• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Masalah Gizi Kurang Kaitannya dengan Kebijakan dan Program Ketahanan Pangan dan Perbaikan Gizi di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perkembangan Masalah Gizi Kurang Kaitannya dengan Kebijakan dan Program Ketahanan Pangan dan Perbaikan Gizi di Indonesia"

Copied!
201
0
0

Teks penuh

(1)

PERKEMBANGAN MASALAH GIZI KURANG KAITANNYA

DENGAN KEBIJAKAN DAN PROGRAM KETAHANAN PANGAN

DAN PERBAIKAN GIZI DI INDONESIA

ANAK AGUNG AYU WIDI UTARI

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(2)

ABSTRACT

ANAK AGUNG AYU WIDI UTARI. Trend of Malnutrition in Relation with the Food and Nutrition Security Policy and Program in Indonesia. Under supervision of DRAJAT MARTIANTO and YEKTI HARTATI EFFENDI.

Malnutrition, especially severe underweight among under-five years old children is a complex issue in the sense influenced by various aspects, as explained in the framework of UNICEF (1998). The study was aimed to examine development of malnutrition among under-five years old children in Indonesia and associate it with the development of food security policy and nutrition improvement program. A descriptive study designed was implemented and a set of secondary data was used in the study. Data gathering was conducted at corresponding institutions. Data was analyzed using Microsoft Excell 2007 for Windows and Statistical Program for Sosial Sciences (SPSS) 16.0 version. The result showed that the the prevalence of malnutrition has decreased from 37.5% in 1989 to 17.9% in 2010. Policies and programmes for food security and nutrition improvement have been developed over 35 years of the period of Repelita III, IV Repelita V Repelita VI Repelita, Propenas, RPJMN 2004-2009, RPJMN 2010-2014, and RANPG 2011-2015. During Repelita III (1979-1983), the goal is to achieve self-sufficiency and Repelita VI, food self-sufficiency achieved in 1984. In the period Repelita VI (1994-1998), the target prevalence of PEM (Protein Energy Malnutrition) under-five years old children 30%, and has been reached at the end of Repelita VI 20.7%. In the period Propenas (1999-2004), the target prevalence of malnutrition children 20%, but at the end Propenas this target was not achieved because of the prevalence 27.5%. In RPJMN period (2004-2009) the prevalence of malnutrition among under-five years old children target is 20% and has been reached at 17.9% by the year 2010. Compared with the MDGs by 2015, at 18.5%, the target was exceeded. Trend of present malrition problem are stunting and overweight among under-five years old children.

(3)

RINGKASAN

ANAK AGUNG AYU WIDI UTARI. Perkembangan Masalah Gizi Kurang Kaitannya dengan Kebijakan dan Program Ketahanan Pangan dan Perbaikan Gizi di Indonesia. Dibimbing oleh DRAJAT MARTIANTO dan YEKTI HARTATI EFFENDI.

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis perkembangan masalah gizi kurang kaitannya dengan kebijakan dan program ketahanan pangan dan perbaikan gizi di Indonesia. Tujuan khususnya yaitu mempelajari: (1) perkembangan masalah gizi kurang di Indonesia, (2) kebijakan dan program pemerintah dalam mendukung pembangunan ketahanan pangan dan perbaikan gizi di Indonesia, (3) keterkaitan prevalensi gizi kurang dengan parameter pembangunan ekonomi dan sosial (tingkat kemiskinan, PDB/kapita, dan rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas), (4) keterkaitan prevalensi gizi kurang dengan parameter pembangunan kesehatan lingkungan (proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum layak dan proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sanitasi yang layak), (5) keterkaitan prevalensi gizi kurang dengan parameter pembangunan pelayanan kesehatan dasar (jumlah posyandu dan cakupan imunisasi lengkap), (6) keterkaitan prevalensi gizi kurang dengan persentase anggaran program perbaikan gizi terhadap anggaran departemen kesehatan dan (7) tren masalah gizi terkini dan kaitannya dengan kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi. Penelitian ini menggunakan desain studi deskriptif. Penelitian dilakukan dengan mengolah data sekunder yang berasal dari berbagai instansi terkait. Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai Juli 2011 di Bogor, Jawa Barat.

Data-data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder, terdiri dari status gizi balita di Indonesia, akses air minum layak, akses sanitasi layak, cakupan imunisasi lengkap, jumlah posyandu, tingkat kemiskinan di Indonesia, rata-rata lama sekolah penduduk, dokumen kebijakan dan program ketahanan pangan dan gizi (Repelita, Propenas, RPJMN, RANPG) di Indonesia selama tiga puluh lima tahun terakhir (1980-2015).

Data-data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara statistik deskriptif dengan menggunakan Microsoft Excel 2007 for Windows dan Statistical Program for Sosial Sciences (SPSS) versi 16.0. Pengolahan data status gizi balita dilakukan yakni dengan cara analisis tren terhadap variabel yang diteliti antar waktu selama tiga puluh tahun terakhir yaitu, tingkat kemiskinan, PDB/kapita, rata-rata lama sekolah penduduk, akses air minum layak, akses sanitasi layak, jumlah posyandu, cakupan imunisasi lengkap, dan alokasi anggaran perbaikan gizi.

Analisis yang digunakan untuk menganalisis kebijakan dan program ketahanan pangan dan perbaikan gizi dilakukan secara deskriptif dengan metode content analysis (metode analisis isi). Penggunaan analisis isi untuk memilah program/kegiatan dan indikator-indikator apa saja yang dijadikan arah kebijakan pada periode Repelita III-VI, Propenas 1999-2004, RPJMN 2004-2009, RPJMN 2010-2014 dan RANPG 2011-2015. Dengan demikian, penelitian ini akan menguraikan perbedaan atau perbandingan hasil analisis isi terhadap berbagai dokumen kebijakan tersebut terkait ketahanan pangan dan perbaikan gizi selama tiga puluh tahun lima terakhir (1980-2010).

(4)

atau sebanyak 2.4 juta jiwa balita menderita gizi buruk dari 21.5 juta balita. Prevalensi gizi buruk terendah terdapat pada tahun 2010, yaitu 4.9%, artinya terdapat 4.9% balita yang menderita gizi buruk di Indonesia pada tahun 2010.

Berbagai kebijakan dan program yang mendukung ketahanan pangan dan perbaikan gizi di Indonesia sejak Repelita III sampai RPJMN 2004-2009 berpengaruh terhadap perkembangan masalah gizi kurang pada balita. Penguatan produksi pangan terjadi selama periode Repelita III sampai Repelita IV dengan tercapainya swasembada pangan pada periode Repelita IV. Pada periode Repelita V sampai RepelitaVI kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi mulai banyak diarahkan pada distribusi dan konsumsi pangan. Selanjutnya pada periode Propenas 1999-2004, kebijakan ketahanan pangan dan gizi berorientasi pada pengamanan ketersediaan pangan, peningkatan diversifikasi pangan, meningkatkan distribusi pangan, dan mengembangkan kemandirian pangan. Sedangkan pada periode RPJMN 2004-2009, pemerintah

mempromosikan “Revitalisasi Pertanian” dengan upaya mencapai swasembada

beras maupun non beras melalui pangan alternatif seperti jagung dan singkong, disamping beras. Sedangkan kebijakan dan program perbaikan pada periode ini

terlihat semakin “kabur” karena pemerintah lebih mengakomodir hal-hal yang bersifat makro, seperti ketersediaan pangan, dll.

Hasil analisis hubungan antara prevalensi gizi kurang dengan parameter pembangunan ekonomi dan sosial menunjukkan bahwa : tidak terdapat hubungan yang signifikan antara prevalensi gizi kurang dengan tingkat kemiskinan, terdapat hubungan yang signifikan dan negatif antara prevalensi gizi kurang dengan PDB/kapita, dan tidak terdapat hubungan antara prevalensi gizi kurang dengan rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas. Hasil analisis hubungan antara prevalensi gizi kurang dengan parameter pembangunan kesehatan lingkungan menunjukkan bahwa : tidak terdapat hubungan yang signifikan antara prevalensi gizi kurang dengan proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap air minum layak dan terdapat hubungan yang signifikan dan negatif antara prevalensi gizi kurang dengan proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi layak. Hasil analisis hubungan antara prevalensi gizi kurang dengan parameter pembangunan kesehatan dasar menunjukkan bahwa : tidak terdapat hubungan antara prevalensi gizi kurang dengan dengan jumlah posyandu dan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara prevalensi gizi kurang dengan cakupan imunisasi lengkap. Hasil analisis hubungan antara prevalensi gizi kurang dengan anggaran perbaikan gizi menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat kuat dan signifikan antara prevalensi gizi kurang dengan jumlah anggaran perbaikan gizi per balita.

(5)

PERKEMBANGAN MASALAH GIZI KURANG KAITANNYA

DENGAN KEBIJAKAN DAN PROGRAM KETAHANAN PANGAN

DAN PERBAIKAN GIZI DI INDONESIA

ANAK AGUNG AYU WIDI UTARI

Skripsi

Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada

Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(6)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Perkembangan Masalah Gizi Kurang Kaitannya dengan

Kebijakan dan Program Ketahanan Pangan dan Perbaikan Gizi di Indonesia

Nama : Anak Agung Ayu Widi Utari

NIM : I14070069

Disetujui :

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Diketahui,

Ketua Departemen Gizi Masyarakat Dr. Ir. Drajat Martianto, M. Si

NIP 19640324 198903 1 004

dr. Yekti Hartati Effendi, S.Ked NIP 19471029 197901 2 001

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP 19621218 198703 1 001

(7)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya yang melimpah sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul “Perkembangan Masalah KEP (Kurang Energi Protein) di Indonesia Kaitannya dengan Kebijakan dan Program di Bidang Ketahanan

Pangan dan Perbaikan Gizi” . Penulisan skripsi ini dilakukan sebagai salah satu

syarat kelulusan untuk mencapai gelar Sarjana Gizi di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan masukan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Dr. Ir. Drajat Martianto, M.Si selaku dosen pembing skripsi yang telah meluangkan waktu dan pikiran, dengan sabar memberikan masukan, saran, kritikan, semangat dan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

2. dr. Yekti Hartati Effendi, S.Ked selaku dosen pembing akademik dan dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu dan pikiran, dengan sabar memberikan masukan, saran, kritikan, semangat dan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

3. Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS selaku dosen pemandu seminar dan penguji atas segala saran dan masukkan yang diberikan untuk perbaikan skripsi ini.

4. Bapak Budi dari Badan Pusat Statistik yang telah membantu penulis untuk memperoleh data indikator pendidikan yang mendukung penyelesaian skripsi.

5. Bapak Lucky dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang telah membantu penulis untuk memperoleh data anggaran pembangunan yang mendukung penyelesaian skripsi.

6. Ibu Suparmi dari Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan yang telah membantu penulis untuk memperoleh data status gizi yang mendukung penyelesaian skripsi.

7. Kedua orang tua dan keluarga besar Puri Kanginan yang senantiasa memberi dukungan, dorongan, serta semangat kepada penulis.

(8)

9. Teman kosan Tilotama: Sukma, Gek Iwik, Renny, Puspita, Ika, Dian, dan Santi yang selalu mendukung dan membantu penulis. Terimakasih untuk kebersamaan, kekeluargaan, dan kerjasamanya.

10. Sahabat-sahabat Gizi Masyarakat 44 (Linda, Riri, Stefani, Riza, Melda, Mayang, Devi Nur, Siha, Fatma, Upil, Atika Primadala, Syifa Aulia, Imam, Anti Kitty, Saskie dan semua yang tidak dapat disebutkan satu per satu), teman-teman KKP Desa Cinagara (Chacha, Novi, Bocad, Adji, dan Gian), juga teman Internship Dietetik RS Kanker Dharmais (Sisil, Chacha, Eka, Merita) terimakasih untuk kerjasama dan kebersamaannya.

11. Keluarga besar Gizi Masyarakat: para pengajar, staf TU, teman-teman angkatan 42, 43 (Mba Chika, Mba Indah, Ka Guntari), 45, 46 atas segala bantuannya.

12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas dukungan dan bantuan yang diberikan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini. Akhirnya, penulis menyadari bahwa dalam penelitian ini masih memerlukan saran dan kritik untuk perbaikan dari berbagai pihak. Semoga hasil penelitian ini memberikan manfaat yang nyata dalam perbaikan upaya pencegahan dan penanggulangan masalah gizi Kurang Energi Protein di Indonesia.

Bogor, Oktober 2011

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Anak Agung Ayu Widi Utari dilahirkan di Jakarta pada tanggal 2 Februari 1989. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara dari Bapak Agung dan Ibu Ketut. Sejak kecil penulis tinggal di Depok. Penulis menamatkan pendidikan di SD Katolik Maria Cimanggis, Kota Depok tahun 2001, SLTP Katolik Maria Cimanggis, Kota Depok pada tahun 2004, dan SMAN 3 Depok pada tahun 2007.

Penulis berkesempatan untuk melanjutkan studi menjadi mahasiswa IPB pada tahun 2007 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB), selanjutnya diterima di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia dengan program Mayor Ilmu Gizi pada tahun 2007.

Selama kuliah, penulis pernah tergabung dalam organisasi kampus, yaitu HIMAGIZI (Himpunan Mahasiswa Ilmu Gizi) IPB sebagai anggota klub Gizi Olahraga periode 2009/2010. Selain itu, penulis juga tergabung dalam organisasi independen bernama BKG (Badan Konsultasi Gizi) IPB sebagai ketua di divisi hubungan masyarakat periode 2009/2011.

Penulis pernah melakukan KKP (Kuliah Kerja Profesi) di Desa Cinagara, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor untuk studi tentang revitalisasi posyandu dengan peningkatan partisipasi masyarakat melalui aksi komunikatif. Selanjutnya, penulis melakukan Internship Dietetik yang berjudul “Proses Asuhan Gizi pada Kasus Penyakit Dalam, Kasus Bedah, dan Penyakit Anak di Rumah

(10)

DAFTAR ISI

Arah Pembangunan di Bidang Pangan dan Gizi... 4

Masalah Kurang Energi Protein (KEP) Anak Balita ... 6

Pengertian KEP ... 6

Klasifikasi KEP ... 7

Penyebab KEP ... 11

Permasalahan KEP di Indonesia ... 12

Upaya Penanggulangan KEP ... 14

Faktor yang Berpengaruh Pada KEP ... 15

Tingkat Kemiskinan... 15

Produk Domestik Bruto (PDB) ... 17

Indikator Pendidikan (BPS 2009) ... 18

Kesehatan Lingkungan ... 19

Pelayanan Kesehatan Dasar ... 21

Anggaran Perbaikan Gizi ... 23

Kebijakan Ketahanan Pangan dan Perbaikan Gizi ... 24

KERANGKA PEMIKIRAN ... 26

METODOLOGI ... 28

Desain, Waktu, dan Tempat ... 28

Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 28

Pengolahan dan Analisis Data... 30

Asumsi dan Keterbatasan Penelitian... 31

Definisi Operasional ... 31

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 36

Perkembangan Prevalensi Gizi Kurang di Indonesia ... 36

Kebijakan dan Program Pemerintah dalam Mendukung Ketahanan Pangan dan Perbaikan Gizi di Indonesia ... 46

Hubungan Parameter Pembangunan Ekonomi dan Sosial dengan Masalah Gizi Kurang... 56

Kemiskinan ... 56

Produk Domestik Bruto (PDB) Per Kapita ... 60

Pendidikan ... 63

Hubungan Parameter Pembangunan Kesehatan Lingkungan dengan Masalah Gizi Kurang... 66

(11)

Akses Sanitasi Layak ... 69

Hubungan Perkembangan Parameter Pembangunan Pelayanan Kesehatan Dasar dengan Masalah Gizi Kurang ... 73

Posyandu ... 73

Cakupan Imunisasi Lengkap ... 75

Hubungan Perkembangan Anggaran Program Perbaikan Gizi dengan Masalah Gizi Kurang... 77

Pembiayaan Kesehatan ... 77

Tren Masalah Gizi Terkini dan Kaitannya dengan Kebijakan Ketahanan Pangan dan Perbaikan Gizi ... 81

KESIMPULAN DAN SARAN ... 85

Kesimpulan ... 85

Saran ... 86

DAFTAR PUSTAKA ... 87

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Klasifikasi KEP berdasarkan baku median WHO-NCHS ... 7

2 Klasifikasi KEP menurut Departemen Kesehatan RI ... 8

3 Klasifikasi KEP menurut Gomez ... 8

4 Klasifikasi KEP menurut McLaren ... 8

5 Klasifikasi KEP menurut Trust Party... 9

6 Klasifikasi KEP menurut Waterflow ... 9

7 Klasifikasi KEP menurut Jellife ... 9

8 Klasifikasi status gizi balita berdasarkan nilai Z-score ... 10

9 Prevalensi kurus pada balita (BB/TB < -2 SD) 1990-2001 ... 13

10 Jenis data yang digunakan, tahun dan sumber data penelitian... 28

11 Jenis variabel, kategori, tahun, dan keterangan variabel penelitian ... 30

12 Trend perkembangan KEP dan gizi kurang pada balita di Indonesia periode Repelita III-RPJMN ... 38

13 Prevalensi gizi buruk dan gizi kurang balita di Indonesia tahun 1989-2010 menurut indeks BB/U dengan status masalah kesehatan secara nasional . 41 14 Perkembangan kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi periode Repelita III sampai Repelita IV ... 48

15 Perkembangan kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi periode Repelita V sampai Repelita VI ... 49

16 Perkembangan kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi periode Propenas sampai RPJMN 2004-2009 ... 50

17 Hubungan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada balita dengan parameter pembangunan ekonomi dan sosial di Indonesia tahun 1989-2010 ... 56

18 Perkembangan tingkat kemiskinan dan status gizi balita di Indonesia tahun 1989-2010 ... 57

19 Perkembangan PDB per kapita di Indonesia tahun 1989-2010 dan status masalah kesehatan secara nasional ... 61

(13)

21 Hubungan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada balita dengan parameter pembangunan kesehatan lingkungan di Indonesia tahun 1989-2010 ... 66 22 Perkembangan akses air minum layak dan status gizi balita di Indonesia

tahun 1989-2010 ... 67 23 Perkembangan akses sanitasi layak dan status gizi balita di Indonesia

tahun 1989-2010 ... 70 24 Hubungan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada balita dengan

parameter pembangunan pelayanan kesehatan dasar di Indonesia tahun 1989-2010 ... 73 25 Perkembangan jumlah posyandu dan status gizi balita di Indonesia

tahun 1989-2010 ... 74 26 Hubungan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada balita dengan

perkembangan anggaran program perbaikan gizi tahun 1989-2010... 77 27 Perkembangan persentase anggaran perbaikan gizi terhadap anggaran

Depkes dan status gizi balita di Indonesia tahun 1989-2010 ... 78 28 Permasalahan gizi masyarakat lainnya tahun 2007 ... 81 29 Cakupan upaya perbaikan gizi masyarakat tahun 2007 ... 82 30 Kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi periode RPJMN 2010-2014

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Penyebab KEP (Kurang Energi Protein) menurut UNICEF (1998)

disesuaikan dengan kondisi Indonesia ... 27 2 Perkembangan prevalensi gizi kurang menurut indeks BB/U

WHO-NCHS pada balita di Indonesia tahun 1989-2010 beserta Target MDGs dan RPJMN 2009 ... 40 3 Hubungan antara prevalensi gizi buruk (%) dengan tingkat kemiskinan (%)

di Indonesia selama dua puluh tahun terakhir (1989-2010) ... 59 4 Hubungan antara prevalensi gizi kurang (%) dengan PDB per kapita

di Indonesia selama dua puluh tahun terakhir (1989-2010) ... 62 5 Hubungan antara rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas

dengan prevalensi gizi buruk (%) di Indonesia pada tahun 1995-2010 ... 64 6 Hubungan antara rata-rata lama sekolah dengan prevalensi

gizi kurang (%) di Indonesia pada tahun 1995-2010 ... 65 7 Hubungan antara prevalensi gizi buruk (%)dengan proporsi

rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi layak (%) di Indonesia (1989-2010) ... 71 8 Hubungan antara prevalensi gizi kurang (%) dengan proporsi

rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi layak (%) di Indonesia (1989-2010) ... 72 9 Perkembangan cakupan imunisasi lengkap pada balita di Indonesia

tahun 1991-2010 ... 75 10 Hubungan antara prevalensi gizi kurang (%) dengan anggaran

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Lampiran 1 Kaitan kebijakan dan program ketahanan pangan dan

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat, kesehatan yang prima, serta cerdas. Bukti empiris menunjukkan bahwa kualitas SDM sangat ditentukan oleh status gizi yang baik, dan status gizi yang baik ditentukan antara lain oleh jumlah asupan pangan yang dikonsumsi. Hal ini sejalan dengan WHO (1999) menyatakan bahwa gizi adalah pilar utama dari kesehatan dan kesejahteraan sepanjang siklus kehidupan. Sejak janin dalam kandungan, bayi, balita, anak, remaja, dewasa, dan usia lanjut, makanan yang memenuhi syarat gizi merupakan kebutuhan utama untuk pertahanan hidup, pertumbuhan fisik, perkembangan mental, prestasi kerja, kesehatan, dan kesejahteraan (Supariasa et al 2001).

Masalah gizi merupakan masalah yang kompleks dan memiliki dimensi yang luas karena penyebabnya multi faktor dan multi dimensi, tidak hanya merupakan masalah kesehatan tetapi juga meliputi masalah sosial, ekonomi, budaya, pola asuh, pendidikan dan lingkungan. Menurut kerangka pikir UNICEF (1990) masalah gizi berakar pada masalah ketersediaan, distribusi, dan keterjangkauan pangan, kemiskinan, pendidikan dan pengetahuan serta perilaku masyarakat. Dengan demikian masalah pangan dan gizi merupakan permasalahan berbagai sektor dan penyelesaiannya menjadi tanggung jawab bersama pemerintah dan masyarakat. Oleh karena itu, langkah-langkah penanggulangannya juga harus dirumuskan dan dilaksanakan bersama.

(17)

Kesepakatan global yang dituangkan dalam Millenium Development Goals (MDGs) yang terdiri dari 8 tujuan, 18 target dan 48 indikator, menegaskan bahwa tahun 2015 setiap Negara menurunkan kemiskinan dan kelaparan separuh dari kondisi pada tahun 1990. Dua dari lima indikator sebagai penjabaran tujuan pertama MDGs adalah menurunnya prevalensi gizi kurang pada anak balita dan menurunnya jumlah penduduk dengan defisit energi (mengkonsumsi energi kurang dari 70% kebutuhan untuk hidup sehat). Kedua indikator tersebut mencerminkan tingginya keterkaitan antara kondisi ketahanan pangan dengan status gizi masyarakat (Dewan Ketahanan Pangan 2009).

Menurut World Bank (2006), masalah gizi kurang maupun gizi lebih tidak dapat ditangani hanya dengan kebijakan dan program jangka pendek sektoral yang tidak terintegrasi. Pengalaman negara berkembang yang berhasil mengatasi masalah gizi secara tuntas dan berkelanjutan, seperti Thailand, Cina dan Malaysia, menunjukkan perlunya strategi kebijakan jangka pendek dan jangka panjang. Untuk itu diperlukan adanya kebijakan pembangunan bidang ekonomi, pangan dan gizi, kesehatan, pendidikan, dan keluarga berencana yang saling terkait dan terintegrasi untuk meningkatkan status gizi masyarakat.

Selama ini kajian mengenai masalah gizi lebih banyak dikaji dari aspek mikro berupa analisis determinan masalah gizi dan belum banyak diarahkan dari berbagai kebijakan di bidang ketahanan pangan dan kesehatan yang ada pada saat itu. Padahal berbagai kebijakan tersebut saling mempengaruhi program intervensi yang dijalankan dengan masalah gizi. Untuk itu peneliti mencoba untuk mengkaji perkembangan masalah gizi di Indonesia dan mengaitkannya dengan perkembangan kebijakan di bidang ketahanan pangan dan perbaikan gizi. Pemilihan rentang waktu antara tahun 1980 sampai 2010 mempertimbangkan banyaknya perubahan yang terjadi dalam sistem ketatanegaraan di bidang kebijakan ketahanan pangan maupun perbaikian gizi selama periode tersebut. Selanjutnya, Pemerintah diharapkan dapat menggunakannya sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun strategi terutama dari segi ketahanan pangan dan kesehatan guna mengatasi masalah gizi yang terjadi di Indonesia.

Tujuan Tujuan Umum

(18)

Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah:

1. Mempelajari perkembangan masalah gizi kurang di Indonesia.

2. Mempelajari kebijakan dan program pemerintah dalam mendukung pembangunan ketahanan pangan dan perbaikan gizi di Indonesia.

3. Mempelajari keterkaitan prevalensi gizi kurang dengan parameter pembangunan ekonomi dan sosial (tingkat kemiskinan, PDB/kapita, dan rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas)

4. Mempelajari keterkaitan prevalensi gizi kurang dengan parameter kesehatan lingkungan (proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum layak dan proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sanitasi yang layak).

5. Mempelajari keterkaitan prevalensi gizi kurang dengan parameter pelayanan kesehatan dasar (jumlah posyandu dan cakupan imunisasi lengkap).

6. Mempelajari keterkaitan prevalensi gizi kurang dengan persentase anggaran program perbaikan gizi terhadap anggaran departemen kesehatan.

7. Mempelajari tren masalah gizi terkini dan kaitannya dengan kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi

Kegunaan

(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Arah Pembangunan di Bidang Pangan dan Gizi

Kesejahteraan suatu bangsa tergantung pada kemampuan dan kualitas sumber daya manusianya. Kualitas sumber daya manusia (SDM) suatu negara dapat diketahui dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Komponen IPM yang dijadikan ukuran kualitas SDM suatu bangsa terdiri atas tingkat ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Posisi IPM Indonesia berada pada urutan ke 108 dari 177 negara (Dewan Ketahanan Pangan 2007). Jika dilihat dari tingkat kemiskinan, sekitar 40 juta jiwa masih berada di bawah garis kemiskinan.

Kemiskinan akan berdampak pada penurunan kemampuan rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan pangan dalam jumlah dan kualitas yang baik. Hal tersebut akan berakibat pada kekurangan gizi diindikasikan dari status gizi anak balita dan wanita hamil. Pada akhirnya berdampak pada lahirnya generasi muda yang tidak berkualitas. Dalam jangka pendek, Indonesia akan mengalami kesulitan dalam mencapai pembangunan nasional yang optimal.

Pangan merupakan modal dasar pembangunan, berperan sebagai sumber zat gizi yang dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas SDM. Dalam Program Pembangunan Nasional (Propenas) tahun 1999-2004, pembangunan pangan dan gizi tercantum dalam bidang ekonomi serta sosial budaya. Investasi pembangunan tidak hanya terbatas pada sarana fisik, tetapi mencakup kebutuhan pokok, kesehatan dan kesejahteraan sosial (Karsin 2004).

Salah satu tujuan pembangunan nasional Indonesia adalah terwujudnya masyarakat Indonesia yang sehat dan mandiri. Strategi pencapaian tujuan tersebut adalah melalui Indonesia Sehat 2010 dengan difokuskan pada terbentuknya manusia yang berkualitas. Indikator manusia yang berkualitas tersebut adalah:

a. manusia yang mampu hidup lebih lama (terukur dari umur harapan hidup) b. dapat menikmati hidup sehat (terukur dari angka kesakitandan kurang gizi), c. mempunyai kesempatan untuk meningkatkan ilmu pengetahuan (terukur

dengan angka melek huruf dan tingkat pendidikan)

d. hidup dengan sejahtera (terukur dengan tingkat pendapatan per kapita yang cukup memadai atau bebas kemiskinan)

(20)

adalah melalui peningkatan produksi dan ketersediaan pangan, pengawasan disteribusi pangan serta partisipasi masyarakat (Karsin 2004).

Dalam Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RANPG) 2006-2010 terdapat strategi untuk mengatasi masalah gizi, baik itu strategi jangka pendek maupun jangka panjang. Strategi jangka pendek terdiri atas kebijakan yang mendorong ketersediaan pelayanan, kebijakan yang meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan, dan kebijakan yang mendorong perubahan ke arah perilaku hidup sehat dan sadar gizi dilakukan melalui pendidikan gizi dan kesehatan.

Kebijakan yang mendorong ketersediaan pelayanan, diantaranya pelayanan gizi dan kesehatan yang berbasis masyarakat (contoh posyandu), pemberian suplemen zat gizi mikro, pemberian bantuan pangan kepada anak kurang gizi dari keluarga miskin, fortifikasi bahan dan biofortifikasi. Kebijakan yang meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan, meliputi bantuan langsung tunai (BLT) bersyarat bagi keluarga miskin, pemberian kredit mikro untuk pengusaha kecil dan menengah, pemberian makanan, khususnya pada waktu darurat, pemberian suplemen zat gizi mikro, khususnya zat besi, vitamin A dan zat yodium, bantuan pangan langsung kepada keluarga miskin, dan pemberian kartu miskin untuk keperluan berobat. Kebijakan yang mendorong perubahan ke arah perilaku hidup sehat dan sadar gizi dilakukan melalui pendidikan gizi dan kesehatan. Pendidikan ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan anggota keluarga khususnya kaum perempuan tentang gizi seimbang, memantau berat badan bayi dan anak sampai usia 2 tahun, pengasuhan bayi dan anak yang benar, air bersih dan kebersian diri serta lingkungan, dan pola hidup sehat lainnya seperti berolah raga, tidak merokok, makan sayur dan buah setiap hari.

(21)

kebutuhan pangan dan gizi, seperti pembangunan ekonomi yang meningkatkan pendapatan rakyat miskin, pembangunan ekonomi dan sosial yang melibatkan dan memberdayakan masyarakat miskin, pembangunan yang menciptakan lapangan kerja, kebijakan fiskal, dan harga pangan yang meningkatkan daya beli masyarakat miskin, dan pengaturan pemasaran pangan yang sehat dan aman. Kebijakan yang mendorong perubahan perilaku yang mendorong hidup sehat dan gizi baik bagi anggota keluarga, seperti meningkatkan kesetaraan gender, mengurangi beban kerja wanita terutama pada waktu hamil, dan meningkatkan pendidikan wanita baik pendidikan sekolah maupun diluar sekolah.

Strategi-strategi di atas tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, melainkan melibatkan banyak pelaku, yaitu pemerintah, masyarakat dan sektor swasta. Kemitraan antara pemerintah dengan masyarakat dan swasta menunjukkan adanya proses pembangunan yang berkelanjutan dalam memanfaatkan sember daya yang ada sehingga dapat terwujud tujuan pembangunan nasional yaitu ketahanan pangan sampai tingkat rumah tangga.

Masalah Kurang Energi Protein (KEP) Anak Balita Pengertian KEP

Selama empat dekade terakhir, terjadi transisi penggunaan istilah KEP pada anak balita di Indonesia. Pada masa Repelita I (1970) sampai akhir Repelita V (1993) istilah yang sering digunakan untuk masalah kekurangan gizi makro pada anak balita adalah KKP atau Kurang Kalori dan Protein. Istilah tersebut berubah pada masa Repelita VI (1994-1998) menjadi KEP atau Kurang Energi Protein dan kembali berubah menjadi gizi kurang (baku WHO NCHS) pada masa Propenas (1999-2004) hingga saat ini. Adanya perubahan istilah KEP menjadi gizi kurang disebabkan oleh beberapa hal seperti, adanya perbedaan pengertian dan istilah yang digunakan pada tiap periode pembangunan serta adanya perbedaan dalam pengukuran antropometri untuk mengklasifikasikan status gizi balita.

(22)

dan Tatang S. Fallah 2004). Selain perbedaan tersebut, istilah KEP dan gizi kurang juga dibedakan karena metode pengukuran dalam mengklasifikasikan status gizi balita juga berbeda. Pada pengklasifikasian masalah KEP, metode pengukuran yang digunakan adalah persentase terhadap nilai median, sedangkan untuk klasifikasi masalah gizi kurang digunakan metode pengukuran terhadap skor simpangan baku/standar deviasi.

Klasifikasi KEP

Manifestasi KEP dapat ditentukan dengan mengukur status gizi balita. Status gizi balita mencerminkan status gizi masyarakat, oleh karena itu untuk menilainya dapat menggunakan pendekatan penilaian status gizi golongan anak balita. Status gizi dapat dinilai dengan empat cara, yaitu konsumsi pangan, antropometri, biokimia, dan klinis (Riyadi 2001). Penilaian status gizi antropometri merupakan penilaian yang umum digunakan.

Ada dua jenis baku acuan dalam mengklasifikasikan status gizi, yaitu baku lokal dan internasional. Terdapat beberapa baku acuan internasional, yaitu Havard (Boston), WHO-NCHS, Tanner dan Kanada. Havard dan WHO-NCHS adalah yang paling umum digunakan di seluruh negara. Data baku rujukan WHO-NCHS disajikan dalam dua versi yaitu persentil dan Z-score.

Sejak tahun 80-an Indonesia menggunakan dua baku acuan internasional, yaitu Havard dan WHO-NCHS. Semiloka Antropometri Ciloto (1991) menyarankan pengajuan penggunaan secara seragam baku rujukan WHO-NCHS sebagai pembanding dalam penilaian status gizi dan pertumbuhan baik perorangan maupun masyarakat.

Pada penentuan prevalensi KEP diperlukan klasifikasi menurut derajat beratnya KEP, klasifikasi demikian yang sering dipakai adalah sebagai berikut: 1. Klasifikasi Berdasarkan Baku Median WHO-NCHS

Tabel 1 Klasifikasi KEP berdasarkan baku median WHO-NCHS

Klasifikasi KEP BB/U BB/TB

Ringan 70-80% 80-90%

Sedang 60-70% 70-80%

Berat <60% <70%

2. Klasifikasi Menurut Departemen Kesehatan RI

(23)

Tabel 2 Klasifikasi KEP menurut Departemen Kesehatan RI

BB/TB TB/U

(berat menurut tinggi) (tinggi menurut umur)

Mild 80-90% 90-94%

Moderate 70-79% 85-89%

Severe <70% <85%

3. Klasifikasi Menurut Gomez (1956)

Klasifikasi ini berdasarkan berat badan individu dibandingkan dengan berat badan yang diharapkan pada anak sehat seumur.

Tabel 3 Klasifikasi KEP menurut Gomez

Derajat KEP Berat badan % dari baku

0 (normal) 90%

1 (ringan) 89-75%

2 (sedang) 74-60%

3 (berat) <60%

4. Klasifikasi Menurut McLaren (1967)

McLaren mengklasifikan KEP berat dalam 3 kelompok menurut tipenya. Gejala klinis disertai dermatosis, perubahan pada rambut, dan pembesaran hati diberi nilai bersama-sama dengan menurunnya kadar albumin atau total protein serum.

Tabel 4 Klasifikasi KEP menurut McLaren

Gejala klinis/laboratoris Angka

Edema 3

Dermatosis 2

Edema disertai dermatosis 6

Perubahan pada rambut 1

Hepatomegali 1

Albumin serum atau protein total serum/g %

<1.00 <3.25 7

1.00-1.49 3.25-3.99 6

1.50-1.99 4.00-4.74 5

2.00-2.49 4.75-5.49 4

2.50-2.99 5.50-6.24 3

3.00-3.49 6.25-6.99 2

3.50-3.99 7.00-7.74 1

>4.00 >7.75 0

Penentuan tipe berdasarkan atas jumlah angka yang dapat dikumpulkan tiap penderita:

0-3 angka : marasmus

(24)

Cara demikian mengurangi kesalahan-kesalaahan jika dibandingkan dengan cara Welcome Trust, akan tetapi harus dilakukan oleh seorang dokter dengan bantuan laboratorium.

5. Klasifikasi Menurut Welcome Trust Party (1970)

Cara klasifikasi ini dapat dipraktekkan dengan mudah, namun jika cara ini diterapkan pada penderita yang sudah beberapa hari dirawat dan mendapat pengobatan diet, maka akan dapat dibuat diagnosa yang salah. Seperti pada penderita kwashiorkor (edema, berat >60%, gejala klinis khas kwashiorkor yang lain) yang sudah dirawat satu minggu, edema pada tubuh pasien tidak terlihat lagi dan berat badan bisa turun sampai 60%, dengan gejala yang seperti itu akan didiagnosis sebagai penderita marasmus.

Tabel 5 Klasifikasi KEP menurut Trust Party

Berat badan % dari baku Tidak ada Edema Ada

>60% Gizi kurang Kwashiorkor

<60% Marasmus Marasmik-Kwashiorkor

6. Klasifikasi Menurut Waterlow (1973)

Waterflow membedakan antara penyakit KEP yang terjadi akut dan menahun. Waterflow berpendapat bahwa defisit berat menurut tinggi mencerminkan gangguan gizi yang akut dan menyebabkan keadaan wasting (kurus kering). Sedangkan defisit tinggi menurut umur merupakan akibat kekurangan gizi yang berlangsung lama atau kronis. Akibatnya laju tinggi badan akan terganggu, hingga anak akan menjadi pendek (stunting) untuk seusianya.

Tabel 6 Klasifikasi KEP menurut Waterflow

Derajat Gangguan Stunting (BB/U) Wasting (BB/TB)

0 > 95% >90%

1 95-90% 90-80%

2 89-85% 80-70%

3 <85 <70%

7. Klasifikasi Menurut Jellife

Jellife mengklasifikasikan malnutrisi KEP berdasarkan berat badan (BB) menurut umur (U) sebagai berikut:

Tabel 7 Klasifikasi KEP menurut Jellife

Kategori BB/U (% baku)

KEP I 90-80

KEP II 80-70

KEP III 70-60

(25)

Menurut Depkes (1997), terdapat beberapa istilah yang digunakan di lapangan dalam mengklasifikasikan KEP, seperti KEP nyata dan KEP total. KEP total adalah menghitung strata KEP ringan, KEP sedang, dan KEP berat (BB/U < 80% baku median WHO-NCHS). Sedangkan KEP nyata adalah menghitung strata KEP sedang dan KEP berat dan pada KMS berada di bawah garis merah (tidak ada pemisah antara KEP sedang dan KEP berat pada KMS).

Adanya transisi perubahan istilah KEP, maka sejak awal periode Propenas (1999) semua data berat badan dan tinggi badan setiap balita sejak tahun 1989 dikonversikan ke dalam bentuk nilai tertandar (Z-score) dengan menggunakan baku antropometri. Selanjutnya berdasarkan nilai Z-score masing-masing indeks maka status gizi balita dapat diklasifikasikan sebagai berikut.

Tabel 8 Klasifikasi status gizi balita berdasarkan nilai Z-score

Indeks Nilai Z-score Kategori

BB/U Z-score <-3.0 Gizi buruk

-3.0<-Z-score<2.0 Gizi kurang

-2.0≤ Z-score ≤2.0 Gizi baik

Z-score >2.0 Gizi lebih

TB/U Z-score <-3.0 Sangat pendek

-3.0≤ Z-score <-2.0 Pendek

Z-score ≥-2.0 Normal

BB/TB Z-score <-3.0 Sangat kurus

-3.0≤ Z-score <-2.0 Kurus

-2.0 ≤ Z-score ≤2.0 Normal

Z-score >2.0 Sangat kurus

IMT/U Z-score ≥ 3.0 severe obese

2.0 ≤ Z-score ≤ 3.0 obese

1.0 ≤ Z-score < 2.0 Overweight

-2.0 < Z-score < 1.0 Normal

-2.0 ≤ Z-score < -3.0 Thinness

Z-score ≤ -3.0 severe thinness

Sumber: Riskesdas 2007

Indikator BB/U memberikan gambaran tentang status gizi yang sifatnya umum, tidak spesifik. Tinggi rendahnya prevalensi gizi buruk atau gizi buruk dan gizi kurang mengindikasikan ada tidaknya masalah gizi pada balita, tetapi tidak memberikan indikasi apakah masalah balita tersebut bersifat kronis atau akut.

Indikator TB/U memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya kronis sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama, misalnya kemiskinan, perilaku hidup sehat dan pola asuh/pemberian makan yang kurang baik dari sejak anak dilahirkan yang mengakibatkan anak menjadi pendek.

(26)

lama (singkat), misalnya terjadi wabah penyakit dan kekurangan makan (kelaparan) yang mengakibatkan anak menjadi kurus (Depkes 2010a).

Perhitungan angka prevalensi dilakukan sebagai berikut:

Penyebab KEP

Menurut UNICEF (1998) dalam Soekirman (2000), penyebab timbulnya KEP pada anak balita terdiri dari beberapa tahapan, yaitu penyebab langsung, penyebab tidak langsung, akar masalah dan pokok masalah. UNICEF (United Nations Children’s Found) menyatakan bahwa ada dua penyebab langsung terjadinya kasus gizi buruk, yaitu kurangnya asupan gizi dari makanan dan akibat terjadinya penyakit yang menyebabkan infeksi. Kedua penyakit tersebut saling berpengaruh. Faktor penyebab langsung pertama adalah konsumsi makanan sumber energi dan protein yang tidak memenuhi jumlah dan komposisi zat gizi yang memenuhi syarat makanan beragam, bergizi seimbang, dan aman. Faktor penyebab langsung kedua adalah penyakit infeksi yang berkaitan dengan tingginya kejadian penyakit menular dan buruknya kesehatan lingkungan. Untuk itu, cakupan universal untuk imunisasi lengkap pada anak sangat mempengaruhi kejadian kesakitan yang perlu ditunjang dengan tersediaanya air minum bersih dan higienis sanitasi yang merupakan salah satu faktor penyebab tidak langsung (Bappenas 2010a).

Menurut Soekirman (2000), penyebab langsung diatas muncul akibat faktor tidak langsung, yaitu tidak cukup tersedianya pangan dalam keluarga, pola pengasuhan anak yang kurang memadai, keadaan sanitasi yang buruk, tidak tersedianya air bersih, dan pelayanan kesehatan dasar yang tidak memadai. Ketiga faktor tersebut saling berkaitan

(27)

asuh bayi dan anak serta jangkauan dan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat turut menjadi penyebab tidak langsung KEP. Pola asuh, sanitasi lingkungan dan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, akses informasi dan tingkat pendapatan keluarga

Ketidakstabilan ekonomi, politik, dan sosial dapat disebabkan oleh rendahnya tingkat kesejahteraan rakyat, yang tercermin dari rendahnya konsumsi pangan dan status gizi masyarakat. Oleh karena itu untuk mengatasi masalah gizi masyarakat seperti KEP merupakan salah satu tumpuan penting dalam pembangunan ekonomi, politik dan kesejahteraan sosial yang berkelanjutan (Bappenas 2010a).

Permasalahan KEP di Indonesia

Pada saat ini, sebagian besar atau 50% penduduk Indonesia dapat dikatakan tidak sakit tetapi juga tidak sehat, umumnya disebut kekurangan gizi. Kejadian kekurangan gizi sering luput dari penglihatan atau pengamatan biasa, akan tetapi secara perlahan berdampak pada tingginya angka kematian ibu, angka kematian bayi, angka kematian balita, serta rendahnya umur harapan hidup (Atmarita & Fallah 2004).

Adalah suatu hal yang sangat memprihatinkan ketika "bencana" kelaparan dan gizi buruk terus mewarnai berita-berita di media massa sepanjang tahun 2005. Belum reda dengan pemberitaan mengenai kasus gizi buruk di berbagai daerah yang dimulai awal tahun 2005, menjelang akhir tahun 2005 lagi-lagi masyarakat dikejutkan oleh munculnya pemberitaan mengenai kelaparan di Yahukimo, sebuah kabupaten pemekaran di Propinsi Papua yang mengakibatkan tak kurang dari 50 orang meninggal akibat kurang pangan (Martianto & Soekirman 2006 ).

(28)

ini adalah karena kita semua tidak waspada. Ketidakwaspadaan ini disebabkan instrumen-instrumen yang selama ini dikembangkan unluk mencegah dan menanggulangi masalah pangan dan gizi cenderung tidak dimanfaatkan, bahkan ditinggalkan. Selama ini di Indonesia telah dikembangkan suatu sistem isyarat dini (early warning system) untuk mengantisipasi terjadinya masalah pangan dan gizi yang disebut dengan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG). SKPG yang dikembangkan mencakup SKPG untuk mengantisipasi terjadinya kerawanan pangan/ kelaparan dan SKPG untuk mengantisipasi masalah gizi buruk yang implementasinya dilakukan melalui pemantauan berat badan anak balita di Posyandu. Karena masalah gizi buruk yang merebak akhir-akhir ini

tidaklah "instan” atau terjadi begitu saja, melainkan merupakan suatu proses

yang cukup panjang sejak terjadinya eksposure (intake makanan yang rendah dan infeksi penyakit hingga manifestasinya dalam bentuk marasmus, kwashiorkor, marasmus-kwashiorkor), maka masalah ini seharusnya bisa dicegah bila sistem kewaspadaan tersebut berjalan dengan baik (Martianto 2006).

Kajian gizi kurang lainnya adalah beberapa studi yang melakukan pengukuran berat badan dan tinggi badan (BB/TB). Pada umumnya, pengukuran BB/TB menunjukkan keadaan gizi kurang yang lebih jelas dan sensitif dibandingkan penilaian prevalensi berdasarkan berat badan dan umur. Seperti terlihat pada Tabel 9, prevalensi gizi kurang menurut BB/TB (kurus/wasting <-2 SD) setelah tahun 1992 berkisar antara 10-16%. Menurut WHO, jika prevalensi wasting diatas 10%, menunjukkan negara tersebut mempunyai masalah gizi yang sangat serius dan berhubungan erat dengan angka kematian balita (Atmarita dan Fallah 2004).

Tabel 9 Prevalensi kurus pada balita (BB/TB < -2 SD) 1990-2001

IBT, 90 Suvita, 92 SKIA, 95 SKRT, 95 Ev. JPS, 99 SKRT, 01

Total 9.7 8.6 13.4 11.6 13.7 15.8

Laki-laki 10.8 9.5 13.9 13.3 16.9

Perempuan 8.7 7.6 12.7 10.0 14.5

Kota 13.5 14.0 15.2

Desa 13.3 13.7 16.2

IBT = Survei Indonesia Bagian Timur, Suvita – Survei Nasional Vitamin A;

SKIA = Survei Kesehatan Ibu dan Anak; Ev. JPS = Evaluasi Jaring Pengaman Sosial; SKRT = Survei Kesehatan Rumah Tangga;

Sumber: Atmarita & Fallah dalam WKNPG VIII (2004).

(29)

balita di Indonesia yang umumnya tinggi ini disebabkan oleh beberapa hal yaitu tingginya prevalensi gizi kurang, pola pengasuhan anak yang buruk, balita tidak cukup mendapatkan makanan yang bergizi seimbang, serta pelayanan kesehatan yang lemah dan tidak memuaskan masyarakat.

Upaya Penanggulangan KEP

Menurut Soekirman (2000), upaya pencegahan dan penanggulangan KEP tidak cukup dari aspek pangan atau makanannya saja misalnya dengan meningkatkan produksi dan persediaan pangan, tetapi juga dengan mengkaji tingkat ekonomi dan pendidikan keluarga untuk mengatasi masalah kurang gizi yang terjadi. Pada umumnya, KEP pada orang dewasa lebih banyak menceminkan kemiskinan. Pada anak-anak, selain ekonomi terdapat faktor lain yang menyebabkan timbulnya KEP. Berbagai upaya lain di luar ekonomi harus berjalan bersama-sama saling melengkapi (komplementer) dengan upaya perbaikan ekonomi khususnya pengentasan kemiskinan. Upaya lain yang dimaksud adalah upaya yang langsung dapat dirasakan manfaatnya oleh sasaran yaitu masyarakat beresiko tinggi menderita KEP (terutama anak balita). Sedangkan upaya perbaikan ekonomi merupakan upaya tidak langsung karena hasilnya tidak hanya dirasakan oleh kelompok sasaran, tetapi juga oleh masyarakat umum.

Upaya yang langsung ke sasaran berupa pelayanan dasar gizi, kesehatan, dan pendidikan. Upaya tidak langsung meliputi: (a) jaminan ketahanan pangan (food security) sehingga setiap keluarga dan penduduk miskin dapat dipenuhi hak asasinya yaitu hak untuk memperoleh makanan yang cukup, (b) memperluas kesempatan kerja untuk meningkatkan daya beli, dan (c) membangun dan mengembangkan industri kecil dan menengah untuk memberikan kesempatan kepada penduduk miskin meningkatkan pendapatan melalui produksi barang dan jasa. Disamping upaya langsung dan tidak langsung, terdapat upaya lain untuk memantau status gizi masyarakat di tingkat keluarga dan perorangan dari waktu ke waktu. Upaya pemantauan ini merupakan salah satu program gizi yang dilakukan di banyak negara termasuk di Indonesia dan disebut sebagai program kewaspadaan pangan dan gizi atau food and nutritional survelance.

(30)

serta penyuluhan gizi, peningkatan produksi bahan makanan dan peningkatan upaya-upaya pasca panen untuk menghindarkan penghamburan bahan makanan (waste) dan peningkatan hygiene lingkungan maupun perorangan. Selain itu, Keluarga Berencana (KB) juga merupakan faktor yang berpengaruh signifikan terhadap prevalensi KEP dalam masyarakat. Penanggulangan pada taraf makro ini merupakan upaya yang harus dilakukan secara serempak oleh berbagai instansi yang memerlukan koordinasi. Penanggulangan dalam lingkup mikro bberhubungan dengan kondisi keluarga dan para anggota keluarga. Faktor-faktor penyebab KEP disini adalah kurangnya konsumsi, daya beli keluarga yang rendah, infeksi cacing, pendidikan umum, dan pengetahuan gizi yang rendah, dan terlalu banyak anak dalam keluarga. Faktor-faktor kelompok mikro ini harus ditinjau satu per satu dan dicari alternatif perbaikan atau pemecahannya.

Faktor yang Berpengaruh Pada KEP

Kerangka konsep UNICEF memperlihatkan faktor yang erat kaitannya dengan perubahan status kesehatan dan gizi buruk. Mulai dari krisis sosial ekonomi dan politik, kemiskinan, pendidikan, pola asuh, kesehatan lingkungan, ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, dan penyakit infeksi/non-infeksi.

Ditinjau dari sudut pandang nasional, studi mengenai masalah kurang gizi memerlukan analisis sosial ekonomi yang luas dan bukan pendekatan secara diagnostis dan pengobatan perseorangan. Keadaan sosial ekonomi berkaitan dengan akses masyarakat terhadap kebutuhan dasar terdiri atas pangan, pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Akses pangan terdiri atas 3 (tiga) aspek yaitu aspek fisik, sosial, dan ekonomi. Aspek ekonomi dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi yang dinilai dari PDB atau dari tingkat kemiskinan. Aspek sosial dapat dilihat dari tingkat pendidikan. Ketiga aspek tersebut tidak hanya berpengaruh terhadap akses masyarakat terhadap pangan tetapi berpengaruh pula terhadap kebutuhan dasar yang lainnya, termasuk kesehatan. Berikut diuraikan akses pangan dilihat dari dimensi sosial dan ekonomi.

Tingkat Kemiskinan

(31)

terjadinya kasus gizi buruk akan semakin tinggi. Untuk itu, kemiskinan merupakan sebuah indikator untuk kemajuan suatu bangsa.

BPS mengukur kemiskinan dengan menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Pendekatan tersebut memandang kemiskinan sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Penduduk miskin adalah penduduk yang memilki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan terdiri dari dua komponen, yaitu garis kemiskinan makanan (GKM) dan garis kemiskinan non makanan (GKNM). Garis kemiskinan makanan merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kkal per kapita per hari yang diwakili oleh 52 jenis komoditi. Garis makanan non makanan adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan yang diwakili oleh 51 jenis komoditi untuk perkotaan dan 47 jenis untuk pedesaan.

World Bank menggunakan garis kemiskinan absolut yang sama untuk membandingkan angka kemiskinan antar negara. Hai ini bermanfaat dalam menentukan arah penyaluran sumber daya finansial dan menganailisi kemajuan dalam memberantas kemiskinan. Ukuran yang digunakan Bank Dunia ada dua, yaitu pendapatan US$ 1 per kapita per hari dan pendapatan US$ 2 per kapita per hari.

Selain menggunakan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), BPS juga membedakan penduduk miskin menurut sifatnya yaitu kemiskinan sementara (transient poverty) dan kemiskinan kronis (chronic poverty). Penduduk yang termasuk dalam kemiskinan sementara adalah mereka yang pengeluaran konsumsinya sedikit berada di bawah garis kemiskinan. Pada umumnya, penduduk miskin sementara (transient poor) disebabkan oleh memburuknya keadaan perekonomian sehingga pendapatan orang tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan minimum. Sedangkan penduduk miskin kronis adalah mereka yang pengeluaran konsumsinya berada jauh di bawah garis kemiskinan. Mereka pada umumnya tidak mempunyai akses yang cukup terhadap sumber daya ekonomi (BPS 2008a).

(32)

sebesar 2.100 kalori serta memenuhi kebutuhan pokok lainnya. Tingkat kemiskinan adalah persentase penduduk miskin dihitung atas dasar jumlah penduduk miskin di suatu wilayah dibagi dengan jumlah total penduduk wilayah tersebut, dinyatakan dalam persen.

Masalah gizi berkaitan dengan masalah kemiskinan merupakan

“lingkaran setan” yang menjadi penghambat bagi pembangunan negara.

Situasinya dapat digambarkan seperti berikut. Kemiskinan menyebabkan makanan tidak seimbang sehingga menjadi kurang gizi yang pada akhirnya akan sakit. Keadaan tersebut menyebabkan pertumbuhan badan terhambat dan proses belajar menjadi lambat yang mengakibatkan individu dewasa menjadi kecil dan produktivitasnya rendah. Rendahnya produktivitas berdampak pada kemampuan bekerja yang rendah sehingga akan menimbulkan pengangguran. Pada akhirnya kondisi tersebut menyebabkan kemiskinan kembali, dan akan seperti itu seterusnya (Suhardjo 1989b).

Bappenas (2007) menyebutkan bahwa dari berbagai faktor penyebab masalah gizi, kemiskinan dinilai memiliki peranan penting dan bersifat timbal balik, artinya kemiskinan akan menyebabkan kurang gizi dan individu yang kurang gizi akan berakibat atau melahirkan kemiskinan. Masalah kurang gizi memperlambat pertumbuhan ekonomi dan mendorong proses pemiskinan melalui tiga cara. Pertama, kurang gizi secara langsung menyebabkan hilangnya produktivitas karena kelemahan fisik. Kedua, kurang gizi secara tidak langsung menurunkan kemampuan fungsi kognitif dan berakibat pada rendahnya tingkat pendidikan. Ketiga, kurang gizi dapat menurunkan tingkat ekonomi keluarga karena meningkatnya pengeluaran untuk berobat.

Produk Domestik Bruto (PDB)

(33)

Menurut McEachern (2000), GDP artinya mengukur nilai pasar dari barang dan jasa akhir yang diproduksi oleh sumber daya yang berada dalam suatu negara selama jangka waktu tertentu, biasanya satu tahun. GDP juga dapat digunakan untuk mempelajari perekonomian dari waktu ke waktu atau untuk membandingkan beberapa perekonomian pada suatu saat.

Gross Domestic Product hanya mencakup barang dan jasa akhir, yaitu barang dan jasa yang dijual kepada pengguna yang terakhir. Untuk barang dan jasa yang dibeli untuk diproses lagi dan dijual lagi (Barang dan jasa intermediate) tidak dimasukkan dalam GDP untuk menghindari masalah double counting atau penghitungan ganda, yaitu menghitung suatu produk lebih dari satu kali.

Tipe-tipe GDP

Ada dua tipe GDP, yaitu :

1) GDP dengan harga berlaku atau GDP nominal, yaitu nilai barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara dalam suatu tahun dinilai menurut harga yang berlaku pada tahun tersebut.

2) GDP dengan harga tetap atau GDP riil, yaitu nilai barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara dalam suatu tahun dinilai menurut harga yang berlaku pada suatu tahun tertentu yang seterusnya digunakan untuk menilai barang dan jasa yang dihasilkan pada tahun-tahun lain Angka-angka GDP merupakan hasil perkalian jumlah produksi (Q) dan harga (P), kalau harga-harga naik dari tahun ke tahun karena inflasi, maka besarnya GDP akan naik pula, tetapi belum tentu kenaikan tersebut menunjukkan jumlah produksi (GDP riil). Mungkin kenaikan GDP hanya disebabkan oleh kenaikan harga saja, sedangkan volume produksi tetap atau merosot.

Indikator Pendidikan (BPS 2009)

(34)

Rata-rata Rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas. Rata-rata rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas penduduk 15 tahun ke atas merupakan salah satu indikator penting yang juga akan membawa pengaruh positif terhadap kesehatan dan kesejahteraan masyarakat (Atmarita & Fallah 2004). Oleh karena itu penelitian ini menggunakan rata-rata rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas penduduk 15 tahun ke atas sebagai indikator pendidikan yang dianggap berpengaruh terhadap masalah gizi KEP.

Salah satu faktor penentu dalam pemenuhan kebutuhan keluarga adalah pendidikan. Pengetahuan dan pendidikan formal sangat penting dalam menentukan status kesehatan, fertilitas, dan status gizi keluarga. Berg (1986) menambahkan, tingkat pendidikan merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas makan, karena dengan tingkat pendidikan yang tinggi diharapkan pengetahuan dan informasi yang dimiliki tentang gizi menjadi lebih baik.

Almarita & Fallah (2004) menyebutkan bahwa tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Tingkat pendidikan, khususnya pendidikan wanita mempengaruhi derajat kesehatan.

Terdapat hubungan positif antara pendidikan dengan pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak. Atmarita dan Fallah (2004) mengemukakan bahwa tingkat pendidikan berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk mengimplementasi pengetahuannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari khususnya dalam hal kesehatan dan gizi.

Kesehatan Lingkungan

(35)

rumah tangga, cara penyimpanan air minum serta akses terhadap sumber air minum.

Proporsi Rumah Tangga dengan Akses Terhadap Sumber Air Minum yang Terlindungi dan Berkelanjutan. Berdasarkan berbagai survei mengenai kesehatan lingkungan seperti dalam SKRT, SUPAS, Susenas, dan Riskesdas, air dikelompokkan menjadi air bersih, air minum bersih, dan air minum yang terlindung dan berkelanjutan. Terdapat dua definisi air bersih menurut Susenas dalam Statistik Kesejahteraan Rakyat, yaitu (1) Air bersih terdiri dari air pipa, pompa, air kemasan, air dari sumur terlindung, air dari mata air terlindung, dan

air hujan dengan jarak ke tempat penampungan akhir tinja ≥ 10 m; (2) Air bersih

terdiri dari air kemasan, air isi ulang, leding, dan sumur bor/pompa, sumur terlindung serta mata air terlindung dengan jarak ke tempat penampungan akhir

tinja ≥ 10 m (BPS 2009). Sedangkan Depkes (2008b) mendefinisikan air bersih berasal dari sumber terlindung dan sarana sumber air yang digunakan improved serta berada dalam radius 1 km dari rumah.

Statistik Kesejahteraan Rakyat tahun 2007 yang diterbitkan oleh BPS mengkategorikan sumber air minum yang digunakan oleh rumah tangga menjadi dua kelompok besar, yaitu sumber air minum terlindung dan tidak terlindung. Sumber air minum terlindung terdiri dari air kemasan, ledeng, pompa air, mata air terlindung, sumur terlindung, dan air hujan. Sedangkan sumber air minum tak terlindung terdiri dari sumur tak terlindung, mata air tak terlindung, air sungai dan lainnya (Depkes 2008b).

Air minum bersih menurut Susenas dalam Indikator Kesejahteraan Rakyat didefinisikan menjadi 3 (tiga), yaitu (1) Air minum bersih bersumber dari sumur/mata air yang jaraknya ke tempat pembuangan limbah > 10 m; (2) Air minum bersih bersumber dari pompa, sumur/mata air yang jaraknya ke tempat pembuangan limbah > 10 m; (3) Air minum bersih bersumber dari leding, kemasan, dan pompa, sumur/mata air terlindung yang jaraknya ke tempat pembuangan limbah > 10 m (BPS 2008b).

(36)

Proporsi Rumah Tangga yang Memiliki Akses Terhadap Sanitasi yang Layak. Tingginya masalah gizi dan penyakit terkait gizi saat ini berkaitan dengan faktor perilaku hidup bersih dan sehat. Salah satu indikator PHBS yang memiliki keterkaitan dengan masalah gizi adalah akses terhadap sanitasi layak (Bappenas 2010b).

Pembuangan tinja (tempat buang air besar/BAB) dalam nomenklatur MDGs meliputi jenis pemakaian/penggunaan tempat buang air besar, jenis kloset yang digunakan dan jenis tempat pembuangan akhir tinja. Dalam laporan MDGs 2010, kriteria akses terhadap sanitasi layak adalah bila penggunaan fasilitas

tempat BAB milik sendiri atau bersama, jenis kloset yang digunakan jenis „latrine‟ dan tempat pembuangan akhir tinjanya menggunakan tangki septik atau sarana pembuangan air limbah atau SPAL. Sedangkan kriteria yang digunakan JMP WHO-UNICEF 2008, sanitasi terbagi dalam empat kriteria, yaitu „improved‟,

shared‟, „unimproved‟ dan „open defecation‟. Dikategorikan sebagai „improved‟ bila penggunaan sarana pembuangan kotorannya sendiri, jenis kloset latrine dan tempat pembuangan akhir tinjanya tangki septik atau SPAL (Depkes 2010a).

Selain itu terdapat beberapa definisi sanitasi layak. Menurut SKRT 1980 dan SKRT 1986, sanitasi layak adalah bila penggunaan sarana BAB berupa jamban (Depkes 1988). Sedangkan Susenas mendefinisikan sanitasi layak menjadi 2, yaitu (1) penggunaan sarana BAB berupa septik tank dan lubang pembuangan tinja; (2) Sanitasi dasar yang layak didefinisikan sebagai sarana yang aman, higienis, dan nyaman yang dapat menjauhkan pengguna dan lingkungan di sekitarnya dari kontak dengan kotoran manusia, meliputi kloset dengan leher angsa yang terhubung dengan system pipa saluran atau tangki septik, termasuk jamban cemplung (pit latrine) terlindung dengan segel slab dan ventilasi serta toilet kompos (Bappenas 2009a).

Pelayanan Kesehatan Dasar

(37)

Cakupan Imunisasi Lengkap. Cakupan imunisasi lengkap adalah besarnya persentase balita yang mendapatkan imunisasi lengkap yaitu BCG 1 kali, polio 3 kali, DPT 3 kali, campak 1 kali dan hepatitis 3 kali. Imunisasi merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk mencegah kematian pada bayi dengan memberikan vaksin. Beberapa imunisasi yang wajib diberikan pada bayi adalah imunisasi polio, BCG, DPT, dan campak. BCG seringkali digunakan sebagai cerminan proporsi anak-anak yang dilindungi dari bentuk tuberkulosis yang parah selama satu tahun pertama hidupnya, dan juga digunakan sebagai salah satu indikator akses ke pelayanan kesehatan (Depkes 2008a).

Selain BCG, vaksin lain yang wajib diberikan pada bayi adalah polio. Imunisasi polio merupakan imunisasi untuk mencegah penyakit polio. Tidak seperti imunisasi BCG atau campak yang membutuhkan 1 dosis, imunisasi polio membutuhkan 3 dosis. Maka untuk mengukur keberhasilan upaya kesehatan yang dilakukan adalah polio3, yaitu ketika bayi telah mendapatkan imunisasi polio sebanyak 3 dosis (3 kali) (Depkes 2008a).

Diantara penyakit pada anak-anak yang dapat dicegah dengan vaksin, campak adalah penyebab utama kematian anak. Oleh karena itu pencegahan campak merupakan faktor penting dalam mengurangi angka kematian balita. Dari dua tujuan yang disepakati dalam pertemuan dunia tentang anak, salah satunya adalah mempertahankan cakupan imunisasi campak sebesar 90%. Di seluruh negara ASEAN dan SEARO, imunisasi campak diberikan rata-rata umur 9-12 bulan dan merupakan imunisasi terakhir yang diberikan kepada bayi diantara imunisasi wajib lainnya (BCG, DPT, Polio, Hepatitis, dan Campak). Dengan demikian diasumsikan bayi yang mendapat imunisasi campak telah mendapatkan imunisasi lengkap.

Sumber Daya Kesehatan. Gambaran mengenai situasi sumber daya kesehatan dikelompokkan menjadi sarana kesehatan, tenaga kesehatan, dan pembiayaan kesehatan. Sarana kesehatan meliputi puskesmas, rumah sakit (rumah sakit umum dan rumah sakit khusus), sarana Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM), sarana produksi dan distribusi farmasi dan alat kesehatan, dan institusi tenaga kesehatan.

(38)

Pelayanan Terpadu), Polindes (Pondok Bersalin Desa), Toga (Tanaman Obat Keluarga), POD (Pos Obat Desa), dan sebagainya.

Posyandu merupakan salah satu UKBM yang paling terkenal di masyarakat. Posyandu menyelenggarakan minimal 5 program prioritas, yaitu kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, perbaikan gizi, imunisasi, dan penanggulangan diare. Untuk memantau perkembangannya, Posyandu dikelompokkan ke dalam 4 (empat) strata, yaitu Posyandu Pratama, Posyandu Madya, Posyandu Purnama, dan Posyandu Mandiri. Jumlah posyandu merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk melihat keadaan sarana pelayanan kesehatan sarana Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) pada tiap tahun di Indonesia (Depkes 2008a).

Anggaran Perbaikan Gizi

Pembiayaan kesehatan di Indonesia terdiri atas pembiayaan kesehatan oleh pemerintah dan pembiayaan kesehatan oleh masyarakat yaitu mengenai pengeluaran rumah tangga untuk kesehatan dan jaminan pemeliharaan kesehatan. Pembiayaan kesehatan oleh pemerintah dituangkan dalam Anggaran Departemen Kesehatan Republik indonesia (Depkes 2008a).

Anggaran Departemen Kesehatan tiap tahun digunakan untuk berbagai program kesehatan dan salah satu diantaranya dialokasikan pada program perbaikan gizi. Program perbaikan gizi yang dilakukan yaitu Usaha Perbaikan Gizi Keluarga, Pencegahan Gondok Endemik, Pencegahan Defisiensi Vitamin A, Pencegahan dan Penanggulangan AGB, serta peningkatan kemampuan tenaga gizi, pengadaan prasana, sarana pengendalian dan penilaian (Bappenas 1983).

(39)

Kebijakan Ketahanan Pangan dan Perbaikan Gizi

Kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai suatu tujuan. Kebijakan setiap instansi pemerintah bervariasi menurut substansi permasalahan, tujuan kelompok sasaran, dan lingkup permasalahan (Wahab 2004).

Permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan ketahanan pangan adalah masalah eksternal dan internal. Permasalahan eksternal berkaitan dengan upaya pemantapan ketahanan pangan yang dihadapkan pada keterbukaan ekonomi dan perdagangan global. Pada tataran internal, pemantapan ketahanan pangan menghadapi masalah yang terkait dengan masih banyaknya proporsi penduduk yang mengalami kerawanan pangan kronis dan transien. Kerawanan pangan ini berdampak langsung pada rendahnya status gizi, kualitas fisik dan tingkat intelegensia masyarakat, yang berkorelasi positif dengan kemiskinan.

Konferensi Dewan Ketahanan Pangan sebagai lembaga koordinatif telah merumuskan tujuh fokus masalah strategis menyangkut ketahanan pangan nasional. Pertama, ketersediaan pangan pokok yang harus dapat mengejar laju konsumsi akibat masih tingginya laju pertambahan penduduk. Kedua, lambatnya penganekaragaman pangan menuju gizi seimbang. Ketiga, masalah keamanan pangan. Keempat, kerawanan pangan dan gizi buruk masalah ini sangat berkaitan erat dengan kemiskinan. Kelima, masalah alih fungsi lahan pertanian dan konservasi lahan dan air. Keenam, pengembangan infrastruktur pedesaan. Ketujuh, belum berkembangnya kelembagaan ketahanan pangan baik struktural maupun kelembagaan ketahanan pangan masyarakat (Dewan Ketahanan Pangan 2004).

Menurut Nainggolan (2008), untuk mengatasi berbagai masalah ketahanan pangan sangat diperlukan kebijakan dan langkah operasional terpadu lintas sektoral dan bahkan dengan menyertakan seluruh komponen masyarakat guna mengatasi rawan pangan, gizi buruk, dan kemiskinan. Instansi terkait haruslah secara sadar mengarahkan kebijakan maupun program kegiatan pada sistem ketahanan pangan yang handal

(40)
(41)

KERANGKA PEMIKIRAN

Menurut UNICEF (1998), penyebab timbulnya KEP pada anak balita terdiri dari beberapa tahapan, yaitu penyebab langsung, tidak langsung, akar masalah, dan pokok masalah. UNICEF menyatakan bahwa ada dua penyebab langsung terjadinya kasus gizi buruk, yaitu kurangnya asupan gizi dari makanan dan akibat terjadinya penyakit yang menyebabkan infeksi. Kedua penyebab tersebut saling berpengaruh. Kurangnya asupan gizi bisa disebabkan oleh terbatasnya jumlah makanan yang dikonsumsi atau makanannya tidak memenuhi unsur gizi yang dibutuhkan. Sedangkan kurang gizi yang terjadi akibat penyakit disebabkan oleh rusaknya beberapa fungsi organ tubuh sehingga tidak bisa menyerap zat-zat makanan secara baik.

Faktor penyebab langsung yang kedua adalah infeksi yang berkaitan dengan tingginya prevalensi dan kejadian penyakit infeksi terutama diare, ISPA, TBC, malaria, demam berdarah dan HIV/AIDS. Infeksi ini dapat mengganggu penyerapan asupan gizi sehingga mendorong terjadinya gizi kurang dan gizi buruk. Sebaliknya, gizi kurang melemahkan daya tahan anak sehingga mudah sakit.

Kedua faktor penyebab langsung tersebut dapat ditimbulkan oleh tiga faktor penyebab tidak langsung, yaitu: (i) ketersediaan dan pola konsumsi pangan dalam rumah tangga, (ii) pola pengasuhan anak, dan (iii) jangkauan dan mutu pelayanan kesehatan masyarakat. Ketiganya dapat berpengaruh pada kualitas konsumsi makanan anak dan frekuensi penyakit infeksi. Apabila kondisi ketiganya kurang baik menyebabkan gizi kurang.

(42)

Keterangan:

Variabel yang diteliti

Variabel yang tidak diteliti

Dampak MASALAH KEP

Konsumsi Makanan

Kurang

Status Infeksi Penyebab

Langsung

Ketersediaan Pangan

Kualitas Pola Asuh Anak

Pelayanan Kesehatan Dasar dan Kesehatan Lingkungan Penyebab

Tidak Langsung

Masalah

Utama Kemiskinan, Ketahanan Pangan dan Gizi, Pendidikan

Kebijakan dan Program Ketahanan Pangan dan Perbaikan Gizi

Kurang pemberdayaan wanita dan keluarga, kurangnya pemanfaatan sumber daya masyarakat

Akar Masalah (Nasional)

Kondisi Ekonomi dan Sosial Politik

(43)

METODOLOGI

Desain, Waktu, dan Tempat

Penelitian ini menggunakan desain studi deskriptif. Penelitian dilakukan dengan mengolah data sekunder yang berasal dari berbagai instansi terkait. Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai Juli 2011 di Bogor, Jawa Barat.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini seluruhnya berupa data sekunder. Pengumpulan data dibedakan berdasarkan sumber data. Data-data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:

Tabel 10 Jenis data yang digunakan, tahun dan sumber data penelitian

No. Jenis Data Tahun Sumber

1. Status Gizi Balita di Indonesia 1980-2010 Departemen Kesehatan RI, Badan Pusat Statistik (BPS RI) 2. Akses Air Minum Layak, Akses

Sanitasi Layak

1980-2010 Badan Pusat Statistik (BPS RI)

3. Cakupan Imunisasi Lengkap, Jumlah Posyandu

1980-2010 Departemen Kesehatan RI

4. Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita, Tingkat kemiskinan di Indonesia,

1980-2010 Badan Pusat Statistik RI (BPS RI)

5. Rata-rata rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas penduduk usia 15 tahun ke atas di Indonesia

1994-2010 Badan Pusat Statistik RI (BPS RI)

Gambar

Tabel 8 Klasifikasi status gizi balita berdasarkan nilai Z-score  Indeks  Nilai Z-score  Kategori  BB/U  Z-score &lt;-3.0  Gizi buruk
Gambar  1  Penyebab  KEP  (Kurang  Energi  Protein)  menurut  UNICEF  (1998)  disesuaikan dengan kondisi Indonesia
Tabel 11 Jenis variabel, kategori, tahun, dan keterangan variabel penelitian  No.  Variabel  Kategori  Tahun  Keterangan  1
Tabel  12  Trend  perkembangan  KEP  dan  gizi  kurang  pada  balita  di  Indonesia  periode  Repelita III-RPJMN
+7

Referensi

Dokumen terkait

hasil analisis nilai-nilai pendidikan karakter dalam Kompetensi Dasar 3 dan 4 dalam materi Pencemaran Lingkungan dan Pemanasan Global yang digunakan sebagai

Penggunaan kosa kata sebagai judul karya sastra, judul antologi, serta pemakaian kosa kata dalam cerita sangat besar pengaruh dan manfaatnya dalam pelestarian, pembinaan, dan

Tiap escaltor harus dilengkapi dengan tombol yang dapat segera berfungsi mematikan arus listrik ke motor penggerak dan mengaktifkan rem jika rantai tangga terputus atau

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan pengamatan hasil pengukuran tekanan darah yang dilakukan pada kedua lengan (kanan dan kiri) responden, kemudian menganalisa sejauhmana

Mayoritas perawat mengetahui bidang organisasi profesi PPNI, memiliki sikap yang mendukung tetapi belum disertai dengan tindakan yang aktif ikut serta

3, tetapi kali ni saya dedahkan sehingga 9 teknik 9 teknik  untuk dapatkan followers, dan   untuk dapatkan followers, dan beberapa modul lain bagaimana untuk anda

Perlu juga ditambahkan bahwa ada tugas-tugas DPR yang cukup banyak dan berat yang harus diselesaikan, yaitu menyangkut legislasi berbagai masalah nasional terutama

Puji dan syukur peneliti panjatkan atas kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan ridho-Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Status Ekonomi