• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH SUPLEMENTASI EKSTRAK LIMBAH DAUN SERAI WANGI (Cymbopogon nardus) TERHADAP EMISI GAS METANA (CH4) DARI CAIRAN RUMEN DOMBA SECARA IN VITRO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH SUPLEMENTASI EKSTRAK LIMBAH DAUN SERAI WANGI (Cymbopogon nardus) TERHADAP EMISI GAS METANA (CH4) DARI CAIRAN RUMEN DOMBA SECARA IN VITRO"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

DARI CAIRAN RUMEN DOMBA SECARA IN VITRO

SKRIPSI

ZICKRI CHAIRULLISAN

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

DARI CAIRAN RUMEN DOMBA SECARA IN VITRO

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Program Studi Biologi

Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Oleh :

ZICKRI CHAIRULLISAN NIM: 1113095000011

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)
(4)
(5)
(6)

iv

Wangi (Cymbopogon nardus) Terhadap Emisi Gas Metana (CH4) dari Cairan

Rumen Domba Secara In Vitro. Dibimbing oleh Dr. Irawan Sugoro dan drh.

RR. Bhintarti S.M. Biomed. Jurusan Biologi. Fakultas Sains dan Teknologi.

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Salah satu sumber emisi CH4 dapat berasal dari ternak domba. Seekor domba

menghasilkan emisi gas CH4 sebesar ±21,9 g/ hari. Besarnya emisi gas tersebut

mendorong munculnya program penekanan gas CH4 dengan cara pemberian

suplemen zat aditif pada pakan. Daun serai wangi hasil dari proses penyulingan merupakan salah satu limbah pertanian yang berpotensi sebagai pakan tambahan ternak. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh pemberian suplemen ekstrak limbah daun serai wangi (Cymbopogon nardus) terhadap produk fermentasi dan emisi gas CH4 yang dihasilkan oleh mikroba cairan rumen domba

secara in vitro. Penelitian ini menggunakan cairan rumen dari domba Garut dan ekstrak limbah daun serai wangi. Penelitian ini dilakukan secara in vitro dengan menggunakan Hohenheim Gas Test yang diinkubasi dalam waterbath pada suhu 39oC selama 24 jam dan pakan hijauan berupa rumput lapangan. Parameter uji penelitian ini terdiri atas pH, amonia, Volatile Fatty Acids (VFA), degradasi bahan organik (DBO), degradasi Neutral Detergent Fibre (DNDF), total bakteri, metanogen, Butyrivibrio fibrisolvens, protozoa, total produksi gas dan gas CH4.

Hasil penelitian menunjukkan pemberian ekstrak limbah daun serai wangi dengan pelarut heksana maupun pelarut butanol tidak berpengaruh nyata (sig > 0,05) terhadap parameter uji : pH, DBO, serta DNDF, sedangkan ekstrak dengan pelarut heksana dan pelarut butanol berpengaruh nyata (sig < 0,05) terhadap nilai NH3,

total bakteri, metanogen, B. fibrisolvens, protozoa, total produksi gas dan produksi CH4. Emisi gas CH4 berhasil ditekan oleh penambahan ekstrak heksana sebesar

23%, sedangkan ekstrak butanol mengalami peningkatan gas CH4 sebesar 28%

dibandingkan dengan kontrol. Berdasarkan hasil yang diperoleh, ekstrak heksana limbah daun serai wangi memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai suplemen tambahan pada pakan ternak untuk menekan emisi gas CH4.

(7)

v

Extract (Cymbopogon nardus) on Methane (CH4) Gas Emissions From Sheep’s Rumen Fluids by In Vitro. Guided by Dr. Irawan Sugoro and drh. RR.

Bhintarti S. M. Biomed. Department of Biology. Faculty of Science and

Technology. Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta.

One source of CH4 emissions can come from ruminant animals, such as a sheep.

A sheep can produce CH4 emissions of 21.9 g /day. The amount of CH4 gas

emissions has led to the emergence of CH4 gas suppression program by adding

plant extract supplements to feed. Fragrant citronella grass leaves are one of the agricultural waste that has the potential as additional livestock feeds. The aim of this study was to determine the effect of supplementation of extracts of fragrant citronella leaves (Cymbopogon nardus) on animal feed on the production of CH4

gas emissions in sheep rumen fluid. This study uses Garut Sheep rumen liquid and fragrant citronella leaves waste extracts. This research was carried out in vitro by using the Hohenheim Gas Test method which was incubated at 39˚C for 24 hours and forage feed in the form of field grass. The research test parameters are pH, ammonia, Volatile Fatty Acids (VFA), degradation of organic matter (DBO), degradation of Neutral Detergent Fiber (DNDF), total population of bacteria, metanogen, Butyrivibrio fibrisolvens, protozoa, total gas production and CH4 gas

production. The results showed that the extract treatment of citronella leaves waste with hexane and butanol solvents had no significant effect (sig> 0.05) on test parameters such as pH, DBO, and DNDF, while hexane and butanol solvents significantly (sig <0.05) on NH3 gas, total bacteria, metanogen, B. fibrisolvens,

protozoa, total gas production and CH4 gas concentration. CH4 gas emissions

were successfully suppressed by the addition of hexane extract by 23%, while butanol extract increased CH4 gas by 28% compared to the control. Based on the

results obtained, hexane extract of fragrant lemongrass leaves has the potential to be used as an additional supplement to sheep's feed in suppressing CH4 emissions.

(8)

vi

Assalamualaikum warrohmatullahi wabarokatuh

Segala puji milik Allah Subhanahu wa Ta’ala karena izin dan kuasa-Nya, penulis dapat menyelesaikan tulisan ini. Alhamdulillah, telah selesai penulisan skripsi penelitian ini yang berjudul “Pengaruh Suplementasi Ekstrak Limbah Daun Serai Wangi (Cymbopogon Nardus (L.) Rendle) Terhadap Emisi Gas Metana (CH4) dari Cairan Rumen Domba Secara In Vitro” disusun guna

memenuhi tugas mata kuliah “Sidang Skripsi atau Munaqosyah” Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Skripsi penelitian ini tidak mungkin selesai tanpa pihak-pihak yang terus menerus memberikan bimbingan, dukungan, motivasi serta doa sehingga ucapan terima kasih ditujukan kepada:

1. Dr. Irawan Sugoro M.Si, selaku dosen pembimbing I yang telah memberikan pengarahan, motivasi serta bimbingannya sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini dengan sangat baik.

2. drh. R.R. Bhintarti S.,M.Biomed, selaku dosen pembimbing II yang telah membimbing, serta memberikan saran, masukan dan motivasi kepada penulis hingga bisa menyelesaikan skripsi ini dengan sangat baik.

3. Dr. Dasumiati, M.Si selaku Ketua Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Dosen Pengampu Akademik.

4. Dr. Agus Salim, M.Si selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Ayah dan umi tercinta: Rojalih, S.E. dan Trias Politica, S.E., kakek dan nenek tersayang: alm. H. Ahmad Pungut dan Hj. Rohaya, adik-adikku: Syamil dan Anza, dan seluruh keluarga besar atas segala doa, nasihat, pengorbanan dan motivasinya kepada penulis hingga bisa selesai dan lulus.

6. Seluruh Dosen Program Studi Biologi yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan nasihat-nasihat berharganya kepada penulis.

7. Semua kaka kelas dan Mahasiswa/i Program Studi Biologi UIN Jakarta, khususnya Biologi angkatan 2013, HIMBIO Oryza sativa 2014, 2015 dan adik-adik semua yang selalu memberi dukungan, semangat, motivasi.

(9)

vii

media serta laboratorium untuk pcr, Pak Beny yang telah meminjamkan lab beserta untuk me-rotav, Pak Dono yang telah mengizinkan memakai lab tanah, Pak Dadang yang sudah membimbing penulis ketika semhas, Pak Deddy yang telah membantu mengukur gas dilab, Pak Yaya yang sudah membantu penelitian dan seluruh peneliti atau karyawan-karyawan Batan, yang telah banyak membantu hingga selesainya penelitian ini.

9. Teman satu lab 47A Batan: Ka Arina, Adit, Bisma, Galih, Nadya, Chintia, Arif, Wawan, Reynaldi, Dimas, Chata, Lina, Aisyah, kakak-kakak ISTN, anak-anak UHAMKA dan teman-teman lainnya yang sudah membantu serta memberi motivasi dan dukungan kepada penulis.

10. Teman-temanku Yusti, Fajar, Novi, Cantika, Azzam, dkk yang telah memberi semangat, doa dan motivasinya kepada penulis.

11. Seluruh anggota Generation of Microbiology and Molecular, TREIZE FLAT UIN Jakarta, teman-teman Wahana Indonesia Prestasi dan KKN TERBAIK 165, guru-guru GAMA UI, guru-guru serta adik-adik Sc biologi MAN 7 Jakarta atas dukungan serta doanya.

12. Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Namun, tidak mengurangi rasa hormat dan kasih sayang penulis kepada kalian.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar menjadi lebih baik. Terima kasih.

Ciputat, Oktober 2018

(10)

viii

ABSTRAK ... iv

ABSTRACT ...v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL...x

DAFTAR GAMBAR ...xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN ...1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Rumusan Masalah ... 4 1.3. Hipotesis Penelitian ... 4 1.4. Tujuan Penelitian ... 4 1.5. Manfaat Penelitian ... 4 1.6. Kerangka Berpikir ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...6

2.1. Pemanasan Global ... 6

2.2. Gas CH4 (Metana) ... 7

2.3. Domba Garut ... 8

2.4. Sistem Pencernaan Ruminansia ... 10

2.5. Proses Fermentasi Pakan di dalam Rumen ... 13

2.6. Metabolisme pembentukan gas CH4 ... 15

2.7. Serai wangi ... 16

2.8. Penelitian penurunan gas CH4...19

BAB III METODE PENELITIAN ...22

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 22

3.2. Alat dan Bahan ... 22

3.3. Prosedur Kerja ... 23

3.3.1 Preparasi sampel ... 23

3.3.2 Uji Proksimat ... 23

3.3.2.1. Pengukuran Bahan kering dan Bahan organik ... 23

3.3.2.2 Pengukuran Lemak Total ... 24

3.3.2.3 Pengukuran Protein Kasar ... 25

3.3.3 Ekstraksi Limbah Daun Serai Wangi ... 26

3.3.4. Uji Simulasi In vitro ... 26

3.3.4.1. Sampling Cairan Rumen Domba ... 26

3.3.4.2. Pembuatan Larutan Mc Dougall ... 26

3.3.4.3. Uji Kecernaan Secara In vitro ... 27

3.3.5. Analisis Parameter Uji ... 28

3.3.5.1. Skrining Fitokimia Secara Kualitatif ... 28

(11)

ix

3.3.5.6 Pengukuran Degradasi Neutral Detergen Fiber (DNDF) ... 30

3.3.5.7. Analisis Populasi Mikroorganisme Cairan Rumen ... 31

3.3.5.8. Pengukuran Produksi dan Konsentrasi CH4 ... 33

3.6. Analisis Data ... 34

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN...35

4.1. Analisis Proksimat Rumput Lapangan ... 35

4.2. Analisis Fitokimia Ekstrak Limbah Daun Serai wangi ... 37

4.3. Nilai pH ... 38

4.4. Nilai Konsentrasi NH3 ... 39

4.5. Konsentrasi Volatile Fatty Acids (VFA) Total dan Parsial ... 42

4.6. Nilai Degradasi Bahan Organik ... 47

4.7. Degradasi Neutral Detergent Fiber (DNDF) ... 49

4.8. Analisis Populasi Mikroorganisme Cairan Rumen ... 51

4.9. Analisis Produksi Total Gas dan Nilai gas CH4 ... 58

BAB V PENUTUP ...66

5.1. Kesimpulan ... 66

5.2. Saran ... 66

DAFTAR PUSTAKA ...67

(12)

x

Halaman

Tabel 1. Populasi ternak domba di Indonesia ... 9

Tabel 2. Jenis mikrobiota rumen ... 14

Tabel 3. Kandungan tanaman serai wangi ... 18

Tabel 4. Perlakuan sampel ... 27

Tabel 5. Primer PCR bakteri dan protozoa ... 33

Tabel 6. Kandungan nutrisi rumput lapangan ... 35

Tabel 7. Hasil uji fitokimia ekstrak limbah daun serai wangi ... 37

(13)

xi

Halaman

Gambar 1. Kerangka berpikir ... 9

Gambar 2. Domba Garut ... 11

Gambar 3. Gambar domba beserta jalur nutrisi pakan di sistem pencernaan... 11

Gambar 4. Jalur pembentukan komponen susu ... 12

Gambar 5. Tanaman serai wangi (x) dan limbah daun serai wangi (y) ... 17

Gambar 6.Nilai pH ... 38

Gambar 7. Nilai konsentrasi NH3 ... 40

Gambar 8. Volatile Fatty Acids (VFA) total... 43

Gambar 9. Degradasi bahan organik (DBO) ... 47

Gambar 10. Degradasi Neutral Detergent Fiber (DNDF) ... 49

Gambar 11. Analisis populasi mikroorganisme (RT-PCR) ... 52

Gambar 12. Jenis protozoa pada cairan rumen ... 57

Gambar 13. Hasil produksi gas total ... 57

Gambar 14. Hasil pengukuran nilai gas CH4 ... 59

(14)

xii

Halaman

Lampiran 1. Dokumentasi Penelitian ... 81

Lampiran 2. Diagram Alur Penelitian ... 83

Lampiran 3. Kondisi Pengaturan RT-PCR ... 84

Lampiran 4. Contoh Perhitungan Data Hasil ... 84

Lampiran 5. Analisa statistik One way ANOVA ... 88

(15)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pemanasan global adalah proses meningkatnya suhu rata-rata di atmosfer,

laut, dan daratan bumi. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPPC)

(2007) mengatakan sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global sejak

pertengahan abad ke-20 disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah

kaca akibat aktivitas manusia melalui efek rumah kaca. Efek rumah kaca terjadi

akibat peningkatan akumulasi gas rumah kaca yang dipengaruhi oleh kuantitas

gas-gas yang dihasilkan oleh aktivitas di bumi dan terkumpul di lapisan udara,

diantaranya karbondioksida (CO2), metana (CH4), nitrogen oksida (N2O), ozon

(O3) dan uap air (H2O). Badan Litbang Pertanian (2011) menyatakan bahwa

peningkatan emisi gas rumah kaca oleh gas CO2 adalahsebesar 55%, CH4 sebesar

15% dan N2O sebesar 18% (Pidwirny, 2006).

Gas metana (CH4) merupakan gas yang terbentuk dari proses fermentasi

anaerob dari bahan pakan di dalam rumen oleh bakteri metanogen. Gas CH4

memiliki kontribusi gas terbesar kedua penyebab efek rumah kaca, setelah CO2.

Namun, CH4 memiliki kemampuan 20 kali lebih besar dalam meretensi panas

dibandingkan dengan CO2 (IPPC, 2007). Ada lima kegiatan yang menjadi sumber

CH4 yaitu peternakan, budidaya padi sawah, pembakaran padang sabana dan

limbah pertanian, kegiatan antropogenik dan tanah lahan pertanian (IPPC, 2006).

Emisi gas-gas pada sektor peternakan bersumber dari aktivitas sistem pencernaan

(16)

Menurut Beauchemin et al. (2008), ternak ruminansia memiliki kontribusi

terhadap akumulasi gas CH4 antropogenik sebesar 28%. Emisi CH4 pada

ruminansia yaitu berasal dari hasil fermentasi saluran pencernaan (enteric

fermentation) dan kotoran (manure) (Hidayah, 2016). Gas CH4 yang dihasilkan

dari proses fermentasi pakan di dalam saluran pencernaan, berasal dari aktivitas

metanogen atau bakteri pendegradasi selulosa (selulolitik), salah satunya adalah

Butyrivibrio fibrisolvent.

Salah satu ternak ruminansia yang cukup berkontribusi terhadap produksi

CH4 adalah domba. Domba merupakan hewan ruminansia kecil yang dapat

menyumbang emisi gas rumah kaca. Perkiraan emisi CH4 pada sapi; kerbau;

domba dan kambing di negara maju, diantaranya adalah 150,7; 137; 21,9 dan 13,7

(g/hewan/hari) (Sejian et al. 2011).

Emisi gas CH4 tidak hanya terkait dengan masalah lingkungan saja, namun

juga merefleksikan hilangnya sebagian energi dari domba yang seharusnya juga

dapat digunakan untuk menunjang produktivitas ternak tersebut. Jumlah energi

yang hilang dari ternak ruminansia 8 –14% dari total energi tercerna (Cottle et al.,

2011) dan 8%-10% dari energi bruto pakan ternak ruminansia hilang sebagai gas

CH4 (Jayanegara, 2008). Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukannya upaya

penurunan CH4 dari ternak ruminansia.

Upaya untuk menurunkan produksi emisi CH4 enterik telah banyak

dilakukan antara lain dengan perbaikan manajemen pakan (Krisnan et al., 2009),

simulasi in vitro (Hess et al., 2003), penggunaan ransum atau limbah sebagai

pakan, penambahan bahan aditif dan manipulasi rumen (Thalib, 2011). Beberapa

(17)

menurunkan emisi gas CH4, diantaranya adalah silase jagung (Bakrie et al., 2008),

Moringa oleifera (Soliva et al., 2004), chestnut (Jayanegara, 2009), daun

mahagoni (Yugianto et al., 2010), Sapindus rarak (Suharti et al, 2011), Leucaena

leucocephala (Tan et al., 2011).

Serai wangi (Cymbopogon nardus) merupakan salah satu jenis tanaman

golongan rumput-rumputan yang biasanya digunakan oleh masyarakat untuk

diambil minyak atsirinya. Namun, setelah daun tersebut diambil minyak atsirinya,

daun tersebut sudah tidak digunakan lagi (limbah). Limbah daun serai wangi

digunakan masyarakat hanya untuk menambah bara api dalam proses

penyulingan. Padahal, limbah tersebut masih terkandung berbagai senyawa seperti

tanin, steroid, flavonoid dan senyawa metabolit lainnya yang bisa dimanfaatkan

(Hendrik, 2013).

Dalam memperoleh senyawa tersebut, diperlukan pelarut yang tepat.

Penelitian ini menggunakan 2 macam pelarut, yakni butanol dan heksana. Pelarut

butanol digunakan untuk melarutkan senyawa-senyawa polar, sedangkan pelarut

heksana digunakan untuk melarutkan senyawa-senyawa non-polar yang

terkandung dalam limbah daun serai wangi, yang nantinya senyawa metabolit

tersebut berpotensi dalam fermentasi pakan dan penurunan gas CH4.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2014) melaporkan limbah

serai wangi hasil penyulingan dapat menyebabkan ternak memiliki kotoran yang

tidak terlalu bau, kandungan protein 7% lebih tinggi dibandingkan limbah jerami.

Serat kasarnya pun lebih mudah dicerna (25,73%) dibandingkan rumput gajah

(34,15%) dan jerami (32,99%) (Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik

(18)

Oleh karena itu, perlu dilakukannya penelitian mengenai pengaruh

suplementasi ekstrak limbah daun serai wangi terhadap produk fermentasi dan

emisi gas CH4 dari cairan rumen domba secara in vitro yang diharapakan dapat

menekan emisi gas CH4, tanpa mempengaruhi efisiensi pemanfaatan pakan ternak

serta pertumbuhannya.

1.2. Rumusan Masalah

Apakah pakan yang disuplementasi ekstrak limbah daun serai wangi dapat

berpengaruh pada produk fermentasi dan emisi gas CH4 yang dihasilkan oleh

mikroba cairan rumen domba secara in vitro?

1.3. Hipotesis Penelitian

Suplementasi ekstrak limbah daun serai wangi ke dalam pakan dapat

berpengaruh terhadap produk fermentasi dan emisi gas CH4 yang dihasilkan oleh

mikroba cairan rumen domba secara in vitro.

1.4. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh suplementasi ekstrak

limbah daun serai wangi terhadap produk fermentasi dan emisi gas CH4 yang

dihasilkan oleh mikroba cairan rumen domba secara in vitro.

1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu menurunkan emisi gas CH4 dan sebagai

salah satu langkah dalam meminimalisir efek rumah kaca atau global warming.

(19)

meningkatkan efisiensi pakan serta dapat menjadi produk suplemen pakan yang

bernilai ekonomis, khususnya bagi para peternak.

1.6. Kerangka Berpikir

Gambar 1. Kerangka Alur Berpikir

Pemanasan Global : Efek rumah kaca

Strategi penurunan emisi gas CH4

Peternakan: Hewan ruminansia

Ekstrak limbah daun serai wangi dapat mempengaruhi produksi emisi gas CH4

Emisi gas CH4

Ekstrak limbah daun serai wangi (Cymbopogon nardus L.)

Domba Garut

Simulasi in vitro: Cairan rumen domba Manipulasi pakan ternak : Penambahan metabolit sekunder

(20)

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pemanasan Global

Pemanasan global adalah kejadian terperangkap radiasi gelombang

panjang matahari (gelombang panas atau infra merah) yang dipancarkan ke bumi

oleh gas-gas rumah kaca. Jenis-jenis gas rumah kaca tersebut, diantaranya

Karbondioksida (CO2), Metana (CH4), Karbon monoksida (CO), Nitrogen oksida

(NO), Hydroperfluorokarbon (HFCs), Perfluorokarbon (CFC),Sulfur Heksaflorida

(SF6). Gas-gas rumah kaca secara alami terdapat di udara (atmosfer) dan apabila

berlebih akan menyebabkan efek rumah kaca (Knapp et al, 2014).

Efek rumah kaca terjadi akibat energi matahari memasuki bagian atmosfer

sebagai radiasi gelombang pendek dan membuat jalan ke tanah tanpa bereaksi

dengan gas rumah kaca. Kemudian tanah, awan, dan permukaan bumi lainnya

menyerap energi ini dan melepaskannya kembali ke angkasa sebagai radiasi

gelombang panjang. Radiasi gelombang panjang naik ke atmosfer, itu diserap oleh

gas rumah kaca. Gas rumah kaca kemudian memancarkan radiasi mereka (juga

gelombang panjang), yang akan terus diserap dan dipancarkan oleh berbagai

permukaan, bahkan gas rumah kaca lainnya, sampai akhirnya meninggalkan

atmosfer (IPCC, 2014).

Peristiwa efek rumah kaca dapat dijelaskan sebagai berikut: energi

matahari yang masuk ke bumi mengalami serangkaian proses, 25% energi

dipantulkan oleh awan atau partikel lain ke atmosfer, 25% diadsorpsi oleh awan,

(21)

permukaan bumi, berarti energi yang diabsorpsi oleh awan dan permukaan bumi

dipantulkan kembali dalam bentuk radiasi infra merah atau gelombang panas

matahari. Namun, sebagian besar infra merah yang dipancarkan bumi tertahan

oleh awan, gas CO2 dan gas rumah kaca lainnya untuk dikembalikan ke

permukaan bumi (Sulistyono,2007).

Bila kecenderungan peningkatan gas rumah kaca terjadi secara terus

menerus akan menyebabkan peningkatan mencapai 1-3,5 ºC (IPPC, 2006).

Konsentrasi Gas Rumah Kaca secara global meningkat akibat kegiatan manusia

terutama yang berhubungan dengan pembakaran bahan bakar fosil, pembakaran

dan penggundulan hutan yang mengakibatkan pengeluaran CO2, CH4, dan NO2.

Apabila konsentrasi gas rumah kaca meningkat di atmosfer, maka akan semakin

banyak gelombang panas yang dipantulkan dari permukaan bumi dan diserap

atmosfer. Hal ini akan mengakibatkan suhu permukaan bumi menjadi meningkat.

Peningkatan suhu permukaan bumi akan mengakibatkan adanya perubahan iklim

yang sangat ekstrim. Hal ini dapat mengakibatkan terganggunya hutan dan

ekosistem lainnya, sehingga mengurangi kemampuannya untuk menyerap karbon

dioksida di atmosfer (Hardy, 2003).

2.2. Gas CH4 (Metana)

Senyawa CH4 terdiri atas unsur C dan H. CH4 memiliki karakteristik tidak

berwarna, mudah terbakar, gas beracun dengan bau. CH4 merupakan komponen

utama dari gas alam. Gas CH4 berasal dari alam seperti kutub, lautan, lapisan es

permanen, tanah yang gembur, serta berasal dari aktivitas manusia. CH4 terbentuk

secara alami dari reduksi CO2 oleh H2 yang dikatalisis oleh enzim yang dihasilkan

(22)

CH4 dapat membuat semakin tipisnya lapisan ozon di wilayah troposfer

dari suasana di mana efek rumah kaca terjadi, dan meningkatkan uap air

stratosfer, yang keduanya dapat menambah kekuatan radiasi dari gas sekitar 70%.

CH4 lebih berbahaya 20-30 kali lebih besar dibandingkan dengan CO2.

Ada lima kegiatan yang menjadi sumber CH4 yaitu peternakan, budidaya

padi sawah, pembakaran padang sabana dan limbah pertanian, kegiatan

antropogenik dan tanah pertanian (IPPC, 2006). Sektor peternakan memiliki

pengaruh cukup besar dalam penyumbang emisi gas CH4 (Beauchemin, 2008).

Emisi CH4 ruminansia berasal dari fermentasin enterik dan kotoran, yang

berkontribusi berjumlah sekitar 94% dari total emisi CH4 (Hidayah, 2016). Ternak

ruminansia bertanggung jawab terhadap 85 Tg (1 Tg sama dengan 1012 g = 1 juta

metrik ton) dari 550 Tg gas CH4 yang dibebaskan ke alam setiap tahunnya.

2.3. Domba Garut

Domba garut (Ovis aries) merupakan hasil persilangan antara domba lokal

Indonesia (Jawa Barat), domba merino (Spanyol), dan domba kaapstad (Afrika

Selatan) (Herdis, 2008). Domba Garut berasal dari domba lokal dari daerah

Cibuluh dan Wanaraja yang memiliki ciri spesifik, yaitu memiliki kombinasi

telinga rumpung (rudimenter) dengan ukuran di bawah 4 cm dan ekor berukuran 4

- 8 cm (Heriyadi, 2009). Domba ini juga memiliki berat badan rata-rata di atas

domba lokal Indonesia lainnya. Herdis (2005) menyebutkan bahwa domba garut

(23)

Gambar 2. Domba Garut (Ovis aries), Sumber : Dok. Pribadi (2017)

Berdasarkan data ternak kementerian pertanian RI (2016), populasi domba

tertinggi di Indonesia ditemukan pada provinsi Jawa Barat dengan kenaikan

populasi sebesar ±900.000-1.200.000/ekor tiap tahunnya. Selain Jawa Barat,

provinsi yang memiliki populasi domba cukup tinggi, adalah Jawa Tengah dan

Jawa Timur. Sebagian besar masyarakat mengembangbiakkan ternak domba

untuk berbagai tujuan, diantaranya hari raya qurban, adu domba, aqiqah, upacara

keagamaan ataupun tradisi adat istiadat lainnya.

Tabel 1. Populasi ternak domba di Indonesia

No Provinsi 2012 2013 2014 2015 2016 1 Aceh 163.542 157.111 111.030 107.163 112.394 2 Sumatera Utara 374.286 595.517 610.103 611.427 623.677 3 Jambi 72.927 77.151 79.708 79.793 85.043 4 Lampung 88.873 89.005 70.936 65.072 65.185 5 DKI Jakarta 1.450 1.174 2.211 2.180 2.398 6 Jawa Barat 8.249.844 9.391.590 10.612.726 11.575.359 12.462.091 7 Jawa Tengah 2.429.132 2.458.303 2.395.671 2.304.131 2.363.158 8 Yogyakarta 151.772 156.860 166.567 177.578 179.408 9 Jawa timur 1.088.602 1.165.472 1.221.758 1.282.910 1.328.834 10 Banten 612.583 637.218 657.674 644.167 611.693 11 NTT 63.109 63.877 64.645 65.421 66.205

(24)

2.4. Sistem Pencernaan Ruminansia

Sistem pencernaan merupakan rangkaian proses perubahan fisik dan kimia

yang dialami bahan makanan selama berada di dalam organ pencernaan. Proses

pencernaan makanan pada ruminansia relatif lebih kompleks dibandingkan proses

pencernaan lainnya. Ternak ruminansia (Forestomach) dibagi menjadi 4 bagian

perut, yaitu retikulum (perut jala), rumen (perut beludru), omasum (perut bulu),

dan abomasum (perut sejati). Pencernaan pada ternak meliputi pencernaan

mekanik, pencernaan fermentatif, dan pencernaan hidrolitik. Pencernaan mekanik

terjadi di mulut oleh gigi melalui proses mengunyah (mastikasi) dengan tujuan

untuk memperkecil ukuran partikel pakan. Pencernaan di lambung depan berjalan

secara fermentatif oleh mikroba rumen, sedangkan pencernaan di lambung sejati

(abomasum) terjadi secara hidrolitis oleh enzim pencernaan (Bessa et al., 2015).

Gambar 3 menjelaskan karbohidrat, protein, lemak dan non-protein

Nitrogen (NPN) yang terkandung dalam pakan dihidrolisis secara mekanis dan

kimiawi di dalam mulut, lalu setelah melewati esophagus masuk ke lambung,

bagian retikulo-rumen. Dalam studi fisiologi ternak ruminasia, rumen dan

retikulum sering dipandang sebagai organ tunggal dengan sebutan retikulo-rumen,

dimana makanan dicerna menjadi bubur (kim). Di retikulum, selulosa,

hemiselulosa dan gula starch akan didegradasi oleh mikroba menjadi glukosa

sebagai substrat fermentasi dan di rumen, NPN atau protein nantinya akan

digunakan untuk sintesis protein mikroba di dalam rumen. Beberapa

makromolekul, lemak dan protein akan masuk ke proses fermentasi, dan

(25)

VFA yang dihasilkan sebagian langsung diserap melalui dinding rumen dan

sebagian lagi diserap dalam omasum (perut buku), dimana terjadi penyerapan air,

amonia, asam lemak terbang (VFA) dan elektrolit. Kemudian, zat makanan

diteruskan ke abomasum yang merupakan lambung sebenarnya. Beberapa protein

ada yang diteruskan ke abomasum untuk dipecah oleh enzim menjadi

oligopeptida. Selanjutnya, makanan tersebut masuk ke dalam intestinum tenue

untuk pencernaan enzimatis dan mengabsorbsi sari-sari makanan dalam bentuk

makromolekul sederhana, seperti glukosa, asam amino, asam lemak & gliserol.

Kemudian, sisa-sisa makanan melewati intestinum crassum untuk pembusukan

makanan dan absorbsi air dan dikeluarkan melalui anus dalam bentuk feces.

Gambar 3. Gambar domba beserta jalur nutrisi pakan di dalam sistem pencernaan

(26)

Protein kasar, karbohidrat (gula, serat) serta lemak difermentasi oleh

mikroba secara enzimatis menjadi produk sederhana seperti asam amino dan

beberapa asam lemak terbang seperti propionat dari gula, asetat dan butirat dari

serat dan asam lemak. Hasil produk tersebut digunakan sebagai berikut: asam

amino digunakan sebagai protein susu, asam propionat digunakan dalam

pembentukan laktosa susu, sedangkan asam asetat serta butirat digunakan untuk

memproduksi lemak pada susu.

Gambar 6. Jalur pembentukan komponen susu pada ruminansia (Sniffen,1991)

Dalam proses pencernaan, pakan yang mengandung protein akan dipecah

oleh mikroba menjadi asam amino dan lemak akan diubah menjadi asam lemak.

Zat makanan yang kaya akan karbohidrat atau serat akan dirombak menjadi gula

sederhana seperti selobiosa, maltosa, dan pentosa. Selanjutnya, produk tersebut

dikonversi menjadi glukosa 1-fosfat oleh enzim yang diproduksi oleh bakteri

rumen, dan glukosa melalui proses glikolisis dibentuk menjadi asam piruvat, dan

energi berupa ATP (Mc Donald et al.,2002).

Asam piruvat yang terbentuk, akan difermentasi oleh mikroba di dalam

rumen dan menghasilkan asam asetat, propionat dan butirat (volatile fatty acid),

(27)

dibutuhkan oleh ruminansia untuk menghasilkan energi dan memproduksi laktosa

susu. Asam amino digunakan untuk memproduksi protein susu. Sedangkan, asam

lemak beserta asam asetat dan butirat digunakan ruminansia sebagai substrat

dalam memproduksi lemak susu (Sniffen, 1991).

2.5. Proses Fermentasi Pakan di dalam Rumen

Hasil fermentasi pakan dalam cairan rumen, salah satunya Volatile Fatty

Acids. VFA merupakan produk pakan hasil fermentasi karbohidrat dan menjadi

sumber energi utama ruminansia asal rumen. Awalnya, polisakarida di dalam

rumen dihidrolisis menjadi monosakarida (glukosa dan fruktosa). Hasil

pencernaan tahap pertama masuk ke jalur glikolisis Embden-Mayerhoff untuk

mengalami pencernaan tahap kedua yang menghasilkan piruvat. Piruvat

selanjutnya akan di ubah menjadi VFA (Arora, 1995). Konsentrasi VFA

dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain jenis pakan, pH, kandungan serat

kasar atau karbohidrat, populasi mikroba dan kadar NH3.

NH3 berasal dari protein dan nitrogen bukan protein (NPN) yang dihidrolisis

oleh enzim proteolitik yang dihasilkan oleh mikroba (Arora, 1995). Produksi NH3

dipengaruhi oleh waktu setelah makan dan umumnya produksi maksimum di

capai pada 2-4 jam setelah pemberian pakan yang bergantung pada sumber protein

yang digunakan dan mudah tidaknya protein tersebut didegradasi. Jika pakan yang

mengandung protein dan protein tersebut terdegradasi, maka konsentrasi N-NH3

rumen akan rendah (lebih rendah dari 50 mg/L) dan pertumbuhan organisme

rumen akan melambat. Sebaliknya, jika degradasi protein lebih cepat daripada

(28)

optimumnya. Kisaran optimum NH3 dalam rumen berkisar antara 85-300 mg/L

(McDonald et al., 2002).

Kandungan NH3, VFA serta pembentukan protein mikroba merupakan tolak

ukur nilai gizi dan manfaat bahan serta aktivitas di dalam rumen. Mc Donald

(2002) menyatakan bahwa konsentrasi NH3 yang tinggi dapat menunjukkan

proses degadasi protein pakan lebih cepat dari pada proses pembentukan protein

mikroba, sehingga NH3 yang dihasilkan terakumulasi dalam rumen.

Kondisi ideal adalah pada saat sumber energi yang dapat difermentasi

sama cepatnya dengan pembentukan NH3, sehingga pada saat NH3 terbentuk

terdapat produksi fermentasi asal karbohidrat yang akan digunakan sebagai

kerangka karbon dari protein mikroba. Jenis-jenis mikroba yang ada di dalam

rumen bermacam-macam (tabel 2), mereka menggunakan senyawa turunan

karbohidrat sebagai substrat pertumbuhannya seperti selulosa, hemiselulosa atau

starches. Lalu, akibat dari penggunaan substrat tersebut akan menghasilkan

produk fermentasi diantaranya asam asetat, butirat, propionat, CO2 dan CH4.

Tabel 2. Jenis mikrobiota rumen pada ruminansia (Ishler,1996; Mackie et al.,2001)

Jenis Mikroba Substrat yang digunakan Produk

Fibrobacter succinogenes, Selulosa Asam asetat, Asam suksinat

Ruminococcus spp. Selulosa Asam asetat, Asam suksinat, etanol, CO2 dan H2

Prevotella ruminicola Hemiselulosa, Starches, Mono- Disakarida

Asam asetat, Asam suksinat, Asam formiat

Butyrivibrio fibrisolvens Selulosa, Hemiselulosa, Starches, Mono- Disakarida

Asam butirat, Asam asetat, Asam formiat, CO2 dan H2

Selenomonas ruminantium Starches, Mono- Disakarida Asam asetat, Asam propionat, Asam laktat, CO2 dan H2

Archaea (Metanogen) Co2 dan H2 CH4

Protozoa Bersilia

Entodiniomorphidae Selulosa, Hemiselulosa Asam asetat, Asam butirat, CO2, H2

Entodinium Starches Asam asetat, Asam butirat, CO2, H2

Holotricha (D. ruminantium) Mono- Disakarida, dan Pati Asam asetat, Asam butirat, CO2, H2

(29)

2.6. Metabolisme Pembentukan Gas CH4

Secara garis besar proses pembentukan gas CH4 dibagi dalam tiga tahap,

yaitu: hidrolisis, asidifikasi (pengasaman) dan pembentukan gas CH4 (Haryati,

2006). Tahap pertama adalah reduksi senyawa organik yang komplek menjadi

senyawa yang lebih sederhana oleh bakteri hidrolitik atau disebut dengan tahap

hidrolisis. Bakteri hidrolitik ini bekerja pada suhu antara 30-40oC untuk kelompok mesophilik dan antara 50-60oC untuk kelompok termophilik. Tahap pertama ini berlangsung dengan pH optimum antara 6 sampai 7 (Budiyanto, 2002).

Tahap kedua adalah asidifikasi (pengasaman) dimana terjadi perubahan

senyawa sederhana menjadi asam organik yang mudah menguap (Vollatile fatty

acids) seperti asam asetat, asam butirat, asam propionat dan lain-lain. Asam

organik yang terbentuk menyebabkan pH akan terus menurun, namun pada waktu

yang bersamaan terbentuk buffer yang dapat menetralisir pH. Bakteri pembentuk

asam-asam organik tersebut di antaranya adalah Pseudomonas, Flavobacterium,

Escherichia dan Aerobacter (Budiyanto, 2002).

Tahap ketiga adalah pembentukan gas CH4 atau metanogenesis,

merupakan tahap konversi asam organik menjadi CH4, CO2 dan gas-gas lain

seperti hidrogen sulfida (H2S), H dan nitrogen (N). CH4 dihasilkan dari asetat atau

dari reduksi CO2 oleh bakteri asetotropik dan hidrogenotropik. Konversi tersebut

dilakukan oleh bakteri metanogen seperti Methanobacterium omelianskii, M.

sohngenii, M. suboxydans, M. propionicum, M. formicium, M. ruminantium, Methanosarcina barkeril, Methanococcus vannielli dan Methanococcus mazei.

Pada tahap ini, pembentukan emisi gas CH4 di dalam rumen terjadi melalui

(30)

metanogen. Pembentukan ini bertujuan untuk menjaga tekanan H2 yang sangat

rendah (menghindari pembentukan laktat yang tinggi) dan hal ini berpengaruh

penting terhadap fermentasi secara keseluruhan (Jayanegara, 2008). Gas CH4

nantinya dikeluarkan melalui anus serta mulut ruminansia, lalu dilepaskan ke

atmosfer (Martin et al., 2008).

2.7. Serai Wangi

Tanaman serai wangi termasuk golongan rumput-rumputan yang disebut

sebagai Andropogon nardus atau Cymbopogon nardus. Genus ini meliputi hampir

80 spesies, dan beberapa jenis tanaman tersebut dapat menghasilkan minyak atsiri.

Tanaman serai wangi mampu tumbuh sampai 1-1,5 m. Panjang daunnya mencapai

70-80 cm dan lebarnya 2-5 cm, berwarna hijau muda, kasar dan memiliki aroma

yang kuat (Balai teknologi pertanian, 2016).

Serai wangi di Indonesia ada dua jenis varietas dari sereh wangi ini yaitu

varietas Lena batu dan verietas Mahapengiri.Perbedaannya adalah jika jenis

mahapengiri mempunyai ciri-ciri daunnya lebih lebar, pendek, menghasilkan

minyak dengan kadar sitronellal 30-45% dan geraniol 65- 90%. Sedangkan, jenis

lenabatu menghasilkan minyak dengan sitronellal 7-15% dan geraniol 55-65%

(Santoso, 2006). Serai wangi (Cymbopogon nardus. L) merupakan salah satu jenis

tanaman minyak atsiri, yang tergolong sudah berkembang. Dari hasil penyulingan

daunnya diperoleh minyak serai wangi yang dalam dunia perdagangan dikenal

dengan nama Citronella Oil. Tahun 2012, Menurut data dari Balai tanaman

perkebunan propinsi Jawa Barat (2015), Produksi serai wangi di wilayah Jawa

barat yakni mencapai 3.482 ton dan produksi serai pada tahun tersebut paling

(31)

Menurut Sukamto et al. (2011), luas rata-rata budidaya seraiwangi di

Indonesia yang umumnya dilakukan dalam skala pertanaman rakyat mencapai

20.900 ha/th. Tanaman tersebut juga memiliki daya hidup kuat, bahkan sering

digunakan di daerah marginal. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik

(2011) menyatakan serai wangi dapat tumbuh di dataran rendah hingga ketinggian

1.200 mdpl, cocok ditanam di lahan terbuka intensitas cahaya sekitar 75-100%.

Klasifikasi ilmiah (taksonomi) tanaman serai wangi adalah sebagai berikut;

Kingdom: Plantae, Subkingdom: Trachebionta, Divisi: Spermatophyta, Subdivisi:

Magnoliophyta, Kelas: Liliopsida, Subkelas: Commelinidae, Ordo: Cyperales,

Famili: Gramineae, Genus: Cymbopogon, Spesies: Cymbopogon nardus (L.)

Rendle (USDA, 2016).

(x) (y)

Keterangan: (x) = Tanaman serai wangi (y) = Limbah daun serai wangi

Gambar 6. Tanaman Serai wangi dan Limbah Daun Serai wangi Sumber : Dok. Pribadi (2017)

2.7.1. Kandungan Senyawa pada Serai wangi

Tanaman serai wangi mengandung 0,4% minyak atsiri, dengan komponen

yang terdiri dari sitral, α-pinen, kamfen, sabinen, mirsen,β-felandren, psimen,

(32)

geraniol, farnesol, metil heptenon, n-desialdehida, dipenten, metil heptenon,

bornilasetat, geranilformat, terpinil asetat, sitronelil asetat, geranil asetat, β-elemen, β-kariofilen, β-bergamoten, trans- metilisoeugenol, β- kadinen, elemol,

kariofilen oksida (Kristiani, 2013). Selain itu, Wei & Wee (2013) menyatakan

bahwa senyawa aktif pada daun serai wangi antara lain sitronelal, nerol, geraniol,

geranial, linalol, limonen, eugenol yang memiliki aktivitas anti-bakteri.

Tabel 3. Kandungan daun serai wangi (Hendrik, 2013)

Jenis Senyawa JENIS EKSTRAK Ekstrak Kasar Metanol Fraksi Heksana Fraksi Etil Asetat Alkaloid - - - Saponin - - - Steroid - + - Terpenoid + - + Flavonoid + - + Fenolik + - +

Daun serai wangi yang sudah mengalami proses penyulingan pun dapat

memiliki beberapa senyawa-senyawa tersebut yang dapat dimanfaatkan, salah

satunya PUFA (Polyunsaturated fatty acids). PUFA adalah asam lemak poli tak

jenuh yang memiliki lebih dari satu ikatan rangkap dan maksimum memiliki 6

ikatan rangkap dalam struktur rantai karbon. Asam lemak poli tak jenuh memiliki

gugus utama asam karboksilat (−COOH) dan pada rantai karbon mengandung dua

atau lebih ikatan rangkap, ikatan rangkap tidak terkonjugasi tetapi terpisah oleh gugus metilen (−CH2). Menurut wuryanti (2015), pemberian suplementasi nutrisi

diperkaya PUFA mampu menurunkan status inflamasi. Jafari et al. (2016)

mengatakan bahwa asam lemak tak jenuh (PUFA) dengan pelarut non-polar

(heksana dan kloroform) mereduksi gas CH4 sekitar 5-6%, sedangkan pelarut

(33)

2.8. Penelitian mengenai penurunan gas CH4

Hewan ruminansia khususnya sapi perah telah diteliti dan diterapkan

beberapa strategi penurunan gas CH4 yaitu dilakukan penambahan ionofor, lemak,

penggunaan hijauan berkualitas tinggi, dan meningkatkan penggunaan biji-bijian

(konsentrat). Pengurangan emisi gas CH4 dapat dilakukan dengan memanipulasi

proses fermentasi di dalam rumen baik itu dengan langsung menghambat populasi

metanogen protozoa, atau dengan mengalihkan senyawa hidrogen.

Beberapa sumber mengidentifikasi cara baru untuk mengurangi emisi gas

CH4a yaitu dengan penambahan probiotik, strategi manajemen pakan, manipulasi

rumen, acetogens, archaea, asam organik, ekstrak tumbuh-tumbuhan untuk pakan,

dan seleksi genetik sapi. Gas CH4 merupakan produk akhir fermentasi karbohidrat

dalam rumen. Cara meningkatkan produktivitas ternak menjadi cara yang cukup

efektif untuk mengurangi pelepasan gas CH4 dalam jangka pendek, akan tetapi

hampir semua melibatkan peningkatan penggunaan pakan yang mengandung

kualitas lebih tinggi atau rendah kandungan seratnya (Moss et al., 2000).

Strategi pemberian pakan yang dilakukan salah satunya adalah pemberian

pakan yang mengandung tanin pada ternak ruminansia karena tanin silase,

diproduksi dengan memfermentasi jagung di dalam silo. Pakan tersebut dapat

mengurangi emisi polutan dari knalpot kendaraan sebanyak 6%. Jika memiliki

kadar gula yang lebih tinggi mampu mengurangi emisi tersebut sekitar 20% dan

apabila ditambah gandum tanpa sekam dapat mengurangi CH4 sekitar 33%.

Hasil penelitian Suharti et al. (2011) melaporkan bahwa penambahan

ekstrak Lerak (Sapidus rarak) yang mengandung 81,5% saponin pada level 0,6

(34)

penelitian Tan et al., (2011) secara in vitro penambahkan tanin terkondensasi

murni dari ekstrak tanaman Leucaena leucocephala pada level 0, 10, 15, 20, 25,

30 mg dalam 500 mg sampel, menunjukkan bahwa semakin tinggi penambahan

tanin terkondensasi murni, maka semakin menurun produksi gas CH4, VFA,

protozoa dan bakteri metanogen. Produksi gas CH4 yang diperoleh adalah sebesar

10- 5,5 mg/g dibandingkan dengan kontrol yakni sebesar 14,9 mg/g.

Jayanegara (2009) menyatakan penambahan tanin murni dari chestnut 1

mg/ml dapat menurunkan konsentrasi gas CH4 sebesar 6.5% dan 7.2%. Jumlah

pemberian buffer 1,5% NaHCO3 + 0,5% MgO dari BK ransum pada Sapi

Holstein dengan pemberian Hay alfalfa dan silase jagung pada pakan dapat

meningkatkan pH rumen hingga 2%, meningkatkan kecernaan NDF sebesar 16%

dan VFA total sebesar 6%. Penelitian Jayanegara lainnya dilaporkan penambahan

tanin murni baik dari jenis tanin terkondensasi ataupun tanin terhidrolisis pada

konsentrasi rendah 0,5 mg/ml cairan rumen atau yang setara dengan 25mg/500 mg

sampel mampu menurunkan VFA total pasial, produksi gas dan total gas CH4

dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Jumlah produksi CH4 yang diperoleh

dengan penambahan tanin adalah sebesar 13,3-13,5%, dan produksi CH4 pada

kontrol sebesar 14,7%.

Hasil penelitian Bauchemin et al. (2007) melaporkan bahwa penambahan

ekstraktanin terkondensasi dari tanaman quebracho yang mengandung 91% tanin.

Penambahan tanin yang berasal dari tanaman Sericea lespedeza (17,7% tanin

terkondensasi) menurunkan emisi CH4 (10,7 g/kg kecernaan BK). Penggunaan

minyak jagung sebagai agen defaunasi mampu mengeliminasi protozoa rumen

(35)

populasi bakteri rumen dari 8,80 x 1010 sel/ml menjadi 11,40 x 1010 sel/ml (Zain et

al., 2008). Hess et al. (2003) melaporkan bahwa penelitian pengukuran protozoa

dengan PCR menunjukkan penambahan tanin terkondensasi mampu menurunkan

populasi protozoa, yang berefek pada penurunan gas CH4.

Pen et al. (2006) melaporkan bahwa penggunaan dosis saponin yang

berbeda menghasilkan respon yang berbeda terhadap produksi CH4 dan populasi

protozoa. Penambahan ekstrak Yucca schidigera (80-100 g/kg saponin) dengan

level 2, 4 dan 6 ml/l cairan rumen menurunkan produksi CH4 dari 32-42%. Hasil

penelitian secara in vitro menggunakan saponin juga dilaporkan oleh Hu et al.

(2005) bahwa penambahan ekstrak saponin dari biji teh (60% saponin) level 0,2

dan 0,4 mg/ml cairan rumen sangat signifikan menurunkan populasi protozoa, dan

produksi gas CH4. Populasi protozoa dengan penambahan ekstrak saponin sebesar

0,53 - 0,11x105 ml−1, sementara perlakuan kontrol populasinya sebesar 0,61x105

ml−1. Jika dibandingkan dengan kontrol, populasi protozoa setelah penambahan saponin menjadi menurun. Hasil produksi CH4 setelah penambahan ekstrak

(36)

22

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2016 sampai dengan

bulan Maret 2017 di Laboratorium Pengujian Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan

Radiasi Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) yang beralamat di Jalan Lebak

Bulus Raya, Pasar Jumat, kota Jakarta Selatan.

3.2. Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan penelitian ini adalah kain kassa, kertas saring,

desikator, gunting, rotary evaporator, destilator (Glass Col), buret (Assistant

Germany), grinder (Fritsch Standard Funnel V2A 14304), Gas Cromatography

(GC), labu Kjeldahl, pemanas, kondensor, tanur listrik (Pyrolabo), hotplate (Ika

Labortechnik) pH meter (Hanna Istrumens), oven (Fisher Isotemp Oven), neraca

analitik (Satrorius), tanur (Heraeus), cawan porselen, cawan conway (Phyrex),

glass syringe (Fortuna® Optima glass syringes), gas bags (Techinstro), reflux

(Gerhardt), gelas ukur, pompa vakum, desikator (Phyrex), gas analyzer (MRU

vario), inkubator, mikropipet, mikrotip, erlenmeyer (Phyrex), soxhlet (Atico),

tabung reaksi, sentrifuge (Hitachi), waterbath (Dolphin® Instruments),

mikrosentrifuge, mikrotub, thermal cycler.

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun serai wangi

setelah proses penyulingan dari Desa Cibunian Bogor, pelarut heksana, pelarut

butanol, aquades, cairan rumen domba, NaOH (Merck), H2SO4 (Merck), HCl

(37)

larutan EDTA, vaselin, methylen blue, methylen red, asam asetat glasial, metanol,

asam asetat, larutan Mc.Dougall, FeCl (III), NaHCO3, NH4HCO3, Na2HPO4,

KH2PO4, MgSO4.7H2O, natriumlauryl sulfat (Merck), metanol, etanol, indikator

Conway, petroleum eter ,selenium, NaCl Fisiologis, Aquades steril, larutan

lysozyme (LL), Rnase, Proteinase-K, DNA template, primer, Dna contents, Taq

polymerase, PureLink Genomic Digestion Buffer, PureLink Genomic Lysis binding buffer, PureLink Genomic Elution Buffer, Wash buffer, Cyber green, CO2.

3.3. Prosedur Kerja

Penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan, yaitu preparasi sampel daun, uji

proksimat: bahan kering, bahan organik, bahan abu, Neutral Detergent Fiber,

lemak total dan protein kasar. Setelah itu, dilanjutkan dengan pengukuran nilai

pH, nilai NH3, degradasi bahan organik, Volatile Fatty Acids, degradasi NDF,

analisis RT-PCR untuk mengetahui jumlah total bakteri, bakteri metanogen, B.

fibrisolvent, total protozoa, produksi gas dan total gas CH4.

3.3.1 Preparasi Sampel

Rumput lapangan yang digunakan sebagai pakan ternak dan limbah daun

serai wangi hasil digunting sekitar 2-5 cm. Kemudian, dipanaskan dalam oven

dengan suhu 60oC selama 48 jam. Kemudian, sampel dihaluskan menggunakan

grinder dengan ukuran 0,4 mesh hingga berbentuk serbuk simpilisia. 3.3.2 Analisis Proksimat rumput lapangan

3.3.2.1. Pengukuran Bahan Kering dan Bahan Organik

Bahan kering dan organik diukur dengan menggunakan metode gravimetri

berdasarkan Association of Official Analytical Chemistry (2005). Langkah

(38)

jam pada oven 105̊C, didinginkan dalam desikator, berat cawan kosong (X)

ditimbang. Kemudian, rumput lapangan ditimbang sebanyak 0,2 gram diletakkan

ke dalam cawan. Selanjutnya, cawan dimasukkan ke dalam oven 105˚C selama ±

24 jam, didinginkan dalam desikator, lalu ditimbang dan dicatat beratnya.

Keterangan : X = Bobot cawan kosong (g) Y = Bobot sampel (g)

Z = Bobot akhir (g)

Cawan kosong dikeluarkan dari oven dan dimasukkan ke dalam desikator

selama 1 jam, ditimbang. Sampel (c) kemudian di tanur dengan suhu 600˚C

selama 4 jam. Setelah itu, pakan tersebut dimasukkan ke dalam desikator selama 1

jam lalu ditimbang (d). Penentuan berat abu (%BA) dan bahan organik (%BO)

diketahui dengan rumus sebagai berikut :

% BO = % BK - % BA

Ket : α = Bobot cawan kosong (g) c = Bobot yang telah di oven(g)

d = Bobot akhir (g)

3.3.2.2 Pengukuran Lemak Total

Lemak total diukur menggunakan metode Association of Official Analytical

Chemistry (2005) yang telah dimodifikasi. Sebanyak 0,5 g sampel (x) ditimbang

dan dibungkus dengan kertas saring bebas lemak yang bobotnya telah diketahui

(y). Kemudian, disokhlet menggunakan petroleum eter sebanyak 6-7 siklus,

kemudian ditimbang bobotnya (z) dan dilakukan perhitungan % lemak kasar :

(39)

3.3.2.3 Pengukuran Protein Kasar

Penentuan Protein Kasar menggunakan metode Association of Official

Analytical Chemistry (2005). Pertama, sampel rumput lapangan ditimbang

sebanyak 0,3 g ditambahkan 1,5 g katalis selenium mixture, selanjutnya

dimasukkan kedalam labu Kjeldahl 20 mL HCl, lalu sampel didestruksi sampai

warna larutan menjadi hijau-kekuningan jernih, setelah itu didinginkan selama 15

menit. Kemudian, ditambahkan 300 mL aquadest dan dinginkan kembali. Setelah

itu, ditambahkan 100 mL NaOH, kemudian, dilakukan destilasi tampung hasil

destilasi dengan 10 mL HCl 0,1 N yang ditambah 3 tetes indikator campuran

methylen blue dan methylen red. Dilakukan titrasi dengan NaOH 0,1 N sampai

terjadi perubahan warna menjadi biru kehijauan. Selanjutnya, ditetapkan

penetapan blanko, pipet 10 ml HCl 0,1 N dan ditambah 2 tetes indikator PP

selanjutnya dititrasi dengan NaOH 0,1 N.

3.3.3 Ekstraksi Limbah Daun Serai Wangi

Metode ekstraksi merujuk pada jurnal Jafari et al. (2016), Hal pertama yang

dilakukan adalah daun serai wangi hasil penyulingan (limbah) dikeringanginkan

selama ±2 hari. Setelah itu, limbah daun serai wangi dipotong sekitar 3-5 cm.

Lalu, sampel di oven pada suhu 60˚C selama 48 jam dan dihaluskan

menggunakan grinder. Ekstraksi sampel dilakukan dengan metode sokletasi,

sampel sebanyak 125 g ditimbang dan dibungkus dengan kertas saring. Metanol

1,25 L ditambahkan ke dalam labu bulat, sampel yang telah dibungkus kemudian

(40)

Ekstrak yang telah diuapkan, diekstraksi dengan corong pisah menggunakan 400

ml akuades, 150 ml heksana dan 150 ml butanol. Lalu, ekstrak heksana dan

ekstrak butanol tersebut diuapkan menggunakan rotary evaporator hingga

diperoleh ekstrak dalam bentuk jel.

3.3.4. Uji Simulasi In vitro

3.3.4.1. Sampling Cairan Rumen Domba

Mula-mula domba garut dipotong, diambil isi rumen domba yang berwarna

hijau, kemudian diperas isi rumen tersebut dengan kain kasa dan dimasukkan ke

termos yang sebelumnya diisi air panas pada suhu ±40oC yang kemudian dibuang dan digantikan oleh cairan rumen. Setelah itu, cairan rumen diukur dengan gelas

ukur. Cairan rumen tersebut diambil 150 ml untuk tiap perlakuan. Pengambilan

cairan rumen dilakukan di pusat aplikasi isotop dan radiasi BATAN.

3.3.4.2. Pembuatan Larutan McDougall

Pembuatan larutan McDougall (Saliva buatan) digunakan sebagai suatu

medium buffer yang menyerupai kondisi dalam rumen ternak ruminansia

bersama-sama cairan rumen (Mc Donald, 2001). Larutan McDougall dibuat

dengan mencampurkan larutan-larutan ke dalam Erlenmeyer: CaCl2.2H2O 13,2 g,

MnCl2.4H2O 1 g, COCl2.6H2O 1 g, FeCl3.6H2O pada 100 ml aquades. Larutan

buffer dengan mencampurkan NaHCO3 35 g dan NH4HCO3 4 g pada 1000 ml

akuades. Larutan makromineral dibuat dengan mencampurkan Na2HPO4 5,7 gr,

KH2PO4 6,2 gr dan MgSO4.7H2O yang dicampurkan dalam 1000 ml akuades.

Resazurin dibuat dari 100 mg resazurin yang dilarutkan pada 100 ml akuades.

(41)

62 ml. Larutan tersebut dihomogenkan dengan magnetic stirrer dalam waterbath

dengan suhu 38- 39oC.

3.3.4.3. Uji Kecernaan Secara In vitro

Uji kecernaan ini dilakukan dengan metode Hohenheim Gas Test (Widiawati

et al., 2008). Pertama, disiapkan syringe glass yang sebelumnya sudah diberikan

rumput lapangan sebanyak 200 mg. Kemudian, cairan rumen yang telah

dimasukkan dalam erlenmeyer yang berisi larutan Mc.Dougall dipindahkan

sebanyak 30 ml ke dalam syringe glass. Bagian tepi syringe diberi vaselin agar

kedap udara. Setelah itu, dibuat sebanyak 3 perlakuan, diantaranya adalah kontrol

(K), perlakuan A : ditambah 15 mg ekstrak heksana limbah daun serai wangi,

perlakuan B : ditambah 15 mg ekstrak butanol limbah daun serai wangi, dibuat 3

kali pengulangan pada tiap perlakuan. Setelah semua dipindahkan ke dalam

syringe glass, diberi vaselin pada bagian tepi supaya kedap udara. Kemudian,

diinkubasi dalam waterbath suhu 38-39oC selama 24 jam. Setelah diinkubasi, dilakukan analisis parameter, seperti : pH, NH3, VFA Total Parsial, DBO, DNDF,

menganalisis populasi mikroorganisme RT-PCR, produksi gas dan total gas CH4.

Tabel 4. Perlakuan tiap sampel

Perlakuan

Limbah Daun Serai

wangi Rumput Lapangan

Cairan rumen Domba Ekstrak Heksana Ekstrak Butanol K - - 200 mg 30 ml A 15 mg - 200 mg 30 ml B - 15 mg 200 mg 30 ml Blanko - - - 30 ml

Keterangan: K= Kontrol; A= Penambahan sampel ekstrak heksana limbah daun serai wangi; B= Penambahan sampel ekstrak butanol limbah daun serai wangi; (-) = Tidak ditambahkan sampel. Dibuat triplo tiap perlakuan.

(42)

3.3.5. Analisis Parameter Uji

3.3.5.1. Skrining Fitokimia Secara Kualitatif

Skrining fitokimia dilakukan untuk mengetahui kandungan metabolit

sekunder pada ekstrak limbah daun serai wangi. Metabolit sekunder yang

diidentifikasi untuk uji fitokimia ada 3 senyawa, yaitu :

1. Identifikasi Terpenoid

Ekstrak dimasukkan ke dalam tabung reaksi kemudian ditambahkan asam

asetat glasial sampai sampel terendam semuanya, dibiarkan selama kira-kira 15

menit, ekstrak ditambahkan 2-3 tetes H2SO4. Adanya triterpenoid ditunjukkan

dengan terjadinya perubahan warna menjadi kecoklatan, sedangkan steroid

ditunjukkan dengan adanya warna biru kehijauan.

2. Identifikasi Saponin

Larutan uji sebanyak 10 mL dikocok vertikal di dalam tabung reaksi selama

10 detik, kemudian dibiarkan selama 10 detik. Saponin ditunjukkan dengan

terbentuknya buih busa setinggi 1-10 cm yang stabil selama tidak kurang dari 1

menit. Pada penambahan 1 tetes HCl 2N busa tidak hilang (Depkes RI, 1995).

3. Identifikasi Tanin

Pertama ditambahkan 100 ml air panas, lalu dimasukkan ekstrak dan

dididihkan selama 5 menit, lalu larutan uji tersebut 1 mL direaksikan dengan

larutan besi (III) klorida 10%, jika terjadi warna biru tua atau hitam kehijauan

menunjukkan adanya tanin (Robinson, 1991).

3.3.5.2. Derajat Keasaman (pH)

Pengukuran dilakukan dengan menggunakan pH meter. Sebelum pengukuran,

(43)

dicelupkan ke masing-masing sampel perlakuan (A&B), kontrol beserta

ulangannya. Lalu, dicatat di lembar pengamatan.

3.3.5.3. Analisis Amonia (NH3)

Kadar NH3 dilakukan dengan metode Microdifusi Conway. Kadar NH3 diukur

untuk mengetahui adanya degradasi protein yang berasal dari pakan. Cawan

Conway bagian tengahnya diisi dengan 1 ml indikator Conway. Lalu ditambahkan

1 ml K2CO3 jenuh pada sekat bagian kiri dan dimasukkan pula 1 ml sampel cairan

rumen pada sekat bagian kanan. Sampel yang digunakan adalah sampel jam ke-0

dan sampel yang diinkubasi dalam waterbath selama 24 jam. Bagian tepi Conway

diberi vaselin lalu ditutup rapat. Setelah itu, Conway digoyangkan secara perlahan

hingga sampel bercampur dengan K2CO3. Kemudian dibiarkan selama 2 jam pada

suhu ruang hingga larutan pada cawan kecil di bagian tengah Conway berubah

menjadi kebiruan. Indikator Conway diukur dengan spektrofotometer panjang

gelombang 700 nm. Konsentrasi NH3 dihitung dengan persamaan:

y = a + bx

3.3.5.4. Pengukuran Kandungan Volatile Fatty Acids (VFA)

Pengukuran Kandungan Volatile Fatty Acids (VFA) Total menggunakan

metode General Laboratory Procedures (1996). Sampel (filtrat) hasil fermentasi

sebanyak 1 mL dimasukkan ke dalam tabung eppendorf ditambahkan dengan 30

mg asam sulfo-5-salisilat dihidrat dan dihomogenkan. Tabung eppendorf

disentrifus pada kecepatan 12000 rpm selama 10 menit pada suhu 7oC. Sampel kemudian diinjeksikan ke dalam GC. Konsentrasi VFA parsial dihitung dengan :

VFA (mM) =

Keterangan : VFA = Volatile fatty acids (asetat, propionat, butirat) BM = Berat molekul VFA parsial

(44)

3.3.5.5 Pengukuran Degradasi Bahan Organik (DBO)

Bahan organik adalah selisih bahan kering dan abu yang secara kasar

merupakan kandungan karbohidrat, lemak dan protein (Association of Official

Analytical Chemistry, 2005). Serai wangi tiap sampel hasil inkubasi dalam syringe

glass disaring dengan filtering crusible sambil dibilas air panas, lalu aseton 1 ml.

Filtering crusible yang berisi limbah yang tidak tersaring kemudian dipanaskan ke

dalam oven 105oC selama 24 jam. Filtering crusible dimasukkan ke tanur 600oC

selama 3 jam untuk memperoleh berat bahan organik tidak terdegradasi. Rumus

degradasi bahan organik adalah sebagai berikut :

% DBO = (Berat sampel) x (% bahan organik) – Berat residu sampel x 100% (Berat sampel) x (% Bahan organik)

3.3.5.6 Pengukuran Degradasi Neutral Detergen Fiber (DNDF)

Pengukuran dengan menggunakan metode Krishnamoorthy (2001) dan

AOAC (2005) yang dimodifikasi. Kandungan NDF dapat ditentukan dengan cara

sampel hasil inkubasi ditimbang sebanyak 0,2 g (a) ke beaker glass ukuran 500

ml. Setelah itu, larutan Neutral Detergent Soluble (NDS) 40 ml ditambahkan ke

dalamnya. Bahan- bahan tersebut dipanaskan sampai mendidih selama satu jam,

lalu disaring dengan kertas saring yang sebelumnya telah diketahui bobotnya (b)

dengan bantuan pompa vakum. Residu hasil penyaringan dibilas air panas dan

ditambah dengan aseton ± 30 ml. Hasil saringan tersebut dimasukkan ke oven

bersuhu 105ºC selama 24 jam, kemudian diletakkan di desikator dan ditimbang

(c). Kandungan NDF dihitung dengan rumus:

%NDF=

a b c

(45)

Nilai DNDF dihitung dengan rumus: DNDF (%) = ) ( ) ( ) ( BKxAxNDF BKxBxNDF BKxAxNDF  x 100% Keterangan: DNDF (%) : degradasi NDF

BK (%) : kandungan bahan kering

A : berat sampel sebelum inkubasi

B : berat sampel setelah inkubasi

3.3.5.7. Analisis Populasi Mikroorganisme Cairan Rumen

Hasil pengujian in vitro terjadi dalam 2 tahapan, yaitu isolasi DNA dan

pengukuran populasi mikroorganisme dengan Real Time-PCR. Hasil ini untuk

menganalisis populasi mikroorganisme pada cairan rumen domba. Sebelumnya,

mikrotub diberi label perlakuan kontrol, ekstrak heksana dan ekstrak butanol.

Langkah pertama isolasi DNA yaitu sampel cairan rumen seluruh perlakuan dan

kontrol dimasukkan ke dalam mikrotub steril sebanyak 1 ml. Sampel DNA

tersebut akan digunakan untuk isolasi DNA bakteri Gram positif dan negatif.

Isolasi bakteri Gram positif dimulai dari sentrifugasi seluruh sampel DNA

dengan kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit pada suhu 4ºC kemudian

dipindahkan peletnya ke dalam collection tube. Pelet yang telah dipindahkan ke

mikrotube kemudian disuspensi dengan 180 µl larutan Lysozyme (LL), lalu

divortex agar homogen. Sampel diinkubasi selama 30 menit pada dry bath dengan

suhu 37ºC. Setelah diinkubasi, sampel ditambahkan 20 µl Proteinase K dan

divortex. Setelah homogen, sampel diberi 200 µl PureLink Genomic Lysis binding

buffer dan sampel kembali divortex. Sampel yang telah homogen diinkubasi

kembali pada suhu 55ºC selama 30 menit. Setelah inkubasi, sampel diberi 200 µl

(46)

Sampel bakteri Gram negatif yang telah didapatkan peletnya dari hasil

sentrifugasi 10.000 rpm selama 10 menit pada suhu 4ºC diberi 180 µl PureLink

Genomic Digestion Buffer. Kemudian, sampel diresuspensi dengan 20 µl

Proteinase K, lalu divortex hingga homogen. Sampel yang telah homogen lalu

diinkubasi selama 60 menit pada suhu 55ºC. Sampel yang telah diinkubasi diberi

20 µl Rnase A dan divortex hingga homogen. Sampel yang telah homogen

kemudian diinkubasi selama 2 menit pada suhu ruang. Kemudian sampel

ditambahkan 200 µl PureLink Genomic Lysis/ binding buffer dan divortex

kembali. Sampel yang telah divortex diberikan 200 µl 90 - 100% etanol dan

divortex lagi.

Setelah mendapatkan sampel bakteri Gram positif dan negatif, selanjutnya

dilakukan purifikasi. Yaitu dengan memindahkan sampel bakteri Gram positif dan

negative ke dalam PureLink Spin Column, kemudian disentrifugasi dengan

kecepatan 10.000 xg selama 1 menit. Collection tube dibuang dan diganti dengan

yang baru untuk dipasangkan pada spin column. Spin colum tersebut ditambahkan

500 µl Wash Buffer 1, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 x g

selama 1 menit pada suhu ruang.

Setelah disentrifugasi, collection tube diganti dengan yang baru, lalu

ditambahkan 500 µl Wash Buffer 2 ke dalam spin column tersebut. Kemudian

sampel disentrifugasi kembali dengan kecepatan maksimal selama 3 menit dengan

suhu kamar. Collection tube hasil sentrifugasi dibuang, sedangkan spin column

dipasangkan dengan tabung mikrosentrifuge steril 1.5 ml. Setelah itu,

ditambahkan 25 – 200 µl PureLink Genomic Elution Buffer dan diinkubasi pada

(47)

kecepatan maksimum selama 1 menit pada suhu ruang. Supernatan yang terbentuk

pada mikrosentrifuge tersebut adalah mengandung DNA.

Sebelum dilakukan RT-PCR, terlebih dahulu dibuat larutan mix PCR yang

terdiri dari 175 µl CyberGreen, 0.4 µl primer (Tabel 2), dan 3.6 µl akuades.

Larutan mix PCR tersebut diambil sebanyak 9 µl dan dicampur dengan sampel

DNA sebanyak 2 µl. Larutan yang dicampur kemudian di spin-down lalu

dimasukkan ke Thermal cycler RT-PCR. Setelah itu diatur siklus RT-PCR

tersebut (Lampiran 1). Berikut primer PCR bakteri protozoa yang digunakan:

Tabel 5. Primer PCR Bakteri dan Protozoa

Mikroorganisme Sekuens 5’-3’ Pustaka

Total Bakteri F1 CGGCAACGAGCGCAACCC (Koike & Kobayashi 2001) Total Bakteri R2 CCATTGTAGCACGTGTGTAGCC (Liu et. al. 2012) Butyrivibrio fibrisolvens F1 TAACATGAGTTTGATCCTGGCTC

Butyrivibrio fibrisolvens F2 CGTTACTCACCCGTCCGC

Total Metanogen F1 TTCGGTGGATCDCARAGRGC (Zhang et. al. 2008) Total Metanogen R2 GBARGTCGWAWCCGTAGAATCC

Total Protozoa F1 ACCGCATAAGCGCACGGA

Total Protozoa R2 CGGGTCCATCTTGTACCGATAAAT (Sylvester et. al. 2004) Keterangan: F1= forward, R2= reverse

Setelah kurang lebih 60 menit, hasil quantification cycle DNA bisa dilihat di

komputer yang terhubung pada thermal cycler. Data yang didapat disajikan dalam

bentuk tabel dengan kode perlakuan yang sesuai dengan label microtube. Setelah

itu, hasil dikelompokkan berdasarkan perlakuan sampel dan dibuat grafik fungsi

untuk mendapat persamaan (y). Setelah didapat grafik fungsi (R2=1), lalu hasil

quantification cycle (Cq) sebagai nilai x dimasukkkan dalam rumus yang ada pada

persamaan (y) yang ada pada grafik fungsi (lampiran 3f) untuk mendapatkan

jumlah total bakteri, populasi Butyrivibrio fibrisolvent, bakteri metanogen dan

(48)

3.3.5.8. Pengukuran Produksi Total Gas dan Nilai Gas CH4

Pengukuran produksi total gas dilakukan pada jam ke-0 dan 24 dengan

membaca skala yang tertera pada syringe. Jika posisi piston telah melebihi 60 ml

maka nilai yang tertera pada skala syringe glass dicatat dilembar pengamatan,

kemudian posisi piston dikembalikan ke posisi 40 ml. Pembacaan nilai dilakukan

dengan cepat untuk meminimalisir perubahan suhu. Perhitungan produksi gas total

(Krishnamoorthy, 2001) menggunakan rumus:

Keterangan: PG = Produksi gas

Pengukuran konsentrasi pada gas CH4 dan CO2 dilakukan menggunakan

MRU gas Analyzer®. Pengukuran konsentrasi gas CH4 dan CO2 dilakukan

terhadap hasil inkubasi pada jam ke 24 dan 48. Angka yang terbaca pada MRU

gas Analyzer® adalah persentase gas yang tertampung di dalam syringe. 3.6. Analisis Data

Data yang telah diperoleh berupa pH, amonia, DBO, DNDF, produksi total

gas dan produksi CH4 dianalisis dengan menggunakan Statistical Package for the

Social Science (SPSS) 20. Tiap data dianalisis dengan uji analisis variansi

(ANOVA) satu arah pada batas kepercayaan 95% (α = 0,05). Apabila hasil

terdapat perbedaan nyata pada tiap parameter, maka dilanjutkan dengan uji

Duncan. Pengambilan keputusan pada penelitian ini dengan menguji H0 dan H1,

dengan hipotesa sebagai berikut:

H0 = Suplementasi ekstrak limbah daun serai wangi tidak berpengaruh terhadap

produk fermentasi dan emisi gas CH4 pada cairan rumen domba.

H1 = Suplementasi ekstrak limbah daun serai wangi berpengaruh terhadap

produk fermentasi dan emisi gas CH4 pada cairan rumen domba.

Gambar

Gambar 1.  Kerangka Alur Berpikir  Pemanasan Global : Efek rumah kaca
Gambar 2. Domba Garut (Ovis aries),  Sumber : Dok. Pribadi (2017)  Berdasarkan data ternak kementerian pertanian RI (2016), populasi domba  tertinggi  di  Indonesia  ditemukan  pada  provinsi  Jawa  Barat  dengan  kenaikan  populasi  sebesar  ±900.000-1.20
Gambar  3  menjelaskan  karbohidrat,  protein,  lemak  dan  non-protein  Nitrogen  (NPN)  yang  terkandung  dalam  pakan  dihidrolisis  secara  mekanis  dan  kimiawi  di  dalam  mulut,  lalu  setelah  melewati  esophagus  masuk  ke  lambung,  bagian  retik
Gambar 3. Gambar domba beserta jalur nutrisi pakan di dalam sistem pencernaan  (Church, 2013; Ishler, 1996)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Metode alkali fusion yaitu mereaksikan pasir hasil preparasi dengan KOH pada suhu 700°C selama 3 jam dengan perbandingan massa KOH: massa pasir zirkon alam

Di kota Medan muncul aktor-aktor politik baru semisal para pengusaha kecil dan menengah yang paling tidak sebagian tergantung kepada proyek dan kontrak negara,

Reading Questioning and Answering (RQA) dipadu Think Pair Share (TPS) berpotensi dalam memberdayakan keterampilan metakognitif siswa sebesar 17,72% lebih tinggi

Berdasarkan kedalaman perairan tersebut, maka lokasi Perairan di Bangsring yang dapat dijadikan alternatif penempatan fish apartment adalah di perairan depan pantai bagian

Elemen ini berisi dokumen yang akan ditampilkan pada browser , meliputi. paragraf grafik, link , tabel,

Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa pemberi ijin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan

After understanding the difficult conditions that main characters experienced living under Chinese patriarchal culture, this study analyzes the ways of friendship of the

Sale* analysis ini oerupakan euabar yang pertaaa yang dapat dlerbil karana aangandung hal-fcal yang panting - dan ■arsenal fcenyatara-tegrataan yang ada dalaa currant operation*