• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.7. Degradasi Neutral Detergent Fiber (DNDF)

Degradasi NDF berperan dalam penyumbang emisi CH4. Hasil statistik menunjukkan tidak adanya pengaruh nyata (sig>0,05) DNDF dengan penambahan

suplemen ekstrak pada pakan. Berdasarkan gambar 11, tiap perlakuan sampel

memiliki nilai DNDF paling tinggi jika dibandingkan dengan kontrol. Perlakuan

B memiliki DNDF tertinggi yakni sebesar 50,3%, dan DNDF terendah adalah

kontrol sebesar 45,59%.

Gambar 10. Hasil degradasi NDF pada tiap perlakuan (A= ekstrak heksana

daun limbah serai wangi, B= ekstrak butanol limbah serai wangi).

Sajimin et al. (2013) mengatakan kandungan serat kasar (NDF) yang

tinggi dapat menyebabkan kadar nutrisi pakan menjadi rendah. Hal tersebut

terbukti bahwa nilai protein kasar yang terdapat pada rumput berada dibawah

standar Permentan (Tabel 3). Menurut Pangestu et al. (2013), ketersediaan protein 48,67 50,30 45,59 0,00 20,00 40,00 60,00 A B Kontrol D N D F % perlakuan

dan energi dari pakan yang berasal dari limbah pertanian berkaitan dengan

tingginya kandungan serat NDF termasuk limbah serai wangi..

Perlakuan B memiliki nilai degradasi serat (NDF) paling tinggi

dibandingkan kontrol sebesar 50,3%. Hal itu juga berhubungan dengan nilai DBO

pada perlakuan B yang lebih tinggi jika dibandingkan perlakuan A (gambar 10).

Despal (2007) menyatakan bahwa semakin tinggi degradasi bahan organik maka

degradasi serat kasar (DNDF) pun juga akan semakin meningkat. Degradasi serat

paling tinggi menyebabkan pakan yang tercerna pun juga semakin tinggi.

Akibatnya, energi yang dihasilkan pun semakin banyak dan nutrisi yang

dibutuhkan dapat terpenuhi.

Suprapto et al. (2013) menyatakan serat kasar adalah sumber energi utama

bagi ternak ruminansia. Daya cerna serat kasar dipengaruhi oleh kadar serat dalam

pakan, komposisi penyusun serat kasar dan aktivitas mikroorganisme. Bila pakan

hijauan mengandung DNDF lebih dari 50%, akan mempengaruhi kemampuan

ternak mencerna pakan dan kandungan energi dalam ransum (Van soest, 1994).

Adanya kandungan lignin yang tinggi pada pakan menyebabkan

mikroorganisme tidak dapat mendegradasi senyawa tersebut yang menyebabkan

degradasi NDF pun rendah, seperti pada perlakuan kontrol. Lignin termasuk serat

kasar polisakarida kompleks yang sulit untuk didegradasi dan merupakan

penyusun dinding sel tumbuhan (Vinogradov, 2001). Semakin tinggi kandungan

lignin yang terkandung dalam dinding sel tanaman, maka daya cerna hijauan

menjadi lebih rendah (Hanafi, 2004). Lignin lebih susah untuk dicerna

Adanya lignin pada dinding sel tanaman pun dapat menghambat enzim

untuk mencerna serat dengan normal. Hal ini merupakan bukti adanya ikatan

kimia yang kuat antara lignin, polisakarida tanaman dinding sel yang menjadikan

komponen tersebut tidak dapat dicerna (Mulyani, 2014). Permana (2015)

menyatakan waktu yang diperlukan lebih lama untuk mencerna serat kasar tinggi,

sehingga waktu tinggal pakan di saluran pencernaan menjadi lebih lama dan

memperlambat laju pencernaan dalam mencerna pakan.

Konsentrasi DNDF berkaitan dengan populasi mikroba yang terdapat pada

cairan rumen. Tingginya nilai DNDF diperoleh dari aktivitas degradasi selulosa

dan hemiselulosa oleh bakteri selulolitik yang tinggi, sedangkan protozoa

memiliki peran degradasi yang lebih rendah (Purbowati, 2014). Pemberian ekstrak

serai wangi mampu menekan aktivitas bakteri selulolitik, sehingga menyebabkan

nilai DNDF rendah. Kemungkinan hal tersebut berasal dari metabolit sekunder

pada ekstrak. Menurut Giuburunca et al. (2014), senyawa metabolit sekunder

pada tanaman mampu menghambat degradasi serat kasar pakan.

4.8. Analisis Populasi Mikroorganisme Cairan Rumen

Nilai NH3, VFA, DBO dan DNDF sangat dipengaruhi oleh keberadaan populasi mikroorganisme di dalam rumen. Penambahan ekstrak limbah daun serai

wangi menyebabkan perubahan jumlah mikroorganisme pada hasil penelitian.

Pada gambar 12 terlihat bahwa total bakteri, populasi metanogen dan B.

fibriosolvens terjadi penurunan pada tiap perlakuan setelah inkubasi. Berbeda

dengan jumlah protozoa, pada masing-masing perlakuan menunjukkan

Hasil pengamatan total bakteri (gambar 12), perlakuan A mengalami

penurunan dari 1x108 sel/ml menjadi 4x106 sel/ml dan perlakuan B dari 1x108 sel/ml menjadi 8x106 sel/ml. Pada kontrol hanya mengalami sedikit penurunan menjadi 9,53x108 sel/ml. Umumnya, jumlah bakteri rumen yakni sekitar 108-1011 sel/ml (Lestarie, 2016). Jumlah bakteri dipengaruhi salah satunya nilai pH.

Mouriño et al. (2001) menyatakan pH merupakan faktor penting yang dapat

mempengaruhi fermentasi selulosa dan bakteri selulolitik dapat bekerja optimal

pada pH 6-7 dan hal tersebut sesuai nilai pH hasil sebesar ±7 (gambar 6).

A B Kontrol jam ke -0 1,E+08 1,E+08 1,E+08 jam ke- 24 4,E+06 8,E+06 1,E+08

0,E+00 5,E+07 1,E+08 2,E+08 s e l/ m l A

Gambar 11. Hasil analisis populasi mikroba dengan Real Time-PCR (A: total bakteri

B: bakteri metanogen; C: B. fibrisolvens; D: total protozoa).

Perlakuan A dan B memiliki jumlah bakteri paling sedikit dibandingkan

perlakuan lainnya. Hal itu karena ekstrak heksana butanol positif terdapat tanin

(tabel 4) yang dapat menekan populasi mikroba. Tanin dapat mengikat dinding sel

mikroba dan menghambat aktivitas enzim seperti protease,dan lipase (Hess et al.,

2003). Senyawa tanin berpengaruh pada aktivitas bakteri metanogenik melalui

A B Kontrol

jam ke -0 2,E+05 2,E+05 2,E+05 jam ke- 24 5,E+05 8,E+05 5,E+06

0,E+00 2,E+06 4,E+06 6,E+06 s e l/ m l D A B Kontrol

jam ke -0 1,E+08 1,E+08 1,E+08 jam ke - 24 1,E+07 8,E+06 1,E+08

0,E+00 5,E+07 1,E+08 2,E+08 2,E+08 s e l/ m l C A B Kontrol

jam ke -0 1,E+05 1,E+05 1,E+05 jam ke- 24 4,E+04 6,E+04 7,E+04

0,E+00 5,E+04 1,E+05 2,E+05 s e l/ m l B

penghambatan pertumbuhan archaea metanogen protozoa atau dengan membatasi

pelepasan senyawa H2 (Bhatta et al., 2009).

Daun serai wangi mengandung senyawa monomer seperti pyrogallol, asam

galat dan asam tanin (Scalbert, 1991), terdapat pada serai wangi yang bersifat

toksik terhadap metanogen rumen, seperti Methanobrevibacter ruminantium

(Tavendale et al., 2005) dan Methanosphaera spp (Min et al., 2014). Untuk

melindungi diri dari efek toksik tersebut, mikroorganisme rumen akan mengalami

lipolisis dan biohidrogenasi lipid, asam lemak tak jenuh akan terjadi

biohidrogenasi menjadi asam lemak jenuh (Nam dan Garnsworthy, 2006).

Kemudian, asam lemak jenuh tersebut akan menjadi akseptor H2 agar H2 tidak berikatan dengan CO2 membentuk CH4.

Wei & Wee (2013) menyatakan bahwa senyawa aktif yang terdapat pada

limbah daun serai wangi adalah sitronelal, nerol, geraniol, geranial, linalol,

limonen dan eugenol yang memiliki aktivitas antibakteri. Senyawa antibakteri

dapat menghambat pertumbuhan mikroba melalui inaktivitasi atau mengganggu

target subseluler seperti merusak dinding sel, mengganggu permeabilitas

membran sel atau membran sitoplasma, serta menghambat sintesis protein dan

asam nukleat (Ferdiaz, 1988).

Selanjutnya, hasil bakteri metanogen setelah inkubasi 24 jam terjadi

penurunan, baik kontrol maupun perlakuan ekstrak (gambar 11). Penurunan

paling tinggi terdapat pada perlakuan ekstrak heksana (A), jam ke 0 sebesar 105

sel/ml setelah inkubasi 24 jam menjadi 4x 104 sel/ml, diikuti ekstrak butanol (B) sebesar 6x 104 sel/ml dan metanogen tertinggi yakni pada kontrol setelah inkubasi

24 jam menjadi 7x 104 sel/ml. Jumlah metanogen dalam rumen umumnya berkisar antara 105-108 sel/ml (Kamra, 2005).

Berdasarkan substratnya, bakteri metanogen diklasifikasikan kedalam tiga

kelompok. Kelompok pertama adalah bakteri metanogen yang menggunakan H2

format dan alkohol, dengan CO2 sebagai akseptor elektron. Kelompok kedua yaitu bakteri metanogen menggunakan senyawa C-1 (metana) sebagai substrat, dan

kelompok ketiga yakni bakteri metanogen menggunakan asam asetat sebagai

substrat (Gottschalk et al.,1987).

Bakteri metanogen dapat mempengaruhi DBO di dalam rumen. Gambar

11, bakterin metanogen kontrol lebih tinggi daripada perlakuan A dan B setelah

inkubasi, dan hasil tersebut sesuai dengan gambar 10, kontrol memiliki DBO

paling tinggi sedangkan perlakuan A dan B memiliki DBO lebih rendah

dibandingkan kontrol (gambar 10). Aktivitas mikroba metanogenik tergantung

pada nutrisi substrat yang digunakan atau dari produk yang dihasilkan dari

mikroba yang bekerja pada tahap hidrolisis dan asetogenik (Li et al., 2011)

Sama halnya dengan total bakteri dan metanogen, B. fibriosolvens juga

mengalami penurunan setelah inkubasi. Penurunan tertinggi setelah inkubasi 24

jam terdapat pada perlakuan ekstrak heksana (A) dan butanol (B), perlakuan A

dari 1x108 sel/ml menjadi 1x107 sel/ml dan perlakuan B 1x108 sel/ml menjadi 8x106 sel/ml. B. fibrisolvens termasuk bakteri gram positif berbentuk batang, memiliki flagella dan termasuk bakteri selulolitik, yang akan menghasilkan enzim selulase yang akan menghidrolisis ikatan β-1-4 glikosidik dari rantai selulosa dan

Nilai bahan organik berkorelasi positif dengan populasi B. Fibrisolvens

pada kontrol, karena semakin tinggi DBO maka berbanding lurus dengan

meningkatnya populasi Butyrivibrio. DBO pada kontrol mengalami peningkatan

setelah 24 jam inkubasi dan hasil tersebut sesuai dengan kontrol yang memiliki

DBO paling tinggi (gambar 10). Menurunnya DBO perlakuan (A) dan (B) juga

berbanding lurus dengan rendahnya populasi B. fibrisolvens karena adanya

senyawa tanin dan metabolit lain yang dapat menurunkan bakteri tersebut

sehingga DBO yang dihasilkan pun rendah (Tavendelle, 2005). Populasi B.

fibrisolvens cenderung meningkat bila proporsi konsentrat pakan yang tersedia

juga meningkat (Dehority, 2003).

Perubahan populasi dari B. fibrisolvens di dalam rumen juga dikaitkan

dengan perubahan tingkat kecernaan serat kasar hemiselulosa dan selulosa

(DNDF). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tiap perlakuan lebih rendah dari

kontrol dan berbanding lurus dengan degradasi serat kasar yang rendah pula

(Gambar 11). Perbedaan antara kecernaan bahan organik (DBO) dengan

kecernaan serat (hemiselulosa) terhadap populasi bakteri B. firbisolvens adalah

dikarenakan bakteri tersebut lebih dominan berperan terhadap hidrolisis

hemiselulosa dan selulosa.

pH mempengaruhi populasi mikroba di dalam rumen. Nilai pH pada

perlakuan ekstrak dan kontrol menurun setelah inkubasi (gambar 6). Efek pH dan

pola pencernaan di dalam rumen telah dilaporkan Cheng et al. (1980), yang

membuktikan bahwa pH cairan rumen yang rendah mengakibatkan populasi

bakteri fibrolitik menurun, contohnya B. fibrisolvent yang juga menurun karena

Berlawanan dengan total bakteri, populasi protozoa terjadi peningkatan

setelah inkubasi 24 jam. Hal ini membuktikan bahwa menurunnya populasi

bakteri akan meningkatkan populasi protozoa. Protozoa yang mengalami

peningkatan, baik kontrol maupun perlakuan. Perlakuan A mengalami

peningkatan 2x105 sel/ml menjadi 5x105 sel/mlprotozoa, begitupun dengan Bdari 2x105 sel/ml menjadi 8x105 sel/ml protozoa. Peningkatan populasi protozoa terbanyak terdapat pada kontrol yakni dari 2x105 menjadi 5x106 sel/ml. Walaupun jumlah protozoa tiap perlakuan terjadi peningkatan, namun hasil tersebut masih

termasuk dalam kategori normal. Kisaran populasi protozoa di dalam rumen

umumnya berjumlah sebesar 104-106 sel/ml (Soliva, 2004)

Pada gambar 11 terlihat populasi protozoa terjadi peningkatan, sedangkan

populasi bakteri mengalami penurunan setelah inkubasi. Menurut Jouany (1991),

sebanyak 70% dari total bakteri metanogen bersimbiosis dengan protozoa.

Protozoa cenderung memangsa bakteri untuk kelangsungan hidupnya akibat tidak

diperoleh makanan berupa karbohidrat yang mudah difermentasi. Owen (1988)

mengemukakan populasi protozoa berukuran besar merupakan predator bagi

bakteri selulolitik. Populasi protozoa meningkat namun pH tiap perlakuan tetap

berada dalam pH netral atau ±7 (gambar 6). Protozoa dengan cepat dapat

memanfaatkan karbohidrat yang mudah difermentasi untuk kebutuhan hidupnya

dan memberikan keuntungan memperlambat konversi karbohidrat menjadi asam

laktat oleh bakteri rumen, sehingga pH dapat dikontrol (Dore dan Gouet, 1991).

Meningkatnya populasi protozoa perlakuan A dan B, berlawanan dengan

Hess et al. (2003) yang menyatakan bahwa penambahan tanin terkondensasi

tidak ditemukan kandungan saponin (tabel 7). Padahal, senyawa saponin tersebut

mempunyai efek defaunasi dengan membentuk ikatan kompleks dengan sterol

yang terdapat pada permukaan membran sel, yang menyebabkan sel protozoa

menjadi lisis (Hart et al., 2008). Pen et al. (2006) melaporkan penambahan

ekstrak Yucca schidigera (80-100 g/kg saponin) menurunkan populasi protozoa

sampai 56%. Penambahan ekstrak Quillaja saponaria (50-70 g/kg saponin) dapat

menurunkan protozoa sebesar 41%. Hal ini juga diperkuat penelitian Hu et al.

(2005) dilaporkan bahwa defaunasi menggunakan ekstrak saponin dari biji teh

dengan 0,2 dan 0,4 mg/ml cairan rumen, dapat menurunkan populasi protozoa dari

0,61x105/ml menjadi 0,11x105/ml.

Protozoa dan metanogen saling bersimbiosis dalam menghasilkan gas

CH4. Beberapa jenis protozoa yang berasosiasi dengan metanogen di dalam rumen adalah genus Entodinium (pada gambar 15), Epidinium, Polyplasmost dan

Ophryoscolex (Hook et al., 2010) dan hasil menunjukkan bahwa adanya populasi

Entodinium yang ditemukan pada kontrol dan perlakuan. Genus tersebut termasuk

ke ordo Oligotricha, yang dapat toleran terhadap pH rendah (5,5) dan memiliki

aktivitas amilase yang kuat. Entodinium sp. dapat memecah substrat starches

menjadi asam asetat, butirat, CO2, H2 (tabel 2).

Penelitian ini ditemukan jenis protozoa Dasytricha Ruminantium dalam

cairan rumen. Protozoa tersebut termasuk ke dalam ordo Holotricha. Ciri protozoa

tersebut adalah pergerakan cepat, mempunyai aktivitas amilase yang kuat dan

berbentuk oval. Golongan Holotricha dapat memfermentasi gula terlarut seperti

glukosa, maltosa, sukrosa, menjadi produk VFA’s diantaranya adalah asam asetat,

Gambar 12 Jenis protozoa yang ditemukan pada cairan rumen domba pada

perlakuan A, B,Kontrol (X=Entodinium sp., Y= D. ruminantium, perbesaran 400x ).

Dokumen terkait