• Tidak ada hasil yang ditemukan

Emisi Metana Dari Rumen Ternak Ruminansia Secara In Vitro Menggunakan Metode Stoikiometri Kimia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Emisi Metana Dari Rumen Ternak Ruminansia Secara In Vitro Menggunakan Metode Stoikiometri Kimia"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS EMISI METANA DARI RUMEN TERNAK

RUMINANSIA SECARA

IN VITRO

MENGGUNAKAN

METODE STOIKIOMETRI KIMIA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Emisi Metana dari Rumen Ternak Ruminansia secara In Vitro Menggunakan Metode Stoikiometri Kimia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2016

Sofyan

(3)

RINGKASAN

SOFYAN. Emisi Metana dari Rumen Ternak Ruminansia secara In Vitro Menggunakan Metode Stoikiometri Kimia. Dibimbing oleh Etty Riani dan Anuraga Jayanegara.

Pemanasan global (global warming) adalah suatu proses meningkatnya suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan bumi. Pemanasan global ini disebabkan oleh efek gas rumah kaca (green house effect). Efek rumah kaca adalah terjadinya peningkatan akumulasi gas rumah kaca diantaranya berupa karbon dioksida (CO2)

dan beberapa jenis gas lainnya seperti metana. Peningkatan ini diakibatkan oleh aktivitas industri, sisa pembakaran bahan bakar minyak bumi, dan juga sektor pertanian yang termasuk didalamnya bidang peternakan terkhusus ternak ruminansia.

Penelitian mengenai produksi gas metana pada beberapa dekade terakhir ini banyak diangkat oleh para ahli, namun demikian di Indonesia sendiri masih belum banyak dilakukan penelitian mengenai metode yang lebih efektif dan efisien, pada penentuan kandungan gas metana. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis emisi metana dari beberapa jenis pakan yang umum digunakan di Indonesia, efektifitas metode uji emisi metana dengan metode stoikiometri kimia dan strategi pengelolaan lingkungan terhadap pemanasan global.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober – Desember 2014 di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: metode stoikiometri kimia dengan cara pengukuran kandungan VFA (volatile fatty acid). Analisis kandungan VFA dilakukan menurut metode Hoeltershinken et al. (1997). Peubah yang diamati yaitu analisis komposisi nutrisi pakan, kandungan gross energy (GE), total gas, amonia, kecernaan bahan organik (KCBO), kandungan VFA (volatile fatty acid). Data yang diperoleh akan dianalisis statistik dengan analisis sidik ragam ANOVA.

Hasil analisa emisi metana dari berbagai pakan menunjukkan bahwa emisi metana dari beberapa perlakuan yang dianalisis pada penelitian ini menunjukkan bahwa konsentrat yang ditambahkan rumput gajah 60% dapat menurunkan emisi metana yang terbaik, yaitu sebesar 3,03 mmol/l, efektifitas metode stoikiometri kimia masih efektif dalam menghitung gas metana, jika dibandingkan dengan metode manual, pemakaian bahan kimia lebih sedikit, pengoperasian lebih mudah, dan efisiensi waktu lebih cepat. Strategi menurunkan emisi gas metana pada pakan ternak ruminansia dapat dilakukan dengan menambahkan jerami padi dan rumput gajah pada konsentrat.

(4)

SUMMARY

SOFYAN. Analysis of Methane Emission of Ruminant’s Rumen by In Vitro Technique Using Chemical Stoichiometry Method. Supervised by Etty Riani and Anuraga Jayanegara.

Global warming is a process of increase in average temperature of the Earth’s atmosphere, ocean, and land. Global warming is caused by greenhouse gas effect (green house effect). The greenhouse effect is the increase of accumulation of greenhouse gases such as carbon dioxide (CO2) and some kinds

of other gases, for example methane gas. This increase is caused by industrial activity, fuel oil burning residue, and also from the agricultural sector including the animal husbandry sector especially those with the ruminants.

The studies on the production of methane gas in the last few decades are often brought up by the experts, however, in Indonesia it still has not done much, especially in terms of more effective and efficient methods on the determination of methane gas content. The purpose of this study was to analyze the methane emissions from some types of feed commonly used in Indonesia, the effectiveness of the methane emission test method by using the chemical stoichiometry method, and the environmental management strategies toward the global warming.

The research was conducted in October - December 2014 in the Laboratory of Animal Feed Science and Technology, Faculty of Animal Husbandry, Bogor Agricultural University. The method used in this study was a chemical stoichiometry method by measuring the content of volatile fatty acid (VFA). Volatile fatty acid content analysis was performed according to the method Hoeltershinken et al. (1997). The variables that were observed were the nutrient composition of the feed, the content of gross energy (GE), the total gas, the ammonia, the organic matter digestibility (OMD), and the content of VFA. The data obtained were statistically analyzed by analysis of variance ANOVA.

The results of analysis of the methane emissions from a variety of feed showed that methane emissions from some of the treatments that were analyzed in this study indicated that the concentrate which with additional 60% elephant grass was the best treatment in reducing the methane emissions by 3.03 mmol / l, the effectiveness of the chemical stoichiometry method was still effective in measuring the methane gas, when compared with manual methods, the use of fewer chemicals, the operation easier, and faster time efficiency. The strategy to reduce the methane gas emission through the ruminant’s feed could be performed by adding the rice straw and elephant grass to the concentrate.

(5)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(6)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

ANALISIS EMISI METANA DARI RUMEN TERNAK

RUMINANSIA SECARA

IN VITRO

MENGGUNAKAN

METODE STOIKIOMETRI KIMIA

SOFYAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)
(8)
(9)

Judul Tesis : Analisis Emisi Metana dari Rumen Ternak Ruminansia secara In Vitro Menggunakan Metode Stoikiometri Kimia

Nama : Sofyan NIM : P052130411

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Etty Riani, MS Dr Anuraga Jayanegara, SPt, MSc

Ketua Anggota

Diketahui oleh

Tanggal Ujian: 05 Februari 2016 Tanggal Lulus:

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr Ketua Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini dapat terselesaikan. Tema yang dipilih dalam tesis ini ialah emisi metana dalam rumen ternak, dengan judul Analisis Emisi Metana dari Rumen Ternak Ruminansia secara In Vitro Menggunakan Metode Stoikiometri Kimia.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Etty Riani, MS dan Bapak Dr Anuraga Jayanegara, SPt, MSc selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberi masukan dan saran dalam penulisan tesis ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah (Almarhum), ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan dukungannya, serta pihak terkait lainnya yang telah memberikan bantuan, semangat, dan doa sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Semoga tesis ini dapat memberikan informasi dan pengetahuan yang bermanfaat bagi pembacanya.

Bogor, Februari 2016

(11)

DAFTAR TABEL x

Pembentukan Gas Metana pada Ternak Ruminansia 4 Kontribusi Ternak Ruminansia terhadap Produksi Metana 7 Strategi Menurunkan Gas Metana 8 Pencernaan Fermentatif di Rumen 8

3 METODE PENELITIAN 11

Waktu dan Lokasi Penelitian 11

Alat dan Bahan 11

Metode Penelitian 11

Peubah yang Diamati 11

Prosedur Analisis 11

Analisis Komposisi Nutrisi Pakan 11

Analisis Van Soest 13

Kandungan Gross Energy (GE) 13

Pengukuran Total Gas 13

Penentuan Konsentrasi Amonia (Conway 1957) 14 Pengukuran Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik 14 Pengukuran VFA (Volatile Fatty Acid) 15

Analisis Data 16

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 17

Komposisi Kimia Pakan 17

Total Produksi Gas 17

Kecernaan Bahan Kering (KCBK) dan Kecernaan Bahan Organik (KCBO) 18

Konsentrasi Amonia (NH3) 19

Metana (CH4) 20

Korelasi Produksi Gas dan Kandungan Ammoniak (NH3) 20 Strategi Menurunkan Gas Metana 21

5 KESIMPULAN DAN SARAN 22

(12)

DAFTAR TABEL

1 Komposisi nutrien pakan dalam %BK (bahan kering) 17

2 Rataan nilai KCBK (%) dan KCBO (%) 19

3 Rataan konsentrasi ammonia (NH3) 19

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pikir penelitian 3

2 Produksi metana di dalam rumen 5

3 Metabolisme hidrogen dan metanogenesis 5

4 Lintasan metanogenesis pada ternak ruminansia 6

5 Total gas pada masing-masing ulangan 18

6 Emisi metana pada masing-masing sampel 20

7 Korelasi produksi gas dan kandungan NH3 21

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil uji ANOVA 26

(13)

1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pemanasan global (global warming) adalah suatu proses meningkatnya suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan bumi. Terjadinya pemanasan dan perubahan iklim global merupakan ancaman untuk berbagai mahluk hidup, terutama yang bersifat fragile terhadap perubahan suhu dan perubahan iklim (Riani 2012). Sejak tahun 1980-an pemanasan global merupakan gejala alam yang secara intensif diteliti. Pemanasan global ini disebabkan oleh efek gas rumah kaca (green house effect), yakni terjadinya peningkatan akumulasi gas rumah kaca diantaranya berupa karbon dioksida (CO2) dan beberapa jenis gas lainnya (CH4,

N2O, CFC) di lapisan atmosfer. Peningkatan ini diakibatkan oleh aktivitas

industri, sisa pembakaran bahan bakar minyak bumi, dan juga sektor pertanian yang termasuk di dalamnya bidang peternakan terkhusus ternak ruminansia.

Pada lapisan atmosfer metana merupakan salah satu kontributor terbesar kedua setelah CO2 sebagai gas rumah kaca. Sektor peternakan, terkhusus

ruminansia merupakan salah satu kontributor terhadap akumulasi gas metana anthropogenic (± 28%) (Beauchemin et al. 2008). Selain berdampak pada pemanasan global, emisi gas ternak ruminansia juga merupakan bentuk dari kehilangan energi yang seharusnya juga dapat digunakan untuk menunjang produktivitasnya. Jumlah energi yang hilang dari ternak ruminansia antara 8 – 14% dari total energi tercerna (Cottle et al. 2011).

Metana juga merupakan hasil dari fermentasi mikroba saluran pencernaan pada ternak ruminansia terhadap komponen pakan. Metana adalah gas yang tidak berwarna dan tidak berbau, 87% diproduksi di rumen dan 13% di usus besar (Murray et al. 1976). CH4 dan N2O berasal dari siklus yang berbeda. CH4 ini

biasanya dihasilkan setelah degradasi komponen karbon (C) selama proses pencernaan pakan dan pupuk kandang, sedangkan N2O berkaitan dengan siklus

nitrogen (N) dengan pupuk kimia dan pupuk kandang sebagai sumber utamanya (Monteny et al. 2006).

Gas metana berasal dari berbagai sumber baik antropogenik maupun alami (Rotz et al. 2010). Lebih dari 70% emisi gas metana berasal dari kegiatan antropogenik (IPCC 2006). Metana adalah produk akhir dari fermentasi rumen selama proses pencernaan pakan, dan ternak memproduksi sekitar sebanyak tujuh kali CH4 pada domba dan sembilan kali pada kambing.

Emisi gas metana yang berasal dari ternak ruminansia pada negara maju berbeda dengan emisi gas metana di negara berkembang, tergantung pada faktor-faktor seperti spesies hewan, reproduksi, pH cairan rumen, rasio asetat dengan propionat, populasi metanogen, komposisi pakan dan jumlah konsentrasi pakan. Sapi merupakan salah satu ternak ruminansia yang paling berkontribusi terhadap efek rumah kaca melalui emisi gas metana diikuti oleh domba, kambing dan kerbau. Perkiraan emisi metana pada sapi; kerbau; domba dan kambing di negara maju adalah 150,7; 137; 21,9 dan 13,7 (g/hewan/hari) (Sejian et al. 2011).

(14)

2

Salah satu upaya meminimalisasi emisi gas metana pada ternak ruminasia melalui strategi pemberian pakan yang dapat mereduksi emisi metana ternak ruminansia. Hal ini bermanfaat pada jangka panjang untuk mengurangi laju akumulasi gas rumah kaca dan jangka pendek untuk mengurangi kehilangan energi pada ternak ruminansia. Berbagai upaya telah dilakukan dan terbukti efektif dalam menurunkan emisi gas metan pada ternak ruminansia. Salah satunya dengan menggunakan antibiotik (Fuller dan Johnson 1981). Namun larangan penggunaan antibiotik sebagai feed aditif semakin meluas (Jayanegara 2009). Oleh karena itu diperlukan senyawa lebih bersifat alami.

Gas metana yang dibentuk di dalam rumen, dapat dihambat dengan memberikan beberapa zat kimia. Prinsip penghambatannya antara lain berdasarkan sifat toksik terhadap bakteri metanogen, seperti senyawa-senyawa metana terhalogenasi, sulfit, nitrat, dan trikhloroetilpivalat, atau berdasarkan reaksi hidrogenasi, sehingga mengurangi reduksi CO2 oleh hidrogen, seperti

senyawa asam lemak berantai panjang tidak jenuh. Beberapa ionofor seperti monensin, lasalosid, dan salinomisin, selain meningkatkan kandungan asam propionat juga dapat menurunkan produksi gas metana (Thalib 2008).

Penelitian mengenai produksi gas metana pada beberapa dekade terakhir ini banyak diangkat oleh para ahli, namun demikian di Indonesia sendiri masih belum banyak dilakukan terutama dalam hal metode yang lebih efektif dan efisien, pada penentuan kandungan gas metana. Hal ini terkendala oleh beberapa faktor, diantaranya keterbatasan alat, keterbatasan dana dan keterbatasan sarana penunjang lainnya. Beberapa metode yang umum dilakukan para peneliti di Indonesia dalam penentuan kandungan gas metana dalam rumen ternak ruminansia diantaranya adalah dengan metode NaOH (Yuliana 2014). Namun kelemahan metode ini adalah dalam hal pemakaian bahan kimia yang lebih banyak dan pengamatan pada pembacaan parameter pengujiannya masih menggunakan skala manual. Dilain pihak metode yang diduga lebih efektif dan efisien yaitu dengan menggunakan metode stoikiometri kimia dengan cara pengukuran kandungan VFA (Volatile Fatty Acid) (Jayanegara et al. 2013) dengan persamaan Moss et al. (2000). Metode stoikiometri kimia ini berlaku untuk semua jenis sampel, sehingga diperlukan penelitian dengan menggunakan sampel yang berbeda.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian adalah

1. Untuk menganalisis emisi metana dari beberapa jenis pakan yang umum digunakan di Indonesia.

2. Untuk meningkatan efektifitas metode uji emisi metana dengan metode stoikiometri kimia.

3. Memformulasi strategi pengelolaan lingkungan terhadap pemanasan global.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui gas emisi metana dalam jenis pakan yang umum digunakan di Indonesia.

2. Mengetahui efektifitas metode uji emisi metana yang dihasilkan dari bahan pakan dengan menggunakan metode stokiometri kimia.

(15)

3

Kerangka Pemikiran

Bidang peternakan terkhusus ternak ruminansia memberikan kontribusi terhadap pemanasan global (global warming). Gas yang memberikan konstribusi terhadap efek rumah kaca dari bidang peternakan sebagian besar adalah karbon dioksida (CO2) dan metana (CH4). Pembentukan gas metana pada ternak

ruminansia yaitu metana diproduksi disaluran pencernaan ternak, sebesar 80 - 95% diproduksi di dalam rumen dan 5 - 20% dalam usus besar. Metana yang dihasilkan dalam rumen dikeluarkan melalui mulut ke atmosfir (Martin et al. 2008).

Pada prinsipnya, pembentukan gas metana di dalam rumen terjadi melalui reduksi CO2 oleh H2 yang dikatalisis oleh enzim yang dihasilkan oleh bakteri

metanogenik. Pembentukan gas metana di dalam rumen berpengaruh terhadap pembentukan produk akhir fermentasi di dalam rumen, terutama jumlah mol ATP, yang pada gilirannya mempengaruhi efisiensi produksi mikrobial rumen (Thalib 2008). Adapun kerangaka pemikiran penelitian tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka pikir penelitian

Gas Metana

Industri Peternakan Pemukiman

Emisi Gas Rumah Kaca

Kehutanan

Rumen Ternak

Gas Metana Total Gas VFA

Pemanasan Global

Strategi Pengelolaan Lingkungan Akibat Gas Metana yang Dihasilkan oleh Ternak Ruminansia terhadap Pemanasan Global

Pertanian

GE NH3

KCBK dan KCBO Pakan

Nutrisi Pakan

Analisis Emisi Metana dari Rumen Ternak Ruminansia Secara In Vitro Menggunakan Metode Stoikiometri Kimia

CO2 Gas lainnya

(16)

4

2 TINJAUAN PUSTAKA

Metana dan Rumen

Metana adalah hidrokarbon paling sederhana yang berbentuk gas dengan rumus kimia CH4. Metana murni tidak berbau, 87% diproduksi di rumen dan 13%

di usus besar (Murray et al. 1976), tapi jika digunakan untuk keperluan komersial, biasanya ditambahkan sedikit bau belerang untuk mendeteksi kebocoran yang terjadi. Pada rumen pembentukan metana adalah reaksi melepas hidrogen yang dilakukan secara anaerob.

Rumen merupakan cairan dalam lambung ruminansia. Rumen mengandung hasil-hasil proses penceranaan makanan yang masuk ke dalam tubuhnya. Proses pencernaan pada hewan ruminansia dapat terjadi secara mekanis (dalam mulut), secara hidrolisis oleh enzim pencerna dan secara fermentif oleh mikroba rumen (Czerkawski dalam Nugraha 2001).

Pembentukan Gas Metana Pada Ternak Ruminansia

Ruminansia merupakan ternak yang mampu memanfaatkan pakan dengan kandungan serat tinggi sebagai sumber pakan. Hal tersebut dikarenakan ternak ruminansia memiliki sistem pencernaan yang dapat melakukan fermentasi dengan bantuan mikroorganisme. Namun, pakan yang diberikan untuk ternak ruminansia juga harus memenuhi kebutuhan nutrisinya sehingga mampu menghasilkan produk peternakan seperti daging dan susu yang berkualitas baik dengan cara pemberian pakan berkualitas baik pula. Ruminansia menghasilkan gas metana (CH4) yang berkontribusi terhadap akumulasi gas rumah kaca di atmosfer. Produksi gas metana dari ternak ruminansia berkontribusi terhadap 95% dari total emisi metana yang dihasilkan oleh ternak dan manusia, dan sekitar 18% dari total gas rumah kaca di atmosfer (Kreuzer dan Soliva 2008). Emisi metana ini tidak hanya terkait dengan masalah lingkungan, namun juga merefleksikan hilangnya sebagian energi dari ternak sehingga tidak dapat dimanfaatkan untuk proses produksi.

Antara 6%-10% dari energi bruto pakan ternak ruminansia hilang sebagai metana (Jayanegara 2008). Oleh karena itu perlu dikembangkan strategi pemberian pakan yang dapat mereduksi emisi metana ternak ruminansia yang bermanfaat, baik jangka panjang dalam mengurangi laju akumulasi gas rumah kaca, maupun jangka pendek dalam mengurangi kehilangan energi ternak. Jenis pakan berkadar serat rendah telah terbukti dapat menurunkan emisi metana per unit jumlah pakan yang dikonsumsi (Johnson dan Johnson 1995; Beauchemin dan McGinn 2005). Senyawa nutrien lainnya seperti lemak atau minyak juga mempengaruhi produksi metana dalam rumen (Fievez et al. 2003).

Ternak ruminansia dapat mengkonversi pakan hijauan yang kurang memberikan manfaat secara langsung terhadap manusia menjadi bahan pangan bernilai gizi berkualitas tinggi seperti daging dan susu. Produk lain berupa nonpangan juga dihasilkan dari ternak ruminansia seperti kulit dan bulu. Namun demikian, ternak ruminansia menghasilkan gas metana (CH4) yang berkontribusi terhadap akumulasi gas rumah kaca di atmosfer yang berdampak

(17)

5

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menentukan kualitas bahan pakan, antara lain secara fisik, kimia, dan biologis. Evaluasi pakan secara biologis pada ternak ruminansia dapat dilakukan dengan metode in vivo, in sacco, dan in vitro. Metode in vitro merupakan metode yang paling mudah

dilakukan untuk mengevaluasi kualitas pakan dibandingkan metode in vivo dan in sacco karena tidak membutuhkan ternak hidup dalam pengujiannya. Namun

metode in vitro memiliki beberapa kelemahan, salah satunya adalah tidak

terdapatnya proses pencernaan pasca rumen karena hanya merepresentasikan proses fermentasi pada rumen saja. Adapun produksi metana dalam rumen dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Produksi metana di dalam rumen (Morgavi 2008)

Dalam kondisi anaerob dalam rumen, reaksi oksidasi membutuhkan energi dalam bentuk ATP melepas hidrogen. Jumlah hidrogen yang dihasilkan sangat tergantung pada jenis makanan dan jenis mikroba rumen sebagai mikroba fermentasi pakan yang menghasilkan produk akhir yang berbeda yang tidak sama dengan hidrogen yang dikeluarkan. Misalnya, pembentukan asam propionat membutuhkan hidrogen sedangkan pembentukan asam asetat dan butirat melepas hidrogen (Martin et al. 2008). Proses metabolisme hidrogen dan metanogenesis dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3Metabolisme hidrogen dan metanogenesis (Morgavi 2008) Akumulasi

H2

Karbohidrat Serat, Pati Asetat, Propionat,

Butirat

Utilisasi H2 Produksi H

(18)

6

Dalam rumen untuk mengurangi produksi hidrogen menjadi metana, hidrogen harus dialihkan ke produksi propionat melalui laktat atau fumarat (Mitsumori et al. 2008). Penurunan produksi gas metana (CH4) dari ternak

ruminansia merupakan suatu strategi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan sebagai sarana untuk meningkatkan efisiensi pakan (Martin et al. 2008).

Metanogenesis adalah mekanisme oleh rumen untuk menghindari akumulasi hidrogen. Hidrogen bebas menghambat dehydrogenase dan mempengaruhi proses fermentasi. Pemanfaatan hidrogen dan CO2 untuk

menghasilkan CH4 adalah khusus oleh bakteri Archaea metanogen. Pengurangan

produksi hidrogen harus dicapai tanpa mempengaruhi fermentasi pakan. Mengurangi aktivitas metanogen harus dilakukan dengan stimulasi bersamaan jalur yang mengkonsumsi hidrogen untuk menghindari dampak negatif dari peningkatan tekanan parsial dari gas ini (Martin et al. 2008).

Pembentukan gas metana di dalam rumen dapat dihambat dengan memberikan beberapa zat kimia. Prinsip penghambatannya antara lain berdasarkan sifat toksik terhadap bakteri metanogen, seperti senyawa-senyawa metana terhalogenasi, sulfit, nitrat, dan trikhloroetilpivalat, atau berdasarkan reaksi hidrogenasi sehingga mengurangi reduksi CO2 oleh hidrogen, seperti

senyawa asam lemak berantai panjang tidak jenuh. Beberapa ionofor seperti monensin, lasalosid, dan salinomisin, selain meningkatkan kandungan asam propionat juga dapat menurunkan produksi gas metana (Thalib 2008). Adapun lintasan metanogenesis pada ternak ruminansia dapat dilihat secara jelas pada Gambar 4.

Gambar 4 Lintasan metanogenesis pada ternak ruminansia (Morgavi 2008)

Selanjutnya dinyatakan Thalib (2008), metanogenesis dapat juga dihambat dengan senyawa kimia seperti ion Fe3+ dan SO42–. Populasi protozoa di dalam

(19)

7

defaunator seperti saponin. Jalur metabolisme yang terlibat dalam produksi hidrogen, pemanfaatan dan aktivitas metanogenik adalah dua faktor penting yang harus dipertimbangkan ketika mengembangkan strategi untuk mengendalikan emisi metana oleh ruminansia (Martin et al. 2008).

Kontribusi Ternak Ruminansia terhadap Produksi Metana

Secara umum ternak ruminansia bertanggung jawab terhadap 85 Tg (1 Tg = 1012 g = 1 juta metrik ton) dari 550 Tg gas metana yang dibebaskan ke alam setiap tahunnya (Sejian et al. 2011). Produksi gas metana dari ternak ruminansia telah banyak dikaji karena sebagian anggapan bahwa ternak ruminansia merupakan produsen dari gas metana. Menurut Arora (1989) produksi gas CO2 di

dalam rumen adalah 50%-70% dan sisanya adalah gas CH4. Ternak ruminansia,

khususnya sapi (Bos taurus), kerbau (Bubalus bubalis), domba (Ovis aris), kambing (Capra hircus) dan unta (Camalus camalis) menghasilkan sejumlah besar gas metana melalui pencernaan anaerobik. Proses fermentasi mikroba disebut sebagai fermentasi enteric (Lassey 2007). Emisi gas metana yang berasal dari ternak ruminansia di negara maju akan berbeda dengan emisi gas metana di negara berkembang, tergantung pada faktor-faktor seperti spesies hewan, reproduksi, pH cairan rumen, rasio asetat : propionat, populasi metanogen, komposisi pakan dan jumlah konsentrasi pakan. Sapi merupakan salah satu ternak ruminansia yang paling berkontribusi terhadap efek rumah kaca melalui emisi gas metana diikuti oleh domba, kambing dan kerbau. Perkiraan emisi metana pada sapi; kerbau; domba dan kambing di negara maju adalah 150,7; 137; 21,9 dan 13,7 (g/hewan/hari) (Sejian et al. 2011).

Proses pembentukan gas metana di dalam rumen ternak ruminansia disebut metanogenesis. Metanogenesis terbentuk oleh Archaea metanogen, sekelompok mikroorganisme yang berada dalam kondisi anaerob termasuk di dalam rumen. Di dalam rumen, mikroba metanogen memanfaatkan H2 dan CO2 sebagai substrat

untuk memproduksi gas metana. Lebih dari 60 spesies metanogen yang diisolasi dari berbagai habibat yang berbada namun hanya lima jenis metanogen dilaporkan telah diisolasi dalam rumen yaitu Methanobrevibacter ruminantium, Methanosarcina barkeri, Methanosarcina mazei, Methanobacterium formicicum dan Methanomicrobium mobile. Diantara kelima spesies tersebut, hanya Methanobrevibacter ruminantium dan Methanosarcina barkeri yang telah ditemukan dalam rumen pada populasi >106 koloni/ml yang diasumsikan berperan penting pada proses metanogenesis di dalam rumen (Moss et al. 2000).

Meskipun H2 adalah salah satu produk akhir dari fermentasi yang

dilakukan oleh protozoa, jamur, dan bakteri namun H2 digunakan oleh bakteri

lain, terutama metanogen yang ada di dalam campuran ekosistem mikroba (Boadi et al. 2004) agar tidak terjadi akumulasi H2 di dalam rumen (Hegarty dan Nolan

2007). Akan tetapi dengan adanya pembentukan gas metana maka proses fermentasi glukosa yang menghasilkan propionat akan menurun karena H2 yang

dibutuhkan untuk pembentukan propionat digunakan untuk produksi gas metana oleh Archaea metanogen dengan CO2 sebagai akseptor yang kemudian

(20)

8

Strategi Menurunkan Gas Metana

Penelitian mengenai produksi gas metana pada beberapa dekade terakhir ini banyak diangkat oleh para ahli karena gas metana merupakan salah satu gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global. Hasil penelitian 10 tahun terakhir diperoleh informasi bahwa ruminansia memproduksi 80 juta ton gas metana/tahun sebanyak 28% dari emisi antropogenik (Beauchemin et al. 2008). Berbagai cara telah dilakukan untuk menurunkan produksi gas metana. Ternak ruminansia khususnya sapi perah telah diteliti dan diterapkan beberapa strategi penurunan gas metana yaitu dilakukan penambahan ionofor, lemak, penggunaan hijauan berkualitas tinggi, dan meningkatkan penggunaan biji-bijian (konsentrat). Pengurangan emisi gas metana dapat dilakukan dengan memanipulasi proses fermentasi di dalam rumen baik itu dengan langsung menghambat methanogen dan protozoa, atau dengan mengalihkan molekul hidrogen dari methanogen. Beberapa sumber mengidentifikasi cara baru untuk mengurangi emisi gas metana yaitu dengan penambahan probiotik, acetogens, bakteriosin, virus archaea, asam organik, ekstrak tumbuh-tumbuhan (misalnya, minyak esensial) untuk pakan, serta imunisasi, dan seleksi genetik sapi (Boadi et al. 2004).

Gas metana merupakan produk akhir fermentasi karbohidrat dalam rumen. Meningkatkan produktivitas ternak tampaknya menjadi cara yang paling efektif untuk mengurangi pelepasan gas metana dalam jangka pendek. Perlu diingat bahwa metode ini hanya berhasil jika produksi secara keseluruhan tetap konstan. Sarana untuk mencapai kenaikan produktivitas ini telah dibahas, tapi hampir semua melibatkan peningkatan penggunaan pakan yang mengandung kualitas lebih tinggi/rendah kandungan seratnya (Moss et al. 2000). Strategi pemberian pakan yang dilakukan salah satunya adalah pemberian pakan yang mengandung tanin pada ternak ruminansia karena tanin dapat menurunkan produksi gas metana (Jayanegara et al. 2011).

Pencernaan Fermentatif di Rumen

Produksi gas merupakan hasil proses fermentasi yang terjadi di dalam rumen yang dapat menunjukkan aktivitas mikrobia di dalam rumen serta menggambarkan banyaknya bahan organik yang tercerna. Selain itu produksi gas yang dihasilkan dari pakan yang difermentasi dapat mencerminkan kualitas pakan tersebut (Ella et al. 1997).

Proses fermentasi di dalam rumen dipertahankan oleh karena adanya sekresi saliva yang berfungsi mempertahankan nilai pH pada kisaran 6,5 – 7,0. Kondisi rumen yang anaerob, suhu rumen yang konstan dan adanya kontraksi rumen dapat menyebabkan kontak antara enzim dan substrat menjadi meningkat dan laju pengosongan rumen diatur sedemikian rupa sehingga setiap saat selalu mempunyai isi (Darwis et al. 1990).

(21)

9

hubungan erat dengan nilai kecernaan suatu bahan pakan ternak ruminansia (Nuswantura 2000).

Proses fermentasi di dalam rumen merupakan hasil dari aktifitas mekanik dan biologi yang mengubah komponen pakan menjadi bentuk yang dapat dimanfaatkan oleh ternak seperti Volatile Fatty Acids (VFA), dan protein mikrobia (Church 1988). Penetapan degradasi secara in vitro adalah metode laboratorium yang prinsipnya meniru sistem pencernaan pada ruminansia yaitu dengan menginkubasikan sampel pakan ke dalam cairan rumen dan ditambahkan larutan buffer yang telah disiapkan dan proses tersebut berjalan secara anaerob. Tahap berikutnya adalah mengasamkan sampel dengan penambahan HCl yang kemudian sampel akan mengalami proses hidrolisis protein tercerna dengan pepsin selama 48 jam (Tillman et al. 1998).

Fermentasi adalah proses biologis yang menghasilkan komponen-komponen dan jasa sebagai akibat adanya pertumbuhan maupun metabolisme mikroba anaerob (Muchtadi et al. 1992). Metode pengukuran gas in vitro dapat untuk mengestimasi besarnya nilai degradasi bahan pakan yaitu relasi fraksi yang mudah larut, nilai fraksi yang potensial terdegradasi dan laju degradasi fraksi pakan. Teknik produksi gas fermentasi dikembangkan untuk mencari hubungan antara profil produksi gas suatu feed intake, kecepatan pertumbuhan (Jessop dan Nerreru 1996).

Penambahan bahan campuran buffer pada pakan dilakukan dengan tujuan untuk mengontrol pH rumen sehingga fermentasi bisa berjalan normal pada ternak dengan pakan konsentrat (SO7), sehingga bisa terhindar dari metabolisme yang

tidak dikehendaki seperti acidosis, sindrom rendah lemak. Komponen buffer yang biasa digunakan adalah NaHCO3, Na2CO3, MSO (Van Nevel 1991).

Mikrobia rumen sangat membutuhkan nitrogen untuk kelangsungan hidup serta meakukan aktifitas normal. Kurang lebih 80% kebutuhan mikrobia rumen akan N2 diperolah melalui gas amonia. Pada ternak yang diberi pakan basa rendah

kandungan N2 sebagian besar sumber amonia diperoleh dari daur ulang

metabolisme nitrogen melalui saliva. Kadar amonia cairan rumen memegang peranan penting bagi kehidupan (Stanbury 1984).

Pertumbuhan mikrobia dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan nutrisi (Nester et al. 1983). Faktor lingkungan meliputi temperatur, pH, udara, dan tekanan osmotik. Semua bentuk karbohidrat yang ada dalam bahan pakan yang diberikan pada ternak ruminansia akan mengalami degradasi ke arah yang lebih sederhana atau menjadi unit-unit yang lebih kecil karena adanya mikrobia rumen dan akan menghasilkan Vollatile Fatty Acid (VFA) dan gas yang terdiri dari CO2,

CH4, dan sedikit H2. Semakin banyak karbohidrat yang mudah terfermentasi oleh

mikrobia rumen maka akan meningkatkan produksi gasnya. Sekitar 40% dari volume gas yang dihasilkan dari fermentasi terdiri dari CO2 dan CH4 (Blummer

dan Orskov 1993)

Kebutuhan asam amino pada ternak ruminansia untuk hidup dan produksi dapat dipenuhi dan ketersediaan asam amino di usus halus, dapat berasal dari mikrobia dan protein endogen. Protein pakan yang masuk ke dalam rumen sebagian terdegradasi kemudian mengalami proteolisis oleh bakteri dan mangalami deaminasi yang menghasilkan NH3. Jika konsentrasi amonia

(22)

10

Ternak ruminansia mampu memanfaatkan hijauan dalam jumlah banyak dengan baik karena ternak tersebut memiliki saluran pencernaan yang kompleks dan mampu menerima hijauan (Williamson dan Payne 1993). Hal ini karena ternak ruminansia mampu memfermentasi pakan dengan kandungan selulosa tinggi dengan bantuan dari mikroba rumen. Pakan yang dikonsumsi oleh ternak akan difermentasi oleh mikroba rumen menjadi Volatile Fatty Acid (VFA), amonia, gas metana (CH4) dan karbondioksida (CO2). Mikroba rumen memiliki

(23)

11

3 METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Oktober – Desember 2014 di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu centrifuge, vortex, erlenmeyer, stirer, mortir atau blender, timbangan digital, tabung, plastic tube, pipet, sonicator (ultrasonic water bath), syringe, saringan nilon, cawan conway, titrator, tanur, oven 105oC, waterbath 60 oC.

Bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu rumput gajah (RG), jerami padi (JP), konsentrat sapi (KS), (RG 60% + KS 40%), (JP 60% + KS 40%), metanol, aseton, H2SO4, folin, aquades, cairan rumen, vaselin, larutan buffer, asam

borat, asam sulfat dan NaHCO3.

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: metode stoikiometri kimia dengan cara pengukuran kandungan VFA (volatile fatty acid). Analisis kandungan VFA dilakukan menurut metode Hoeltershinken et al. (1997).

Peubah yang Diamati

Adapun peubah yang diamati pada tahap penelitian ini yaitu : 1. Analisis komposisi nutrisi pakan

2. Kandungan gross energy (GE) 3. Total gas

4. Amonia

5. Kecernaan bahan kering (KCBK) dan kecernaan bahan organik (KCBO) 6. Kandungan VFA (volatile fatty acid)

Prosedur Analisis

Analisis Komposisi Nutrisi Pakan

(24)

12

Kadar air (AOAC 2005). Cawan sebelumnya telah dipanaskan ± 1 jam pada oven 105 °C kemudian didinginkan dalam eksikator dan ditimbang berat cawan. Sampel ditimbang sebanyak 5 g dan dimasukkan ke dalam cawan, lalu cawan dan sampel tersebut dimasukkan ke dalam oven 105 °C selama sekitar 4-6 jam (sampai tercapai bobot tetap).Lalu cawan diangkat dan didinginkan dalam eksikator. Setelah itu ditimbang beratnya.

Kadar abu (AOAC 2005). Cawan sebelumnya telah dipanaskan pada tanur pada tanur 400-600 °C, kemudian didinginkan dalam eksikator, lalu berat cawan ditimbang.Sampel ditimbang sebanyak 5 g dan dimasukkan ke dalam cawan lalu ditimbang. Sampel dibakar di atas hot plate sampai tidak berasap sekitar tiga jam, lalu dimasukkan ke dalam tanur. Setelah itu diangkat dan didinginkan dalam eksikator dan ditimbang beratnya.

Kadar Protein Kasar (AOAC 2005). Sampel ditimbang sebanyak 0.3 g, lalu ditambahkan 1.5 g katalis selenium mixture. Lalu dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl dan ditambahkan 20 mL H2SO4 pekat. Destruksi dilakukan sampai

warna larutan menjadi hijau-kekuningan-jernih, lalu didinginkan sekitar 15 menit, kemudian ditambahkan 300 mL aquades dan didinginkan kembali. Setelah itu ditambahkan 100 mL NaOH 40%, lalu dilakukan destilasi. Hasil destilasi ditampung dengan dengan 10 mL H2SO4 0.1 N yang sudah ditambah 3 tetes

indikator campuran methylen blue dan methylen red. Setelah itu dilakukan titrasi dengan NaOH 0.1 N sampai terjadi perubahan warna dari ungu menjadi biru-kehijauan. Penetapan blanko dengan cara dipipet 10 mL H2SO4 0.1 N dan

ditambah 2 tetes indikator PP, lalu dititrasi dengan NaOH 0.1 N.

Kadar Serat Kasar (AOAC 2005). Sampel ditimbang sebanyak 1 g lalu dimasukkan ke dalam gelas piala kemudian dimasukkan ke alat heater extract. Sebanyak 50 mL H2SO4 0.3 N dipanaskan selama 30 menit. Kertas saring yang

telah dipanaskan dalam oven 105 °C selama 1 jam kemudian ditimbang. Cairan disaring menggunakan kertas saring ke dalam corong Buchner. Penyaringan tersebut dilakukan dengan labu pengisap yang dihubungkan dengan pompa vakum atau pancar air. Lalu dicuci berturut-turut menggunakan 50 mL air panas, 50 mL H2SO4 0.3 N dan 25 mL aseton. Kertas saring beserta isinya dimasukkan ke dalam

cawan porselen dan dimasukkan ke dalam oven 105 °C selama 1 jam. Setelah itu diangkat dan didinginkan dalam eksikator kemudian ditimbang. Setelah itu dimasukkan kembali cawan ke dalam tanur, diangkat, didinginkan, dan ditimbang.

(25)

13

Analisis Van Soest

Neutral detergent fibre (NDF) (Van Soest 1991). Sampel ditimbang sebanyak 0.5-1 g (kering udara dan sudah digiling) lalu dimasukkan ke dalam gelas beaker 600 mL dan ditambahkan sebanyak 100 mL larutan detergen netral dan 2-3 tetes dekalin. Setelah itu dipanaskan selama 5 sampai 6 menit sampai mulai panas kemudian dihitung waktu pemanasannya selama 60 menit sambil di reflux dengan aliran air. Setelah 60 menit pendidihan, beaker diambil dari pemanas dan dibiarkan sebentar supaya bahan padatan mengendap di bawahnya. Gelas saring disiapkan pada tempatnya dan dipanaskan dengan air mendidih. Bahan larutan disaring secara pelan-pelan mulai dari bahan cairan yang terlarut dengan vakum yang rendah dayanya. Pada bagian padatannya bisa dimasukkan ke saringan sambil dibilas dengan air mendidih sampai semua sampel habis masuk ke gelas saring.Vakum bisa ditambah kekuatanya sesuai dengan kebutuhan. Sampel dicuci dua kali dengan air panas, dua kali dengan aseton dan kemudian dapat dikeringkan. Gelas penyaring dapat dikeringkan minimal selama delapan jam (atau disimpan semalam apabila analisis dilanjutkan hari berikutnya) pada suhu 105 °C dalam oven yang dilengkapi dengan sistem kipas. Setelah ditimbang akan didapatkan berat kering residu NDF, kemudian sampel dibakar dalam tanur 500 °C cukup selama tiga jam. Pindahkan ke dalam oven sampai suhunya kembali menjadi 105 °C kemudian ditimbang. Bahan yang tersisa pada gelas penyaring adalah abu dari dinding sel.

Acid detergent fibre (ADF) (Van Soest 1991). Prosedurnya sama dengan NDF namun hanya berbeda pada pelarutnya. Pada ADF digunakan larutan detergen asam.

Kandungan Gross Energy (GE)

Pengukuran kandungan gross energi dilakukan dengan alat Bomb Calorimeter Parr 6200, menggunakan standar acuan ASTM D5865, “Standard

Test Method for Gross Calorific Value of Coal and Coke”.

Pengukuran Total Gas

Sampel pakan sebagai substrat dasar inkubasi dikeringkan dalam oven bersuhu 60o

C, digiling dan disaring menggunakan alat penyaring berukuran 1 mm. Sampel kemudian diinkubasi in vitro berdasarkan metode Menke et al. (1979) yang dimodifikasi oleh Blümmel et al. (1997). Sebanyak 380 mg

(26)

14

gas CO2 selama 10 menit sebelum dimasukkan ke dalam tabung. Sampel dimasukkan ke dalam tabung dan ditutup dengan piston yang telah dilubrikasi oleh vaselin. Larutan tanin dalam air terdestilasi diinjeksikan ke dalam tabung in vitro melalui selang pada saluran keluar sehingga didapatkan

konsentrasi tanin dalam sistem sebanyak 0,5 mg tanin/ml medium inkubasi buffer rumen. Sebanyak 30 ml cairan buffer rumen dimasukkan ke dalam masing-masing tabung, dan tabung segera dimasukkan ke dalam water bath

bersuhu 39 o

detik.Tiap-tiap botol ditutup rapat dan diinkubasi dalam waterbath pada suhu 390C. Botol dikocok setiap 1 jam sekali. Penelitian ini dilakukan sebanyak dua kali pengulangan untuk setiap perlakuan. Pengukuran gas dilakukan setiap jam ke-4, 6, 9, 12, 2ke-4, 30, 36, dan 48 menggunakan syringe gas dengan menyuntikkan jarum pada tutup karet botol in vitro.

Penentuan Konsentrasi Amonia (Conway 1957)

Pada penentuan konsentrasi ammonia sebanyak 3 ml larutan asam borat 3 % dimasukkan ke dalam bagian tengah cawan Conway dan diberi 2-3 tetes indikator brom kresol hijau : merah metal (3:1) pada salah satu ujung alur cawan diberi 2 mL NaOH 20% dan ujung lainnya diberi 2 mL larutan supernatan (sampel) yang diperoleh dari penyaringan larutan hasil penyucian in vitro. Tutup cawan yang telah diberi olesan vaselin dipasang hingga menutup rapat lalu cawan digoyangkan perlahan hingga sampel bereaksi dengan NaOH. Setelah itu cawan tersebut dibiarkan selama 24 jam pada suhu ruang. Setelah 24 jam, larutan asam borat dititrasi menggunakan HCl 0.0116 N hingga larutan berubah dari biru menjadi merah muda.

Pengukuran Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik

Pada pengukuran kecernaan bahan kering dan bahan organik diukur dengan menimbang 0.5 gram sampel dimasukkan kedalam cawan setelah diketahui bobotnya setelah itu sampel yang tersedia dipanaskan dalam oven suhu 105oC selama 6 jam. Sampel yang telah didinginkan ditimbang bobot akhirnya sehingga diperoleh kadar air. Sampel kemudian diabukan selama 24 jam pada 6000C dan ditentukan kadar abunya. Percobaan ini dilakukan sebanyak tiga kali pengulangan. Perhitungannya sebagai berikut:

KCBK = bahan kering contoh-berat kering residu x 100 % Bahan kering contoh

(27)

15

Pengukuran VFA (Volatile Fatty Acid)

Sebanyak 1 ml volume cairan rumen dipipet ke dalam tabung eppendorf berkapasitas 1,5 ml setelah 24 jam waktu inkubasi, dan disimpan pada wadah berisi pecahan es batu untuk menghentikan proses fermentasi. Sampel kemudian disentrifugasi (30.000 g, 10 menit, 4oC), supernatan dan residu dipisahkan.

Sebanyak 630 μl supernatan ditransfer ke dalam tabung eppendorf yang lain dan ke dalamnya ditambahkan 70 μl standar internal berupa asam metilvalerat, yakni

komponen asam lemak rantai pendek yang tidak terdapat dalam rumen secara natural. Sampel disimpan selama satu malam dalam refrigerator bersuhu 4oC untuk mengendapkan protein yang terlarut.

Sebanyak 500 μl sampel ditransfer ke dalam tabung gelas berukuran 1,5

ml (VWR/Merck 548-0003) untuk dilakukan analisis VFA individu menggunakan GC (GC 14A, Shimazu Corp, Kyoto, Japan) dengan kolom berisi 10% SPTM-1000, 1% H3PO4, Chromosorb WAW (Suppelco Inc. Bellafonte, PA, USA).

Kuantifikasi VFA individu dilakukan dengan cara membandingkan kurva yang

dihasilkan dengan kurva dari standar eksternal, terdiri atas VFA individu yang telah diketahui konsentrasi nya. Satuan VFA individu yang diperoleh adalah

dalam μmol/ml atau mM. Kandungan total VFA dan total iso-VFA didapatkan melalui penjumlahan masing-masing VFA individu penyusunnya dalam Jayanegara et al. (2013).

Satuan pengukuran untuk CH4 dan VFA masing-masing adalah ml/l dan

mmol/l. Adapun untuk mengetahui hubungan langsung antara stoikiometri dan kedua variable diatas, yaitu satuan dari CH4 (ml/l) dirubah menjadi mmol/l

Model stoikiometri digunakan untuk memperkirakan CH4 dari komposisi

(28)

16

Analisis Data

Data yang diperoleh akan dianalisis statistik dengan analisis sidik ragam ANOVA. Apabila berbeda nyata maka akan dilanjutkan dengan Uji Duncan (Steel and Torrie. 1993). Model matematika dari rancangan yang digunakan sebagai berikut :

Yij = μ + τi + εij

Keterangan :

Yij : nilai pengamatan pada pemberian pakan ke- i dan ulangan ke- j

μ : nilai tengah umum

i : banyaknya perlakuan ( A, B, C, D dan E) j : banyaknya ulangan ( 1, 2, 3, dan 4 )

τi : pengaruh perlakuan ke- i

(29)

17

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Komposisi Kimia Pakan

Ransum yang digunakan pada penelitian ini adalah campuran antara rumput gajah, jerami padi dan konsentrat dengan rasio 60 : 40. Hasil analisis komposisi nutrien (proksimat) ransum disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi nutrien pakan dalam %BK (bahan kering)

Nutrien Konsentrat

Keterangan: Hasil analisa Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor (2015), BK = bahan kering; BO = bahan organik; PK = protein kasar; SK = serat kasar; LK = lemak kasar; GE = gross energy; NDF = neutral detergent fibre; ADF = Acid detergent fibre.

Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa kandungan protein konsentrat yang digunakan sebesar 14.22% BK. Pembuatan konsentrat ini sesuai dengan pernyataan Blakely dan Bade (1994) yang menyatakan campuran dari konsetrat sapi perah terdiri dari bahan yang mengandung protein dan energi dengan kandungan protein kasar 14% - 16% berdasarakan BK. Hasil analisis proksimat rumput gajah diperoleh kandungan protein sebesar 10.63% BK. Argadyasto et al. (2015) melaporkan bahwa kandungan protein rumput gajah sebesar 7.95% BK. Perbedaan nilai protein yang diperoleh dapat disebabkan oleh perbedaan umur panen rumput gajah. Hal tersebut dikarenakan rumput gajah muda memiliki kandungan protein yang lebih tinggi. Selain itu faktor lain yang dapat menyebabkan perbedaan nutrien rumput gajah dapat disebabkan oleh lokasi pemanenan dan kondisi lingkungan tempat tumbuh yang berbeda (Jayanegara et al. 2009).

Total Produksi Gas

(30)

18

Ulangan 1 Ulangan 2

Ulangan 3

Keterangan : JP = Jerami Padi, RG = Rumput Gajah, JK = Jerami Konsentrat, RK = Rumput Gajah Konsentrat dan K = Konsentrat.

Gambar 5 Total gas pada masing-masing ulangan

Berdasarkan hasil inkubasi dengan waktu 24 jam (Gambar 5) menunjukkan bahwa produksi gas tertinggi dihasilkan oleh konsentrat yakni sebanyak 107,00 ml pada ulangan pertama, sementara produksi gas terendah dihasilkan sebanyak 20,00 ml pada jerami padi ulangan ketiga. Perbedaan hasil dari masing-masing perlakuan diduga karena cairan rumen, kondisi inkubasi, dan substrat (Jayanegara 2008). Hasil analisis pada masing-masing perlakuan memperlihatkan hasil yang berbeda tetapi menunjukkan konsistensi urutan produksi total gas yang stabil, yaitu dimulai dari produksi gas terendah sampel JP, RG, JK, RK, dan KS.

Kecernaan Bahan Kering (KCBK) dan Kecernaan Bahan Organik (KCBO)

(31)

masing-19

masing perlakuan disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Rataan nilai KCBK (%) dan KCBO (%)

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa komposisi konsentrat yang ditambahkan jerami padi dan rumput gajah dengan taraf sesuai perlakuan pada Tabel 2 tidak memberikan pengaruh KBK dan KBO secara nyata (P>0,05). Hasil yang didapat berkaitan dengan hasil dari total produksi gas. Hal ini sesuai pendapat Ella et al. (1997) yang menyatakan bahwa semakin tinggi produksi gas total menunjukkan semakin tinggi aktivitas mikroorganisme di dalam rumen, sehingga menggambarkan tingginya proses fermentasi yang terjadi dan bahan organik yang tercerna.

Konsentrasi Amonia (NH3)

Produksi ammonia pada ruminansia berasal dari aktivitas mikroorganisme rumen yang menghasilkan enzim proteolitik yang mendegradasi protein ransum. Protein yang masuk ke dalam rumen sebagian akan didegradasi menjadi ammonia. Konsentrasi ammonia pada masing-masing perlakuan disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Rataan konsentrasi ammonia (NH3)

Sampel N-NH3 (mM)

Keterangan : JP = Jerami Padi, RG = Rumput Gajah, JK = Jerami Konsetrat, RK = Rumput Gajah Konsetrat dan K = Konsetrat.

(32)

20

Metana (CH4)

Total produksi gas metana dari hasil inkubasi in vitro masing-masing perlakuan selama 24 jam pada jerami padi (JP), rumput gajah (RG), jerami konsetrat (JK), rumput gajah konsetrat (RG) dan konsetrat (KS), disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6 Emisi metana pada masing-masing sampel.

Data produksi metana dari hasil analisis dengan menggunakan persamaan rumus menurut Moss et al. (2000) yang didapat dari hasil analisis VFA menggunakan gas kromatografi yaitu rumput gajah memberikan emisi paling rendah 5,13 mmol/L. Emisi yang terbesar berturut-turut jerami padi yaitu 8,68 mmol/L, rumput gajah konsentrat 9,42 mmol/L, jerami padi konsentrat 10,32 mmol/L, dan yang terbesar adalah emisi dari konsentrat yaitu sebesar 12,45 mmol/L. Pembentukan gas metana di dalam rumen dapat dihambat dengan memberikan beberapa zat kimia. Prinsip penghambatannya antara lain berdasarkan sifat toksik terhadap bakteri metanogen, seperti senyawa-senyawa metana terhalogenasi, sulfit, nitrat, dan trikhloroetilpivalat, atau berdasarkan reaksi hidrogenasi sehingga mengurangi reduksi CO2 oleh hidrogen, seperti

senyawa asam lemak berantai panjang tidak jenuh. Beberapa ionofor seperti monensin, lasalosid, dan salinomisin, selain meningkatkan kandungan asam propionat juga dapat menurunkan produksi gas metana (Thalib 2008).

Metanogenesis dapat juga dihambat dengan senyawa kimia seperti ion Fe3+ dan SO42–. Populasi protozoa di dalam rumen berbanding langsung dengan

produksi gas metana, artinya produksi gas metana berkurang bila populasi protozoa rumen menurun. Berdasarkan hal tersebut maka emisi gas metana dapat dikurangi dengan memberikan zat defaunator seperti saponin. Jalur metabolisme yang terlibat dalam produksi hidrogen, pemanfaatan dan aktivitas metanogenik adalah dua faktor penting yang harus dipertimbangkan ketika mengembangkan strategi untuk mengendalikan emisi metana oleh ruminansia (Martin et al. 2008). Pada penelitian ini, berdasarkan hasil analisis emisi gas metana dari beberapa sampel yang dianalisa maka strategi pemberian pakan yang dapat mereduksi emisi metana ternak ruminansia akan bermanfaat baik jangka panjang dalam mengurangi laju gas rumah kaca, maupun jangka pendek dalam mengurangi kehilangan energi pada ternak (Jayanegara 2008), sehingga sangat berkorelasi

Rumput gajah (RG)

Jerami padi (JP)

Konsentrat (KS)

Jerami padi + Konsentrat (JK)

(33)

21

dengan adanya penambahan jerami padi sebanyak 60% dengan rumput gajah sebanyak 60% yang dicampur dengan konsentrat 40%.

Korelasi Produksi Gas dan Kandungan Ammoniak (NH3)

Data analisa yang diperoleh didapatkan hasil korelasi antara produksi gas dan kandungan NH3 dari masing-masing sampel menunjukkan hasil yang linier

dapat dilihat pada Gambar 7. Analisis korelasi yang dilakukan pada kandungan total gas dengan konsentrasi ammonia (NH3) menunjukkan bahwa nilai koefisien

determinasi R² = 0,924. Hal tersebut memperlihatkan bahwa produksi total gas dari masing-masing perlakuan berbanding lurus terhadap kandungan konsentrasi ammonia. Dalam hal ini sebesar 92,40% pengaruh dari bahan total gas terhadap kandungan ammonia, sedangkan sisanya 9,76% dijelaskan oleh faktor lain yang tidak diamati dalam penelitian.

Gambar 7 Korelasi produksi gas dan kandungan NH3.

Strategi Menurunkan Gas Metana

(34)

22

(misalnya, minyak esensial) untuk pakan, serta imunisasi, dan seleksi genetik sapi (Boadi et al. 2004).

Menurut Moss et al. (2000) peningkatan produktivitas ternak merupakan salah satu cara yang paling efektif untuk mengurangi pelepasan gas metana dalam jangka pendek. Namun metode ini hanya berhasil jika produksi secara keseluruhan tetap konstan. Sarana untuk mencapai kenaikan produktivitas ini hampir semua melalui peningkatan penggunaan pakan yang mengandung kualitas lebih tinggi atau yang rendah kandungan seratnya. Strategi pemberian pakan yang dilakukan salah satunya adalah pemberian pakan yang mengandung tanin pada ternak ruminansia, karena tanin dapat menurunkan produksi gas metana (Jayanegara et al. 2009). Oleh karena itu maka pada penelitian ini pemberian jerami dimaksudkan untuk meningkatkan tanin agar produksi metana menurun.

Pada penelitian ini, hasil penurunan metana yang terbaik adalah pada perlakuan 60% rumput gajah + 40% konsentrat (RK), perlakuan ini mengandung serat kasar sebesar 21,15%, kadar protein kasar sebesar 12,1%, kandungan lemak kasar sebesar 2,90%, dan kandungan energi sebesar 3.807 kal/gr, serta kandungan metana sebesar 9,42 mmol/L. Pada perlakuan tersebut mengandung emisi metana sebesar 12,45 mmol/L. Hal ini memperlihatkan bahwa terjadi penurunan sebanyak 3,03 mmol/L emisi metana yang pakannya hanya menggunakan konsentrat. Oleh karena itu strategi untuk menurunkan emisi gas metana pada pemberian pakan konsentrat bisa dilakukan secara efektif dan efisien apabila kedalamnya dilakukan penambahan jerami padi dan rumput gajah yang mudah didapat di masyarakat dibandingkan dengan perlakuan yang hanya diberikan konsentrat saja.

Selain hal tersebut apabila dibandingkan antara nutrisi yang dikandung pada sample pada perlakuan 60% rumput gajah + 40% konsentrat (RK) dibandingkan dengan persyaratan pakan sapi menurut SNI tahun 2009 untuk kandungan protein kasarnya masih dalam ambang batas yaitu minimal 12,00%, oleh karena itu perlakuan tersebut menjadi pakan yang cukup baik untuk kebutuhan pertumbuhan sapi, khususnya untuk sapi potong. Adapun untuk sample dengan penambahan jerami padi 60% + 40% konsentrat (JP) disamping kandungan nutrisinya masih cukup baik, ada manfaat lain dari pemakaian jerami padi ini yaitu bisa memanfaatkan jerami padi yang merupakan limbah hasil panen pertanian, sehingga harga pembuatan pakan menjadi jauh lebih murah jika dibandingkan dengan menggunakan pakan konsentrat murni.

Manfaat lain dari sampel jerami padi 60% + 40% konsentrat (JK) apabila dilihat dari lingkungan akan sangat membantu dalam memelihara keseimbangan ekosistem. Dalam hal ini di sisi petani akan dapat memanfaatkan jerami padi yang bila tidak diolah akan menjadi limbah. Namun dengan melakukan pengolahan justru menjadi salah satu sumber pakan yang baik dan berdaya saing, serta lebih ekonomis, sehingga perlakuan tersebut merupakan salah satu implementasi dari pembangunan berkelanjutan.

(35)

23

5 KESIMPULAN

Simpulan

Hasil analisa emisi metana dari rumen ternak ruminansia secara in vitro menggunakan metode stoikiometri kimia dapat disimpulkan bahwa :

1. Emisi metana dari beberapa perlakuan yang dianalisis pada penelitian ini menunjukkan bahwa konsentrat yang ditambahkan rumput gajah 60% dapat menurunkan emisi metana yang terbaik, yaitu sebesar 3,03 mmol/L.

2. Metode stoikiometri kimia lebih efektif dalam menghitung gas metana. 3. Strategi menurunkan emisi gas metana pada pakan ternak ruminansia dapat

dilakukan dengan menambahkan jerami padi sebesar 60% dan rumput gajah 60% pada konsentrat.

Saran

1. Penerapan perlakuan berupa pemberian pakan ternak dengan menambahkan rumput gajah 60% pada konsentrat pakan ternak pada budidaya ternak

ruminansia merupakan salah satu strategi untuk menurunkan emisi gas metana, selain itu pada kegiatan budidaya ternak ruminansia strategi ini juga sekaligus menjadi salah satu implementasi pembangunan berkelanjutan di bidang peternakan.

2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan taraf formulasi berbeda dan parameter tambahan lain untuk menurunkan emisi gas metana (CH4)

(36)

24

DAFTAR PUSTAKA

Argadyasto D, Retnani Y, Diapari D. 2015. Pengolahan daun lamtoro secara fisik dengan bentuk mash, pellet dan wafer terhadap performa domba (Physics processing of leucaena leaves by mash, pellet and wafer on the performance of sheep). Buletin Ilmu Makanan Ternak. 102 (1) : 19-26.

Arora SP. 1989. Pencernaan Mikrobia pada Ruminansia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Beauchemin KA, Kreuzer M, O’Mara F, McAllister TA. 2008. Nutritional management for enteric methane abatement: a review. Australian Journal of Experimental Agriculture 48: 21-27.

Blakely J, Bade DH. 1998. Ilmu Peternakan Edisi 4. Yogyakarta (ID) UGM Pr. Blummel M, Makkar HPS, Becker K. 1997. In vitro gas production: a technique

revisited. J. Anim. Phys. Nutr. 77: 24-34.

Blummer M, Orskov IR. 1993. Comparison of in vitro gas production and nylon bag degrdability of roughages in predicting feed intake in cattle. Animal Feed Science and Technology. 40: 109-119

Boadi D, Benchaar C, Chiquette J, Masse D. 2004. Mitigation strategies to reduce enteric methane emissions from dairy cows: update review. Canadian Journal of Animal Science 84: 319-335.

Conway EJ. 1957. Microdiffusion Analysis and Volumetric Error. 4th Ed. Crosby Lockwood, London.

Cottle DJ, Nolan JV, Wiedemann SG. 2011. Ruminant enteric methane mitigation: a review. Animal Production Science 51: 491-514.

Darwis AA, Sukara E, Amiroenas DE, Syahbana M, Purnawati R. 1990. Produksi Enzim Selulase dan Biomassa untuk Pakan Ternak dari Biokonversi Pod Coklat Oleh Trichoderma viride. Med Pet 8 (4) : 13.

Dehority BA, Tirabasso PA. 2004. Effect of feeding frequency on bacterial and fungal concentration, pH, and other parameters in the rumen. J. Anim. Sci. 79 : 2908 - 2912.

Ella AS, Hardjosoewignya TR, Wiradarya, Winugroho M. 1997. Pengukuran Produksi Gas dari Hasil Proses Fermentasi Beberapa Jenis Leguminosa Pakan. Prosiding Seminar Nasional II-INMT. Bogor (ID).

Fievez V, Dohme F, Danneels M, Raes K, Demeyer D. 2003. Fish oil as potent rumen methane inhibitors and associated effects on rumen

fermentation in vitro and in vivo. Anim. Feed Sci. Technol. 104: 41-58.

Fuller JR, Johnson DE. 1981. Monensin and lasalocid effects on fermentation in vitro. J. Anim. Sci. 53, 1574–1580.

Hoeltershinken M, Plitt U, Tammen FC, Hoffman P, Scholz H. 1997. Influence of mouldy grass on fermentation and thiamine metabolism in bovine rumen fluid (in vitro). Deutsche Tierarztliche Wochenschrift. 104: 17-22.

Hungate RE. 1966. The Rumen and Its Microbes. Academic Press. New York and London.

[IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2006. Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories. Vol. 4. Agriculture, Forestry and Other LandUse. Ch. 10. Emissions from Livestock and Manure Management, pp. 10.1–10.87.

(37)

25

Jayanegara A, Sofyan A. 2008. Penentuan aktivitas biologis tanin secara in vitro menggunakan Hohenheim gas test dengan polietilen glikol sebagai determinan. Med Pet. 31 (1) : 44-52.

Kreuzer M, Soliva CR. 2008. Nutrition: key to methane itigation in ruminants.

Proc.Soc. Nutr. Physiol. 17: 168-171.

Martin OV, Shialis T, Lester JN, Scrimshaw MD, Boobis AR, Voulvoulis N. 2008. Testicular dysgenesis syndrome and the estrogen hypothesis: a quantitative meta-analysis. Environ Health Perspect. 116:149–157.

McDonald P, Edwards RA, Greenhalgh JFD, Morgan CA, Sinclair LA, Wilkinson RG. 2010. Animal Nutrition. 7th Edition. New Jersey (US) : Prentice Hall.

McDonald P, Edwards RA, Greenhalgh JFD. 2002. Animal Nutrition. 6thEdition. London (UK) : Longman.

Menke KH, Raab L, Salewski A, Steingass H, Fritz D, Schneider D. 1979. The estimation of the digestibility and metabolizable energy content of ruminant feedingstuff from the gas production when they are incubated with rumen liquor. J. Agric. Sci. (Cambridge). 93: 217-222.

Mitsumori M, Sun W. 2008. Control of rumen microbial fermentation for mitigrating methane emissions from the rumen. Asian-Aust J Anim Sci. 21:144–154.

Monteny GJ, Bannink A, Chadwick D. 2006. Greenhouse gas abatement strategies for animal husbandry. Agriculture Ecosystem & Enviroment. 112 (2-3): 163-170.

Morgavi DP. 2008. Manipulacion del ecisitema ruminal : que perspectivas?. Reunion Cientifica Annual de la Asociacion Peruana de Produccion Animal. INRA-Theix, Dijon.

Moss AR, Jouany JP, dan Newbold J. 2000. Methane production by ruminants: its contribution to global warming. Ann. Zootech. 49: 231-253.

Muchtadi TR, Sugiono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Murray JJ, Patterson JC, and Wehner DJ. 1976. Use of sewage sludge compost in turfgrass production. Proceeding: Sponsored by: Municipal and Industrial Sludge Utilization and Disposal Information Transfer Inc. Silver Spring, Md. 20910.

Nester EW, Robert CE, Lidstrom ME, Pearsall N, Nester NIT. 1983. Microbiology. 3 rd edition. Sovelers Coolese Publishing. Philadelphia) Nuswantura LK. 2000. Parameter Fermentasi Rumen dan Sintesis Protein

(38)

26

Riani E. 2012. Perubahan iklim dan kehidupan akuatik (dampak pada bioakumulasi bahan berbahaya dan beracun & reproduksi). IPB Press. Bogor. 220 hal.

Sejian V, Lal R, Lakritz J, Ezeji T . 2011. Measurement and Prediction of Enteric Methane Emission. Int. J. Biomet. 55: 1-16.

Soedono A. 1984. Pedoman Beternak Sapi Perah. Direktorat Jenderal

Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta

Stanbury PF, Whitaker A. 1984. Principles of Fermentation Technology Pergamon Press New York.

Steel RGD, Torrie JH. 1980. Principles and Procedures of Statistics: A Biometrical Approach. McGraW-Hill, New York.

Thalib AM, Winugroho M, Sabrani Y, Widiawati D, Suherman. 2008. The use of methanol extracted Sapindus rarak fruit as a defaunating agent of rumenprotozoa. Ilmu dan Peternakan7: 17-21.

Tilley JMA, Terry RA. 1963. A two stage technique for the in vitro digestion of forage. J. British Grassland Society. 18: 104-111.

Tillman AD, Hartadi HS, Reksohardiprodjo A, Prawirokusumo, Lebdosoekojo S. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan ke-6. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Van Nevel CJ. 1991. Modification of Rumen Fermentation by use at additivies. In : Rumen Mikrobial Metabolism and Ruminant Bigestion. E D : J. P. Jouany. INRA. Paris. Pp : 263-280.

Van Soest PJ, Robertson P, Lewis JB. 1991. Methods fordietary fibre, neutral detergent fibre and non–starchcarbohydrates in relation to animal nutrition. J. Dairy Sci. 74: 3583–3597.

(39)

27

Levene's Test of Equality of Error Variancesa

Dependent Variable:Asam Asetat (Ml Mol/l)

F df1 df2 Sig.

3,162 4 9 ,070

Tests the null hypothesis that the error variance of the dependent variable is equal across groups.

(40)

28

Levene's Test of Equality of Error Variancesa

Dependent Variable:Asam Propionat (Ml Mol/l)

F df1 df2 Sig.

1,968 4 9 ,183

Tests the null hypothesis that the error variance of the dependent variable is equal across groups.

a. Design: Intercept + Perlakuan

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = 21,523. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,727.

b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.

(41)

29

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = 2,107. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,727.

b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.

Levene's Test of Equality of Error Variancesa

Dependent Variable:Asam Butirat (Ml Mol/l)

F df1 df2 Sig.

2,213 4 9 ,148

Tests the null hypothesis that the error variance of the dependent variable is equal across groups.

a. Design: Intercept + Perlakuan

(42)

30

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = ,920.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,727.

b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.

c. Alpha = ,05.

(43)

31

Lampiran 2 Dokumentasi penelitian

Botol vial 100 ml Tutup botol vial alumunium

Inkubasi 24 jam Sealler/Crimping

(44)

32

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung (Jawa Barat) pada tanggal 17 November 1967. Pendidikan SLTA ditempuh di Sekolah Menengah Analis Kimia Bogor (SAKMA) pada tahun 1988. Setelah menamatkan pendidikan SAKMA, penulis melanjutkan pendidikan program sarjana dan selesai pada tahun 1995 di Jurusan Kimia FMIPA Universitas Pakuan. Pada tahun 1992-Sekarang, penulis bekerja di Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Teknolgi Pakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2013 penulis melanjutkan pendidikan Pascasarjana Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan karya tulis ilmiah yang berjudul Analysis

of Methane Emission of Ruminant’s Rumen by In Vitro Technique Using

Chemical Stoichiometry Method serta di publikasikan pada Indian Journal Of Applied Research (IJAR) pada tanggal 1 Februari 2016. Selain itu, Penulis juga aktif di berbagai kegiatan, baik dalam kampus maupun luar kampus. Diantaranya, pemateri seminar analisis aflatoksin pada bahan baku pakan (Fapet IPB), tim uji propisiensi analisis proksimat Laboratorium ITP (Fapet IPB), Manager Teknis pada Laboratorium ITP (Fapet IPB), memberikan Pelatihan Analisis Gross Energi dan Set up Bomb Calorimeter di Laboratorium Nutrisi LIPI Cibinong, memberikan Pelatihan Analisis Proksimat di Fakultas Peternakan Universitas Timor Leste, serta Juara II Pranata Laboratorium Pendidikan Terbaik Tingkat Nasional pada tahun 2015.

Gambar

Gambar 1. Kerangka pikir penelitian
Gambar 3 Metabolisme hidrogen dan metanogenesis (Morgavi 2008)
Tabel 1 Komposisi nutrien pakan dalam  %BK (bahan kering)  Nutrien  Konsentrat  (%)  Rumput Gajah (%)  Jerami  (%)  RG: Konsentrat 60%:40%  JP: Konsentrat 60%:40%  BK  87,95  86,04  91,86  86,99  90,3  BO  81,76  76,89  74,36  77,68  77,04  Abu  6,19  9,15
Gambar 5 Total gas pada masing-masing ulangan
+3

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penulisan skripsi ini penulis membahas tentang Pola Pelaksanaan Bimbingan Narapidana Selama Menjalani Pembebasan Bersyarat Untuk Tidak Melakukan

Industri dapat terlibat langsung secara aktif memberikan masukan dan kritik terhadap karya-karya yang ditampilkan dalam sebuah situs portofolio, dan kemungkinan industri untuk

Dapat dirumuskan bahawa tahap penggunaan komputer dalam kalangan guru adalah bermula daripada sikap guru terhadap komputer dan juga tahap pengetahuan mereka tentang peri

Foto/Gambar Jenis Jenis Nama Nama Produk Produk Harga Harga Shower Shower Cebok Cebok ONDA S 75 ONDA S 75 MCS MCS Rp.A. Shower Shower Cebok Cebok ONDA S 75 ONDA S 75 WCS

Bandawasa sebagai kota kabupaten daerah tingkat II Banda- wasa, Propimi Jawa Timur terletak di jalur jalan antara Kota Besuki dengan Jernber dan antara Jember dengan

Berdasarkan analisis data, maka dapat disimpulkan bahwa : 1) Kemampuan mahasiswa pendidikan kimia dalam menyusun RPP berdasarkan Kurikulum 2013 dengan mengukur

Risiko timbul dari proses yang tidak efektif dan tidak efisien, seperti hal yang dapat menggagalkan pencapaian tujuan dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit,

Dalam pembelajaran fisika, kemampuan berfikir kreatif merupakan hal yang sangat penting untuk dimiliki oleh siswa. Hal ini menunjukkan bahwa pelajaran fisika bukan