Modal Sosial dan Lembaga Legislatif di Indonesia
(Teori
Social Capital
, Robert Putnam)
Muryanto Amin
BAHAN BACAAN
BIROKRASI DAN POLITIK DI INDONESIA
DEPARTEMEN ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Latar Belakang Masalah
Selama terjadi proses peralihan dari kekuasaan otoriter ke pemerintahan sipil yang
demokratis, politisi dan aktivis reformasi di Indonesia berpaling kepada teori-teori
demokrasi sebagai cara untuk mendefinisikan dan mengimplementasikan
perubahan-perubahan yang diinginkan. Peranan legislatif dianggap amat penting karena pengalaman
di masa lalu kekuasaan terpusat pada eksekutif. Namun satu unsur dari pemahaman terbaru
mengenai teori demokrasi adalah pentingnya modal sosial, yaitu sekumpulan nilai, jaringan
struktur kekuasaan, dan kondisi pembatas, yang mempersatukan orang dalam sebuah
komunitas dan mempromosikan kerjasama dan kegiatan yang bertanggungjawab sosial,
sebagai dasar demokrasi.
Karya Robert Putnam1
Warisan puluhan tahun kekuasaan otoriter, dampak negatif dari krisis
perekonomian Asia, konflik komunal, dan separatisme yang menghinggapi beberapa
provinsi adalah tantangan-tantangan besar yang dihadapi pemerintah Indonesia.
Tantangan-tantangan inilah yang menyebabkan negara lemah, dengan tiadanya nilai-nilai
dan kelembagaan yang dibutuhkan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan.
dan lain-lain menekankan pentingnya modal sosial untuk
berfungsinya demokrasi. Namun sayangnya, justru hal itulah yang telah rusak berat dalam
40 tahun terakhir. Indonesia memiliki modal sosial negatif yang melimpah, seperti korupsi
dan separatisme regional. Sedangkan modal sosial positif, seperti nilai-nilai bagi
penyelesaian konflik secara damai dan jaringan kerjasama di antara lembaga-lembaga
kemasyarakatan, amatlah terbatas.
Unsur utama demi keberhasilan konsolidasi demokrasi di Indonesia dan
kemampuan untuk menyelesaikan berbagai tantangan lainnya adalah modal sosial. Ini
mencakup nilai-nilai untuk partisipasi sosial dan keterlibatan warga, jaringan untuk
membangun kepercayaan, penyelesaian konflik, penggalangan koalisi; struktur kekuasaan
yang dipercaya dan diandalkan oleh masyarakat; dan kondisi pembatas fungsional yang
memungkinkan penyelesaian masalah secara inklusif dan penggalangan koalisi. Dalam
1
ketidakmenentuan transisi, pengembangan modal sosial secara sadar dapat mendukung
perubahan yang teratur dan diterima semua pihak. Argumentasinya adalah modal sosial
positif harus dibangkitkan pada semua tingkatan pemerintahan dan di dalam lembaga
individual (seperti, lembaga legislatif Indonesia) untuk memastikan transisi Indonesia
menjauhi kekuasaan otoriter dan diarahkan menuju konsolidasi demokrasi, serta reformasi
di semua bidang dapat dimulai dan dipertahankan. Lebih lanjut, modal sosial dalam bentuk
kepercayaan, dapat merupakan barang publik yang memungkinkan para pemimpin
mengarahkan negara dengan mengerahkan rakyat, dalam menghadapi dan menyelesaikan
berbagai masalah yang ada.
Membangun modal sosial positif, dalam lingkungan politik Indonesia yang sangat
personalistik, membutuhkan kepemimpinan dari eksekutif, legislatif, militer dan
masyarakat sipil. Dalam konteks transisi di Indonesia, tantangannya beragam yaitu
memperbaiki perekonomian, menghadapi separatisme daerah, dan membangun sebuah
sistem politik yang berusaha mengatasi warisan dari 40 tahun pemerintahan otoriter.
Kebutuhan modal sosial pada tingkat nasional di Indonesia, harus dilihat baik
bentuk positif maupun negatif. Demikian pula, lembaga-lembaga legislatif nasional
Indonesia, MPR, DPD dan DPR, bekerja sebagai layaknya komunitas yang dibentuk untuk
mencapai suatu tujuan. Sebagai komunitas-komunitas di dalam elite politik nasional,
lembaga-lembaga legislatif mencerminkan beraneka ragam contoh, baik positif maupun
negatif, dari seperangkat modal sosial yang diteliti di tingkat nasional.
Selain mencerminkan modal sosial yang ada di tingkat nasional, lembaga-lembaga
legislatif dengan sejarah, budaya dan komposisi tertentu, mempunyai beberapa ciri yang
membuat mereka unik. Atas dasar itu penting diciptakan modal sosial di tingkat nasional.
Juga amat diperlukan untuk menciptakannya di tingkat lembaga-lembaga individual. Agar
legislatif dapat menangani reformasi yang luas dan – yang tak kalah pentingnya –
mempertahankan reformasi tersebut, mereka harus membantu pertumbuhan modal sosial
dalam lembaga masing-masing dan antara mereka dengan rakyat.
Diantara kegunaannya adalah untuk menghindari persepsi statis atau mandeg dan
inefisien, yang melekat pada lembaga legislatif misalnya yang pernah terjadi pada tahun
1950-an, agar konsolidasi demokrasi saat ini bisa berhasil. Lebih-lebih lagi, waktu untuk
mengancam reputasi, baik lembaga-lembaga legislatif maupun eksekutif, dari rezim
demokratis yang baru didirikan.
Karena berada pada tingkat nasional, lembaga-lembaga legislatif mau tak mau
harus bekerja pada era reformasi yang tiap saat petanya dapat berubah. Dalam banyak
peristiwa, bekerja dengan para pemain yang sama kuat dalam proses politik, para anggota
legislatif haruslah belajar saling mempercayai, karena banyak di antara mereka
bertentangan di masa lalu, dan terus menjadi saingan di masa kini. Iklim politik yang tidak
pasti dengan adanya usaha-usaha untuk memberhentikan presiden (baik itu benar atau
salah), tampaknya lebih membuang-buang waktu daripada menjalankan fungsi-fungsi
legislatif itu sendiri.
Karena nilai-nilai sementara ini masih sedang dibangun, terjadilah situasi tanpa
hukum selagi para partai sedang meraba-raba dalam lingkungan mereka yang baru. Dalam
legislatif, ini berarti mereka masih mencoba-coba cara alternatif dalam pengambilan
keputusan, belajar bernegosiasi dengan pihak lain, dan mencari tahu apakah
persetujuan-persetujuan yang dibuat akan ditaati.
Money politics, jual-beli suara, yang dilakukan secara terus-menerus memusingkan
kepala para reformis Indonesia. Apakah ini sudah terjadi dalam skala yang luas pada
tingkat nasional sejak 1999? Belum dapat dibuktikan. Namun gejala korupsi dengan
kasus-kasus yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dilakukan oleh sebagian
anggota legislatf, telah diketahui secara luas oleh publik.
Dalam parlemen, seperti dalam negara secara keseluruhan, kepemimpinan dan
jaringan cenderung pada pribadi. Budaya tokoh, atau orang besar, masih sangat penting
dalam politik Indonesia. Jaringan-jaringan pribadi ini pada masa lalu seringkali digunakan
untuk maksud-maksud korup (pribadi maupun untuk partai). Ini adalah alasan penting
dalam hal turunnya rasa hormat terhadap parlemen di tahun 1950-an, dan harus diatasi
demi konsolidasi demokrasi saat ini.
Musyawarah untuk mufakat seharusnya merupakan cara yang dipilih dalam
pengambilan keputusan dalam parlemen Indonesia, di mana pemungutan suara hanya
dilakukan apabila konsensus tidak dapat dicapai. Keuntungan musyawarah untuk mufakat
ialah ia amat menganjurkan, untuk memperhatikan aspirasi partai terkecil sekalipun.
Namun musyawarah untuk mufakat seringkali dimanipulasi, sebab konsensus sudah
Sukarno dan Suharto). Kecenderungan pengambilan keputusan yang dikontrol elit
diperburuk oleh partai politik kuat, yang mempunyai kemampuan me-recall wakil rakyat
yang tidak mengikuti garis partai.
Lebih jauh, pegawai di parlemen amat kurang jumlahnya untuk mendukung
profesionalisme badan tersebut. Staf parlemen juga tidak di bawah pengawasan langsung
parlemen – pengawasan dibagi bersama Departemen Dalam Negeri – padahal supervisi
parlemen atas stafnya sendiri mutlak diperlukan untuk otonomi parlemen. Parlemen hanya
sedikit mengalami pergantian staf secara sistematis sejak zaman Orde Baru. Banyak contoh
yang menggambarkan, para pegawai parlemen masih bertindak sesuai dengan paradigma
tertutup untuk umum, yang dominan pada zaman Orde Baru.
Seperti ditekankan pada tingkat nasional, informasi penting mengalir melalui jalur
tertutup yang seringkali bersifat pribadi, ini menghambat beberapa prinsip paling utama
dalam demokrasi. Pertama, demokrasi menghendaki agar informasi terbuka bagi publik;
hal ini menumbuhkan akuntabilitas wakil rakyat kepada pemilihnya. Kedua, dalam
demokrasi partisipatif sebagai lawan dari demokrasi elit, rakyat harus memiliki informasi
untuk berpartisipasi dengan para pemimpin pollitik dalam menetapkan agenda, perumusan
kebijakan, dan implementasi. Kurangnya atau tidak adanya informasi menghalangi
keterlibatan publik yang aktif dan mengetahui permasalahan. Pengambilan keputusan
sekitar amandemen Undang-Undang Dasar 1945 adalah sebuah contoh. Prosesnya relatif
tertutup, walaupun pentingnya perubahan mendasar ini untuk berfungsinya demokrasi
Indonesia di masa mendatang.
Memahami sisi positif maupun negatif dalam kecenderungan tersebut, dapat dilihat
bahwa gaya akomodasi elit dapat mencegah aspirasi populer meledak terhadap
masalah-masalah konstitusional yang sensitif, seperti peranan Islam dalam negara. Meskipun
demikian, dalam jangka panjang, skenario yang paling baik dari proses pengambilan
keputusan tertutup adalah demokrasi elit, yang merupakan kasus terbaik. Ada beberapa
kemungkinan terburuk yang dapat terjadi sebagai hasil dari proses ini.
Kepercayaan pada parlemen relatif tinggi. Ini merupakan salah satu dasar untuk
perubahan demokratis. Namun dalam sistem Indonesia, sulit bagi parlemen dalam
perubahan. Pemerintah Indonesia, walaupun dengan perubahan-perubahan konstitusional
sejak jatuhnya Suharto, secara eksekutif gembira.2
Kondisi batas yang memisahkan parlemen dari bangsa cukup ketat. Pada saat
parlemen sering menjadi sasaran protes mahasiswa dan petisi dari berbagai organisasi
masyarakat sipil, budaya menganggap diri penting – yang menghinggapi para wakil rakyat
–telah menarik garis batas antara yang dipilih dan yang memilih. Sebagai contoh, para
wakil rakyat terkenal amat sulit dihubungi. Ini secara langsung berakibat pada kesulitan
warganegara untuk didengar oleh para wakilnya.
Oleh karena itu, dibutuhkan cara-cara yang baik untuk menyediakan
saluran-saluran informasi di dalam sebuah komunitas seperti modal sosial. Media itu berfungsi
sebagai jaringan penting bagi pertukaran ide, komunikasi perasaan dan aspirasi di antara
sesama. Dengan menyediakan hubungan yang lebih dekat dan aliran informasi yang lebih
lancar, modal sosial membantu mengurangi risiko ketidakpastian dalam transaksi yang
bersifat pribadi dan organisasional.
Modal sosial juga dimanifestasikan dalam struktur otoritas. Legitimasi hubungan
kekuasaan dan struktur otoritas penting untuk memelihara ketertiban dan stabilitas dalam
masyarakat. Banyak komunitas dan organisasi yang memiliki sistem modern dalam
memberikan penghargaan dan sanksi terhadap para anggotanya. Ini dijalankan dalam
rangka untuk mengatur dan mengawasi kegiatan-kegiatan para anggota, dan biasanya ini
didukung oleh kekuasaan dan sumberdaya resmi.
Tidaklah cukup hanya mengadakan pemilihan umum yang bebas dan jujur, dengan
harapan lembaga-lembaga demokrasi akan bekerja tanpa cacat. Lembaga-lembaga diisi dan
dijalankan oleh manusia, dan di sinilah modal sosial dapat berlaku sebagai penggerak,
pelumas untuk roda perubahan yang berderit. Apabila demokrasi sebagai bentuk baru dari
pemerintahan dan cara hidup di Indonesia tidak diikuti oleh pembentukan modal sosial
positif, sekedar parlementarisme saja dan formalitas-formalitas partisipasi politik tidak
akan mempertahankannya. Permasalahan yang diajukan dalam tulisan ini memperlihatkan
adanya kelemahan dari sumberdaya modal sosial di Indonesia. Proses transisi demokratis
membutuhkan para pemimpin dan warganegara Indonesia, untuk memikirkan kembali
jaringan-jaringan, nilai-nilai, kepercayaan, dan pranata yang dibutuhkan. Seperangkat
2
dimensi dalam modal sosial itu penting untuk memastikan bahwa demokrasi dapat bekerja
dengan baik. Tulisan ini juga merupakan usaha awal untuk memahami modal sosial dalam
konteks Indonesia.
Modal Sosial dalam Perspektif Teoritik
Modal sosial adalah seperangkat nilai, jaringan, struktur kekuasaan dan kondisi
pembatas yang mempersatukan orang dalam sebuah komunitas. Ia dimanifestasikan dalam
ikatan-ikatan yang membangkitkan kepercayaan dan sebagai rasa memiliki dan kemauan
baik, yang membuat orang mau bertanggungjawab secara kolektif dan sepakat untuk
melakukan kegiatan tanggung jawab sosial. Modal sosial berkembang dari jaringan
manusia yang saling bertemu dan berkomunikasi, dan dalam proses tersebut mereka
membentuk dan mengubah hubungan-hubungan. Ia terkandung dalam faktor sosiabilitas
antara para aktor dalam sebuah setting atau lingkungan sosial. Sebagai sumber, ia
memfasilitasi hubungan-hubungan dan pertukaran, mengkoordinasi harapan-harapan, dan
memelihara ketertiban dalam masyarakat.
Modal sosial ini pertama dikembangkan oleh Pierre Bordieu, seorang sosiolog
Prancis, dan James Coleman, seorang sosiolog Jerman. Coleman mendefenisikan modal
sosial sebagai aspek-aspek dari struktur hubungan antara individu yang memungkinkan
mereka menciptakan nilai-nilai baru.3
Dalam pengertian yang baru, dan yang digunakan dalam tulisan ini, ilmuwan
politik Robert Putnam mendefinisikan modal sosial sebagai jaringan-jaringan, nilai-nilai,
dan kepercayaan yang timbul di antara para anggota perkumpulan, yang memfasilitasi
koordinasi dan kerjasama untuk manfaat bersama.
Coleman lebih lanjut mengembangkan teori modal
sosial dengan meneliti bentuk turunannya, kewajiban dan harapan, nilai-nilai, sanksi,
saluran informasi, dan hubungan kekuasaan. Dalam tulisannya ini, ia menjadi ilmuwan
pertama yang berteori tentang mekanisme penciptaan, pemeliharaan dan penghancuran
modal sosial.
4
3
James Coleman. 1990. The Foundations of Social Theory Cambridge: Harvard University Press, terutama Bab 12 mengenai “Social Capital,” hal. 301.
Dalam kerangka Putnam, modal sosial
tumbuh ketika para individu belajar mempercayai satu sama lain, membuat kesepakatan
yang dapat diandalkan, dan terlibat dalam usaha bersama.
4
Dalam penelitiannya yang terkenal mengenai pemerintahan regional di Italia,
(Making Democracy Work), ia mendapatkan bahwa lembaga-lembaga administratif serupa
yang didirikan dalam konteks sosial, ekonomi, politik dan budaya yang berbeda
menghasilkan kinerja pemerintahan yang berbeda pula. Beberapa di antara pemerintahan
tersebut inefisien, lamban, dan korup, sedangkan yang lainnya efektif, inovatif, dan dapat
dipertangungjawabkan. Putnam menyimpulkan, kunci atas perbedaan kinerja publik ini
adalah perbedaaan sumber modal sosial daerah-daerah tersebut dan norma keterlibatan
warga negara yang kuat.5
Sumbangan penting karya Putnam adalah ide bahwa modal sosial dapat berwujud
positif maupun negatif. Dalam bentuknya yang negatif, modal sosial memanifestasikan diri
pada kelompok-kelompok eksklusif dan praktek-praktek diskiriminasi dalam
organisasi-organisasi dengan kesetiaan in-group dan antipati out-group yang kuat. Nilai-nilai yang
kuat dalam jaringan pribadi biasanya didukung oleh sanksi sosial informal dan tekanan
sejawat (peer pressure). Mereka dapat pula menyebabkan ketergantungan, pengecualian
dan pilih kasih, dan dapat mengurangi kreativitas dan inovasi. Bentuk-bentuk kontrol
sosial semacam ini pada umumnya membatasi otonomi individual.
Wacana ilmiah dan penelitian terakhir tentang modal sosial telah memperluas
definisinya sehingga mencakup saluran informasi, struktur kekuasaan, dan kondisi batas.6
5
Ibid., hal. 163-185.
Sementara konsep ini masih menjadi bahan perdebatan akademis, beberapa peneliti mulai
menggunakan modal sosial sebagai sesuatu yang tertanam dalam struktur sosial, yang
memberikan rasa kesadaran kolektif pada suatu kelompok. Dalam hal ini, saluran-saluran
komunikasi, struktur kekuasaan, dan kondisi batas adalah kosep-konsep yang melandasi
ketergantungan konteks modal sosial. Mereka menggunakannya sebagai sumber-sumber
sosial yang berfungsi sebagai perekat kohesi sosial dan kesepakatan, serta sebagai pelumas
dari keterlibatan politik dan perserikatan-perserikatan komersial. Modal sosial ada di
6
dalam struktur hubungan-hubungan manusia, dan karena itu mempunyai pengakaran sosial
dan budaya.
Modal sosial meliputi saluran-saluran informasi di dalam sebuah komunitas. Hal ini
berfungsi sebagai jaringan penting bagi pertukaran ide dan teknologi, komunikasi perasaan
dan aspirasi di antara sesama. Dengan menyediakan hubungan yang lebih dekat dan aliran
informasi yang lebih lancar, modal sosial membantu mengurangi risiko ketidakpastian
dalam transaksi yang bersifat pribadi dan organisasional.
Modal sosial juga dimanifestasikan dalam struktur otoritas. Legitimasi hubungan
kekuasaan dan struktur otoritas penting untuk memelihara ketertiban dan stabilitas dalam
masyarakat. Banyak komunitas dan organisasi yang memiliki sistem modern dalam
memberikan penghargaan dan sanksi terhadap para anggotanya. Ini dijalankan dalam
rangka untuk, mengatur dan mengawasi kegiatan-kegiatan para anggota, dan biasanya ini
didukung oleh kekuasaan dan sumberdaya resmi.
Dengan menerapkan dan melaksanakan kebijakan penghargaan dan sanksi, struktur
otoritas dapat menjaga agar tindakan para anggota sesuai dengan tujuan, nilai-nilai dan
kepentingan kelompok. Masyarakat dan organisasi juga berfungsi lebih efisien ketika
mereka telah mendirikan struktur atau proses yang efektif untuk melaksanakan kontrak,
mengukur kinerja, menghitung nilai, dan menengahi konflik. Jadi, kebanyakan kelompok
menciptakan hierarki wewenang dan struktur otoritas yang dapat membantu disiplin dan
pengawasan.
Unsur terakhir dari modal sosial adalah kondisi batas. Tapal batas, pada suatu
kelompok, memperjelas tempat di mana mereka dapat mengekspresikan loyalitas dan
kesepakatan. Bentuknya dapat berupa fisik, dilaksanakan dalam batas-batas isolasi
geografis, atau batas-batas kultural dan sosial dalam bentuk simbol-simbol dan
praktek-praktek yang membedakannya dari yang lain. Negara dan bangsa mempunyai visi,
ideologi, ritual dan institusi yang digunakan bersama oleh para anggota, yang membedakan
mereka dari negara dan bangsa lain.
Bagi anggota perseorangan, struktur-struktur batas mendefinisikan siapa yang
termasuk dan tidak dalam kelompok, dan dengan demikian secara tidak langsung
membatasi akses pada keistimewaan dan sumberdaya yang diperoleh dengan keanggotaan.
Kondisi batas ini mengatur interaksi dan informasi dengan lingkungan eksternal maupun
keanggotaan, praktek-praktek luar biasa, dan pemberlakuan kebiasaan dan simbol yang
mendefinisikan peserta orang dalam dan memisahkannya dari orang luar.
Untuk menggerakkan masyarakat atau bangsa dalam menyelesaikan konflik dan
masalah yang mereka hadapi, para pemimpin harus membantu para anggota untuk
mempertegas visi dan tujuan mereka, menentukan prioritas dan waktu, mengakses pilihan
dan alternatif dan menuntaskan nilai-nilai yang bersaing dan bertindak. Terutama bagi
bangsa yang sedang menjalani transisi demokratis, kerja keras dalam mengelola perubahan
dan menyelesaikan masalah-masalah sulit harus dilakukan, dan ini termasuk menilai semua
kepentingan yang berbeda-beda, membangun konsensus, dan memobilisasi rakyat agar
belajar dan beradaptasi dengan cara-cara baru dalam melakukan sesuatu.
Adaptasi semacam itu membutuhkan perubahan nilai, keyakinan, dan perilaku. Di
sinilah modal sosial berfungsi sebagai penggerak dan fasilitator perubahan. Transisi ini
dibangun atas bangsa dan institusi yang bekerjasama menciptakan nilai-nilai baru, untuk
partisipasi politik berdasarkan transparansi, akuntabilitas, dan inklusifitas. Modal sosial
juga diasumsikan terdapat pada kemampuan beragam kelompok dalam bangsa Indonesia,
untuk menyelesaikan penderitaan masa lalu dan perbedaan yang ada, dalam rangka untuk
menciptakan koalisi bagi kepentingan bersama.
Tanpa pemimpin yang berorientasi pada perubahan, rakyat cenderung beralih pada
strategi negatif untuk melindungi atau memperjuangkan kepentingannya, seperti
penggunaan propaganda, disinformasi, penekanan, bahkan teror. Dalam peristiwa ini,
bukannya menerima dan menganut perubahan yang diingini dan diperlukan, rakyat akan
tergoda untuk bertahan dengan asumsi-asumsi dan cara-cara lama, menciptakan peralihan
perhatian, berkelit, dan mencari kambing hitam, menipu diri sendiri, dan berbagai cara
menghindari perubahan.
Bank Dunia telah mendirikan sebuah Social Capital Initiative7
7
Lihat perpustakaan web World Bank yang mengesankan dan pesat mengenai modal sosial di
untuk
menyebar-luaskan konsep dan meningkatkan minat penelitian mengenai modal sosial, sebagai
sumberdaya penting untuk pemberantasan kemiskinan, pembangunan manusia dan
ekonomi. Modal sosial semakin dipandang sebagai fasilitator perubahan dan unsur mutlak
dari keamanan dan stabilitas. Modal sosial merupakan salah satu kunci penting ke
penyelesaian beberapa masalah persistensi dalam pemerintahan, dan juga dalam
pembangunan ekonomi dan sosial.
Modal sosial negatif dapat juga menimbulkan akibat yang besar bagi transisi
demokrasi. Bentuknya ada tiga yaitu eksklusivitas, korupsi, dan penindasan. Norma
eksklusivitas kondisi batas – berdasarkan bangsa, jenis kelamin, umur, kasta, etnis, kelas
atau pendapatan – dapat mengasingkan, merampas, atau menyingkirkan kelompok yang
tidak termasuk persyaratan di atas. Pihak yang bertindak eksklusif membuang kesempatan
untuk bekerjasama, membangun koalisi, dan persekutuan yang merupakan kunci dari
politik pluralistik.
Korupsi dan berbagai bentuk perlindungan – kronisme, nepotisme, penyalahgunaan
wewenang – dapat timbul dari modal sosial yang berorientasi pada dukungan dan
kepentingan kelompok tertentu. Jaringan pelindung, klien yang berdasarkan eksploitasi
koneksi yang memanfaatkan struktur otorita dan sumberdaya publik, dapat melunturkan
kepercayaan pada efektivitas dan ketidakberpihakan lembaga-lembaga publik. Ini akan
mengakibatkan hilangnya legitimasi, keadilan sosial dan rasa memiliki publik, yakni
hal-hal yang penting bagi pembangunan budaya demokratis. Akhirnya, penindasan adalah
manifestasi lain dari modal sosial negatif yang bertentangan dengan demokrasi.
Bentuk-bentuk kontrol sosial, ketaatan berlebihan dan groupthink dari kohesi sosial yang amat
kuat, menghalangi orang untuk melakukan pilihan independen, untuk berpartisipasi dalam
kehidupan komunitas, dan membangun masa depan yang mereka inginkan.
Skema Penggunaan Teori Modal Sosial (Putnam)
Meskipun kajian sebagaimana yang ditulis oleh Putnam (Making Democracy Work)
belum dilakukan di Indonesia, tapi belajar dari pengalaman negara lain dalam transisi
mereka dari pemerintahan otoriter, kemudian jajak pendapat publik di Indonesia,8
8
Jajak pendapat publik di negara yang keluar dari periode kekuasaan otoriter bermasalah pada berbagai lapisan. Apakah petugas jajak pendapat mempunyai pengalaman yang cukup? Apakah responden akan menjawab dengan jujur, atau terbiasa dengan cara lama, berusaha untuk memberikan "jawaban yang benar?" Apakah survai benar -benar nasional atau hanya mencerminkan pendapat dari mereka yang memiliki telefon di kota besar (sebuah kelompok yang berbeda jauh dari kebanyakan penduduk)? Studi ini akan bergantung pada beberapa jajak pendapat tingkat nasional yang secara metodologis kuat yang dilaksanakan oleh International Foundation for Election Systems (IFES), The Clearing House - Pendidikan Pemberi Suara, dan Polling Center; jajak pendapat-jajak pendapat ini sangat konsisten dalam temuan-temuan yang seringkali mengejutkan. Menyadari bahwa jajak pendapat mempunyai kelemahan namun, dengan tidak adanya sarana lain dalam memperkirakan persepsi publik, studi ini akan mengambil sumber jajak pendapat sebagai salah satu indikator modal sosial.
dan
membaca dengan teliti perkembangan politik Indonesia mutakhir, maka dapat dibuat
sosial yang sama dapat menghasilkan akibat yang berbeda dari satu negara ke negara yang
lain.
Modal sosial ini mengacu pada organisasi sosial dengan jaringan sosial,
norma-norma dan kepercayaan sosial yang dapat menjembatani terciptanya kerja sama dalam
komunitas masyarakat sehingga tercipta suatu kerja sama yang saling menguntungkan.
Norma-norma dan jaringan sosial yang disepakati bersama telah meningkatkan kualitas
kehidupan masyarakat dan kualitas kinerja dari lembaga-lembaga sosial. Hubungan sosial
yang tercipta tersebut menghasilkan mutu sekolah yang semakin baik, pembangunan
ekonomi yang pesat, menurunnya tingkat kejahatan, dan bahkan berpengaruh positip
terhadap kinerja pemerintahannya sendiri sebagai representasi dari komunitas
masyarakatnya. Berdasarkan itu, hipotesis yang diajukan adalah bahwa modal sosial
berkorelasi positip atau sebagai syarat untuk kehidupan demokrasi yang efektif. Hipotesis
itu kemudian akan dilihat dari data-data kuantitatif dan kualitatif yang ditemukan di
lembaga legislatif di Indonesia.
Berdasarkan teori dan hipotesa tersebut, ada tiga dimensi dalam modal sosial,
dimana dimensi ini terdiri dari beberapa indikator sebagai berikut:
1. Kepercayaan dengan indikator kejujuran, kewajaran, sikap egaliter, toleransi dan
kemurahan hati.
2. Jaringan sosial dengan indikator partisipasi, pertukaran timbal balik, solidaritas, kerja
sama, dan keadilan.
3. Pranata atau nilai-nilai sosial dengan indikator nilai bersama, norma-norma dan sanksi
serta aturan-aturan.
Tabel 1. Dimensi, Indikator dan Item Pertanyaan tentang Modal Sosial, dari teori Robert Putnam
No. Dimensi Indikator Item Pertanyaan Penelitian
1. Kepercayaan/Saling Percaya Kejujuran Kewajaran Sikap Egaliter Toleransi Kemurahan Hati
a. Transparansi dalam pengelolaan b. Keterbukaan antar sesama anggota
legislatif
c. Kepercayaan dari anggota d. Tanggung jawab
e. Kesadaran akan hak dan kewajiban f. Kesadaran anggota legislatif akan
peran dlm masyarakat
g. Saling terbuka di antara anggota demi kebaikan
terbuka
j. Penerimaan dan sikap terbuka thdp kel. lain
k. Saling menghormati
l. Kontribusi anggota thdp kepentingan seluruh warga
m. Kepatuhan anggota thd peraturan dan nilai sosbud
n. Kelonggaran bagi warga yang lemah o. Keringanan untuk memaafkan p. Pengorbanan dan kontribusi para
pengurus/tokoh pembangunan q. Pengorbanan anggota dalam rangka
pembangunan
r. Loyalitas anggota legislatif dan warga dalam melaksanakan pembangunan
2. Jaringan Sosial Partisipasi
Pertukaran Timbal-balik
Solidaritas Kerjasama Keadilan
a. Keikutsertaan seluruh anggota dalam penerapan nilai-nilai sosbud b. Partisipasi anggota setempat c. Partisipasi anggota yang ada di
perantauan
d. Saling tolong-menolong
e. Kepanitiaan kegiatan diisi oleh orang tua dan muda (regenerasi).
f. Anggota membantu kepentingan umum secara suka rela
g. Ikatan kekerabatan yang kuat sebagai pemersatu
h. Rasa memiliki anggota terhadap seluruh pasilitas umum
i. Dukungan semua anggota terhadap pembangunan
j. Kesukarelaan anggota dalam membantu
k. Semangat anggota dalam
menegakkan nilai-nilai kebenaran l. Kerjasama antar anggota
m. Kerjasama anggota legislative dengan warga
n. Musyawarah anggota dalam memutuskan sesuatu
o. Kebebasan bagi semua anggota legislatif untuk membentuk dan memasuki lembaga tertentu.
p. Akses masyarakat dalam memberikan kritik dan saran terhadap anggota
3. Pranata Nilai-nilai bersama,
Norma-norma, dan Sanksi-sanksi Aturan-aturan
a. Arti penting gotong-royong bagi seluruh anggota
b. Keyakinan bahwa menolong sesama merupakan perbuatan baik
c. Kesadaran akan arti penting
pendidikan bagi generasi selanjutnya d. Pentingnya sebuah institusi/lembaga
pendidikan untuk kemajuan
f. Sanksi sosial dan sanksi organisasi bagi anggota dan pengurus/tokoh menyeleweng dari nilai-nilai sosial budaya
g. Menolong sesama warga dan umat manusia adalah kewajiban bagi setiap manusia
h. Aturan-aturan dalam masyarakat tentang hidup bermasyarakat yang bersifat tradisional
i. Aturan-aturan formal dari pemerintah j. Pertanggung jawaban warga dalam
Skema 1. Dimensi, Indikator dan Item Pertanyaan tentang Modal Sosial,
Modal Sosial berkorelasi positip atau sebagai syarat dalam kehidupan demokrasi
yang efektif.
Jaringan Sosial Pranata
Kejujuran
Data Kualitatif dan Kuantitatif yang mendukung pembentukan
modal sosial
•Transparansi dalam pengelolaan
•Keterbukaan antar sesama anggota
•Kepercayaan dari anggota
•Tanggung jawab
•Kesadaran akan hak dan kewajiban
•Kesadaran anggota akan peran dlm masyarakat
•Saling terbuka di antara anggota demi kebaikan
•Kebebasan pihak pengelola
•Anggota dan calon anggota yang terbuka
•Penerimaan dan sikap terbuka thdp kel. lain
•Saling menghormati
•Kontribusi anggota thdp kepentingan seluruh warga
•Kepatuhan pada peraturan dan nilai sosbud
•Kelonggaran bagi warga yang lemah
•Keringanan untuk memaafkan
•Pengorbanan dan kontribusi para pengurus/tokoh pembangunan
•Pengorbanan masyarakat dalam pembangunan
•Loyalitas pengurus dan anggota dalam
•Keikutsertaan seluruh anggota dalam penerapan nilai-nilai sosbud
•Partisipasi anggota setempat
•Partisipasi anggota yang ada di perantauan
•Saling tolong-menolong
•Kepanitiaan kegiatan diisi oleh orang tua dan muda
(regenerasi)
•Anggota membantu
kepentingan umum secara suka rela
•Ikatan kekerabatan yang kuat sebagai pemersatu
•Rasa memiliki anggota terhadap seluruh pasilitas umum
•Dukungan anggota terhadap pembangunan
•Kesukarelaan anggota dalam membantu
•Semangat anggota dalam menegakkan nilai-nilai kebenaran
•Kerjasama antar anggota
•Kerjasama pengurus/tokoh dengan warga
•Musyawarah anggota dalam memutuskan sesuatu
•Kebebasan bagi semua anggota untuk membentuk dan memasuki lembaga tertentu.
•Akses masyarakat dalam memberikan kritik dan saran terhadap anggota
•Arti penting gotong-royong bagi seluruh anggota
•Keyakinan bahwa menolong sesama merupakan perbuatan baik
•Kesadaran akan arti penting pendidikan bagi generasi selanjutnya
•Pentingnya sebuah institusi/lembaga pendidikan untuk kemajuan
•Menolong keluarga dan kaum kerabat adalah sebuah kewajiban
•Sanksi sosial dan sanksi organisasi bagi warga dan pengurus/tokoh yang menyeleweng dari nilai-nilai sosial budaya
•Menolong sesama warga dan umat manusia adalah kewajiban bagi setiap manusia
•Aturan-aturan dalam masyarakat tentang hidup bermasyarakat yang bersifat tradisional
•Aturan-aturan formal dari pemerintah
Daftar Pustaka
API. 1999. Almanak Parpol Indonesia. Jakarta: API Foundation.
Alone, Bowling. “America’s Declining Social Capital.” Journal of Democracy. 6, 1995: 65-78;
_____________. 2000. The Collapse and Revival of American Community. New York: Simon & Schuster;
Coleman, James. 1990. The Foundations of Social Theory Cambridge: Harvard University Press, terutama Bab 12 mengenai “Social Capital,”.
Edwards, Bob dan Michael W. Foley, “Social Capital and the Political Economy of Our Discontent” dalam American Behavioral Scientist Vol. 40, No. 5, March- April 1997.
Greeley, Andrew M. “Coleman Revisited: Religious Structures as a Source of Social Capital”, dalam American Behavioral Scientist, Vol. 40, No. 5, March-April 1997,hal. 587(8).
Krishna, Anirudh dan Elizabeth Shrader. “Social Capital Assessment Tool,” Makalah Konferensi Modal Sosial dan Pengurangan Kemiskinan, The World Bank, Washington, D.C., June 22-24, 1999.
Perpustakaan web World Bank yang mengesankan dan pesat mengenai modal sosial di
Putnam, Robert, D. 1993. Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern Italy Princeton: Princeton University Press.
Tuning In, Tuning Out: The Strange Disappearance of Social Capital in America.” Politics and Society 28, December 1994: 664-683; dan “The Prosperous Community: Social Capital and Public Life.” The American Prospect. 13, 1993. Online.