizi seimbang, salah satu

pesan penting yang disampaikan adalah “syukuri dan nikmati keanekaragaman

(18)

(Kemenkes 2014). Meskipun demikian, masyarakat Indonesia belum sepenuhnya menerapkan pedoman tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Instrumen (alat ukur) yang digunakan untuk memudahkan menilai kesesuaian konsumsi pangan terhadap anjuran PGS Indonesia sampai saat ini belum dikembangkan. Sementara, negara lain telah lama mengembangkan indeks penilaian kualitas konsumsi pangan yang disesuaikan dengan dietary guidelines

(pedoman makan) yang ada di negara masing-masing. Negara Amerika yang awal mengembangkan indeks penilaian tersebut pada tahun 1995 melalui Center for Nutrition Policy and Promotion USDA dengan nama Healthy Eating Index (HEI). Amerika kemudian melakukan perbaikan HEI pada tahun 2005 sejalan dengan

The 2005 Dietary Guidelines for Americans. Perbedaan dengan HEI Amerika yang dikembangkan sebelumnya ada pada jenis kelompok pangan serta cara penilaian yang berdasarkan densitas energi. Pedoman makan HEI-2005 selanjutnya diperbaharui menjadi 2010 yang beberapa komponen dari HEI-2005 masih tetap digunakan (Guenther et al. 2007; 2013).

Australian Institute of Health and Welfare (AIHW) di tahun 2007 juga telah mengembangkan Aust-HEI yang berfokus pada pilihan makanan sehat dan perilaku terkait dengan penyakit kronis, terdiri atas 7 komponen (keragaman, pilihan makanan sehat, konsumsi buah, konsumsi sayur, susu rendah lemak, daging rendah lemak, dan konsumsi makanan tinggi lemak jenuh, serta rendah zat gizi lain). Sementara itu, Taechangam et al. (2008) di Thailand telah mengembangkan The Healthy Eating Index for Thais (THEI) yang terdiri atas 11 komponen (karbohidrat, sayur, buah, susu, daging, lemak total, lemak jenuh, gula tambahan, kolesterol, sodium, dan keragaman makanan).

Penilaian kualitas konsumsi pangan di Indonesia sebenarnya sudah lama dikembangkan oleh Hardinsyah (1998), berupa penilaian mutu gizi makanan (MGM) bagi ibu hamil dan anak batita dalam skala kecil di Bogor. Kemudian Amrin et al. (2013) dan Perdana et al. (2014) telah mengembangkan menjadi instrumen HEI bagi pria dan wanita dewasa Indonesia yang disebut Indeks Gizi Seimbang (IGS). Pengembangan IGS tersebut dilakukan berdasarkan kesesuaian acuan dari PUGS dan tumpeng pedoman gizi seimbang di Indonesia pada saat itu. Kedua peneliti tersebut mengembangkan 10 alternatif IGS. Standar yang digunakan untuk validasi alternatif IGS tersebut adalah nilai Mutu Gizi Pangan (MGP) yang dihitung berdasarkan tingkat kecukupan dari beberapa zat gizi yang diperoleh dari data konsumsi pangan dan asupan gizi hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2010) yang digunakan sebagai standar dalam pengujian validitasnya. Sampai saat ini, belum ada pengembangan suatu indeks berdasarkan data konsumsi pangan remaja berskala nasional untuk menilai kesesuaian konsumsi pangan remaja terhadap anjuran porsi makan yang ada pada PGS 2014.

(19)

Tujuan

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengembangkan Indeks Gizi Seimbang ramaja (usia 13-18 tahun) di Indonesia berdasarkan data Riskesdas 2010. Secara khusus penelitian ini bertujuan (1) Menganalisis pola konsumsi pangan remaja di Indonesia; (2) Mengembangkan beberapa alternatif IGS untuk remaja di Indonesia; (3) Menguji validitas dari berbagai alternatif IGS dan menentukan IGS terpilih untuk remaja di Indonesia; dan (4) Menganalisis hubungan antara karakteristik sosial ekonomi remaja dengan IGS yang terpilih.

Manfaat

(20)

2 TINJAUAN PUSTAKA

Remaja

Istilah remaja yaitu adolescence berasal dari kata adolescere yang berarti

“tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa” (Hurlock 1994). Banyak para ahli

mengemukakan berbagai pendapat mengenai batasan usia remaja, Rice dan Dolgin (2002) membedakan masa remaja menjadi remaja awal (11-14 tahun) dan masa remaja tengah (15-19 tahun), Steinberg (2002) mengategorikan sebagai remaja awal (10-13 tahun), remaja tengah (14-18 tahun), dan remaja akhir (19-22 tahun). Sementara Papalia et al. (2007) mangatakan bahwa masa remaja dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun. Remaja merupakan periode transisi yang mengalami berbagai perubahan baik secara biologis, intelektual, psikososial, maupun ekonomi. Pada periode ini terjadi kematangan fisik dan seksual, peningkatan kemampuan dan mampu membuat suatu keputusan.

Pertumbuhan cepat, perubahan emosional dan perubahan sosial merupakan ciri yang spesifik pada usia remaja. Segala sesuatunya cepat berubah, dan untuk mengantisipasi perubahan-perubahan ini, makanan sehari-hari menjadi sangat penting karena asupan makanan remaja berpengaruh pada status gizinya. Riskesdas (2013) membagi status gizi remaja sesuai kelompok umur yang dikelompokkan menjadi remaja umur 13-15 tahun dan 16-18 tahun.

Masalah Gizi Remaja Indonesia

Masalah gizi remaja di Indonesia saat ini merupakan masalah ganda yang harus diperhatikan karena pengaruhnya yang besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan tubuh serta dampaknya pada masalah gizi saat dewasa. Anemia defisiensi besi, kelebihan dan kekurangan berat badan pada saat dewasa adalah masalah gizi yang sering terjadi dan merupakan kelanjutan dari masalah pada usia remaja (Arisman 2004). Salah satu faktor pemicu terjadinya permasalahan gizi remaja adalah rendahnya jumlah dan mutu konsumsi pangan. Hasil Riskesdas 2010 menunjukkan bahwa penduduk Indonesia mengkonsumsi energi dibawah kebutuhan minimal (lebih rendah dari 70%) yaitu 40.6% dan proporsi defisit energi <70% terbanyak pada usia remaja yaitu 54.5%. Adapun untuk hasil Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa prevalensi kejadian anemia menurut karakteristik umur (15-24 tahun) sebesar 18.4%, remaja kurus dan gemuk umur 13-15 tahun masing-masing 11.1% dan 10.8%, dan remaja kurus dan gemuk umur 16-18 tahun masing-masing 9.4% dan 7.3% (Kemenkes 2007; 2010; 2013).

(21)

(PTM) yang merupakan penyebab lebih separuh dari semua kematian di Indonesia (Kemenkes 2014). Data Riskesdas tahun 2007 menunjukkan bahwa 3 dari 10 penduduk Indonesia yang berusia di atas 10 tahun menderita hipertensi. Hipertensi mulai banyak dijumpai pada kelompok usia yang lebih muda yaitu 15-17 tahun sebanyak 8.3% (Kemenkes 2007).

Konsumsi Pangan dan Kebiasaan Makan Remaja

Konsumsi pangan merupakan sejumlah pangan, secara tunggal maupun beragam, yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis, psikologis dan sosiologis. Konsumsi pangan biasanya dipengaruhi oleh kebiasaan makan dalam keluarga. Konsumsi dalam hal jumlah dan jenis pangan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu jenis, jumlah produksi, dan ketersediaan pangan, sedangkan tingkat konsumsi pangan lebih banyak ditentukan oleh kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsi (Supariasa 2001). Jika susunan pangan yang dikonsumsi suatu keluarga memenuhi kebutuhan tubuh, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya, maka tubuh akan mendapatkan kondisi kesehatan yang sebaik-baiknya (adekuat) (Sediaoetama 2006). Hal tersebut dapat mencegah timbulnya suatu keadaan gizi, baik kurang maupun lebih.

Remaja merupakan transisi dari masa anak-anak sampai dewasa yang secara fisiologis membutuhkan energi dan zat gizi untuk peningkatan ukuran tubuh dan kematangan seksual, termasuk menarche pada anak perempuan. Remaja memiliki kebiasaan makan yang dipengaruhi oleh beberapa faktor. Remaja yang semakin tumbuh meningkatkan pastisipasinya dalam kehidupan sosial dan aktivitasnya sehingga dapat menimbulkan dampak terhadap apa yang dimakan oleh remaja tersebut. Kehidupan sosial remaja memberikan kesempatan untuk memilih makanan sesuai keinginan mereka dan cenderung memiliki kebiasaan makanan yang tidak sehat seperti melewatkan waktu makan, mengurangi atau melebihkan konsumsi makan yang semuanya dapat menurunkan kualitas konsumsi pangannya. Remaja mulai dapat membeli dan mempersiapkan makan untuk mereka sendiri, dan biasanya mereka lebih suka makanan yang serba instant yang diperoleh dari luar rumah seperti fast food (Wortington-Robert 2000; Tek et al. 2011).

Ketidakseimbangan zat gizi dalam tubuh dapat terjadi jika makanan instant seperti fast food dijadikan sebagai pola makan setiap hari dengan gaya hidup sedentary. Adanya kelebihan kalori, lemak, dan natrium akan terakumulasi di dalam tubuh yang akan mengakibatkan terjadinya berbagai macam penyakit degeneratif (Diabetes mellitus, hipertensi, PJK), serta obesitas. Namun, konsumsi pangan tersebut tidak akan merugikan jika disertai dengan menu seimbang, frekuensi konsumsi yang rendah, dan disertai dengan aktivitas fisik atau olahraga yang teratur dan disesuaikan dengan usia (Wang et al. 2002; Mahdiyah et al.

(22)

angka penyakit (morbiditas), tingkat kecerdasan rendah, mengalami pertumbuhan tidak normal (pendek), produktivitas yang rendah, dan terhambatnya pertumbuhan reproduksi (Soekirman 2002).

Kecukupan Gizi untuk Remaja

Kecukupan gizi adalah rata-rata asupan gizi harian yang cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi bagi hampir semua orang sehat (97.5%) dalam kelompok umur, jenis kelamin, dan fisiologis tertentu. Nilai asupan gizi harian yang diperkirakan dapat memenuhi kebutuhan gizi mencakup 50% orang sehat dalam kelompok umur, jenis kelamin, dan fisiologis tertentu disebut kebutuhan gizi (Muchtadi 1989). Angka Kecukupan Gizi (AKG) berguna sebagai patokan dalam penilaian dan perencanaan konsumsi pangan, serta basis dalam perumusan acuan label gizi yang mengalami perkembangan dalam bidang Iptek gizi dan ukuran antropometri penduduk.

Penjabaran AKG dilakukan untuk keperluan pada tingkat komoditi makanan. Penjabaran AKG ke bentuk komoditi pangan dalam repelita VI didasarkan pada kebutuhan energi rata-rata per orang per hari yaitu 2000 kkal (tingkat konsumsi) dan 220 kkal (tingkat keteserdiaan) serta kebutuhan protein rata-rata per orang per hari yaitu 52 gram (tingkat konsumsi) dan 57 gram (tingkat ketersediaan). Angka kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan pada masing-masing orang per hari bervariasi tergantung pada umur, jenis kelamin, dan keadaan individu tersebut. Semakin bertambah suatu umur, kecukupan makro berupa energi dan protein serta zat gizi mikro seperti vitamin dan mineral juga bertambah. Pada remaja dan dewasa laki-laki memiliki angka kecukupan gizi yang lebih besar dibandingkan perempuan (Atmarita dan Tatang 2004; Soekirman 2008; Hardinsyah et al. 2012).

Perencanaan pemenuhan kebutuhan dan kecukupan zat gizi perlu dilakukan agar kecukupan dan kebutuhan zat gizi dapat diperoleh melalui beberapa langkah, diantaranya yaitu: menentukan zat gizi masing-masing individu, memperhatikan zat gizi pada bahan pangan yang akan dikonsumsi, serta melakukan upaya pemenuhan menu sesuai dengan pedoman gizi seimbang (Azwar 2004). Analisis data konsumsi pangan Riskesdas 2010 menunjukkan bahwa rata-rata proporsi konsumsi energi dari lemak penduduk Indonesia saat ini sekitar 25-29% dari total konsumsi energi. Kontribusi energi dari lemak untuk remaja dan dewasa sebaiknya tidak melebihi 30% (Hardinsyah et al. 2012).

Pedoman Gizi Seimbang Indonesia

(23)

memilih dan menyusun menu makanan yang seimbang untuk pemenuhan kebutuhan tubuh manusia dengan cara mengoptimalkan penyampaian pesan gizi seimbang kepada masyarakat melalui pendidikan dan penyuluhan gizi (Kemenkes 2014).

Penyampaian pesan gizi sudah lama diperkenalkan di Indonesia melalui slogan 4 sehat 5 sempurna oleh Bapak Gizi Indonesia prof. Poorwo Soedarmo pada tahun 1950an. Slogan 4 sehat 5 sempurna merupakan hasil adaptasi dari

prinsip “Basic Four” Amerika Serikat yang mulai dikembangkan pada era 1940an. Menu makanan yang terdiri dari makanan pokok, lauk pauk, sayuran dan buah-buahan, serta minum susu untuk menyempurnakan menu tersebut. Konsep tersebut diciptakan karena pada tahun 1950an masyarakat belum tahu cara makan yang benar. Tetapi sejak tahun 90-an, permasalahan gizi sudah berubah. Sekarang banyak negara menghadapi masalah kegemukanan, obesitas dengan akibatnya diabetes, hipertensi, jantung, stroke, yang mewabah ke negara maju dan berkembang.

Seiring dengan perkembangan ilmu dan permasalahan gizi saat ini slogan tersebut diperbaharui melalui kesepakatan konferensi pangan sedunia di Roma tahun 1992 berdasarkan prinsip Nutrition Guide for Balanced Diet. Prinsip tersebut diyakini akan mampu mengatasi beban ganda masalah gizi, baik gizi kurang maupun lebih yang saat ini semakin meningkat. Buku panduan “13 Pesan

Dasar Gizi Seimbang” kemudian diterbitkan pada tahun 1995 oleh Direktorat Bina Gizi, Departemen Kesehatan dengan nama pedoman umum gizi seimbang (PUGS). Berbeda dengan konsep 4 sehat 5 sempurna yang menyamaratakan kebutuhan gizi pada semua orang, PUGS berprinsip bahwa tiap golongan usia, jenis kelamin, kesehatan dan akitifitas fisik memerlukan PUGS yang berbeda, sesuai dengan kondisi masing-masing kelompok tersebut.Di samping itu, PUGS menekankan pula proporsi yang berbeda pada pemenuhan zat gizi dalam jenis dan jumlah (porsi) untuk setiap kelompok yang disesuaikan atau diseimbangkan dengan kebutuhan tubuh. PUGS juga tidak memberlakukan susu sebagai makanan sempurna, melainkan ditempatkan satu kelompok dengan sumber protein hewani lain (Depkes 2005).

(24)

Penilaian Konsumsi Pangan

Penilaian konsumsi pangan dilakukan sebagai salah satu cara untuk melihat status gizi perorangan maupun kelompok. Pengembangan penilaian konsumsi pangan tersebut dalam skala nasional untuk menilai kesesuaian konsumsi pangan terhadap anjuran porsi konsumsi makanan sesuai pedoman gizi Indonesia saat ini masih sangat terbatas.Beberapa cara menilai kualitas konsumsi pangan yang telah dikembangkan sampai saat ini berupa pengukuran mutu gizi konsumsi pangan (MGP), Pola Pangan Harapan (PPH) serta Healthy Eating Index (HEI).

Mutu Gizi Pangan (MGP)

Mutu Gizi Pangan (MGP) adalah suatu gambaran yang memperlihatkan apakah suatu makanan dapat memenuhi kebutuhan dan tingkat ketersediaan biologis tubuh. Pengukuran MGP didasarkan pada jumlah zat gizi yang tersedia untuk dikonsumsi relatif terhadap kebutuhan dan nilai biologisnya. MGP dapat diartikan sebagai persentase asupan zat gizi terhadap kecukupan atau kebutuhan individu (Hardinsyah dan Atmojo 2000; Jadhav dan Vali (2010).

Makanan yang dikonsumsi diukur dengan melihat kandungan gizinya dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM). DKBM adalah suatu daftar yang memuat berbagai jenis makanan beserta kandungan zat gizinya per 100 gram berat makanan yang dapat dimakan (BDD). Setelah diketahui total asupan zat gizi maka dihitung pula tingkat kecukupan zat gizi individu tersebut (Hardinsyah dan Atmojo 2000). Selanjutnya perhitungan MGP dapat dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

Keterangan :

MGP = Mutu Gizi pangan

TKGi = Tingkat kecukupan zat gizi ke-i, yaitu (konsumsi zat gizi ke-i/kecukupan zat gizi ke-i) x 100

n = Jumlah zat gizi yang dipertimbangkan dalam penilaian MGP

Perhitungan Tingkat Kecukupan Gizi ke-i (TKGi) adalah setiap nilai TKGi bernilai maksimum 100 (truncated at 100) dengan alasan untuk meminimalkan kompensasi antara nilai TKGi yang rendah dan tinggi secara matematik, karena secara biologis antar zat gizi yang berbeda tidak dapat saling substitusi melainkan saling berinteraksi. Nilai MGP hasil perhitungan selanjutnya digolongkan berdasarkan empat kategori yaitu <55% tergolong sangat kurang, 55-69% tergolong kurang, 70-84% tergolong cukup dan ≥ 85% tergolong baik (Hardinsyah 1996).

Pada penilaian MGP, terdapat dua hal yang harus dipertimbangkan yaitu jumlah dan zat gizinya serta metode pengumpulan data konsumsi pangan yang sebaiknya digunakan. MGP merupakan peubah kontinyu yang dapat menghasilkan sebuah nilai median, rataan, dan standar deviasi, serta dapat digunakan dalam analisis regresi. Selain itu, penilaian MGP juga memiliki keunggulan dari segi gizi dan statistik karena zat gizi di dalam tubuh digunakan

MGP (%) = Ʃ (TKGi )

(25)

bukan secara parsial melainkan secara interaktif sehingga dapat menghasilkan satu nilai yang dengan mudah dapat dibandingkan dan dianalisis (Hardinsyah dan Atmojo 2000).

Hardisnyah (1998) mengembangkan sistem skor makanan dengan penilaian Mutu Gizi Makanan (MGM) untuk ibu hamil dan anak batita secara cepat dan sederhana di masyarakat. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa terdapat empat alternatif skor makanan dan terpilih SM63 yang terdiri dari enam kelompok makanan utama (makanan pokok, pangan hewani, tahu dan tempe, sayur, buah, dan susu), kemudian diperoleh tiga tingkat skor (nol, satu, dan dua) sebagai skor makanan yang paling valid dan sederhana sebagai MGM yang praktis pada ibu hamil dan anak batita.

Pola Pangan Harapan (PPH)

Pola Pangan Harapan (PPH) atau Desirable Dietary Pattern adalah susunan beragam pangan yang didasarkan pada sumbangan energi dari kelompok pangan utama (baik secara absolut maupun relatif) dari suatu pola ketersediaan dan atau konsumsi pangan. FAO-RAPA telah mendefinisikan PPH sebagai komposisi kelompok pangan utama yang bila dikonsumsi dapat memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lainnya. PPH awalnya dikembangkan untuk kawasan Asia pasifik berdasarkan data PPH dari Neraca Bahan Makanan (NBM) karena data tersebut mudah tersedia secara berkala setiap tahun. Namun pada saat ini, PPH digunakan untuk mengetahui kondisi kualitas konsumsi pangan skala rumah tangga dengan menggunakan salah satu perolehan data seperti Susenas yang dipublikasi oleh BPS (Hardinsyah et al. 2002). Secara umum rumus yang digunakan untuk menghitung skor PPH adalah sebagai berikut:

Keterangan :

SPPH = Skor Pola Pangan Harapan

TKEi = Tingkat kecukupan energy (%), yaitu kelompok pangan ke-i Ri = Rating untuk kelompok pangan ke-i

Metode PPH digunakan berdasarkan skor pangan (dietary score) untuk menilai mutu pangan. Perolehan skor pangan tersebut merupakan hasil perkalian antara kontribusi energi kelompok pangan dengan bobotnya. Bobot pangan yang semakin tinggi menunjukkan situasi pangan yang semakin beragam dan semakin baik komposisi dan mutu gizinya. Bobot untuk setiap kelompok pangan didasarkan kepada zat gizi esensial, zat gizi mikro, kepadatan kalori, konsentrasi kalori, kandungan serat, volume pangan dan tingkat kelezatannya. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka bobot setiap kelompok pangan adalah sebagai berikut (Tabel 1) (Hardinsyah et al. 2002).

(26)

Tabel 1 Bobot setiap kelompok pangan di PPH

No. Kelompok Pangan Bobot

1. Padi-padian 0.5

2. Umbi-umbian 0.5

3. Pangan hewani 2.0

4. Minyak dan lemak 1.0

5. Buah/biji berminyak 0.5

6. Kacang-kacangan 2.0

7. Gula 0.5

8. Sayur dan buah 2.0

9. Lain-lain 0

Healty Eating Index

(HEI)

HEI merupakan instrumen yang digunakan untuk menilai kualitas diet secara menyeluruh dan memonitor pola konsumsi pangan. HEI sudah dikembangkan oleh negara-negara seperti Amerika, Australia, dan Thailand yang disesuaikan dengan pedoman makanan yang ada di negara masing-masing (Guenther et al. 2007; USDA 2008).

1. HEI Amerika

Pada awalnya, HEI merupakan alat ukur untuk mengukur kepatuhan konsumsi pangan yang dihubungkan dengan angka kecukupan gizi piramida makanan dan berfungsi untuk menyediakan suatu kesimpulan pengukuran kualitas konsumsi makanan yang dikembangkan oleh Center for Nutrition Policy and Promotion (CNPP) USDA di Amerika yang di awali pada tahun 1995. HEI dapat digunakan untuk penelitian epidemiologi dan ekonomi serta dapat juga digunakan dalam program pendidikan gizi konsumen dan intervensi gizi (Kennedy et al.

1995; Guenther et al. 2007).

Piramida makanan yang digunakan Amerika pada saat itu disebut Food Guide Pyramid yang terdiri atas 10 komponen yaitu 5 komponen pertama berdasarkan 5 kelompok pangan utama yaitu gandum, sayuran, buah-buahan, daging, dan susu. Komponen ke 6 sampai 10 berdasarkan aspek yang tercantum dalam Dietary Guidelines for Americans tahun 1995 yang harus dibatasi jumlah konsumsinya yaitu total lemak, total lemak jenuh, kolesterol, dan sodium, serta keberagaman. 10 komponen tersebut merupakan ukuran dari keberagaman pola makan seseorang. Setiap komponen HEI diberikan skor antara 0 sampai dengan 10 sehingga interval total skor HEI memiliki nilai minimum 0 dan nilai maksimum 100.

(27)

kelompok panagan bedasarkan kategori “total” dan “whole”, tidak memasukkan

minyak dan SoFAAS (solid fat, alcohol, and added sugar), dan skor ditentukan berdasarkan jumlah absolut (USDA 2002; Kennedy 2008). Tabel 2 menyajikan komponen serta sistem penilaian HEI 1995.

Tabel 2 Komponen dan penilaian dalan HEI 1995

No Komponen Skor

0 5 8 10

Point

1 Total buah 0 2-4 takaran saji

(sekitar 1-2 gelas)

2 Total sayur 0 5-5 takaran saji

(sekitar 1.5 – 2.5 gelas)

3 Total grain 0 6-11 takaran saji

(sekitar 6-11 oz eq)

4 Susu 0 2-3 takaran saji

(sekitar 2-3 gelas) 5 Daging/

kacang-kacangan

0 2-3 takaran saji

(sekitar 5.5 – 7.0 oz eq)

6 Natrium ≥ 4.8 ≤ 2.4 gram

7 Lemak jenuh ≥ 15 ≤ 10% energi

8 Lemak total ≥ 45 ≤ 30% energi

9 Kolesterol ≥ 450 ≤ 300 mg

10 Keragaman ≤ 6 ≥ 16 makanan berbeda selama 3 hari

Sumber : Guenther et al. (2007; 2013)

Pedoman makan 1995 di Amerika kemudian direvisi menjadi HEI-2005 yang dikembangkan untuk menyesuaikan dengan Dietary Guidelines 2005

di Amerika yang terdiri atas 12 komponen. Revisi tersebut meliputi peningkatan aspek-aspek penting dalam kualitas diet, seperti total buah; buah utuh (selain jus); sayuran yang berwarna hijau gelap dan orange, serta legume; total serealia; serealia utuh; susu (semua produk susu dan minuman kedelai); daging dan kacang-kacangan (daging merah, daging unggas, ikan, telur, minuman selain produk kedelai, kacang, dan seeds); minyak (minyak sayur dan lemak dalam ikan, kacang, dan seeds); lemak jenuh; sodium; dan kalori yang berasal dari SoFAAS (solid fat, alcohol and added sugar). Skor yang tinggi merupakan gambaran asupan yang tinggi untuk beberapa komponen, tetapi khusus untuk lemak jenuh, sodium, dan kalori dari SoFAAS (solid fat, alcohol and added sugar) skor yang tinggi diberikan untuk asupan yang lebih rendah.

(28)

memasukkan pengaturan berat badan ideal, aktivitas fisik, dan keamanan pangan (Guenther et al. 2007). Tabel 3 menyajikan komponen dan sistem penilaian pada HEI 2005.

Tabel 3 Komponen dan penilaian dalam HEI 2005

No Komponen Skor

0 5 8 10 20 Poin

1 Total buah ≥ 0.8 gelas eq/1000 kkal

2 Whole fruit ≥ 0.4 gelas eq/1000 kkal

3 Total sayur ≥ 1.1 gelas eq/1000 kkal

4 Sayuran berdaun hijau dan orange, serta legumes

≥ 0.4 gelas eq/1000 kkal

5 Total grains ≥ 3.0 oz eq/1000 kkal

6 Whole grains ≥ 1.5 oz eq/1000 kkal

7 Susu ≥ 1.3 gelas

8 Daging dan kacang-kacangan

≥ 2.5 oz

9 Minyak ≥ 12 g/1000 kkal

10 Lemak jenuh ≤ 7% energi

11 Sodium ≥ 0.7 g/1000 kkal

12 Kalori dari SoFAAS ≤ 20% energi Sumber : Guenther et al. (2007; 2013)

Pedoman makan HEI-2005 di Amerika selanjutnya diperbaharui menjadi HEI-2010 yang beberapa komponen dari HEI-2005 masih tetap digunakan. Revisi tersebut meliputi peningkatan aspek-aspek penting dalam kualitas diet, seperti sayuran hijau dan kacang-kacangan menggantikan sayuran berdaun hijau dan orange, serta legumes; dairy menggantikan susu; total pangan protein menggantikan daging dan kacang-kacangan; protein seafood dan nabati telah ditambahkan untuk pemilihan spesifik dari group protein; asam lemak berupa ratio MUFA dan PUFA menggantikan minyak dan lemak jenuh untuk penyesuaian rekomendasi; refined grains menggantikan total grain untuk menilai konsumsi yang berlebihan; empty calories merupakan kalori dari lemak SoFAAS (solid fat, alcohol and added sugar) dan ambang batas untuk menghitung alkohol >13 gram/1000 kkal (Guenther et al 2013). Rincian tambahan mengenai perbedaan antara versi 2005 dan 2010, termasuk perbedaan dalam nilai-nilai titik maksimum komponen dan standar skoring dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Komponen dan penilaian dalam HEI 2010

No Komponen Skor

0 5 8 10 20 Poin

1 Total buah ≥ 0.8 gelas eq/1000 kkal

2 Whole fruit ≥ 0.4 gelas eq/1000 kkal

3 Total sayur ≥ 1.1 gelas eq/1000 kkal

4 Sayuran hijau dan kacang-kacangan

≥ 0.2 gelas eq/1000 kkal

5 Whole grains ≥ 1.5 oz eq/1000 kkal

6 Dairy ≥ 1.3 gelas/1000 kkal

(29)

Tabel 4 Komponen dan penilaian dalam HEI 2010 (lanjutan)

Australia juga telah mengembangkan HEI (Aust-HEI) sebagai pengembangan dari Diet Quality Index (DQI) Australia yang dapat digunakan sebagai ukuran kualitas diet secara keseluruhan yang disesuaikan dengan pola makan dengan rekomendasi Dietary guidelines for Australian adults. Aust-HEI berfokus pada gambaran diet sehat dan kebiasaan konsumsi pangan yang dihubungkan dengan resiko penyakit kronis. Komponennya terdiri atas keragaman diet, konsumsi sayur dan buah, serta konsumsi lemak yang diperoleh berdasarkan data dari Food Frequency Questionnaire (FFQ) dan Short Dietary Questions

(SDQ) (NHMRC 2003; AIHW 2007). Keragaman diet memiliki hubungan dengan terjadinya penyakit kronis (NHMRC 2003), konsumsi buah dan sayur dihubungkan dengan penyakit jantung, stroke, dan beberapa kanker (Lock et al.

2005), dan konsumsi lemak jenuh yang dihubungkan dengan peningkatan kolesterol Low Density Lipoprotein (LDL) yang berhubungan dengan penyakit jantung vaskuler (AIHW 2007). Komponen dari Aust-HEI dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Komponen Aust-HEI dan skor masing-masing komponen No. Komponen Kriteria untuk skor

maksimum pangan biasanya dimakan minimal satu kali seminggu

Makanan sehat biasanya dimakan minimal satu kali

(30)

Tabel 5 Komponen Aust-HEI dan skor masing-masing komponen (lanjutan) No. Komponen Kriteria untuk skor

maksimum

Keterangan: FFQ = food frequency questionnaire; SDQ = short dietary questions

Sumber : AIHW (2007)

Kelebihan Aust-HEI adalah dapat memprediksi risiko penyakit kronis, FFQ yang digunakan memiliki takaran saji yang spesifik untuk makanan sehingga asupan gizi bisa dikomputasikan, dan menunjukkan konsistensi internal. Kelemahan dari Aust-HEI adalah perlunya pengembangan FFQ baru yang dapat mengakomodir makanan terbaru, cara penentuan skor komponen HEI yang kurang spesifik dan kurang sensitif, dan komponen HEI yang kurang spesifik.

3. HEI Thailand

Thailand merupakan Negara Asia Tenggara yang sudah mengembangkan HEI dengan dasar piramida makanan yang ada di negara tersebut disingkat THEI. THEI merupakan hasil modifikasi HEI yang dikembangkan oleh USDA Amerika yang terdiri dari 11 komponen dimana masing-masing komponen (1) komponen 1-5 mengukur kesesuaian pola makan individu terhadap rekomendasi porsi sajian 5 kelompok pangan utama berdasarkan Thailand Nutrition Flag:

beras dan sumber pati (beras, roti, sereal dan pasta), sayur-sayuran, buah-buahan, susu (susu, yogurt dan keju), dan daging (daging, unggas, ikan, kacang, telur, (2) komponen 6, 7, dan 8 mengukur total lemak, lemak jenuh, konsumsi gula tambahan, terhadap persentase total asupan energi, (3) komponen 9 dan 10 mengukur total kolesterol dan asupan sodium, dan (4) komponen 11 untuk mengukur keragaman konsumsi pangan individu. Penilaian THEI menggunakan sistem skor. Kriteria skoring THEI berdasarkan angka kecukupan zat gizi yang direkomendasikan oleh Thailand. Setiap komponen diberi skor maksimum 10 dan skor minimum 0. Skor diantaranya dihitung secara proposional. Skor maksimal menunjukkan asupan mendekati anjuran dan sebaliknya. Skor total THEI dikategorikan menjadi 3 level yaitu skor THEI lebih dari 66 dikategorikan baik, skor THEI antara 55-66 dikategorikan memerlukan perbaikan, dan skor THEI kurang dari 55 dikategorikan sangat buruk.

Kelebihan THEI sederhana, secara praktis tidak mahal, memasukkan aspek keragaman diet, dan dapat digunakan untuk pendidikan gizi. Kelemahan THEI adalah tidak membedakan kelompok pangan berdasarkan “total” dan

(31)

Tabel 6 Komponen dan penilaian dalam THEI 6. Asupan lemak total 0-10 ≤20% total energi ≥35% total energi 7. Asupan lemak

jenuh

0-10 ≤10% total energi ≥15% total energi 8. Konsumsi gula

tambahan

0-10 <6% total energi >10% total energi 9. Asupan kolesterol 0-10 ≤300 mg/hari ≥400 mg/hari

10. Asupan sodium 0-10 ≤2400 mg/hari ≥3300 mg/hari

11. Keragaman makanan

0-10 ≥30 jenis/hari ≤20 jenis/hari

Sumber : Taechangam et al. (2008)

4. HEI Indonesia

Istilah Indeks Gizi Seimbang (IGS) adalah kata lain dari Health Eating Index (HEI) yang sudah dikembangkan di beberapa negara maju seperti Amerika (Guenther et al. 2007; 2010), dan Australia (AIHW 2007), serta negara berkembang seperti Thailand (Taechangam et al. 2008). Di Indonesia, penyusunan Indeks Gizi Seimbang awalnya didasarkan pada metode yang dilakukan oleh Hardinsyah (1998), berupa penialain Mutu Gizi Makanan (MGM) bagi ibu hamil dan anak batita secara sederhana di masyarakat. Kemudian Amrin et al. (2013) dan Perdana et al. (2014) telah mengembangkan Indeks Gizi Seimbang bagi pria dan wanita dewasa Indonesia. Pengembangan IGS di Indonesia mengacu pada pengembangan HEI di Amerika dan Thailand yaitu dengan penelusuran pustaka dan disesuaikan dengan panduan makan yang ada di Indonesia yaitu tumpeng gizi seimbang serta PUGS tahun 1995 dengan berbagai modifikasi, sedangkan tahapan pengembangan indeks tersebut merupakan modifikasi dari langkah pengembangan alat ukur keragaman pangan yang dilakukan oleh Hardinysah (1996) (Amrin et al. 2013). Sistem penilaian IGS (skoring) yaitu menggunakan tiga tingkat (nol, lima, dan 10) (Tabel 7) dan empat tingkat (nol, empat, tujuh, dan 10) (Tabel 8).

Tabel 7 Komponen dan kriteria penilaian IGS tiga tingkat (IGS3) wanita dewasa

Komponen Ukuran satu

Kacang-kacangan 50 g ≤1 porsi 1-3 porsi ≥3 porsi

Lemak total 30%-e >30%-e

atau<10%-e

(32)

Tabel 7 Komponen dan kriteria penilaian IGS tiga tingkat (IGS3) wanita dewasa

1500-2000 mg 500-1500 mg

Keterangan: %-e = persentase kebutuhan energi Sumber : (Perdana et al. 2014) Keterangan: %-e = persentase kebutuhan energi

Sumber : (Perdana et al. 2014)

(33)

gula tambahan); serta 10 komponen (pangan karbohidrat, sayur, buah, pangan hewani, pangan protein nabati, lemak total, lemak jenuh, gula tambahan, kolesterol, dan natrium) (Amrin et al. 2013; Perdana et al. 2014).

(34)

3 KERANGKA PEMIKIRAN

Masalah gizi remaja pada umumnya dipengaruhi oleh kebiasaan makan dan gaya hidup yang tidak sehat. Hal tersebut terlihat pada semakin rendahnya jumlah dan kualitas konsumsi pangan dan disertai dengan kurang gerak (sedentary) pada remaja saat ini. Remaja cenderung mempunyai kebiasaan dalam hal memilih makanan yang tidak sehat seperti snack dan fast food, melewatkan waktu makan, mengurangi atau melebihkan konsumsi makan, dan melakukan diet berlebih. Keadaan tersebut jika dilakukan secara terus menerus akan menjadi pola makan yang buruk dan sulit untuk dicegah serta ditangani dengan baik. Oleh karena itu, pengembangan suatu Indeks Gizi Seimbang (IGS) yang sederhana, mudah, dan praktis sangat diperlukan sebagai upaya pencegahan masalah gizi remaja, mengingat di Indonesia belum terdapat cara mengukur kualitas konsumsi pangan khusus untuk remaja.

Pengembangan IGS mengacu pada Pedoman Gizi Seimbang (PGS) tahun 2014, dengan melihat porsi dan jenis pangan yang dikonsumsi untuk kelompok remaja. Pengembangan indeks tersebut menghasilkan berbagai alternatif IGS. Perbedaan alternatif IGS yang dikembangkan terletak pada komponen yang dinilai, porsi setiap komponen, dan sistem pemberian nilai untuk setiap komponen. Standar yang digunakan untuk validasi IGS adalah nilai Mutu Gizi Pangan (MGP). Penilaian MGP menggunakan metode rata-rata tingkat kecukupan zat gizi. Tingkat kecukupan itu sendiri diperoleh dengan memanfaatkan data asupan gizi melalui konsumsi pangan dan AKG remaja. IGS yang dianggap valid adalah IGS yang mempunyai koefisien korelasi tertinggi, praktis, dan aplikatif dibandingkan dengan berbagai alternatif IGS yang lain.

(35)

Keterangan :

: Variabel yang diteliti : Variabel yang tidak diteliti

Gambar 1Kerangka pemikiran penelitian pengembangan Indeks Gizi Seimbang remaja Karakteristik keluarga

- Pendidikan ayah dan ibu - Pekerjaan ayah dan ibu - Status ekonomi keluarga

- Usia

- Jenis kelamin - BB dan TB

- Wilayah tempat tinggal Karakteristik subjek

- Besar keluarga

Porsi dan jenis Pedoman gizi

seimbang (PGS)

Konsumsi pangan

Asupan gizi

Alternatif Indeks Gizi Seimbang (IGS)

Nilai Indeks Gizi Seimbang (Kualitas konsumsi pangan)

AKG

Tingkat kecukupan gizi

(36)

4 METODE

Desain, Tempat, dan Waktu

Penelitian ini adalah penelitian analitik yang mengembangkan suatu indeks. Indeks gizi seimbang yang dikembangkan dengan melakukan penelusuran pustaka. Pengujian validitas dari indeks yang dikembangkan menggunakan data konsumsi Riset Kesehatan Dasar Riskesdas 2010 dengan design cross-sectional survey. Riskesdas 2010 dilaksanakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan Indonesia. Pengolahan, analisis dan interpretasi data dilakukan di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor pada bulan September 2014-Juni 2015.

Jumlah dan Cara Pengambilan Subjek

Subjek pada penelitian ini adalah remaja (13-18 tahun) yang diperoleh dari data konsumsi pangan Riskesdas 2010. Subjek Riskesdas 2010 berasal dari 441 kabupaten/kota yang tersebar di 33 provinsi di Indonesia. Populasi dalam Riskesdas 2010 adalah seluruh rumah tangga biasa yang mewakili 33 provinsi. Subjek rumah tangga dalam Riskesdas 2010 dipilih berdasarkan listing Sensus Penduduk tahun 2010. Proses pemilihan rumah tangga dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dengan two stage sampling.

Riskesdas mengambil sejumlah blok sensus dari setiap kabupaten/kota yang termasuk ke dalam kerangka subjek kabupaten/kota. Pemilihan blok sensus tersebut dilakukan sepenuhnya oleh BPS dengan memperhatikan status ekonomi dan rasio perkotaan/perdesaan. Blok sensus tersebut proporsional terhadap jumlah rumah tangga di kabupaten/kota tersebut. Blok sensus yang dipilih untuk kesehatan masyarakat adalah sebesar 2800 blok sensus dengan 70000 rumah tangga. Riskesdas 2010 berhasil mengunjungi 2798 blok sensus dari 441 kabupaten/kota jumlah rumah tangga dari blok sensus tersebut sebanyak 69300 rumah tangga dengan jumlah rumah tangga sebanyak 251388 anggota.

Jumlah subjek yang dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah keseluruhan data remaja (13-18 tahun) yang tersedia dalam electronic file data konsumsi pangan Riskesdas 2010 yang selanjutnya akan dipilih berdasarkan kriteria inklusi dan ekslusi. Kriteria inklusi subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah remaja, yaitu berusia 13-18 tahun. Pengelompokkan usia remaja didasarkan pada data Riskesdas 2010 yang dibagi menjadi dua kelompok yaitu umur 13-15 tahun dan 16-18 tahun. Kriteria eksklusinya yaitu data kosong (salah satu peubah yang diperlukan tidak tersedia/missing), keadaan sakit, kondisi

fisiologis hamil, memiliki (IMT/U) (WHO Antro 2007), yaitu ≤-5.0 SD dan

(37)

Gambar 2 Alur proses penapisan (cleaning data) remaja usia 13-18 tahun

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Penelitian ini seluruhnya menggunakan data sekunder. Pengumpulan data telah dilakukan oleh Kementrian Kesehatan melalui Riskesdas (2010) (Lampiran 1 dan 2). Data diperoleh dalam bentuk electronic file dalam bentuk entry data Riskesdas 2010. Data karakteristik subjek dan karakteristik sosial ekonomi dikumpulkan melalui wawancara. Data antropometri meliputi berat badan dan tinggi badan diperoleh dengan pengukuran langsung oleh enumerator Riskesdas. Data konsumsi pangan diperoleh dengan metode Recall 1x24 jam. Tabel 9 menyajikan jenis data yang digunakan serta cara pengumpulannya.

Tabel 9 Jenis dan cara pengumpulan data

Peubah Keterangan Cara pengumpulan data

Karakteristik subjek 1. Pendidikan orang tua

2. Pekerjaan orang tua Jumlah seluruh anggota rumah tangga :

251388 orang

Jumlah subjek awal : 23137 remaja usia 13-18 tahun

Cleaning awal pada data:

- Berat badan, dan tinggi badan responden yang tidak lengkap (missing): 79 subjek (0.3%)

- Kondisi fisiologis hamil: 135 subjek (0.6%)

- Kondisi konsumsi tidak biasa (sedang diet, puasa, dan acara hajatan/hari raya) : 309 subjek (1.3%)

Cleaning selanjutnya pada data:

- IMT/U (WHO Antro 2007), yaitu

≤-5.0 SD dan ≥+5.0 SD :11 subjek (0.1%)

- Asupan energi: <0.3 kali & >3 kali

energi basal: 403 subjek (1.7%)

- Tingkat kecukupan zat gizi >400% :

1017 subjek (4.4%)

Subjek akhir:

(38)

Tabel 9 Jenis dan cara pengumpulan data (lanjutan)

Peubah Keterangan Cara pengumpulan data

3. Pengeluaran

- Diukur dengan timbangan berat badan digital (kapasitas 150 kg dan ketelitian 50 g)

- Diukur dengan alat ukur tinggi badan multi fungsi (kapasitas ukur 2 m dan ketelitian 0.1)

Pengolahan dan analisis data yang diperoleh diolah dengan menggunakan program komputer Microsoft Office Excel dan SPSS. Proses pengolahan data meliputi editing dan cleaning. Proses cleaning data dilakukan untuk memastikan bahwa data yang digunakan logis dan sesuai dengan variabel yang ditentukan. Data yang dianalisis berupa karakteristik sosial ekonomi subjek, asupan dan kebutuhan zat gizi, tingkat kecukupan, nilai Mutu Gizi Pangan (MGP), dan nilai Indeks Gisi Seimbang (IGS) subjek. Hasil pengolahan data selanjutnya disajikan dalam bentuk tabel dan gambar. Hasil pengolahan data tersebut kemudian dianalisis secara statistik. Analisis statistik menggunakan uji beda-t (Independent samples t-test), uji korelasi Pearson, dan uji korelasi Rank Spearman. Uji beda-t (independent samples t-test) digunakan untuk uji beda kelompok pangan, konsumsi zat gizi, mutu gizi konsumsi pangan, dan nilai IGS berdasarkan kelompok usia dan jenis kelamin, serta nilai IGS terpilih berdasarkan perdesaan dan perkotaan. Uji korelasi Pearson digunakan untuk validasi antara IGS yang dikembangkan dengan MGP. Uji korelasi Rank Spearman digunakan untuk mengetahui hubungan antara karakteristik sosial ekonomi remaja dengan nilai IGS yang terpilih.

Karakteristik sosial ekonomi

(39)

tidak tamat SD/ MI atau tamat SD/MI; 2) tamat SMP/MTS; tamat SMA/MA atau tamat perguruan tinggi. Pekerjaan orang tua subjek (ayah/ibu) subjek dibedakan menjadi 6 kelompok, yaitu: 1) tidak kerja atau sekolah; 2) TNI/polri/PNS/pegawai; 3) wiraswasta atau layan jasa/profesi atau dagang; 4) petani atau nelayan; 5) buruh; dan 6) lainnya. Status ekonomi subjek telah dikategorikan menjadi 5 quintil yaitu terbawah (kuintil 1), menengah bawah (kuintil 2), menengah (kuintil 3), menengah atas (kuintil 4) dan teratas (kuintil 5). Wilayah tempat tinggal atau pemukiman subjek dibedakan menjadi dua kelompok yaitu perdesaan dan perkotaan.

Kebutuhan energi dan zat gizi makro

Pada penelitian ini, kebutuhan energi subjek dihitung dengan menggunakan oxford equation yang dikembangkan oleh Institiute of Medicine/IOM (Mahan dan Escoot-stump 2008). Kebutuhan energi dihitung berdasarkan usia, jenis kelamin, status gizi, faktor aktivitas, serta berat badan dan tinggi badan. Perhitungan kebutuhan energi subjek dengan status gizi normal menggunakan berat badan aktual, sedangkan subjek dengan status gizi gemuk perhitungan kebutuhan energinya menggunakan berat badan estimasi yang mengacu pada Total Energy Expenditure (TEE) atau Estimated Energy Requirement (EER) kemudian dikoreksi dengan Thermic Effect of Food (TEF). TEF atau efek termal pangan adalah pengeluran energi oleh tubuh yang berhubungan dengan konsumsi pangan, nilai TEF dihitung dari total pengeluaran energi yaitu sebesar 10% dari TEE.

Adapun faktor aktivitas fisik subjek ditentukan berdasarkan pekerjaan masing-masing disebabkan data Riskesdas 2010 yang dijadikan acuan tidak terdapat data tentang aktivitas fisik subjek. Subjek yang tidak bekerja tergolong kategori faktor aktivitas yang sangat ringan, sekolah tergolong kategori aktif, wiraswata/layan jasa/dagang tergolong kategori aktivitas ringan, petani/nelayan dan buruh tergolong kategori aktivitas sangat aktif, dan subjek yang memiliki pekerjaan selain dari yang telah disebutkan, tergolong kategori aktivitas ringan. Secara rinci rumus perhitungan kebutuhan energi subjek disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10 Perhitungan kebutuhan energi menurut usia dan jenis kelamin Rumus perhitungan kebutuhan energi Kebutuhan energi (Kal) EER Laki-laki 10-18 tahun dengan

status gizi normal

EER = TEE + energi cadangan EER = 88.5 – (61.9xU) + PA x

(26.7xBBA+ 903xTB)+ 25 kkal Keterangan:

PA = 1.0 (sangat ringan) PA = 1.13 (ringan) PA = 1.26 (aktif) PA = 1.42 (sangat aktif) Obese dan overweight

EER = 114 – (50.9xU) + PA x (19.5xBBE+ 1161.4xTB)+ 25 kkal

Keterangan:

(40)

Tabel 10 Perhitungan kebutuhan energi menurut usia dan jenis kelamin (lanjutan)

Rumus perhitungan kebutuhan energi Kebutuhan energi (Kal) PA = 1.0 (sangat ringan)

PA = 1.12 (ringan) PA = 1.24 (aktif) PA = 1.45 (sangat aktif)

EER Laki-laki 10-18 tahun dengan status gizi normal

EER = TEE + energi cadangan EER = 88.5 – (61.9xU) + PA x

(26.7xBBA+ 903xTB)+ 25 kkal Keterangan:

PA = 1.0 (sangat ringan) PA = 1.13 (ringan) PA = 1.26 (aktif) PA = 1.42 (sangat aktif) Obese dan overweight

EER = 114 – (50.9xU) + PA x (19.5xBBE+ 1161.4xTB)+ 25 kkal

Keterangan:

PA = 1.0 (sangat ringan) PA = 1.12 (ringan) PA = 1.24 (aktif) PA = 1.45 (sangat aktif)

\ EER + 10% TEE

Keterangan:

PA = 1.0 (sangat ringan) PA = 1.16 (ringan) PA = 1.31 (aktif) PA = 1.56 (sangat aktif) Obese dan overweight

EER = 389 – (41.2xU) + PA x (15xBBE+ 701.6xTB)+ 25 kkal

Keterangan:

PA = 1.0 (sangat ringan) PA = 1.18 (ringan) PA = 1.35 (aktif) PA = 1.60 (sangat aktif)

Sumber: Mahan dan Escoot-stump (2008) Keterangan:

U = umur (tahun), BBA = berat badan aktual (Kg), BBE = berat badan estimasi, TB = tinggi badan (m)

EER = estimasi kebutuhan energi (Kal) TEE = total pengeluaran energi (Kal) PA = koefisien aktivitas fisik

(41)

(Hardinsyah et al. 2012). Berikut ini adalah rumus untuk menghitung kebutuhan protein subjek:

Keterangan:

AKP = Angka kecukupan protein (g/kgBB aktual /hari) Faktor koreksi mutu protein = Disesuaikan berdasarkan kategori umur yaitu 1.5

Tabel 11 Perhitungan kebutuhan protein remaja berdasarkan usia dan jenis kelamin

Kelompok usia Jenis kelamin

Laki-laki Perempuan

13-15 tahun 1.00 g/kg BB/hr x 1.5 1.00 g/kg BB/hr x 1.5 16-18 tahun 0.90 g/kg BB/hr x 1.5 0.90 g/kg BB/hr x 1.5 Sumber : Hardinsyah et al. (2012)

Untuk kebutuhan zat gizi makro seperti kebutuhan lemak subjek, dihitung berdasarkan anjuran dari FAO/WHO (2008) kebutuhan lemak untuk usia remaja sebaiknya tidak melebihi 30% dari total energi sehari (Hardinsyah et al. 2012). Setelah mengetahui total energi yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan protein dan lemak, maka dapat dihitung kebutuhan karbohidrat yaitu selisih antara kebutuhan energi dengan kebutuhan protein dan lemak. Berikut ini adalah rumus untuk menghitung kebutuhan karbohidrat subjek dalam sehari:

Untuk menghitung kebutuhan zat gizi makro seperti kebutuhan air, didasarkan pada perhitungan kebutuhan air subjek sesuai persamaan Darrow. Persamaan tersebut menilai kebutuhan air menurut berat badan subjek. Kebutuhan air subjek disajikan pada Tabel 12 berikut ini.

Tabel 12 Kebutuhan air subjek menurut berat badan

Berat badan (kg) Kebutuhan Air (ml)

< 10 100 /kg BB

10-20 1000 + (50/kg BB untuk setiap kenaikan BB >10) >20 1500 + (20/kg BB untuk setiap kenaikan BB >20) Sumber : Astuti et al. (2012)

Kebutuhan zat gizi mikro

Kebutuhan zat gizi mikro subjek penelitian seperti kebutuhan vitamin dan mineral dihitung sesuai dengan kelompok umur dan jenis kelamin subjek. Zat gizi mikro yang diperhitungkan antara lain vitamin A, vitamin B1, vitamin B9, vitamin B12, vitamin C, kalsium, fosfor, besi, zink, dan natrium. Kebutuhan vitamin merujuk pada hasil perhitungan Sulaeman et al. (2012), sementara mineral merujuk pada hasil perhitungan Soekatri dan Kartono (2012). Kebutuhan vitamin dan mineral didasarkan pada Angka Kecukupan Gizi (AKG) menurut WNPG 2012 (Tabel 13).

Kebutuhan protein = AKP x faktor koreksi mutu protein

Gambar

Tabel 5 Komponen Aust-HEI dan skor masing-masing komponen (lanjutan)
Tabel 6 Komponen dan penilaian dalam THEI
Tabel 8 Komponen dan kriteria penilaian IGS empat tingkat (IGS4) wanita
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian pengembangan Indeks Gizi Seimbang remaja
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai konsumsi pangan, mutu gizi konsumsi pangan dan skor pola pangan harapan (PPH) pada anak usia 2 - 6 tahun di Indonesia.. Hasil

tentang gizi seimbang adalah sedang dengan pola konsumsi yang tidak beragam. Citra tubuh (body image) menurut Dieny (2014) adalah persepsi seseorang

Penelitian yang dilakukan oleh Arimond dan Ruel mengenai keragaman konsumsi pangan pada status gizi anak pun menyatakan bahwa konsumsi pangan seperti keragaman

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk me- nilai konsumsi pangan, mutu gizi konsumsi pangan dan skor pola pangan harapan (PPH) pada anak usia 2—6 tahun di

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai konsumsi pangan, mutu gizi konsumsi pangan dan skor pola pangan harapan (PPH) pada anak usia 2 - 6 tahun di Indonesia.. Hasil

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk me - nilai konsumsi pangan, mutu gizi konsumsi pangan dan skor pola pangan harapan (PPH) pada anak usia 2—6 tahun di

Konsumsi pangan yang dikonsumsi rumah tangga harus mampu menyediakan energi dan zat gizi dalam jumlah yang cukup, bermutu baik, beragam, bergizi dan seimbang sesuai dengan sasaran

Penelitian ini bertujuan untuk menilai konsumsi pangan, asupan gizi, mutu gizi konsumsi pangan (MGP), skor pola pangan harapan (PPH), dan korelasi antara skor PPH dan