• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Infeksi Larva-3 Haemonchus contortus terhadap Potensi Kekebalan dan Gambaran Darah Domba Ekor Tipis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Infeksi Larva-3 Haemonchus contortus terhadap Potensi Kekebalan dan Gambaran Darah Domba Ekor Tipis"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

Potensi Kekebalan dan Gambaran Darah Domba Ekor Tipis. Dibawah bimbingan ACHMAD FARAJALLAH dan SARWITRI ENDAH ESTUNINGSIH.

Salah satu parasit cacing saluran pencernaan yang paling banyak menginfeksi domba di Jawa Barat ialah Haemonchus contortus. Domba yang terinfeksi H. contortus pada umumnya akan mengalami anemia bahkan kematian karena kehilangan darah. Salah satu upaya untuk mengatasi hal ini ialah dengan mengembangkan domba lokal yang tahan infeksi H. contortus yang dapat dianalisis dari gambaran darah sebagai gambaran kondisi fisiologis dan ketahanan ternak tersebut. Sebanyak 20 domba ekor tipis diobati dengan ivermectin sampai terbebas dari infeksi cacing. Sebanyak 18 ekor domba yang bebas cacing diinfeksi dengan L3H. contortus per oral sebanyak 3000 larva/ekor dan 2 ekor domba tidak diinfeksi sebagai kontrol. Bobot badan, faecal egg count, dan gambaran darah domba diamati selama 42 hari setelah infeksi. Infeksi H. contortus pada domba cenderung menurunkan nilai packed cell volume, kadar haemoglobin darah, jumlah sel darah merah, dan meningkatkan jumlah sel darah putih, namun tidak sampai menyebabkan kondisi anemia. Bobot badan domba tetap meningkat selama masa infeksi, namun laju pertambahan bobot harian domba menurun sampai akhir pengamatan. Nilai gambaran darah yang ditemukan mengisyaratkan bahwa domba ekor tipis memiliki potensi kekebalan terhadap infeksi H. contortus.

kata kunci : domba ekor tipis, Haemonchus contortus, gambaran darah, anemia, kekebalan

ABSTRACT

I MADE PRADIPTA KRISNAYANA. The Effect of Larva-3 Haemonchus contortus Infection to Resistant Potency and Blood Values of Indonesian Thin-Tailed Sheep. Supervised by ACHMAD FARAJALLAH and SARWITRI ENDAH ESTUNINGSIH.

Gastrointestinal parasite that infected sheep from West Java is Haemonchus contortus dominantly. Sheep that infected by H. contortus generally will suffering anemia to the death because of their blood loss. Attempt that could be done to solve this problem is developing local breed of sheep that resistant to H. contortus infection which can be known by examine the blood values of sheep that infected by H. contortus. Twenty Indonesian Thin-Tailed (ITT) sheep were treated by ivermectin until gastrointestinal parasite infection is zero. Eighteen sheep that are free from gastrointestinal parasite were infected orally by 3000 larvae/sheep of L3H. contortus and two other sheep were not infected as a control. The body weight, faecal egg count, and blood values of sheep were examined during 42 days after infection. Infection of H. contortus in sheep tend to lower the value of packed cell volume, rate of haemoglobin, amount of red blood cell, and increase amount of white blood cell, but it did not cause anemia. The body weight of the sheep consistently increased during infection, but the growth rate decreased until the end of observation. The blood values that were found in the observation showed that ITT sheep has a potency of resistance to H. contortus infection.

(2)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Domba merupakan ternak yang banyak dipelihara sebagai komoditas pangan dan sebagai ternak simpanan di Indonesia. Domba ekor tipis merupakan domba yang banyak dipelihara di Jawa Barat. Masalah umum yang terjadi dalam pemeliharaan domba ialah penyakit akibat parasit cacing saluran pencernaan. Salah satu cacing yang paling banyak menginfeksi domba di Jawa Barat ialah Haemonchus contortus (Beriajaya 2005).

Haemonchus contortus merupakan parasit cacing saluran pencernaan pada domba, kambing, dan ruminansia lainnya. Cacing dewasa hidup pada abomasum ruminansia. Cacing jantan berwarna kemerahan dengan panjang 10-20 mm, sedangkan cacing betina memiliki ovari berwarna putih yang melingkari saluran pencernaan dengan panjang 18-30 mm. Siklus hidup cacing ini diawali stadia telur yang akan menetas dalam 4-6 hari di tempat yang lembap. Telur menetas menjadi larva tahap ke-1 (L1), tahap ke-2 (L2), dan tahap ke-3 (L3) di rumput. L3 merupakan larva infektif yang akan menginfeksi ternak jika rumput tersebut termakan. L3 tersebut kemudian menjadi dewasa selama 18 hari dan menyelesaikan ekdisis ke-3 di abomasum hingga menjadi larva tahap ke-4 (L4) yang mulai menghisap darah (Lapage 1984). Infeksi yang terjadi mengakibatkan ternak mengalami anemia bahkan kematian karena kehilangan darah rata-rata 0.05 ml/parasit/hari (Soulsby 1982). Penyebaran parasit ini terjadi melalui pakan rumput yang terkontaminasi larva cacing.

Infeksi H. contortus disebut juga dengan istilah haemonchosis. Gejala klinis haemonchosis terdiri dari tiga sindrom, yaitu haemonchosis hiperakut, haemonchosis akut, dan haemonchosis kronik. Haemonchosis akut terjadi akibat sangat banyak infeksi parasit hingga menyebabkan kematian karena anemia, haemonchosis akut terjadi ketika jumlah parasit sekitar 1000-10000, sedangkan haemonchosis kronik terjadi ketika jumlah parasit sekitar 100-1000 (Soulsby 1982). Infeksi H. contortus memberikan gambaran perubahan patologi pada beberapa organ ruminansia, yaitu perubahan makroskopis, perubahan seluler tingkat enteritis, abomastitis, pembentukan pusat homopoiesis baru, peningkatan aktivitas limpa dan simpul limpa, serta perubahan komposisi isi tulang panjang. Peningkatan infeksi jumlah larva

menyebabkan kerusakan jaringan seperti mukosa anemis, abomastitis, dan enteritis bertambah parah (Estuningsih et al. 1996).

Infeksi H. contortus pada domba memberikan kerugian bagi peternak seperti berkurangnya bobot hidup dan kematian domba, sehingga diperlukan upaya untuk mengatasinya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi infeksi H. contortus ialah dengan memberi obat cacing. Pemberian obat cacing kimia berpotensi meningkatkan residu bahan kimia yang dapat menurunkan kualitas daging. Alternatif yang dapat dilakukan ialah penggunaan obat cacing herbal, misalnya getah pepaya dan rimpang bangle (Satrija et al. 1999; Beriajaya et al. 1998). Selain itu, alternatif lain ialah dengan pengembangan domba lokal yang memiliki daya tahan atau kekebalan terhadap infeksi H. contortus.

Gill (1991) melaporkan telah menemukan domba Merino di Australia yang tahan terhadap infeksi cacing H. contortus. Jenis domba lain di dunia juga banyak dilaporkan tahan terhadap infeksi H. contortus (Soulsby 1982). Oleh karena itu, domba lokal seperti domba ekor tipis juga berpeluang memiliki potensi kekebalan terhadap infeksi H. contortus. Sebagai langkah awal untuk mengetahui ketahanan domba lokal terhadap infeksi cacing H. contortus ialah dengan menganalisis gambaran darah sebagai gambaran kondisi fisiologis domba tersebut.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh infeksi L3 H. contortus terhadap potensi kekebalan dan gambaran darah domba ekor tipis di Bogor.

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2011 sampai dengan bulan Juni 2011 di kandang domba Serikat Petani Indonesia, laboratorium parasitologi Balai Besar Penelitian Veteriner, dan laboratorium fungsi dan perilaku hewan Departemen Biologi, FMIPA, IPB.

BAHAN DAN METODE

Bahan

(3)

Metode

Koleksi Sampel Cacing

Sampel cacing H. contortus dikoleksi dari abomasum domba dari tempat pemotongan hewan. Abomasum dan isinya ditampung dan disaring menggunakan saringan dengan diameter pori berukuran 250 µm. Cacing dikoleksi dan ditempatkan ke dalam cawan petri berisi akuades.

Kultur Cacing

Kultur cacing dilakukan untuk mendapatkan L3 dalam jumlah banyak. Cacing digerus untuk mengeluarkan telurnya, kemudian hasil gerusan disaring dengan saringan 250 µm dan disaring lagi dengan saringan 25 µm. Telur cacing pada saringan terakhir kemudian diinkubasi satu hari pada suhu ruang dan dipindahkan ke media kultur larva yang terbuat dari campuran kotoran dan vermikulit dengan perbandingan 1:1 dalam wadah gelas. Larva dipanen setelah tujuh hari sejak kultur cacing dilakukan, kemudian larva disimpan pada suhu 4 ⁰C.

Penyiapan Hewan Perlakuan dan Infeksi Cacing

Sebanyak 20 ekor domba ekor tipis umur 8-12 bulan asal Bogor dibebaskan dari cacing dengan obat Ivermectin. Domba dinyatakan bersih setelah tidak ditemukan telur cacing di fesesnya dengan pemeriksaan faecal egg count (FEC) menggunakan metode pengapungan yang digunakan di laboratorium fungsi dan perilaku hewan Departemen Biologi. Sebanyak 9 ekor domba jantan (♂) dan 9 ekor domba betina (♀) yang bebas cacing diinfeksi dengan L3 H. contortus per oral sebanyak 3000 larva/ekor dan 2 ekor domba tidak diinfeksi sebagai kontrol (K).

Pengamatan Pengaruh Infeksi Cacing Pengamatan pengaruh infeksi H. contortus dilakukan pada hari ke-28, ke-35, dan ke-42 yang meliputi pertambahan bobot badan harian (PBBH), FEC, packed cell volume (PCV), kandungan hemoglobin (Hb), serta jumlah sel darah merah (SDM) dan sel darah putih (SDP), serta diferensiasi SDP.

Sampel darah domba diambil dengan venoject dan vacutainer hampa udara yang berisi antikoagulan. Darah diambil dari bagian vena jugularis pada leher domba dengan menusukkan jarum venoject ke bagian tersebut, kemudian ±2 ml darah diambil dan ditampung dalam vacutainer. Darah dalam vacutainer kemudian dikocok merata hingga antikoagulan pada vacutainer tercampur merata dengan darah. Sebelum dan sesudah

diambil darah, daerah leher domba yang diambil darah dibersihkan menggunakan alkohol 70%.

PBBH dihitung dengan mengukur selisih bobot badan domba pada hari pengamatan dengan pengamatan sebelumnya dibagi jumlah hari antara dua pengamatan.

PBBH=bobot badan hari ke-m – bobot badan hari ke-n jumlah hari ke-m – jumlah hari ke-n

Nilai PCV diukur dengan cara mengendapkan darah dalam pipa kapiler mikrohematokrit. Darah dialirkan ke pipa kapiler mikrohematokrit hingga 2/3 bagian kemudian ujung pipa kapiler disumbat lilin dengan cara diputar-putar. Pipa kapiler tersebut kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 6000 rpm selama 5 menit. Porsi endapan sel darah dibandingkan ke volume total darah kemudian rasionya dihitung sebagai nilai PCV.

Nilai FEC ditentukan dalam jumlah eggs per gram (epg). Sebanyak 2 g feses domba direndam 18 ml akuades satu malam, kemudian dihomogenasi dan diapungkan dengan garam jenuh NaCl 40% hingga telur cacing terapung. Sebanyak 0.05 ml campuran larutan tersebut dihitung jumlah telurnya kemudian ditentukan jumlah epg pada feses domba. Pengamatan dilakukan 5 kali ulangan dan tiap telur yang teramati mewakili 600 epg.

Jumlah Hb ditentukan dalam gram Hb per 100 ml darah dengan hemoglobinometer. Tabung Sahli diisi dengan larutan HCl 0.1 N, kemudian darah dihisap dengan pipet Sahli sebanyak 0.02 ml dan dimasukkan ke tabung Sahli. Campuran larutan dalam tabung Sahli didiamkan selama 3 menit, kemudian ditambahkan setetes air berulang sampai warnanya sama dengan standar. Warna yang telah sama terhadap standar menentukan banyaknya gram Hb per 100 ml darah.

(4)

3

Diferensiasi SDP dilakukan berbasis preparat ulas darah total. Darah diulas di preparat kemudian difiksasi dengan metanol selama 2 menit. Preparat ulas darah diwarnai menggunakan pewarna giemsa selama 30 menit, kemudian dibilas dengan air. Pengamatan dilakukan dengan metode zig-zag (Gambar 1) dan hasil penghitungan dinyatakan dalam persen dengan total diferensiasi SDP dihitung per 100 butir SDP.

Gambar 1 Metode pengamatan zig-zag preparat ulas darah.

Analisis Data

Data-data hasil pengamatan dianalisis menggunakan analisis ragam menggunakan program MINITAB 14 dan nilai yang berbeda nyata dilakukan analisis lanjut dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) menggunakan program Microsoft Excel 2007 untuk mengetahui nilai amatan dari perlakuan yang berbeda nyata, dan hubungan antara pengamatan hari ke-0 sampai ke-42 pada nilai amatan tiap perlakuan dilakukan analisis korelasi Pearson menggunakan program

MINITAB 14. Masing-masing uji dilakukan pada taraf nyata uji 5%.

HASIL

Koleksi dan kultur cacing dilakukan pada awal penelitian. Telur cacing H. contortus (Gambar 2) berhasil dikoleksi dan dikulturkan pada media vermikulit dan kotoran hingga didapat lebih dari 60000 L3 H. contortus.

Gambar 2 Telur H. contortus yang diamati pada mikroskop cahaya.

Infeksi H. contortus pada domba ekor tipis menimbulkan perubahan nilai rataan beberapa aspek fisiologi, yaitu nilai PBBH, FEC, nilai PCV, kadar Hb, jumlah SDM, dan jumlah SDP (Tabel 1, Gambar 3, dan Gambar 4).

Tabel 1 Nilai (rataan ± SD) PBBH, FEC, dan gambaran darah domba selama masa infeksi

Parameter Amatan Domba Hari ke-

0 28 35 42

PBBH (kg)

♂ 0±0a 0.03±0.001a 0.04±0.002a 0.02±0.000b ♀ 0±0a 0.03±0.001a 0.07±0.003a -0.05±0.002a Kontrol 0±0a 0.03±0.007a 0.04±0.007a 0.08±0.035c

FEC (ttgt)

♂ 0±0a 796±1352a 1618±1612a 1036±1196a

♀ 0±0a 1404±1621a 1671±2327a 1596±2134a

Kontrol 0±0a 0±0a 0±0a 0±0a

PCV (%)

♂ 28±4a 27±5a 26±3a 26±3a

♀ 30±2a 25±2a 27±2a 27±2a

Kontrol 26±6a 32±4a 30±5a 28±4a

Hb (g %)

♂ 8.3±0.8a 7.9±1.0b 7.9±0.7a 7.8±0.7a

♀ 8.8±0.7a 7.5±0.4a 7.7±0.6a 7.9±0.6a

Kontrol 8.1±1.3a 9.3±1.8c 8.9±1.5a 8.6±1.3a

SDM (107 sel/mm3)

♂ 1.2±0.15a 1.1±0.17a 1.0±0.15a 1.0±0.14a ♀ 1.2±0.23a 1.1±0.08a 1.1±0.15a 1.2±0.12b Kontrol 1.1±0.21a 1.3±0.35a 1.3±0.07a 1.3±0.28c

SDP (103 sel/mm3)

♂ 10.5±0.29a 14.6±0.25a 13.8±0.26a 15.5±0.20a ♀ 12.6±0.39a 14.7±0.38a 16.3±0.42a 16.6±0.37a Kontrol 10.0±1.62a 10.3±3.11a 11.3±2.26a 12.9±4.53a

Limfosit (%)

♂ 33±8a 27±7a 34±8a 30±7a

♀ 34±8a 30±9a 31±11a 36±8a

Kontrol 32±0a 32±0a 34±2a 35±2a

Monosit (%)

♂ 8±3a 10±4a 11±4a 10±3a

♀ 10±5a 10±4a 10±4a 8±5a

Kontrol 10±1a 10±1a 11±2a 10±1a

(5)

Diferensiasi SDP dilakukan berbasis preparat ulas darah total. Darah diulas di preparat kemudian difiksasi dengan metanol selama 2 menit. Preparat ulas darah diwarnai menggunakan pewarna giemsa selama 30 menit, kemudian dibilas dengan air. Pengamatan dilakukan dengan metode zig-zag (Gambar 1) dan hasil penghitungan dinyatakan dalam persen dengan total diferensiasi SDP dihitung per 100 butir SDP.

Gambar 1 Metode pengamatan zig-zag preparat ulas darah.

Analisis Data

Data-data hasil pengamatan dianalisis menggunakan analisis ragam menggunakan program MINITAB 14 dan nilai yang berbeda nyata dilakukan analisis lanjut dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) menggunakan program Microsoft Excel 2007 untuk mengetahui nilai amatan dari perlakuan yang berbeda nyata, dan hubungan antara pengamatan hari ke-0 sampai ke-42 pada nilai amatan tiap perlakuan dilakukan analisis korelasi Pearson menggunakan program

MINITAB 14. Masing-masing uji dilakukan pada taraf nyata uji 5%.

HASIL

Koleksi dan kultur cacing dilakukan pada awal penelitian. Telur cacing H. contortus (Gambar 2) berhasil dikoleksi dan dikulturkan pada media vermikulit dan kotoran hingga didapat lebih dari 60000 L3 H. contortus.

Gambar 2 Telur H. contortus yang diamati pada mikroskop cahaya.

Infeksi H. contortus pada domba ekor tipis menimbulkan perubahan nilai rataan beberapa aspek fisiologi, yaitu nilai PBBH, FEC, nilai PCV, kadar Hb, jumlah SDM, dan jumlah SDP (Tabel 1, Gambar 3, dan Gambar 4).

Tabel 1 Nilai (rataan ± SD) PBBH, FEC, dan gambaran darah domba selama masa infeksi

Parameter Amatan Domba Hari ke-

0 28 35 42

PBBH (kg)

♂ 0±0a 0.03±0.001a 0.04±0.002a 0.02±0.000b ♀ 0±0a 0.03±0.001a 0.07±0.003a -0.05±0.002a Kontrol 0±0a 0.03±0.007a 0.04±0.007a 0.08±0.035c

FEC (ttgt)

♂ 0±0a 796±1352a 1618±1612a 1036±1196a

♀ 0±0a 1404±1621a 1671±2327a 1596±2134a

Kontrol 0±0a 0±0a 0±0a 0±0a

PCV (%)

♂ 28±4a 27±5a 26±3a 26±3a

♀ 30±2a 25±2a 27±2a 27±2a

Kontrol 26±6a 32±4a 30±5a 28±4a

Hb (g %)

♂ 8.3±0.8a 7.9±1.0b 7.9±0.7a 7.8±0.7a

♀ 8.8±0.7a 7.5±0.4a 7.7±0.6a 7.9±0.6a

Kontrol 8.1±1.3a 9.3±1.8c 8.9±1.5a 8.6±1.3a

SDM (107 sel/mm3)

♂ 1.2±0.15a 1.1±0.17a 1.0±0.15a 1.0±0.14a ♀ 1.2±0.23a 1.1±0.08a 1.1±0.15a 1.2±0.12b Kontrol 1.1±0.21a 1.3±0.35a 1.3±0.07a 1.3±0.28c

SDP (103 sel/mm3)

♂ 10.5±0.29a 14.6±0.25a 13.8±0.26a 15.5±0.20a ♀ 12.6±0.39a 14.7±0.38a 16.3±0.42a 16.6±0.37a Kontrol 10.0±1.62a 10.3±3.11a 11.3±2.26a 12.9±4.53a

Limfosit (%)

♂ 33±8a 27±7a 34±8a 30±7a

♀ 34±8a 30±9a 31±11a 36±8a

Kontrol 32±0a 32±0a 34±2a 35±2a

Monosit (%)

♂ 8±3a 10±4a 11±4a 10±3a

♀ 10±5a 10±4a 10±4a 8±5a

Kontrol 10±1a 10±1a 11±2a 10±1a

(6)

4

Lanjutan

Parameter Amatan Domba Hari ke-

0 28 35 42

Basofil (%) ♂ 6±3a 8±4a 6±3a 6±3a

♀ 7±2a 6±4a 6±4a 5±1a

Kontrol 6±1a 8±1a 6±0a 7±0a

Eosinofil (%) ♂ 29±8a 28±4a 28±6a 30±7a

♀ 29±2a 30±4a 32±7a 33±11a

Kontrol 27±1a 26±1a 27±1a 26±1a

Neutrofil (%) ♂ 24±7a 27±7a 19±7a 23±3a

♀ 22±9a 23±7a 20±6a 19±6a

Kontrol 25±1a 26±1a 24±1a 23±1a

PBBH: Pertambahan Bobot Badan Harian, FEC: Faecal Egg Count, PCV: Packed Cell Volume, Hb: Haemoglobin, SDM: Sel Darah Merah, SDP: Sel Darah Putih, dan huruf superskrip yang sama pada kolom yang sama pada satu kolom jenis pengamatan menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata pada analisis ragam dan uji DMRT pada taraf 5%.

(7)

Gambar 4 Grafik nilai (rataan±SD) jumlah diferensiasi jenis SDP domba jantan (a), domba betina (b), dan kontrol (c) limfosit ( ), monosit ( ), basofil ( ), eosinofil ( ), dan neutrofil ( ) setelah diinfeksi L3H. contortus.

PEMBAHASAN

Nilai rataan PBBH terus meningkat sampai hari ke-35 dan kemudian menurun dari hari ke-35 sampai hari ke-42. Pada hari ke-35 infeksi H. contortus sudah memasuki masa infektifnya sehingga mulai terjadi penurunan nilai rataan PBBH dari pengamatan sebelumnya. Hubungan perubahan nilai rataan PBBH ini tidak bisa dibedakan antara domba jantan dan betina terhadap kontrol (P>0.05).

Nilai rataan jumlah FEC mengalami peningkatan dari jumlah nol pada hari awal infeksi hingga hari ke-28 dan ke-35, namun kembali mengalami penurunan jumlahnya pada hari ke-42. Hubungan peningkatan nilai rataan jumlah FEC ini tidak bisa dibedakan dengan kontrol (P>0.05). Nilai FEC menggambarkan populasi cacing dalam tubuh domba. Larva H. contortus yang masuk ke tubuh domba akan mengalami adaptasi dan perkembangan sebelum dapat menghisap darah dan menghasilkan telur dalam tubuh domba. Larva cacing yang tidak dapat bertahan akan mati, sedangkan larva yang bertahan akan melanjutkan siklus hidupnya. Jumlah telur cacing yang menurun di akhir

pengamatan diduga disebabkan oleh sudah lewatnya masa infektif dari siklus hidup H. contortus dalam saluran pencernaan domba, yaitu rata-rata sekitar 39-42 hari setelah infeksi sehingga tidak efektif lagi dalam menghisap darah dan menghasilkan telur (Soulsby 1982).

(8)

6

total terhadap cairan darah. Nilai PCV pada umumnya akan mengalami penurunan yang sangat tajam akibat infeksi H. contortus pada tahap pertama anemia, yaitu pada hari ke-7 sampai ke-25 setelah infeksi dengan rata-rata penurunan nilai PCV sebesar 11%. Nilai tersebut kemudian cenderung stabil namun dengan nilai dibawah normal pada tahap kedua anemia, yaitu 6-14 hari berikutnya (Soulsby 1982).

Nilai rataan jumlah Hb pada darah domba jantan dan betina menurun sejak hari awal hingga akhir pengamatan. Nilai rataan jumlah Hb pada darah domba yang diinfeksi H. contortus selama pengamatan berkisar antara 7.5-8.8 g%. Jumlah Hb normal pada darah domba ialah 11 g% (Frandson 1992) atau 8-11 g% (Banks 1993). Hubungan penurunan nilai Hb pada domba jantan dan betina tidak bisa dibedakan (P>0.05) terhadap kontrol. Hemoglobin pada SDM berperan dalam pengikatan oksigen sehingga memungkinkan SDM untuk mengangkut oksigen dalam sistem peredaran. Penurunan jumlah hemoglobin sampai dibawah keadaan normal dapat menyebabkan kondisi anemia.

Nilai rataan jumlah SDM pada domba mengalami penurunan dari hari ke-0 infeksi sampai akhir pengamatan bagi domba jantan dan betina. Nilai ini kembali meningkat pada hari ke-42 setelah infeksi pada domba betina. Nilai rataan jumlah SDM pada darah domba yang diinfeksi H. contortus selama pengamatan berkisar antara 1.0-1.2 x 107 sel/mm3. Jumlah SDM normal pada darah domba ialah 1.1 x 107 sel/mm3 (Frandson 1992) atau 0.8-1.6 x 107 sel/mm3 (Banks 1993). Hubungan penurunan nilai rataan jumlah SDM ini tidak bisa dibedakan (P>0.05) terhadap kontrol.

Nilai rataan jumlah SDP meningkat seiring dengan adanya parasit dalam tubuh domba selama masa infeksi. Hal ini dapat diketahui dari peningkatan jumlah SDP pada domba yang diinfeksi cacing, namun hubungan peningkatan jumlah SDP ini pada domba jantan dan betina tidak bisa dibedakan terhadap kontrol (P>0.05) hingga akhir pengamatan. Nilai rataan jumlah SDP pada darah domba yang diinfeksi H. contortus selama pengamatan berkisar antara 10.5-11.6 x 103/mm3. Jumlah SDP normal pada darah domba ialah 7-12 x 103/mm3 (Frandson 1992) atau 4-10 x 103/mm3 (Banks 1993). SDP secara umum berperan penting dalam pertahanan tubuh terhadap penyakit.

Hasil diferensiasi SDP pada pengamatan menemukan rataan persentase limfosit, monosit, basofil, eosinofil, dan neutrofil domba yang diinfeksi H. contortus masing-masing ialah 27-36%, 8-11%, 5-8%, 28-33%, dan 19-27%. Kisaran jumlah jenis SDP normal pada domba ialah limfosit 60-65%, monosit 5%, basofil 1%, eosinofil 2-5%, dan neutrofil 25-30% (Frandson 1992). Nilai rataan persentase jumlah limfosit, neutrofil, dan eosinofil pada darah domba tetap tinggi dan cenderung meningkat hingga akhir pengamatan. Ketiga jenis SDP ini terutama eosinofil berperan dalam melawan infeksi yang ditimbulkan oleh parasit. Hubungan peningkatan maupun penurunan persentase jumlah jenis-jenis SDP pada domba jantan dan domba betina dalam pengamatan seluruhnya tidak bisa dibedakan dengan peningkatan maupun penurunan jenis-jenis SDP pada domba kontrol (P>0.05).

Jumlah limfosit dalam darah domba terinfeksi selama pengamatan lebih rendah dari jumlah limfosit normal pada domba, yaitu 60-65%. Hal ini dipengaruhi antara lain oleh faktor umur, jenis kelamin, jenis domba, dan metode yang digunakan (Egbe-Nwiyi et al. 2000). Domba yang digunakan dalam penelitian berumur 8-12 bulan. Jumlah limfosit meningkat seiring dengan pertambahan umur. Peningkatan jumlah limfosit sampai nilai normal mencerminkan peningkatan pembentukan sistem kekebalan dengan bertambahnya umur domba (Egbe-Nwiyi et al. 2000). Limfosit bermanfaat dalam sistem kekebalan tubuh dengan membentuk kekebalan humoral dan selular (Tizard 1988), salah satunya dengan membentuk antibodi (Frandson 1992).

Jumlah monosit dalam darah domba terinfeksi selama pengamatan relatif tidak berbeda dari jumlah monosit normal pada domba, yaitu 5-6%. Monosit merupakan sel fagositik yang mampu menelan material asing dan akan berkembang menjadi fagosit yang lebih besar, yaitu makrofag ketika masuk ke dalam jaringan akibat adanya material asing tersebut. Sel ini aktif bekerja pada keadaan infeksi yang tidak akut. (Frandson 1992).

(9)

dalam proses reaksi alergik karena sel ini mengandung heparin, histamin, bradikinin, dan serotonin yang dilepaskan di daerah peradangan untuk mencegah pembekuan dan stasis darah (Frandson 1992).

Jumlah eosinofil dalam darah domba terinfeksi selama pengamatan lebih tinggi dari jumlah eosinofil normal pada domba, yaitu 5%. Hal ini terjadi akibat adanya infeksi dari parasit terutama nematoda atau nilainya mungkin tetap tinggi akibat infeksi-infeksi parasit pada waktu sebelumnya. Eosinofil diduga berperan dalam membunuh larva cacing yang menginfeksi domba. Jumlah eosinofil yang tinggi berperan dalam meningkatkan mekanisme respon kebal protektif domba ekor tipis terhadap infeksi Fasciola gigantica (Wiedosari 2006). Jumlah eosinofil juga berkaitan dengan resistensi domba yang terinfeksi Trichostrongylus colubriformis (Rothwell et al. 1993) dan Ostertagia circumcincta (Stear et al. 1995). Eosinofil merupakan penciri khas adanya infeksi nematoda yang memasuki tubuh dan merusak jaringan inangnya karena sel ini dapat menghasilkan enzim yang dapat menghancurkan kutikula nematoda serta dapat menempel dan memfagosit cacing parasit dengan adanya IgE dan IgG. Sel ini kemudian juga dapat mensekresikan mediator kompleks peroksidase yang menghasilkan histamin untuk menetralkan peradangan yang dilepaskan oleh sel mast (Douch et al. 1996).

Jumlah neutrofil dalam darah domba yang terinfeksi selama pengamatan relatif tidak berbeda dari jumlah neutrofil normal pada domba, yaitu 25-30%. Neutrofil merupakan sel pertahanan dalam melawan infeksi terutama serangan bakteri dengan cara migrasi ke daerah yang mengalami serangan bakteri yang melepaskan zat kemotoksik. Enzim lisosom dari neutrofil berperan dalam mencerna material asing tersebut (Frandson 1992). Infeksi H. contortus pada abomasum menimbulkan peradangan dan rentan terhadap serangan bakteri. Neutrofil berperan utama pada proses yang berhubungan dengan peradangan akibat infeksi dan jumlahnya meningkat selama periode paten akibat infeksi Haemonchus (Adams 1993).

Seluruh nilai rataan aspek yang diamati, yaitu nilai PBBH, nilai FEC, nilai PCV, kadar Hb, jumlah SDM, jumlah SDP, dan persentase jumlah jenis-jenis SDP, kecuali nilai PCV domba betina memiliki hubungan peningkatan maupun penurunan yang tidak bisa dibedakan

antara domba jantan dan domba betina terhadap kontrol (P>0.05). Hal ini menunjukkan bahwa infeksi L3 H. contortus pada domba ekor tipis selama 42 hari tidak memberikan pengaruh yang signifikan walaupun nilai-nilai amatan cenderung mengalami penurunan maupun peningkatan. Nilai ini menunjukkan juga bahwa tidak ada domba perlakuan yang terlihat mengalami ciri-ciri anemia bahkan kematian akibat diinfeksi H. contortus.

Berdasarkan semua nilai rataan ukuran yang dilakukan dalam penelitian ini, domba ekor tipis menunjukkan adanya potensi kekebalan terhadap infeksi cacing H. contortus. Hal ini menunjukkan adanya peluang domba ekor tipis memiliki gen yang dapat terekspresi dan berpengaruh terhadap mekanisme ketahanan domba terhadap infeksi H. contortus. Beberapa jenis domba di dunia juga banyak dilaporkan memiliki ketahanan terhadap infeksi H. contortus seperti domba Merino (Gill 1991), domba Creole (Bambou et al. 2009), domba Xhosa, dan domba Nguni (Marume et al. 2011). Domba yang berasal dari Indonesia seperti domba Sumatera dan domba persilangan Sumatera-Ekor Gemuk dilaporkan tidak memiliki ketahanan terhadap infeksi H. contortus (Romjali et al. 1996).

Studi pada tingkat molekuler tentang gen yang terkait kekebalan ruminansia terhadap infeksi nematoda gastrointestinal telah banyak dilakukan. Beberapa QTLs (Quality Trait Loci) bagi kekebalan terhadap nematoda parasit gastrointestinal telah teridentifikasi. Setidaknya ada dua gen yang menunjukkan hubungan kekebalan hewan ruminansia terhadap infeksi nematoda gastrointestinal. Gen yang pertama ialah gen DRB, yaitu kelas II dari Major Histocompatibility Complex (MHC) dan gen yang kedua ialah Interferon Gamma Gene (IFNG), yaitu gen pada kromosom. Gen IFNG dan DRB mengatur respon-respon kekebalan terhadap infeksi nematoda gastrointestinal (Charon 2004).

SIMPULAN

(10)

7

dalam proses reaksi alergik karena sel ini mengandung heparin, histamin, bradikinin, dan serotonin yang dilepaskan di daerah peradangan untuk mencegah pembekuan dan stasis darah (Frandson 1992).

Jumlah eosinofil dalam darah domba terinfeksi selama pengamatan lebih tinggi dari jumlah eosinofil normal pada domba, yaitu 5%. Hal ini terjadi akibat adanya infeksi dari parasit terutama nematoda atau nilainya mungkin tetap tinggi akibat infeksi-infeksi parasit pada waktu sebelumnya. Eosinofil diduga berperan dalam membunuh larva cacing yang menginfeksi domba. Jumlah eosinofil yang tinggi berperan dalam meningkatkan mekanisme respon kebal protektif domba ekor tipis terhadap infeksi Fasciola gigantica (Wiedosari 2006). Jumlah eosinofil juga berkaitan dengan resistensi domba yang terinfeksi Trichostrongylus colubriformis (Rothwell et al. 1993) dan Ostertagia circumcincta (Stear et al. 1995). Eosinofil merupakan penciri khas adanya infeksi nematoda yang memasuki tubuh dan merusak jaringan inangnya karena sel ini dapat menghasilkan enzim yang dapat menghancurkan kutikula nematoda serta dapat menempel dan memfagosit cacing parasit dengan adanya IgE dan IgG. Sel ini kemudian juga dapat mensekresikan mediator kompleks peroksidase yang menghasilkan histamin untuk menetralkan peradangan yang dilepaskan oleh sel mast (Douch et al. 1996).

Jumlah neutrofil dalam darah domba yang terinfeksi selama pengamatan relatif tidak berbeda dari jumlah neutrofil normal pada domba, yaitu 25-30%. Neutrofil merupakan sel pertahanan dalam melawan infeksi terutama serangan bakteri dengan cara migrasi ke daerah yang mengalami serangan bakteri yang melepaskan zat kemotoksik. Enzim lisosom dari neutrofil berperan dalam mencerna material asing tersebut (Frandson 1992). Infeksi H. contortus pada abomasum menimbulkan peradangan dan rentan terhadap serangan bakteri. Neutrofil berperan utama pada proses yang berhubungan dengan peradangan akibat infeksi dan jumlahnya meningkat selama periode paten akibat infeksi Haemonchus (Adams 1993).

Seluruh nilai rataan aspek yang diamati, yaitu nilai PBBH, nilai FEC, nilai PCV, kadar Hb, jumlah SDM, jumlah SDP, dan persentase jumlah jenis-jenis SDP, kecuali nilai PCV domba betina memiliki hubungan peningkatan maupun penurunan yang tidak bisa dibedakan

antara domba jantan dan domba betina terhadap kontrol (P>0.05). Hal ini menunjukkan bahwa infeksi L3 H. contortus pada domba ekor tipis selama 42 hari tidak memberikan pengaruh yang signifikan walaupun nilai-nilai amatan cenderung mengalami penurunan maupun peningkatan. Nilai ini menunjukkan juga bahwa tidak ada domba perlakuan yang terlihat mengalami ciri-ciri anemia bahkan kematian akibat diinfeksi H. contortus.

Berdasarkan semua nilai rataan ukuran yang dilakukan dalam penelitian ini, domba ekor tipis menunjukkan adanya potensi kekebalan terhadap infeksi cacing H. contortus. Hal ini menunjukkan adanya peluang domba ekor tipis memiliki gen yang dapat terekspresi dan berpengaruh terhadap mekanisme ketahanan domba terhadap infeksi H. contortus. Beberapa jenis domba di dunia juga banyak dilaporkan memiliki ketahanan terhadap infeksi H. contortus seperti domba Merino (Gill 1991), domba Creole (Bambou et al. 2009), domba Xhosa, dan domba Nguni (Marume et al. 2011). Domba yang berasal dari Indonesia seperti domba Sumatera dan domba persilangan Sumatera-Ekor Gemuk dilaporkan tidak memiliki ketahanan terhadap infeksi H. contortus (Romjali et al. 1996).

Studi pada tingkat molekuler tentang gen yang terkait kekebalan ruminansia terhadap infeksi nematoda gastrointestinal telah banyak dilakukan. Beberapa QTLs (Quality Trait Loci) bagi kekebalan terhadap nematoda parasit gastrointestinal telah teridentifikasi. Setidaknya ada dua gen yang menunjukkan hubungan kekebalan hewan ruminansia terhadap infeksi nematoda gastrointestinal. Gen yang pertama ialah gen DRB, yaitu kelas II dari Major Histocompatibility Complex (MHC) dan gen yang kedua ialah Interferon Gamma Gene (IFNG), yaitu gen pada kromosom. Gen IFNG dan DRB mengatur respon-respon kekebalan terhadap infeksi nematoda gastrointestinal (Charon 2004).

SIMPULAN

(11)

tipis memiliki potensi kekebalan terhadap infeksi H. contortus.

SARAN

Domba ekor tipis disarankan sebagai ternak untuk daerah-daerah yang pandemik cacing H. contortus. Pencarian gen-gen kekebalan terhadap cacing sangat cocok untuk menggunakan domba ekor tipis.

DAFTAR PUSTAKA

Adams DB. 1993. Systemic responses to challenge infection with Haemonchus contortus in immune Merino sheep. Vet Res Comm 17:25-35.

Bambou et al. 2009. Peripheral immune response in resistant and susceptible Creole kids experimentally infected with Haemonchus contortus. Small Rum Res 82:34-39.

Banks WJ. 1993. Applied Veterinary Histology. Texas:Mosby Inc.

Beriajaya, Murdiati TB, Herawaty. 1998. Efek antelmintik infus dari ekstrak rimpang bangle (Zingiber purpureum) terhadap cacing Haemonchus contortus secara in vitro. J Ilmu Ternak Vet 3:277-282. Beriajaya. 2005. Gastrointestinal nematode

infections on sheep and goats in West Java, Indonesia. J Ilmu Ternak Vet 10:293-304.

Charon KM. 2004. Genes controlling resistance to gastrointestinal nematodes in ruminants. Anim Sci Papers and Reports 22:135-139.

Douch GBC, Morum PE, Rabel B. 1996. Secretions of antiparasites substances and leukotrienes from ovine gastrointestinal tissue and issolated mucosa mast cells. Int JParasitol 26:205-211.

Egbe-Nwiyi TN, Nwaosu SC, Salami HA. 2000. Haematological values of appararently healthy sheep and goats as influenced by age and sex in arid zone of Nigeria. Afr J Biomed Res 3:109-115. Estuningsih S, Retnani EB, Esfandiari A.

1996. Gambaran patologi beberapa organ tubuh kambing jantan akibat infeksi Haemonchus contortus (Rudolphi, 1803). Med Vet 3:39-52.

Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Yogyakarta:Gadjah Mada Univ Pr.

Gill HS. 1991. Genetic control of acquired resistance to haemonchosis in Merino lambs. Parasite Immunol 13:617-628. Lapage G. 1984. Moonig’s Veterinary

Helminthology and Entomology. London:Bailliere Tindall.

Marume U, Chimonyo M, Dzama K. 2011. A preliminary study on the responses to experimental Haemonchus contortus infection in indigenous genotypes. Small Rum Res 95:70-74.

Romjali E, Pandey VS, Batubara A, Gatenby RM, Verhulst A. 1996. Comparison of resistance of four genotypes of rams to experimental infection with Haemonchus contortus. Vet Parasitol 65:127-137. Rothwell TLW, Windon RG, Horsburgh BA,

Anderson BH. 1993. Relationship between eosinophilia and responsiveness to infection with Trichostrongylus colubriformis in sheep. Int J Parasitol 23:203-211.

Satrija F, Ridwan Y, Tiuria R, Retnani EB. 1999. Dampak pemberian getah pepaya dengan dosis berulang terhadap domba yang diinfeksi Haemonchus contortus. Hemera Zoa 81:9-15.

Soulsby EJL. 1982. Helminths, Arthropods, and Protozoa of Domesticated Animals. London:Bailliere Tindall.

Stear MJ, Bishop SC, Duncan JL, McKellar, Murray M. 1995. The repeatability of faecal egg counts, peripheral eosinophil counts and plasma pepsinogen concentration during deliberate infection with Ostertagia circumcincta. Int J Parasitol 25:375-380.

Tizard I. 1988. Pengantar Immunologi Veteriner. Surabaya:Universitas Airlangga Pr.

(12)

PENGARUH INFEKSI LARVA-3

Haemonchus contortus

TERHADAP

POTENSI KEKEBALAN DAN GAMBARAN DARAH DOMBA EKOR TIPIS

I MADE PRADIPTA KRISNAYANA

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(13)

tipis memiliki potensi kekebalan terhadap infeksi H. contortus.

SARAN

Domba ekor tipis disarankan sebagai ternak untuk daerah-daerah yang pandemik cacing H. contortus. Pencarian gen-gen kekebalan terhadap cacing sangat cocok untuk menggunakan domba ekor tipis.

DAFTAR PUSTAKA

Adams DB. 1993. Systemic responses to challenge infection with Haemonchus contortus in immune Merino sheep. Vet Res Comm 17:25-35.

Bambou et al. 2009. Peripheral immune response in resistant and susceptible Creole kids experimentally infected with Haemonchus contortus. Small Rum Res 82:34-39.

Banks WJ. 1993. Applied Veterinary Histology. Texas:Mosby Inc.

Beriajaya, Murdiati TB, Herawaty. 1998. Efek antelmintik infus dari ekstrak rimpang bangle (Zingiber purpureum) terhadap cacing Haemonchus contortus secara in vitro. J Ilmu Ternak Vet 3:277-282. Beriajaya. 2005. Gastrointestinal nematode

infections on sheep and goats in West Java, Indonesia. J Ilmu Ternak Vet 10:293-304.

Charon KM. 2004. Genes controlling resistance to gastrointestinal nematodes in ruminants. Anim Sci Papers and Reports 22:135-139.

Douch GBC, Morum PE, Rabel B. 1996. Secretions of antiparasites substances and leukotrienes from ovine gastrointestinal tissue and issolated mucosa mast cells. Int JParasitol 26:205-211.

Egbe-Nwiyi TN, Nwaosu SC, Salami HA. 2000. Haematological values of appararently healthy sheep and goats as influenced by age and sex in arid zone of Nigeria. Afr J Biomed Res 3:109-115. Estuningsih S, Retnani EB, Esfandiari A.

1996. Gambaran patologi beberapa organ tubuh kambing jantan akibat infeksi Haemonchus contortus (Rudolphi, 1803). Med Vet 3:39-52.

Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Yogyakarta:Gadjah Mada Univ Pr.

Gill HS. 1991. Genetic control of acquired resistance to haemonchosis in Merino lambs. Parasite Immunol 13:617-628. Lapage G. 1984. Moonig’s Veterinary

Helminthology and Entomology. London:Bailliere Tindall.

Marume U, Chimonyo M, Dzama K. 2011. A preliminary study on the responses to experimental Haemonchus contortus infection in indigenous genotypes. Small Rum Res 95:70-74.

Romjali E, Pandey VS, Batubara A, Gatenby RM, Verhulst A. 1996. Comparison of resistance of four genotypes of rams to experimental infection with Haemonchus contortus. Vet Parasitol 65:127-137. Rothwell TLW, Windon RG, Horsburgh BA,

Anderson BH. 1993. Relationship between eosinophilia and responsiveness to infection with Trichostrongylus colubriformis in sheep. Int J Parasitol 23:203-211.

Satrija F, Ridwan Y, Tiuria R, Retnani EB. 1999. Dampak pemberian getah pepaya dengan dosis berulang terhadap domba yang diinfeksi Haemonchus contortus. Hemera Zoa 81:9-15.

Soulsby EJL. 1982. Helminths, Arthropods, and Protozoa of Domesticated Animals. London:Bailliere Tindall.

Stear MJ, Bishop SC, Duncan JL, McKellar, Murray M. 1995. The repeatability of faecal egg counts, peripheral eosinophil counts and plasma pepsinogen concentration during deliberate infection with Ostertagia circumcincta. Int J Parasitol 25:375-380.

Tizard I. 1988. Pengantar Immunologi Veteriner. Surabaya:Universitas Airlangga Pr.

(14)

PENGARUH INFEKSI LARVA-3

Haemonchus contortus

TERHADAP

POTENSI KEKEBALAN DAN GAMBARAN DARAH DOMBA EKOR TIPIS

I MADE PRADIPTA KRISNAYANA

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(15)

Potensi Kekebalan dan Gambaran Darah Domba Ekor Tipis. Dibawah bimbingan ACHMAD FARAJALLAH dan SARWITRI ENDAH ESTUNINGSIH.

Salah satu parasit cacing saluran pencernaan yang paling banyak menginfeksi domba di Jawa Barat ialah Haemonchus contortus. Domba yang terinfeksi H. contortus pada umumnya akan mengalami anemia bahkan kematian karena kehilangan darah. Salah satu upaya untuk mengatasi hal ini ialah dengan mengembangkan domba lokal yang tahan infeksi H. contortus yang dapat dianalisis dari gambaran darah sebagai gambaran kondisi fisiologis dan ketahanan ternak tersebut. Sebanyak 20 domba ekor tipis diobati dengan ivermectin sampai terbebas dari infeksi cacing. Sebanyak 18 ekor domba yang bebas cacing diinfeksi dengan L3H. contortus per oral sebanyak 3000 larva/ekor dan 2 ekor domba tidak diinfeksi sebagai kontrol. Bobot badan, faecal egg count, dan gambaran darah domba diamati selama 42 hari setelah infeksi. Infeksi H. contortus pada domba cenderung menurunkan nilai packed cell volume, kadar haemoglobin darah, jumlah sel darah merah, dan meningkatkan jumlah sel darah putih, namun tidak sampai menyebabkan kondisi anemia. Bobot badan domba tetap meningkat selama masa infeksi, namun laju pertambahan bobot harian domba menurun sampai akhir pengamatan. Nilai gambaran darah yang ditemukan mengisyaratkan bahwa domba ekor tipis memiliki potensi kekebalan terhadap infeksi H. contortus.

kata kunci : domba ekor tipis, Haemonchus contortus, gambaran darah, anemia, kekebalan

ABSTRACT

I MADE PRADIPTA KRISNAYANA. The Effect of Larva-3 Haemonchus contortus Infection to Resistant Potency and Blood Values of Indonesian Thin-Tailed Sheep. Supervised by ACHMAD FARAJALLAH and SARWITRI ENDAH ESTUNINGSIH.

Gastrointestinal parasite that infected sheep from West Java is Haemonchus contortus dominantly. Sheep that infected by H. contortus generally will suffering anemia to the death because of their blood loss. Attempt that could be done to solve this problem is developing local breed of sheep that resistant to H. contortus infection which can be known by examine the blood values of sheep that infected by H. contortus. Twenty Indonesian Thin-Tailed (ITT) sheep were treated by ivermectin until gastrointestinal parasite infection is zero. Eighteen sheep that are free from gastrointestinal parasite were infected orally by 3000 larvae/sheep of L3H. contortus and two other sheep were not infected as a control. The body weight, faecal egg count, and blood values of sheep were examined during 42 days after infection. Infection of H. contortus in sheep tend to lower the value of packed cell volume, rate of haemoglobin, amount of red blood cell, and increase amount of white blood cell, but it did not cause anemia. The body weight of the sheep consistently increased during infection, but the growth rate decreased until the end of observation. The blood values that were found in the observation showed that ITT sheep has a potency of resistance to H. contortus infection.

(16)

PENGARUH INFEKSI LARVA-3

Haemonchus contortus

TERHADAP

POTENSI KEKEBALAN DAN GAMBARAN DARAH DOMBA EKOR TIPIS

I MADE PRADIPTA KRISNAYANA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Departemen Biologi

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(17)

Nama

: I Made Pradipta Krisnayana

NIM

: G34070068

Menyetujui,

Dr. Ir. Achmad Farajallah, M.Si.

Pembimbing I

drh. Sarwitri Endah Estuningsih, M.Sc.

Pembimbing II

Mengetahui,

Dr. Ir. Ence Darmo Jaya Supena, M.Si.

Ketua Departemen Biologi

(18)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya, sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Penelitian dengan judul “Pengaruh Infeksi Larva-3 Haemonchus contortus terhadap Potensi Kekebalan dan Gambaran Darah Domba Ekor Tipis” ini dilakukan mulai Januari 2011 sampai dengan Juni 2011 di Bagian Fungsi dan Perilaku Hewan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini didanai dari proyek penelitian International Atomic Energy Agency yang diberikan kepada Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA, Dr. Ir. Achmad Farajallah, M.Si., drh. Sarwitri Endah Estuningsih, M.Sc., dan Wildan Najmal Muttaqin, S.Si., M.Si. Oleh karena itu, saya ucapkan terima kasih.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Achmad Farajallah, M.Si. dan drh. Sarwitri Endah Estuningsih, M.Sc. atas bimbingan dan arahan yang diberikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. dr. Sri Budiarti selaku dosen penguji wakil komisi pendidikan yang telah bersedia menguji dan memberikan saran saat ujian dan penulisan karya ilmiah. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Wildan Najmal Muttaqin, S.Si., M.Si. atas bantuan dan saran selama kerja di lapang dan laboratorium; Bapak Nata, Bapak Oma, dan Mas Fandi atas bantuan dalam merawat dan memeberi pakan domba; Bapak Eko dan Bapak Farlin atas bantuan dalam kultur cacing dan infeksi larva pada domba; Ibu Tini, Ibu Ani, dan teman-teman di zoologi atas bantuan dalam kerja laboratorium; serta keluarga besar dosen di zoologi atas bantuan dan saran selama penulis melakukan penelitian ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada keluarga yang selalu memberi doa dan dukungan, serta teman-teman biologi khususnya angkatan 44 yang telah memberi bantuan dan doa.

Penulis berharap semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Juni 2011

(19)

pasangan I Made Samudra dan Sri Pudji Rahayu. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah di SDN 2 Banjar Kukuh pada tahun 2001, SMPN 3 Depok pada tahun 2004, dan SMAN 1 Depok pada tahun 2007. Setelah itu, penulis melanjutkan pendidikan tinggi pada Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB.

(20)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 1

Waktu dan Tempat Penelitian ... 1

BAHAN DAN METODE ... 1

Bahan ... 1

Metode ... 2

HASIL ... 3

PEMBAHASAN... 5

SIMPULAN ... 8

SARAN ... 8

(21)

1 Nilai (rataan ± SD) PBBH, FEC, dan gambaran darah domba selama masa infeksi ... 3

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Metode pengamatan zig-zag preparat ulas darah. ... 3 2 Telur H. contortus yang diamati pada mikroskop cahaya. ... 3 3 Grafik nilai (rataan±SD) PBBH, FEC, PCV, jumlah Hb, jumlah SDM, jumlah SDP domba

jantan, betina, dan kontrol setelah diinfeksi L3H. contortus.... 4 4 Grafik nilai (rataan±SD) jumlah diferensiasi jenis SDP domba jantan, domba betina, dan

(22)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Domba merupakan ternak yang banyak dipelihara sebagai komoditas pangan dan sebagai ternak simpanan di Indonesia. Domba ekor tipis merupakan domba yang banyak dipelihara di Jawa Barat. Masalah umum yang terjadi dalam pemeliharaan domba ialah penyakit akibat parasit cacing saluran pencernaan. Salah satu cacing yang paling banyak menginfeksi domba di Jawa Barat ialah Haemonchus contortus (Beriajaya 2005).

Haemonchus contortus merupakan parasit cacing saluran pencernaan pada domba, kambing, dan ruminansia lainnya. Cacing dewasa hidup pada abomasum ruminansia. Cacing jantan berwarna kemerahan dengan panjang 10-20 mm, sedangkan cacing betina memiliki ovari berwarna putih yang melingkari saluran pencernaan dengan panjang 18-30 mm. Siklus hidup cacing ini diawali stadia telur yang akan menetas dalam 4-6 hari di tempat yang lembap. Telur menetas menjadi larva tahap ke-1 (L1), tahap ke-2 (L2), dan tahap ke-3 (L3) di rumput. L3 merupakan larva infektif yang akan menginfeksi ternak jika rumput tersebut termakan. L3 tersebut kemudian menjadi dewasa selama 18 hari dan menyelesaikan ekdisis ke-3 di abomasum hingga menjadi larva tahap ke-4 (L4) yang mulai menghisap darah (Lapage 1984). Infeksi yang terjadi mengakibatkan ternak mengalami anemia bahkan kematian karena kehilangan darah rata-rata 0.05 ml/parasit/hari (Soulsby 1982). Penyebaran parasit ini terjadi melalui pakan rumput yang terkontaminasi larva cacing.

Infeksi H. contortus disebut juga dengan istilah haemonchosis. Gejala klinis haemonchosis terdiri dari tiga sindrom, yaitu haemonchosis hiperakut, haemonchosis akut, dan haemonchosis kronik. Haemonchosis akut terjadi akibat sangat banyak infeksi parasit hingga menyebabkan kematian karena anemia, haemonchosis akut terjadi ketika jumlah parasit sekitar 1000-10000, sedangkan haemonchosis kronik terjadi ketika jumlah parasit sekitar 100-1000 (Soulsby 1982). Infeksi H. contortus memberikan gambaran perubahan patologi pada beberapa organ ruminansia, yaitu perubahan makroskopis, perubahan seluler tingkat enteritis, abomastitis, pembentukan pusat homopoiesis baru, peningkatan aktivitas limpa dan simpul limpa, serta perubahan komposisi isi tulang panjang. Peningkatan infeksi jumlah larva

menyebabkan kerusakan jaringan seperti mukosa anemis, abomastitis, dan enteritis bertambah parah (Estuningsih et al. 1996).

Infeksi H. contortus pada domba memberikan kerugian bagi peternak seperti berkurangnya bobot hidup dan kematian domba, sehingga diperlukan upaya untuk mengatasinya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi infeksi H. contortus ialah dengan memberi obat cacing. Pemberian obat cacing kimia berpotensi meningkatkan residu bahan kimia yang dapat menurunkan kualitas daging. Alternatif yang dapat dilakukan ialah penggunaan obat cacing herbal, misalnya getah pepaya dan rimpang bangle (Satrija et al. 1999; Beriajaya et al. 1998). Selain itu, alternatif lain ialah dengan pengembangan domba lokal yang memiliki daya tahan atau kekebalan terhadap infeksi H. contortus.

Gill (1991) melaporkan telah menemukan domba Merino di Australia yang tahan terhadap infeksi cacing H. contortus. Jenis domba lain di dunia juga banyak dilaporkan tahan terhadap infeksi H. contortus (Soulsby 1982). Oleh karena itu, domba lokal seperti domba ekor tipis juga berpeluang memiliki potensi kekebalan terhadap infeksi H. contortus. Sebagai langkah awal untuk mengetahui ketahanan domba lokal terhadap infeksi cacing H. contortus ialah dengan menganalisis gambaran darah sebagai gambaran kondisi fisiologis domba tersebut.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh infeksi L3 H. contortus terhadap potensi kekebalan dan gambaran darah domba ekor tipis di Bogor.

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2011 sampai dengan bulan Juni 2011 di kandang domba Serikat Petani Indonesia, laboratorium parasitologi Balai Besar Penelitian Veteriner, dan laboratorium fungsi dan perilaku hewan Departemen Biologi, FMIPA, IPB.

BAHAN DAN METODE

Bahan

(23)

Metode

Koleksi Sampel Cacing

Sampel cacing H. contortus dikoleksi dari abomasum domba dari tempat pemotongan hewan. Abomasum dan isinya ditampung dan disaring menggunakan saringan dengan diameter pori berukuran 250 µm. Cacing dikoleksi dan ditempatkan ke dalam cawan petri berisi akuades.

Kultur Cacing

Kultur cacing dilakukan untuk mendapatkan L3 dalam jumlah banyak. Cacing digerus untuk mengeluarkan telurnya, kemudian hasil gerusan disaring dengan saringan 250 µm dan disaring lagi dengan saringan 25 µm. Telur cacing pada saringan terakhir kemudian diinkubasi satu hari pada suhu ruang dan dipindahkan ke media kultur larva yang terbuat dari campuran kotoran dan vermikulit dengan perbandingan 1:1 dalam wadah gelas. Larva dipanen setelah tujuh hari sejak kultur cacing dilakukan, kemudian larva disimpan pada suhu 4 ⁰C.

Penyiapan Hewan Perlakuan dan Infeksi Cacing

Sebanyak 20 ekor domba ekor tipis umur 8-12 bulan asal Bogor dibebaskan dari cacing dengan obat Ivermectin. Domba dinyatakan bersih setelah tidak ditemukan telur cacing di fesesnya dengan pemeriksaan faecal egg count (FEC) menggunakan metode pengapungan yang digunakan di laboratorium fungsi dan perilaku hewan Departemen Biologi. Sebanyak 9 ekor domba jantan (♂) dan 9 ekor domba betina (♀) yang bebas cacing diinfeksi dengan L3 H. contortus per oral sebanyak 3000 larva/ekor dan 2 ekor domba tidak diinfeksi sebagai kontrol (K).

Pengamatan Pengaruh Infeksi Cacing Pengamatan pengaruh infeksi H. contortus dilakukan pada hari ke-28, ke-35, dan ke-42 yang meliputi pertambahan bobot badan harian (PBBH), FEC, packed cell volume (PCV), kandungan hemoglobin (Hb), serta jumlah sel darah merah (SDM) dan sel darah putih (SDP), serta diferensiasi SDP.

Sampel darah domba diambil dengan venoject dan vacutainer hampa udara yang berisi antikoagulan. Darah diambil dari bagian vena jugularis pada leher domba dengan menusukkan jarum venoject ke bagian tersebut, kemudian ±2 ml darah diambil dan ditampung dalam vacutainer. Darah dalam vacutainer kemudian dikocok merata hingga antikoagulan pada vacutainer tercampur merata dengan darah. Sebelum dan sesudah

diambil darah, daerah leher domba yang diambil darah dibersihkan menggunakan alkohol 70%.

PBBH dihitung dengan mengukur selisih bobot badan domba pada hari pengamatan dengan pengamatan sebelumnya dibagi jumlah hari antara dua pengamatan.

PBBH=bobot badan hari ke-m – bobot badan hari ke-n jumlah hari ke-m – jumlah hari ke-n

Nilai PCV diukur dengan cara mengendapkan darah dalam pipa kapiler mikrohematokrit. Darah dialirkan ke pipa kapiler mikrohematokrit hingga 2/3 bagian kemudian ujung pipa kapiler disumbat lilin dengan cara diputar-putar. Pipa kapiler tersebut kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 6000 rpm selama 5 menit. Porsi endapan sel darah dibandingkan ke volume total darah kemudian rasionya dihitung sebagai nilai PCV.

Nilai FEC ditentukan dalam jumlah eggs per gram (epg). Sebanyak 2 g feses domba direndam 18 ml akuades satu malam, kemudian dihomogenasi dan diapungkan dengan garam jenuh NaCl 40% hingga telur cacing terapung. Sebanyak 0.05 ml campuran larutan tersebut dihitung jumlah telurnya kemudian ditentukan jumlah epg pada feses domba. Pengamatan dilakukan 5 kali ulangan dan tiap telur yang teramati mewakili 600 epg.

Jumlah Hb ditentukan dalam gram Hb per 100 ml darah dengan hemoglobinometer. Tabung Sahli diisi dengan larutan HCl 0.1 N, kemudian darah dihisap dengan pipet Sahli sebanyak 0.02 ml dan dimasukkan ke tabung Sahli. Campuran larutan dalam tabung Sahli didiamkan selama 3 menit, kemudian ditambahkan setetes air berulang sampai warnanya sama dengan standar. Warna yang telah sama terhadap standar menentukan banyaknya gram Hb per 100 ml darah.

(24)

3

Diferensiasi SDP dilakukan berbasis preparat ulas darah total. Darah diulas di preparat kemudian difiksasi dengan metanol selama 2 menit. Preparat ulas darah diwarnai menggunakan pewarna giemsa selama 30 menit, kemudian dibilas dengan air. Pengamatan dilakukan dengan metode zig-zag (Gambar 1) dan hasil penghitungan dinyatakan dalam persen dengan total diferensiasi SDP dihitung per 100 butir SDP.

Gambar 1 Metode pengamatan zig-zag preparat ulas darah.

Analisis Data

Data-data hasil pengamatan dianalisis menggunakan analisis ragam menggunakan program MINITAB 14 dan nilai yang berbeda nyata dilakukan analisis lanjut dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) menggunakan program Microsoft Excel 2007 untuk mengetahui nilai amatan dari perlakuan yang berbeda nyata, dan hubungan antara pengamatan hari ke-0 sampai ke-42 pada nilai amatan tiap perlakuan dilakukan analisis korelasi Pearson menggunakan program

MINITAB 14. Masing-masing uji dilakukan pada taraf nyata uji 5%.

HASIL

Koleksi dan kultur cacing dilakukan pada awal penelitian. Telur cacing H. contortus (Gambar 2) berhasil dikoleksi dan dikulturkan pada media vermikulit dan kotoran hingga didapat lebih dari 60000 L3 H. contortus.

Gambar 2 Telur H. contortus yang diamati pada mikroskop cahaya.

Infeksi H. contortus pada domba ekor tipis menimbulkan perubahan nilai rataan beberapa aspek fisiologi, yaitu nilai PBBH, FEC, nilai PCV, kadar Hb, jumlah SDM, dan jumlah SDP (Tabel 1, Gambar 3, dan Gambar 4).

Tabel 1 Nilai (rataan ± SD) PBBH, FEC, dan gambaran darah domba selama masa infeksi

Parameter Amatan Domba Hari ke-

0 28 35 42

PBBH (kg)

♂ 0±0a 0.03±0.001a 0.04±0.002a 0.02±0.000b ♀ 0±0a 0.03±0.001a 0.07±0.003a -0.05±0.002a Kontrol 0±0a 0.03±0.007a 0.04±0.007a 0.08±0.035c

FEC (ttgt)

♂ 0±0a 796±1352a 1618±1612a 1036±1196a

♀ 0±0a 1404±1621a 1671±2327a 1596±2134a

Kontrol 0±0a 0±0a 0±0a 0±0a

PCV (%)

♂ 28±4a 27±5a 26±3a 26±3a

♀ 30±2a 25±2a 27±2a 27±2a

Kontrol 26±6a 32±4a 30±5a 28±4a

Hb (g %)

♂ 8.3±0.8a 7.9±1.0b 7.9±0.7a 7.8±0.7a

♀ 8.8±0.7a 7.5±0.4a 7.7±0.6a 7.9±0.6a

Kontrol 8.1±1.3a 9.3±1.8c 8.9±1.5a 8.6±1.3a

SDM (107 sel/mm3)

♂ 1.2±0.15a 1.1±0.17a 1.0±0.15a 1.0±0.14a ♀ 1.2±0.23a 1.1±0.08a 1.1±0.15a 1.2±0.12b Kontrol 1.1±0.21a 1.3±0.35a 1.3±0.07a 1.3±0.28c

SDP (103 sel/mm3)

♂ 10.5±0.29a 14.6±0.25a 13.8±0.26a 15.5±0.20a ♀ 12.6±0.39a 14.7±0.38a 16.3±0.42a 16.6±0.37a Kontrol 10.0±1.62a 10.3±3.11a 11.3±2.26a 12.9±4.53a

Limfosit (%)

♂ 33±8a 27±7a 34±8a 30±7a

♀ 34±8a 30±9a 31±11a 36±8a

Kontrol 32±0a 32±0a 34±2a 35±2a

Monosit (%)

♂ 8±3a 10±4a 11±4a 10±3a

♀ 10±5a 10±4a 10±4a 8±5a

Kontrol 10±1a 10±1a 11±2a 10±1a

(25)

Lanjutan

Parameter Amatan Domba Hari ke-

0 28 35 42

Basofil (%) ♂ 6±3a 8±4a 6±3a 6±3a

♀ 7±2a 6±4a 6±4a 5±1a

Kontrol 6±1a 8±1a 6±0a 7±0a

Eosinofil (%) ♂ 29±8a 28±4a 28±6a 30±7a

♀ 29±2a 30±4a 32±7a 33±11a

Kontrol 27±1a 26±1a 27±1a 26±1a

Neutrofil (%) ♂ 24±7a 27±7a 19±7a 23±3a

♀ 22±9a 23±7a 20±6a 19±6a

Kontrol 25±1a 26±1a 24±1a 23±1a

PBBH: Pertambahan Bobot Badan Harian, FEC: Faecal Egg Count, PCV: Packed Cell Volume, Hb: Haemoglobin, SDM: Sel Darah Merah, SDP: Sel Darah Putih, dan huruf superskrip yang sama pada kolom yang sama pada satu kolom jenis pengamatan menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata pada analisis ragam dan uji DMRT pada taraf 5%.

(26)

5

Gambar 4 Grafik nilai (rataan±SD) jumlah diferensiasi jenis SDP domba jantan (a), domba betina (b), dan kontrol (c) limfosit ( ), monosit ( ), basofil ( ), eosinofil ( ), dan neutrofil ( ) setelah diinfeksi L3H. contortus.

PEMBAHASAN

Nilai rataan PBBH terus meningkat sampai hari ke-35 dan kemudian menurun dari hari ke-35 sampai hari ke-42. Pada hari ke-35 infeksi H. contortus sudah memasuki masa infektifnya sehingga mulai terjadi penurunan nilai rataan PBBH dari pengamatan sebelumnya. Hubungan perubahan nilai rataan PBBH ini tidak bisa dibedakan antara domba jantan dan betina terhadap kontrol (P>0.05).

Nilai rataan jumlah FEC mengalami peningkatan dari jumlah nol pada hari awal infeksi hingga hari ke-28 dan ke-35, namun kembali mengalami penurunan jumlahnya pada hari ke-42. Hubungan peningkatan nilai rataan jumlah FEC ini tidak bisa dibedakan dengan kontrol (P>0.05). Nilai FEC menggambarkan populasi cacing dalam tubuh domba. Larva H. contortus yang masuk ke tubuh domba akan mengalami adaptasi dan perkembangan sebelum dapat menghisap darah dan menghasilkan telur dalam tubuh domba. Larva cacing yang tidak dapat bertahan akan mati, sedangkan larva yang bertahan akan melanjutkan siklus hidupnya. Jumlah telur cacing yang menurun di akhir

pengamatan diduga disebabkan oleh sudah lewatnya masa infektif dari siklus hidup H. contortus dalam saluran pencernaan domba, yaitu rata-rata sekitar 39-42 hari setelah infeksi sehingga tidak efektif lagi dalam menghisap darah dan menghasilkan telur (Soulsby 1982).

(27)

total terhadap cairan darah. Nilai PCV pada umumnya akan mengalami penurunan yang sangat tajam akibat infeksi H. contortus pada tahap pertama anemia, yaitu pada hari ke-7 sampai ke-25 setelah infeksi dengan rata-rata penurunan nilai PCV sebesar 11%. Nilai tersebut kemudian cenderung stabil namun dengan nilai dibawah normal pada tahap kedua anemia, yaitu 6-14 hari berikutnya (Soulsby 1982).

Nilai rataan jumlah Hb pada darah domba jantan dan betina menurun sejak hari awal hingga akhir pengamatan. Nilai rataan jumlah Hb pada darah domba yang diinfeksi H. contortus selama pengamatan berkisar antara 7.5-8.8 g%. Jumlah Hb normal pada darah domba ialah 11 g% (Frandson 1992) atau 8-11 g% (Banks 1993). Hubungan penurunan nilai Hb pada domba jantan dan betina tidak bisa dibedakan (P>0.05) terhadap kontrol. Hemoglobin pada SDM berperan dalam pengikatan oksigen sehingga memungkinkan SDM untuk mengangkut oksigen dalam sistem peredaran. Penurunan jumlah hemoglobin sampai dibawah keadaan normal dapat menyebabkan kondisi anemia.

Nilai rataan jumlah SDM pada domba mengalami penurunan dari hari ke-0 infeksi sampai akhir pengamatan bagi domba jantan dan betina. Nilai ini kembali meningkat pada hari ke-42 setelah infeksi pada domba betina. Nilai rataan jumlah SDM pada darah domba yang diinfeksi H. contortus selama pengamatan berkisar antara 1.0-1.2 x 107 sel/mm3. Jumlah SDM normal pada darah domba ialah 1.1 x 107 sel/mm3 (Frandson 1992) atau 0.8-1.6 x 107 sel/mm3 (Banks 1993). Hubungan penurunan nilai rataan jumlah SDM ini tidak bisa dibedakan (P>0.05) terhadap kontrol.

Nilai rataan jumlah SDP meningkat seiring dengan adanya parasit dalam tubuh domba selama masa infeksi. Hal ini dapat diketahui dari peningkatan jumlah SDP pada domba yang diinfeksi cacing, namun hubungan peningkatan jumlah SDP ini pada domba jantan dan betina tidak bisa dibedakan terhadap kontrol (P>0.05) hingga akhir pengamatan. Nilai rataan jumlah SDP pada darah domba yang diinfeksi H. contortus selama pengamatan berkisar antara 10.5-11.6 x 103/mm3. Jumlah SDP normal pada darah domba ialah 7-12 x 103/mm3 (Frandson 1992) atau 4-10 x 103/mm3 (Banks 1993). SDP secara umum berperan penting dalam pertahanan tubuh terhadap penyakit.

Hasil diferensiasi SDP pada pengamatan menemukan rataan persentase limfosit, monosit, basofil, eosinofil, dan neutrofil domba yang diinfeksi H. contortus masing-masing ialah 27-36%, 8-11%, 5-8%, 28-33%, dan 19-27%. Kisaran jumlah jenis SDP normal pada domba ialah limfosit 60-65%, monosit 5%, basofil 1%, eosinofil 2-5%, dan neutrofil 25-30% (Frandson 1992). Nilai rataan persentase jumlah limfosit, neutrofil, dan eosinofil pada darah domba tetap tinggi dan cenderung meningkat hingga akhir pengamatan. Ketiga jenis SDP ini terutama eosinofil berperan dalam melawan infeksi yang ditimbulkan oleh parasit. Hubungan peningkatan maupun penurunan persentase jumlah jenis-jenis SDP pada domba jantan dan domba betina dalam pengamatan seluruhnya tidak bisa dibedakan dengan peningkatan maupun penurunan jenis-jenis SDP pada domba kontrol (P>0.05).

Jumlah limfosit dalam darah domba terinfeksi selama pengamatan lebih rendah dari jumlah limfosit normal pada domba, yaitu 60-65%. Hal ini dipengaruhi antara lain oleh faktor umur, jenis kelamin, jenis domba, dan metode yang digunakan (Egbe-Nwiyi et al. 2000). Domba yang digunakan dalam penelitian berumur 8-12 bulan. Jumlah limfosit meningkat seiring dengan pertambahan umur. Peningkatan jumlah limfosit sampai nilai normal mencerminkan peningkatan pembentukan sistem kekebalan dengan bertambahnya umur domba (Egbe-Nwiyi et al. 2000). Limfosit bermanfaat dalam sistem kekebalan tubuh dengan membentuk kekebalan humoral dan selular (Tizard 1988), salah satunya dengan membentuk antibodi (Frandson 1992).

Jumlah monosit dalam darah domba terinfeksi selama pengamatan relatif tidak berbeda dari jumlah monosit normal pada domba, yaitu 5-6%. Monosit merupakan sel fagositik yang mampu menelan material asing dan akan berkembang menjadi fagosit yang lebih besar, yaitu makrofag ketika masuk ke dalam jaringan akibat adanya material asing tersebut. Sel ini aktif bekerja pada keadaan infeksi yang tidak akut. (Frandson 1992).

(28)

7

dalam proses reaksi alergik karena sel ini mengandung heparin, histamin, bradikinin, dan serotonin yang dilepaskan di daerah peradangan untuk mencegah pembekuan dan stasis darah (Frandson 1992).

Jumlah eosinofil dalam darah domba terinfeksi selama pengamatan lebih tinggi dari jumlah eosinofil normal pada domba, yaitu 5%. Hal ini terjadi akibat adanya infeksi dari parasit terutama nematoda atau nilainya mungkin tetap tinggi akibat infeksi-infeksi parasit pada waktu sebelumnya. Eosinofil diduga berperan dalam membunuh larva cacing yang menginfeksi domba. Jumlah eosinofil yang tinggi berperan dalam meningkatkan mekanisme respon kebal protektif domba ekor tipis terhadap infeksi Fasciola gigantica (Wiedosari 2006). Jumlah eosinofil juga berkaitan dengan resistensi domba yang terinfeksi Trichostrongylus colubriformis (Rothwell et al. 1993) dan Ostertagia circumcincta (Stear et al. 1995). Eosinofil merupakan penciri khas adanya infeksi nematoda yang memasuki tubuh dan merusak jaringan inangnya karena sel ini dapat menghasilkan enzim yang dapat menghancurkan kutikula nematoda serta dapat menempel dan memfagosit cacing parasit dengan adanya IgE dan IgG. Sel ini kemudian juga dapat mensekresikan mediator kompleks peroksidase yang menghasilkan histamin untuk menetralkan peradangan yang dilepaskan oleh sel mast (Douch et al. 1996).

Jumlah neutrofil dalam darah domba yang terinfeksi selama pengamatan relatif tidak berbeda dari jumlah neutrofil normal pada domba, yaitu 25-30%. Neutrofil merupakan sel pertahanan dalam melawan infeksi terutama serangan bakteri dengan cara migrasi ke daerah yang mengalami serangan bakteri yang melepaskan zat kemotoksik. Enzim lisosom dari neutrofil berperan dalam mencerna material asing tersebut (Frandson 1992). Infeksi H. contortus pada abomasum menimbulkan peradangan dan rentan terhadap serangan bakteri. Neutrofil berperan utama pada proses yang berhubungan dengan peradangan akibat infeksi dan jumlahnya meningkat selama periode paten akibat infeksi Haemonchus (Adams 1993).

Seluruh nilai rataan aspek yang diamati, yaitu nilai PBBH, nilai FEC, nilai PCV, kadar Hb, jumlah SDM, jumlah SDP, dan persentase jumlah jenis-jenis SDP, kecuali nilai PCV domba betina memiliki hubungan peningkatan maupun penurunan yang tidak bisa dibedakan

antara domba jantan dan domba betina terhadap kontrol (P>0.05). Hal ini menunjukkan bahwa infeksi L3 H. contortus pada domba ekor tipis selama 42 hari tidak memberikan pengaruh yang signifikan walaupun nilai-nilai amatan cenderung mengalami penurunan maupun peningkatan. Nilai ini menunjukkan juga bahwa tidak ada domba perlakuan yang terlihat mengalami ciri-ciri anemia bahkan kematian akibat diinfeksi H. contortus.

Berdasarkan semua nilai rataan ukuran yang dilakukan dalam penelitian ini, domba ekor tipis menunjukkan adanya potensi kekebalan terhadap infeksi cacing H. contortus. Hal ini menunjukkan adanya peluang domba ekor tipis memiliki gen yang dapat terekspresi dan berpengaruh terhadap mekanisme ketahanan domba terhadap infeksi H. contortus. Beberapa jenis domba di dunia juga banyak dilaporkan memiliki ketahanan terhadap infeksi H. contortus seperti domba Merino (Gill 1991), domba Creole (Bambou et al. 2009), domba Xhosa, dan domba Nguni (Marume et al. 2011). Domba yang berasal dari Indonesia seperti domba Sumatera dan domba persilangan Sumatera-Ekor Gemuk dilaporkan tidak memiliki ketahanan terhadap infeksi H. contortus (Romjali et al. 1996).

Studi pada tingkat molekuler tentang gen yang terkait kekebalan ruminansia terhadap infeksi nematoda gastrointestinal telah banyak dilakukan. Beberapa QTLs (Quality Trait Loci) bagi kekebalan terhadap nematoda parasit gastrointestinal telah teridentifikasi. Setidaknya ada dua gen yang menunjukkan hubungan kekebalan hewan ruminansia terhadap infeksi nematoda gastrointestinal. Gen yang pertama ialah gen DRB, yaitu kelas II dari Major Histocompatibility Complex (MHC) dan gen yang kedua ialah Interferon Gamma Gene (IFNG), yaitu gen pada kromosom. Gen IFNG dan DRB mengatur respon-respon kekebalan terhadap infeksi nematoda gastrointestinal (Charon 2004).

SIMPULAN

(29)

Gambar

Gambar 1  Metode pengamatan zig-zag
Gambar 1  Metode pengamatan zig-zag
Gambar 3  Grafik nilai (rataan±SD) PBBH (a), FEC (b), PCV (c), jumlah Hb (d), jumlah SDM (e), jumlah SDP (f) domba jantan (          ), betina (          ), dan kontrol (          ) setelah diinfeksi L3 H
Gambar 4  Grafik nilai (rataan±SD) jumlah diferensiasi jenis SDP domba jantan (a), domba betina (b), dan kontrol (c) limfosit (         ), monosit (         ), basofil (          ), eosinofil (         ), dan  neutrofil (          ) setelah diinfeksi L3 H
+4

Referensi

Dokumen terkait

Berkata Muhammad, berkata „Ali ibnu al- Madiniyyi bahwasanya hadits tersebut di atas tidak ada yang meriwayatkannya selain Syarik. Berkata „Ali bahwasanya Abu

Rumusan masalah dalam penelitian ini apakah mekanisme corporate governance yang diproksikan oleh kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional domestik, ukuran

Tujuan dari pelaksanaan penelitian ini untulc 1 mengetahui manakah diantara komuniasi internal dan kepemimpinan yang lebih dominan berpengaruh terhadap kepuasan kerja Pegawai

Pengampunan Pajak merupakan program pemerintah Indonesia sesuai amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak yang ditujukan untuk membawa manfaat ekonomis

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar air tanah merupakan parameter yang paling ber- pengaruh terhadap hasil lateks tanaman karet klon BPM24 dibanding- kan dengan parameter

Sedangkan pencapaian laba bersih hingga 1H17 telah men- cerminkan 57,8% dari target laba bersih tahun ini yang diperkirakan mencapaiRp5,92 triliun atau tumbuh 18% dari

Pada penelitian ini dilakukan perancangan mekanisme yang mengintegrasikan penekanan kampas pada roda depan dan belakang secara bersamaan dengan satu gerakan

Dia punya mata seperti anjing pit bull, dengan rambut hitam gondrong acak-acakan, dan dia selalu mengenakan pakaian yang mahal tapi berantakan, seolah dia ingin memberi tahu