• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kualitas Spermatozoa Kelinci Peranakan New Zealand White yang Diberi Pelet Ransum Komplit Mengandung Daun Indigofera zollingeriana dan Leucaena leucocephala

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kualitas Spermatozoa Kelinci Peranakan New Zealand White yang Diberi Pelet Ransum Komplit Mengandung Daun Indigofera zollingeriana dan Leucaena leucocephala"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

RINGKASAN

DONA MARINA. D24080159. 2012. Kualitas Spermatozoa Kelinci Peranakan New Zealand White yang Diberi Pelet Ransum Komplit Mengandung Daun Indigofera zollingeriana dan Leucaena leucocephala. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. Luki Abdullah, M.Sc. Agr. Pembimbing Anggota : Prof. Dr. drh. M. Agus Setiadi

Upaya peningkatan produktivitas ternak dalam rangka swasembada daging di Indonesia telah banyak dilakukan, salah satunya dengan mengembangkan ternak kelinci sebagai salah satu hewan ternak yang memiliki daging dengan kandungan protein yang tinggi dan rendah kolesterol. Peningkatan produktivitas dan perkembangbiakan ternak kelinci menjadi faktor penting. Oleh karena itu berbagai upaya dilakukan untuk memilih pakan yang tepat untuk ternak kelinci.

Penelitian dilaksanakan dari bulan November sampai Januari 2012 di Laboratorium Lapang Bagian Produksi Ternak Ruminansia Kecil Fakultas Peternakan IPB, sedangkan evaluasi kualitas semen dilakukan di Laboratorium Unit Rehabilitasi Reproduksi FKH IPB. Penelitian ini menggunakan 20 ekor kelinci jantan peranakan New Zealand White umur 4 bulan dengan bobot rata-rata 1653,36±265,46 g/ekor. Rancangan percobaan yang digunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK), dengan lima perlakuan dan empat kelompok. Perlakuan yang diberikan antara lain R0 (pelet ransum komersil), R1 (pelet ransum komplit mengandung 30% daun lamtoro), R2 (pelet ransum komplit mengandung 20% daun lamtoro dan 10% daun I. zollingeriana), R3 (pelet ransum komplit mengandung 10% daun lamtoro dan 20% I. zollingeriana), R4 (pelet ransum komplit mengandung 30% daun I. zollingeriana). Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan statistika deskriptif. Peubah yang diamati adalah kualitas makroskopik semen (volume, warna, pH, konsistensi) dan kualitas mikroskopik semen (gerakan massa, konsentrasi spermatozoa, persentase motilitas, viabilitas, abnormalitas dan HOS Test).

Kisaran persentase motilitas, viabilitas dan abnormalitas berturut-turut sebesar 0%-70%, 46,88%-94,33%, 2,87%-19,33%. Hasil yang cenderung tidak berbeda juga ditunjukkan pada parameter kualitas makroskopik semen dan gerakan massa semen. Pemberian pelet ransum komersil pada kelinci memiliki pengaruh rataan persentase viabilitas dan persentase motilitas yang lebih rendah dibandingkan pelet ransum komplit berbasis daun Indigofera zollingeriana dan lamtoro serta memiliki rataan persentase abnormalitas yang lebih tinggi dibandingkan pelet ransum komplit berbasis daun Indigofera zollingeriana dan lamtoro (Leucaena leucocephala).

Dapat disimpulkan bahwa kualitas ransum perlakuan relatif sama dalam menunjang kualitas makroskopik dan mikroskopik semen kelinci. Daun Indigofera zollingeriana dan daun lamtoro tidak memberikan pengaruh negatif terhadap kualitas spermatozoa kelinci.

(2)

ABSTRACT

Sperm Quality of New Zealand White Crossbred Rabbit Fed with Complete Ration Containing Indigofera zollingeriana and Leucaena leucocephala Leaves

D. Marina, L. Abdullah and M. A. Setiadi

The experiment was conducted to study the effect of feeding complete ration in pellet form containing Indigofera zollingeriana and lamtoro (Leucaena leucocephala) leaves on sperm quality of New Zealand White crossbred rabbits. The rabbits were grouped according into 5 treatments with 4 replications. The treatments were R0 (commercial fed), R1 (complete ration containing 30% lamtoro leaves), R2 (complete ration containing 20% lamtoro leaves and 10% Indigofera leaves), R3 (complete ration containing 10% lamtoro leaves and 20% Indigofera. leaves), R4 (complete ration containing 30% Indigofera leaves). All of rations were fed to tested rabbits for 60 days, with preliminary trial period for 14 days. Semen was collected and its quality according to treatment were analyzed macroscopically and microscopically. The data were analyzed with statistic of descriptive. The results showed that there were no significant effect among given ration on sperm motility, viability and abnormality percentage of the rabbits. The range of percentage sperm motility, viability and abnormalities were 0%-70%, 46.88%-94.33%, 2.87%-19.33%, respectively. It is concluded that all complete rations containing Indigofera zollingeriana and lamtoro leaves played positive role on spermatogenesis in rabbit.

(3)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kebutuhan masyarakat terhadap daging hingga saat ini masih tinggi, namun

produksi daging yang dihasilkan masih rendah dan tidak terjangkau oleh kalangan

masyarakat golongan menengah ke bawah. Upaya peningkatan produktivitas ternak

dalam rangka swasembada daging di Indonesia telah banyak dilakukan, salah satunya

dengan mengembangkan ternak kelinci sebagai salah satu ternak alternatif yang

menghasilkan daging dengan kandungan protein yang tinggi dan rendah kolesterol.

Peningkatan produktivitas dan perkembangbiakan ternak kelinci merupakan aspek

penting yang harus didukung oleh ketersediaan pakan murah dan berkualitas.

Berbagai upaya dilakukan untuk mendapatkan pakan kelinci yang ekonomis dan

mudah didapat. Salah satu upaya menekan harga pakan dengan memanfaatkan

sumber pakan hijauan lokal yang berkualitas tinggi seperti Indigofera zollingeriana

dan Leucaena lecocephala (Lamtoro).

I. zollingeriana adalah salah satu jenis leguminosa pohon yang relatif baru

dikembangkan di Indonesia. Indigofera jenis leguminosa pohon ini cocok

dikembangkan di Indonesia karena toleran terhadap musim kering, genangan air, dan

tahan terhadap salinitas (Hassen et al., 2007). Selain itu pertumbuhan sangat cepat,

adaptif terhadap tingkat kesuburan rendah, mudah dan murah pemeliharaannya.

Hijauan ini memiliki kandungan protein cukup tinggi yaitu setara dengan alfalfa

berkisar 23%-27% yang optimal bagi ternak. Tepung daun Indigofera zollingeriana

mengandung protein kasar sekitar 23,40%-27,60%, NDF 51,16%-59,97%, kecernaan

in vitro bahan organik berkisar 77,46%-80,47% (Abdullah dan Suharlina, 2010).

Selain itu tepung daun Indigofera zollingeriana memiliki kandungan mineral yang

cukup untuk pertumbuhan optimal ternak, yaitu Ca 1,78%, P 0,34%, Mg 0,51%

(Abdullah, 2010).

Ketersediaan I. zollingeriana yang masih terbatas mengharuskan adanya

penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan informasi mengenai kultur tanaman yang

efisien, produk olahan hijauan dan penggunaannya untuk ternak ruminansia. Hijauan

ini sebagai alternatif pengganti sumber nutrisi (protein) pada konsentrat yang

harganya semakin lama semakin meningkat. Sumber hijauan pakan lokal yang

(4)

akan protein, karoten, vitamin, dan mineral. Lamtoro memiliki kandungan protein

yang tinggi (21%), kandungan NDF sebesar 4,28% sedangkan kandungan asam

aminonya cukup tinggi (Mtenga dan Laswai, 1994). Penggunaan daun lamtoro dalam

ransum lebih dari 30%, secara langsung dapat merontokkan bulu dan menurunkan

konsumsi bahan kering karena terdapat kandungan antinutrisi yaitu mimosin

(Onwudike, 1995). Oleh Karena itu, pengkombinasian lamtoro dan I. zollingeriana

merupakan hal baru dalam pelet ransum komplit untuk ternak kelinci yang

diharapkan mampu memperbaiki kualitas nutrisi. Pada penelitian sebelumnya

pemberian ransum dengan 40% pelet Indigofera sp. pada ransum ternak kambing PE

Saanen pada peternakan Bangun Karso Farm dapat meningkatkan kecernaaan pakan

dan produksi susu (Apdini, 2011). Pemberian pelet berbasis Indigofera zollingeriana

dan daun lamtoro pada ternak kelinci untuk mengetahui pengaruhnya terhadap

gambaran kualitas mikroskopis dan makroskopis semen kelinci jantan peranakan

New Zealand White belum pernah dilakukan.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan pengaruh perlakuan

pemberian pelet ransum komplit yang mengandung daun Indigofera zollingeriana

dan Leucaena leucocephala pada taraf yang berbeda terhadap gambaran kualitas

(5)

TINJAUAN PUSTAKA

Indigofera zollingeriana

Ransum bentuk pelet merupakan ransum yang terdiri dari bahan-bahan baku

yang diolah melalui proses mekanik, yaitu dipadatkan dan ditekan oleh roller dan

die, sehingga membentuk silinder atau batangan kecil. Dozier (2001) menyatakan

bahwa ransum dalam bentuk pelet dapat meningkatkan ketersediaan nutrisi dalam

pakan, mempermudah penanganan sehingga menurunkan biaya produksi dan

mengurangi penyusutan. Berbagai bahan pakan ternak baik biji-bijian maupun

hijauan dapat dibentuk menjadi pelet sehingga memiliki komposisi bahan yang lebih

padat dan tidak mengubah kandungan bahannya. Salah satu hijauan yang berpotensi

diproses menjadi pelet adalah Indigofera zollingeriana yang akan digunakan sebagai

pakan sumber protein karena memiliki kandungan protein kasar sebanyak 25,66%

(Abdullah, 2010).

Indigofera adalah genus besar dari sekitar 700 jenis tanaman berbunga milik

keluarga Fabaceae (Schrire, 2005). Indigofera adalah genus dengan sekitar 700

spesies yang tersebar secara geografis di Afrika tropis, Asia, Australia dan Amerika

Utara dan Selatan. Banyak spesies di Afrika dan Asia telah dilaporkan berguna untuk

makanan ternak (misalnya hirsuta I., Agrimonia I., I. syn schimperi. I. oblongifolia, I.

spicata dan sin I. subulata. I. trita), pupuk hijau atau sebagai tanaman penutup

(misalnya I. hirsuta dan I. trita). Khas dari Leguminosa ini, Indigofera tinggi protein,

dan kemampuan mereka untuk bertahan terhadap kekeringan, banjir, dan salinitas

membuat agronominya sangat diinginkan (Hassen et al., 2007).

Terdapat di seluruh daerah tropis dan subtropis di dunia, dengan beberapa

jenis mencapai zona di kawasan timur Asia. Indigofera memberikan peluang yang

menjanjikan dalam hal pemenuhan kebutuhan ternak ruminansia terhadap

penyediaan hijauan pakan. Menurut Hassen et al. (2008) produksi BK tanaman

Indigofera sp. adalah sebesar 2.728 kg/ha/tahun. Indigofera sp. memiliki kandungan

protein yang tinggi, toleran terhadap musim kering, genangan air, dan tahan terhadap

salinitas. Menurut Hassen et al. (2008) kandungan protein kasar Indigofera sp.

adalah sebesar 24,3%. Selain itu tepung daun Indigofera memiliki kandungan

(6)

0,19%-0,33%, Mg 0,21%-1,07%, Cu 9,0-15,3 ppm, Zn 27,2-50,2 ppm, dan Mn

jenis : Indigofera zollingeriana

Saat akar terdalamnya dapat tumbuh kemampuannya utnuk merespon curah

hujan yang kurang dan ketahanan terhadap herbivore merupakan potensi yang baik

sebagai cover crop (tanaman penutup tanah) untuk daerah semi- kering dan daerah

kering (Hassen et al., 2004; 2006). Produksi bahan kering (BK) total Indigofera

zollingeriana adalah 51 ton/ha/tahun (Abdullah, 2010).

Daun Lamtoro

Lamtoro (Leucaena leucocephala) merupakan legum pohon yang produktif

menghasilkan hijauan, tahan pemotongan, dan pengembalaan berat, dan sebagai

pakan tambahan yang berkualitas tinggi. Lamtoro merupakan tanaman alternatif

yang dapat digunakan untuk menutup kekurangan jumlah ataupun kualitas hijauan

pada musim paceklik. Tanaman lamtoro dapat diberikan kepada ternak berupa

hijauan segar, kering, tepung, silase, dan pelet. Hijauan lamtoro sangat baik sebagai

pakan ternak, dikarenakan daun lamtoro kaya akan protein, karoten, vitamin, dan

mineral (Soeseno dan Soedaharoedjian, 1992). Menurut Mtenga dan Laswai (1994),

lamtoro memiliki kandungan protein yang tinggi (21%), kandungan NDF sebesar

4,28% sedangkan kandungan asam aminonya cukup tinggi dan juga memiliki

antinutrisi seperti mimosin dan tanin

Menurut Onwudike (1995), pelet berbasis daun lamtoro lebih disukai oleh

kelinci dibandingkan daun gamal, namun pemberian daun lamtoro dapat mengurangi

pertumbuhan bobot badan, konsumsi pakan, dan efisiensi pakan. Daun lamtoro

mengandung mimosin yang menyebabkan kerontokan dan reddish (urin berwarna

(7)

direkomendasikan tidak lebih dari 50% total ransum. Wood et al. (2003) menyatakan

bahwa terjadi penurunan kadar mimosin daun lamtoro akibat pemanasan pada suhu

60 °C dan 145 °C yaitu sebesar 43%. Selain itu, terjadi inaktivasi mimosin akibat

proses pelleting.

Pengaruh yang merugikan daun lamtoro pada sapi dapat menyebabkan

gondok (Jones et al., 1976), menurunnya fertilitas dan penyusutan berat lahir

(Hamilton et al., 1971; Helmes, 1980). Uji ini dilakukan di Australia dan Papua New

Guinia dengan menggembalakan sapi-sapi percobaan padang lamtoro, sementara itu

kerontokan bulu dan anak-anak yang dilahirkan berkurang terjadi pula pada kelinci

yang diberi pakan daun lamtoro (Ruskin, 1984). Penelitian lain menyatakan,

pemberian tepung daun lamtoro 15% menyebabkan terhambatnya kemampuan

bereproduksi. Terbukti tikus betina menjadi infertil, prenatal dan pada tikus jantan

libido serta fertilitasnya turun setelah diberii pakan mengandung daun lamtoro (Joshi,

1968). Namun demikian, pemberian daun lamtoro dengan level 100-300 g/ekor/hari

secara signifikan mampu meningkatkan konsentrasi spermatozoa domba di daerah

tropis Etiopia (Dana et al., 2000).

Pelet

McEllhiney (1994) menyatakan bahwa pelet merupakan hasil proses

pengolahan bahan baku ransum secara mekanik yang didukung oleh faktor kadar air,

panas dan tekanan. Pelet adalah ransum yang dibuat dengan menggiling bahan baku

yang kemudian dipadatkan menggunakan die dengan bentuk, diameter, panjang dan

derajat kekerasan yang berbeda (Pond et al., 1995).

Ternak kelinci lokal yang diberi ransum komplit berbasis bahan baku lokal

berbentuk pelet, yang tersusun dari bungkil inti sawit dan daun ubi jalar

menghasilkan rataan pertambahan bobot badan (PBB) sebesar 17,9 g dan efisiensi

pakan sebesar 0,17 (Mulia, 2009). Performa kelinci yang diberi pakan berupa pelet

lebih baik dibandingkan dengan kelinci yang diberi pakan berupa butiran atau mash,

hal ini dikarenakan ternak tidak mempunyai kemampuan untuk menyortir pakan

(8)

Kelinci

Spesies kelinci sangat banyak, lebih dari 20 spesies dan masing-masing

spesies memiliki ragam warna tersendiri yang dapat mencapai lebih dari 20 warna

berbeda. Kelinci tipe pedaging biasanya besar, memiliki bobot badan berat, dan

tumbuh cepat, seperti Flemish Giant (Vlaamse Reus), Chinchilla Giant, New Zaeland

White, English Spot (Raharjo, 1994).

Klasifikasi kelinci menurut Lebas et al. (1986) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animal

Kelinci merupakan ternak yang cocok dipelihara di Negara berkembang dan

mulai memanfaatkan kelinci sebagai sumber daging. Selain itu, kelinci juga memiliki

potensi: 1) ukuran tubuh yang kecil, sehingga tidak memerlukan banyak ruang, 2)

Orictolagus cuniculus dari genus Orictolagus. El-Raffa (2004) menyatakan bahwa

kelinci memiliki potensi sebagai penghasil daging dan dapat menjadi solusi dalam

memenuhi kebutuhan protein hewani karena memiliki kemampuan efisiensi produksi

dan reproduksi yang patut dipertimbangkan.

Kebutuhan Nutrisi Kelinci

Menurut Cheeke (1987), kebutuhan protein kelinci berkisar antara 12%-18 %,

tertinggi pada fase menyusui (18%) dan terendah pada dewasa (12%), kebutuhan

serat kasar induk menyusui, bunting dan muda (10%-12%), kebutuhan serat kasar

(9)

tidak berbeda (2%). Kebutuhan nutrisi untuk ternak kelinci yang sedang tumbuh,

yaitu sebesar 16% protein kasar, 10%-12% serat kasar, 3%-5% lemak kasar, dan

energi yang dapat dicerna sebesar 2500 Kkal/kg ransum(Tabel 1).

Tabel 1. Kebutuhan Nutrisi Kelinci

Nutrien Kebutuhan nutrisi kelinci

Pertumbuhan Hidup pokok Bunting Laktasi

Digestible Energy

Pemberian pakan ditentukan berdasarkan kebutuhan bahan kering. Jumlah

pemberian pakan bervariasi bergantung pada periode pemeliharaan dan bobot badan

(10)

Semen

Semen adalah cairan yang disekresikan dari alat kelamin jantan yang secara

alami diejakulasikan ke dalam saluran kelamin betina sewaktu kopulasi (Toelihere,

1981). Semen terdiri dari dua bagian, yaitu spermatozoa dan plasma semen, dimana

spermatozoa bersuspensi di dalam plasma semen yang berbentuk semi gelatinuous.

Plasma semen merupakan suatu cairan atau medium yang berfungsi sebagai medium

pembawa spermatozoa dari saluran reproduksi jantan ke dalam saluran reproduksi

hewan betina (Hafez dan Hafez, 2000).

Spermatozoa dihasilkan melalui proses spermatogenesis di dalam testis

kemudian disimpan dan mengalami pematangan di dalam epididimis. Sedangkan

plasma semen merupakan campuran sekresi yang dihasilkan oleh epididimis dan

kelenjar-kelenjar pelengkap, yaitu vesikularis dan prostat (Hafez dan Hafez, 2000).

Spermatozoa normal terdiri dari kepala dan ekor. Kepala spermatozoa

memanjang, oval dengan ujung kepala yang tumpul. Kepala spermatozoa terisi

dengan materi inti, mengandung kromosom DNA yang membawa informasi genetik

(Hafez dan Hafez, 2000). Bagian ekor spermatozoa terdiri dari bagian leher, bagian

tengah, bagian utama, dan bagian ujung yang berasal dari sentriol spermatid selama

spermiogenesis (Toelihere, 1993).

Menurut Toelihere (1993), nutrisi sangat mempengaruhi kualitas dan

kuantitas semen yang dihasilkan. Selain nutrisi, faktor lingkungan juga sangat

mempengaruhi kualitas semen terutama suhu dan musim. Suhu lingkungan yang

terlampau rendah atau tinggi dapat mempengaruhi reproduksi hewan jantan. Suhu

udara yang tinggi dapat menyebabkan penurunan fertilitas spermatozoa.

Tabel 3. Karakteristik Semen Kelinci di Perkembangbiakan Pertama

Keterangan Jumlah

Umur (bulan) 4-12

Bobot badan Variasi

Volume ejakulat (ml) 0,4 – 0,6

Konsentrasi Spermatozoa 0,5-0,3 x 108 per ml

(11)

Menurut Hafez dan Hafez (2000), bahwa kualitas dan kuantitas spermatozoa

yang dihasilkan dipengaruhi oleh makanan, suhu dan musim, frekuensi ejakulasi dan

libido, penyakit dan benih penyakit, pengangkutan, umur, hereditas dan gerak badan.

Volume semen

Volume ejakulasi yang diperoleh bervariasi tergantung pada ras kelinci

tersebut yakni antara 0,2-3,0 ml untuk kelinci ukuran kecil (Morrow, 1986). Kisaran

rataan volume semen yang didapat oleh penelitian terdahulu mengenai pengaruh

karakter plasma semen terhadap reproduksi kelinci betina yaitu sebesar 0,67 ml pada

kelinci New Zealand White (Brun et al., 2002). Volume semen sangat dipengaruhi

oleh aktivitas jaringan pada kelenjar-kelenjar tersebut (Elya et al., 2010).

pH Semen

Nilai pH dipengaruhi oleh komposisi cairan yang tergabung dalam semen.

Kebanyakan semen yang dikumpulkan memiliki pH yang lebih condong kearah asam

dengan variasi pH sekitar 6,5-6,9, tetapi pHnya bervariasi dengan kisaran yang luas,

dari sekitar 6 atau dibawahnya sampai 8 atau sedikit diatasnya. Semen berkualitas

baik biasanya lebih kearah asam (pH rendah) dari pada semen dengan konsentrasi

spermatozoa yang rendah. Semen berkualitas jelek mengandung cairan yang banyak

jumlahnya berasal dari uretralis dan kelenjar-kelenjar pelengkap, sehingga memiliki

pH yang tinggi (Salisbury dan Vandemark, 1985). Nilai pH semen kelinci rata-rata

6,9 (Paufler et al., 1974). Kisaran pH semen yang diperoleh penelitian terdahulu

mengenai pengaruh karakter plasma semen terhadap reproduksi kelinci betina yaitu

sebesar 7,18 pada kelinci New Zealand White (Brun et al., 2002). Menurut Yousef et

al. (2000), pH kelinci New Zealand White yang diberi penambahan vitamin E (1,0

g/l), vitamin C (1,5 g/l) serta kombinasi keduanya (1 g/l vitamin E dan 1,5 g/l )

dalam air minum masing-masing adalah sebesar 8,0; 8,1 dan 8,1.

Nilai pH semen juga ditentukan oleh aktivitas kelenjar assesorius. Nilai pH

semen ditentukan oleh keseimbangan kation dan anion yang terdapat dalam struktur

kimia yang terkandung dalam kelenjar assesorius. Tidak terdapatnya perubahan yang

nyata pada volume serta pH semen berarti bahwa kelenjar assesorius masih bisa

(12)

Warna Semen

Warna semen sangat dipengaruhi oleh konsentrasi spermatozoa yang

terkandung di dalam semen. Semakin keruh biasanya jumlah spermatozoa

per-mililiter semen semakin banyak (Partodihardjo, 1982). Semen normal memiliki

warna seperti susu atau krem keputih-putihan dan keruh (Toelihere, 1981).

Ditemukan juga hewan yang menghasilkan semen normal berwarna kuning. Warna

kuning merupakan warna yang normal dan tidak berpengaruh jelek terhadap

spermatozoa dan tidak mempengaruhi fertilitas pejantan. Zat warna riboflavin dalam

semen akan kehilangan zat warna karena sinar alam dan sinar buatan. Zat warna tadi

akan nampak kembali bila diberi zat alkali. Sebagian dari zat warna di dalam cairan

vesicula seminalis adalah flavin, adeneisoalloazine dinucleotide (Salisbury dan

Vandemark, 1985). Semen normal tampak putih kelabu homogen. Semen tampak

jernih jika jumlah sperma terlalu sedikit atau tampak coklat jika ada sel darah merah

(Elya et al., 2010).

Konsistensi Semen

Konsistensi adalah derajat kekentalan (Partodihardjo, 1982). Menurut

Morrow (1986), volume ejakulat kelinci sebanyak 0,5-1,5 ml dengan jumlah

spermatozoa sebesar 10-1000 x 106/ejakulat. Konsentrasi spermatozoa berkisar

0,1-1,0 juta/ml dan persentase motilitas berkisar 40%-80%. Lebih lanjut diesebutkan

bahwa volume ejakulat untuk kelinci ras New Zealand White 0,86 ml dengan

konsentrasi spermatozoa sebesar 0,31 x 106/µl dan persentase motilitas sebesar 55%.

Data ini diperoleh pada pengambilan sampel sebanyak 45 sampel (Paufler et al.,

1974). Konsistensi semen sangat dipengaruhi oleh konsentrasi spermatozoa yang

terkandung di dalam semen, semakin banyak jumlah spermatozoa di dalam semen,

maka konsistensi semen akan semakin kental (Sansone, 2000).

Gerakan Massa Semen

Spermatozoa dalam suatu kelompok memiliki kecenderungan untuk bergerak

bersama-sama ke satu arah dan membentuk gelombang-gelombang yang tebal atau

tipis, bergerak cepat atau lambat tergantung dari konsentrasi spermatozoa hidup di

dalamnya. Gerakan massa spermatozoa dapat dilihat dengan jelas di bawah

(13)

(Toelihere, 1981). Pengamatan gerakan massa bertujuan untuk menilai motilitas

spermatozoa. Semakin besar pergerakan gelombang yang terjadi, semakin tinggi

motilitas dan konsentrasi spermatozoa (Salisbury dan VanDemark, 1985).

Konsentrasi Spermatozoa

Kisaran konsentrasi spermatozoa yang diperoleh penelitian terdahulu

mengenai pengaruh karakter plasma semen terhadap reproduksi kelinci betina yaitu

sebesar 403 x 106/ml pada kelinci New Zealand White (Brun et al., 2002). Yousef et

al. (2000) menyatakan, konsentrasi spermatozoa kelinci New Zealand White yang

diberi penambahan vitamin E (1,0 g/l), vitamin C (1,5 g/l) serta kombinasi keduanya

(1 g/l vitamin E dan 1,5 g/l ) dalam air minum masing-masing adalah sebesar 336 x

106/ml, 332 x 106/ml, 332 x 106/ml.

Konsentrasi spermatozoa juga dipengaruhi oleh kadar hormon testosteron.

Kadar testosteron yang tinggi menyebabkan terjadinya mekanisme umpan balik

negatif terhadap hipotalamus dan hipofisis. Testosteron akan menghambat

hipotalamus untuk menghasilkan GnRH sehingga kadar GnRH turun dan

menghambat hipofisis anterior untuk menghasilkan FSH dan LH. Bila FSH turun

maka terjadi gangguan pada sel sertoli yang menyebabkan berkurangnya zat-zat

makanan yang diperlukan untuk proliferasi, diferensiasi serta memelihara sel-sel

spermatogenik (Steven et al., 1974).

Meningkatnya konsentrasi spermatozoa umumnya dianggap bermanfaat

karena memungkinkan inseminasi dari sejumlah besar betina (Foote, 1980). Saat

kawin alam konsentrasi spermatozoa yang lebih tinggi memastikan masuknya

spermatozoa lebih ke dalam serviks dan kemudian ke saluran telur, sehingga

meningkatkan kesempatan terjadinya pembuahan (Garner dan Hafez, 1980).

Menurut Nadir et al. (1993), semakin tinggi konsentrasi, maka semakin besar pula

persaingan antara spermatozoa pada tempat pembuahan, sehingga mampu

meningkatkan kemungkinan sel telur yang dibuahi oleh sebuah spermatozoa yang

normal, memastikan inseminasi yang baik dan tingkat perkembangan embrio normal

(14)

Motilitas Spermatozoa

Kisaran motilitas spermatozoa yang diperoleh pada penelitian terdahulu

mengenai pengaruh karakter plasma semen terhadap reproduksi kelinci betina yaitu

sebesar 71% pada kelinci New Zealand White. Pentingnya memilih persentase

motilitas sebelum melakukan inseminasi, karena hal ini berkaitan dengan kesuburan

(Brun et al., 2002).

Viabilitas

Persentase hidup spermatozoa menggambarkan spermatozoa yang hidup pada

saat dicampur dengan zat warna yang menyebabkan perbedaan afinitas zat warna

antara sel-sel spermatozoa yang mati dan hidup (Hafez dan Hafez, 2000). Viabilitas

spermatozoa sangat ditentukan oleh keutuhan membran plasma dan kemampuan

sistem transport membran. Selain itu juga kelangsungan hidup spermatozoa juga

dipengaruhi oleh sekresi epididimis antara lain karnitin, fosfatidilkholin (Kaur et al.,

1991; Brooks et al., 1974).

Abnormalitas Spermatozoa

Abnormalitas terjadi terutama karena bengkok atau ekor melingkar, yang

biasanya terjadi selama perjalanan spermatozoa melalui epididimis (Jainudeen dan

Hafez, 1980). Proporsi yang lebih tinggi pada kelainan ini mungkin disebabkan

gangguan pada fungsi epididimis karena level hormon testosteron yang di bawah

normal (Hainonen, 1989). Produksi hormon ini dinyatakan serius sebagai akibat

dari pakan berkualitas rendah dalam waktu lama (Parker dan Thwaites, 1972).

Setiap spermatozoa abnormal tidak dapat membuahi ovum, tanpa

memandang apakah abnormalitas tersebut terjadi di dalam tubuli seminiferi, dalam

epididimis atau oleh perlakuan yang tidak lege artis terhadap ejakulat. Selama

abnormalitas spermatozoa belum mencapai 20% dari contoh semen, maka semen

tersebut masih dapat dipakai untuk inseminasi (Toelihere, 1981).

HOST Test (Tes keutuhan membran plasma spermatozoa)

Membran plasma spermatozoa mengalami proses pematangan di dalam

epididimis yang antara lain berupa perolehan enzim membran plasma. (Kaur et al.,

1991; Brook et al., 1974). Fungsi normal membran plasma spermatozoa adalah

(15)

Pentingnya membran dalam menjaga integritas baik biokimia dan struktur

spermatozoa adalah baik diketahui (Cabrita et al., 1999). Ketika terkena larutan

hypoosmotic, biokimia spermatozoa aktif meningkatkan volume mereka dalam

rangka membangun keseimbangan antara cairan kompartemen dalam spermatozoa

dan ekstraseluler lingkungan. Pembengkakan menyebabkan perubahan baik ukuran

sel dan bentuk yang dapat dievaluasi dengan menggunakan mikroskop fase kontras

(Cabrita et al., 1999). Proses pembengkakan ini memuncak dalam menyebabkan

perluasan membran sel meliputi ekor, sehingga memaksa flagela untuk membentuk

kumparan di dalam membran. Melingkarnya ekor dimulai pada ujung distal ekor

dan melanjutkan jalannya menuju bagian tengah kepala sebagai tekanan osmotik dari

(16)

MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Lokasi penelitian bertempat di Laboratorium Lapang Bagian Produksi Ternak

Ruminansia Kecil Fakultas Peternakan IPB dan Laboratorium Unit Rehabilitasi

Reproduksi, Bagian Reproduksi dan Kebidanan, Fakultas Kedokteran Hewan IPB.

Pembuatan pelet ransum komplit berbasis daun Indigofera zollingeriana dan daun

lamtoro dilakukan di Pabrik Pakan Indofeed, Bogor. Penelitian ini dilaksanakan dari

bulan November 2011 sampai Januari 2012.

Materi Ternak

Penelitian ini menggunakan 20 ekor kelinci jantan lokal peranakan New

Zaeland White periode lepas sapih umur 4 bulan, dengan bobot hidup rata-rata

sekitar 1653,36±265,46 g/ekor (Gambar 1).

Gambar 1. Kelinci Penelitian

Kandang dan Peralatan

Kandang yang digunakan adalah kandang individual bertingkat sistem baterai

yang terbuat dari besi. Kandang yang dipakai sebanyak 20 dengan ukuran panjang 75

cm, lebar 60 cm dan tinggi 50 cm. Setiap kandang dilengkapi dengan tempat pakan

dan air minum. Peralatan lain yang dibutuhkan adalah timbangan untuk mengukur

bobot badan kelinci, plastik, alat kebersihan kandang, tabung reaksi, mikro pipet,

bunsen, kompor listrik, dan penyerap oksigen, alat penampung semen, mikroskop,

(17)

Gambar 2. Kandang Kelinci penelitian

Bahan Lain

Untuk koleksi dan evaluasi kualitas semen diperlukan jelly, air panas, NaCl

fisiologis, dan larutan eosin negrosin 2%. Bahan-bahan tersebut didapatkan dari Unit

Rehabilitasi Reproduksi, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB.

Ransum Penelitian

Ransum standar (R0) yang digunakan merupakan pelet ransum komersil

kelinci yang berasal dari Pabrik Pakan Indofeed dengan komposisi bahan pakan yaitu

jagung kuning, dedak padi, dedak gandum, bungkil kedelai, bungkil kelapa,

molasses, rumput, antimold, antioxidant, vitamin serta mineral. Pelet ransum komplit

yang dibuat dengan sumber hijauan daun tanaman Indigofera zollingeriana dan daun

lamtoro dan bahan lain diantaranya Jagung, dedak, CGM (Corn Gluten Meal),

Bungkil kedele, Bungkil Kelapa, CaCO3, premix, DCP (Dicalcium Phosphate) , NaCl

dan tepung ikan.

Ransum komplit diformulasikan sesuai dengan kebutuhan kelinci periode

pertumbuhan berdasarkan NRC (1977) dengan menggunakan Winfeed 2.8. Ransum

komplit ini disusun sesuai dengan kebutuhan kelinci jantan, dengan pemakaian

(18)

Tabel 4. Komposisi Bahan Makanan Ransum Penelitian (% BK)

R4 dari Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB.

Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat diketahui bahwa secara umum pelet ransum

komplit yang dibuat memiliki kandungan nutrisi yang relatif sama.

Tabel 5. Kandungan Nutrien Ransum (% BK)

Bahan Pakan (%) Taraf Pemberian (%)

R0 R1 R2 R3 R4

(19)

Prosedur

Persiapan Hijauan

Hijauan yang dipilih sebagai bahan baku ransum komplit adalah daun I.

zollingeriana dan daun lamtoro yang merupakan hijauan yang masih bentuk segar.

Hijauan dikeringkan dengan cara dijemur di bawah sinar matahari selama ± 3 hari

hingga kadar air bahan mencapai ± 12%.

Pembuatan Pelet Ransum Komplit

Bahan hijauan yang telah digiling dan berbentuk tepung dicampur dengan

bahan pakan (Jagung, dedak, CGM, Bungkil kedelai, Bungkil Kelapa, CaCO3, DCP,

NaCl, premix dan tepung ikan) sesuai dengan formula pada Tabel 3. Bahan

campuran tersebut dimasukkan ke dalam mesin pengaduk atau mixer agar semua

bahan tersebut telah tercampur dengan rata. Tahap selanjutnya adalah pelleting yakni

memasukan semua bahan yang telah tercampur ke dalam mesin pelet dengan ukuran

3 mm. Pelet yang akan dihasilkan selanjutnya diangin-anginkan dan dimasukkan ke

dalam karung sesuai dengan perlakuan.

Persiapan Kandang

Kandang sebanyak 20 buah sebelum digunakan dibersihkan terlebih dahulu.

Kemudian kandang dilengkapi tempat pakan dari keramik dan tempat minum dari

botol minum khusus.

Pemeliharaan

20 ekor kelinci jantan lokal peranakan New Zealand White lepas sapih

periode lepas sapih umur 4 bulan, dengan bobot hidup rata-rata sekitar

1653,36±265,46 g/ekor dibagi menjadi 5 perlakuan ransum yaitu:

R0 = Pelet ransum komersil kelinci

R1 = Pelet Ransum komplit dengan 30% lamtoro + 0% I. zollingeriana

R2 = Pelet Ransum komplit dengan 20% lamtoro + 10% I. zollingeriana

R3 = Pelet Ransum komplit dengan 10% lamtoro + 20% I. zollingeriana

R4 = Pelet Ransum komplit dengan 0% lamtoro + 30% I. zollingeriana

Ternak dipelihara dalam kandang individu selama 7 minggu. Dua minggu

(20)

hingga kelinci mampu mengkonsumsi pakan yang akan diuji cobakan hingga 100%

(tidak ada sisa) tanpa mengalami penurunan konsumsi dan bobot badan. Kemudian

minggu ke-3 sampai ke-7 dilakukan pengamatan dan pengambilan data.

(R0) (R1)

(R2) (R3)

(R4)

Gambar 3. Pakan Perlakuan R0 = ransum komersil; R1 = 30% lamtoro, 0% I. zollingeriana; R2 = 20% lamtoro, 10% I. zollingeriana; R3 = 10% lamtoro, 20% I. zollingeriana; R4 = 30% I. zollingeriana

Pakan dan air minum diberikan ad libitum. Pemberian pakan dilakukan dua

kali sehari, pada pagi hari pukul 06.00 – 07.00 WIB dan sore hari pada pukul 16.00 – 17.00 WIB.

Koleksi Semen

Koleksi semen dilakukan pada akhir penelitian yaitu pada minggu ke-7

(21)

Penampungan dengan menggunakan vagina buatan yang dipancing menggunakan

kelinci betina dewasa. Semen yang sudah tertampung dalam tabung kemudian

diambil sampelnya untuk dideterminasi baik secara makroskopik maupun

mikroskopik.

Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Rancangan

Rancangan percobaan pada awal penelitian menggunakan Rancangan Acak

Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan dan 4 kelompok. Kelompok

dalam percobaan kali ini adalah bobot badan kelinci jantan New Zealand White yang

dibagi menjadi 4. Empat kelompok adalah jumlah kelinci jantan New Zealand White

untuk masing-masing perlakuan yang merupakan perwakilan dari tiap kelompok.

Model matematika rancangan tersebut adalah sebagai berikut:

Analisis Data

Pada awalnya dianalisis dilakukan dengan sidik ragam sesuai dengan

rancangan percobaan, tetapi karena koefisien variasi data sangat tinggi (mencapai

95,5%) sehingga perbedaan nilai rataan tidak menunjukan perbedaan secara

signifikan secara statistik, sehingga analisis data dilakukan dengan menggunakan

menggunakan statistika deskriptif. Selain tingginya variasi antar perlakuan, terdapat

beberapa ekor individu kelinci yang tidak dapat menghasilkan semen, sehingga

jumlah sampel tidak memenuhi ketentuan untuk sidik ragam.

Peubah yang diamati

Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah pH, warna, volume,

konsistensi, gerakan massa, konsentrasi spermatozoa, persentase viabilitas,

persentase motilitas, abnormalitas, serta nilai HOS Test. Yij = µ + τi + ßj+ εij

Keterangan:  = rataan umum

i = efek perlakuan ke-i

ßj = efek kelompok ke-j

(22)

pH

Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan kertas indikator pH. Nilai

pH dapat diketahui melalui indikasi yang terlihat dari perubahan warna pada kertas

indikator pH tersebut.

Gerakan Massa

Pemeriksaan gerakan massa dilakukan dengan cara satu tetes semen diletakan

pada object glass yang bersih dan hangat (jangan terlalu cembung supaya cahaya

mikroskop dapat menembus semen). Preparat yang sudah jadi kemudian diamati

menggunakan mikroskop dengan pembesaran 10 kali terhadap pergerakan massa

spermatozoa. Spermatozoa mendapat nilai (-) jika tidak ada gerakan, (-/+) jika ada

sangat sedikit gerakan, (+) jika ada sedikit gerakan, (+/++) jika terjadi gerakan yang

agak besar, (++) jika terjadi gelombang gerakan yang besar, (++/+++) jika terjadi

gelombang besar yang hampir menyerupai gumpalan awan yang menggulung dan

(+++) jika terjadi gerakan seperti awan yang menggulung.

Volume

Pengamatan volume dilakukan dengan cara pengamatan langsung pada

tabung penampung semen yang memiliki skala. Semen ditampung seluruhnya dalam

tabung penampung yang bermulut lebar untuk sekali ejakulasi kemudian volume di

dalam tabung diukur dengan gelas ukur yang mempunyai skala volume 0,1 ml

kemudian dibaca hasil yang ditunjukan oleh skala.

Kekentalan (konsistensi)

Kekentalan diukur dengan cara memiringkan tabung sebesar 45o kemudian

ditegakkan kembali ke posisi semula, dilihat dari kecepatan ejakulat kembali pada

posisi semula. Ejakulat memiliki nilai kental (K) jika waktu kembali ke posisi semula

sangat lambat, ejakulat memiliki nilai sedang (S) jika waktu kembali ke posisi

semula lambat dan ejakulat memiliki nilai encer (E) jika waktu kembali ke posisi

(23)

Warna

Semen yang ada di dalam tabung reaksi diamati dengan menggunakan latar

belakang putih dan dilakukan di tempat yang mempunyai penerangan cukup. Warna

ejakulat terdiri dari tiga warna, yaitu: putih (P), krem (C), dan krem keputihan (C-P).

Konsentrasi spermatozoa

Konsentrasi spermatozoa merupakan jumlah spermatozoa yang terkandung

dalam setiap milliliter semen. Sebanyak 10 µl semen kelinci dicampurkan dengan

990 µl pengencer. Keduanya dicampurkan pada tabung eppendorf dengan

menggunakan mikropippet kemudian campuran dihomogenkan dengan memutar

tabung seperti angka 8. Campuran semen kemudian diambil sebanyak 8-10 µl dan

dimasukan ke counting chamber. Preparat kemudian diamati menggunakan

mikroskop dengan pembesaran 400 kali. Pada counting chamber (Neubauer

Chamber) dipilih 5 kotak besar kemudian di dalam masing-masing kotak besar

terdapat 16 kotak kecil.

Kemudian dihitung dengan menggunakan rumus :

Di mana

N = Jumlah spermatozoa yang ada di chamber (5 kotak besar yang terdapat 16 kotak

kecil)

FP = Faktor pengencer ( 100, 200, atau 500 )

„5‟ = Faktor koreksi di mana hanya 5 dari 25 kotak yang dihitung

10.000 = Faktor koreksi yang dibutuhkan karena di dalam cover slip .0001 ml per chamber.

Persentase motilitas

Persentase motilitas adalah perbandingan spermatozoa yang bergerak ke

depan (progresif) dibandingkan dengan jumlah spermatozoa yang diamati. Semen

diambil dengan pipet plastik kemudian diteteskan pada object glass sebanyak satu

tetes dan ditambahkan NaCl fisiologis sebanyak satu tetes. Campuran tersebut

ditutup dengan cover glass. Jumlah spermatozoa motil progresif diamati

menggunakan mikroskop listrik dengan pembesaran objektif 40 kali pada sepuluh

(24)

zig-zag. Penilaian yang diberikan dari angka 0% (tidak ada yang bergerak) sampai

dengan 100% (seluruh spermatozoa bergerak ke depan).

Viabilitas dan abnormalitas

Object glass yang bersih dan bebas lemak disiapkan sebanyak 3 buah.Pada

glass objek yang pertama diteteskan negrosin 2% sebanyak 1 tetes dan dicampurkan

semen sebanyak 8 tetes. Negrosin dan semen kemudian dihomogenkan. Kemudian

object glass kedua digunakan untuk mengambil sedikit campuran di ujungnya dan

diulas pada glass objek ketiga. Object glass ketiga kemudian dikeringkan di bunsen

selama 10-15 detik. Preparat ulas yang sudah dibuat diamati di mikroskop.

Spermatozoa yang masih hidup akan berwarna putih dan yang mati akan berwarna

merah. Pada pengamatan viabilitas dapat dilakukan pengamatan normalitas dan

abnormalitas.

HOS test (Tes keutuhan membran plasma spermatozoa)

Menurut Jeyendran dan Zaneveld (1986), pembuatan larutan HOS test

dilakukan dengan mencampurkan 2,7 g fruktosa yang dilarutkan ke dalam 100 ml

aquadest dengan 1,47 g natrium sitrat yang dilarutkan ke dalam 100 ml aquadest.

Kemudian larutan hipoosmotik dimasukan kedalam tabung effendorf sebanyak 0,35

ml dan semen kelinci sebanyak 0,05 ml. Campuran kemudian diinkubasikan dalam

incubator dengan temperature 37 oC selama 30 menit. Setelah diinkubasikan

campuran tersebut diteteskan pada glass objek dan ditutup dengan cover glass.

Kemudian diamati dengan mikroskop pembesaran 450 kali. Spermatozoa yang

memiliki membran utuh pada bagian ekor akan terlihat melengkung sedangkan

(25)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum

Selama penelitian rataan suhu dan kelembaban harian kandang berturut-turut

28,3o C dan 91,3% yang masih dalam kisaran normal untuk hidup kelinci. Adapun

suhu dan kelembaban pada saat penampungan dan evaluasi adalah 25,5o C dan 84%.

Kondisi tersebut diasumsikan tidak mempengaruhi kondisi spermatozoa karena

masih dalam kondisi normal suhu kamar.

Pada penelitian ini terdapat beberapa ekor kelinci yang mengalami penyakit

scabies. Pemberian obat antibiotik secara injeksi subkutan dilakukan pada tiga ekor

kelinci perlakuan R2 dan R3. Terdapat juga dua ekor kelinci yang mengalami luka di

bawah telapak kakinya yang selanjutnya diberi obat penyembuh luka guna mencegah

terjadinya infeksi lebih lanjut. Selama penelitian pada masa adaptasi terjadi kematian

dua ekor kelinci. Faktor perbedaan cuaca dan pakan menjadi penyebab utama, hal ini

karena kelinci penelitian didatangkan dari Kota Bandung yang suhu umum

rata-ratanya lebih rendah dibandingkan Kota Bogor.

Bobot badan awal rata-rata kelinci yang digunakan dalam penelitian ini

adalah 1653,36±265,46 g/ekor. Penimbangan bobot badan dilakukan setiap seminggu

sekali dengan empat pengelompokan bobot badan. Rataan bobot badan pada saat

penampungan semen adalah 2010,10±300,18 g/ekor (Tabel 6).

Tabel 6. Rataan Bobot Badan Kelinci pada Saat Penampungan Semen

Perlakuan Rataan BB Minggu Ke-7 (gram/ekor)

R0 1898,25±398,27 zollingeriana; R2= Pelet 20% lamtoro dan 10% I. zollingeriana; R3= Pelet 10% lamtoro dan 20% I. zollingeriana; R4= Pelet 0% lamtoro dan 30% I. zollingeriana

Pemberian ransum R3 dan R4 cenderung meningkatkan PBB dan bobot

badan jika dibandingkan dengan pemberian ransum R0, R1 dan R2. Menurut

(26)

dibandingkan daun gamal, namun pemberian daun lamtoro dapat mengurangi

pertumbuhan bobot badan, konsumsi pakan, dan efisiensi pakan. Daun lamtoro

mengandung mimosin yang menyebabkan kerontokan dan reddish (urin berwarna

coklat) pada kelinci. Oleh karena itu penggunaan daun lamtoro dalam ransum

direkomendasikan tidak lebih dari 50% total ransum. Menurut Toelihere (1993),

nutrisi sangat mempengaruhi kualitas dan kuantitas semen yang dihasilkan.

Penampungan semen dilakukan pada akhir penelitian dengan menggunakan

vagina buatan. Namun terdapat 8 ekor kelinci yang menyebar pada 5 perlakuan tidak

dapat dilakukan penampungan semennya. Hal ini dapat disebabkan karena

kelinci-kelinci tersebut belum terbiasa dengan penampungan semen menggunakan vagina

buatan serta secara keseluruhan kelinci belum benar-benar mengalami dewasa

kelamin meskipun kelinci telah berumur 6 bulan. Dua diantara 8 ekor tersebut yaitu

pada perlakuan R1 perolehan data didapat dari semen yang diambil dari bagian

epididimis. Hal ini menunjukan bahwa produksi spermatozoa telah berlangsung

meskipun belum mampu berejakulasi saat ditampung.

Kualitas Makroskopik Semen

Kualitas makroskopik semen yang diamati pada penelitian ini antara lain

volume, pH, konsistensi dan warna semen.

Volume Semen

Pada penelitian ini terdapat 8 ekor kelinci yang menyebar pada 5 perlakuan

tidak dapat dilakukan penampungan semennya. Dua diantara 8 ekor tersebut yaitu

pada perlakuan R1 perolehan data didapat dari semen yang diambil dari bagian

epididimis. Nilai rataan volume semen dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 menunjukkan nilai rataan volume pada kelinci yang diberi perlakuan

R0 memiliki nilai rataan volume semen relatif lebih tinggi dibandingkan dengan

perlakuan R1, R2, R3 dan R4. Hal ini kemungkinan berhubungan dengan nutrisi

yang dikandung masing-masing pelet perlakuan. Menurut Toelihere (1993), nutrisi

sangat mempengaruhi kualitas dan kuantitas semen yang dihasilkan. Hafez dan

Hafez (2000) menyatakan, volume ejakulat kelinci berkisar antara 0,4-0,6 ml.

Volume ejakulat kelinci sebanyak 0,5-1,5 ml dengan jumlah spermatozoa per

(27)

Tabel 7. Nilai Rataan Volume Semen

Perlakuan Nilai Rataan volume (ml)

R0 1,52±1,28

R1 0,55

R2 0,58±0,11

R3 0,18±0,10

R4 0,27±0,21

Keterangan : R0= Pelet 0% lamtoro dan 0% I. zollingeriana; R1= Pelet 30% lamtoro dan 0% I. zollingeriana; R2= Pelet 20% lamtoro dan 10% I. zollingeriana; R3= Pelet 10% lamtoro dan 20% I. zollingeriana; R4= Pelet 0% lamtoro dan 30% I. zollingeriana

Kisaran volume pada perlakuan R0 adalah 0,07-2,5 ml, pada perlakuan R1

hanya terdapat satu sampel volume yaitu sebesar 0,55 ml sehingga tidak terdapat

nilai standar deviasi, pada perlakuan R2 kisaran volumenya adalah 0,5-0,65 ml,

sedangkan kisaran volume pada perlakuan R3 dan R4 berturut-turut adalah 0,1-0,3

ml dan 0,1-0,5 ml. Kisaran volume semen yang diperoleh cenderung lebih rendah

jika dbandingkan dengan rataan volume semen yang didapat oleh penelitian

terdahulu mengenai pengaruh karakter plasma semen terhadap reproduksi kelinci

betina yaitu sebesar 0,67 ml pada kelinci New Zealand White (Brun et al., 2002).

Selain faktor nutrisi, volume ejakulat juga dipengaruhi oleh kelenjar assesorius yang

dipengaruhi oleh umur dewasa kelamin kelinci-kelinci tersebut. Plasma semen

dihasilkan sebagian besar oleh kelenjar vasikularis dan sisanya oleh cairan dari testis

dan prostate. Plasma semen sebagai komponen semen disamping spermatozoa,

dibuat pada jaringan kelamin sekunder termasuk diantaranya adalah epididimis vas

deferent, ampula, kelenjar vesikularis, prostat dan cowper. Oleh karena itu, volume

semen sangat dipengaruhi oleh aktivitas jaringan pada kelenjar-kelenjar tersebut

(Elya et al., 2010).

Tidak adanya respon yang signifikan dalam mempengaruhi volume semen,

menunjukkan bahwa pemberian pelet ransum komplit berbasis daun I. zollingeriana

dan daun lamotoro sampai 30% berpengaruh baik pada kelenjar seks aksesori kelinci

(28)

pH Semen

Nilai pH dipengaruhi oleh komposisi cairan yang terdapat dalam semen yang

sebagian besar berasal dari kelenjar pelengkap. Semakin banyak cairan dari kelenjar

pelengkap, maka semakin tinggi pH semen. Nilai pH semen kelinci rata-rata 6,9 zollingeriana; R2= Pelet 20% lamtoro dan 10% I. zollingeriana; R3= Pelet 10% lamtoro dan 20% I. zollingeriana; R4= Pelet 0% lamtoro dan 30% I. zollingeriana

Nilai rataan pH pada kelinci dengan perlakuan R0 adalah 6,7, pada perlakuan

R1 didapat kisaran nilai pH antara 6,4-7,5. Pada perlakuan R2 nilai pH berkisar

antara 6,7-7, sedangkan kisaran nilai pH pada perlakuan R3 dan R4 berturut-turut

adalah 6,4-7,5 dan 6,7-7,7. Kisaran pH semen yang diperoleh cenderung sama jika

dbandingkan dengan rataan pH semen yang didapat oleh penelitian terdahulu

mengenai pengaruh karakter plasma semen terhadap reproduksi kelinci betina yaitu

sebesar 7,18 pada kelinci New Zealand White (Brun et al., 2002). Menurut Yousef et

al. (2000), pH kelinci New Zealand White yang diberi penambahan vitamin E (1,0

g/l), vitamin C (1,5 g/l) serta kombinasi keduanya (1 g/l vitamin E dan 1,5 g/l )

dalam air minum masing-masing adalah sebesar 8,0; 8,1 dan 8,1.

Nilai pH semen juga ditentukan oleh aktivitas kelenjar assesorius. pH semen

ditentukan oleh keseimbangan kation dan anion yang terdapat dalam struktur kimia

yang terkandung dalam kelenjar assesorius. Tidak terdapatnya perubahan yang nyata

pada volume serta pH semen berarti bahwa kelenjar assesorius masih bisa bekerja

(29)

Kekentalan Semen

Konsistensi semen sangat dipengaruhi oleh konsentrasi spermatozoa yang terkandung di dalam semen, semakin banyak jumlah spermatozoa di dalam semen,

maka konsistensi semen akan semakin kental (Sansone, 2000). Hasil pengamatan

konsistensi dapat dilihat pada Tabel 9. zollingeriana; R2= Pelet 20% lamtoro dan 10% I. zollingeriana; R3= Pelet 10% lamtoro dan 20% I. zollingeriana; R4= Pelet 0% lamtoro dan 30% I. zollingeriana

`

Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa kelinci yang diberi pelet ransum R0

memiliki konsistensi yang encer (E). Sedangkan pada kelinci yang diberi pelet

ransum R1 didapatkan dua kelompok kelinci dengan konsistensi kental (K) dan

konsistensi encer (E). Hal ini dapat disebabkan bahwa rataan konsentrasi

spermatozoa pada pelet ransum R1 lebih tinggi yaitu sebesar 826,25 x 106/ml

dibandingkan dengan rataan konsentrasi spermatozoa pada ransum R0 yaitu sebesar

345 x 106/ml. Konsistensi yang kental pada ransum R1 juga disebabkan pengambilan

sampel yang diperoleh langsung dari epididimis sehingga akan menghasilkan

substansi berupa lendir yang bersifat licin dan kental.

Warna Semen

Warna semen sangat dipengaruhi oleh konsentrasi spermatozoa yang

terkandung di dalam semen. Semakin keruh biasanya jumlah spermatozoa

per-mililiter semen semakin banyak (Partodihardjo, 1982). Semen normal memiliki

warna seperti susu atau krem keputih-putihan dan keruh (Toelihere, 1981). Hasil

(30)

Tabel 10. Hasil Pengamatan Warna Semen zollingeriana; R2= Pelet 20% lamtoro dan 10% I. zollingeriana; R3= Pelet 10% lamtoro dan 20% I. zollingeriana; R4= Pelet 0% lamtoro dan 30% I. zollingeriana

Dari Tabel 10 dapat dilihat bahwa secara umum kelinci menghasilkan

ejakulat dengan warna terbanyak putih (P) kemudian diikuti dengan warna krem

serta krem keputihan. Warna tersebut merupakan warna semen kelinci normal. Hal

ini menunjukan bahwa kelinci yang diberi ransum R0, R1, R2, R3, dan R4 tidak

memberikan pengaruh nyata terhadap warna semen kelinci. Semen normal tampak

putih kelabu homogen. Semen tampak jernih jika jumlah sperma terlalu sedikit atau

tampak coklat jika ada sel darah merah (Elya et al., 2010).

Kualitas Mikroskopik Semen

Kualitas mikroskopik semen yang diamati pada penelitian ini antara lain

gerakan massa, konsentrasi spermatozoa, persentase motilitas, persentase viabilitas,

persentase abnormalitas dan persentase nilai HOS Test. Nilai rataan persentase

motilitas, viabilitas dan Abnormalitas disajikan pada Lampiran 1.

Gerakan Massa Semen

Spermatozoa dalam suatu kelompok memiliki kecenderungan untuk bergerak

bersama-sama ke satu arah dan membentuk gelombang-gelombang yang tebal atau

tipis, bergerak cepat atau lambat tergantung dari konsentrasi spermatozoa hidup di

dalamnya. Semakin besar pergerakan gelombang yang terjadi, semakin tinggi

motilitas spermatozoa. Hasil pemeriksaan gerakan massa dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 dapat menunjukkan bahwa semen kelinci yang diberi ransum R1,

R3 dan R4 saja yang memiliki gerakan massa dengan gelombang gerakan yang besar

(31)

baik jika dibandingkan dengan semen dengan gerakan massa sedikit (+). Hal ini

menunjukkan bahwa spermatozoa memiliki motilitas dan konsentrasi yang baik.

Tabel 11. Hasil Pengamatan Gerakan Massa

Keterangan: 1. R0 = ransum komersil; R1 = 30% lamtoro + 0% lamtoro; R2 = 20% lamtoro+10% I. zollingeriana; R3 = 10% lamtoro+20% I. zollingeriana; R4 = 30% I. zollingeriana

+0% lamtoro

2. - = tidak ada gerakan; + = terjadi sedikit gerakan; ++ = terjadi gelombang gerakan yang besar; T.A.S = Tidak Ada Sampel

Perbedaan gerakan massa pada kelinci perlakuan terjadi akibat perlakuan

yang diberikan. Pada perlakuan R1, terdapat gerakan massa dengan gelombang

gerakan yang besar, akan tetapi data ini diperoleh pada kelinci perlakuan R1 yang

pengambilan semennya langsung dari saluran epididimis. Ada kecenderungan

pemberian pakan dengan taraf I. zollingeriana yang tinggi dapat memberikan

pengaruh baik pada gerakan massa semen kelinci. Hal ini diduga karena ransum yang

mengandung daun lamtoro dengan taraf 20% dan 30% masih mengandung zat anti

nutrisi mimosin pada pakan pelet tersebut.

Pengaruh yang merugikan daun lamtoro pada sapi dapat menyebabkan

gondok (Jones et al., 1976), menurunnya fertilitas dan penyusutan berat lahir

(Hamilton et al., 1971; Helmes, 1980). Uji ini dilakukan di Australia dan Papua New

Guinia dengan menggembalakan sapi-sapi percobaan padang lamtoro, sementara itu

kerontokan bulu dan anak-anak yang dilahirkan berkurang terjadi pula pada kelinci

yang diberi pakan daun lamtoro (Ruskin, 1984). Penelitian lain menyatakan,

pemberian tepung daun lamtoro 15% menyebabkan terhambatnya kemampuan

bereproduksi. Terbukti tikus betina menjadi infertil, prenatal dan pada tikus jantan

libido serta fertilitasnya turun setelah diberi pakan mengandung daun lamtoro (Joshi,

(32)

Konsentrasi Spermatozoa

Konsentrasi spermatozoa berkisar 0,1-1,0 ml juta dan persentase motilitas

berkisar 40%-80%. Volume ejakulat untuk kelinci ras New Zealand White 0,86 ml

dengan konsentrasi spermatozoa sebesar 0,31 x 106 / µl dan persentase motilitas

sebesar 55%. Data ini diperoleh pada pengambilan sampel sebanyak 45 sampel

(Paufler et al., 1974).

Kisaran nilai konsentarasi spermatozoa pada kelinci yang diberi perlakuan R0

adalah 277,5 x 106-412,4 x 106, pada perlakuan R1 didapat kisaran nilai konsentrasi

spermatozoa antara 180 x 106/ml – 1472,5 x 106/ml. Pada perlakuan R2 nilai kisaran konsentrasi spermatozoa berkisar antara 182 x 106/ml – 860 x 106/ml, sedangkan kisaran nilai konsentrasi spermatozoa pada perlakuan R3 dan R4 berturut-turut

adalah 112,5 x 106/ml– 592,5 x 106/ml dan 372,5 x 106 /ml– 2375 x 106/ml. Kisaran konsentrasi spermatozoa yang diperoleh cenderung lebih rendah jika dbandingkan

dengan rataan konsentrasi spermatozoa yang didapat oleh penelitian terdahulu

mengenai pengaruh karakter plasma semen terhadap reproduksi kelinci betina yaitu

sebesar 403 x 106/ml pada kelinci New Zealand White (Brun et al., 2002). Hal ini

kemungkinan terdapat perbedaan umur kelinci pada penelitian terdahulu dengan

penelitan ini.

Gambar 4. Diagram Rataan Konsentrasi Spermatozoa (106/ml).

Keterangan: R0 = ransum komersil; R1 = 30% lamtoro, 0% I. zollingeriana; R2 = 20% lamtoro, 10% I. zollingeriana; R3 = 10% lamtoro, 20% I. zollingeriana; R4 = 30% I. zollingeriana

Gambar 4 menunjukkan lebih jelas bahwa rataan konsentrasi spermatozoa

pada R0 relatif lebih rendah dibandingkan dengan konsentrasi spermatozoa pada

perlakuan ransum lainnya walaupun diketahui pemberian perlakuan R0 memiliki

(33)

penelitian lainnya. Hal ini cenderung disebabkan karena protein ransum R0 lebih

rendah yaitu sebesar 15,74% sedangkan kisaran protein ransum untuk R1 sampai R4

berkisar antara 17,94%-21,06%. Protein merupakan zat yang berperan dalam

pertumbuhan dan pembentukan tubuh, termasuk di dalamnya pembentukan sel

kelamin (spermatogenesis). Namun, rataan konsentrasi spermatozoa tersebut masih

sesuai dengan kisaran konsentrasi spermatozoa kelinci. Menurut Morrow (1986),

volume ejakulat kelinci sebanyak 0,5-1,5 ml dengan jumlah spermatozoa per ejakulat

sebesar 10-1000 x 106. Yousef et al. (2000) menyatakan, konsentrasi spermatozoa

kelinci New Zealand White yang diberi penambahan vitamin E (1,0 g/l), vitamin C

(1,5 g/l) serta kombinasi keduanya (1 g/l vitamin E dan 1,5 g/l ) dalam air minum

masing-masing adalah sebesar 336 x 106/ml, 332 x 106/ml, 332 x 106/ml.

Selain faktor nutrisi, konsentrasi spermatozoa juga dipengaruhi oleh kadar

hormon testosteron. Kadar testosteron yang tinggi menyebabkan terjadinya

mekanisme umpan balik negatif terhadap hipotalamus dan hipofisis. Testosteron

akan menghambat hipotalamus untuk menghasilkan GnRH sehingga kadar GnRH

turun dan menghambat hipofisis anterior untuk menghasilkan FSH dan LH. Bila FSH

turun maka terjadi gangguan pada sel sertoli yang menyebabkan berkurangnya

zat-zat makanan yang diperlukan untuk proliferasi, diferensiasi serta memelihara sel-sel

spermatogenik (Steven et al., 1974). Apabila kadar LH turun maka testosteron yang

dihasilkan juga berkurang. Kadar FSH dan testosteron yang rendah akan

menyebabkan proses spermatogenesis terganggu, akibatnya jumlah spermatozoa

yang dihasilkan menurun.

Rataan konsentrasi tertinggi terdapat pada perlakuan yang diberi ransum R4

(Gambar 4). Hal ini juga dibuktikan dengan terdapatnya konsistensi sedang pada

kelompok perlakuan R4 dengan pengambilan sampel yang menggunakan vagina

buatan. Rataan konsentrasi tertinggi berikutnya ada pada perlakuan R1, dimana

pemberian pelet ransum komplit yang mengandung 30% daun lamtoro mampu

memberikan efek positif terhadap peningkatan konsentrasi spermatozoa per

ejakulatnya. Pemberian daun lamtoro dengan level 100-300 g/ekor/hari secara

signifikan mampu meningkatkan konsentrasi spermatozoa domba di daerah tropis

(34)

Meningkatnya konsentrasi spermatozoa umumnya dianggap bermanfaat

karena memungkinkan inseminasi dari sejumlah besar betina (Foote, 1980). Saat

kawin alam konsentrasi spermatozoa yang lebih tinggi memastikan masuknya

spermatozoa lebih ke dalam serviks dan kemudian ke saluran telur, sehingga

meningkatkan kesempatan terjadinya pembuahan (Garner dan Hafez, 1980).

Menurut Nadir et al. (1993), semakin tinggi konsentrasi, maka semakin besar pula

persaingan antara spermatozoa pada tempat pembuahan, sehingga mampu

meningkatkan kemungkinan sel telur yang dibuahi oleh sebuah spermatozoa yang

normal, memastikan inseminasi yang baik dan tingkat perkembangan embrio normal

berikutnya.

Motilitas Spermatozoa

Ciri utama spermatozoa adalah motilitas atau daya geraknya yang dijadikan

patokan atau cara yang paling sederhana dalam penilaian semen untuk inseminasi

buatan. Hal ini karena motilitas atau pergerakan spermatozoa memegang peranan

penting sewaktu pertemuannya dengan ovum. Motilitas juga digunakan sebagai

ukuran kesanggupan apermatozoa untuk membuahi (Toelihere, 1993).

Gambar 5. Diagram Rataan Motilitas Spermatozoa (%)

Keterangan: R0 = ransum komersil; R1 = 30% lamtoro, 0% I. zollingeriana; R2 = 20% lamtoro, 10%

I. zollingeriana; R3 = 10% lamtoro, 20% I. zollingeriana; R4 = 30% I. zollingeriana

Gambar 5 menunjukkan bahwa rataan motilitas sperma pada perlakuan yang

diberi ransum R0 relatif lebih rendah dibandingkan dengan rataan motalitas sperma

pada perlakuan lainnya. Secara umum motilitas spermatozoa yang diperoleh sangat

rendah jika dibandigkan dengan karakteristik seminal kelinci oleh Paufler et al.

(35)

lebih rendah jika dbandingkan dengan rataan motilitas yang didapat pada penelitian

terdahulu mengenai pengaruh karakter plasma semen terhadap reproduksi kelinci

betina yaitu sebesar 71% pada kelinci New Zealand White. Pentingnya memilih

persentase motilitas sebelum melakukan inseminasi, karena hal ini berkaitan dengan

kesuburan (Brun et al., 2002).Rendahnya persentase motilitas yang diperoleh dapat

disebabkan kelinci yang belum dewasa kelamin sehingga spermatozoa yang

terbentuk tidak dapat bergerak secara progresif.

Viabilitas

Persentase hidup spermatozoa menggambarkan spermatozoa yang hidup pada

saat dicampur dengan zat warna yang menyebabkan perbedaan afinitas zat warna

antara sel-sel spermatozoa yang mati dan hidup (Hafez dan Hafez, 2000).

Spermatozoa yang mati akan menyerap warna sedangkan spermatozoa yang hidup

tidak atau sedikit sekali menyerap warna.

Gambar 6. Diagram Rataan Viabilitas Spermatozoa (%)

Keterangan: R0 = ransum komersil; R1 = 30% lamtoro, 0% I. zollingeriana; R2 = 20% lamtoro, 10%

I. zollingeriana; R3 = 10% lamtoro, 20% I. zollingeriana; R4 = 30% I. zollingeriana

Gambar 6 menunjukkan bahwa rataan viabilitas spermatozoa dari kelinci

yang diberi pelet ransum mengandung daun I. zollingeriana dan lamtoro mencapai di

atas 70%, kecuali viabilitas spermatozoa dari kelinci yang diberi ransum komersial.

Yang menunjukan nilai. Rataan spermatozoa tertinggi didapat pada kelinci yang

diberi perlakuan R2 dan R4, sedangkan kelinci yang mendapat perlakuan R1 dan R3

tidak mengalami penurunan yang signifikan. Pemberian semua pakan perlakuan

memberikan pengaruh yang tidak berbeda terhadap nilai persentase viabilitas. Hal

tersebut menunjukkan bahwa nilai persentase viabilitas kelinci yang diberi perlakuan

(36)

ditentukan oleh keutuhan membran plasma dan kemampuan sistem transport

membran. Selain itu juga kelangsungan hidup spermatozoa juga dipengaruhi oleh

sekresi epididimis antara lain karnitin, fosfatidilkholin (Kaur et al., 1991; Brooks et

al., 1974).

Abnormalitas

Persentase abnormalitas menggambarkan spermatozoa yang hidup namun

tidak memiliki bentuk yang sempurna seperti tidak adanya ekor, ekor kriting dan

ekor tidak lurus.

Gambar 7. Diagram Rataan Abnormalitas Spermatozoa (%)

Keterangan: R0 = ransum komersil; R1 = 30% lamtoro, 0% I. zollingeriana; R2 = 20% lamtoro, 10%

I. zollingeriana; R3 = 10% lamtoro, 20% I. zollingeriana; R4 = 30% I. zollingeriana

Nilai abnormalitas spermatozoa dapat dilihat pada Gambar 7, yang

menunjukan adanya kecenderungan penurunan nilai persentasenya jika kelinci diberi

pelet yang mengandung daun Indigofera zollingeriana dan/atau lamtoro. Nilai

abnormalitas spermatozoa secara relatif mengalami penurunan jika kandungan

Indigofera pada pelet ditingkatkan, dibandingkan dengan peningkatan daun lamtoro.

Penurunan nilai abnormalitas spermatozoa akibat pemberian Indigofera merupakan

informasi baru yang positif, sehingga daun tanaman ini diduga dapat menjadi salah

satu komponen pakan yang berperan penting untuk program pembibitan kelinci.

Tingginya persentase abnormalitas pada spermatozoa disebabkan spermatogenesis

yang belum sempurna dan akibat perlakuan di laboratorium. Selama abnormalitas

spermatozoa belum mencapai 20% dari contoh semen, maka semen tersebut masih

dapat dipakai untuk inseminasi (Toelihere, 1981).

Abnormalitas terjadi terutama karena bengkok atau ekor melingkar, yang

(37)

Hafez, 1980). Proporsi yang lebih tinggi pada kelainan ini mungkin disebabkan

gangguan pada fungsi epididimis karena level hormon testosteron yang di bawah

normal (Hainonen, 1989). Produksi hormon ini dinyatakan serius sebagai akibat

dari pakan berkualitas rendah dalam waktu lama (Parker dan Thwaites, 1972).

HOS Test

Spermatozoa yang memiliki membran utuh pada bagian ekor akan terlihat

melengkung sedangkan spermatozoa yang tidak mempunyai membran pada bagian

ekor akan terlihat lurus.

Gambar 8. Diagram Rataan Nilai HOS Test (%)

Keterangan: R0 = ransum komersil; R1 = 30% lamtoro, 0% I. zollingeriana; R2 = 20% lamtoro, 10%

I. zollingeriana; R3 = 10% lamtoro, 20% I. zollingeriana; R4 = 30% I. zollingeriana

Membran plasma spermatozoa mengalami proses pematangan di dalam

epididimis yang antara lain berupa perolehan enzim membran plasma. (Kaur et al.,

1991; Brook et al., 1974). Fungsi normal membran plasma spermatozoa adalah

melindungi spermatozoa dan mempertahankan daya hidupnya.

Gambar 8 menunjukkan bahwa rataan nilai HOS Test tertinggi secara relatif

terdapat pada semen kelinci yang diberi perlakuan R3 dan R4. Hal ini dapat

dimaknai bahwa semen yang diberi perlakuan R3 dan R4 memiliki persentase

membran plasma utuh relatif lebih tinggi dibandingkan dengan semen yang diberi

perlakuan lain. Secara relatif perlakuan R2 memiliki nilai rataan membrane plasma

utuh paling rendah. Hal ini dapat disebabkan proses pematangan di dalam epididimis

yang tidak sempurna pada kelinci yang diberi perlakuan R2. Rataan konsumsi pelet

pada kelinci perlakuan R2 juga lebih rendah yaitu sebesar 73,86 g/ekor/hari jika

dibandingkan dengan perlakuan R0, R1, R3 dan R4 masing-masing sebesar 84,14

(38)

konsumsi pakan juga akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas spermatozoa.

Menurut Hafez dan Hafez (2000), bahwa kualitas dan kuantitas spermatozoa yang

dihasilkan dipengaruhi oleh makanan, suhu dan musim, frekuensi ejakulasi dan

libido, penyakit dan benih penyakit, pengangkutan, umur, hereditas dan gerak badan.

Pentingnya membran dalam menjaga integritas baik biokimia dan struktur

spermatozoa adalah baik diketahui (Cabrita et al., 1999). Ketika terkena solusi

hypoosmotic, biokimia-aktif spermatozoa meningkatkan volume mereka dalam

rangka membangun keseimbangan antara cairan kompartemen dalam spermatozoa

dan ekstraseluler lingkungan. Pembengkakan menyebabkan perubahan baik ukuran

sel dan bentuk yang dapat dievaluasi dengan menggunakan mikroskop fase kontras

(Cabrita et al., 1999). Proses pembengkakan ini memuncak dalam mempromosikan

perluasan membran sel meliputi ekor, sehingga memaksa flagela untuk membentuk

kumparan di dalam membran. Melingkarnya ekor dimulai pada ujung distal ekor

dan melanjutkan jalannya menuju bagian tengah kepala sebagai tekanan osmotik dari

(39)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Pelet ransum komplit mengandung daun Indigofera zollingeriana dan

lamtoro (Leucaena leucocephala) tanpa kombinasi cenderung menghasilkan kualitas

spermatozoa lebih baik dibandingkan dengan pelet ransum komersil. Sedangkan,

kombinasi daun Indigofera zollingeriana dan lamtoro dalam pelet ransum komplit

menghasilkan rataan persentase kualitas spermatozoa yang bervariasi.

Saran

Pelet ransum komplit berbasis daun Indigofera zollingeriana dan lamtoro

dengan taraf yang berbeda berpeluang untuk digunakan sebagai pellet ransum untuk

program pembibitan kelinci, karena relatif menghasilkan kualitas sperma lebih baik.

Variasi data yang tinggi perlu dieliminasi dengan melalui pengambilan sperma dalam

(40)

KUALITAS SPERMATOZOA KELINCI PERANAKAN

NEW

ZEALAND WHITE

YANG DIBERI PELET RANSUM KOMPLIT

MENGANDUNG DAUN

Indigofera zollingeriana

DAN

Leucaena leucocephala

SKRIPSI DONA MARINA

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

Gambar

Tabel 1. Kebutuhan Nutrisi Kelinci
Gambar 2. Kandang Kelinci penelitian
Tabel 4. Komposisi Bahan Makanan Ransum Penelitian (% BK)
Gambar 3. Pakan Perlakuan R0 = ransum komersil; R1 = 30% lamtoro, 0% I. zollingeriana; R2 =
+5

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai bahan masukan dan evaluasi bagi pihak manajemen Sekolah Dasar High/Scope Indonesia Medan, untuk mengetahui pengaruh variabel lokasi, harga, kualitas pendidikan, dan

Pada pemeriksaan RT-PCR untuk deteksi virus Dengue-3 pada nyamuk yang diin- feksi secara intrathorakal, terdapat variasi dalam volume RNA virus yang digunakan dan juga

Ada hubungan antara kebiasaan mencuci tangan sebelum makan, kebiasaan makan di luar rumah, frekuensi makan, dan kepemilikan tempat sampah dengan kejadian demam

effective if they are personalised.” It is assumed that when the students write their own vocabulary by themselves, they will remember those words for a long

Fais (2009: 127) menetapkan masalah mutu layanan kesehatan dapat dikenali dengan berbagai cara antara lain: Melalui pengamatan langsung terhadap petugas kesehatan

efektivitas pemberian umpan balik ( feedback ) tes hasil belajar siswa kelas XI IPS pada mata pelajaran ekonomi yang dilakukan di SMA Islam Bawari Pontianak dapat

Character education in schools to be effective because, (a) the basic values of the characters from the culture of the school, family and society, (b) the character education

Produk yang memiliki citra merek yang baik, kuat dan positif cinderung lebih mudah di terima oleh masyarakat atau konsumen serta dapat memenuhi kebutuhan dan