• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Dan Arahan Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Sebagai Strategi Mitigasi Urban Heat Island Di Kabupaten Karawang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Dan Arahan Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Sebagai Strategi Mitigasi Urban Heat Island Di Kabupaten Karawang"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS DAN ARAHAN PENGEMBANGAN

RUANG TERBUKA HIJAU SEBAGAI STRATEGI MITIGASI

URBAN HEAT ISLAND

DI KABUPATEN KARAWANG

MIRNA AULIA PRIBADI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis dan Arahan Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Sebagai Strategi Mitigasi Urban Heat Island di Kabupaten Karawang adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2015

Mirna Aulia Pribadi

(4)

RINGKASAN

MIRNA AULIA PRIBADI. Analisis dan Arahan Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Sebagai Strategi Mitigasi Urban Heat Island di Kabupaten Karawang. Dibimbing oleh SANTUN RISMA PANDAPOTAN SITORUS dan ENDES NURFILMARASA DACHLAN.

Pembangunan sarana dan infrastruktur fisik di Kabupaten Karawang yang mengakibatkan konversi Ruang Terbuka Hijau (RTH) menjadi lahan terbangun diprediksi menimbulkan fenomena Pulau Panas Perkotaan atau urban heat island

(UHI). Beberapa dampak UHI antara lain timbulnya permasalahan kesehatan serta turunnya tingkat kenyamanan, sehingga turut mempengaruhi produktivitas masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan suatu strategi yang efektif dan implementatif dalam upaya mengurangi dampak yang ditimbulkan UHI. Menurut beberapa penelitian, RTH dapat diaplilkasikan sebagai strategi mitigasi UHI yang terjadi.

Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi RTH eksisting di Kabupaten Karawang, menganalisis kebutuhan RTH menurut ketentuan yang berlaku, mengidentifikasi area-area dengan UHI sebagai rekomendasi zona pengembangan RTH serta menyusun arahan pengembangan RTH di Kabupaten Karawang sebagai strategi mitigasi UHI. Analisis-analisis yang digunakan meliputi analisis penggunaan lahan, analisis kebutuhan RTH menurut luas wilayah dan jumlah penduduk serta analisis suhu permukaan (land surface temperature).

Hasil analisis menunjukkah bahwa luas RTH Kabupaten Karawang secara keseluruhan mencapai 134.375 ha yang terdiri dari 134.284 ha RTH privat dan 91 ha RTH publik. Berdasarkan proyeksi penduduk sampai dengan tahun 2031, kebutuhan RTH publik tahun 2031 mencapai 5.999 ha, sedangkan kebutuhan RTH berdasarkan 20% luas wilayah adalah sebesar 38.848 ha. Hasil identifikasi RTH eksisting dan analisis kebutuhan RTH menunjukkan bahwa RTH Kabupaten Karawang secara keseluruhan masih memenuhi standar minimal 30% luas wilayah, namun luas RTH publik masih dibawah standar minimal 20% luas wilayah seperti yang tercantum pada UU Nomor 26 Tahun 2007. Kekurangan luas RTH publik menyebabkan diperlukan arahan pengembangannya. Arahan pengembangan RTH publik difokuskan pada zona pengembangan RTH yang terdiri dari kecamatan-kecamatan dengan UHI. Pelaksanaan pengembangan mengacu kepada prioritas kecamatan-kecamatan sesuai kriteria dan indikator yang ditentukan. Lokasi yang dipilih untuk pengembangan RTH disesuaikan dengan konsep kota hijau dan lokasi-lokasi dimana RTH dapat memberikan efek pendinginan dan naungan yang optimum sehingga mengurangi UHI. Bentuk RTH yang optimum dalam mitigasi UHI adalah hutan kota yang menyebar dimana vegetasi berupa pohon buah menjadi jenis vegetasi potensial dalam pengembangan RTH di Kabupaten Karawang khususnya pada lahan-lahan penghasil pangan yang dikonversi menjadi RTH.

(5)

SUMMARY

MIRNA AULIA PRIBADI. Analysis and Direction of Green Open Space Development as Mitigation Strategy for Urban Heat Island in Karawang District. Supervised by SANTUN RISMA PANDAPOTAN SITORUS and ENDES NURFILMARASA DACHLAN.

The development of physical facilities and infrastructure in Karawang District which involved the conversion of Green Open Space (GOS) into a developed land is predicted to have caused an urban heat island (UHI) phenomenon. UHI can generate health problem and reducing the level of comfort as well as affecting the productivity of community. Therefore, an effective and implementable strategy is required to reduce those impacts. According to several researches, GOS can be applied as UHI mitigation strategy.

The objective of this research is to identify existing GOS in Karawang District, analyze GOS needs according to the regulation, identify UHI areas for GOS development zone recommendation, and formulate GOS development direction in Karawang District as UHI mitigation strategy. The analyses used in this research include analysis on land use, GOS needs according to area size and population, and land surface temperature.

The result of analysis showed that there are 134,375 ha of GOS in Karawang District, which consist of 134,284 ha of private GOS and 91 ha of public GOS. According to population projection in 2031, the requirements for public GOS in that year would reach 5,999 ha, while GOS requirements based on 20% of total area is 38,848 ha. The existing GOS identification and GOS needs analysis showed that overall Karawang District’s GOS still fulfills the standard of 30% from the District’s total area wide, but public GOS is still under the minimum standard of 20% of total area as stated in Law No. 26 of 2007. The lack of public GOS indicates there is a need for its development. Public GOS development should focus on GOS development zone which consist of sub-districts with UHI. Development implementation shall refer to priority sub-districts according to the determined criteria and indicator. The locations of GOS development should be adjusted to green city concept and where GOS can have an optimum cooling and shading effect to reduce UHI. The optimum design for GOS in UHI mitigation strategy is distributed urban forest in which fruit tree species could be the potential vegetation for GOS development in Karawang District, particularly in crop producing lands which converted to GOS.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

ANALISIS DAN ARAHAN PENGEMBANGAN

RUANG TERBUKA HIJAU SEBAGAI STRATEGI MITIGASI

URBAN HEAT ISLAND

DI KABUPATEN KARAWANG

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilimiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam karya ilmiah ini adalah pengembangan wilayah khususnya dari aspek analisis yang diperlukan sebagai pertimbangan dalam merencanakan arahan pengembangan ruang terbuka hijau sebagai strategi mitigasi urban heat island

yang saat ini menjadi masalah di banyak kota di dunia. Masalah ini timbul terutama disebabkan oleh adanya konversi lahan non terbangun menjadi lahan terbangun yang biasanya dialami oleh wilayah-wilayah perkotaan. Adapun judul tesis ini adalah Analisis dan Arahan Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Sebagai Strategi Mitigasi Urban Heat Island di Kabupaten Karawang.

Terima kasih dan penghargaan setinggi-tinginya penulis sampaikan kepada: 1. Prof. Dr Ir Santun R.P. Sitorus selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak

Dr Ir Endes N. Dachlan, MS selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberi arahan, saran dan bimbingan dalam penyusunan tesis ini.

2. Dr Ir Bambang Sulistyantara, MScAgr selaku penguji luar komisi yang telah memberikan koreksi dan masukan bagi penyempurnaan tesis ini.

3. Ketua Program Studi serta segenap dosen pengajar, asisten dan staf pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

4. Kepala Pusat Pembinaan Pendidikan dan Pelatihan Perencanaan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Pusbindiklatren Bappenas) beserta jajarannya atas kesempatan beasiswa yang diberikan kepada penulis.

5. Kepala Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi serta Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim yang telah memberikan kesempatan tugas belajar kepada penulis.

6. Pemerintah Kabupaten Karawang khususnya Badan Perencanaan Pembangunan Daerah serta Pusat Data dan Informasi Kementerian Pertanian yang telah membantu data dan informasi.

7. Suami dan putra tercinta Rozi Fahlepi dan Muhammad Gibran Al Faizani yang terus mendukung dengan doa dan semangat. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh keluarga atas doa dan kasih sayangnya.

8. Teman-teman PWL 2013 kelas Bappenas atas kebersamaan dan semangat yang positif dalam penyusunan tesis.

9. Semua pihak yang berperan dalam proses penulisan tesis ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2015

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

Kerangka Pemikiran 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 5

Konsep Ruang Terbuka Hijau 5

Fungsi dan Manfaat Ruang Terbuka Hijau 6

Fenomena Urban Heat Island 6

Urban Heat Island di Indonesia 7

Deteksi Urban Heat Island 8

Ruang Terbuka Hijau dalam Mitigasi Urban Heat Island 9

3 METODE 13

Lokasi dan Waktu Penelitian 13

Bahan 14 Alat 15

Prosedur Analisis Data 15

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 23

Kondisi Fisik Wilayah dan Penggunaan Lahan 23

Kondisi Sosial Ekonomi 27

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 29

Identifikasi Kondisi Eksisting Ruang Terbuka Hijau di Kabupaten

Karawang 29 Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Kabupaten Karawang 36

Urban Heat Island di Kabupaten Karawang 40

Arahan Pengembangan RTH Kabupaten Karawang 49

6 SIMPULAN DAN SARAN 62

Simpulan 62 Saran 62

DAFTAR PUSTAKA 63

LAMPIRAN 67

(12)

DAFTAR TABEL

1. Jenis, sumber data dan teknik analisis data untuk setiap tujuan

penelitian 14 2. Tipe penggunaan lahan pada penggunaan lahan Kabupaten

Karawang tahun 2009 dan generalisasinya pada penggunaan lahan

tahun 2013 16

3. Standar kebutuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) menurut jumlah

penduduk dan tipe RTH 18

4. Data jumlah industri menurut unit usaha dari tahun 2010 – 2013 di

Kabupaten Karawang 28

5. Luas masing-masing tipe penggunaan lahan Kabupaten Karawang

tahun 1994 – 2013 29

6. Lokasi, luas dan jenis RTH publik Kabupaten Karawang 36 7. Kebutuhan ruang terbuka hijau berdasarkan luas wilayah pada setiap

kecamatan di Kabupaten Karawang 37

8. Kebutuhan ruang terbuka hijau berdasarkan jumlah penduduk

Kabupaten Karawang tahun 2013 dan 2031 39

9. Luas distribusi suhu permukaan Kabupaten Karawang tahun 1994 dan

2013 44 10. Pengukuran suhu udara pada beberapa jenis penggunaan lahan di

Kabupaten Karawang 46

11. Luas area dengan suhu ≥ 30˚C per kecamatan di Kabupaten Karawang

tahun 1994 dan 2013 47

12. Identifikasi UHI untuk rekomendasi zona pengembangan RTH 50 13. Penentuan kecamatan prioritas pengembangan pada zonasi RTH 51 14. Luas RTH pada zonasi RTH setelah pengembangan 53 15. Jenis pohon potensial untuk pengembangan hutan kota di Kabupaten

Karawang 60

DAFTAR GAMBAR

1. Kerangka pikir penelitian 4

2. Suhu pada berbagai tutupan lahan 9

3. Hubungan suhu, kelembaban dan arah angin pada tutupan kanopi

pohon 11 4. Peta lokasi penelitian, Kabupaten Karawang 13

5. Alur penelitian 22

6. Hutan kota di San Diego Hills Cemetary 25

7. Hutan kota di Kawasan Industri Pupuk Kujang 25

8. Alun-alun Kota Karawang 26

9. Lapangan Karang Pawitan 26

(13)

13. Proporsi masing-masing jenis ruang terbuka hijau di Kabupaten

Karawang 33 14. Distribusi ruang terbuka hijau di Kabupaten Karawang tahun 2013 34

15. Distribusi spasial ruang terbuka hijau Kabupaten Karawang tahun

2013 35 16. Distribusi suhu permukaan Kabupaten Karawang tahun 1994 41

17. Distribusi suhu permukaan Kabupaten Karawang tahun 2013 42 18. Luas masing-masing kelas suhu permukaan Kabupaten Karawang

tahun 1994 dan 2013 dan prediksi untuk tahun 2031 44 19. Perubahan luas pada masing-masing kelas suhu permukaan Kabupaten

Karawang periode 1994-2013 45

20. Proporsi lahan terbangun di setiap kecamatan tahun 2013 48 21. Arahan lokasi pengembangan ruang terbuka hijau Ibukota Kabupaten

Karawang 54 22. Arahan lokasi pengembangan ruang terbuka hijau Kecamatan

Rengasdengklok, Kabupaten Karawang 54

23. Arahan lokasi pengembangan ruang terbuka hijau Kecamatan Teluk

Jambe Barat, Kabupaten Karawang 55

24. Arahan lokasi pengembangan ruang terbuka hijau Kecamatan Teluk

Jambe Timur, Kabupaten Karawang 55

25. Arahan lokasi pengembangan ruang terbuka hijau Kecamatan Klari,

Kabupaten Karawang 56

26. Arahan lokasi pengembangan ruang terbuka hijau Kecamatan

Purwasari, Kabupaten Karawang 56

27. Arahan lokasi pengembangan ruang terbuka hijau Kecamatan

Cikampek, Kabupaten Karawang 57

28. Arahan lokasi pengembangan ruang terbuka hijau Kecamatan Ciampel,

Kabupaten Karawang 57

29. Arahan lokasi pengembangan ruang terbuka hijau Kecamatan Kota

Baru, Kabupaten Karawang 58

DAFTAR LAMPIRAN

1. Modeller analisis land surface temperature pada citra landsat 5 TM 67 2. Modeller analisis land surface temperature pada citra landsat 8 TIRS 68 3. Luas masing-masing tipe penggunaan lahan pada setiap kecamatan di

Kabupaten Karawang tahun 1994 69

4. Luas masing-masing tipe penggunaan lahan pada setiap kecamatan di

Kabupaten Karawang tahun 2013 70

5. Luas area setiap kelas suhu pada masing-masing kecamatan di

Kabupaten Karawang tahun 1994 71

6. Luas area setiap kelas suhu pada masing-masing kecamatan di

Kabupaten Karawang tahun 2013 72

(14)
(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kabupaten Karawang merupakan salah satu daerah di Indonesia yang sedang berkembang menjadi salah satu daerah industri yang sangat aktif seiring penetapannya sebagai daerah pengembangan kawasan industri melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 1989 tentang Kawasan Industri. Perkembangan Kabupaten Karawang ditandai dengan pesatnya pembangunan sektor industri. Sampai saat ini, terdapat 18 kawasan industri di Kabupaten Karawang, enam diantaranya yang terbesar yaitu Kawasan Industri Indotaisei, KIIC, Mitra Karawang Jaya, PT. Timor Putra Nasional, Pupuk Kujang dan Surya Cipta. Kegiatan industri di Kabupaten Karawang terus berkembang seiring kenaikan investasi dari Rp.14,253 triliun pada tahun 2012 menjadi Rp. 41,073 triliun pada akhir tahun 2013 (BPS Karawang 2014).

Sebagai daerah industri yang merupakan hinterland ibukota negara, di Kabupaten Karawang telah terjadi perubahan penggunaan lahan non-terbangun, termasuk ruang terbuka hijau (RTH), menjadi lahan terbangun yang cukup masif. Perubahan penggunaan lahan tersebut merupakan konsekuensi dari terbatasnya ketersediaan lahan untuk pembangunan fasilitas fisik dan infrastruktur. Sitorus et al. (2011) menyatakan bahwa perkembangan sektor-sektor ekonomi menyebabkan kebutuhan sumberdaya lahan meningkat untuk penyediaan sarana pendukung sehingga meningkatkan alih fungsi lahan RTH menjadi penggunaan lain atau lahan terbangun sehingga mengurangi keberadaan RTH di perkotaan. Purbani (2003) menunjukkan bahwa di Kabupaten Karawang telah terjadi perubahan penggunaan lahan sawah menjadi lahan terbangun sebesar 3,786.210 ha pada periode tahun 1989 – 1997. Berdasarkan perhitungan Widiatmaka et al. (2013), besarnya pengurangan lahan sawah di Kabupaten Karawang mencapai 1,88% per tahun dalam dekade terakhir yang sebagian besar konversi sawah (yang merupakan salah satu jenis RTH) menjadi permukiman dan kawasan industri. Hal ini menimbulkan dampak negatif pada lingkungan yang secara langsung dirasakan manusia. Dampak negatif tersebut antara lain terjadinya urban heat island (UHI) atau pulau bahang perkotaan.

UHI merupakan salah satu masalah klimatologi perkotaan yaitu fenomena peningkatan udara panas pada lokasi yang memiliki kepadatan lahan terbangun (built environment) yang tinggi. Pada wilayah dengan UHI, suhu udara kota lebih tinggi daripada suhu udara terbuka di sekitarnya atau di daerah pinggiran dengan perbedaan suhu mencapai 3-10°C. Fenomena UHI terjadi karena adanya perbedaan dalam penggunaan energi, penyerapan panas, pertukaran panas laten, serta tekanan dan aliran angin (Buyadi et al. 2013). Takahashi et al. (2004) dalam

(16)

2

RTH pada awal perkembangan suatu wilayah perkotaan akan memberikan kemudahan terutama dalam hal penyediaan lahan dalam luasan dan distribusi yang cukup dengan harga yang relatif lebih murah dibandingkan pada saat wilayah perkotaan tersebut sudah berkembang menjadi compact city.

RTH merupakan area yang harus disediakan oleh sebuah kota karena memiliki peran dan manfaat penting baik secara ekologis, ekonomi, sosial dan budaya. RTH secara ekologis dapat menurunkan temperatur kota sehingga menjadi alternatif yang tepat dalam mitigasi UHI. RTH disebutkan memiliki fungsi dalam memperbaiki, mengatur dan menjaga iklim mikro atau berfungsi dalam ameliorasi iklim mikro (Irwan 2005). Li et al. (2013) juga menyatakan bahwa tutupan lahan berupa vegetasi (ruang terbuka hijau) di perkotaan dapat menurunkan suhu lingkungan sehingga dapat mengurangi efek UHI. Adanya vegetasi akan menimbulkan lingkungan setempat sejuk, nyaman dan segar. Kehadiran kawasan vegetasi di kawasan perkotaan membawa pengaruh yang besar khususnya dalam meningkatkan kenyamanan suhu (Weng et al. 2004). Fungsi ameliorasi iklim mikro RTH dapat dimanfaatkan dalam strategi mitigasi UHI. Strategi mitigasi UHI akan optimum jika distribusi, lokasi, jenis, bentuk serta vegetasi penyusun RTH juga sesuai.

Berdasarkan uraian di atas, maka diperlukan analisis kebutuhan dan arahan pengembangan RTH di Kabupaten Karawang dengan memperhatikan kecukupan, distribusi serta bentuk-bentu RTH dan vegetasi penyusunnya agar mendukung optimalisasi fungsi ameliorasi iklim dalam upaya mitigasi UHI. Arahan pengembangan RTH diprioritaskan pada ibukota kabupaten, wilayah yang dengan aktivitas manusia tinggi digambarkan dengan kepadatan penduduk, wilayah dengan UHI serta strategi pengembangan kawasan perkotaan pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Karawang. Arahan tersebut dianalisis dengan pendekatan fungsi RTH dalam ameliorasi iklim mikro untuk minimalisasi dampak UHI.

Perumusan Masalah

Kondisi Kabupaten Karawang yang secara geografis berada pada pantai utara Pulau Jawa, serta kondisi morfologisnya sebagian besar merupakan daerah daratan rendah dan termasuk kedalam tipe iklim D menurut klasifikasi iklim Oldeman, menyebabkan suhu di wilayah ini secara alami sudah relatif tinggi. Adanya fenomena UHI menyebabkan suhu udara terutama di wilayah perkotaan akan semakin meningkat. Tingginya suhu udara yang melampaui indeks kenyamanan akan mempengaruhi tingkat kenyamanan, kesehatan dan produktivitas masyarakat.

(17)

3 karena itu, faktor-faktor tersebut penting untuk diperhatikan dalam menyusun arahan pengembangan RTH.

Atas dasar perumusan masalah tersebut, maka disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi RTH eksisting Kabupaten Karawang terkait luas, jenis dan distribusinya?

2. Berapa kebutuhan RTH di Kabupaten Karawang berdasarkan luas wilayah dan jumlah penduduk?

3. Bagaimana rekomendasi zona pengembangan RTH sehingga kemampuannya dalam mitigasi UHI dapat optimal, dengan memperhatikan potensi terjadinya UHI dan RTRW Kabupaten Karawang?

4. Bagaimana letak, jenis dan bentuk RTH serta vegetasi potensial dalam pengembangan RTH yang dapat optimal dalam meminimalisasi efek UHI dengan pendekatan fungsi RTH dalam ameliorasi iklim mikro serta mempertimbangkan kondisi eksisting penggunaan lahan suatu wilayah?

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi dan menganalisis kondisi eksisting RTH di Kabupaten Karawang meliputi luas, jenis dan distribusinya.

2. Menganalisis kebutuhan luas RTH Kabupaten Karawang berdasarkan luas wilayah dan jumlah penduduk.

3. Memetakan distribusi suhu permukaan sehingga diketahui wilayah yang telah mengalami UHI.

4. Menyusun arahan pengembangan RTH Kabupaten Karawang sebagai strategi mitigasi UHI.

Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Sebagai informasi spasial terkait kondisi eksisting RTH Kabupaten Karawang terkait luas dan distribusinya.

2. Sebagai informasi terkait sebaran suhu permukaan di Kabupaten Karawang. 3. Sebagai bahan evaluasi zonasi RTH yang telah ditetapkan pada RTRW

Kabupaten Karawang.

4. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah daerah Kabupaten Karawang dalam upaya perencanaan pengembangan RTH publik sebagai strategi mitigasi

Urban Heat Island.

Kerangka Pemikiran

Kondisi lingkungan di Kabupaten Karawang terkait suhu telah melampaui tingkat kenyaman bagi manusia karena kisaran suhunya relatif telah melampaui kisaran suhu yang nyaman bagi manusia untuk beraktifitas. Bianpoen et al. (1989)

(18)

4

menjadi lahan terbangun. Konversi RTH menjadi lahan terbangun menimbulkan permasalahan UHI yang mempengaruhi peningkatan suhu sehingga semakin menekan tingkat kenyamanan thermal. Oleh karena itu, diperlukan startegi mitigasi UHI berupa RTH dengan luas yang sesuai dan terdistribusi merata. Dengan demikian diharapkan RTH dapat berfungsi maksimal dan efektif dalam menjawab masalah kenyamanan terkait UHI. Sejalan dengan yang dikemukakan oleh Nurisjah (2005) bahwa dalam perencanaan dan pengembangan fisik RTH untuk dapat mencapai fungsi dan tujuan yang diinginkan, perlu memperhatikan empat hal utama, yaitu: luas minimum yang diperlukan, lokasi lahan kota yang potensial dan tersedia untuk RTH, bentuk yang dikembangkan, dan distribusinya dalam kota.

Pada penelitian ini akan dianalisis kebutuhan RTH menurut jumlah penduduk dan luas wilayah, lokasi pengembangan RTH serta alternatif tipe dan bentuk RTH yang sesuai dengan kondisi wilayah (ketersediaan lahan), landuse

dan RTRW Kabupaten Karawang. Kebutuhan luas RTH diprediksi dari luas wilayah serta jumlah penduduk eksisting dan tahun 2031. Pengembangan RTH dilakukan pada wilayah-wilayah prioritas, yaitu ibukota kabupaten, dan wilayah dengan aktivitas manusia yang tinggi, peningkatan luas lahan terbangun yang tinggi serta suhu permukaan yang tinggi. Pendekatan dalam menentukan lokasi pengembangan RTH terutama dalam menentukan wilayah dengan suhu tinggi dilakukan melalui analisis distribusi suhu permukaan (Land Surface Temperature/LST) secara spasial. Area dengan UHI diidentifikasi dari hasil analisis distribusi suhu permukaan. Arahan Pengembangan RTH berdasarkan kemampuan RTH dalam ameliorasi iklim mikro serta pola ruang, struktur ruang dan wiayah-wilayah yang ditetapkan sebagai zonasi RTH dalam RTRW Kabupaten Karawang. Kerangka pikir penelitian seperti pada Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian

Fenomena UHI akibat konversi RTH menjadi lahan terbangun f

Deteksi UHI dengan analisis LST

Gambaran sebaran suhu (wilayah dengan UHI)

Analisis kebutuhan dan lokasi pengembangan RTH 9 Optimalisasi fungsi ameliorasi

iklim mikro RTH

9 Pemilihan jenis vegetasi potensial

Kebutuhan RTH menurut jumlah penduduk dan luas wilayah

Arahan Pengembangan RTH Kabupaten Karawang

9 Pola Ruang dan Zona

Pengembangan RTH dalam RTRW 9 Ketersediaan lahan

Pertimbangan wilayah

(19)

5

2

TINJAUAN PUSTAKA

Konsep Ruang Terbuka Hijau

Ruang terbuka hijau (RTH) menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Secara lebih spesifik, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 menyebutkan bahwa Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan (RTHKP) adalah bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika. Secara umum, ruang terbuka hijau dibagi atas dua kelompok yaitu ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat. RTH publik merupakan yang penyediaannya menjadi tanggungjawab pemerintah kabupaten/kota, sedangkan RTH privat penyediaannya menjadi tanggungjawab pihak/lembaga swasta, perseorangan dan masyarakat yang dikendalikan melalui izin pemanfaatan ruang oleh pemerintah kabupaten/kota. Pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 diatur bahwa proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30% dari luas wilayah dengan luas ideal ruang terbuka publik atau RTHKP ditetapkan paling sedikit 20% dari luas kawasan perkotaan. Distribusi ruang terbuka hijau publik disesuaikan dengan sebaran penduduk dan hierarki pelayanan dengan memperhatikan rencana struktur dan pola ruang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Pembentukan RTHKP disesuaikan dengan bentang alam berdasar aspek biogeografis dan struktur ruang kota serta estetika.

(20)

6

Fungsi dan Manfaat Ruang Terbuka Hijau

RTH berkaitan dengan kenyamanan terkait pengaruh langsungnya dalam meredam radiasi matahari melalui efek penaungan (Effendy 2007). Manfaat RTH kota, baik secara langsung maupun tidak, sebagian besar dihasilkan dari adanya fungsi ekologis. Salah satu manfaat RTH diperoleh karena kemampuannya dalam ameliorasi iklim, khususnya iklim mikro. Adanya RTH sebagai paru-paru kota, maka akan terbentuk iklim yang sejuk dan nyaman. Menurut Grey dan Deneke (1978), tanaman memiliki empat fungsi utama, yaitu:

1. Fungsi memperbaiki iklim, yaitu berperan dalam memodifikasi suhu dan kelembaban udara sebagai pelindung dari pengaruh udara.

2. Fungsi teknik, antara mengurangi polusi udara dan mengurangi silau pantulan cahaya matahari.

3. Fungsi arsitektur dan keindahan.

Menurut Permendagri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan, salah satu manfaat Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan (RTHKP) adalah memperbaiki iklim mikro.

Fenomena Urban Heat Island

Urban Heat Island (UHI) atau pulau bahang kota adalah salah satu masalah klimatologi perkotaan yang meningkat seiring pembangunan wilayah perkotan (Buyadi et al. 2013). Menurut Irwan (2008), perbedaan suhu tersebut dapat disebabkan oleh:

1. Bahan penutup permukaan

Permukaan daerah perkotaan berupa beton dan semen memiliki konduktivitas kalor yang tinggi (tiga kali lebih tinggi daripada tanah berpasir yang basah). Akibatnya, permukaan daerah perkotaan menyimpan energi lebih banyak.

2. Bentuk dan orientasi permukaan

Bentuk dan orientasi permukaan di perkotaan lebih bervariasi sehingga energi yang datang akan dipantulkan berulang kali dan akan mengalami beberapa penyerapan dan disimpan dalam bentuk panas.

3. Sumber kalor

Di daerah perkotaan, terdapat bergam aktivitas manusia yang menjadi sumber panas, misalnya kendaraan bermotor, mesin-mesin pabrik, pendingin ruangan. 4. Sumber kelembaban

Di daerah perkotaan, air hujan cenderung mengalir pada parit, selokan dan menjadi run off, sehingga jumlah air yang meresap relatif lebih kecil daripada daerah pinggiran kota. Kondisi tersebut menyebabkan berkurangnya evaporasi yang akan meningkatkan kelembaban udara dan menurunkan suhu. Kecilnya kemungkinan terjadinya evaporasi akan menyebabkan lebih banyak panas yang tersedia untuk memanaskan atmosfer perkotaan.

5. Kualitas udara

Udara kota banyak mengandung bahan pencemaran yang berasal dari rumah kaca seperti CO2, CH4, CFCs yang dapat menimbulkan “efek rumah kaca”.

(21)

7 ditimbulkan oleh gas-gas rumah kaca (dalam konsentrasi yang besar di atmosfer) akan menjadi salah satu penyebab terjadinya fenomena Urban Heat Island.

Maimaitiyiming et al. (2014) mengemukakakn bahwa pertumbuhan yang cepat di ruang hijau menekankan kebutuhan untuk mengembangkan konfigurasi yang paling efektif dari ruang hijau tersebut untuk mengurangi pulau panas perkotaan yang disebabkan oleh perluasan permukaan tanah (permukaan terbuka) dan adaptasi dengan perubahan iklim global.

Urban Heat Island di Indonesia

Beberapa kota di Indonesia terutama kota-kota besar dideteksi telah mengalami UHI. Kota-kota besar yang telah mengalami UHI antara lain DKI Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Bandung dan Semarang. UHI di DKI Jakarta menghasilkan pusat suhu maksimum di Jakarta Pusat dan Jakarta Utara dan semakin menurun ke arah selatan. Perbedaan suhu antara Jakarta dengan Bogor mencapai 1 – 3˚C (Irwan 2008). Penelitian Wicahyani et al. (2013) mengidentifikasi terjadinya UHI di Yogyakarta melalui hasil interpretasi citra Landsat TM tahun 2012.

Saat ini, fenomena UHI tidak hanya terjadi di kota metropolitan saja. Fenomena UHI telah meluas ke wilayah perkotaan yang sedang berada dalam tahap pembangunan bahkan ke wilayah-wilayah yang termasuk administrasi pemerintah kabupaten. Hasil penelitian Wicahyani et al. (2013) juga mengindikasikan bahwa UHI di Yogyakarta tidak terbatas secara administratif di wilayah kota namun telah meluas wilayah Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul. Pusat panas terjadi di sebagian besar wilayah kota hingga sebagian wilayah Kecamatan Mlati dan Kecamatan Depok (Kabupaten Sleman) di sebelah utara serta Kecamatan Banguntapan (Kabupaten Bantul) di sebelah timur dengan rentang suhu 25 - 45˚C. Rentang suhu di daerah sekitarnya antara 15 - 40˚C. Penelitian Riyanto (2012) mendeteksi terjadinya UHI di Kota Palembang. Hasil perbandingan suhu pada lahan kering yang teridentifikasi di Sumatera Selatan dan Kota Palembang memiliki kisaran yang lebih panas dibandingkan suhu pada wilayah Sumatera Selatan. Hal ini dikarenakan wilayah Sumatera Selatan masih memiliki hutan, beberapa danau dan sungai yang turut mempengaruhi keadaan suhu. Kondisi berbeda terjadi di Kota Palembang yang penutupan lahannya didominasi oleh rumah, jalan beraspal, pabrik serta gedung pemerintahan dan swasta. Fenomena UHI juga terdeteksi telah terjadi di Kabupaten Bandung. Penelitian Rushayati (2012) mendeteksi UHI di Kabupaten Bandung dipengaruhi oleh persentase lahan terbangun dan ruang terbuka hijau serta konsentrasi CO2 di

udara. Fenomena UHI di Kabupaten Bandung dengan perbedaan suhu mencapai 7˚C.

(22)

8

meningkatnya kepadatan kendaraan (20%), penambahan ruang terbangun (19%) dan kepadatan populasi (17%). Urban Heat Island yang terjadi di Bogor disebabkan karena semakin meluasnya ruang terbangun (15%), menurunnya ruang terbuka hijau (14%), peningkatan jumlah kendaraan bermotor (14%), dan semakin padatnya populasi (13%). Selain itu, UHI di Kabupaten Bandung juga diprediksi terdapat pengaruh dari UHI Kota Bandung. Tursilowati (2002) dalam Rushayati (2012) menyatakan bahwa hasil pengamatan secara spasial di Bandung terlihat adanya perluasan efek UHI (daerah dengan suhu tinggi 30 – 35) di pusat Kota Bandung per tahun sebesar 4,47% yang terletak pada kawasan terbangun (permukiman dan kawasan industri).Hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa telah terjadi fenomena pulau bahang di Kota Semarang dengan selisih suhu lebih dari 14˚C antara kawasan perkotaan dan perdesaan (Waluyo 2009 dalam

Rushayati 2012).

Deteksi Urban Heat Island

Teknologi penginderaan jauh saat ini telah menyediakan fasilitas sehingga deteksi fenomena UHI di suatu wilayah secara cepat sangat dimungkinkan. Deteksi pulau panas perkotaan (UHI) umumnya dilakukan dari pengamatan lapangan pada suhu udara dan penginderaan jauh pada suhu permukaan tanah/land surface temperature (LST). Pengukuran LST dengan satelit penginderaan jauh memiliki banyak keunggulan antara lain cakupan global dan periodisitas yang konsisten, serta dapat mengatasi kelemahan pengamatan permukaan tanah yang berkaitan dengan distribusi tapak dan biaya. Konsep deteksi UHI adalah mengintegrasikan heterogenitas permukaan perkotaan, yang menunjukkan hubungan antara suhu udara dan fraksi (bagian) perkotaan (Leiqiu dan Brunsell 2015). Secara teknis, deteksi UHI dapat dilakukan dengan analisis LST yang memanfaatkan thermal band pada citra Landsat. Analisis LST merupakan rangkaian konversi nilai-nilai Digital Number (DN) pada band thermal citra Landsat menjadi nilai suhu permukaan, sehingga menghasilkan

output berupa peta distribusi/sebaran suhu permukaan (Senanayake et al. 2013). Pada prinsipnya, analisis LST memanfaatkan keunikan sifat bahan permukaan bumi dalam menyerap dan memantulkan energi elektromagnetik dari matahari. Permukaan bumi yang berbeda akan menghasilkan nilai surface

temperature yang berbeda, sehingga LST sangat terkait dengan

(23)

9 di berbagai tutupan lahan. Penelitian dilakukan untuk mendapatkan korelasi antara LST dengan suhu udara hasil pengukuran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif yang kuat antara LSTmax dan Tamax. Analisis peningkatan suhu menunjukkan peningkatan LSTmax lebih cepat dari Tamax. LSTmax menangkap informasi tambahan mengenai konsentrasi energi panas di permukaan bumi dan kontrol biofisik untuk suhu permukaan seperti kekerasan permukaan dan pendinginan transpirasional. Khusus pada kondisi penutupan lahan non-hutan, LST lebih terkait erat dengan karakteristik radiasi dan termodinamika bumi daripada suhu udara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk daerah tandus, semak belukar, padang rumput, sabana dan lahan pertnian memiliki nilai LSTmax antara 10˚C - 20˚C lebih panas dari Tamax. Pengecualian terdapat pada penutupan lahan hutan dimana hubungan antara LSTmax dan Tamax adalah 1:1. Secara keseluruhan, penelitian menunjukkan interaksi yang komplek antara tutupan lahan dan saldo energi permukaan.

Sumber: Buyadi et al. (2013)

Gambar 2 Suhu pada berbagai tutupan lahan

Ruang Terbuka Hijau dalam Mitigasi Urban Heat Island

Adanya urbanisasi di seluruh dunia yang cepat, menyebabkan penurunan kualitas lingkungan. Memburuknya kualitas lingkungan salah satu ditunjukkan dengan peningkatan suhu udara perkotaan secara bertahap meningkat di semua kota. Untuk mengurangi dampak penurunan kualitas lingkungan akibat peningkatan suhu, diperlukan langkah-langkah efektif antara lain dengan membangun ruang terbuka hijau. Keterkaitan antara keberadaan RTH dan penurunan efek (pendinginan) LST dapat dijadikan acuan dalam pemilihan metode strategi mitigasi UHI. Salah satu metode praktis yang dapat diimpelemtasikan dalam mitigasi UHI adalah strategi menanam vegetasi pada wilayah perkotaan dan mendesain pendekatan teknologi hijau (Ng, Chen et al.

(24)

10

UHI dan menyediakan udara sejuk. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa suhu di dalam taman atau di bawah pohon lebih dingin daripada di area ruang terbuka non-hijau.

Efek pendinginan LST oleh RTH disebabkan kemampuan vegetasi penyusun RTH dalam ameliorasi iklm mikro. Ameliorasi iklim merupakan proses perbaikan iklim sehingga diharapkan saat siang hari suhu tidak terlalu tinggi dan saat malam hari suhu tidak terlalu rendah di beberapa daerah tertentu. Sedangkan ameliorasi iklim mikro berkaitan dengan perbaikan suhu pada tempat atau lokasi terbatas. Sebagai contoh, ameliorasi iklim mikro di hutan kota, berarti perbaikan suhu di sekitar hutan kota (Ahmad 2012). Fungsi ekologis RTH dalam memperbaiki iklim mikro berdampak pada penurunan suhu udara. RTH membantu sirkulasi udara. Pada siang hari, dengan adanya RTH maka secara alami udara panas akan terdorong ke atas, dan sebaliknya pada malam hari udara dingin akan turun di bawah tajuk pepohonan.

Pemilihan vegetasi potensial dalam pengembangan RTH merupakan faktor yang turut menentukan fungsi ameliorasi RTH. Irwan (2005) menyatakan bahwa peranan penghijauan kota sangat tergantung pada vegetasi yang ditanam. Spesies pohon memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam menurunkan suhu udara, tergantung ukuran pohon dan karakteristik kanopinya. Kemampuan suatu spesies vegetasi dalam menurunkan suhu udara terkait karakteristik vegetasi (pohon) dalam mempengaruhi penetrasi radiasi matahari. Penelitian yang dilakukan Shashua-Bar dan Hoffman (2000) menunjukkan bahwa kombinasi bayangan pohon dan rumput merupakan strategi lanskap yang paling efektif untuk menurunkan suhu hingga 2K. Fungsi ameliorasi yang sangat terkait dengan efek naungan (shading effect)vegetasi sehingga turut menentukan jenis vegetasi dalam ruang terbuka hijau yang efektif dalam menurunkan suhu.

Pepohonan dan berbagai jenis vegetasi mempunyai peran penting dalam mengurangi efek UHI. Pada sebuah penelitian yang bertujuan untuk mengetahui efek pertumbuhan vegetasi terhadap distribusi suhu permukaan/Land Surface Temperature (LST) di Kota Shah Alam, Selangor menunjukkan bahwa perubahan penggunaan/penutupan lahan (land use/land cover) berpengaruh terhadap distribusi LST. Pada wilayah studi, terjadi perubahan penggunaan lahan yang cukup signifikan pada tahun 1991 – 2009 yang diprediksi menjadi penyebab meningkatnya LST. Namun demikian, meskipun konversi kawasan hijau alami menjadi permukiman dan kawasan komersial menyebabkan peningkatan LST secara signifikan, pohon-pohon besar pada ruang terbuka hijau perkotaan akan membantu mengurangi dampak UHI. Dengan demikian, keberadaan pohon-pohon besar dalam suatu ruang terbuka hijau di perkotaan sangat penting untuk kelangsungan pembangunan kawasan perkotaan serta untuk menyediakan kualitas hidup yang lebih baik pada penduduk di perkotaan (Buyadi et al. 2013).

(25)

11 (2013) menambahkan, dedaunan mampu menyerap, memantulkan dan mentransmisikan radiasi yang diterima dari matahari. Pada tutupan kanopi pohon, secara vertikal terdapat perbedaan suhu dan kelembaban udara. Hal ini turut dipengaruhi adanya angin, seperti dapat dilihat pada Gambar 3.

Sumber: Grey dan Deneke (1978)

Gambar 3 Hubungan suhu, kelembaban dan arah angin pada tutupan kanopi pohon

Optimalisasi fungsi RTH dalam mengurangi dampak UHI dan menyediakan udara sejuk di wilayah perkotaan juga pengaruhi oleh pola spasialnya. Untuk mengetahui pola spasial yang optimal untuk mendinginkan lingkungan perkotaan. Kong et al. (2014) melakukan identifikasi, pengamatan dan menganalisis korelasi antara Pulau Dingin Perkotaan atau Urban Cool Island (UCIs) dan RTH di Nanjing, Cina. Identifikasi data satelit dan analisis korelasi menunjukkan hasil sebagai berikut: (1) daerah dengan tutupan vegetasi berupa hutan dengan persentase yang lebih tinggi akan memiliki efek pendinginan yang lebih baik dan setiap kenaikan luas tutupan vegetasi berupa hutan sebesar 10% akan menurunkan suhu sekitar 0,83°C, (2) RTH yang terfragmentasi juga menyediakan pendinginan yang efektif, (3) pola spasial UCIs sangat berkorelasi dengan pola RTH dan (4) intensitas efek pendinginan tercermin dalam karakteristik UCIs. Hasil penelitian ini akan mendukung prediksi yang lebih baik dari efek dan pengaturan tata letak RTH sehingga membantu perencana kota dalam mengurangi peningkatan suhu yang terkait dengan perubahan iklim.

(26)

12

kelompok spesies lainnya, dalam hal ini kelompok spesies Grevillea dan Cupressus. Pada skala spasial yang lebih besar, efek pendinginan dari taman terhadap lingkungan sekitarnya (ameliorasi iklim mikro) yang dinyatakan dengan

Park Cooling Intensity (PCI) berkorelasi positif dengan Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) dan luas taman, sebaliknya indeks PCI dan bentuk taman memiliki korelasi negatif. Pada penelitian juga diamati jarak di mana taman masih memiliki efek pendinginan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kisaran atau jarak di mana efek pendinginan masih dapat diamati (Park Cooling Distance/PCD) berkorelasi positif dengan bentuk taman dan luas taman. Pada penelitian diperoleh PCI maksimum sebesar 6.72 ° C dan PCD maksimum diperkirakan 240 m. Hasil yang dapat disimpulkan dari penelitian tersebut bahwa efek pendinginan taman terhadap lingkungan sekitar (ameliorasi iklim mikro) ditentukan oleh kelompok spesies, tutupan kanopi, ukuran dan bentuk taman. Dengan demikian, pemilihan jenis vegetasi dan desain tata ruang menjadi faktor penting dalam merancang ruang terbuka hijau untuk ameliorasi iklim mikro yang optimal.

Penanaman vegetasi adalah salah satu strategi utama untuk mengatur iklim mikro perkotaan dan mengurangi pulau panas perkotaan (UHI). Untuk mengetahui pengaruh komunitas pohon, terutama faktor naungan (shading) pada perbaikan kondisi iklim mikro di daerah perkotaan, Yan et al. (2013) melakukan studi kasus di Olimpiade Beijing Forestry Park Beijing, Cina. Studi kasus menganalisis karakteristik iklim mikro dari komunitas pohon yang berbeda. Untuk mengevaluasi efek dari komunitas pohon yang berbeda pada tingkat kenyamanan tubuh manusia digunakan indeks ketidaknyamanan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dalam suhu udara, kelembaban relatif dan intensitas cahaya antara komunitas pohon dan ruang terbuka yang berfungsi sebagai kontrol. Komunitas pohon dapat menurunkan suhu dengan 1.6 - 2.5 ° C meningkatkan kelembaban dengan 2,9% - 5.2% dibandingkan dengan ruang terbuka kontrol. Perbedaan indeks kenyamanan antara komunitas pohon dengan ruang terbuka kontrol tidak signifikan namun dibandingkan dengan ruang terbuka kotrol, semua komunitas spesies dapat mengurangi indeks kenyamanan rata-rata di siang hari. Analisis korelasi antara faktor-faktor iklim mikro dan indeks karakteristik struktur kanopi dari komunitas pohon menunjukkan bahwa karakteristik kanopi memiliki peran penting dalam regulasi iklim mikro dan besarnya indeks kenyamanan. Dengan demikian, dalam perencanaan komunitas tumbuhan penyusun dalam lansekap ruang terbuka hijau, perlu dilakukan pemilihan jenis tumbuhan yang tepat. Penentuan pemilihan jenis tumbuhan yang tepat tersebut perlu merujuk pada referensi dari kota-kota lain perencanaan yang lebih baik dan pilihan yang tepat jenis tumbuhan yang memiliki karakteristik iklim yang sama.

(27)

13

3

METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat selama enam bulan yaitu bulan April – Oktober 2014. Kabupaten Karawang terdiri dari 30 kecamatan dengan luas total 194.239 Ha (Bappeda Karawang 2012). Secara geografis, Kabupaten Karawang terletak pada 107o02’ - 107o40’BT dan 5o562’ - 6o34’LS. Secara administratif, Kabupaten Karawang mempunyai batas-batas wilayah sebagai berikut :

x Sebelah Utara batas alam, yaitu Laut Jawa.

x Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Subang

x Sebelah Selatan dengan Kabupaten Purwakarta.

x Sebelah Tenggara berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan Cianjur.

x Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Bekasi.

Peta administratif Kabupaten Karawang yang termasuk dalam wilayah penelitian pada Gambar 4.

Gambar 4 Peta lokasi penelitian, Kabupaten Karawang Penelitian ini meliputi empat tahapan utama, yaitu:

1. Tahap persiapan, meliputi kegiatan pengumpulan data, pengkajian dan studi pustaka, konsultasi awal, penulisan proposal penelitian dan perbaikannya serta pengurusan izin penelitian.

2. Pengambilan data.

(28)

14

4. Pengamatan lapang untuk verifikasi landuse dan pengecekan suhu udara di lapangan.

5. Pembahasan sampai dengan penyusunan arahan pengembangan RTH.

Bahan

Bahan yang diperlukan dalam penelitian adalah berupa data primer dan data sekunder. Data primer meliputi hasil pengecekan lapang yang akan digunakan untuk verifikasi hasil analisis citra. Data sekunder diperoleh dari instansi pemerintah terkait. Jenis, sumber data dan teknik analisis data berdasarkan tujuan penelitian disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Jenis, sumber data dan teknik analisis data untuk setiap tujuan penelitian

No Tujuan Data yang diperlukan

Sumber data Teknik analisis data

USGS Analisis LST Peta distribusi suhu permukaan

Overlay - Penggunaan

(29)

15

Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain software pengolah data spasial yaitu ERDAS Imagine, ArcMap, Quantum GIS Lisboa dan GoogleEarth serta software pengolah data kuantitatif yaitu Statistica dan Microsoft Excel. Selain berupa software, juga digunakan Global Positioning System (GPS), Thermohigrometer dan kamera.

Prosedur Analisis Data

Prosedur analisis data pada penelitian ini meliputi analisis-analisis sesuai tujuan penelitian. Kegiatan analisis data secara keseluruhan meliputi analisis penggunaan lahan, analisis kebutuhan RTH, analisis land surface temperature

(LST) dan arahan pengembangan RTH di Kabupaten Karawang untuk meminimalisasi dampak UHI melalui pendekatan fungsi ameliorasi iklim mikro RTH.

Mengidentifikasi Kondisi Eksisting RTH Kabupaten Karawang

Identifikasi kondisi eksisting RTH di Kabupaten Karawang dilakukan dengan analisis penggunaan lahan. Analisis pengunaan lahan menghasilkan keluaran berupa peta penggunaan lahan yang memberi informasi tentang luas dan sebaran RTH. Data luas dan sebaran RTH akan digunakan dalam analisis kebutuhan RTH pada setiap wilayah. Selain itu, hasil analisis juga memberikan informasi luas lahan terbangun yang akan digunakan dalam deteksi wilayah-wilayah dengan UHI.

Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam analisis penggunaan lahan yaitu sebagai berikut:

a. Composite band

Sebelum pengolahan data citra, band-band yang dipilih dikompositkan untuk memperoleh tampilan warna yang diinginkan yaitu natural image. Pada citra Landsat 8, composite band terdiri dari band 6,5 dan 4 sedangkan pada citra Landsat 5 terdiri dari band 5, 4 dan 3. Setelah citra komposit didapat, lalu dilakukan proses selanjutnya yaitu koreksi geometrik, cropping dan proses klasifikasi citra.

b. Koreksi geometrik (rektifikasi)

Koreksi geometrik dilakukan untuk menghindari kesalahan geometrik selama pengumpulan data. Koreksi geometrik dilakukan untuk mendapatkan citra dengan letak yang sesuai dengan letak sesungguhnya di permukaan bumi. Kesalahan geometrik mengakibatkan bias pada luas, jarak, arah, sudut, dan bentuk yang bervariasi pada seluruh bagian citra. Koreksi geometrik dilakukan menggunakan acuan Peta Rupa Bumi Kabupaten Karawang.

c. Pemotongan Citra (cropping)

(30)

16

administrasi (batas wilayah) Kabupaten Karawang yang diperoleh dari Bappeda Kabupaten Karawang.

d. Klasifikasi Citra

Klasifikasi citra merupakan tahap akhir analisis penggunaan lahan yang menghasilkan peta penggunaan lahan. Klasifikasi citra menggunakan metode interpretasi visual dengan teknik on screen digitizing pada software ArcMap. Pada analisis penggunaan lahan lahan, kalsifikasi mengacu pada Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Karawang tahun 2009. Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Karawang tahun 2009 mengelompokkan tutupan/penggunaan lahan menjadi 26 kelas. Namun demikian, pada klasifikasi citra landsat tahun 1994 dan 2013 yang digunakan dalam analisis dilakukan generalisasi tipe penggunaan lahan dalam sembilan kelas. Generalisasi dilakukan karena keterbatasan dalam kemampuan interpretasi secara visual dalam skala kecil citra Landsat. Tipe penggunaan lahan dan generalisasinya yang digunakan dalam analisis citra Landsat seperti disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Tipe penggunaan lahan pada penggunaan lahan Kabupaten Karawang tahun 2009 dan generalisasinya pada penggunaan lahan tahun 2013

No. Penggunaan lahan pada Peta Penutupan Lahan tahun 2009

Penggunaan lahan pada Peta Penutupan Lahan tahun 2013

1. Belukar dan semak/belukar Semak/belukar 2. Kawasan industri, perdagangan,

perkantoran, permukiman dan jasa lainnya

Lahan terbangun

3. Danau/rawa, sungai, saluran irigasi primer

Tubuh air

4. Hutan Hutan

5. Kebun campuran dan

ladang/tegalan

Pertanian lahan kering

6. Lapangan olahraga dan

taman/ruang terbuka

Taman/ruang terbuka hijau

7. Tambak dan Kolam/empang Tambak/Kolam

8. Sawah irigasi semi teknis, sawah irigasi teknis, sawah pasang surut, sawah tadah hujan dan saluran irigasi semi teknis

Sawah

9. Pasir laut Pasir Laut

Hasil klasifikasi penggunaan lahan digunakan sebagai dasar perhitungan luas RTH eksisting dan lahan terbangun pada dua titik tahun yaitu tahun 1994 dan 2013. Distribusi RTH eksisting juga dapat diketahui dari hasil klasifikasi citra.

Menghitung Kebutuhan RTH Kabupaten Karawang

(31)

17

a. Analisis kebutuhan RTH berdasarkan luas wilayah

Analisis kebutuhan RTH berdasarkan luas wilayah mengacu pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Peraturan tersebut mensyaratkan proporsi RTH pada wilayah kota paling sedikit 30% persen wilayah dan khusus untuk RTH publik sebesar 20% luas wilayah. Rumus perhitungan kebutuhan RTH berdasarkan luas wilayah adalah sebagai berikut :

Kebutuhan RTH (ha) = Luas wilayah kota (ha) x 30% Kebutuhan RTH Publik (ha) = Luas wilayah kota (ha) x 20%

Melalui hasil perhitungan kebutuhan RTH tersebut dapat diketahui apakah luas RTH di suatu wilayah telah sesuai peraturan yang berlaku atau terdapat kekurangan luasan sehingga perlu penambahan. Kecukupan RTH diketahui dari proporsi luas RTH hasil klasifikasi penggunaan lahan pada analisis penutupan lahan dengan luas wilayah administrasi Kabupaten Karawang baik secara keseluruhan maupun pada setiap wilayah kecamatan yang dibandingkan dengan kebutuhan RTH hasil perhitungan.

b. Analisis kebutuhan RTH berdasarkan jumlah penduduk

Untuk dapat menghitung kebutuhan luas RTH berdasarkan jumlah penduduk, dilakukan proyeksi jumlah penduduk di masa yang akan datang. Kebutuhan RTH menurut jumlah penduduk diproyeksi sampai dengan tahun 2031, sesuai masa berlakunya RTRW Kabupaten Karawang yaitu tahun 2011 – 2031. Proyeksi jumlah penduduk dilakukan dengan beberapa metode statistik yaitu: - Model regresi linear, dengan rumus sebagai berikut:

y = a + bx

di mana:

y = Jumlah penduduk pada tahun ke- a dan b = konstanta

x = tahun ke-

- Model kuadratik, dengan rumus sebagai berikut:

y = a + bx+cx2

di mana:

y = Jumlah penduduk pada tahun ke- a, b dan c = konstanta

x = tahun ke-

- Model eksponensial, dengan rumus sebagai berikut:

y = a exp (b+cx)

di mana:

y = Jumlah penduduk pada tahun ke- a, b dan c = konstanta

x = tahun ke-

(32)

18

deviasi paling kecil. Kebutuhan luas RTH diketahui dari hasil perkalian antara jumlah penduduk dengan standar luas RTH per penduduk menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 5/PRT/M/2008. Standar luas RTH seperti yang disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Standar kebutuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) menurut jumlah penduduk dan tipe RTH

Unit lingkungan

2500 Taman RW 1.250 0,5 Di pusat kegiatan

RW

480.000 Taman kota 144.000 0,3 Di pusat

wilayah/kota Hutan kota Disesuaikan 4,0 Di dalam kawasan

pinggiran

Memetakan Distribusi Suhu Permukaan

Gambaran spasial distribusi suhu permukaan di Kabupaten Karawang diperoleh dengan membuat peta sebaran distrubusi suhu permukaan melalui analisis land surface temperature (LST). LST atau suhu permukaan yang dianalisis ini merupakan suhu yang dipantulkan oleh suatu permukaan benda yang dipilah-pilah dalam sensor panjang gelombang dan ditangkap oleh sensor satelit yang dinamakan thermal infrared (Lillesand dan Kiefer 1997). Analisis distribusi suhu permukaan dilakukan di lokasi penelitian dengan melakukan konversi digital numberband 6 dari Citra Landsat 5 TM tahun 1994 dan band 11 citra Landsat 8 TIRS tahun 2013. Wilayah yang mengalami fenomena pulau bahang menunjukkan suhu permukaan yang lebih tinggi dibandingkan suhu wilayah disekitarnya.

Analisis LST dengan metode konversi nilai digital number thermal band

(33)

19 pengukuran suhu udara secara manual di stasiun pengukuran. Distribusi nilai suhu permukaan hasil analisis LST memiliki kerapatan yang maksimal sesuai ketelitian pada resolusi citra yang digunakan. Melalui hasil analisis LST dapat dideteksi terjadinya UHI. UHI biasanya terjadi pada wilayah dengan tutupan berupa lahan terbangun. Lahan dengan tutupan vegetasi memiliki suhu permukaan yang cenderung lebih rendah daripada di lahan terbangun (Buyadi et al. 2013).

Analisis LST dilakukan pada software Erdas Imagine. Tahap awal analisis

land surface temperature adalah melakukan estimasi nilai suhu permukaan dengan membangun sebuah model pada model maker. Model tersebut bertujuan untuk mengkonversi nilai-nilai pixel pada thermal band citra Landsat sehingga berisi rumus-rumus konversi DN menjadi nilai suhu. Model konversi yang digunakan pada analisis LST dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2.

Konversi awal DN yang dilakukan yaitu konversi DN citra nilai radiasi. Rumus yang digunakan untuk mengkonversi DN pada band thermal menjadi nilai radiasi:

a. Konversi DN menjadi nilai radiasi (TOA spectral radiance) pada citra landsat TIRS (Landsat8) menurut USGS (2013):

L = MLQcal+AL

Di mana :

L : TOA spectral radiance (m2*srad*µm)

ML : Band spesifik faktor rescaling perkalian dari metadata

(RADIANCE_MULT BAND_x, di mana x adalah nomor band).

Pada citra yang digunakan ML = 0,0003342

AL :Band spesifik aditif faktor rescaling dari metadata

(RADIANCE_ADD_BAND_x, di mana x adalah nomor band).

Pada citra yang digunakan AL = 0,10000

Qcal : Digital Number band yang digunakan (thermal band)

b. Konversi DN menjadi nilai radiasi (spectral radiance) pada citra landsat TM (Landsat 5) menurut NASA (2011):

Lλ = ((LMAXλ - LMINλ)/(QCALMAX-QCALMIN))*

QCALMIN : nilai minimum terkuantifikasi dari pixel terkalibrasi (QCALMIN = 1)

QCALMAX : nilai minimum terkuantifikasi dari pixel terkalibrasi (QCALMIN = 255)

Nilai suhu permukaan diperoleh dari konversi nilai radiasi (L) menjadi nilai

(34)

20

dimana :

TB : Suhu (K)

K1 : Konstanta kalibrasi Landsat TM (607,76) dan TIRS (774,89)

K2 : Konstanta kalibrasi Landsat TM (1260,56) dan TIRS (1321,08)

L : Spektral radiasi

Nilai suhu dalam satuan Celsius bisa didapatkan melalui konversi menggunakan rumus berikut:

T = TB – 273

dimana :

T : Suhu dalam satuan Celsius TB : Suhu dalam satuan Kelvin

Pengecekan Lapang

Pengecekan lapang dilakukan untuk mendapatkan keakuratan hasil klasifikasi penggunaan lahan. Verifikasi klasifikasi pada kegiatan pengecekan lapangan dilakukan dengan cara:

- Pada klasifikasi penggunaan lahan tahun akhir, verifikasi dilakukan dengan mendatangi setiap penggunaan lahan, masing-masing pada tiga titik menggunakan bantuan alat GPS.

- Pada klasifikasi penggunaan lahan untuk waktu awal, verifikasi dilakukan dengan cara mencocokkan hasil klasifikasi pada dokumen RTRW dan dokumen terkait lainnya, serta wawancara dengan masyarakat sekitar.

Selain pengecekan lapang untuk verifikasi hasil klasifikasi penggunaan lahan, dilakukan pengukuran suhu udara pada setiap penggunaan lahan hasil klasifikasi yang difokuskan pada wilayah yang mengalami UHI. Dilakukan pengukuran pada tiga titik koordinat menggunakan alat thermohygrometer. pada setiap tipe penggunaan lahan. Titik pengukuran di lapangan ditentukan secara

simple random sampling. Hasil pengukuran di lapangan suhu udara kemudian dihitung menjadi suhu rata-rata harian yang digunakan sebagai pembanding dan kalibrasi suhu permukaan hasil analisis LST pada peta distribusi suhu permukaan. Pengukuran suhu udara dilakukan pada pagi (pukul 07.00 – 08.00 WIB), siang (12.00 – 14.00 WIB) dan sore hari (16.00 – 17.00 WIB) selama satu minggu pada bulan Oktober 2014. Kondisi musim saat dilakukannya pengukuran suhu udara adalah musim kemarau dngan tingkat keawanan <80%. Untuk memperoleh suhu rata-rata harian, dilakukan perhitungan dengn rumus menurut rumus rataan BMKG (Hayati 2013):

Tr = (2Tp + Tsi + Ts)/4 di mana:

Tr : Suhu rata-rata harian (°C)

(35)

21

Penyusunan Arahan Pengembangan RTH di Kabupaten Karawang

Pengembangan RTH di Kabupaten Karawang lebih diarahkan kepada RTH yang statusnya mendukung eksitensinya di masa yang akan datang. Pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2007 telah dinyatakan bahwa dari sisi wewenang pengelolaannya, RTH publik merupakan RTH yang dikelola oleh Pemerintah Daerah, dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Karawang, sehingga diasumsikan merupakan RTH yang akan bisa dipertahankan keberadaannya di masa mendatang. Selain mempertimbangkan eksistensinya, arahan pengembangan RTH juga dititik beratkan pada kebutuhan RTH yang paling besar. Terpenuhinya kebutuhan RTH dengan luasan yang paling besar maka secara otomatis kebutuhan RTH dari pendekatan lainnya dengan luasan lebih kecil akan terpenuhi. Kebutuhan RTH dengan luasan lebih kecil dijadikan sebagai tujuan antara dalam mencapai target akhir yaitu kebutuhan RTH dengan luasan yang paling besar.

Tahapan penyusunan arahan pengembangan RTH secara teknis diawali dengan melakukan evaluasi zona pengembangan RTH yang telah ditetapkan pada RTRW Kabupaten Karawang tahun 2011 – 2031. Evaluasi zonasi RTH dengan melihat distribusi suhu permukaan hasil analisis LST. Evaluasi zona pengembangan RTH perlu dilakukan untuk memastikan agar zona pengembangan RTH pada RTRW Kabupaten Karawang merupakan wilayah-wilayah dengan UHI sehingga tujuan pengembangan RTH sebagai strategi mitigasi UHI dapat tercapai. Evaluasi zonasi RTH dilakukan dengan membandingkan antara zona pengembangan RTH pada RTRW Kabupaten karawang dengan wilayah-wilayah yang dideteksi telah mengalami UHI yaitu wilayah dengan suhu permukaan dan proporsi lahan terbangun yang tinggi. Evaluasi zona pengembangan RTH tersebut akan menghasilkan zona pengembangan RTH yang direkomendasikan dalam upaya mitigasi UHI. Setelah diperoleh zona pengembangan yang direkomendasikan, kemudian ditentukan wilayah-wilayah yang diprioritaskan dalam pengembangan RTH. Wilayah prioritas tersebut merupakan kecamatan dengan lahan terbangun yang luasannya relatif besar sehingga suhu permukaannya tinggi, aktivitas manusia yang tinggi dan perkembangan wilayah yang pesat. Tingginya aktivitas manusia dan pesatnya perkembangan wilayah yang pesat antara lain ditandai dengan peningkatan jumlah penduduk dan luasan lahan terbangun yang tinggi.

(36)

22

Arahan pengembangan RTH terkait lokasi (site specific) mempertimbangkan prinsip-prinsip sesuai Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 5/PRT/M/2008 yaitu RTH pada lingkungan permukiman, RTH perkotaan dan RTH fungsi tertentu (100 m sempadan sungai, 50 m sempadan danau dan jalur hijau jalan dengan lebar 1,5 m dari tepi jalan). Sebagai strategi mitigasi UHI, pengembangan RTH dilakukan pada lokasi-lokasi dimana RTH memiliki fungsi yang optimal dalam ameliorasi iklim mikro, yaitu RTH yang dapat memberikan cooling effect dan shading effect optimum. Menurut penelitian Feyisa et al. (2014) jarak RTH yang masih memberikan cooling effect dan

shading effect optimum yaitu 240 m dari lahan terbangun (permukiman dan kawasan industri). Lokasi pengembangan RTH merupakan hasil buffering sesuai prinsip-prinsip yang digunakan dan overlay dengan ketersediaan lahan. Selain lokasi pengembangan RTH, dalam mitigasi UHI juga perlu untuk ditentukan bentuk dan vegetasi penyusun RTH yang optimal dalam mitigasi UHI. Secara keseluruhan, alur penelitian yang dilakukan dalam penelitian seperti pada Gambar 5.

Gambar 5 Alur penelitian Luas wilayah dan

jumlah penduduk

- Proporsi minimum RTH suatu wilayah

- Standar kebutuhan minimum luas RTH perkapita

Pendekatan urban heat island dan fungsi ameliorasi iklim RTH

Analisis kebutuhan dan lokasi pengembangan RTH

Pertimbangan lokasi pengembangan RTH

Arahan pengembangan RTH di Kabupaten Karawang

- Pola Ruang dan Zona Pengembangan RTH Kabupaten Karawang (RTRW)

(37)

23

4

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

Kondisi Fisik Wilayah dan Penggunaan Lahan

Topografi

Kabupaten Karawang berbatasan langsung dengan Laut Jawa di sebelah utara sehingga kondisi topografinya didominasi oleh daerah yang relatif datar dengan variasi antara 0 – 5 m diatas permukaan laut. Hanya sebagian kecil wilayah yang bergelombang dan berbukit-bukit dengan ketinggian antara 0 – 1200 m diatas permukaan laut, yaitu pada bagian selatan Kabupaten Karawang. Secara umum, Kabupaten Karawang mempunyai variasi kemiringan lahan 0 – 2%, 2 – 5% dan di atas 40%, yang terdapat pada bagian Selatan Kabupaten Karawang (BPS Karawang 2014).

Geologi

Wilayah Kabupaten Karawang sebagian besar berupa dataran pantai yang luas, yang terhampar di bagian pantai utara dan merupakan batuan sedimen yang dibentuk oleh bahan-bahan lepas terutama endapan laut dan aluvium vulkanik. Pada bagian tengah wilayah Kabupaten Karawang terdapat perbukitan yang terutama dibentuk oleh batuan sedimen, sedangkan dibagian Selatan terdapat Gunung Sanggabuana dengan ketinggian ±1.291 m di atas permukaan laut (BPS Karawang 2014).

Iklim

Sesuai dengan morfologinya, Kabupaten Karawang merupakan dataran rendah. Temperatur udara rata-rata 27°C dengan kisaran 25 - 30°C. Tekanan udara rata-rata 0,01 milibar, penyinaran matahari 66% dan kelembaban nisbi 80%. Secara regional, kontrol dominan pada arus dan gelombang di Laut Jawa adalah angin muson yang bertiup tetap dari arah tenggara pada bulan April – November dan dari arah barat laut pada bulan Desember – Maret. Kecepatan angin berkisar 30 -35 km/jam dengan lamanya tiupan rata-rata 5 – 7 jam (BPS Karawang 2014).

Curah hujan di suatu tempat dipengaruhi oleh keadaan iklim, keadaan geografi dan perputaran/pertemuan arus udara. Oleh karena itu, jumlah curah hujan sangat beragam menurut bulan. Curah hujan tahunan di wilayah Kabupaten Karawang berkisar antara 1.100 – 3.200 mm/tahun. Catatan rata-rata curah hujan di Kabupaten Karawang selama tahun 2013 mencapai 2.179 mm dengan rata-rata hari hujan sebesar 118 hh. Pada tahun 2013, rata-rata curah hujan terendah terjadi di bulan September yaitu 37 mm. Kondisi curah hujan tersebut menyebabkan Kabupaten Karawang termasuk dalam tipe iklim D menurut klasifikasi Oldeman.

Pola Penggunaan Lahan

(38)

24

terdiri dari lahan untuk bangunan dan halaman sekitarnya, tegal/kebun/ladang/huma, padang rumput, tambak, kolam/tebet/empang, lahan yang sementara tidak diusahakan, lahan untuk tanaman kayu-kayuan dan perkebunan negara/swasta. Menurut data BPS Karawang (2014), sampai dengan tahun 2013 luas seluruh lahan di Kabupaten Karawang adalah 191.982 Ha terdiri dari lahan sawah seluas 99.558 Ha dan lahan kering seluas 92.370 Ha. Dari luasan lahan kering tersebut, 48,64% digunakan untuk bagunan dan halaman sekitarnya. Lahan yang potensial dikembangkan sebagai lahan terbuka hijau diprioritaskan pada lahan yang sementara tidak diusahakan.

Kondisi Ruang Terbuka Hijau

Ruang terbuka hijau memiliki fungsi yang penting baik dari sisi ekologis maupun untuk estetika lanskap perkotaan. Ketersediaan ruang terbuka hijau khususnya ruang terbuka hijau publik di Kabupaten Karawang belum menjadi fokus dalam penataan ruang wilyah perkotaan atau lanskap perkotaan. Hal ini dapat dilihat dari belum banyaknya ruang terbuka hijau publik dan pengelolaannya yang belum intensif. Ruang terbuka hijau publik yang tersedia sampai saat ini meliputi jalur hijau di sepanjang jalan tol, taman kota dan sarana olahraga (lapangan olahraga). Berdasarkan pengamatan di lapangan, lahan-lahan yang tersedia dan dapat dimanfaatkan sebagai ruang terbuka publik belum dimanfaatkan secara maksimal. Belum terpenuhinya ruang terbuka hijau publik juga dikarenakan belum dilakukannya identifikasi dan pemilihan jenis ruang terbuka hijau yang tepat dengan lingkungan sekitar dan ketersediaan lahannya. Khususnya untuk ruang terbuka hijau dengan tipe hutan kota, Pemerintah Kabupaten Karawang belum memiliki hutan kota yang layak, karena minimnya ruang terbuka hijau di daerah tersebut untuk difungsikan sebagai hutan kota.

(39)

25

Gambar 6 Hutan kota di San Diego Hills Cemetary

(40)

26

Berbeda halnya dengan beberapa RTH privat berupa hutan kota, selama pengamatan lapangan diketahui bahwa RTH publik yang tersedia diprediksi belum memiliki fungsi yang optimum dalam memberikan kenyamanan suhu. Hal tersebut disebabkan RTH publik telah mengalami perkerasan dengan aspal atau

paving pada tapaknya dengan minimal vegetasi. RTH publik yang diperkirakan telah mengalami penurunan kualitas dalam memberikan kenyamanan yaitu alun-alun Kota Karawang yang terletak di Kecamatan Karawang Timur dan Lapangan Karang Pawitan yang terletak di Karawang Barat. Kedua RTH ini difungsikan sebagai area tempat berkumpulnya masyarakat. Kondisi beberapa RTH publik di Kabupaten Karawang seperti ditampilkan pada Gambar 8 dan 9.

Gambar 8 Alun-alun Kota Karawang

(41)

27

Kondisi Sosial Ekonomi

Jumlah Penduduk

Jumlah penduduk Kabupaten Karawang pada tahun 2013 mencapai 2.225.257 jiwa, terdiri dari penduduk laki-laki berjumlah 1.147.188 jiwa dan penduduk perempuan berjumlah 1.078.169 jiwa. Jumlah ini meningkat sebesar 50,5% dari tahun 1995. Jumlah penduduk tahun 1995 – 2013 menunjukkan tren peningkatan. Pertumbuhan penduduk di Kabupaten Karawang periode tahun 1995 – 2013 dapat dilihat pada Gambar 5. Sex ratio penduduk Kabupaten Karawang adalah 106,40 yang artinya penduduk laki-laki lebih banyak daripada penduduk perempuan. Kepadatan penduduk per km2 pada tahun 2013 tercatat sebesar 1.269 jiwa (BPS Karawang 2014).

Penduduk terbanyak tercatat di Kecamatan Klari, yaitu sebesar 167.244 jiwa. Hal ini disebabkan karena Kecamatan Klari merupakan kecamatan dengan potensi Industri yang cukup tinggi, dimana sektor-sektor penunjang industri banyak berkembang. Setelah Kecamatan Kari, Kecamatan Karawang Barat merupakan kecamatan kedua terpadat di Kabupaten Karawang dengan jumlah penduduk 162.554 jiwa. Jumlah penduduk terkecil yaitu di Kecamatan Tegalwaru dengan jumlah penduduk 34.961 jiwa. Jumlah penduduk Kabupaten Karawang tahun 1995-2013 seperti disajikan pada Gambar 10.

Jumlah rumah tangga di Kabupaten Karawang pada tahun 2013 mencapai 598.981 Rumah Tangga. Jumlah rumah tangga tertinggi terdapat di wilayah Kecamatan Klari yaitu 45.820 Rumah Tangga, kemudian Kecamatan Karawang Barat dengan 43. 232 Rumah tangga dan Kecamatan Teluk Jambe Timur dengan 37.471 Rumah Tangga (BPS Karawang 2014).

Gambar 10 Jumlah penduduk Kabupaten Karawang 1995-2013

Kondisi Ekonomi

Kabupaten Karawang memiliki beberapa potensi unggulan daerah yang menjadi sumber pendapatan daerah, diantaranya potensi pertanian, potensi industri, potensi pertambangan, potensi perikanan dan potensi pariwisata. Dalam hal potensi pertanian, Kabupaten Karawang disamping sebagai lumbung padi

0 500,000 1,000,000 1,500,000 2,000,000 2,500,000

1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

(42)

28

Jawa Barat juga merupakan salah satu daerah yang dapat memberikan kontribusi kebutuhan beras nasional.

Menurut data Bappeda Karawang (2012), kegiatan industri dikembangkan di lahan seluas 13.756, 358 atau 7,84% dari luas Kabupaten Karawang, yang terdiri atas:

1. Kawasan Industri Khusus seluas 3.138,758 Ha yang meliputi lima kawasan di Kecamatan Cikampek.

2. Kawasan Industri Seluas 5.500 Ha di Kecamatan Teluk Jambe Barat, Telukjambe Timur, Ciampel dan Cikampek.

3. Zona Industri seluas 5.117,6 Ha (Kecamatan Teluk Jambe Barat, Telukjambe Timur, Klari, Cikampek, Karawang Barat, Karawang Timur, Purwasari, Pangkalan dan Rengasdengklok).

Berdasarkan Kepres Nomor 53 tahun 1989 tentang Pengembangan Kawasan Industri, Kabupaten Karawang telah ditetapkan sebagai daerah kawasan industri. Jumlah industri di Kabupaten Karawang sampai dengan tahun 2013 tercatat sebanyak 9.963 industri, terdiri dari 495 industri berupa Penanam Modal Asing (PMA), 226 industri merupakan Penanam Modal Dalam Negeri (PMDN), 217 industri non fasilitas dan 9.025 industri yang merupakan industri kecil. Jumlah tersebut mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2012. Pada tahun 2012 jumlah industri tercatat 9.707 industri. Data jumlah industri menurut unit usaha dari tahun 2010-2013 di Kabupaten Karawang dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Data jumlah industri menurut unit usaha dari tahun 2010 – 2013 di Kabupaten Karawang

Unit usaha Tahun

2010 2011 2012 2013 Penanam Modal Asing (PMA) 330 371 488 495 Penanam Modal Dalam Negeri (PMDN) 193 213 226

Investor Non Fasilitas 127 179 207 217

Industri Kecil 8.868 9.001 9.014 9.025

Jumlah 9.518 9.764 9.707 9.963

Sumber: BPS Karawang (2014)

Gambar

Tabel 3 Standar kebutuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) menurut jumlah   penduduk dan tipe RTH
Gambar 5 Alur penelitian
Gambar 7 Hutan kota di Kawasan Industri Pupuk Kujang
Gambar 8 Alun-alun Kota Karawang
+7

Referensi

Dokumen terkait

Persebaran ruang terbuka hijau terbanyak terletak di sebelah timur Kecamatan Jebres tepatnya di Kelurahan Jebres, Pucangsawit dan Mojosongo sedangkan pada bagian barat dan

Bentuk partisipasi serta masyarakat dalam pengelolaan ruang terbuka hijau di Kelurahan Bongaya, Kecamatan Tamalate, Kota Makassar pada dasarnya tidak hanya sebagai pihak yang

Analisis Perubahan Komponen Neraca Energi Permukaan, Distribusi Urban Heat Island dan Thermal humidity index Akibat Perubahan Penutup Lahan Dengan Menggunakan Citra

Karena unit amatan penelitian masih mengacu pada usulan riset pertama yang terkait dengan roadmap penelitian maka sampel yang dipilih meliputi: (1) RTH Jalur Hijau