• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keanekaragaman Lumut di Taman Nasional Gunung Merbabu Jawa Tengah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keanekaragaman Lumut di Taman Nasional Gunung Merbabu Jawa Tengah"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

KEANEKARAGAMAN LUMUT DI TAMAN NASIONAL

GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH

SAIFUL BACHRI

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRAK

SAIFUL BACHRI, Keanekaragaman Lumut di Taman Nasional Gunung Merbabu Jawa Tengah. Dibimbing oleh NUNIK SRI ARIYANTI dan NINA RATNA DJUITA.

Indonesia memiliki kawasan hutan hujan tropis yang luas, tidak kurang dari 138 juta ha. Hutan hujan tropis merupakan tempat paling banyak ditemukannya jenis lumut dibandingkan dengan ekosistem utama lain yang ada di dunia. Keanekaragaman dan kelimpahan lumut bervariasi bergantung pada ketinggian tempat. Penelitian ini bertujuan mengetahui keanekaragaman taksa lumut di Gunung Merbabu dan persebarannya berdasarkan ketinggian tempat dan tipe substrat. Pengambilan sampel lumut di Taman Nasional Gunung Merbabu dilakukan di sepanjang jalur pendakian Selo dan Tekelan. Lumut yang ditemukan meliputi 57 jenis (39 marga, 25 suku), terdiri atas satu jenis lumut tanduk, delapan jenis lumut hati (tujuh marga, enam suku), dan 48 jenis lumut sejati (31 marga, 18 suku). Keanekaragaman lumut meningkat seiring bertambahnya ketinggian tempat sampai zona hutan pegunungan atas, lalu menurun pada zona sub alpin. Kebanyakan lumut (40 jenis) adalah lumut terestrial yang dijumpai pada substrat tanah, kayu lapuk, dan batuan, sebagian lainnya (15 jenis) epifit pada batang pohon, dan dua jenis sisanya tumbuh secara terestrial dan epifit.

Kata kunci : Gunung Merbabu, lumut epifit, hutan tropis, keanekaragaman.

ABSTRACT

SAIFUL BACHRI, Bryophyte Diversity in Mount Merbabu National Park Central Java. Supervised by NUNIK SRI ARIYANTI and NINA RATNA DJUITA.

Large tropical rain forest (no least than 138 million hectares) occur in Indonesia. Bryophyte diversity is the highest one in tropical rain forest compared to any others major ecosystem in the world. Diversity of bryophyte may change along altitude, as well as type of substrate. This research aims to record diversity of bryophyte of Mount Merbabu and their distribution along altitude and type of substrate. Samples were collected from Mount Merbabu National Park throughout Selo track dan Tekelan track until the peak. The total of Bryophyte flora of the mountain was 57 species (39 genus, 25 family), consist of one species of hornworth, eight species of liverworths (seven genus, six family), and 48 species of mosses (31 genus, 18 family). Species diversity increased along with the increased of altitude at montane zone, however it decreased in the alpine zone. Most of bryophytes (40 species) are terrestrial, they lived on the soil, log, and stones. Fifteen species are epiphytes, they occured on bark of tree trunk. The two others are terrestrial and epiphyte species.

(3)

KEANEKARAGAMAN LUMUT DI TAMAN NASIONAL

GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH

SAIFUL BACHRI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Departemen Biologi

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(4)

Judul Skripsi

: Keanekaragaman Lumut di Taman Nasional Gunung Merbabu

Jawa Tengah

Nama

: Saiful Bachri

NIM

: G34062270

Menyetujui

(Dr. Nunik Sri Ariyanti, M.Si)

(Nina Ratna Djuita, S.Si, M.Si)

Ketua

Anggota

Mengetahui

(Dr. Ir. Ence Darmo Jaya Supena, M.Si)

Ketua Departemen Biologi

(5)

PRAKATA

Puji dan syukur yang tiada terkira kepada Allah SWT. Rabb semesta alam yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk berkarya dan menyelesaikan karya ilmiah ini, shalawat serta salam selalu terlimpah kepada rasul teladan Muhammad SAW. Semoga tugas akhir ini dapat bermanfaat, karena sebaik-baiknya seorang muslim adalah yang paling banyak manfaatnya.

Menghasilkan sebuah karya ringkas, berbobot, dan bermanfaat, tentunya membutuhkan kerja keras dan kesabaran dalam menjalaninya. Oleh karena itu, sebuah kesyukuran yang patut senantiasa menjadi cerminan dan semangat, ketika tugas akhir ini dibimbing oleh Dr. Nunik Sri Ariyanti, M.Si dan Nina Ratna Djuita, S.Si. M.Si.Terima kasih banyak atas bimbingannya selama ini sehingga penulis dapat merampungkan tugas akhir. Terima kasih kepada Pembimbing Akademik, Dr. Nampiah Soekarno yang telah memberikan banyak masukan dan semangat selama proses perkuliahan, terima kasih kepada Dr. Anya Meryandini, M.S yang telah bersedia untuk menjadi penguji luar komisi pembimbing dalam ujian akhir, memberikan banyak masukan untuk perbaikan skripsi dan nasihat setelah lulus. Terima kasih kepada kepala dan staf Balai Taman Nasional Gunung Merbabu yang telah memberikan izin penelitian, kepada Dra. Hilda Akmal, yang selalu memberi motivasi agar terus semangat dan menjadi teman diskusi yang hangat, kepada Dr. Sri S Tjitrosoedirjo yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Training Course Regional ASEAN yang penuh manfaat, hingga penulis dapat bertemu dengan Dr. Benito C. Tan dan Dr. Ho Boon Chuan dari National University of Singapore yang banyak membantu dalam informasi jurnal dan mengidentifikasi sampel penelitian.

Terima kasih sebesar-besarnya terutama kepada kedua orang tua penulis, yang begitu sabar dalam memberikan dukungan dan motivasi selama menjalani proses pendidikan di Departemen Biologi, 5 tahun bukan waktu yang singkat bagi program Sarjana, namun semoga waktu tersebut benar-benar memberikan kesiapan untuk menjalani hidup dan merajut masa depan. Kepada keluargaku LAWALATA IPB, khususnya angkatan Manusela 2010, tanpa kalian tentu inspirasi untuk melakukan penelitian ini tak pernah ada, kepada Pak Suparman yang setia menemani penulis dalam melakukan penelitian di Lab Taksonomi, dan kepada tiga sahabat terdekat, Vivandra Prima Budiman, Adrian dan Nuri Izzatil Wafa yang senantiasa menjadi teman diskusi dan menjadi peran pengganti di kelembagaan ketika penulis sibuk dengan perampungan tugas akhir, semoga amal kalian dibalas oleh Allah SWT.

Bogor, Februari 2012

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 7 November 1988 dari Bapak Murtada dan Ibu Napsiyah. Penulis merupakan anak ke empat dari lima bersaudara.Tahun 2006 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Sukabumi dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Tahun 2007, penulis diterima di Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR GAMBAR ...viii 

DAFTAR LAMPIRAN ...viii 

PENDAHULUAN  Latar Belakang ... 1 

Tujuan ... 1 

BAHAN DAN METODE  Lokasi dan Waktu Penelitian ... 1 

Pengambilan Sampel ... 1 

HASIL  Keanekaragaman Taksa Lumut Taman Nasional Gunung Merbabu ... 2 

Lumut Taman Nasional Gunung Merbabu. ... 2 

Sebaran Jenis Lumut Berdasarkan Ketinggian Tempat ... 7 

Sebaran Jenis Lumut Berdasarkan Tipe Substrat ... 8 

PEMBAHASAN  Keanekaragaman Taksa Lumut TNGMb ... 8 

Beberapa Jenis Lumut Menarik di TNGMb ... 8 

Sebaran Jenis Lumut Berdasarkan Ketinggian Tempat ... 9 

Sebaran Jenis Lumut Berdasarkan Tipe Substrat ... 10 

SIMPULAN ... 10 

DAFTAR PUSTAKA ... 10 

(8)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Peta lokasi penelitian di kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu ... 2

2 Persebaran lumut berdasarkan zona ketinggian tempat ... 7 

3 Persebaran lumut berdasarkan tipe substrat ... 8 

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Jalur pendakian di Gunung Merbabu ... 13

2 Daftar jenis dan suku lumut dan persebarannya berdasarkan tipe substrat dan ketinggian tempat, di jalur pendakian Selo dan Tekelan TNGMb ... 14 

3 Glossarium ... 16 

4 Beberapa ciri morfologi lumut ... 18 

5 Beberapa contoh lumut Taman Nasional Gunung Merbabu ... 19

(9)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia memiliki kawasan hutan hujan tropis yang luas, tidak kurang dari 138 juta ha (MENHUT 2010). Hutan hujan tropis merupakan tempat paling banyak ditemukannya jenis lumut dibandingkan dengan ekosistem utama lain yang ada di dunia (Magill 2010). Keanekaragaman dan kelimpahan lumut bervariasi bergantung pada ketinggian tempat (Gradstein et al. 2000). Ketinggian tempat menghasilkan perbedaan tipe struktur hutan, yang berpengaruh terhadap kondisi iklim mikro dan ketersediaan habitat di hutan (Benavides et al. 2004).

Lumut diwakili oleh tiga divisi, yaitu Mar-chantiophyta (lumut hati), Anthocerotophyta (lumut tanduk), d a n Bryophyta (lumut sejati) (Pharo & Zartman 2007). Perkiraan saat ini untuk keanekaragaman lumut hati adalah 7500 jenis (Von Konrat et al. 2010), lumut tanduk 200-250 jenis (Villareal et al. 2010) dan lumut sejati sekitar 12700 jenis (Cox et al. 2010).

Penelitian mengenai lumut telah banyak dilakukan dalam berbagai bidang, seperti digunakan dalam menentukan filogeni tumbuhan (Nishiyama et al. 2007), biomonitor lingkungan (Rhoades 1999), konservasi wilayah (Hallingback & Tan 2010), penghasil senyawa antimikrob (Bodade et al. 2008) dan perannya dalam menjaga kualitas udara melalui pertukaran gas karbondioksida dalam fotosintesis, serta kaitannya dengan perubahan iklim (Delucia et al. 2003).

Memahami keanekaragaman lokal dapat berperan dalam melengkapi pemahaman keanekaragaman secara global, yang diperlukan antara lain dalam studi taksonomi dan kisaran persebaran geografi suatu taksa (Soderstrom et al. 2008). Penelitian keanekaragaman lumut Jawa telah dilakukan sejak masa penjajahan Belanda, namun kebanyakan lumut yang dilaporkan berasal dari Jawa Barat (Fleischer 1902). Penelitian lumut di Jawa akhir-akhir ini juga dilakukan di Jawa Barat (Tan et al. 2006; Haerida et al.

2010; Gradstein et al. 2010).

Tujuan

Penelitian ini bertujuan mengetahui keanekaragaman taksa lumut dan persebarannya berdasarkan ketinggian tempat dan tipe substrat di Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb), Jawa Tengah.

BAHAN DAN METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb) Jawa Tengah. Taman nasional ini terletak pada 110o 26’ 22” BT dan 7o 27’ 13” LS dengan ketinggian mencapai 3142 m dpl di Puncak Kenteng Songo dan 3119 m dpl di Puncak Syarif.

Gunung Merbabu tergolong gunung api tua yang kawahnya sudah tidak aktif dan pada puncaknya membentuk dataran tinggi yang lebar. Gunung ini termasuk iklim tipe B dengan curah hujan 2000-3000 mm dan suhu sepanjang tahun 17-30 oC. Untuk mencapai puncak Gunung Merbabu, dapat ditempuh dari tiga jalur pendakian, yaitu jalur Selo, Tekelan, dan Wekas. Pada setiap jalur pendakian, dijumpai formasi ekosistem hutan hujan tropis pegunungan bawah (PB) (1000-2000 m), ekosistem hutan hujan tropis pegunungan atas (PA) (2000-3000 m), dan formasi hutan sub alpin (SA) (lebih dari 3000 m). Hal ini menjadikan Gunung Merbabu memiliki vegetasi yang beragam.

Vegetasi yang mendominasi pada jalur pendakian adalah pohon akasia (Acacia decurens), puspa (Schima wallichii), dan pinus (Pinus merkusii). Pada ketinggian 2700 m dpl dijumpai vegetasi savana dengan banyak edelweis (Anaphalis javanicus) dan di dekat puncak banyak dijumpai sengon gunung (Albizia montana), cantigi (Vaccinium varingifolium) dan rerumputan (Satyatama 2008).

Pengambilan sampel lumut dilakukan di sepanjang jalur pendakian Selo pada 24-26 Agustus 2010 dan Tekelan (Gambar 1) pada 5-6 Maret 2011. Jalur Pendakian Selo dimulai dari Pos Pendaki di Desa Genting (1500 m dpl) hingga Puncak Kenteng Songo (3142 m dpl), sedangkan jalur Pendakian Tekelan dimulai dari Pos Pendaki Tekelan (1600 m dpl) hingga Puncak Syarif (3119 m dpl). Beberapa foto jalur pendakian dapat dilihat pada Lampiran 1.

Pengambilan Sampel

(10)

Gambar 1 Peta lokasi penelitian di kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu. 9

9

9

terlindung. Pengukuran ketinggian lokasi di jalur pendakian menggunakan Global Positioning System.

Identifikasi Sampel

Identifikasi lumut sejati acrocarp

menggunakan A Handbook of Malesiana Mosses Volume I, II, dan III (Eddy 1988, 1990, 1996), lumut sejati pleurocarp dengan menggunakan Bartram (1939) dan revisi atau monografi taksa tertentu. Identifikasi lumut hati dan lumut tanduk menggunakan buku identifikasi Guide to the Liverworths and Hornworths of Java (Gradstein 2011).

HASIL

Keanekaragaman Taksa Lumut Taman Nasional Gunung Merbabu

Keanekaragaman lumut yang ditemukan di jalur pendakian Selo dan Tekelan TNGMb meliputi 57 jenis (39 marga, 25 suku), terdiri atas satu jenis lumut tanduk, delapan jenis lumut hati (tujuh marga, enam suku), dan 48 jenis lumut sejati (31 marga, 18 suku)

(Tabel 1). Lumut hati terdiri atas lumut hati bertalus dan lumut hati berdaun. Lumut hati bertalus yang ditemukan sebanyak tiga jenis (tiga marga, tiga suku) sedangkan lumut hati berdaun yang ditemukan lima jenis (empat marga, tiga suku). Lumut sejati terdiri atas lumut sejati acrocarp dan lumut sejati

pleurocarp. Lumut sejati acrocarp yang ditemukan sebanyak 35 jenis (20 marga, 10 suku), lumut sejati pleurocarp 13 jenis (11 marga, delapan suku). Lumut tanduk yang ditemukan hanya satu jenis, yaitu Phaeoceros leavis (Lampiran 2).

Lumut Taman Nasional Gunung Merbabu Daftar jenis lumut yang ditemukan di TNGMb disajikan pada Lampiran 2. Berikut ini adalah deskripsi marga-marga lumut yang ditemukan, dan disajikan per suku. Penjelasan istilah botani pada deskripsi dapat dilihat pada Lampiran 3. Beberapa gambar ciri morfologi lumut disajikan pada Lampiran 4.

Sumber : Satyatama 2008 Jalur Selo

(11)

3

Frullaniaceae Tabel 1 Keanekaragaman lumut di Taman Nasional

Gunung Merbabu. Frullania. Lumut hati berdaun, berwarna cokelat kemerahan, epifit pada batang pohon, ukuran bervariasi. Daun lateral cekung, memiliki cuping kecil (lobule) berbentuk seperti kantong, melekat pada cuping besar hanya dengan satu sel, daun ventral berbagi dua. Jenis yang ditemukan di TNGMb adalah

Frullania neorota (Lampiran 5), lumut berukuran sedang hingga besar, lobule besar, percabangan menyirip tidak beraturan. Sel lembaran daun lateral berdinding tebal, berwarna jingga muda, trigon segitiga.

Jungermanniaceae

Solenostoma. Lumut hati berdaun, berwarna kekuningan, kecokelatan atau merah, berukuran kecil hingga sedang, cabang merayap hingga tegak dengan rizoid, daun tersusun dalam dua baris tanpa daun ventral. Sel daun berbentuk bulat, tebal, dan pada bagian basal sel lebih panjang. Jenis yang ditemukan adalah S. truncatum, susunan daun saling menempel rapat (seperti susunan genting), daun bulat telur hingga agak kotak, sel tepi daun menebal (1-4 deret), sel bagian pangkal lebih panjang, berdinding tipis, trigon berukuran sedang. Marchantiaceae Suku Jumlah marga Jumlah jenis Lumut hati

Aytoniaceae 1 1

Fossombroniaceae 1 1

Jubulaceae 1 1

Jungermaniaceae 2 3

Marchantiaceae 1 1

Scapaniaceae 1 1

Lumut sejati  

Bartramiaceae 1 2

Brachytheciaceae 1 1

Bryaceae 2 6

Dicranaceae  7 15

Fissidentaceae 1 2

Funariaceae 2 3

Grimmiaceae 1 1

Hypnaceae 1 3

Hypopterygiaceae 1 1

Leucobryaceae 1 1

Meteoriaceae 1 1

Neckeraceae 2 2

Orthotrichaceae 1 1

Polytrichaceae 1 1

Pottiaceae 3 3

Racopilaceae 1 1

Sematophyllaceae 3 3

Thuidiaceae 1 1

Lumut tanduk

Anthocerotaceae 1 1

Jumlah 39 57

Aytoniaceae

Asterella. Lumut hati bertalus. Talus menggarpu (dikotom), permukaan atas memiliki pori besar dan bagian bawahnya memiliki jaringan yang menyerupai spons (spongy). Pada penelitian ini, hanya dijumpai satu jenis, yaitu Asterella limbata. Talus kecil (3-5 mm), tipis, midrib tidak terlihat dengan jelas, sisik kecil, tidak bertumpuk, tersusun dua baris. Sisik ventral meruncing hingga berbentuk bulat telur yang besar berukuran lebar 0.5 mm. Receptacle berbentuk kerucut dengan permukaan yang kasar, pada bagian bawah receptacle terdapat lima involucre

yang tidak berkembang, dan satu involucre

yang berkembang berisi sporangium. Fossombroniaceae

Fossombronia. Lumut hati yang telah memiliki daun, namun dalam klasifikasi dikelompokkan dengan lumut hati bertalus sederhana (simple thalloid). Susunan daun menggulung, dan memiliki kapsul berbentuk bulat. Jenis yang ditemukan di TNGMb adalah Fossombronia himalayaensis

(Lampiran 5), dikenali dengan daun tegak menggulung tidak beraturan, ujung daun bergelombang, rizoid berwarna cokelat muda, spora cokelat gelap kemerahan. Permukaan spora tuberculate tersebar tidak rapat, elater

dengan 2-3 penebalan pita spiral.

Marchantia. Lumut hati bertalus. Talus bercabang menggarpu (dikotom), sel epidermal tidak memiliki trigon, berdinding tipis atau sedikit tebal. Rongga udara tersusun dari satu lapis sel, dengan setiap rongga tersusun dari pori epidermis pada bagian permukaan atas. Pori epidermis dibatasi oleh beberapa sel yang membuat lingkaran, memiliki gemma cup. Pada penelitian ini hanya dijumpai satu jenis, yaitu Marchantia paleacea memiliki sisik tengah berbentuk bulat telur hingga membundar, biasanya dengan beberapa oil body, dan pori epidermis memiliki bukaan dalam yang besar.

Receptacle berbentuk pipih, membelah menjadi 7-11 cuping, pada bagian bawah terdapat involucre berbentuk seperti silia. Scapaniaceae

Scapania. Lumut hati berdaun. Hanya memiliki dua deret daun lateral terbagi menjadi ventral lobe dan dorsal lobe, tidak memiliki daun ventral. Bagian ventral lobe

lebih besar dari dorsal lobe. Di TNGMb

(12)

Bartramiaceae

Philonotis. Lumut sejati acrocarp dengan ukuran bervariasi, daun berbentuk seperti tombak dan ujung daun bergigi, tepi menggulung atau rata. Ciri yang mudah diamati dari marga ini adalah kapsulnya yang membentuk seperti buah pir atau seperti bola. Jenis yang ditemukan adalah Philonotis mollis

dan Philonotis roylei. Pada P. mollis memiliki daun dengan tepi revolute, bergigi ganda, dan ujung daun agak meruncing, sedangkan

P. roylei memiliki tepi recurved tidak terlalu

revolute dan nyaris rata, ujung daun runcing. Brachytheciaceae

Eurhynchium. Lumut sejati pleurocarp, percabangan tidak beraturan, ujung daun runcing, bertulang daun satu, terkadang berakhir di tengah daun, bentuk sel linear, sel pada bagian pangkal daun terlihat lebih besar. Jenis yang ditemukan adalah Eurhynchium celebicum, lumut ini memiliki percabangan menyirip tidak beraturan dengan daun tersusun pipih dan rata, daun berbentuk bulat telur membesar, ujung daun runcing, tulang daun tidak terlihat jelas dan berakhir pada tengah daun.

Bryaceae

Lumut sejati acrocarp berukuran kecil hingga sedang. Susunan daun spiral, daun berbentuk bulat telur hingga seperti tombak,biasanya memiliki penebalan daun, tulang daun jelas. Sel helaian daun berbentuk belah ketupat memanjang atau segi enam, jarang memiliki dinding sel yang tebal. Jenis yang didapatkan adalah Rhodobryum ontariense (Lampiran 5), memiliki struktur daun membentuk kumpulan daun pada ujung batang, bentuk daun bulat telur, ujung daun meruncing, memiliki gigi pada tepi daun bagian atas, tepi daun dengan penebalan sel yang jelas. Jenis lain yang ditemukan dari suku ini adalah Bryum argenteum, B. apiculatum, B. australe, dan B. capillare. Ciri

B. argenteum dikenali dari bentuk daunnya bulat telur, sel pada daun bagian atas terlihat transparan, sedangkan sel bagian tengah daun berwarna hijau. Ciri B. apiculatum memiliki ujung daun meruncing, sel belah ketupat hingga persegi, tulang daun melebihi ujung daun, berwarna merah, daun revolute, tepi daun tersusun dari satu lapis sel. Ciri B. australe memiliki daun berwarna hijau kekuningan, ujung daun meruncing, tepi

revolute di sepanjang daun dan B. capillare

memiliki daun spathulate, tersusun secara spiral rapat, tulang daun melebihi ujung daun, membentuk seperti gigi panjang, tepi daun mengalami penebalan.

Dicranaceae

Lumut sejati acrocarp dengan ukuran yang bervariasi. Susunan daun spiral, daun berbentuk meruncing hingga linear. Tulang daun bervariasi dari sempit hingga lebar. Sel-sel pada lembaran daun umumnya memanjang. Bentuk sel beragam umumnya memiliki panjang dan lebar sama, beberapa jenis memiliki sel alar yang terdiferensiasi dengan jelas dan berwarna cokelat kemerahan.

Dicranaceae yang ditemukan terdiri atas tujuh marga, 15 jenis (Lampiran 2). Ciri yang mudah diamati pada Dicranaceae dapat dilihat dari bentuk selnya. Sel pada daun berbentuk segi empat dan berdinding tebal merupakan ciri yang mudah dikenali untuk Ceratodon purpureus. Ciri Ditrichium difficile memiliki sel-sel daun berbentuk persegi panjang, kapsul dengan gigi peristome tanpa sekat, dan dinding peristome berpapil, sedangkan

Dicranella coarctata memiliki bentuk sel-sel daun persegi panjang (panjang dan sempit), dan tepi daun pada bagian ujung sedikit bergigi. Lumut yang mudah dikenali dengan apopisisnya panjang melebihi kapsulnya adalah Trematodon conformis. Ciri unik lainnya dari suku ini adalah dari marga

Campylopodium medium (Lampiran 5) yang memiliki sporofit melengkung seperti leher angsa.

Marga dengan jumlah jenis terbanyak adalah Campylopus sebanyak tujuh jenis. Lumut dari marga ini mudah diamati dengan melakukan sayatan melintang daun untuk melihat letak stereid dan hyalocist yang berada di atas atau di antara guide cell.

Salah satu ciri untuk mengamati

Campylopus dapat dilihat dari sel alar yang berkembang dengan jelas dan berukuran besar, pada Campylopus ericoides dapat dikenali dengan sel alar besar dan berwarna

kemerahan. Hampir mirip dengan

C. ericoides, C. comosus memiliki sel alar yang lebih kecil, rata, dan berdinding tebal. Selain itu tulang daun C. comosus lebih kecil daripada C. ericoides yang mencapai ukuran daun.

Beberapa Campylopus memiliki struktur gigi di balik tulang daun, terlihat jelas dengan melakukan sayatan melintang di bawah tulang daun dalam ukuran yang beragam, pada

C. aureus hal ini merupakan ciri yang mudah diamati, selain memiliki tulang daun lebar mencapai lebar daun, tidak menyempit pada bagian basalnya, ujung daunnya bergigi.

Letak guide cell berada di antara hyalocist

(13)
(14)

memperlihatkan hyalocist lebih besar daripada guide cell dan sekumpulan stereid

berada pada bagian dorsal (Lampiran 4). Tulang daun melebar pada bagian bawah daun mencapai ½ lebar daun. Sel alar tidak terdiferensiasi dengan jelas.

Ciri C. involutus adalah daunnya berbentuk linear, sel berbentuk bulat telur memanjang, dinding sel tebal, ujung daun meruncing, basal daun auriculate, dan memiliki gigi halus. Sayatan melintang pada daun menunjukkan berkas stereid kecil yang tersusun dalam 1-2 baris, tulang daun lebar mencapai ½ lebar daun.

Ciri C. umbelatus memiliki tepi daun menggulung dari bagian tengah daun hingga ujung daun, lumut ini memiliki tulang daun melebar pada bagian helaian daun. Pada sayatan melintangnya menunjukkan gigi yang jelas di balik tulang daun. Sel alar tidak terdiferensiasi dengan jelas.

Lumut yang memiliki hyalocist yang besar dan berdinding tebal merupakan ciri

C. zollingerianus. Selain itu lumut ini memiliki tulang daun yang lebar mencapai ½ lebar daun, pada sayatan melintang daun,

stereid tidak terlihat jelas. Sel alar tidak berkembang dengan baik.

Lumut sejati acrocarp, berukuran kecil hingga sedang. Susunan daun spiral, terkadang memiliki batas tepi daun. Sel lembaran daun berbentuk jajaran genjang atau persegi, berdinding tipis, dan tepi daun rata. Marga yang ditemukan dari suku ini adalah

Funaria dan Enthostodon. Ciri dari Funaria

adalah memiliki seta yang panjang, melengkung pada bagian ujung, kapsul asimetri, mulut kapsul besar, gigi peristome

miring, pada penelitian ini ditemukan satu jenis yaitu Funaria hygometrica. Sedangkan ciri dari Ensthostodon yaitu memiliki seta yang panjang dan tegak, kapsul memiliki apopisis, mulut kapsul besar dengan gigi

peristome tereduksi. Jenis yang ditemukan adalah Enthostodon mittenii, dan E. buseanus. Jenis E. mittenii memiliki ujung daun meruncing dengan basal yang lebih lebar daripada ujung daun, sel marginal mengalami diferensiasi, dan tepi daun tidak memiliki penebalan, dan E. buseanus memiliki daun bulat telur atau menyempit ke bawah daun, sel marginal tidak mengalami diferensiasi.

Bryohumbertia walkeri memiliki sel berbentuk segi empat pada bagian ujung daun dan pada bagian bawah berbentuk segi empat namun lebih pendek dan berdinding tebal. Daun bagian atas melipat dan bergigi halus. Bagian pangkal lebar membentuk auriculate, tulang daun memiliki ukuran dari lebar daun.

Fissidentaceae

Fissiden. Lumut sejati acrocarp, tinggi tanaman bervariasi dari beberapa mm hingga beberapa cm. Susunan daun menyamping dalam baris berpasangan (distichous), ciri khas dari suku ini adalah daunnya memiliki pelepah daun (sheating lamina atau vaginant lamina) dan tulang daun yang jelas (Lampiran 5).

Fissiden yang ditemukan di TNGMb adalah Fissiden plagiochiloides dan F. robinsonii. Jenis F. plagiochiloides berukuran 2-6 cm, bentuk daun linear dengan ujung meruncing, tulang daun jelas, memiliki tepi

crenulate, daun melebar pada bagian pangkal hingga ujung daun pelepah, jarak antar daun terlihat jelas, sedangkan jenis F. robinsonii

berukuran lebih kecil (2-5 mm), daun berbentuk linear dengan ujung daun meruncing, tulang daun jelas dan melebihi ujung daun, tepi daun agak crenulate dan tepi daun tidak mengalami penebalan.

Funariaceae

Grimmiaceae

Racomitrium. Lumut sejati acrocarp yang hidup di dataran tinggi. Ukuran lumut beragam, susunan daun spiral, ujung daun transparan dan meruncing, sel lamina memiliki dinding sel yang tebal dan bergelombang, tepi daun berpapil. Anggota suku ini yang ditemukan hanya satu jenis, yaitu Racomitrium lanuginosum (Lampiran 5). Lumut ini mudah dikenali dengan sepertiga bagian daun di ujung berwarna putih, bagian ini terdiri atas sel-sel daun transparan tanpa kloroplas, tepi daun bernodul banyak, dan tulang daun samar.

Hypnaceae

Ectropotechium. Lumut sejati pleurocarp

dengan daun terlihat mengkilap, cabang merayap dengan percabangan menyirip beraturan. Bentuk daun bulat telur, ujung daun runcing, biasanya daun terlihat mengarah pada satu sisi (falcate). Tulang daun pendek, satu atau ganda, bentuk sel linear, sel-sel daun dengan sedikit papil, sel alar tidak terlalu terdiferensiasi. Jenis yang ditemukan di TNGMb adalah Ectropotechium dealbatum

dengan ciri-ciri daun tersusun memipih, terlihat mengarah pada satu sisi, daun bulat telur meruncing, memiliki gigi pada bagian atas daunnya, sel helaian daun berukuran 12:1 hingga 16:1. Jenis lain yang ditemukan adalah

E. ichnotocladum dengan ciri sel linear,

(15)
(16)

Hypopterygiaceae

Hypopterygium. Lumut sejati pleurocarp, dengan batang utama yang merayap yang sulit untuk dilihat dan percabangan tegak membentuk sekumpulan daun seperti pohon kelapa. Daun bulat telur, bergerigi, daun tersusun pipih dan memiliki amphigastria. Tepi daun memiliki penebalan sel dengan bentuk sel yang memanjang. Sel daun bulat atau segi enam, tulang daun satu, berakhir pada ujung daun atau melebihi ujung daun, ujung daun runcing. Jenis yang ditemukan adalah Hypopterygium ceylanicum dengan ciri tepi daun memiliki penebalan yang tersusun dari 1-2 baris sel, tepi daun bergigi hingga ujung, memiliki amphigastria yang berbentuk bulat telur yang lebar dan ujung daun meruncing.

Leucobryaceae

Leucobryum. Lumut sejati acrocarp

mudah dikenali karena warnanya yang keputihan, sehingga sering disebut lumut putih. Ukuran beragam dari kecil hingga besar (lebih dari 3 cm). Daun tersusun spiral yang terlihat longgar. Bentuk daun linear dan ujungnya meruncing, sayatan melintang daun memperlihatkan struktur leucocyst yang bertumpuk (2-4 baris) dan chlorocyst dalam satu baris. Jenis yang ditemukan dari marga ini adalah Leucobryum candidum (Lampiran 5). Daun berbentuk seperti tombak, sel helaian daun bagian tengah berbentuk persegi sedangkan sel tepi berbentuk persegi panjang, sayatan melintang daun memperlihatkan satu baris chlorocyst yang berada di tengah daun. Meteoriaceae

Papillaria. Lumut sejati pleurocarp

dengan batang utama halus menyerupai benang, daun bulat telur, ujung daun meruncing, memiliki satu tulang daun, hanya mencapai di bawah ujung daun, sel alar tidak terbentuk jelas. Jenis yang ditemukan dari suku ini adalah Papillaria fuscescens dikenali dari bentuk basal daun auriculate, dan bergigi pada bagian tepinya. Sel daun berbentuk

linear hingga jajaran genjang, sel daun berpapil, tulang daun tidak jelas dan berakhir pada tengah daun.

Neckeraceae

Lumut sejati pleurocarp, percabangan menyirip beraturan, susunan daun pipih, daun mengkilap. Tulang daun satu dan berukuran pendek. Sel halus, bentuk sel jajaran genjang pada bagian atas daun dan bentuk sel linear

pada bagian bawah daun.

Jenis yang ditemukan adalah

Homaliodendron scalpellifolium (Lampiran 5) dan Neckera sundaencis. Jenis H.

scalpellifolium dicirikan dengan ujung daun bergigi, gigi tersusun dari beberapa sel sehingga membentuk jari meruncing, tulang daun satu berakhir di tengah daun, bentuk sel jajaran genjang pada bagian atas dan linear

pada bagian bawah. Jenis N. sundaencis

memiliki sel daun linear, berpapil banyak pada sel helaian daun, ujung daun memiliki satu gigi besar, ujung daun bergelombang dan mengkilap, tidak memiliki tulang daun, tepi daun bergigi pada bagian ujung daun.

Orthotrichaceae

Macromitrium. Lumut sejati acrocarp

dengan ukuran beragam. Daun tersusun spiral, tulang daun melebihi ujung daun, tepinya jarang memiliki penebalan, sel alar tidak terlihat, sel lamina biasanya berpapil. Sel bagian atas daun isodiametrik. Jenis yang ditemukan adalah Macromitrium orthostichum, daun berwarna kuning kecokelatan, tersusun spiral squarose, ujung daun runcing, sel lamina atas isodiamterik, basal daun memiliki rizoid adventif.

Polytrichaceae

Pogonatum. Lumut sejati acrocarp, dengan ukuran besar, susunan daun spiral, daun linear dengan tulang daun yang lebar hingga ¾ lebar daun, memiliki lamellae

terdiferensiasi pada bagian tengah daun, tepi daun bergerigi. Kapsul memiliki struktur

calyptra berambut (fibrose), dan mulut kapsul memiliki epighram. Jenis yang ditemukan di TNGMb adalah Pogonatum nesii. Lumut ini dapat diidentifikasi dengan melakukan sayatan melintang pada daun dan memiliki struktur lamellae yang rapat dengan bagian ujung lamellae memiliki percabangan.

Pottiaceae

Lumut acrocarp berukuran kecil (kurang dari 1 cm ) hingga besar (lebih dari 3 cm). Bentuk daun seperti lidah, ujung daun meruncing. Tepi daun tanpa gigi, biasanya melekuk ke bawah atau melekuk ke atas.Tulang daun jelas, biasanya melebihi ujung daun. Sel helaian daun berbentuk persegi, kebanyakan berpapil, sel basal biasanya halus, panjang, dan transparan.

Dari suku ini, sebanyak tiga jenis yang ditemukan di TNGMb, yaitu Hyophila involuta, Leptodontium aggregatum, dan

Pseoudosymblepharis bombayensis. Jenis H. involuta memiliki susunan daun spiral (Lampiran 5), daun seperti lidah hingga

(17)
(18)

tipis, sel helaian daun halus atau secara samar berpapil, serta P. bombayensis yang memiliki susunan daun agak squarrose, daun berbentuk

linear, ujung daun runcing, sel basal persegi panjang membentuk daerah transisi warna antara sel basal yang transparan dengan sel lamina yang berwarna hijau, sel lamina berpapil hingga ujung, tepi daun rata.

Anthocerotaceae

Phaeoceros. Lumut ini merupakan satu-satunya lumut tanduk yang ditemukan di TNGMb. Lumut ini hidup pada substrat tanah, menempel di tebing atau pada jalan setapak jalur pendakian. Jenis yang ditemukan adalah

Phaeoceros leavis (Lampiran 5) mudah dikenali dengan gametofit bertalus, sporofit silindris panjang dengan ujungnya terlihat kek ningan, dan spora berwarna kuning. Racopilaceae

u

Racopilum. Lumut sejati pleurocarp, berukuran kecil hingga sedang, percabangan agak menyirip ganda. Daun tersusun menyebar, daun berbentuk linear dan meruncing, dengan tulang daun melebihi ujung daun (+ 2 mm), tepi bergigi tidak beraturan pada ujung daun, sel daun segi enam, memiliki amphigastria dengan tulang daun yang panjang. Jenis yang ditemukan adalah Racopilum schimidii (Lampiran 5),

dengan bentuk amphigastria berbentuk segitiga bulat telur, dan bergigi halus

(denticulate).

Sebaran Jenis Lumut Berdasarkan Ketinggian Tempat

Persebaran lumut di TNGMb kebanyakan (29 jenis lumut) dapat dijumpai dari zona pegunungan bawah hingga zona pegunungan atas (PB-PA). Sebagian lainnya (11 jenis) tersebar pada pegunungan atas hingga zona sub alpin (PA-SA), dan dua jenis lainnya (Ditrichium colijnii dan Racopilum schimidii) dijumpai dari zona pegunungan bawah hingga zona sub alpin (PB-SA) (Gambar 2).

Beberapa jenis lumut, memiliki persebaran yang terbatas di TNGMb. Satu jenis (T. linbergii) hanya dijumpai pada zona PB saja, sembilan jenis hanya dijumpai pada zona PA saja, dan hanya lima jenis (D. linguifolia, E. mittenii, F. hygrometrica, R. lanuginosum, dan L. aggregatum) dijumpai pada zona SA saja (Gambar 2, Lampiran 2). Sematophyllaceae

Lumut sejati pleurocarp dengan percabangan agak menyirip ganda yang tidak beraturan. Biasanya daun terlihat mengkilap, berbentuk bulat telur dan ujung daun runcing,

tulang daun pendek, ganda, atau tidak ada. Bentuk sel daun linear, halus atau berpapil. Biasanya suku ini memiliki sel alar besar yang mencolok pada basal daun.

Sematophylaceae yang ditemukan di TNGMb ada tiga jenis yaitu

Achanthorrincium papilatum, Taxithelium lindbergii, dan Warburgiella cupressinoides.

Jenis A. papilatum mudah dikenali dari daun bulat telur, tepi daun bergigi, sel daun oval hingga jajaran genjang dan berpapil. Jenis T. lindbergii memiliki susunan daun complanate,

ujung daun runcing dengan gigi halus pada ujung daunnya, sel daun linear dan sel

alar tidak menggelembung, sedangkan W. cupressinoides memiliki susunan daun

falcate-secund, ujung daun runcing, sel daun memanjang, halus, dan sel alar besar menggelembung.

Gambar 2 Persebaran lumut berdasarkan zona ketinggian tempat. 1 9 5 29 11 2 0 5 10 15 20 25 30 35

PB PA SA PB-PA PA-SA PB-SA

Jum

lah

Jenis

Zona Persebaran

 

Dari hasil tersebut, dapat di lihat bahwa keanekaragaman semakin meningkat berdasarkan ketinggian tempat, tetapi menurun di zona SA. Dengan menjumlahkan total jenis yang ditemukan pada masing-masing zona vegetasi, dapat dilihat bahwa keanekaragaman jenis lumut yang ditemukan pada zona PB sebanyak 32 jenis, kemudian meningkat pada zona PA (49 jenis), dan menurun pada zona SA (18 jenis). Daftar jenis dan sebaran berdasarkan ketinggian dapat dilihat pada Lampiran 2.

Thuidiaceae

(19)
(20)

Sebaran Jenis Lumut Berdasarkan Tipe Substrat

Kebanyakan lumut (40 jenis) di TNGMb adalah lumut terestrial yang dijumpai pada substrat tanah, kayu lapuk, dan batuan. Sebagian lainnya (15 jenis) merupakan lumut arboreal yang hidup secara epifit pada batang pohon, dan dua jenis lainnya dijumpai di substrat terestrial dan juga sebagai epifit (Gambar 3, Lampiran 2).

Sebagian besar lumut terestrial merupakan anggota kelompok lumut hati bertalus, dan lumut sejati acrocarp, sedangkan lumut epifit sebagian besar merupakan anggota kelompok lumut sejati pleurocarp dan satu jenis dari lumut hati berdaun (Lampiran 2).

Gambar 3 Persebaran lumut berdasarkan tipe substrat.

PEMBAHASAN

Keanekaragaman Taksa Lumut TNGMb Pada penelitian ini diperoleh 18 suku lumut sejati di TNGMb. Sebagai perbandingan, di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dijumpai 25 suku lumut sejati (Tan et al. 2006). Sebanyak 15 suku lumut sejati di TNGMb sama dengan yang dilaporkan oleh Tan et al. (2006) di TNGHS, sedangkan tiga suku lainnya (Brachytechiaceae, Grimmiaceae, dan Funariaceae) tidak ada dalam laporan Tan et al. (2006). Perbedaan jumlah suku-suku di TNGMB dan TNGHS dapat dihubungkan dengan kondisi lingkungan dan ketinggian lokasi pendakian yang berbeda. Penelitian ini dilakukan di sepanjang jalur pendakian (Selo dan Tekelan) di Gunung Merbabu pada ketinggian 1500-3142 m, sedangkan penelitian Tan et al. (2006) dilakukan di jalur pendakian, di hutan, dan di perkebunan teh di sekitar TNGH pada ketinggian 700-1600 m.

Gunung Merbabu terletak di Pulau Jawa bagian tengah (Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah), sedangkan TNGHS terletak di wilayah Pulau Jawa bagian barat (Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat). Menurut Soderstrom et al. (2010) bagian barat Jawa lebih basah dengan curah hujan mencapai 4500 mm, sedangkan TNGMb lebih kering dengan curah hujan 2000-3000 mm (Satyatama 2008).

Kondisi fisik jalur Tekelan sebagian besar berupa jalan setapak dari tanah dan sebagian kecil berupa batu-batuan lepas. Kondisi fisik jalur pendakian dapat dilihat pada Lampiran 1. Pada bagian tertentu jalur pendakian terdapat jalur yang mengalami erosi akibat aliran air dan membentuk parit hingga kedalaman mencapai 1 m. Selain itu, pada beberapa tempat, ada daerah yang pernah mengalami kebakaran hutan dan penebangan liar (Satyatama 2008). Faktor-faktor tersebut dapat menjelaskan keanekaragaman lumut yang relatif kecil dalam penelitian ini.

14 41 2 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45

arboreal terestrial arboreal dan

terestrial

Jum

lah Jenis

Tipe Substrat

Dua suku dengan keanekaragaman tertinggi di TNGMb adalah Dicranaceae (15 jenis, enam marga), dan Bryaceae (enam jenis, dua marga) (Lampiran 2). Suku tersebut juga dilaporkan Tan et al. (2006) sebagai suku dengan keanekaragaman tertinggi di TNGHS. Hasil yang berbeda dilaporkan Gradstein et al.

(2011), suku dengan jumlah jenis terbanyak di Gunung Patuha Bandung adalah Dicranaceae dan Hookeriaceae. Suku-suku tersebut merupakan suku yang umum ditemukan di pegunungan wilayah Malesiana. Enroth (1990) juga melaporkan bahwa suku Dicranaceae, Bryaceae, dan suku lainnya (Fissidentaceae dan Meteoriaceae) merupakan suku yang umum ditemukan pada zona pegunungan atas Semenanjung Houn Papua New Guinea.

Meskipun jumlah suku yang ditemukan lebih sedikit, pada eksplorasi keanekaragaman lumut di TNGMb ini ditemukan lumut sejati yang jarang dijumpai, yaitu Neckera sundaencis. Jenis ini dideskripsikan pertama kali oleh Fleischer dalam bukunya yang berjudul Flora von Buitenzorg jilid III tahun 1908, dan hingga saat ini belum ada penelitian lainnya yang menyebutkan keberadaan jenis ini di Jawa.

(21)
(22)

Grolle (1994) berdasarkan spesimen dari Gunung Kerinci (Sumatera) dan Gunung Kinabalu (Sabah). Long (2001) melaporkan bahwa A. limbata dijumpai di Jawa berdasarkan spesimen yang didapatkan dari Ernst Stahl di Kebun Raya Bogor, yang bekerja pada November 1889 - Maret 1890, tetapi tidak ada keterangan yang jelas mengenai lokasi ditemukannya A. limbata dari Jawa. Penelitian ini merupakan catatan penemuan yang kedua tentang A. limbata di Jawa dan dengan lokasi yang jelas.

Lumut hati bertalus sederhana (simple thalloid) Fossombronia merupakan lumut yang memiliki karakter spora yang menarik, permukaan sporanya memiliki alur yang dapat menjadi ciri identifikasi. Di TNGMb F. himalayaensis hidup di zona sub alpin (Pos Pemancar) dengan substrat tanah. Di Jawa jenis ini telah ditemukan oleh Meijer di dataran tinggi Dieng, sepanjang Telaga Balekambang pada ketinggian 2500 m dan Gunung Penulisan di Bali oleh Schafer-Verwimp (Krayeski et al. 2005).

Leptodontium aggregatum (Lampiran 5) merupakan lumut endemik untuk Malesia, secara lokal muncul di Jawa, Sulawesi, dan New Guinea (Eddy 1990). Lumut ini berukuran besar (lebih dari 3 cm), di TNGMb ditemukan pada zona sub alpin, di sepanjang jalur pendakian menuju puncak, hidup pada substrat tanah. Fleischer (1902) melaporkan bahwa L. aggregatum hidup pada daerah ketinggian dan telah ditemukan di Jawa Barat (Gunung Gede-Pangrango pada ketinggian 3000 m), Jawa Tengah (dataran tinggi Dieng 2000 m) dan di Jawa Timur (Waliran 2800-2900 m).

Racomitrium lanuginosum (Lampiran 5) merupakan lumut yang hidup pada daerah yang tinggi, di TNGMb ditemukan pada zona sub alpin. Menurut Eddy (1990) lumut ini hidup di berbagai wilayah (kosmopolitan) dan keberadaannya melimpah di daerah beriklim dingin-sedang sampai zona arktik. Lumut ini berada di daerah puncak dari gunung-gunung tinggi di Malesia, jarang berada di bawah ketinggian 3000 m, dan berada pada substrat berbatu. Lumut R. lanuginosum merupakan salah satu lumut sejati yang secara luas mudah diidentifikasi dan dikenali karena adanya perpaduan yang unik dari dinding sel yang bernodul dengan ujung daun yang kasar.

Persebaran dan habitat yang unik dari

R. lanuginosum, membuat lumut ini banyak digunakan untuk mempelajari ekologi, atmosfer, dan polusi lingkungan. Contohnya Xiaowei (2007) melakukan penelitian

kandungan kimia dari beberapa lumut, dan salah satunya adalah R. lanuginosum. Proctor dan Smirnoff (2000) mengamati kemampuan bertahan hidup fotosistem R. lanuginosum

yang tahan terhadap cekaman kekeringan. Jägerbrand (2005) mengamati pola kekayaan jenis R. lanuginosum dan hubungannya terhadap keberadaan tumbuhan berpembuluh lainnya.

Sebaran Jenis Lumut Berdasarkan Ketinggian Tempat

Keanekaragaman jenis lumut di TNGMb meningkat berdasarkan ketinggian, taksa yang berbeda sering ditemukan pada kisaran ketinggian berbeda. Pengambilan sampel yang dilakukan pada zona hutan hujan pegunungan bawah (1000-2000 m) sampai zona hutan hujan pegunungan atas (2000-3000 m) menunjukkan jumlah jenis yang meningkat. Penelitian Gradstein & Culmsee (2010) di Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) Sulawesi Tengah juga menemukan bahwa keanekaragaman jenis lumut di hutan hujan pegunungan atas lebih tinggi daripada hutan hujan pegunungan bawah. Ketinggian tempat memberikan variasi iklim mikro, khususnya kelembaban udara dan arah angin pada bagian bawah gunung (Whitmore 1984).

Kekayaan jenis lumut yang tinggi pada hutan hujan pegunungan atas (51 jenis) mungkin dipengaruhi oleh intensitas cahaya yang cukup dan temperatur yang rendah. Menurut Enroth (1990) seiring naiknya ketinggian 100 meter, temperatur turun 0.4-0.7 oC, kanopi pohon semakin rendah dan terbuka, yang memudahkan sinar matahari untuk masuk ke hutan, dan kabut juga lebih sering terjadi, kondisi ini memberikan lingkungan yang baik bagi lumut untuk tumbuh. Selain itu, pada zona hutan hujan pegunungan, merupakan tempat dimana banyak terdapat pohon tumbang, sehingga nutrisi yang kembali ke tanah lebih cepat melalui proses pelapukan batang pohon dan daun yang berguguran (Whitmore 1984).

(23)

10

lebih sedikit (18 jenis) daripada di zona hutan hujan pegunungan bawah (32 jenis) dan zona hutan pegunungan atas (51 jenis).

Sebaran Jenis Lumut Berdasarkan Tipe Substrat

Keanekaragaman lumut selain dipengaruhi oleh faktor ketinggian dan tipe habitat (iklim mikro), juga dipengaruhi oleh keberadaan substrat. Penelitian ini mencatat lebih banyak lumut terestrial daripada lumut epifit. Sebagian besar lumut yang ditemukan pada substrat terestrial di TNGMb merupakan kelompok lumut sejati dan sebagian kecil dari lumut hati. Hasil yang berbeda diperoleh Gradstein dan Culmsee (2010) di Taman Nasional Lore Lindu (Sulawesi Tengah), yang melaporkan bahwa jumlah lumut epifit pada hutan pegunungan, lebih banyak lumut hati daripada lumut sejati. Hasil yang berbeda ini menjelaskan bahwa lumut hati di hutan pegunungan, lebih banyak sebagai lumut epifit daripada lumut yang hidup secara terestrial pada lantai hutan. Sebaliknya pada habitat terestrial lebih banyak ditemukan lumut sejati daripada lumut hati.

Banyaknya lumut terestrial yang dijumpai, dapat disebabkan oleh banyak tersedianya substrat tanah yang tidak tertutup oleh serasah daun. Selain itu, seiring naiknya ketinggian tempat, ukuran pohon dan daun akan semakin kecil. Pada zona sub alpin tidak terdapat lagi pohon-pohon yang kanopinya rapat. Pada zona ini, lumut banyak tumbuh pada lantai hutan dan tebing pendakian.

SIMPULAN

Keanekaragaman lumut di TNGMb meliputi 57 jenis, 39 marga, dan 25 suku. Dua suku dengan jumlah jenis paling banyak adalah Dicranaceae (15 jenis, tujuh marga), dan Bryaceae (enam jenis, dua marga). Keanekaragaman jenis lumut di hutan pegunungan (1000-3000 m) meningkat seiring bertambahnya ketinggian, tetapi menurun di zona sub alpin (lebih dari 3000 m). Kebanyakan lumut yang dijumpai adalah lumut terestrial yang tumbuh pada substrat tanah dan batuan.

DAFTAR PUSATAKA

Bartram EB. 1939. The Philippine Journal of Science. Vol. 68. Manila: Bureau of Printing.

Benavides JC, Idaraga A, Alvarez E. 2004. Bryophyte diversity patterns in flooded and tierra firme forests in the Araracuara

Region, Colombian Amazonia. Trop Bryol

25: 117-126.

Bodade RG, PS Borkar, Arfeen MS, CN Khobragade. 2008. In vitro screening of bryophyte for antimicrobial activity. J Med Plant 7: 23-28.

Cox CJ, Goffinet B, Wickett NJ, Boles SB, Shaw AJ. 2010. Moss diversity: A molecular phylogenetic analysis of genera.

Phytotaxa 9: 175-195.

Delucia EH et al. 2003. The contribution of bryophytes to the carbon exchange for a temperate rainforest. Global Change Biol

9: 1158-1170.

Eddy A. 1988. A Handbook of Malesian Mosses. Vol. 1, Sphagnales to Dicranales. London: British Museum.

Eddy A. 1990. A Handbook of Malesian Mosses. Vol. 2, Leucobryaceae to Buxbaumiaceae. London: The Natural History Museum.

Eddy A. 1996. A Handbook of Malesian Mosses. Vol. 3, Splachnobryaceae to Leptostomataceae. London: The Natural History Museum.

Enroth J, 1990. Altitudinal zonation of Bryophytes on the Huon Peninsula, Papua New Guinea. A floristic approach, with phytogeographic consideration. Trop Bryo

2: 61-90.

Fleischer M. 1902. Die musci der flora von Butenzorg. Vol 1 Leiden: Buchandung und Druckerei

Gradstein SR. 2011. Guide to liverworths and hornworths of Java. Bogor: SEAMEO BIOTROP.

Gradstein SR, Culmsee H. 2010. Bryophyte diversity on tree trunks in montane forests of Central Sulawesi, Indonesia. Trop Bryol

31: 95-105.

Gradstein SR, Riffin III D, Morales MI, Nadkarni N. 2000. Diversity and habitat differentiation of mosses and liverworts in the cloud forest of Monteverde, Costa Rica. Caldasia 23: 203-212.

Gradstein et al. 2010. Bryophytes of Mount Patuha, West Java, Indonesia. Reindwartia

13:103-117.

Haerida I, Gradstein SR, Tjitrosoedirdjo SS. 2010. Lejeuneaceae subfamily Ptychanthoideae (Hepaticae) in West Java. Gard Bull Singapore 62: 53-103. Hallingback T, Tan BC. 2010. Past and

present activities and future strategy of bryophyte conservation. Phytotaxa 9: 266-274.

(24)

heath ecosystems at Þingvellir, Southwest Iceland. Icelandic Agr Sci 4: 29-38

Krayeski DM, Stotler BC, Stotler RE. 2005. A revision of the genus Fossombronia Raddi in East Asia and Celadonica. J Hat Bot Lab 98: 1-45.

Long DG, Grolle R. 1994. Studies on the genus Asterella P. Beauv. II. Asterella limbata, a new species from Sumatra and Sabah. J of Bryol 18: 287-295.

Long DG. 2001. Studies on genus Asterella

(Aytoniaceae). V. Miscellaneous notes on Asiatic Asterella. Lindbergia (26): 43-45. Magill RE. 2010. Moss diversity: New look

at old numbers. Phytotaxa 9: 167–174. [MENHUT] Kementerian Kehutanan. 2010.

Lampiran peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta: Menteri Kehutanan Republik Indonesia.

Nishiyama T et al. 2004. Choloroplast phylogeny indicates that bryophytes are monophyletic. Mol Biol Evol 21: 1813-1819.

Pharo EJ, Zartman CE. 2007. Bryophytes in a changing landscape: The hierarchical effects of habitat fragmentation on ecological and evolutionary processes.

Biol Con 135: 315–325.

Proctor MCF, Smirnoff N. 2000. Rapid recovery of photosystem on rewetting desiccation-tolerant mosses: chlorophyll fluroscence and inhibitor experiments.

J Exp Bot 51: 1695-1704.

Rhoades FM. 1999. A review of lichen and bryophyte elemental content litelature with reference to pacific nortwest species. United States of America: United States Department of Agriculture, forest service Mt. Baker-Snoqualmie National Forest.

Satyatama T. 2008. Perencanaan Beberapa Jalur Interpretasi Alam di Taman Nasional Gunung Merbabu Jawa Tengah dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis. [Tesis]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Shaw AJ, Goffinet B. 2000. Bryophyte ecology. United Kingdom: Cambridge University Press.

Soderstrom L, Hagborg A, Konrat MV, Renner M. 2008. Early land plant today: liverworth checklist of checlist. Fieldiana

47: 105-130.

Soderstrom L, SR Gradstein, A Hagborg. 2010. Checklist of the hornworth and liverworts of Java. Phytotaxa 9: 53-149. Sollman P. 2002. Studies on some Asian

species of the genus Leptodontium (Mull. Hal.) Hampe (Musci, Pottiaceae). Trop Bryo 21: 65-66.

Tan BC et al. 2006. Mosses of Gunung Halimun National Park, West Java, Indonesia. Reindwartia. 12: 205-214. Villarreal JC, Christine Cargill DC, Hagborg

A, Soderstrom L, Renzaglia KS. 2010.A synthesis of hornwort diversity: Patterns, causes and future work. Phytotaxa 9: 150-166.

Von Konrat M et al. 2010. Early Land Plants Today (ELPT): How many liverwort species are there? Phytotaxa 9: 22-40. Whitmore TC. 1984. Tropical rain forest of

the Far East. Oxford: Clarendon press. Xiaowei G. 2007. Chemistry of Bryophyte.

(25)
(26)
(27)
(28)

Lampiran 2 Daftar jenis dan suku lumut dan persebarannya berdasarkan tipe substrat dan ketinggian tempat, di jalur pendakian Selo dan Tekelan TNGMb.

Substrat Ketinggian Tempat (m dpl)

Suku Jenis 1000-2000 2000-3000 > 3000 No Koleksi

Arboreal Terestrial Peg. Bawah Peg. Atas Sub Alpin

Lumut hati bertalus

Aytoniaceae Asterella limbata + + SBH 001

Marchantiaceae Marchantia palacea + + SBH 002

Fossombroniaceae Fossombronia himalayaensis + + SBH 003

Lumut hati berdaun

Frullaniaceae Frulannia neorota + + SBH 004

Jungermanniaceae Denotarisia linguifolia + + SBH 005

Solenostoma sp. + + + SBH 006

Solenostoma truncatum + + + SBH 007

Scapaniaceae Scapania sp. + + + SBH 008

Lumut sejati acrocarp

Bartramiaceae Philonotis mollis + + + SBH 009

P. roylei + + + SBH 010

Bryaceae Bryum apiculatum + + + SBH 011

B. argenteum + + + SBH 012

B. australe + + SBH 013

B. capillare + + + SBH 014

B. billarderi + + + SBH 015

Rhodobryum ontariense + + + SBH 016

Dicranaceae  Bryohumbertia walkeri + + + SBH 017

Campylopodium khasianum + + + SBH 018

C. medium + + + SBH 019

Campylopus aureus + + + SBH 020

C. comosus + + + SBH 021

C. crispifolius + + + + SBH 022

C. ericoides + + + + SBH 023

C. involutus + + + SBH 024

C. umbelatus + + + SBH 025

C. zollingerianus + + + SBH 026

Ceratodon purpureus + + + SBH 027

Dicranella coarctata + + + SBH 028

Ditrichium colijnii + + + + SBH 029

(29)

15

Substrat Ketinggian Tempat (m dpl)

Suku Jenis 1000-2000 2000-3000 > 3000 No Koleksi

Arboreal Terestrial Peg. Bawah Peg. Atas Sub Alpin

D. difficile + + SBH 030

Trematodon conformis + + + SBH 031

Fissidentaceae Fissiden plagiochiloides + + + SBH 032

F. robinsonii + + + SBH 033

Funariacea Enthostodon buseanus + + SBH 034

E. mittenii + + SBH 035

Funaria hygrometrica + + SBH 036

Grimmiaceae Racomitrium lanuginosum + + SBH 037

Leucobryaceae Leucobrium candidum + + SBH 038

Orthotrichaceae Macromitrium orthostichum + + + SBH 039

Polytrichaceae Pogonatum neesii + + + SBH 040

Pottiaceae Hyophila involuta + + + SBH 041

Leptodontium aggregatum + + SBH 042

Pseudosymblepharis bombayensis + + + SBH 043

Lumut sejati pleurocarp

Brachytheciaceae Eurhynchium celebicum + + SBH 044

Hypnaceae Ectropothecium dealbatum + + + SBH 045

E. ichnotocladum + + + SBH 046

E. perminutum + + + SBH 047

Hypopterygiaceae Hypopterygium celyanicum + + + SBH 048

Meteoriaceae Papillaria fuscescens + + + SBH 049

Neckeraceae Homaliodendron scalpellifolium + + + SBH 050

Neckera sundaensis + + + SBH 051

Racopilaceae Racopilum schimidii + + + + SBH 052

Sematophyllaceae Achanthorrincium papilatum + + + SBH 053

Taxithelium lindbergii + + SBH 054

Warburgiella cupressinoides + + + SBH 055

Thuidiaceae Pelekium contortulum + + + SBH 056

Lumut tanduk

Anthocerotaceae Phaeoceros leavis + + + SBH 057

(30)

Lampiran 3 Glossarium

Acrocarp : Lumut sejati dengan cabang utama tegak yang menjadi tempat munculnya sporofit.

Alar sel : Sel pada tepi bawah daun, biasanya memiliki bentuk, warna, dan ukuran yang berbeda dari sel helaian daun lainnya.

Amphigastria : Daun pada lumut sejati merupakan daun yang terdapat pada batang bagian ventral (permukaan yang melekat pada substrat).

Auriculate : Bentuk bergelombang menyerupai telinga.

Bulat telur : Bentuk daun yang bagian pangkalnya lebih besar daripada bagian ujungnya. Calyptra : Struktur pelindung kapsul pada sporofit.

Chlorocyst : Sel mengandung klorofil

Complanate : Daun tersusun saling berhadapan, rata, dan tipis. Crenulate : Gigi-gigi kecil yang mengelilingi daun.

Daun lateral : Daun yang terletak di tepi/pinggir batang. Daun ventral : Daun yang menghadap pada substrat lumut. Denticulate : Bergigi dengan sempurna.

Dikotom : Percabangan menggarpu/menjadi dua pada lumut hati bertalus. Distichous : Daun dalam dua baris.

Elater : Struktur satu sel dengan penebalan berbentuk spiral, panjang, ditemukan di antara spora dari lumut hati.

Epighram : Struktur berbentuk lingkaran yang menutupi mulut kapsul dari beberapa lumut sejati.

Falcate secund : Meliuk dengan jelas, dan menuju ke satu arah. Fibrose : Berserabut, berbenang-benang.

Gemmae cup : Struktur seperti mangkuk yang menghasilkan dan berisi gemma (diaspora vegetatif)

Guide cell : Bagian dari sel penyalur yang besar, berdinding tebal, terletak pada tengah daun dengan cara membuat sayatan pada costa.

Hyalocist : Sel berukuran besar, kosong, sel tempat menampung air tanpa klorofil pada daun Sphagnum dan Leucobryum.

Involucre : Struktur yang mengelilingi gametangia atau sporofit

Isodiametrik : Bentuk sel seperti lingkaran dengan panjang sama dengan lebar. Kapsul : Struktur pada sporofit, tempat tersimpannya spora.

Lamina : Lembaran daun

Lamella : Strukur yang tumbuh pada permukaan daun

Lanceolate : Berbentuk seperti ujung tombak, sempit dan meruncing dari dasar daun. Linier : Bentuk yang menyerupai garis, perbandingan panjang sel atau panjang daun

lllebih besar daripada lebarnya. Leucocyst : Sama dengan hyalocyst.

Lobe : Bagian utama dari daun lumut hati berdaun, lebih besar dari lobule . Lobule : Segmen yang lebih kecil dari daun lumut hati.

Midrid : Sama dengan costa.

Oil body : Organel yang dibatasi oleh membran, di dalamnya mengandung terpenoid, mmerupakan ciri dari lumut hati

Paraphyllia : Struktur yang tumbuh dari batang atau cabang, berukuran kecil dan

berwarna hijau, dapat berbentuk sisik, seperti rambut, atau daun meruncing. Pelepah daun : Lembaran daun tambahan yang terdapat pada Fissiden.

Peristome : Struktur gigi yang melingkar, tersusun dalam satu atau dua baris pada mulut kapsul.

Pleurocarp : Lumut sejati dengan cabang utama merayap, memiliki struktur sporofit l lateral.

Receptacle : Struktur seperti piringan yang menahan antheridia atau archegonia pada umut llllumut hati.

Recurved : Melekuk ke bawah (abaksial) dan menuju ke dalam. Revolute : Menggulung ke bawah dan ke arah dalam.

Rizoid : Struktur seperti akar yang berfungsi untuk menempel.

(31)

17

Papil : Struktur yang menonjol pada permukaan sel. Pori : Lubang udara pada Marchantia.

Sel alar : Sel pada bagian pangkal daun yang menggembung pada lumut sejati. Sisik ventral : Struktur menyerupai sisik pada lumut hati bertalus, tersusun dari satu baris

aatau dua baris, berwarna kemerahan atau keunguan. Sheating lamina : Struktur daun pelepah pada Fissiden.

Spathulate : Meruncing menuju basal daun, ujung daun bulat. Spongy : Seperti bunga karang, atau spons.

Squarose : Menyebar dengan rata.

Stereid : Sel berdinding tebal yang ditemukan berkelompok di dalam tulang daun. Talus : tubuh lumut yang rata/datar, tidak terdeferensiasi menjadi batang atau daun. Trigon : Ruang yang terdapat di antara sel-sel yang saling berhimpit pada lumut hati

bberdaun

(32)

Lampiran 5 Beberapa contoh lumut Taman Nasional Gunung Merbabu

Rhodobryum ontariense Racomitrium lanuginosum

Leptodontium aggregatum Phaeoceros leavis

Frullania neorota Campylopodium medium.

(33)

13

Lampiran 1 Jalur pendakian di Gunung Merbabu

Jal pendakian Selo berupa jalan setapak dengan vegetasi rumput (a) dan semak (b). Substrat lum t kebanyakan berupa tanah.

Jal dakian Tekelan yang melintasi padang savan ) dan zona sub alpin (b). Substrat lumut i se jang jalur ini kebanyakan berupa batu-batuan.

Vegetasi sub alpin jalur Tekelan yang didominasi leh semak dan rerumputan, pada gambar terl at edelweis (a) dan cantigi (b) yang tersebar hingga menuju puncak.

a

b

ur u

a

b

ur pen pan

a (a d

a

b

(34)

Lampiran 4 Beberapa ciri morfologi lumut

a1

a2

a

b

c

Susunan daun a) complanate pada R. schimidii, a1 = costa excurrent dan a2 = amphigastria. b) spiral pada H. involuta dan c) distichous pada F. plagiochiloides, tanda [] menunjukkan vaginant lamina atau daun pelepah.

c1 a1

c2

e

b

c

a

Beberapa tipe ujung daun a) H. scalpellifolium, a1 = hair pointed, tanda { menunjukkan tulang daun yang berakhir di tengah daun. b) L. candidum, tanda ] menunjukkan tepi bergigi pada ujung daun c) F. himalayaensis, c1 = ujung daun bergelombang, c2 = sporofit bulat.

1

2

3

(35)

KEANEKARAGAMAN LUMUT DI TAMAN NASIONAL

GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH

SAIFUL BACHRI

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(36)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia memiliki kawasan hutan hujan tropis yang luas, tidak kurang dari 138 juta ha (MENHUT 2010). Hutan hujan tropis merupakan tempat paling banyak ditemukannya jenis lumut dibandingkan dengan ekosistem utama lain yang ada di dunia (Magill 2010). Keanekaragaman dan kelimpahan lumut bervariasi bergantung pada ketinggian tempat (Gradstein et al. 2000). Ketinggian tempat menghasilkan perbedaan tipe struktur hutan, yang berpengaruh terhadap kondisi iklim mikro dan ketersediaan habitat di hutan (Benavides et al. 2004).

Lumut diwakili oleh tiga divisi, yaitu Mar-chantiophyta (lumut hati), Anthocerotophyta (lumut tanduk), d a n Bryophyta (lumut sejati) (Pharo & Zartman 2007). Perkiraan saat ini untuk keanekaragaman lumut hati adalah 7500 jenis (Von Konrat et al. 2010), lumut tanduk 200-250 jenis (Villareal et al. 2010) dan lumut sejati sekitar 12700 jenis (Cox et al. 2010).

Penelitian mengenai lumut telah banyak dilakukan dalam berbagai bidang, seperti digunakan dalam menentukan filogeni tumbuhan (Nishiyama et al. 2007), biomonitor lingkungan (Rhoades 1999), konservasi wilayah (Hallingback & Tan 2010), penghasil senyawa antimikrob (Bodade et al. 2008) dan perannya dalam menjaga kualitas udara melalui pertukaran gas karbondioksida dalam fotosintesis, serta kaitannya dengan perubahan iklim (Delucia et al. 2003).

Memahami keanekaragaman lokal dapat berperan dalam melengkapi pemahaman keanekaragaman secara global, yang diperlukan antara lain dalam studi taksonomi dan kisaran persebaran geografi suatu taksa (Soderstrom et al. 2008). Penelitian keanekaragaman lumut Jawa telah dilakukan sejak masa penjajahan Belanda, namun kebanyakan lumut yang dilaporkan berasal dari Jawa Barat (Fleischer 1902). Penelitian lumut di Jawa akhir-akhir ini juga dilakukan di Jawa Barat (Tan et al. 2006; Haerida et al.

2010; Gradstein et al. 2010).

Tujuan

Penelitian ini bertujuan mengetahui keanekaragaman taksa lumut dan persebarannya berdasarkan ketinggian tempat dan tipe substrat di Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb), Jawa Tengah.

BAHAN DAN METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb) Jawa Tengah. Taman nasional ini terletak pada 110o 26’ 22” BT dan 7o 27’ 13” LS dengan ketinggian mencapai 3142 m dpl di Puncak Kenteng Songo dan 3119 m dpl di Puncak Syarif.

Gunung Merbabu tergolong gunung api tua yang kawahnya sudah tidak aktif dan pada puncaknya membentuk dataran tinggi yang lebar. Gunung ini termasuk iklim tipe B dengan curah hujan 2000-3000 mm dan suhu sepanjang tahun 17-30 oC. Untuk mencapai puncak Gunung Merbabu, dapat ditempuh dari tiga jalur pendakian, yaitu jalur Selo, Tekelan, dan Wekas. Pada setiap jalur pendakian, dijumpai formasi ekosistem hutan hujan tropis pegunungan bawah (PB) (1000-2000 m), ekosistem hutan hujan tropis pegunungan atas (PA) (2000-3000 m), dan formasi hutan sub alpin (SA) (lebih dari 3000 m). Hal ini menjadikan Gunung Merbabu memiliki vegetasi yang beragam.

Vegetasi yang mendominasi pada jalur pendakian adalah pohon akasia (Acacia decurens), puspa (Schima wallichii), dan pinus (Pinus merkusii). Pada ketinggian 2700 m dpl dijumpai vegetasi savana dengan banyak edelweis (Anaphalis javanicus) dan di dekat puncak banyak dijumpai sengon gunung (Albizia montana), cantigi (Vaccinium varingifolium) dan rerumputan (Satyatama 2008).

Pengambilan sampel lumut dilakukan di sepanjang jalur pendakian Selo pada 24-26 Agustus 2010 dan Tekelan (Gambar 1) pada 5-6 Maret 2011. Jalur Pendakian Selo dimulai dari Pos Pendaki di Desa Genting (1500 m dpl) hingga Puncak Kenteng Songo (3142 m dpl), sedangkan jalur Pendakian Tekelan dimulai dari Pos Pendaki Tekelan (1600 m dpl) hingga Puncak Syarif (3119 m dpl). Beberapa foto jalur pendakian dapat dilihat pada Lampiran 1.

Pengambilan Sampel

(37)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia memiliki kawasan hutan hujan tropis yang luas, tidak kurang dari 138 juta ha (MENHUT 2010). Hutan hujan tropis merupakan tempat paling banyak ditemukannya jenis lumut dibandingkan dengan ekosistem utama lain yang ada di dunia (Magill 2010). Keanekaragaman dan kelimpahan lumut bervariasi bergantung pada ketinggian tempat (Gradstein et al. 2000). Ketinggian tempat menghasilkan perbedaan tipe struktur hutan, yang berpengaruh terhadap kondisi iklim mikro dan ketersediaan habitat di hutan (Benavides et al. 2004).

Lumut diwakili oleh tiga divisi, yaitu Mar-chantiophyta (lumut hati), Anthocerotophyta (lumut tanduk), d a n Bryophyta (lumut sejati) (Pharo & Zartman 2007). Perkiraan saat ini untuk keanekaragaman lumut hati adalah 7500 jenis (Von Konrat et al. 2010), lumut tanduk 200-250 jenis (Villareal et al. 2010) dan lumut sejati sekitar 12700 jenis (Cox et al. 2010).

Penelitian mengenai lumut telah banyak dilakukan dalam berbagai bidang, seperti digunakan dalam menentukan filogeni tumbuhan (Nishiyama et al. 2007), biomonitor lingkungan (Rhoades 1999), konservasi wilayah (Hallingback & Tan 2010), penghasil senyawa antimikrob (Bodade et al. 2008) dan perannya dalam menjaga kualitas udara melalui pertukaran gas karbondioksida dalam fotosintesis, serta kaitannya dengan perubahan iklim (Delucia et al. 2003).

Memahami keanekaragaman lokal dapat berperan dalam melengkapi pemahaman keanekaragaman secara global, yang diperlukan antara lain dalam studi taksonomi dan kisaran persebaran geografi suatu taksa (Soderstrom et al. 2008). Penelitian keanekaragaman lumut Jawa telah dilakukan sejak masa penjajahan Belanda, namun kebanyakan lumut yang dilaporkan berasal dari Jawa Barat (Fleischer 1902). Penelitian lumut di Jawa akhir-akhir ini juga dilakukan di Jawa Barat (Tan et al. 2006; Haerida et al.

2010; Gradstein et al. 2010).

Tujuan

Penelitian ini bertujuan mengetahui keanekaragaman taksa lumut dan persebarannya berdasarkan ketinggian tempat dan tipe substrat di Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb), Jawa Tengah.

BAHAN DAN METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb) Jawa Tengah. Taman nasional ini terletak pada 110o 26’ 22” BT dan 7o 27’ 13” LS dengan ketinggian mencapai 3142 m dpl di Puncak Kenteng Songo dan 3119 m dpl di Puncak Syarif.

Gunung Merbabu tergolong gunung api tua yang kawahnya sudah tidak aktif dan pada puncaknya membentuk dataran tinggi yang lebar. Gunung ini termasuk iklim tipe B dengan curah hujan 2000-3000 mm dan suhu sepanjang tahun 17-30 oC. Untuk mencapai puncak Gunung Merbabu, dapat ditempuh dari tiga jalur pendakian, yaitu jalur Selo, Tekelan, dan Wekas. Pada setiap jalur pendakian, dijumpai formasi ekosistem hutan hujan tropis pegunungan bawah (PB) (1000-2000 m), ekosistem hutan hujan tropis pegunungan atas (PA) (2000-3000 m), dan formasi hutan sub alpin (SA) (lebih dari 3000 m). Hal ini menjadikan Gunung Merbabu memiliki vegetasi yang beragam.

Vegetasi yang mendominasi pada jalur pendakian adalah pohon akasia (Acacia decurens), puspa (Schima wallichii), dan pinus (Pinus merkusii). Pada ketinggian 2700 m dpl dijumpai vegetasi savana dengan banyak edelweis (Anaphalis javanicus) dan di dekat puncak banyak dijumpai sengon gunung (Albizia montana), cantigi (Vaccinium varingifolium) dan rerumputan (Satyatama 2008).

Pengambilan sampel lumut dilakukan di sepanjang jalur pendakian Selo pada 24-26 Agustus 2010 dan Tekelan (Gambar 1) pada 5-6 Maret 2011. Jalur Pendakian Selo dimulai dari Pos Pendaki di Desa Genting (1500 m dpl) hingga Puncak Kenteng Songo (3142 m dpl), sedangkan jalur Pendakian Tekelan dimulai dari Pos Pendaki Tekelan (1600 m dpl) hingga Puncak Syarif (3119 m dpl). Beberapa foto jalur pendakian dapat dilihat pada Lampiran 1.

Pengambilan Sampel

(38)
[image:38.595.109.514.90.414.2]

Gambar 1 Peta lokasi penelitian di kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu. 9

9

9

terlindung. Pengukuran ketinggian lokasi di jalur pendakian menggunakan Global Positioning System.

Identifikasi Sampel

Identifikasi lumut sejati acrocarp

menggunakan A Handbook of Malesiana Mosses Volume I, II, dan III (Eddy 1988, 1990, 1996), lumut sejati pleurocarp dengan menggunakan Bartram (1939) dan revisi atau monografi taksa tertentu. Identifikasi lumut hati dan lumut tanduk menggunakan buku identifikasi Guide to the Liverworths and Hornworths of Java (Gradstein 2011).

HASIL

Keanekaragaman Taksa Lumut Taman Nasional Gunung Merbabu

Keanekaragaman lumut yang ditemukan di jalur pendakian Selo dan Tekelan TNGMb meliputi 57 jenis (39 marga, 25 suku), terdiri atas satu jenis lumut tanduk, delapan jenis lumut hati (tujuh marga, enam suku), dan 48 jenis lumut sejati (31 marga, 18 suku)

(Tabel 1). Lumut hati terdiri atas lumut hati bertalus dan lumut hati berdaun. Lumut hati bertalus yang ditemukan sebanyak tiga jenis (tiga marga, tiga suku) sedangkan lumut hati berdaun yang ditemukan lima jenis (empat marga, tiga suku). Lumut sejati terdiri atas lumut sejati acrocarp dan lumut sejati

pleurocarp. Lumut sejati acrocarp yang ditemukan sebanyak 35 jenis (20

Gambar

Gambar 1 Peta lokasi penelitian di kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu.
Tabel 1 Keanekaragaman lumut di Taman Nasional Gunung Merbabu.
Gambar 1 Peta lokasi penelitian di kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu.
Gambar 1 Peta lokasi penelitian di kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu.
+2

Referensi

Dokumen terkait

Tahapan metode yang dilakukan untuk penelitian ini adalah: (1) mempelajari teori dari beberapa buku yang diperoleh; (2) observasi, yaitu mengkaji kasus yang telah ada mengevaluasi

PUSAT CALON MAHASISWA BEASISWA TNI

Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, Majelis Hakim menetapkan Amir Fauzi sebagai Justice Collaborator sebagaimana tertulis dalam pertimbangan hakim “Menimbang, bahwa

Kegagalan jantung kongestif adalah suatu kegagalan pemompaan (di mana cardiac output tidak mencukupi kebutuhan metabolik tubuh), hal ini mungkin terjadi sebagai akibat akhir

This paper reports a nonlinear finite ele,ment malysis of pressurized circular toroidal t-nk with radial flush cylin&ical nozzle used fot gas fuel tank of personal car.

Syukur Alhamdullilah kehadirat Allah SWT, karena atas Berkah dan RahmatNya yang telah memberikan kemudahan kepada tim peneliti dapat menyelesaikan Laporan

Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir saya yang berjudul “STUDI PENGGUNAAN ANTIPLATELET ASPIRIN PADA PASIEN KARDIOVASKULER DAN SEREBROVASKULER” adalah

Hasil dari penelitian yang dilakukan maka dapat diketahui bahwa bentuk perjanjian kerjasama yang ditawarkan Perseroan Terbatas Pertamina yaitu Stasiun Pengisian