• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Leukosit Domba Ekor Tipis yang Diinfeksi Haemonchus contortus.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran Leukosit Domba Ekor Tipis yang Diinfeksi Haemonchus contortus."

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN LEUKOSIT DOMBA EKOR TIPIS YANG

DIINFEKSI

Haemoncus contortus

HAYATULLAH FRIO MARTEN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Gambaran Leukosit Domba Ekor Tipis yang Diinfeksi Haemoncus contortus adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2015

Hayatullah Frio Marten

(4)

ABSTRAK

HAYATULLAH FRIO MARTEN. Gambaran Leukosit Domba Ekor Tipis yang Diinfeksi Haemonchus contortus. Dibimbing oleh YUSUF RIDWAN.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh infeksi Haemonchus contortus terhadap perubahan gambaran leukosit pada domba ekor tipis. Sebanyak 20 ekor domba ekor tipis jantan dikelompokkan ke dalam lima kelompok. Satu kelompok kontrol dan empat kelompok infeksi larva infektif sebanyak 500 L3, 1000 L3, 2000 L3 dan 4000 L3. Sampel darah dan tinja diambil setiap minggu mulai sebelum sampai minggu ketiga pasca infeksi. Sampel darah diambil menggunakan venoject® dari vena jugularis, sedangkan sampel tinja diambil langsung dari rektum. Sampel darah diperiksa untuk mengetahui jumlah leukosit dan diferensial leukosit, sedangkan sampel tinja untuk menghitung jumlah telur tiap gram tinja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa infeksi Haemonchus contortus menyebabkan peningkatan jumlah leukosit namun tidak berbeda nyata antar tingkat dosis infeksi (P>0.05). Tingkat dosis infeksi yang berbeda berpengaruh nyata terhadap peningkatan jumlah eosinofil (P<0.05), namun tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan jumlah limfosit, monosit, dan neutrofil (P>0.05). Jumlah telur tiap gram tinja (TTGT) berkorelasi positif nyata terhadap profil jumlah eosinofil dan berkorelasi negatif yang nyata terhadap profil jumlah neutrofil (P<0.05), namun tidak berkorelasi terhadap profil jumlah leukosit, limfosit, monosit (P>0.05). Kata kunci: diferensial leukosit, domba, Haemonchus contortus, leukosit.

ABSTRACT

HAYATULLAH FRIO MARTEN. The White Blood Cell Profile of Infected Javanese Thin Tailed Sheep with Haemonchus contortus. Supervised byYUSUF RIDWAN.

The aim of this study was to investigate the effect of Haemonchus contortus infection to white blood cell profile of Javanese thin tail sheep. Twenty males Javanese thin tailed sheep were divided into five groups, namely infected group of 500 L3, 1000 L3, 2000 L3, 4000 L3 and uninfective group as control. The blood and

fecal samples were collected from rectum before and three weeks after infection. The blood samples were collected using venoject® from Jugular vein. The fecal

(5)

amount of egg per gram (EPG) and profile of white blood cell, lymphocyte, and monocyte (P>0.05).

(6)
(7)

Skripsi

sebagai satu diantara syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

GAMBARAN LEUKOSIT DOMBA EKOR TIPIS YANG

DIINFEKSI

Haemoncus contortus

HAYATULLAH FRIO MARTEN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Skripsi : Gambaran Leukosit Domba Ekor Tipis yang Diinfeksi Haemoncus contortus

Nama : Hayatullah Frio Marten NIM : B04100109

Disetujui oleh

Dr Drh Yusuf Ridwan, MSi Pembimbing

Diketahui oleh

Drh Agus Setiyono, MS PhD APVet

Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan

(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Gambaran Leukosit Domba Ekor Tipis yang Diinfeksi Haemonchus contortus.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Drh Yusuf Ridwan, MSi selaku dosen pembimbing atas bimbingan, ilmu, waktu dan kesabaran yang diberikan selama penelitian dan penyusunan skripsi ini. Di samping itu, penulis juga berterima kasih kepada Prof Dr Drh Tutik Wresdiyati selaku dosen pembimbing akademik atas bimbingan dan nasihat selama ini. Terima kasih kepada teman-teman sepenelitian Siti Holijah Rangkuti, Eniza Rukisti dan Pika Sati Suryani. Tidak lupa penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Sulaeman dan Bapak Kosasih serta staf-staf Laboratorium Helminthologi FKH, yang telah banyak membantu selama penelitian. Ucapan terima kasih yang tidak terhingga penulis sampaikan kepada orang tua Ibu Zahani, Bapak Tasnil, adik-adik Fitri Asnita dan Nadia Ulfa atas segala doa, dukungan, kasih sayang dan semangat yang diberikan. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada sahabat Tenti Rahmawati, Dea Astylia Vebrina, Rahayu Asmadini Rosa, Anizza Maharani dan sahabat HIMAPD tercinta dan teman-teman Acromion 47 atas segala kebersamaan.

Skripsi ini tidak luput dari kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, Penulis terbuka menerima kritik dan saran yang membangun. Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, September 2015

(12)
(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xi DAFTAR GAMBAR xi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

Manfaat Penelitian 1

METODE 2

Tempat dan Waktu Penelitian 2

Desain Penelitian 2

Penyiapan Larva Infektif Haemonchus contortus 2

Perhitungan Jumlah Leukosit 3

Diferensial Leukosit 3

Pemeriksaan Sampel Tinja 4

Analisis Data 4

HASIL DAN PEMBAHASAN 5

Gambaran Leukosit Domba yang Diinfeksi Larva Infektif Haemonchus

contortus 5

Gambaran Limfosit Domba yang Diinfeksi Larva Infektif Haemonchus

contortus 7 Gambaran Monosit Domba yang Diinfeksi Larva Infektif Haemonchus

contortus 9 Gambaran Neutrofil Domba yang Diinfeksi Larva Infektif Haemonchus

contortus 10 Gambaran Basofil Domba yang Diinfeksi Larva Infektif Haemonchus

contortus 11 Gambaran Eosinofil Domba yang Diinfeksi Larva Infektif Haemonchus

contortus 12

SIMPULAN 13

SARAN 13

DAFTAR PUSTAKA 14

(14)

DAFTAR TABEL

1 Rataan jumlah leukosit domba per kelompok infeksi larva infektif (L3) satu minggu sebelum infeksi sampai pada minggu ketiga pasca infeksi 5 2 Rataan jumlah telur tiap gram tinja (TTGT) domba per kelompok dosis

infeksi larva infektif (L3) satu minggu sebelum infeksi sampai minggu ketiga pasca infeksi.

6 3 Rataan jumlah limfosit domba per kelompok infeksi larva infektif (L3)

satu minggu sebelum infeksi sampai pada minggu ketiga pasca infeksi. 8 4 Rataan jumlah monosit domba per kelompok infeksi larva infektif (L3)

satu minggu sebelum infeksi sampai pada minggu ketiga pasca infeksi 9 5 Rataan jumlah neutrofil domba per kelompok infeksi larva infektif (L3)

satu minggu sebelum infeksi sampai pada minggu ketiga pasca infeksi 10 6 Rataan jumlah eosinofil domba per kelompok infeksi larva infektif (L3)

satu minggu sebelum infeksi sampai pada minggu ketiga pasca infeksi. 12

DAFTAR GAMBAR

1 Rataan jumlah leukosit domba per kelompok infeksi larva infektif (L3) satu minggu sebelum infeksi sampai pada minggu ketiga pasca infeksi 6 2 Rataan jumlah limfosit domba per kelompok infeksi larva infektif (L3)

satu minggu sebelum infeksi sampai pada minggu ketiga pasca infeksi. 8 3 Rataan jumlah monosit domba per kelompok infeksi larva infektif (L3)

satu minggu sebelum infeksi sampai pada minggu ketiga pasca infeksi 10 4 Rataan jumlah neutrofil domba per kelompok infeksi larva infektif (L3)

satu minggu sebelum infeksi sampai pada minggu ketiga pasca infeksi 11 5 Rataan jumlah eosinofil domba per kelompok infeksi larva infektif (L3)

(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Domba merupakan satu diantara komoditas peternakan di Indonesia. Berdasarkan sensus pertanian tahun 2013 sebanyak 645.6 ribu rumah tangga di Indonesia memelihara domba dan 2.7 juta rumah tangga memelihara kambing dengan jumlah populasi domba 3.782 juta dan jumlah populasi kambing 13.5 juta. Provinsi Jawa Barat memiliki populasi domba terbanyak (71%) dan Propinsi Jawa Timur memiliki populasi kambing terbanyak (31%) dari total populasi (Direktorat Jenderal Peternakan 2013). Domba ekor tipis merupakan satu diantara jenis domba yang paling banyak diperlihara di Indonesia. Satu diantara kendala peningkatan populasi ternak domba di Indonesia disebabkan adanya infeksi cacing nematoda.

Haemonchus contortus merupakan cacing nematoda yang terdapat pada abomasum domba dan kambing. Penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing

Haemonchus contortus disebut haemonchosis. Kasus Haemonchosis di Indonesia cukup tinggi. Tingkat prevalensi Haemonchus contortus di Indonesia dapat mencapai rata-rata 80% (Puslitbangnak 1980). Ridwan et al. (1996) melaporkan derajat infeksi nematoda saluran pencernaan di wilayah Bogor tinggi sepanjang tahun, dengan spesies yang dominan adalah Haemonchus contortus. Blood dan Henderson (1974) melaporkan bahwa Haemonchosis merupakan penyakit yang menyebabkan kerugian di negara-negara tropis, terutama pada negara tropis dengan curah hujan yang tinggi. Kerugian tersebut dalam bentuk penurunan berat badan, daya tahan tubuh, dan bahkan dapat menimbulkan kematian (Fabiyi 1986).

Haemonchus contortus merupakan jenis cacing penghisap darah. Endoparasit ini merupakan satu diantara penyebab utama perubahan gambaran darah domba (Schalm et al. 1975). Pemeriksaan sel darah merah maupun sel darah putih (leukosit) dapat memperkuat diagnosa pada hewan disamping pemeriksaan telur cacing dalam tinja. Menurut Lawhead dan Baker (2005) jumlah total dan tipe sel darah putih dalam pemeriksaan hematologi dapat digunakan untuk membantu mendiagnosa keadaan atau status infeksi pada hewan. Selama ini, laporan terkini mengenai gambaran sel darah putih domba ekor tipis dengan tingkat infeksi larva infektif berbeda masih sedikit. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh tingkat infeksi Haemonchus contortus terhadap perubahan gambaran sel darah putih pada domba ekor tipis yang menderita haemonchosis.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tingkat infeksi

Haemonchus contortus terhadap perubahan gambaran sel darah putih domba ekor tipis.

Manfaat Penelitian

(16)

2

METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Helminthologi dan kandang ruminansia kecil Unit Pengelola Hewan Laboratorium (UPHL), Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berlangsung mulai bulan Juli hingga Oktober 2013.

Bahan Penelitian

Hewan coba yang digunakan adalah 20 ekor domba jantan lokal yang berumur 6 hingga 8 bulan, dengan berat badan sekitar 14-19 kg. Sebelum digunakan untuk penelitian domba diberi anthelmintik Albendazol agar domba bebas dari infeksi cacing.

Selama penelitian berlangsung semua domba dikandangkan sebanyak 4 ekor domba/kandang, di kandang ruminansia kecil milik UPHL FKH-IPB. Empat ekor domba di kandang pertama sebagai kontrol. Hewan coba tersebut diberi pakan berupa rumput gajah. Pakan diberikan sebanyak dua kali sehari dengan air minum diberikan secara ad libitum.

Desain Penelitian

Hewan coba dibagi secara acak menjadi lima kelompok, masing-masing terdiri dari empat ekor domba yaitu kelompok yang diinfeksi dengan dosis infeksi larva infektif masing-masing 500 L3, 1000 L3, 2000 L3, dan 4000 L3 serta kelompok yang tidak diinfeksi sebagai kontrol.

Pengambilan darah dilakukan setiap satu minggu sekali untuk pemeriksaan jumlah leukosit. Pengambilan darah mulai dilakukan sehari sebelum domba diinfeksi, kemudian setiap satu minggu sekali sampai minggu ketiga pasca infeksi. Pengambilan darah dilakukan pagi hari menggunakan tabung hampa udara (venoject®) dengan antikoagulan Ethylen Diamine tetraacetic Acid (EDTA) dari vena jugularis sebanyak tiga sampai lima ml, kemudian dibawa ke Laboratorium Helminthologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Penyiapan Larva Infektif (L3) Haemonchus Contortus

Larva infektif yang digunakan untuk menginfeksi hewan coba diperoleh dari hasil pupukan telur cacing Haemonchus contortus. Telur cacing diperoleh dari cacing dewasa yang diambil dari abomasum domba dari rumah potong hewan, Empang, Bogor. Pemupukan telur cacing menggunakan media tinja sapi yang bebas cacing dicampur vermikulit dengan perbandingan 1:3, kemudian dibiarkan selama seminggu pada suhu kamar. Pengecekan dilakukan dua hari sekali untuk memeriksa kelembaban dan ditambahkan beberapa tetes aquades apabila diperlukan.

(17)

3 tersebut siap digunakan untuk infeksi. Menjelang infeksi, dilakukan penghitungan jumlah larva infektif (L3) di bawah mikroskop dengan menambahkan air suling. Larva dihitung sesuai dosis yang telah ditentukan yaitu 500L3, 1000L3, 2000L3, 4000L3 kemudian dimasukkan ke dalam kapsul gelatin. Larva cacing yang diperoleh diinfeksikan pada masing-masing domba secara peroral menggunakan sonde lambung ke dalam abomasum.

Perhitungan Jumlah Leukosit

Penghitungan leukosit dilakukan secara manual dengan menggunakan hemasitometer. Darah dihisap dengan aspirator sampai skala 0.5 kemudian pipet dibersihkan dari noda-noda darah yang menempel menggunakan kertas saring atau tisu, lalu ujung pipet dimasukkan ke dalam cairan pengencer turk dan dihisap sampai batas tera 11. Aspirator dilepaskan, pipet diangkat, ujungnya ditutup dengan jempol dan pangkalnya ditutup dengan jari tengah. Pipet diposisikan mendatar dan dihomogenkan dengan membuat gerakan angka 8 sebanyak tujuh kali. Setelah homogen, cairan dibuang sebanyak 3-5 tetes, setelah itu hasil pengenceran dituangkan ke dalam kamar hitung improved Neubauer dengan menyentuhkan ujung pipet secara hati-hati pada tepi dataran kaca penutup, sehingga permukaan terisi sempurna.

Kamar hitung yang telah terisi didiamkan selama beberapa menit supaya sel-sel darah putih mengendap sempurna. Bagian datar yang terisi diletakkan di bawah meja objektif, diposisikan, kemudian dihitung jumlah leukositnya. Empat kotak yang dihitung adalah empat kotak dipojok. Hasil penghitungan terakhir adalah jumlah seluruh sel darah putih dari empat kotak tersebut (n butir) dikalikan 50 sehingga diperoleh jumlah sel darah putih per µl (mm3) volume darah.

Diferensial Leukosit

(18)

4

Pemeriksaan Sampel Tinja

Pemeriksaan sampel tinja dilakukan untuk mengetahui jumlah telur tiap gram tinja (TTGT) dengan menggunakan metode McMaster (Hansen dan Perry 1994). Sampel tinja ditimbang sebanyak 2 gram dan ditambahkan larutan garam jenuh ke dalam gelas sebanyak 58 ml. Larutan tinja dimasukkan ke dalam kamar hitung McMaster setelah dihomogenkan terlebih dahulu, kemudian dibiarkan selama 2-3 menit, sebelum diperiksa dibawah mikroskop. Pemeriksaan dibawah mikroskop dilakukan dengan perbesaran 10x10. Jumlah TTGT cacing dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:

���� = � ℎ� � �� ℎ � �

Analisis Data

(19)

5

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Jumlah Leukosit Darah yang Diinfeksi Larva Infektif Haemonchus contortus

Berdasarkan pengamatan dan hasil analisis (Tabel 1), rataan jumlah total leukosit pada setiap minggu menunjukkan perubahan jumlah leukosit tertinggi terdapat pada kelompok infeksi 500 larva infektif (L3), diikuti oleh kelompok infeksi 2000L3. Dosis infektif rendah mendapatkan respon kekebalan paling tinggi dan menjelaskan bahwa Haemonchus contortus dapat berkembang dengan baik sehingga mendapatkan respon kekebalan yang tinggi pada setiap minggunya. Hal ini sesuai dengan hasil pemeriksaan TTGT yang menunjukkan kelompok infeksi 500L3 memiliki jumlah TTGT atau tingkat keberhasilan infeksi paling tinggi diikuti oleh kelompok infeksi 2000L3.

Tabel 1 Rataan jumlah leukosit domba per kelompok infeksi larva infektif (L3) satu minggu sebelum infeksi sampai pada minggu ketiga pasca infeksi.

Perlakuan

Rataan jumlah leukosit (jumlah sel per µl darah) minggu ke-

0 1 2 3

500L3 14919±1700b 15644±4840a 18300±5967a 14400±6936a 1000L3 9756±2562a 13619±4359a 11294±2439a 10606±1992a 2000L3 12506±2344ab 13206±2751a 14369±3719a 11581±4350a 4000L3 8925±1700ab 13238±4840a 11938±5967a 9187±6936a Kontrol 10088±3202ab 10444±3297a 11769±4184a 13488±4559a

Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukan nilai yang berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).

Pada minggu pertama dan kedua pasca infeksi jumlah leukosit mengalami peningkatan. Peningkatan disebabkan oleh infeksi larva dan cacing dewasa yang menyebabkan peradangan pada mukosa abomasum. Hal tersebut sesuai dengan laporan Blood dan Henderson (1974) yang menyatakan bahwa larva Haemonchus contortus di dalam abomasum akan menyebabkan erosi dan ulcerasi di tempat menempelnya cacing sehingga terjadi peradangan. Peradangan pada mukosa abomasum akan menggertak pembentukan leukosit pada sumsum tulang. Leukosit yang terbentuk dimobilisasi melalui sistem pembuluh darah perifer menuju target organ. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian oleh Duncan dan Prasse (1986) yang menyatakan bahwa peningkatan jumlah total leukosit dapat terjadi karena faktor fisiologis (stres), trauma, umur hewan, efek obat kortikosteroid, infeksi peradangan akut maupun kronis, infeksi virus, dan infeksi parasit. Hal ini juga dijelaskan Arifin (1982) yang menyatakan bahwa jumlah leukosit meningkat sampai dengan hari ke 18 pasca infeksi.

(20)

6

besar dari pembuluh darah menuju jaringan atau organ yang mengalami peradangan akibat infeksi cacing Haemonchus contortus. Secara keseluruhan infeksi cacing

Haemonchus contortus dapat menyebabkan perubahan jumlah leukosit domba, namun dosis infeksi yang berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan jumlah leukosit pada setiap minggu pasca infeksi.

Gambar 1 Rataan jumlah leukosit domba per kelompok infeksi larva infektif (L3) satu minggu sebelum infeksi sampai pada minggu ketiga pasca infeksi. Jumlah TTGT yang ditemukan pada pemeriksaan tinja (Tabel 2) dapat dijadikan indikator terhadap jumlah cacing pada abomasum domba. Jumlah TTGT yang tinggi menyatakan persentase dari cacing dewasa yang tinggi dan sebaliknya hasil perhitungan TTGT rendah menyatakan persentase cacing dewasa sedikit. Tabel 2 Rataan jumlah telur tiap gram tinja (TTGT) domba per kelompok dosis

infeksi larva infektif (L3) satu minggu sebelum infeksi sampai pada minggu ketiga pasca infeksi

Perlakuan

Rataan jumlah telur tiap gram tinja (TTGT) minggu ke-

Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).

(21)

7 pasca infeksi bertepatan dengan jumlah TTGT mengalami peningkatan tertinggi. Hal ini diduga karena leukosit yang beredar di dalam darah sudah terkonsentrasi menuju target organ yang terinfeksi Haemonchus contortus.

Pada kelompok infeksi terendah 500L3 jumlah TTGT yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan infeksi lainnya. Kemudian diikuti oleh kelompok 2000L3 dan 1000L3. Respon terhadap jumlah leukosit menunjukkan pola yang sama, dimana kelompok infeksi 500L3 menghasilkan jumlah leukosit tertinggi, diikuti oleh kelompok infeksi 2000L3 dan 1000L3. Jumlah TTGT yang tinggi pada kelompok infeksi dosis rendah diduga karena cacing Haemonchus contortus dapat bertahan dan berkembang dengan baik dibandingkan kelompok infeksi dengan dosis yang lebih tinggi di dalam tubuh domba.

Jumlah TTGT terendah ditemukan pada kelompok infeksi tertinggi 4000L3. Respon kelompok infeksi 4000L3 terhadap jumlah leukosit juga rendah. Bahkan pada minggu ketiga jumlah leukosit yang dihasilkan kelompok infeksi 4000L3 merupakan yang paling rendah. Hal ini diduga karena dosis infeksi yang tinggi menimbulkan respon kekebalan inang yang lebih kuat pula di awal infeksi terjadi, sehingga larva yang diinfeksikan tidak dapat bertahan dan berkembang dengan baik. Jumlah larva yang berhasil menjadi dewasa sangat sedikit sehingga jumlah TTGT yang ditemukan sedikit.

Korelasi antara jumlah leukosit dengan TTGT secara statistik menunjukkan terdapat korelasi positif yang tidak nyata. Peningkatan jumlah TTGT dapat meningkatkan jumlah leukosit namun tidak signifikan. Berdasarkan hasil analisis regresi didapat korelasi postif antara TTGT dengan leukosit sebesar 0.005.

Respon leukosit yang jelas muncul pada keadaan patologis. Manifestasi respon leukosit berupa penurunan atau peningkatan satu diantara atau beberapa jenis sel leukosit. Informasi ini dapat memberikan petunjuk terhadap kehadiran suatu penyakit dan membantu dalam diagnosa penyakit yang diakibatkan oleh agen tertentu (Jain 1993).

Gambaran Limfosit Domba

Berdasarkan pengamatan dan hasil analisis (Tabel 2), secara umum kelompok infeksi dosis tinggi 4000L3 dan 2000L3 mengalami peningkatan dan menjadi dua kelompok dengan jumlah limfosit tertinggi di awal minggu pertama, namun mengalami penurunan pada minggu kedua dan ketiga pasca infeksi. Hal sebaliknya terjadi pada kelompok infeksi dosis rendah 500L3 yang mengalami penurunan jumlah limfosit pada minggu pertama dan meningkat di minggu kedua pasca infeksi, sedangkan kelompok infeksi 1000L3 meningkat di minggu ketiga pasca infeksi.

Pada minggu pertama pasca infeksi, kelompok infeksi tertinggi 4000L3 dan 2000L3 mengalami peningkatan. Respon peningkatan jumlah limfosit tertinggi terjadi pada kelompok infeksi 4000L3, diduga karena dosis infeksi tinggi cenderung menggertak keluarnya limfosit lebih banyak, sehingga pada minggu pertama pasca infeksi limfosit diproduksi dan ditemukan dalam jumlah besar di dalam darah.

(22)

8

T membantu memproduksi antibodi spesifik. Antibodi yang aktif yaitu IgE dan IgM. IgE mengaktifkan sel basofil berdegranulasi melepaskan Eosinofil Chemotatic Factor A (ECF-A) yang memobilisasi produksi eosinofil. Sehingga peran limfosit adalah memberi informasi adanya infeksi parasit dalam proses awal mobilisasi sel eosinofil.

Tabel 3 Rataan nilai absolut limfosit domba per kelompok dosis infeksi larva infektif (L3) satu minggu sebelum infeksi sampai pada minggu ketiga pasca infeksi.

Perlakuan

Rataan nilai absolut limfosit (jumlah sel per µl darah) minggu ke-

0 1 2 3

500L3 4668±1568a 3654± 921a 6408±4593a 3740±2465a 1000L3 2606±1309a 3155±1660a 2751± 566a 3218±1084a 2000L3 3451± 542a 4039±1625a 4355±1729a 2878± 970a 4000L3 2646±1428a 4637±1810a 2823±1525a 2914± 842a Kontrol 3137± 968a 2552± 634a 3703±1226a 2517± 784a

Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).

Pada minggu kedua pasca infeksi kelompok Infeksi 500L3 dan 1000 L3 mengalami peningkatan. Peningkatan jumlah limfosit pada kelompok infeksi terendah 500L3 hingga 2 kali lipat dari minggu pertama. Respon kekebalan terhadap kelompok infeksi rendah mengalami puncaknya pada minggu kedua pasca infeksi. Tingginya respon limfosit terhadap kelompok infeksi rendah diduga karena cacing dapat bertahan dan berkembang dengan baik sejak minggu pertama pasca infeksi, sehingga respon yang muncul terjadi saat cacing sudah berada di abomasum domba.

Gambar 2 Rataan nilai absolut limfosit domba per kelompok dosis infeksi larva infektif (L3) satu minggu sebelum infeksi sampai pada minggu ketiga pasca infeksi.

(23)

9 dapat bertahan hidup. Hal ini terbukti dari hasil pemeriksaan TTGT pada minggu kedua pasca infeksi tidak ditemukannya telur cacing pada kelompok infeksi 4000L3 dan jumlah TTGT kelompok infeksi 4000L3 menjadi yang terendah di minggu ketiga pasca infeksi dibandingkan kelompok infeksi lainnya. Berdasarkan analisis statistik tingkat infeksi yang berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan nilai limfosit pada setiap minggu pasca infeksi.

Korelasi antara jumlah limfosit dengan TTGT secara statistik menunjukkan korelasi positif yang tidak nyata. Peningkatan jumlah TTGT dapat meningkatkan jumlah limfosit namun tidak signifikan. Berdasarkan hasil analisis regresi didapat korelasi positif antara TTGT dengan limfosit sebesar 0.033.

Gambaran Monosit Domba

Hasil penelitian profil monosit (Tabel 3) menunjukkan pada minggu pertama terjadi peningkatan jumlah monosit yang tinggi pada kelompok infeksi 2000L3. Dosis infeksi 2000L3 merupakan yang paling kuat menggertak respon monosit. Pada minggu kedua dan ketiga pasca infeksi, jumlah monosit dari semua kelompok infeksi cenderung mengalami peningkatan. Peningkatan jumlah monosit ini disebabkan oleh adanya mobilisasi makrofag melewati pembuluh darah menuju lokasi infeksi cacing Haemonchus contortus. Secara statistik tingkat infeksi berbeda berpengaruh nyata terhadap perubahan nilai monosit pada minggu pertama pasca infeksi (P<0.05), namun tidak berbeda nyata pada minggu kedua dan ketiga pasca infeksi.

Tabel 4 Rataan nilai absolut monosit domba per kelompok dosis infeksi larva infektif (L3) satu minggu sebelum infeksi sampai pada minggu ketiga pasca infeksi.

Perlakuan

Rataan nilai absolut monosit (jumlah sel per µl darah) minggu ke- Kontrol 931±393b 498±268ab 901±661a 726±320a

Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan nilai berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).

(24)

10

Gambar 3 Rataan nilai absolut monosit domba per kelompok dosis infeksi larva infektif (L3) satu minggu sebelum infeksi sampai pada minggu ketiga pasca infeksi.

Korelasi antara jumlah monosit dengan TTGT secara statistik menunjukkan korelasi positif yang tidak nyata. Peningkatan jumlah TTGT dapat meningkatkan jumlah monosit namun tidak signifikan. Dari hasil analisis regresi didapat korelasi positif antara TTGT dengan monosit sebesar 0.076.

Gambaran Neutrofil Domba

Hasil penelitian profil neutrofil (Tabel 4) menunjukkan jumlah neutrofil kelompok infeksi 500L3 merupakan yang tertinggi pada setiap minggu pasca infeksi. Pada minggu pertama pasca infeksi, kelompok infeksi 500L3 memiliki jumlah neutrofil tertinggi dan diikuti oleh kelompok infeksi 1000L3. Gambaran ini sesuai dengan hasil pemeriksaan TTGT pada minggu pertama pasca infeksi, jumlah TTGT tertinggi dimiliki kelompok infeksi 500L3 dan diikuti oleh kelompok infeksi 1000L3. Kemudian di minggu kedua nilai absolut neutrofil berfluktuasi. Pada minggu ketiga pasca infeksi profil neutrofil semua kelompok infeksi mengalami penurunan, hal sebaliknya terjadi pada jumlah TTGT yang mengalami peningkatan pada semua kelompok infeksi. Hal ini diduga pada minggu ketiga pasca infeksi sel neutrofil keluar dari pembuluh darah dalam jumlah yang besar menuju jaringan atau organ yang mengalami peradangan oleh bakteri akibat infeksi cacing Haemonchus contortus.

Tabel 5 Rataan nilai absolut neutrofil domba per kelompok dosis infeksi larva infektif (L3) satu minggu sebelum infeksi sampai pada minggu ketiga pasca infeksi.

Perlakuan

Rataan nilai absolut neutrofil (jumlah sel per µl darah) minggu ke-

0 1 2 3

500L3 9596±2834a 9798±2973a 9033±2224a 8014±3878a 1000L3 6560±2522a 9038±3801a 7287±2633a 6018±1177a 2000L3 9006±1904a 7387±1773a 7737±1189a 6774±3268a 4000L3 5985±3553a 7706±2994a 7624±4796a 5421±1134a Kontrol 6020±3202a 7394±3297a 7058±4184a 9470±4559a

(25)

11 Perubahan nilai profil neutrofil secara keseluruhan tidak terlalu besar jika dilihat persentase diferensial neutrofil rata-rata berada diatas 50%. Hal ini diduga sesuai dengan laporan Guyton (1986) bahwa neutrofil lebih aktif dalam memfagosit bakteri sehingga keberadaan Haemonchus contortus tidak menimbulkan respon yang berarti terhadap produksi neutrofil. Hal ini terbukti dari nilai korelasi antara TTGT dengan neutrofil merupakan yang terkecil dibandingkan jenis leukosit lain. Profil nilai neutrofil domba antar tingkat infeksi yang berbeda tidak memberikan perbedaan nyata secara statistik pada setiap minggu pasca infeksi (P>0.05).

Gambar 4 Rataan nilai absolut neutrofil domba per kelompok dosis infeksi larva infektif (L3) satu minggu sebelum infeksi sampai pada minggu ketiga pasca infeksi.

Peningkatan neutrofil pada beberapa kelompok infeksi dan kontrol pada minggu tertentu diduga kuat karena kondisi stress yang dialami domba. Stress dapat meningkatkan jumlah neutrofil dalam darah (Kelly 1984). Stress dimungkinkan terjadi akibat handling yang dilakukan pada setiap pengambilan darah, jenis kelamin domba yang sama (jantan) dalam satu kandang yang memicu perkelahian, dan kondisi kandang yang sempit.

Korelasi antara jumlah neutrofil dengan TTGT secara statistik menunjukkan korelasi negatif yang nyata (<0.05), perubahan jumlah TTGT berpengaruh nyata terhadap perubahan jumlah neutrofil. Peningkatan jumlah TTGT dapat menurunkan jumlah neutrofil namun tidak signifikan. Berdasarkan hasil analisis regresi didapat korelasi negatif antara TTGT dengan neutrofil sebesar 0.247.

Gambaran Basofil Domba

(26)

12

Gambaran Eosinofil Domba

Hasil penelitian profil eosinofil (Tabel 5) menunjukkan pada minggu sebelum diinfeksi tidak ditemukan sel eosinofil pada semua kelompok infeksi maupun kelompok kontrol. Pada minggu pertama pasca infeksi ditemukan sel eosinofil pada semua jenis kelompok infeksi. Kelompok infeksi 500L3 memiliki jumlah eosinofil paling tinggi kemudian diikuti kelompok 2000L3. Pada kelompok infeksi 500L3, eosinofil mengalami peningkatan mencapai 10% dari total persentase leukosit. Hal ini sesuai dengan laporan Faust dan Russel (1971) yang menyatakan bahwa adanya peningkatan 10% eosinofil pada penderita cacingan. Secara keseluruhan sel eosinofil mengalami peningkatan pada semua kelompok infeksi.

Peningkatan jumlah eosinofil tertinggi terjadi pada minggu kedua pasca infeksi. Kelompok infeksi 500L3 memiliki jumlah eosinofil paling tinggi, diikuti oleh kelompok infeksi 2000L3. Hal ini diduga karena pada minggu kedua cacing

Haemonchus contortus sudah berada di dalam abomasum dan mampu bereproduksi. Menurut laporan Jones (1993), eosinofil merupakan pertahanan tubuh yang utama melawan organisme berukuran besar seperti cacing Haemonchus contortus. Keberadaan cacing Haemonchus contortus pada abomasum menyebabkan tingginya produksi eosinofil di dalam darah. Hal ini dapat dilihat dari hasil pemeriksaan TTGT yang menunjukkan banyaknya jumlah telur cacing yang ditemukan pada kelompok infeksi 500L3, 1000L3 dan 2000L3.

Tabel 6 Rataan nilai absolut eosinofil domba per kelompok dosis infeksi larva infektif (L3) satu minggu sebelum infeksi sampai pada minggu ketiga pasca infeksi.

Perlakuan

Rataan nilai absolut eosinofil (jumlah sel per µl darah) minggu ke-

Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).

(27)

13 pada minggu pertama dan kedua pasca infeksi terhadap kelompok kontrol (P<0.05), namun tidak berbeda nyata pada minggu ketiga pasca infeksi (P>0.05).

Gambar 5 Rataan nilai absolut eosinofil domba per kelompok dosis infeksi larva infektif (L3) satu minggu sebelum infeksi sampai pada minggu ketiga pasca infeksi.

Korelasi antara jumlah eosinofil dengan TTGT secara statistik menunjukkan korelasi positif yang nyata (P<0.05), perubahan jumlah TTGT berpengaruh nyata terhadap perubahan jumlah eosinofil. Peningkatan jumlah TTGT dapat meningkatkan jumlah eosinofil. Berdasarkan hasil analisis korelasi regresi didapat korelasi antara TTGT dengan eosinofil sebesar 0.366.

SIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa infeksi Haemonchus contortus

menyebabkan peningkatan jumlah leukosit namun tingkat dosis infeksi tidak mempengaruhi jumlah leukosit. Tingkat dosis infeksi yang berbeda berpengaruh nyata terhadap peningkatan jumlah eosinofil, namun tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan jumlah limfosit, monosit, dan neutrofil. Jumlah telur tiap gram tinja (TTGT) berkorelasi positif nyata terhadap profil jumlah eosinofil dan berkorelasi negatif yang nyata terhadap profil jumlah neutrofil, namun tidak berkorelasi terhadap profil jumlah leukosit, limfosit, monosit.

SARAN

Data penelitian ini didapat dari hasil penelitian dalam rentang waktu tiga minggu pasca domba diinfeksi dengan tiga kali pengambilan sampel. Berdasarkan kekurangan tersebut maka perlu dilakukan penelitian lanjut dengan rentang waktu tujuh sampai delapan minggu pasca domba diinfeksi untuk mengamati dan mengetahui gambaran sel darah putih domba yang mengalami infeksi kronis cacing

(28)

14

DAFTAR PUSTAKA

Archer RK, Jefcott LB, dan Lehmann H. 1997. Comparative Clinical Haemathology. Oxford: Blacwell Sciencetific Publication.

Arifin CS. 1982. Parasit Ternak dan Cara-cara Penanggulangannya. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

Blood DC, Henderson JA. 1974. Veterinary Medicine. London (UK): Bailliere Tindal and Cessel Ltd. Ed ke-3.

[Ditjen DEPTAN] Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian. 2006.

Statistik Peternakan 2006. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian.

Duncan JR, Prasse KW. 1986. Effect of Lasolocid on Feedlot Performance, Energy Partitioning and Hormonal Status of Cattle. Journal Anim Sci. 53: 417 – 423

Fabiyi JP. 1986. Production Losses and Control of Helminths in Ruminants of Tropical Regions. Di dalam: Howell MJ, editor. Congress of Parasitology; Canberra (AU): Australian Academy of Science.

Faus EC, Russel PF. 1971. Craig and Faust’s Parasitology. 8th ed. Philadelphia (US): Lea and Febriger.

Guyton AC. 1986. Textbook of Medical Physiology (Buku Ajar Fisiologi Kedokteran). Jakarta: EGC.

Hansen J, Perry B. 1994. The Epidemiology, Diagnosis And Control of Helminth Parasites of Ruminant. Ethiopia (ET): International Livestock Centre for Africa Addis Ababa.

Hartono. 1989. Histologi Veteriner. Bogor (ID): Pusat antar Universitas.

Jain NC. 1993. Essential of Veterinary Hematology. Philadelphia (US): Lea and Febiger.

Jones DG. 1993. The eosinophil. Journal Comparative Pathology. 108:317-335. Kelly WR. 1984. Veterinary Clinical Diagnosis. London (UK): Bailiere Tindall. Ed

ke-3.

Lawhead JB, Baker M. 2005. Introduction to Veterinary Science. New York (US): Thomson and Learning.

[PUSLITBANGNAK] Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. 1980. Laporan Tahunan. Jakarta (ID): Balai Penelitian dan Pengembangan Peternakan Departemen Pertanian.

Reece WO. 2006. Functional Anatomy and Physiology of Domestic Animals. Ames Lowa (US): Blackwell Publishing.

Ridwan Y, Kusumamihardja S, Dorny P, Vercruysse J. 1996. The Epidemiology of Gastro-intestinal nematodes of Sheep in the West Java Indonesia. Journal Hemera Zoa. 78(1): 8-18.

Rothwell WT, Horsburgh BA, France MP. 1994. Basophil leucocytes in response to parasitic infection and some other in sheep. American Journal Veterinary Science. 56: 319-324.

Schalm OW. 1975. Veterinary Hematology. Philadelpia: Lea and Febiger Publiser. Tizard I. 1988. Pengantar Imunologi Veteriner. Surabaya (ID): Airlangga

University Press.

(29)

15 Underwood JCE. 1992. General and Systemic Pathology. New York (US):

(30)

16

RIWAYAT HIDUP

Hayatullah Frio Marten dilahirkan di Kampung Dalam, Pariaman pada tanggal 12 Maret 1992 dari pasangan Tasnil dan Zahani. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 1 Pariaman, Sumatera Barat dan melanjutkan ke SMA Negeri 1 Pariaman hingga selesai pada tahun 2010. Tahun 2010 penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan, IPB melalui jalur USMI.

Gambar

Tabel 2 Rataan jumlah telur tiap gram tinja (TTGT) domba per kelompok dosis

Referensi

Dokumen terkait

Rumusan masalah dalam penelitian ini apakah mekanisme corporate governance yang diproksikan oleh kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional domestik, ukuran

ataupun dari admin maka terdakwa harus/wajib menyetorkannya kepada Kantor PT. J&amp;T Manado dengan cara mengirimkan/transfer ke Nomor rekening Kantor PT. J&amp;T

Dari hasil penelitian dan pengolahan data yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa variabel gaji, kepemimpinan dan sikap rekan kerja berpengaruh signifikan positif

Berdasarkan hasil penelitian, analisis dan pembahasan dengan menggunakan teori bekerjanya hukum, maka dapat disimpulkan bahwa laporan penggunaan bantuan keuangan

Tujuan Penelitian penelitian 1) Untuk menganalisis bahwa Dana Alokasi Umum berpengaruh terhadap belanja modal. 2) Untuk menganalisis bahwa Pendapatan Asli Daerah.. 6

Tujuan penelitian ini mengetahui kualitas cuka kulit nanas dengan penambahan konsentrasi Acetobacter aceti terhadap kadar asam asetat, total gula reduksi, dan

Berkaitan dengan pengorganisasian implikasi dalam penanaman nilai-nilai moral di luar kelas (alam), adalah pendelegasian tugas terhadap siswa agar ada kerjasama,

dari Interval Type-2 Fuzzy Inference System menggunakan Big Bang-Big Crunch Algorithm diaplikasikan untuk peramalan beban jangka pendek pada hari libur