• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bovine Thelaziosis in Kupang District Livestock

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Bovine Thelaziosis in Kupang District Livestock"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

THELAZIOSIS PADA TERNAK SAPI POTONG PETERNAKAN RAKYAT

DI KABUPATEN KUPANG

DEWI F. L. DJUNGU

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Thelaziosis pada Ternak Sapi Potong Peternakan Rakyat di Kabupaten Kupang adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2014

(4)

RINGKASAN

DEWI DJUNGU. Thelaziosis pada Ternak Sapi Potong Peternakan Rakyat di Kabupaten Kupang. Dibimbing oleh ELOK BUDI RETNANI dan YUSUF RIDWAN

Thelaziosis adalah kecacingan pada mata yang disebabkan oleh nematoda. Siklus hidup cacing ini memerlukan inang antara lalat dari famili Muscidae. Kabupaten Kupang merupakan daerah yang memiliki potensi peternakan sapi potong yang cukup besar. Umumnya sapi potong di Kabupaten Kupang dipelihara secara tradisional dengan cara digembalakan di padang penggembalaan. Metode pemeliharaan ini memiliki risiko terinfeksi oleh berbagai penyakit diantaranya thelaziosis. Informasi thelaziosis di Kabupaten Kupang sangat minim. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui spesies Thelazia, tingkat prevalensi, derajat infeksi, gejala klinis dan faktor risiko terkait kejadian thelaziosis.

Survei thelaziosis di Kabupaten Kupang dilakukan dengan menggunakan metode cross-sectional. Sebanyak 385 ekor sapi diambil sebagai sampel dari 96 peternakan yang dipilih secara acak dari tiga kecamatan dari Kabupaten Kupang. sampel sapi diamati gejala klinis akibat thelaziosis dan cacing yang terdapat pada mata sapi dikoleksi menggunakan pinset setelah di berikan cairan anestesi lokal (10% Xylocaine). Informasi tentang umur ternak, sumber daya manusia dan manajemen peternakan yang berpotensi sebagai faktor risiko thelaziosis diperoleh melalui wawancara menggunakan metode kuesioner. Pengaruh berbagai faktor risiko terhadap nilai prevalensi thelaziosis dianalisis menggunakan chi-square, sedangkan untuk mengetahui besarnya pengaruh setiap faktor risiko dianalisis menggunakan regresi logistik.

Sebanyak 357 cacing (157 jantan dan 210 betina) yang dikoleksi dari 23 ekor sapi yang terinfeksi, dengan rataan jumlah cacing sebanyak 32.92 ± 21.03 ekor. Berdasarkan hasil pengamatan morfometrik, cacing yang ditemukan diidentifikasi sebagai spesies Thelazia rhodesii. Hasil penelitian menunjukkan prevalensi thelaziosis rhodesii 5.97 % (23/385), sebanyak 22 ekor sapi yang terinfeksi menunjukkan gejala klinis yaitu lakrimasi yang berlebihan dan konjungtivitis yang mengarah ke keratokonjungtivitis, sementara satu ekor sapi menunjukkan ulserasi. Hasil analisis terhadap faktor risiko infeksi menunjukkan bahwa sapi yang berumur >6-12 bulan dan >12 bulan memiliki prevalensi lebih tinggi dari sapi yang berumur 0-6 bulan (P<0.05). Faktor risiko infeksi yang bersumber dari manajemen peternakan yang mempengaruhi prevalensi thelaziosis pada sapi adalah pengobatan terhadap cacing, manajemen penggembalaan, pembersihan kandang dan pengelolaan feses. Pengobatan menggunakan anthelmintik setahun sekali memiliki risiko terinfeksi Thelazia spp 19.06 (P<0.05) kali lebih tinggi dibandingkan pengobatan menggunakan anthelmintik dua kali setahun. Pembersihan kandang secara teratur sebulan sekali memiliki risiko terhadap infeksi T.rhodesii 124.08 (P<0.05) kali lebih tinggi dari yang dibersihkan setiap hari. Lokasi penggembalan di padang rumput memiliki risiko terinfeksi Thelazia spp 19.3 (P<0.05) lebih tinggi dibandingkan di sawah.

(5)

SUMMARY

DEWI DJUNGU. Bovine Thelaziosis in Kupang District Livestock. Supervised by ELOK BUDI RETNANI and YUSUF RIDWAN

Thelaziosis is eyeworm disease caused by nematodes. The life cycle of this worm requires the host intermediate flies of the family Muscidae. Kupang district is an area that has the potential of beef cattle farms large enough. Generally, beef cattle in Kupang district has traditionally maintained by means of grazing on pasture. This maintenance method has the risk of becoming infected by various diseases including thelaziosis. Information of thelaziosis in Indonesia is very minimal including in Kupang district. This study was conducted to identify species of Thelazia, determine the prevalence, the intensity infection, clinical sign and to investigate associated risk factors of thelaziosis.

Survey thelaziosis in Kupang district were carried out using Cross-sectional study. A total of 385 cattles were randomly selected from 96 farms in three subdistrict of Kupang District and observed to thelaziosis. The nematode present in the eye of cattle were collected with a forcep after administrating of local anesthesia (10% Xylocaine). The potential risk factors regarding to age of cattle, human resources and farm management were obtained by interviewing the farmers. The influence of various risk factors to the prevalence of thelaziosis were analized using chi-square, while logistic regression was applied to analyze related risk factor of thelaziosis.

Total of 357 worms (157 males and 210 female) were collected from 23 infected cattles with the mean number of worms in infected cattle was 32.92 ± 21.03. Observation using Scanning Electron Microscope (SEM) on morphology characteristic showed that nematode species founded were identified as Thelazia rhodesii. The result showed that of the total 385 cattles observed, 23 (5.96%) were infected by T.rhodesii, of which 22 cattles showed apparent clinical signs namely excessive lacrimation and conjunctivitis that leads to keratoconjunctivitis, while one cattle showed ulceration. The infection was more prevalence in older cattle (>6-12 month old and >12 month old) than calf (0-6 month old) (P<0.05). Significant risk factors of animal husbandry practices affecting the prevalence of thelaziosis in cattle were anthelmintic treatment, grazing management, barn cleaning, and manure management. The regular once a year anthelmintic treatment had 19.06 (P<0.05) times higher risk to Thelazia spp infection than the regular twice a year treatment. Regular cleaning of barn, once a month had 124.08 (P<0.05)times higher risk factors to Thelazia spp infection than everyday and pastoral locations on pasture had 19.3 (P<0.05) higher risk factors than field rice to Thelazia spp infection. Our results highlight that significancy risk factors for the occurrence of the disease should be considered in designing control programs of thelaziosis.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan

THELAZIOSIS PADA TERNAK SAPI POTONG PETERNAKAN RAKYAT

DI KABUPATEN KUPANG

DEWI F. L. DJUNGU

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Tesis : Thelaziosis pada Ternak Sapi Potong Peternakan Rakyat di Kabupaten Kupang

Nama : Dewi F. L. Djungu

NIM : B252110041

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr drh Elok Budi Retnani, MS Ketua

Dr drh Yusuf Ridwan, MSi Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Parasitologi dan Entomologi Kesehatan

Prof Dr drh Upik K. Hadi, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(10)

PRAKATA

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala karunia-Nya maka studi dan tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2013 ini ialah thelaziosis, dengan judul Thelaziosis pada Ternak Sapi Potong Peternakan Rakyat di Kabupaten Kupang.

Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Ibu Dr.drh. Elok Budi Retnani,MS selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr.drh. Yusuf Ridwan,MSi selaku anggota komisi pembimbing yang telah sabar dan setia meluangkan banyak waktu untuk memberikan arahan dan saran dalam proses pembimbingan dan penyelesaian tesis. Terimakasih sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Bapak drh.Fadjar Satrija,M.Sc.,Ph.D selaku penguji dan Ibu Prof.Dr.drh.Upik Kesumawati Hadi,MS selaku ketua program studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan serta seluruh dosen program studi PEK beserta tenaga kependidikan yang turut membantu dan mendukung secara penuh dan konsisten sehingga studi dan penelitian penulis dapat selesai dengan baik.

Terimaksih kepada Universitas Nusa Cendana Kupang yang telah memberikan beasiswa dan kesempatan bagi penulis untuk dapat menjalani proses pendidikan magister di Sekolah Pascasarjana IPB. Terimaksih kepada Ibu Ir. Endang Purwaningsih atas dedikasi dan kesetiaanya mendampingi penulis selama penelitian di laboratorium. Ucapan terimakasih serta penghargaan juga disampaikan kepada peternak pada kecamatan Amarasi, Fatuleu dan Kupang Timur yang telah memfasilitasi dan mendukung secara penuh terhadap kegiatan penelitian yang saya lakukan.

Kepada Papa Dominggus A.Djungu (Alm) dan Mama Adelaide Djungu terimakasih untuk kasih sayang dan pengorbanannya yang tulus dalam mendidik dan memberi tauladan untuk menjadi seseorang yang bertanggung jawab dalam segala hal. Kakak serta adik tersayang beserta keluarganya, terimaksih atas doa dan kasih sayang serta dorongan semangatnya. Tunangan tercinta Apri Dira Tome,ST terimaksih atas izin, kesabaran, doa serta kasih sayangnya yang selalu membesarkan hati sebagai pemacu semangat dalam mendampingi penulis hingga menyelesaikan studi.

Semoga bantuan, dukungan, dorongan dan perhatian dari semua pihak yang telah diberikan dengan tulus kepada penulis mendapat imbalan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa. Penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna, sehingga diharapkan adanya saran dan kritik yang dapat membangun di masa mendatang. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Februari 2014

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN

Latar belakang 1

Tujuan 1

Manfaat 1

2 TINJAUAN PUSTAKA

Gambaran umum Kabupaten Kupang 2

Populasi ternak di Kabupaten Kupang 2

Manajemen pemeliharaan 3

Morfologi dan klasifikasi Thelazia spp 4

Siklus hidup 4

Patogenesis dan gejala klinis 5

Epidemiologi 5

3 METODE

Waktu dan tempat penelitian 6

Desain penelitian 7

Pengamatan parasiotologi 7

Pengamatan gejala klinis dan cacing parasit 7

Identifikasi parasit 7

Faktor risiko terkait kejadian thelaziosis 7

Analisis data 8

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi umum fisik dan tata laksana peternakan 8

Total prevalensi dan derajat infeksi Thelazia spp 10 Faktor risiko yang mempengaruhi kejadian thelaziosis 13

Pembahasan 15

5 SIMPULAN DAN SARAN 17

6 DAFTAR PUSTAKA 18

LAMPIRAN 20

(12)

DAFTAR TABEL

1 Populasi ternak besar menurut jenis ternak dan kecamatan 3

2 Total prevalensi infeksi Thelazia spp 10

3 Rataan derajat infeksi Thelazia spp 10

4 Nilai Crude Odds-Ratio (OR) faktor umur dan jenis kelamin 13

5 Nilai Crude Odds-Ratio (OR) faktor kandang 14

6 Nilai Crude Odds-Ratio (OR) faktor pengelolaan feses 14 7 Nilai Crude Odds-Ratio (OR) faktor penggembalaan 14 8 Nilai Crude Odds-Ratio (OR) faktor pemberian anthelmintika 15

DAFTAR GAMBAR

1 Siklus hidup Thelazia spp 4

2 Peta lokasi penelitian 6

3 Struktur bangunan kandang sapi 9

4 Lokasi penggembalaan sapi 9

5 Gejala klinis sapi yang terinfeksi 11

6 Morfologi cacing betina Thelazia rhodesii 12

7 Morfologi cacing jantan Thelazia rhodesii 12

DAFTAR LAMPIRAN

1 Makalah publikasi 20

(13)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kabupaten Kupang merupakan daerah yang memiliki potensi peternakan sapi potong yang cukup besar. Umumnya sapi potong di Kabupaten Kupang dipelihara secara tradisional dengan cara digembalakan di padang penggembalaan. Metode pemeliharaan ini memiliki risiko terinfeksi oleh berbagai penyakit diantaranya thelaziosis.

Thelaziosis adalah kecacingan pada mata yang disebabkan oleh nematoda. Siklus hidup cacing ini memerlukan inang antara lalat dari famili Muscidae. Larva maupun cacing dewasa Thelazia spp dalam kantung konjungtiva dan saluran air mata sapi menyebabkan konjungtivitis disertai lakrimasi yang dapat mengakibatkan kongesti konjugtiva. Bila keadaan ini dibiarkan dapat menyebabkan kekeruhan kornea, keratitis, ulserasi pada kornea mata dan konjungtiva membengkak karena adanya penyumbatan duktus lakrimalis oleh cairan purulen (Otranto dan Traversa 2005).

Thelaziosis pada sapi disebabkan oleh spesies Thelazia rhodesii, Thelazia gulosa dan Thelazia skrjabini. Thelaziosis pada sapi di Eropa, umumnya disebabkan oleh T.gulosa dan T.skrjabini, akan tetapi laporan terbaru menunjukkan adanya thelaziosis pada sapi disebabkan oleh T.rhodesii di Portugal (Bras 2012). Thelaziosis yang disebabkan oleh T.rhodesii juga dilaporkan di Zambia Afrika Selatan (Munang’andu et al. 2011) dan di Filipina (Aken et al. 1996). Infeksi oleh T.rhodesii di Indonesia telah dilaporkan di pulau Jawa dan Sumatera pada tahun 1893 (Yamaguti 1963).

(14)

2 TINJAUAN PUSTAKA

Gambaran Umum Kabupaten Kupang

Kabupaten Kupang terletak di antara 9015 – 10022 Lintang Selatan dan 123016 – 124011 Bujur Timur. Batas-batas wilayahnya di bagian utara dan barat berbatasan dengan Laut Sawu, bagian Selatan berbatasan dengan Samudera Hindia dan di bagian timur berbatasan dengan Kabupaten Timor Tengah Utara dan Timor Leste (Disnak NTT 2011).

Wilayah Kabupaten Kupang terdiri dari 24 kecamatan dengan luas daratan 5.490,97 ribu km2. Kondisi fisik kabupaten Kupang berbukit-bukit, bergunung-gunung dan sebagian terdiri dari dataran rendah yang luas. Kabupaten Kupang memiliki dua musim yaitu musim kemarau pada Juni – September, sedangkan musim hujan pada bulan Desember – Maret. Dalam beberapa tahun terakhir telah terjadi perubahan periode musim yang cukup signifikan, waktu hujan menjadi lebih panjang dibanding tahun-tahun sebelumnya (Disnak NTT 2011).

Populasi Ternak Sapi Potong di Kabupaten Kupang

Populasi ternak sapi potong di NTT mencapai 788.600 ekor. Sebagian besar populasi sapi potong terdapat di Pulau Timor yaitu sebanyak 533.700 ekor atau 68.5% dari total populasi sapi potong di NTT. Pulau Flores 132.400 ekor (17.0%), pulau Sumba 62.500 ekor (8.0%) dan kepulauan lainnya (Alor, Lembata, Rote Ndao dan Sabu Raijua) sebanyak 50 ribu ekor (6.4%). Bangsa sapi yang paling banyak dipelihara di provinsi Nusa Tenggara Timur adalah sapi bali dengan populasi mencapai 87.87% dari total populasi sapi yang tersebar di provinsi Nusa Tenggara Timur. Jenis sapi lainnya yang dipelihara di NTT adalah sapi Ongole dengan populasi sebesar 10.48%, sapi madura dengan populasi sebesar 1.51% dan sapi Brahman dengan populasi sebesar 0.41%. Populasi sapi terbanyak terdapat di pulau Timor yaitu 533.7 ribu ekor atau 68.5% dari populasi sapi potong di NTT (BPS NTT 2011). Tingginya populasi sapi di Pulau Timor disebabkan karena ketersediaan padang penggembalaan yang cukup luas bagi sapi di pulau tersebut dibandingkan dengan ketersediaan padang penggembalaan di pulau lain seperti Alor ataupun Flores. Bangsa sapi yang dipelihara di NTT umumnya memiliki keistimewaan antara lain tahan terhadap panas, tidak selektif terhadap pakan yang diberikan termasuk pakan yang berkualitas rendah, mempunyai daya cerna yang baik terhadap pakan, memiliki presentase karkas yang tinggi dan fertilitas tinggi (Blakely dan Bade 1994).

(15)

Tabel 1 Populasi ternak besar menurut jenis ternak dan kecamatan di kabupaten

Padang penggembalaan yang luas berupa savana di Kabupaten Kupang memungkinkan sektor peternakan berkembang dengan baik. Hampir 25% dari luas wilayah NTT adalah padang penggembalaan savana (Disnak NTT 2011).

(16)

Morfologi dan klasifikasi Thelazia spp

Secara taksonomi menurut Soulsby (1982) Thelazia spp termasuk ke dalam kelas Nematoda, sub kelas Secernentea, ordo Spirurorida, famili Thelaziidae dan genus Thelazia.

Ciri umum Thelazia spp adalah memiliki tubuh berwarna putih susu, mulutnya tidak mempunyai bibir tetapi tepi anterior kapsula bukal terbalik keluar dan terbagi oleh lekukan menjadi 6 feston serta memiliki kutikula yang tebal bergaris-garis transversal. Cacing jantan dewasa memiliki ciri berukuran 8-12 mm, ekor tumpul dan menggulung, testes terdapat pada bagian pertengahan dari ekor dan memiliki spikulum yang tidak sama besar serta memiliki sekitar 14 pasang papila pre kloakal dan 3 pasang papila pada kloaka (Soulsby 1982). Cacing betina dewasa memiliki ciri berukuran 12-21 mm, vulva dari betina memiliki penutup yang terletak di bagian kiri anterior tubuh. Lubang vagina berukuran kira-kira 62-160 µm dan terletak pada bagian anterior antara esofagus dan usus. Bagian posterior terdapat uterus yang berisi telur yang belum matang dan pada bagian ujung ekor terdapat dua phasmid sensorik. Telur pada mulanya beukuran 26-29 mikron, tetapi kemudian terenggang oleh perkembangan larva dan menjadi 207x4 mikron. Betina dari Thelazia spp bersifat ovoviviparosa (Levine 1994).

Siklus hidup Thelazia spp

Gambar 1 Siklus hidup Thelazia spp

(17)

Siklus hidup Thelazia spp (Gambar 1) tidak langsung membutuhkan inang antara yaitu lalat famili Muscidae (diptera). Lalat terinfeksi oleh cacing stadium larva (L1) pada saat makan disekitar mata inang defenitif. Larva (L1) memasuki usus lalat dan menembus folikel ovarium kemudian berkembang menjadi larva tahap kedua (L2) yang berukuran panjang 3-4 mm. Larva kemudian ekdisis menjadi larva tahap ketiga (L3) berukuran panjang 5-7 mm yang merupakan larva infektif. Larva kemudian meninggalkan folikel ovarium dan bermigrasi kebagian mulut lalat. Perkembangan dari larva tahap pertama sampai dengan larva tahap ketiga berlangsung selama 15-20 hari di dalam tubuh lalat. Larva infektif akan menginfeksi mata sapi ketika lalat makan disekitar mata sapi. Di dalam mata sapi cacing akan menjadi dewasa dalam waktu 20-25 hari (Soulsby 1982).

Patogenesis dan Gejala Klinis

Kornea mata, kantung konjungtiva dan membran pengerjap merupakan habitat dari T. rhodesii, T. skrjabini, dan T. gulosa. Kutikula yang keras dan bergerigi dari Thelazia rhodesii menyebabkan kerusakan mekanis pada epitel konjungtiva dan kornea sehingga produksi air mata meningkat yang berperan penting dalam transmisi cacing ke vektornya dalam hal ini lalat Musca spp (face flies) yang pakannya adalah sekresi air mata sapi (Otranto dan Traversa 2005).

Dalam infeksi eksperimental menggunakan T.callipaeda yang dilakukan terhadap 20 ekor kelinci, 3 di antaranya mengalami kebutaan dengan jumlah cacing 40-50 ekor dan 17 ekor lainnya menunjukkan gejala klinis inflamasi dan penyumbatan duktus lakrimalis oleh cairan purulen (Wang et al. 2002 ; Wang et al. 2006).

Gejala klinis yang paling umum dari thelaziosis adalah konjungtivitis, hipertrofi konjungtiva, lakrimasi yang berlebihan, penyumbatan duktus lakrimalis dan keratitis. Gejala klinis tersebut dipengaruhi oleh jumlah cacing, habitat cacing dan respon imun dari inang (Wang et al. 1999).

Epidemiologi

Epidemiologi Thelaziosis pada sapi dipengaruhi oleh manajemen peternakan serta keberadaan, biologi dan etiologi dari lalat yang berperan sebagai inang antara (Bras 2012). Thelaziosis pada sapi telah di laporkan di Amerika Amerika Serikat (Genden dan Stoffolano 1980 ; O'Hara dan Kennedy 1991 ; Turfrey dan Chandler 1978). Penelitian selanjutnya melaporkan adanya thelaziosis pada sapi di Iran (Ebadi 1951), Jepang (Okoshi dan Kitano 1966), Ghana (Vohradsky 1970), Afghanistan (Barus et al. 1976), Kanada (Krafsur dan Church 1985), Inggris (Arbuckle dan Khalil 1978), Zambia (Ghirotti et al. 1989; Munang’andhu et al. 2011 ) dan di Asia dilaporkan di Filipina (Aken et al. 1996).

(18)

larva Thelazia spp dalam tubuhya (Otranto 2003). Kebiasaan lalat yang memakan sekresi mata sangat berpotensi dalam transmisi penyakit thelaziosis. Tingkat infeksi umumnya cenderung meningkat dengan bertambahnya umur inang defenitif (Aken et al. 1996).

3 METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di tiga Kecamatan di Kabupaten Kupang. Pengolahan serta identifikasi secara morfologi hasil pengumpulan parasit dilaksanakan di Laboratorium Helmintologi Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner. Scanning Electron Microscopy (SEM) dilakukan di Laboratorium Malakologi dan Invertebrata Lain, Bidang Zoology Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong. Waktu yang diperlukan untuk pengumpulan sampel serta identifikasi parasit di laboratorium melalui prosesing, penghitungan, serta analisis data dilakukan pada bulan April sampai dengan Juni 2013.

(19)

Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional yang dilakukan di Kabupaten Kupang untuk mengetahui prevalensi thelaziosis, derajat infeksi, jenis-jenis cacing mata dan faktor-faktor risiko terkait kejadian thelaziosis. Populasi target dari penelitian ini adalah ternak sapi peternakan rakyat di wilayah Kabupaten Kupang. Jumlah sampel sapi dalam penelitian ini dihitung menggunakan software winepiscope 2.0 dengan prevalensi yang diharapkan 20% dan sensivitas uji 95%. Sampel parasit diambil secara acak di tiga kecamatan pada mata sapi dewasa ( 12 bulan), anak ( >6 – 12 bulan) dan pedet (0-6 bulan) selanjutnya dikoleksi untuk diidentifikasi di laboratorium. Data mengenai karakteristik sumber daya manusia peternak dan manajemen peternakan diperoleh melalui wawancara menggunakan kuesioner. Semua data yang diperoleh kemudian di analisis statistik.

Pengamatan Parasitologi

Pengamatan Gejala Klinis dan Pengumpulan Cacing Parasit

Sebanyak 385 sampel sapi dewasa (> 12 bulan), anak (>6-12 bulan), pedet (0-6 bulan) diperiksa gejala klinisnya akibat thelaziosis. Cacing dikoleksi dari sapi yang terinfeksi thelaziosis dengan memberikan cairan anestesi (Xylocaine 10% ) pada mata. Cacing kemudian dimasukkan ke dalam botol koleksi yang berisi larutan garam fisiologis (Otranto dan Dutto 2008). Sampel cacing kemudian dibawa ke laboratorium untuk proses identifikasi.

Identifikasi Parasit

Proses identifikasi dimulai dengan pembilasan cacing kemudian dibunuh, difiksasi dan selanjutnya di clearing kemudian diidentifikasi secara morfologi mengikuti ciri-ciri yang dideskripsikan oleh Yamaguti (1963) dan Naem (2007). Identifikasi secara morfologi dengan menggunakan mikroskop untuk mengetahui ukuran tubuh dari cacing, ukuran bukal kapsul, jarak servikal papila dari anterior, jarak vulva dari anterior dan panjang spikula. Scanning Electron Microscopy (SEM) digunakan untuk melihat karakter dari kutikula, jumlah papila pre-anal dan pola kutikula disekitar vulva. Jumlah cacing mata dihitung untuk mengetahui derajat infeksi. Derajat infeksi dikategorikan ringan (1-10 ekor), sedang (11-20 ekor) dan berat ( 21).

Faktor risiko terkait kejadian thelaziosis

(20)

Analisis Data

Data yang diperoleh dari wawancara dan pemeriksaan laboratorium diinput dalam data base menggunakan SPSS 17.0. Berbagai faktor risiko kejadian thelaziosis yang berkaitan dengan manajemen peternakan dan sumber daya manusia di peternakan dianalisis menggunakan regresi logistik.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL

Kondisi Umum Fisik dan Tata Laksana Peternakan

Ketiga kecamatan yang diamati dalam penelitian ini secara geografis terletak pada tipe iklim yang sama menurut banyaknya bulan basah dan kering di wilayah Kabupaten Kupang. Secara umum bulan Juni sampai September, arus angin berasal dari Australia dan tidak banyak mengandung uap air sehingga mengakibatkan musim kemarau, sebaliknya pada bulan Desember sampai Maret arus angin banyak mengandung uap air yang berasal dari Asia dan Samudera Pasifik sehingga terjadi musim hujan. Rata-rata kelembaban udara di Kabupaten Kupang tahun 2012 sebesar 73.75%, tekanan udara 1.768.21 mb dan rata-rata suhu udara diatas 27.230C (BMG kelas II Kupang).

Seluruh sampel peternakan tergolong peternak skala usaha kecil dengan populasi paling sedikit 5 ekor dan terbanyak sebesar 15 ekor. Populasi setiap kelompok bervariasi setiap peternakan, minimal 5 ekor/kelompok dan setiap kandang terdapat 2-4 ekor pedet. Jenis sapi bali adalah ras terbanyak yang dipelihara (95%) dan sisanya adalah bangsa sapi madura dan sapi ongole (5%). Dari jumlah sapi yang diperiksa, umur yang terbanyak (33%) adalah sapi berumur 1-3 tahun berturut –turut diikuti oleh sapi berumur 6-12 bulan (24%), >3 tahun (23%) dan 0-6 bulan (20%).

(21)

pengendalian. Jenis dan waktu serta metode pemberian antelmintika berbeda-beda diantara peternak-peternak. Sebagian besar peternak (84%) mengobati secara periodik setahun 2 kali menggunakan tetramisol, sisanya memberikan obat hanya ketika mengetahui dengan pasti bahwa ternaknya kecacingan dari hasil pemeriksaan oleh petugas dinas peternakan.

Gambar 3 Struktur bangunan kandang sapi A. Kecamatan Amarasi

B. Kecamatan Fatuleu

C. Kecamatan Kupang Timur

(22)

Total Prevalensi dan Derajat Infeksi Thelazia spp

Sapi yang diperiksa sebanyak 385 ekor, 23 ekor (5.97%) dari kecamatan Amarasi dan Fatuleu terinfeksi Thelazia spp. Prevalensi thelaziosis diantara kedua kecamatan tersebut tidak berbeda (Tabel 2) (P>0.05), akan tetapi rataan jumlah cacing per ekor sapi lebih tinggi pada Kecamatan Fatuleu (Tabel 3).

Tabel 2 Total prevalensi infeksi Thelazia spp pada setiap kecamatan

Kecamatan Prevalensi P

Jumlah sapi yang diperiksa;SK= Selang Kepercayaan; OR= Odds Ratio

Tabel 3 Rataan derajat infeksi Thelazia spp pada setiap kecamatan

Kecamatan Tidak infeksi Infeksi Rataan jumlah cacing per ekor sapi

Jumlah sapi yang diperiksa;*berbeda nyata pada α < 0.05

(23)

Cacing dewasa sebanyak 357 ekor diperoleh dari ternak sapi yang terinfeksi Thelazia spp, terdiri atas 210 ekor cacing betina dan 147 ekor cacing jantan. Berdasarkan hasil pengamatan morfologi mikroskopik cacing yang diamati memiliki ciri-ciri sebagai berikut, tubuh berwarna putih susu, memiliki kutikula yang tebal dan bergaris transversal. Bagian kepala dari cacing jantan dan betina memiliki bentuk yang sama dan tidak memiliki bibir. Bukal kapsul berukuran 20-24 x 44-52 µm, terdapat dua cervical papillae pada bagian lateral, yang terletak pada sisi kanan dan kiri dari tubuh cacing yang berjarak 350-384 µm diukur dari ujung anterior. Cervical papillae ini dimiliki oleh cacing jantan dan betina. Cacing betina (Gambar 6) memiliki panjang 12.5-20.5 mm dan lebar 300-500 µm. Vulva terletak pada daerah esofagus yang berjarak 505.2-536.3 µm dari bagian kepala. Lubang anal terdapat pada bagian posterior dan memiliki ujung ekor yang keras. Cacing jantan (Gambar 7) memiliki panjang 7.5-14.5 mm dan lebar 420-475 µm. Cacing ini memiliki ekor yang tumpul dan menggulung, spikula tidak sama panjang yaitu 624-850 µm dan 100-130 µm dan tidak memiliki gubernakulum. Hasil pengamatan menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM) diamati 14 pasang papila pre anal dan papila tunggal terdapat pada bagian anterior dari kloaka, sedangkan sepasang papila terdapat pada bagian post anal. Sepasang phasmid yang berbentuk seperti puting yang terletak pada ujung posterior. Ciri tersebut menurut Yamaguti (1963) dan Naem (2007) adalah spesies Thelazia rhodesii.

(24)

Gambar 6 Morfologi cacing betina Thelazia rhodesii Buccal Capsule (BC), Cervical Papillae (CP), Vulva (V), Cuticula

Transversa (CT)

Gambar 7 Morfologi cacing jantan Thelazia rhodesii

(25)

Faktor risiko yang mempengaruhi kejadian thelaziosis

Faktor risiko infeksi parasit adalah semua faktor yang secara nyata meningkatkan peluang terjadinya transmisi stadium infektif parasit sehingga menyebabkan inang sakit. Satu faktor dengan faktor lainnya saling berkaitan dalam mendukung terjadinya penyakit. Terdapat perbedaan yang signifikan (P<0.05) pada tingkat infeksi antara sapi dewasa dan anak. Ternak sapi dewasa memiliki risiko terinfeksi lebih besar dibandingkan dengan sapi anak (Tabel 4) sedangkan prevalensi infeksi antar jenis kelamin ternak sapi tidak berbeda (Tabel 4). Prevalensi infeksi yang lebih tinggi ditemukan pada peternakan yang membersihkan kandang tidak teratur dibandingkan dengan peternakan yang membersihkan kandang secara teratur demikian pula dengan frekwensi pembersihan kandang. Kandang yang dibersihkan sebanyak sebulan sekali memiliki prevalensi infeksi lebih besar dibandingkan dengan kandang yang dibersihkan setiap hari (Tabel 5). Perbedaan yang signifikan (P<0.05) prevalensi infeksi terdapat pada sapi yang digembalakan dipadang rumput lebih tinggi dibandingkan dengan yang di sawah (Tabel 7). Risiko infeksi Thelazia rhodesii secara signifikan (P<0.05) lebih tinggi pada ternak yang mendapatkan anthelmintik sebanyak satu kali setahun dibandingkan dengan ternak yang mendapatkan anthelmintik sebanyak dua kali setahun (Tabel 8).

Tabel 4 Nilai Crude Odds-Ratio faktor umur dan jenis kelamin terhadap kejadian thelaziosis

Faktor risiko Infeksi Tidak infeksi SK P OR n(ekor) % n(ekor) %

Umur sapi

0-6 bulan 6 4.9 117 95.1 1.00

>6-12 bulan 15 6.9 200 93.1 1.140-9.091 0.027* 3.21 >12 bulan 2 4.9 45 95.1 1.28-22.145 0.018* 5.42 Jenis kelamin

Jantan 11 5.9 179 94.1 1.00

Betina 12 6 183 94 0.464-4.701 0.467 1.57

nJumlah sapi yang diperiksa; *signifikan pada α

(26)

Tabel 5 Nilai Crude Odds-Ratio faktor kandang terhadap kejadian thelaziosis

Jumlah sapi yang diperiksa; *signifikan pada α < 0.05; SK= Selang Kepercayaan; OR = Odds Ratio

Tabel 6 Nilai Crude Odds-Ratio faktor pengelolaan feses terhadap kejadian thelaziosis

Tabel 7 Nilai Crude Odds-Ratio faktor penggembalaan terhadap kejadian thelaziosis

Jumlah sapi yang diperiksa; *signifikan pada α < 0.05; SK= Selang Kepercayaan; OR= Odds Ratio

Faktor risiko Infeksi Tidak infeksi SK P OR

(27)

Tabel 8 Nilai Crude Odds-Ratio faktor pemberian anthelmintika terhadap

Jumlah sapi yang diperiksa; *signifikan pada α < 0.05; SK= Selang Kepercayaan; OR= Odds Ratio

PEMBAHASAN

Thelazia yang menginfeksi ternak sapi di Kabupaten Kupang diidentifikasi sebagai Thelazia rhodesii. T.rhodesii memiliki perbedaan yang spesifik terhadap T.gulosa dan T.skrjabini yang juga menginfeksi ternak sapi. Perbedaan tersebut terletak pada karakteristik kutikula, jumlah papila pre anal dan pola kutikula di sekitar vulva yang dapat diamati menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM). Kutikula yang dimiliki oleh T.rhodesii bergerigi dan keras sedangkan kutikula yang dimiliki oleh T.gulosa dan T.skrjabini lebih halus. Demikian pula dengan jumlah papila anal pada cacing jantan, T.rhodesii memiliki papila pre-anal sebanyak 14 pasang sedangkan jumlah papila pre-pre-anal T.gulosa dan T.skrjabini sebanyak 35-40 dan 31-38 tidak berpasangan (Naem 2007). Cacing betina perbedaan yang paling spesifik terletak pada pola kutikula disekitar vulva. Pada T.rhodesii kutikula di sekitar vulva membentuk kumpulan papil sedangkan T.skrjabini dan T.gulosa tidak memiliki pola di sekitar vulva tetapi memiliki vulva yang menonjol (Naem 2007).

Infeksi oleh T.rhodesii pada umumnya tidak menunjukkan gejala klinis, akan tetapi dalam beberapa kasus infeksi oleh T.rhodesii menunujukkan gejala klinis diantaranya epiphora, konjungtivitis, keratitis, opasiti kornea dan ulserasi. Asimptomatik klinis dari thelaziosis disebabkan oleh aktifitas dari cacing jantan sedangkan gejala simptomatik klinis disebabkan aktifitas dari cacing betina yang gravid atau bunting. Kutikula yang keras dan bergerigi dari T.rhodesii menyebabkan kerusakan mekanis pada epitel konjungtiva dan kornea, sehingga produksi air mata meningkat yang berperan dalam transmisi cacing ke inang antara (Otranto dan Traversa 2005).

(28)

kecenderungan hubungan antara gejala klinis terhadap jumlah cacing. Semakin banyak jumlah cacing maka semakin menginduksi keparahan panyakit. Kerusakan mekanik yang diakibatkan oleh kutikula yang bergerigi dari T.rhodesii menyebabkan perlukaan sehingga terjadi infeksi sekunder oleh organisme lain. Kemungkinan infeksi sekunder ini ditunjukkan pada sapi yang hanya memiliki 8 ekor cacing. Thelaziosis tidak menyebabkan kematian namun konjungtivitis, keratitis, kekeruhan pada kornea mata (opacity cornea) dan kebutaan memberikan dampak negatif pada ternak itu sendiri yaitu ternak rentan terhadap predator dan juga ternak mengalami kesulitan dalam merumput karena adanya gangguan penglihatan.

T.rhodesii tersebar di daerah beriklim tropis dan sub tropis dengan topografi dan lingkungan yang dapat mendukung perkembangan lalat yang merupakan inang antara dari cacing T.rhodesii (Kennedy 1993; Zubairova dan Ataev 2010). Kejadian thelaziosis di daerah tropis meningkat pada musim penghujan sedangkan di daerah sub tropis kejadian thelaziosis terjadi pada musim semi (Ghirotti dan Iliamupu 1989; Aken et al. 1996). Musca autumnalis merupakan inang antara di Eropa, Afrika Utara, Asia dan Amerika Utara bahkan di Afrika Timur Musca autumnalis merupakan satu-satunya inang antara thelaziosis pada sapi. Selain M.autumnalis di negara tropis maupun subtropis terdapat beberapa spesies lainnya yaitu M.amita, M.sorbens, M.vitripennis dan M.larvipara (Krafsur dan Moon 1997). Prevalensi Thelaziosis pada sapi dipengaruhi oleh distribusi ternak yang terinfeksi, banyaknya lalat betina yang terinfeksi dan ekologi suatu daerah untuk mendukung perkembangan lalat yang berpotensi sebagai inang antara T.rhodesii (Kennedy 1993).

Prevalensi thelaziosis di Kabupaten Kupang termasuk rendah. Hal ini diduga berkaitan dengan berkurangnya media perindukkan lalat akibat feses ternak yang cepat mengering sebelum larva menyelesaikan perkembangan ke tahap dewasa pada musim kemarau. Prevalensi yang rendah pada musim kemarau juga dilaporkan di Zambia sebesar 3.1% dibandingkan pada musim hujan sebesar 26.6% (Munang’andhu et al. 2011).

Pemberian anthelmintik juga ikut mempengaruhi prevalensi thelaziosis pada sapi. Ternak yang mendapatkan pengobatan terhadap infeksi cacing parasit setahun sekali memiliki risiko terinfeksi sebesar 19.06 kali lebih besar dibandingkan ternak yang mendapatkan pengobatan sebanyak dua kali setahun. Tetramisol yang diberikan secara teratur sebanyak dua kali setahun sebagai anthelmintik untuk mengobati ternak yang terinfeksi Thelazia rhodesii menunjukkan efektivitas yang cukup baik. Meskipun pemberian anthelmintik ini cukup efektif, namun perlu diwaspadai risiko timbulnya populasi parasit yang resisten. Diperlukan strategi pemberian anthelmintik yang dapat memperlambat timbulnya populasi parasit yang resisten.

(29)

dengan ternak muda (Otranto dan Traversa 2005). Demikian pula dengan manajemen pemeliharaan, sapi yang digembalakan di padang rumput memiliki risiko 19.30 kali lebih besar terinfeksi thelaziosis dibandingkan sapi yang digembalakan di sawah. Manajemen pemeliharaan ternak dengan cara ternak digembalakan di padang penggembalaan yang sama secara terus menerus tanpa adanya rotasi penggembalaan menyebabkan ternak tidak dapat terhindar dari infeksi parasit. Rotasi penggembalaan sangat besar manfaatnya bagi pengendalian penyebaran infeksi parasit dan menghindari telur cacing yang berasal dari hewan terinfeksi di padang penggembalaan. Padang penggembalaan yang tidak digunakan selama 3 bulan berturut-turut mampu menurunkan jumlah stadium pre parasitik di lingkungan (Subronto et al. 2001). Frekwensi pembersihan kandang pada peternakan juga berpengaruh terhadap kejadian thelaziosis. Pembersihan kandang yang dilakukan sebulan sekali memiliki risiko terinfeksi thelaziosis 124 kali lebih besar dibandingkan dengan setiap hari.

Secara umum dapat dikatakan bahwa faktor-faktor biotik maupun abiotik yang meliputi inang, parasit dan lingkungan dapat mendukung terjadinya infeksi thelaziosis. Prevalensi thelaziosis di Kabupaten Kupang disebabkan berbagai faktor risiko diantaranya inang, parasit dan manajemen peternakan. Oleh karena itu pengendalian terhadap thelaziosis secara utuh membutuhkan suatu pendekatan termasuk pemberian anthelmintik dan perbaikan manajemen peternakan untuk mengurangi populasi lalat. Nilai Crude Odds-Ratio hasil penelitian ini merupakan pengetahuan yang perlu dipertimbangkan dalam merancang strategi pengendalian thelaziosis di Kabupaten Kupang.

5 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1 Prevalensi kejadian thelaziosis di Kabupaten Kupang adalah sebesar 5.97%. 2 Jenis Thelazia spp yang menginfeksi sapi di Kabupaten Kupang adalah

Thelazia rhodesii

3 Ternak sapi yang terinfeksi thelaziosis menunujukkan gejala klinis lakrimasi, serta konjungtivitis yang mengarah ke keratokonjungtivitis.

4 Faktor risiko yang secara nyata mempengaruhi kejadian thelaziosis pada ternak sapi peternakan rakyat adalah umur sapi, manajemen peternakan dan pemberian anthelmintika.

Saran

1 Penelitian serupa perlu dilakukan untuk melihat pola kejadian yang dihubungkan dengan faktor musim.

(30)

DAFTAR PUSTAKA

Arbuckle JB, Khalil LF. 1978. A survey of Thelazia worms in the eyelids of british Cattle. J Vet Rec (2):207-210.

Aken VD, Dargantes AP, Lagapa JT. Vercruysse J. 1996. Thelazia rhodesii (Desmaret,1828) infections in cattle in Mindanao, Philippines. Vet Parasitol (66):125-129.

Bras ALL. 2012. Estude epidemilogico geospacial de Thelazia spp em bovinos da regiao de alentejo [Dissertation]. Lisboa Portugal.

[BMG] Badan Meteorologi dan Geofisika. 2012. Data curah hujan dan klimatologi wilayah Kabupaten Kupang. Badan Meteorologi dan Geofisika Stasiun Klimatologi Lasiana Kupang.

Badan Pusat Statistik. 2011. Rilis hasil PSPK. No 7/II/53/XIV Hal 1-14.

Badan Pusat Statistik. 2012. Nusa Tenggara Timur Dalam Angka. Katalog BPPS : 1102001.53 Hal 192.

Blakely J, Bade DH. 1994. Ilmu Peternakan (Terjemahan). Edisi Keempat. Gadjah Mada University Press.

Barus V, Blazek A, Morayec F. 1976. Nematodes parasitizing domestic ruminants in Afganistan. J Folia Parasitol (23):207-216.

[Disnak] Dinas Peternakan Nusa Tenggara Timur. 2011. Kabupaten Kupang Dalam Angka. Kupang

Ebadi A. 1951. A survey on Thelazia spp in cattle in Tehran,Iran [Tesis]. College of veterinary medicine. Taheran Iran.

Genden CJ, Stoffolano JG. 1980. Bovine thelaziosis in Massachusetts. J Corn Vet (70):344-359

Ghirotti M, Iliamupu DS. 1989. Thelazia rhodesii (Desmarest 1828) In cattle of central Province, Zambia. J Parassitologia (31):231-237

Krafsur ES, Church CJ. 1985. Bovine thelaziosis in Iowa. J Parasitol (71):279-286

Krafsur ES, Moon RD. 1997. Bionomics of the face fly, Musca autumnalis. Ann review of entomology (42):503-523.

Kennedy MJ. 1993. Prevalence of eyeworm (Nematoda:Thelazioidea) in beef cattle grazing different range pasture zones in Alberta,Canada. J Parasitol (79):866-869.

Levine ND.1994. Parasitologi Veteriner. Gadjah Mada University Press.

Munang’andhu HM, Chaembensofu M, Siamudaala VM, Munyeme M, Mantandiko W. 2011. Thelazia rhodesii The African Buffalo Syncerus caffer, In Zambia. Korean J Parasitol (49): 91-94

Naem S. 2007. Morphological differentiation among three Thelazia species (Nematoda Thelaziidae) by scaning electron microscopy. Parasitol Res (101):145-151.

Otranto D, Dutto M. 2008. Human Thelaziosis, Europe. Emerging Infectious Diseases (14):647-649.

Okoshi S, Kitano N. 1966. Studies on Thelaziosis of cattle I. Thelazia skrjabini Erschow, 1982 Found In Japan. Jpn J Vet (28): 11-15

(31)

Otranto D, Traversa D. 2005. Thelazia Eyeworm : An original endo and ecto parasitic nematode. J Trends Parasitol (21): 1-4.

O’hara JE, Kenndy MJ. 1991. Development of the nematode eyeworm, Thelazia skrjabini ( Nematoda : Thelaziodea), in experimentally infected face flies, Musca autumnalis (Diptera : Muscidae). J parasitol (77): 417-425

[PUSKESWAN] Pusat Kesehatan Hewan Takari.2009.Laporan Tahunan.Kupang Subronto, Tjahajati I. 2001. Ilmu Penyakit Ternak II. Gadjah Mada University

Press

Soulsby EJL. 1982. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals. Ed ke-7. Bailliere Tindall. London.

Turfrey BA, Chandler RL. 1978. Incidence of Thelazia nematodes in the eyes of cattle at a research institute in berkshire. Vet Rec (102): 23.

Vohradsky F. 1970. Clinical course of Thelazia rhodesii infection of cattle in Accra Plains of Ghana. Bull Epizoot Dis Afr (18):159-170.

Wang KC, Wang ZX, Shen JL. 1999. Canine infection with Thelazia callipaeda and human thelaziasiasis. J Trop Dis Parasitol (28):216-218.

Wang ZX, Chen Q, Jiang BL. 2002. Epidemiology of thelaziasis in China. Chinese J Parasitic Dis Cntrl (6):335-337.

Wang ZX, Shen JL, Wang HY, Otranto D. 2006. An update on the research of human thelaziosis. Chinese J Parasitic Dis (4):299-303.

Yamaguti S. 1963. Systema Helminthum Vol III. The nematodes of vertebrata Part 1. Interscience Publishers Ltd. London.

(32)
(33)

Thelazia rhodesii infection on cattle in Kupang District

Dewi F.L. Djungu1,2, Elok Budi Retnani1,3, Yusuf Ridwan1,3

1

Graduate School of Bogor Agricultural University

2

University of Nusa Cendana Kupang

3

Helmintologi Laboratory Department of Parasitology and Entomology, Department of Animal Disease and Veterinary Public Health. Faculty of Veterinary Medicine, Bogor Agricultural University,Agatis

Street,Dramaga,Bogor Email: dewidjungu@gmail.com

Abstract

A cross-sectional study was carried out to determine the prevalence, the intensity infection, clinical sign, to identify species and to investigate associated risk factors of thelaziosis on cattle in Kupang district, Nusa Tenggara Timur Province. A total of 385 cattles were randomly selected from 96 farms in three subdistricts of Kupang District and observed for thelaziosis. The nematode present in the eye of cattle were collected with a forcep after administering local anesthesia (10% Xylocaine). The potential risk factors related to age of cattle, human resources and farm management were obtained by interviewing the farmers. Logistic regression was applied to analyze related risk factor of Thelaziosis. The result showed that of the total 385 cattles observed, 23 (5.96%) were infected by Thelazia spp, of which 22 cattles showed apparent clinical signs namely excessive lacrimation and conjunctivitis that leads to ceratoconjunctivitis, while one cattle showed ulceration. A total of 357 worms (157 males and 210 female) were collected from 23 infected cattles with the mean number of worms in infected cattle was 32.92 ± 21.03. Observation using Scanning Electron Microscope (SEM) on morphology characteristic showed that nematode species founded were identified as Thelazia rhodesii. The infection was more prevalentin older cattle (≥6-12 month old) than calf (0-6 month old) (P<0.05). Significant risk factors of animal husbandry practices affecting the prevalence of thelaziosis in cattle were anthelmintic treatment, grazing management, barn cleaning, and manure management. Our results highlight that significancy risk factors for the occurrence of the disease should be considered in designing control strategic program of thelaziosis.

INTRODUCTION

(34)

Thelazia rhodesii (Asia, Afrika, Europe), Thelazia gulosa (Asia, North Amerika, Europe) and Thelazia skrjabini (Europe, North Amerika) are the primary species in cattle. However, a new report shows that there is a thelaziosis infection on cattle which caused by T.rhodesii in Alentejo Portugal (Bras, 2012). Thelaziosis rhodesii are reported on cattle in Zambia, South Africa (Munang’andu et al., 2011), Philippines (Aken et al., 1996) including in Indonesia especially in both Java & Sumatera Island in 1893 (Yamaguti, 1963).

Thelaziosis cases were reported on 152 (10.93%) cattle in Takari district, Kupang regency in 2009. Two of infected cattles were reported dead and the others showed clinical sign of temporally blind (PUSKESWAN Takari, 2009). Although considerable works has been done on cattle thelaziosis prevalence and losses to farm clinical level, however no report so far has been published on the species of Thelazia spp and Musca as intermediate host. Considering the economic importance and pathological effect of Thelazia spp infection and unvailable baseline information of thelaziosis, therefore, this study was conducted in Kupang district, to determine the magnitude of thelaziosis in cattle of Kupang district, to determine the prevalence of thelaziosis in relation to age, sex and husbandry managements as well as information on transmismission of disease and control methods.

MATERIALS AND METHODS

Study Area

The study was conducted in three districts in Kupang Regency (Figure 1). The area is located in between 9015 – 10022 south latitude and 123016 – 124011 east longitude (Disnak NTT, 2011). Topographically, it is situated at altitude of 0-500 m above sea level with the mean annual temperature and relative humadity of 27.230C and 73.75%, respectively Physical condition is hilly and mountainous. Most of them consist of very wide lowland. There are two seasons: Dry season, from June to September and rainy season, from December to March (BMG Class II Kupang).

Clinical observations and worm collection

(35)

Species Identification

The worms which were cleared in alcohol and glycerin (Kruse & Pritchard, 1982) were prepared on object glass and examined under a streo microscope. Species identification was made using keys developed by Yamaguti (1963) and Naem (2007). The morphological identification was done by the microscope in order to find out the worm’s body size, buccal capsule size, the cervical papilla range from the anterior, the vulva range from the anterior and the specula length. The Scanning Electron Microscopy (SEM) was used in order to find out the

All collected data were (interview and laboratory research) entered to excel sheet and analized using the SPSS 17.0. The risk factors of thelaziosis (age host, sex, management and the cattle’s human resources) was analized using logistic regression. Overall level of significance in all analized was P<0.05.

Ethical Considerations

Both of the clinical signs observed and parasite worm collecting on both sample cattle were done based on the applied regulations, which is under the supervision of veterinarian, in order to avoid the damages on both cattles’ eyes during the parasite collecting sample.

All techniques involving collecton of samples from live animals were done according to specified regulations (Animal care and use regulations) with the attendance of a veterinarian (Committee on guidelines for the use of animals in neuroscience and behavioral research, 2003).

RESULTS

Among 385 cattles examined, 23 (5.97%) cattles from two subdistrict of Amarasi and Fatuleu were infected by Thelazia spp. The prevalence of thelaziosis between Amarasi and Fatuleu sub district were not different. However, the average worms burden per cattles was higher than Amarasi (Table 1).

The clinical signs observed in the infected cattle were an excessive lacrimation, conjunctivitis, ceratoconjunctivity and ulceration (Figure 2). The clinical signs of lacrimation, conjunctivitis and ceratoconjunctivity was found in 22 cattle (22/23) while, the ulceration only found in one cattle (1/23) with 8 worms. The most noticeable pathological changes found in 18 cattle (18/23) during the examination was the opacity cornea.

(36)

stripes transversal cuticles. The head of both male & female worms has the same shape and doesn’t have any lips at all. Inside the 20-24 x 44-52 µm buccal capsule, there are two cervical papillae on the lateral part which located on both right and left side of the worm bodies which has a length of 350-38µm measured from the corner of the anterior in both of male & female worms. The female worm (Figure 3) has a length of 12.5-20.5 mm and wide of 300-500µm. Vulva is located on esophagus area which has range of 505.2-536.3 µm from head. The anal pore is located on the posterior part and has a hard tip of tail. The male worm (Figure 4) has a length of 7.5-14.5 mm and wide of 420-475 µm with the tail blunt and curved ventrally. The specules don’t have the same length which is 624-850 µm and 100-130 µm. The male worm doesn’t have gubernaculum at all. Scanning Electron Microscopy (SEM) observation showed that the worm had about 14 pairs of papilla pre-anal and single papilla are located on the cloaca’s anterior part, while a pair of papilla is located on the post-anal part and two nipple shaped phasmids at the posterior end (Figure 3 & 4). Those characteristics according to Yamaguti (1963) and Naem (2007) are the characteristic of Thelazia rhodesii species.

There was difference in the rate of infection between the old and the young cattle, in the old was higher than young with odds ratio of 7.3 which were statistically significant (Table 2), while the prevalence between animal sex was not different significantly (Table 2). Significantly (P<0.05) higher prevalence were found in poorly managed farms as compared to well mananged farms in terms of cleanliness (Table 3) as well as regular cleaning of barn, higher prevalence were found on barn that cleaning once a month than everyday (Table 4). Significantly (P<0.05) higher prevalence of thelaziosis was recorded in cattle that grazed in pasture than rice field (Table 5). The risk of Thelazia spp infection was significantly higher on cattle that treated with anthelmintic once a year than twice a year (Table 6).

DISCUSSION

Morphological characteristic of the nematodes examined in the present study were identified as a T.rhodesii. Thelazia rhodesii has specific differences with two other Thelazia spp species infected cattle. Those differences are on its cuticle characteristic, the total of pre-anal papilla and the cuticle pattern around the vulva which can be observed by using the Scanning Electron Microscopy (SEM). The T.rhodesii cuticle is hard and ridged while T.gulosa & T.skrjabini are smoother. Likewise, the total number of male worm’s pre-anal papilla, the T.rhodesii has 14 pairs of pre-anal papilla while the total number of T.gulosa and T.skrjabini pre-anal papilla is 35-40 and 31-38 unpaired (Naem, 2007). The specific differences of female worm are on its cuticle pattern around the vulva. On T.rhodesii, the cuticle around the vulva creates a group of papilla while both T.gulosa and T.skrjabini don’t have any pattern around the vulva but rather have a prominent vulva (Naem, 2007).

(37)

T.rhodesii in this research showed symptom namely excessive lacrimation, conjunctivitis, ceratoconjunctivity and ulceration. The most prominent pathological changes was opacity cornea which were observed in the eyes of 18 cattles. The clinical signs of thelaziosis is caused by the activites gravid (pregnant) female worm. The T.rhodesii’s hard and ridged cuticle could cause a mechanical damage on both cornea and conjunctive epitel thus, the lachrymal gland productions increase (Otranto and Traversa, 2005). It is assumed that clinical signs has correlation with worm burden. The severity of infection increased with the number of worm that found in the eyes. Mechanical damage caused by the T.rhodesii’s serrated cuticle port the entry of secondary infection. The possibility of secondary infection is demonstrated in cattle that have only 8 worms. Thelaziosis does not cause mortality on cattle, however, the morbidity in terms of conjunctivitis, cerathitic, corneal opacity and blindness gives a negative impact to the cattle itself such as vulnerability to the predator and having a difficulty on 1996). Musca autumnalis is a host intermediate in Europe, North Africa, Asia and North America furthermore, in East Africa Musca.autumnalis is the only host intermediate bovine thelazaiosis. Besides M. autumnalis, in both tropical and sub tropical countries there are several other species such as: Musca.amita, Musca.sorbens, Musca.vitripennis, Musca.larvipara (Krafsur & Moon, 1997). The Thelaziosis prevalence on cattles is influenced by infected cattle distributions, the numbers of infected flies and the ecology of one area to support flies population (Kennedy, 1993).

The Thelaziosis prevalence in Kupang Regency lowest it is assumed that is related to the decreasing fly’s brood media which caused by the quick-dry cattle feces which is dry before the larva finished its growth to the adult phases in dry season. Thelaziosis relatively low prevalence in the dry season was also report in Zambia amount of 3.1% compared with the prevalence in the rainy season was 26.6% (Munang’andhu et al, 2011).

The anthelmintic usage is also influencing the thelaziosis prevalence on cattles. The antihelmintic management distribution which applied by every cattle gives a real influence which is the cattle that got a antihelmintic treatment parasite worm infection once a year has 19.06 times more risk than the cattle that got antihelmintic treatment twice a year. It can be seen on farm in Kupang Timur which has prevalence of 0% due administration of anthelmintic done regularly and for monitoring the health of livestock by the development of animal husbandry department officials conducted every month.

(38)

reinfection will occure as long as the definitive host lives and the more exposure to the disease the higher rate of infection on cattle (Otranto & Traversa, 2005).

Management of cattle is also influencing the incidence of thelaziosis. The cattles which is pastoral in pasture has 19.30 times more risk to be infected by thelaziosis than a cattle which pastured in field rice. Susceptibility of cattles to Thelazia spp and free-grazing are more likely to be exposed than other animals to fly vectors of the eyeworm. Meanwhile the frequency of barn cleaning once a month has 124 time more risk to be infected by thelaziosis than cattle which barn cleaning every day.

Generally, it can be said that both biotic and abiotic factors including host, parasite and environment could influence the occurrence of thelaziosis infection. Prevalence of thelaziosis in Kupang is attributed by multifactorial risk factors which comprises host, parasite and animal husbandry management effects. Therefore, thelaziosis control needs comprehenship approach including the anthelmintic treatment and the management improvement in order to decrease the fly population. Detailed study on the seasonal infection and presumably the crude odds ratio value are need to design appropriate control program of thelaziosis in Kupang district.

ACKNOWLEDGEMENTS

This study was supported financially by Nusa Cendana Kupang University. We are grateful to Mrs. Ir. Endang Purwaningsih for her loyalty and dedications in helping the authors while doing the research in laboratory. We also thank to the entire field technicians who made this research goes smoothly.

REFERENCES

Aken, D.V., Dargantes, A.P., Lagapa, J.T &, Vercruysse, J. (1996). Thelazia rhodesii (Desmaret,1828) Infections In Cattle In Mindanao, Philippines. Veterinary Parasitolology 66 (1-2): 125-129

Bras, A.L.L. (2012). Estude epidemilogico geospacial de Thelazia spp em bovinos da regiao de alentejo [Dissertation] Lisboa Portugal.

[BMG] Badan Meteorologi dan Geofisika. (2012). Data curah hujan dan klimatologi wilayah Kabupaten Kupang. Badan Meteorologi dan Geofisika Stasiun Klimatologi Lasiana Kupang.

Committee on guidelines for the use of animals in neuroscience and behavioral research. (2003). Guidelines for the use of animals in neuroscience and behavioral research. The national academies press. Washington, DC

[Disnak] Dinas Peternakan Nusa Tenggara Timur. (2011). Kabupaten Kupang Dalam Angka. Kupang.

Ghirotti M. & Iliamupu, D.S. (1989). Thelazia rhodesii (Desmarest,1828) in cattle of Central Province, Zambia. Parasitologia 31 (2-3):503-523.

(39)

Kennedy, M.J. (1993). Prevalence of eyeworm (Nematoda:Thelazioidea) in beef cattle grazing different range pasture zones in Alberta,Canada. Journal of Parasitology 79 (6):866-869.

Kruse G.O.W., Pritchard M.H. (1982). The collcetion and preservation of animal parasites. University of Nebraska Press, Lincoln and London.

Munang’andhu, H.M., Chaembensofu, M., Siamudaala, V.M., Munyeme, M.& Mantandiko, W. (2011). Thelazia rhodesii The African Buffalo Syncerus caffer, In Zambia. Korean Journal of Parasitology 49 (1): 91-94

Naem, S. (2007). Morphological differentiation among three Thelazia species (Nematoda Thelaziidae) by scaning electron microscopy : Parasitol Res

101 (1): 145-151

Otranto, D. & Dutto, M. (2008). Human Thelaziosis, Europe. Emerging Infectious Diseases 14 (4) : 647-649.

Otranto, D. & Traversa, D. (2005). Thelazia Eyeworm : An Original Endo and Ecto Parasitic Nematode. Trends in Parasitology 21 (1): 1-4.

[PUSKESWAN] Pusat Kesehatan Hewan Takari. (2009). Laporan Tahunan. Kupang

Yamaguti S. (1963).Systema Helminthum Vol III. The Nematodes of Vertebrata Part 1. Interscience Publishers Ltd. London.

(40)

FIGURE :

Figure 1 Research location’s map Figure 3 Thelazia rhodesii female worm

morphological

Figure 4 Thelazia rhodesii male worm morphological

Figure 2 Clinical signs on infected cattle

(41)

TABLE :

Table 2 Crude Odds-Ratio value of sex & age cattle factors to thelaziosis infection

The total checked cattle; OR : Odds Ratio; CI : Convidence Intervals; P : Probability value for OR

Table 3 Crude Odds-Ratio value of barn factors to thelaziosis infection

Risk factors Infection Not infection CI P OR

(42)

Table 4 Crude Odds-Ratio value of Feces management factors to thelaziosis

The total checked cattle; OR : Odds Ratio; CI : Convidence Intervals; P : Probability value for OR

Table 5 Crude Odds-Ratio value of pastoral factors to thelaziosis infection

Risk factors Infection Not infection CI P OR

The total checked cattle; OR : Odds Ratio; CI : Convidence Intervals; P : Probability value for OR

Table 6 Crude Odds-Ratio value of anthelmintica distribution factors to thelaziosis infection

(43)

RIWAYAT HIDUP

(44)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kabupaten Kupang merupakan daerah yang memiliki potensi peternakan sapi potong yang cukup besar. Umumnya sapi potong di Kabupaten Kupang dipelihara secara tradisional dengan cara digembalakan di padang penggembalaan. Metode pemeliharaan ini memiliki risiko terinfeksi oleh berbagai penyakit diantaranya thelaziosis.

Thelaziosis adalah kecacingan pada mata yang disebabkan oleh nematoda. Siklus hidup cacing ini memerlukan inang antara lalat dari famili Muscidae. Larva maupun cacing dewasa Thelazia spp dalam kantung konjungtiva dan saluran air mata sapi menyebabkan konjungtivitis disertai lakrimasi yang dapat mengakibatkan kongesti konjugtiva. Bila keadaan ini dibiarkan dapat menyebabkan kekeruhan kornea, keratitis, ulserasi pada kornea mata dan konjungtiva membengkak karena adanya penyumbatan duktus lakrimalis oleh cairan purulen (Otranto dan Traversa 2005).

Thelaziosis pada sapi disebabkan oleh spesies Thelazia rhodesii, Thelazia gulosa dan Thelazia skrjabini. Thelaziosis pada sapi di Eropa, umumnya disebabkan oleh T.gulosa dan T.skrjabini, akan tetapi laporan terbaru menunjukkan adanya thelaziosis pada sapi disebabkan oleh T.rhodesii di Portugal (Bras 2012). Thelaziosis yang disebabkan oleh T.rhodesii juga dilaporkan di Zambia Afrika Selatan (Munang’andu et al. 2011) dan di Filipina (Aken et al. 1996). Infeksi oleh T.rhodesii di Indonesia telah dilaporkan di pulau Jawa dan Sumatera pada tahun 1893 (Yamaguti 1963).

(45)

2 TINJAUAN PUSTAKA

Gambaran Umum Kabupaten Kupang

Kabupaten Kupang terletak di antara 9015 – 10022 Lintang Selatan dan 123016 – 124011 Bujur Timur. Batas-batas wilayahnya di bagian utara dan barat berbatasan dengan Laut Sawu, bagian Selatan berbatasan dengan Samudera Hindia dan di bagian timur berbatasan dengan Kabupaten Timor Tengah Utara dan Timor Leste (Disnak NTT 2011).

Wilayah Kabupaten Kupang terdiri dari 24 kecamatan dengan luas daratan 5.490,97 ribu km2. Kondisi fisik kabupaten Kupang berbukit-bukit, bergunung-gunung dan sebagian terdiri dari dataran rendah yang luas. Kabupaten Kupang memiliki dua musim yaitu musim kemarau pada Juni – September, sedangkan musim hujan pada bulan Desember – Maret. Dalam beberapa tahun terakhir telah terjadi perubahan periode musim yang cukup signifikan, waktu hujan menjadi lebih panjang dibanding tahun-tahun sebelumnya (Disnak NTT 2011).

Populasi Ternak Sapi Potong di Kabupaten Kupang

Populasi ternak sapi potong di NTT mencapai 788.600 ekor. Sebagian besar populasi sapi potong terdapat di Pulau Timor yaitu sebanyak 533.700 ekor atau 68.5% dari total populasi sapi potong di NTT. Pulau Flores 132.400 ekor (17.0%), pulau Sumba 62.500 ekor (8.0%) dan kepulauan lainnya (Alor, Lembata, Rote Ndao dan Sabu Raijua) sebanyak 50 ribu ekor (6.4%). Bangsa sapi yang paling banyak dipelihara di provinsi Nusa Tenggara Timur adalah sapi bali dengan populasi mencapai 87.87% dari total populasi sapi yang tersebar di provinsi Nusa Tenggara Timur. Jenis sapi lainnya yang dipelihara di NTT adalah sapi Ongole dengan populasi sebesar 10.48%, sapi madura dengan populasi sebesar 1.51% dan sapi Brahman dengan populasi sebesar 0.41%. Populasi sapi terbanyak terdapat di pulau Timor yaitu 533.7 ribu ekor atau 68.5% dari populasi sapi potong di NTT (BPS NTT 2011). Tingginya populasi sapi di Pulau Timor disebabkan karena ketersediaan padang penggembalaan yang cukup luas bagi sapi di pulau tersebut dibandingkan dengan ketersediaan padang penggembalaan di pulau lain seperti Alor ataupun Flores. Bangsa sapi yang dipelihara di NTT umumnya memiliki keistimewaan antara lain tahan terhadap panas, tidak selektif terhadap pakan yang diberikan termasuk pakan yang berkualitas rendah, mempunyai daya cerna yang baik terhadap pakan, memiliki presentase karkas yang tinggi dan fertilitas tinggi (Blakely dan Bade 1994).

(46)

Tabel 1 Populasi ternak besar menurut jenis ternak dan kecamatan di kabupaten

Padang penggembalaan yang luas berupa savana di Kabupaten Kupang memungkinkan sektor peternakan berkembang dengan baik. Hampir 25% dari luas wilayah NTT adalah padang penggembalaan savana (Disnak NTT 2011).

(47)

Morfologi dan klasifikasi Thelazia spp

Secara taksonomi menurut Soulsby (1982) Thelazia spp termasuk ke dalam kelas Nematoda, sub kelas Secernentea, ordo Spirurorida, famili Thelaziidae dan genus Thelazia.

Ciri umum Thelazia spp adalah memiliki tubuh berwarna putih susu, mulutnya tidak mempunyai bibir tetapi tepi anterior kapsula bukal terbalik keluar dan terbagi oleh lekukan menjadi 6 feston serta memiliki kutikula yang tebal bergaris-garis transversal. Cacing jantan dewasa memiliki ciri berukuran 8-12 mm, ekor tumpul dan menggulung, testes terdapat pada bagian pertengahan dari ekor dan memiliki spikulum yang tidak sama besar serta memiliki sekitar 14 pasang papila pre kloakal dan 3 pasang papila pada kloaka (Soulsby 1982). Cacing betina dewasa memiliki ciri berukuran 12-21 mm, vulva dari betina memiliki penutup yang terletak di bagian kiri anterior tubuh. Lubang vagina berukuran kira-kira 62-160 µm dan terletak pada bagian anterior antara esofagus dan usus. Bagian posterior terdapat uterus yang berisi telur yang belum matang dan pada bagian ujung ekor terdapat dua phasmid sensorik. Telur pada mulanya beukuran 26-29 mikron, tetapi kemudian terenggang oleh perkembangan larva dan menjadi 207x4 mikron. Betina dari Thelazia spp bersifat ovoviviparosa (Levine 1994).

Siklus hidup Thelazia spp

Gambar 1 Siklus hidup Thelazia spp

Gambar

Tabel 1 Populasi ternak besar menurut jenis ternak dan kecamatan di kabupaten               Kupang
Gambar 1 Siklus hidup
Gambar 2 Peta lokasi penelitian
Gambar 4 Lokasi penggembalaan sapi di Kabupaten Kupang
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penyelesaian skripsi yang berjudul “ Analisis Sistem Agribisnis Ternak Sapi Potong (Integrasi Tanaman Padi-Ternak Sapi Potong) di Kecamatan Seputih Banyak Kabupaten

Hewan yang sembuh dari gejala akut ini akan menunjukkan infeksi yang tanpa menunjukkan gejala klinis dengan tingkat parasitemia yang rendah (Urquhart et

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gejala klinis ikan yang terinfeksi KHV dan mengetahui berapa dosis vaksin DNA KHV melalui metode perendaman yang dapat

konsistensi feses lebih cair, durasi lebih lama, dan menunjukkan gejala klinis diare yang lebih parah dibandingkan dengan kelompok kolostrum.. Feses anak sapi dari semua

Meskipun residu OP tidak terdeteksi pada serum sapi, namun berdasarkan gejala klinis yang terlihat menunjukkan bahwa organoklorin bukan sebagai penyebab timbulnya gangguan

Hasil analisis data menunjukkan bahwa faktor risiko penularan malaria di Desa Pamotan adalah penderita malaria carier atau tanpa gejala klinis dengan

konsistensi feses lebih cair, durasi lebih lama, dan menunjukkan gejala klinis diare yang lebih parah dibandingkan dengan kelompok kolostrum.. Feses anak sapi dari semua

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gejala klinis ikan yang terinfeksi KHV dan mengetahui berapa dosis vaksin DNA KHV melalui metode perendaman yang dapat